BAB 6 PENUTUP 6.1. Temuan Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 6 PENUTUP 6.1. Temuan Penelitian"

Transkripsi

1 BAB 6 PENUTUP Bab penutup ini berisi kesimpulan dan implikasi teoritis. Kesimpulan berupa temuan-temuan penelitian merupakan jawaban dari dua hal pokok yang menjadi dasar pertanyaan penelitian disertasi ini, yaitu; (1) sejauh mana fungsi pembinaan teritorial Kowil TNI AD yang hampir seluruhnya merupakan tugas dan fungsi pemerintah daerah merupakan fungsi pertahanan militer; (2) posisi Satuan Kowil TNI AD dan fungsi pembinaan teritorialnya dalam tiga arus utama teori militer yang ada; tipologi militer profesional, tipologi militer profesional revolusioner dan tipologi militer pretorian. Studi terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 berupa pembinaan persatuan dan kesatuan, pembinaan keamanan lingkungan, pembinaan tokoh masyarakat, pembinaan generasi muda dan pembinaan Menwa yang dilakukan untuk melihat sejauh mana fungsi Kowil TNI AD merupakan fungsi pertahanan militer memperhatikan 6 aspek, yaitu: (1) alasan perlunya ke-5 jenis pembinaan itu di Provinsi DKI Jakarta; (2) kaitan ke-5 jenis pembinaan itu dalam menunjang militer profesional; (3) kompetensinya dalam melaksanakan ke-5 jenis pembinaan yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah daerah; (4) dasar hukum pelaksanaan ke-5 jenis pembinaan itu dan implementasinya di lapangan; (5) kaitan ke-5 jenis pembinaan itu dalam menunjang sistem pertahanan semesta; (6) masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan ke-5 jenis pembinaan itu Temuan Penelitian Penelitian terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta berupa kasus pembinaan persatuan dan kesatuan, pembinaan keamanan lingkungan, pembinaan tokoh masyarakat, pembinaan generasi muda dan pembinaan Menwa mengungkapkan bahwa fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI bukan merupakan fungsi pertahanan militer. Pengungkapan itu sekaligus memperlihatkan bahwa kebijakan depolitisasi militer terutama UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 belum dapat membebaskan

2 fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD dari fungsi non-militer. Sebaliknya, implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 masih menunjukkan sikap penolakan TNI AD terhadap political disengagement, sehingga tampak seperti upaya melanggengkan dwifungsinya secara halus. Analisis terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 menegaskan bahwa meskipun tidak lagi mengandung politik praktis, namun semua fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD yang diteliti masih mencakup fungsi non-militer dan semua fungsi non-militer itu tidak dapat disebut sebagai fungsi pertahanan militer. Dengan demikian hasil studi ini menyimpulkan belum berlangsungnya depolitisasi militer di Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun Terkait fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD yang tidak dapat disebut sebagai fungsi pertahanan militer, studi ini menemukan bahwa Satuan Kowil TNI AD melaksanakan ke-5 fungsi pembinaan teritorial tersebut melalui tiga metode, yaitu: (1) metode Bhakti TNI; (2) metode komunikasi sosial (komsos); (3) metode pembinaan ketahanan wilayah (bintahwil). Fungsi pembinaan teritorial yang dilakukan melalui metode Bhakti TNI seperti TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) dan kegiatan Keluarga Berencana/Kesehatan. Fungsi pembinaan teritorial yang dilakukan melalui metode komunikasi sosial (komsos) seperti pembinaan tokoh masyarakat, pembinaan tokoh agama, pembinaan generasi muda dan pembinaan Menwa. Sedangkan fungsi pembinaan teritorial yang dilakukan melalui metode bintahwil, seperti pembinaan persatuan dan kesatuan, pembinaan keamanan lingkungan (siskamling) dan pembinaan masyarakat kumuh. Studi ini menemukan sejumlah faktor internal dan faktor eksternal yang menjadi dasar alasan TNI AD dalam melaksanakan fungsi pembinaan teritorial yang mencakup fungsi non-militer dan alasan TNI AD mempertahankan Satuan Koternya yang menjangkau kehidupan masyarakat, seperti Kodim, Koramil dan Babinsa. Faktor internal berupa profesionalisme non-militer para perwira TNI AD dan kultur militernya sebagai tentara revolusioner sebagaimana tercermin dalam Jati Diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang

3 profesional. Sedangkan faktor eksternal meliputi penafsiran terhadap kebijakan otoritas sipil tentang sistem pertahanan semesta, penafsiran terhadap tugas pokok TNI yang dilakukan melalui operasi militer selain perang untuk membantu pemerintah dan untuk memberdayakan wilayah pertahanan secara dini dan tugas TNI AD memberdayakan wilayah pertahanan, serta respon positif pemerintah daerah dan masyarakat terhadap implementasi fungsi pembinaan Kowil TNI AD yang dilihatnya sebagai bentuk bantuan dan pengabdian TNI AD terhadap masyarakat dan pemerintah daerah. Mengenai faktor internal, hasil studi ini mengungkap keterlibatan Satuan Kowil TNI AD dalam pelaksanaan fungsi pembinaan teritorial terkait dengan keahlian non-militer atau profesionalisme non-militer yang dimiliki para prajurit teritorial TNI dan kultur militernya. Pengetahuan non-militer prajurit TNI AD yang semula hanya dipersiapkan untuk kebutuhan militer, seperti pengetahuan yang berkaitan dengan intelijen militer, organisasi dan birokrasi militer, logistik militer, teritorial militer, perencanaan militer, kesekretariatan, pengumpalan/ pengolahan data militer, penerangan militer, mental militer, kesehatan militer, jasmani militer, perbekalan/angkutan militer, keuangan militer, topografi militer, hukum militer, perhubungan militer, zeni militer dan peralatan militer, serta pengetahuan tentang psykologi, sejarah, politik, administrasi, manajemen, kepemimpinan dan lain-lain yang diperolehnya dari akademi, sekolah dan kursuskursus keahlian, terutama dari pendidikan teritorialnya membuatnya merasa memiliki kompetensi dalam melaksanakan fungsi non-militer. Bahkan kompetensi itu semakin menguat setelah mendapat dukungan dari kultur militernya berupa nilai-nilai revolusioner sebagaimana tercermin dalam Jati Diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang profesional yang sangat mengakar dalam semua doktrin TNI yang pernah ada termasuk sekarang doktrin TNI Tri Dharma Eka Putra dan doktrin TNI AD Kartika Eka Paksi. TNI AD tidak melihat keterlibatannya dalam pelaksanaan ke-5 fungsi non-militer tersebut dapat menghambat profesionalisme militernya, karena profesionalisme yang dipahami oleh TNI AD tidaklah sama dengan konsep profesionalime yang dianut dalam teori militer profesional. Profesionalisme militer bagi TNI AD sebagaimana yang tertuang dalam visinya selain mencakup

4 keterampilan penguasaan taktik dan teknis kemiliteran, juga mencakup Jati Diri-nya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang menempatkan tugas di atas segala-galanya, karena tugas merupakan kehormatan, harga diri dan kebanggaannya sekalipun hal itu tidak berkaitan dengan tugas dan fungsi pertahanan militer. Berkaitan dengan faktor eksternal, studi ini ini mengungkap tiga alasan mendasar bagi keterlibatan Satuan Kowil TNI AD dalam pelaksanaan fungsi pembinaan politik di Provinsi DKI Jakarta, yaitu: (1) dalam rangka mendukung sistem pertahanan semesta sebagaimana diatur oleh UU Pertahanan Nomor 3 Tahun TNI AD melihat keberadaan Satuan Kowil TNI AD dan fungsi pembinaan teritorialnya sebagai konsekuensi dianutnya sistem pertahanan semesta yang diatur di dalam UU Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002; (2) dalam rangka melaksanakan tugas pokok TNI berupa operasi militer selain perang yang dilakukan untuk memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, dan tugas TNI AD memberdayaan wilayah pertahanan di darat yang keduanya diatur dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004; (3) terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat. Bagi TNI AD, maksud dan tujuan Satuan Kowil TNI AD melaksanakan pembinaan persatuan dan kesatuan, pembinaan keamanan wilayah, pembinaan tokoh masyarakat, pembinaan pembinaan generasi muda, pembinaan Menwa di Provinsi DKI Jakarta adalah untuk menunjang sistem pertahanan rakyat semesta dengan cara berusaha menciptakan ruang, alat dan kondisi perjuangan (RAK Juang) dan mengupayakan kemanunggalan TNI-Rakyat. Penelitian ini mengungkap bahwa implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta yang memperlihatkan TNI multi fungsi justru disebabkan oleh interpretasi Satuan Kowil TNI AD terhadap sistem pertahanan semesta, tugas pokok TNI, tugas TNI AD dan TNI manunggal dengan Rakyat yang mencakup fungsi non-militer. Sepanjang tugas dan fungsi pemerintahan daerah dianggapnya berkaitan dengan sistem pertahanan semesta, tugas pokok TNI, dan tugas TNI AD, serta mendukung program kemanunggalan TNI-Rakyat, Satuan Kowil TNI AD melaksanakannya baik secara berdiri sendiri maupun secara bersama-sama dengan pemerintah di Provinsi DKI Jakarta.

5 Juga yang diungkap studi ini adalah baik Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta maupun Satuan Kowil TNI AD keduanya tidak melihat adanya tumpang tindih atau duplikasi tugas, fungsi dan kewenangan dalam implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Satuan Kowil TNI AD keduanya tidak melihat ke-5 jenis implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD itu sebagai bentuk intervensi militer dalam bidang yang menjadi urusan pihak sipil. Keduanya terlihat nyaman atas kondisi yang tercipta dari model kerjasama kemitraan ynag dilihatnya tanpa beban itu, dan menganggap tidak ada masalah terkait dengan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab masingmasing kedua belah pihak. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta terlihat nyaman karena selain hilangnya kekaryaan organik dan non-organik ABRI yang sebelumnya tidak memberikan ruang gerak bagi pihak sipil di Pemda DKI Jakarta dalam pelaksanaan ke-5 kasus tersebut, juga keterlibatan Satuan Kowil TNI AD sangat membantu, tidak lagi mengusik kewenangan dan tanggung jawabnya, serta tidak lagi membebani anggaran Pemda DKI Jakarta. Satuan Kowil TNI AD juga terlihat nyaman atas kondisi itu, karena selain Pemda DKI Jakarta menyambutnya dengan baik, juga masyarakat tidak mempersoalkan keterlibatannya dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana ditunjukkan oleh kesediaan masyarakat bergabung dalam forum kemitraan dengan Satuan Kowil TNI AD, seperti Mitra Jaya, Mitra Korem dan Mitra Koramil, sehingga TNI tidak lagi sekedar mendamba mitra. Meskipun demikian tidak berarti ke-5 jenis kasus itu dilaksanakan oleh Satuan Kowil TNI AD dan Pemda DKI Jakarta tanpa masalah. Studi ini mengungkap sejumlah masalah yang telah diupayakan jalan keluarnya terkait dengan pelaksanaan ke-5 jenis kasus itu. Baik Pemda DKI Jakarta maupun Satuan Kowil TNI AD yang masing-masing melihat aparatnya belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas berusaha mengatasinya dengan melakukan kerjasama. Sedangkan dua masalah lainnya yang hanya dilihat oleh TNI AD, yaitu: (1) masih adanya pemerintah daerah yang kurang memahami arti penting pertahanan dan masyarakat yang menuntut Satuan Kowil TNI AD dibubarkan dan fungsi

6 teritorialnya dihapus, TNI AD berusaha mengatasinya dengan melakukan sosialisasi; (2) tidak adanya anggaran khusus untuk pelaksanaan fungsi pembinaan teritorial Kowil TNI AD yang oleh TNI AD berusaha diatasinya dengan cara menggalang partisipasi masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Mitra TNI AD. Juga temuan penelitian berupa pelaksanaan pembinaan tokoh masyarakat dan pembinaan masyarakat kumuh di Provinsi DKI Jakarta diluar dari 16 fungsi pembinaan teritorial yang dirumuskan Mabes TNI pada workshop tanggal Agustus 2001 menunjukkan bahwa implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD Pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 bukannya berangsur-angsur hilang. Sebaliknya, justru semakin luas dan dinamis penafsirannya karena dapat mencakup tugas dan fungsi pembantuan (medebewind), fungsi pembinaan politik dan sebagai strategi TNI manunggal dengan Rakyat. Temuan penelitian berupa pelaksanaan pembinaan tokoh masyarakat dan pembinaan masyarakat kumuh menunjukkan pula bahwa Satuan Kowil TNI AD dapat menafsirkan fungsi pembinaan teritorial sesuai kemauannya sendiri dengan kecenderungan empat dasar argumen; (1) sesuai kondisi wilayah; (2) untuk mendukung sistem pertahanan semesta; (3) sesuai dengan tugas pokok TNI dan tugas TNI AD; (4) untuk kemanunggalan TNI-Rakyat. Sementara dua jenis implementasi fungsi teritorial, yaitu pendataan potensi pertahanan dan rakyat terlatih yang justru terkait dengan fungsi pertahanan militer dan termasuk ke dalam 16 jenis kasus yang dirumuskan pada workshop Mabes TNI tanggal Agustus 2001 belum dilaksanakan oleh Satuan Kowil TNI AD dengan tepat. Penelitian mengungkap bahwa baik Pemda Provinsi DKI Jakarta, masyarakat (ketua-ketua RT), generasi muda (karang taruna, KNPI dan Menwa) maupun Babinsa sendiri, semuanya tidak mengetahui adanya pelaksanaan pendataan potensi pertahanan dan rakyat terlatih untuk cadangan militer kecuali Menwa. Misalnya pendataan dan sosialiasi gedung mana saja di Provinsi DKI Jakarta yang dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan (bunker) bagi para rakyat sipil (non-combatan) seandainya terjadi invansi atau serangan tentara musuh.

7 Dengan demikian semua alasan yang bersifat internal dan eskternal, serta masalah yang ada tersebut menunjukkan upaya Satuan Kowil TNI AD untuk tetap mempertahankan fungsi non-militernya, sehingga tampak seperti dwifungsi ABRI yang diperhalus (political engagement). Padahal sikap Satuan Kowil TNI AD yang menolak depolitisasi dalam arti political disengagement itu dapat menjadi dasar untuk mempertegas bahwa TNI AD tidak berminat dengan program militer profesional yang mensyaratkan perlunya TNI hanya berkonsentarasi pada tugas dan fungsinya yang berhubungan dengan peningkatan: (1) keahlian militernya; (2) kesatuan militernya; (3) tanggung jawab militernya; (4) budaya militernya. Berdasarkan temuan-temuan tersebut akhirnya dapat pula dijawab bahwa posisi Satuan Kowil TNI AD dan fungsi pembinaan teritorialnya pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 masih menolak beralih ke teori tipologi tentara profesional Samuel Huntington. Satuan Kowil TNI AD dan fungsi pembinaan teritorialnya justru berusaha kembali kepada teori tipologi militer profesional revolusioner Burhan D. Magenda dari Amos Perlmuntter setelah lama menganut teori tipologi militer pretorian Eric. A. Nordlinger pada masa Orde Baru yang puncaknya pada teori tipologi tentara profesional pretorian sebagaimana temuan disertasi ini. Satuan Koter TNI AD pada masa Orde Baru yang melaksanakan fungsi non-militer yang mengandung politik praktis namun dengan argumen untuk kelompok dan golongan militer yang didentikkan dengan kepentingan negara dan kepentingan umum yang disebabkan oleh keahlian non-militernya seperti ditunjukkan dalam penampilannya sebagai tentara berbaju sipil merupakan ciri dari teori tipologi tentara profesional pretorian. Berlakunya teori tipologi tentara profesional pretorian dapat pula dicermati dari ciri minat para perwira TNI AD pada masa Orde Baru yang memasuki dunia politik praktis atas dasar kebanggaan profesionalisme non-militernya yang tidak lagi berorientasi pada kepentingan umum. Melainkan untuk kepentingan pribadi dan golongan militer yang ditandai oleh sikapnya yang anti-sosial, anti-demokrasi dan kemanunggalan TNI-Rakyat, seperti tercermin dalam kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi di era Orde Baru. Sementara Satuan Koter TNI AD pada masa Orde

8 Baru yang melaksanakan fungsi non-militer yang mengandung politik praktis untuk sebuah pragmatisme politik militer yang hanya mengandalkan kekerasan seperti dalam penampilannya sebagai pemadam kebakaran, pasukan bedah besi dan birokrat bersenjata merupakan ciri dari teori tipologi tentara profesional pretorian Eric. A. Nordlinger. Pilihan politik Satuan Kowil TNI AD untuk kembali menganut tipologi tentara profesional revolusioner pasca berlaknya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 didasarkan pada pengalaman fungsi non-militernya dalam teori tipologi tentara profesional pretorian pada masa Orde Baru yang di satu sisi memberinya kebanggaan profesional sebagai agen modernisasi dan pembangunan, benteng kokoh untuk menghadang ekspansi komunis sekaligus sebagai pemadam kebakaran, tapi di lain sisi memberinya kemerosotan moral akibat efek negatif dari intervensinya sebagai birokrat bersenjata dan tentara berbaju sipil. Juga pengalaman historis fungsi non-militernya dalam teori tipologi militer profesional revolusioner Burhan D. Magenda pada masa perang revolusi kemerdekaan, masa pergolakan internal; Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin yang telah memberinya otonomi dan esklusifitas. Sedangkan Satuan Kowil TNI AD menolak beralih ke teori tipologi tentara profesional, karena selain teori tipologi ini berpotensi menggangu otonominya dan melucuti esklusifitasnya, juga akan menghilangkan kultur militernya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang telah lama memberinya kebanggaan profesional. Kecederungan TNI untuk mempertahankan kultur militernya sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang yang berisi penolakan terhadap supremasi sipil dapat pula dilihat dari gejala kurangnya minatnya untuk mengembangkan rakyat terlatih dan kurangya dukungan terhadap lahirnya undang-undang wajib militer yang potensial melahirkan tentara rakyat yang profesional melalui program rakyat terlatih. Berdasarkan temuan-temuan penelitian tersebut dapat pula ditegaskan beberapa potensi bahaya yang terkandung di dalam pelaksanaan fungsi nonmiliter Satuan Kowil TNI AD, yaitu;(1) mengingat fungsi non-militer yang dilaksanakan bukan merupakan fungsi pertahanan militer, maka Satuan Kowil TNI AD potensial dihujat kembali bila terdapat eskses negatif dalam

9 pelaksanaannya termasuk ketika masyarakat menghawatirkan pertahanan militer yang tidak mampu memberinya perlindungan dari serangan militer negara musuh. Padahal hujatan terhadap militer justru dapat memicu intervensinya kembali ke dunia politik untuk memperbaiki citra dirinya yang rusak akibat hujatan itu; (2) mengabaikan fungsi pembinaan teritorial berupa pendataan potensi pertahanan dan tentara rakyat terlatih (wajib militer) tidak hanya mengabaikan fungsi pertahanan yang sesungguhnya, namun juga mengundang bencana atau malapetaka bagi masyarakat umum (non-combatan). Kemampuan rakyat berperang melawan negara musuh yang hanya sebatas keahlian menggunakan bambu runcing hanya akan menjadikannya umpan peluru; (3) keterlibatan Satuan Kowil TNI AD dalam melaksanakan fungsi non-militer berupa tugas-tugas pembinaan politik yang menjadi tugas, fungsi, kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam jangka akan merusak ciri profesionalisme sipil. Suasana batin politik masyarakat dan pemerintah daerah yang merasa nyaman dengan fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD selain menghambat progam militer profesional yang dicanangkan oleh otoritas sipil, juga dalam jangka panjang membuat lemah pemerintahan sipil akibat hilangnya kemandirian dan kreativitasnya, serat tidak berkembangnya profesionalismenya yang berakibat pada disfungsionalnya institusi pemerintahan yang khusus menangani bidang itu; (4) fungsi politik praktis yang hilang dalam pelaksanaan fungsi non-militer di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang besifat final dan permanen. Defenisi ancaman yang: (a) sangat luas karena mencakup politik, sosial, budaya, ekonomi, agama dan hubungan luar negeri; (b) pengertian pertahanan yang juga sangat dinamis; (c) kondisi daerah yang sangat bhinneka; (d) kehidupan demokrasi dan demokratisasi yang tidak pasti semuanya dapat memberi peluang munculnya kembali fungsi politik praktis yang ada dalam implemnetasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD Implikasi Penelitian Signifikansi studi ini adalah mengkonfirmasi asumsi teoritis Samuel P. Huntington mengenai dampak keahlian non-militer terhadap minat militer di bidang non-militer. Samuel P. Huntington melihat bahwa keahlian non-militer

10 yang ada dalam jenis tentara profesional justru dapat menjauhkan militer dari tindakan campur tangan dalam politik. Menurut Samuel P. Huntington perlunya para perwira militer memiliki keahlian non-militer, seperti latar belakang kebudayaan umum yang luas dan disiplin ilmu sosial bagi kepakaran militer hanya semata-mata untuk mengatasi masalah dan keputusan di dalam kemiliteran. Sebab, perwira tidak akan dapat mengembangkan kemampuan analisanya, pandangan luasnya, imajinasi dan pertimbangannya seandainya hanya dilatih dalam bidang tugasnya saja. Hasil studi terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengungkap fungsi non-militer yang bukan merupakan fungsi pertahanan menunjukkan tidak berlakunya asumsi teoritis Samuel P. Huntington yang melihat peningkatan keahlian non-militer perwira militer mengurangi minatnya dalam politik (falsifikasi). Tidak dianutnya teori tipologi tentara profesional Samuel P. Huntington oleh Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 justru sangat berkaitan dengan keahlian non-militer yang dimiliki oleh para prajurit teritorial Satuan Kowil TNI AD. Satuan Kowil TNI AD melaksanakan fungsi non-militer justru karena merasa memiliki kompetensi yang berbasis pada keahlian non-militernya. Konsekuensi tidak berlakunya asumsi teroritis Samuel P. Huntington adalah juga tidak berlakunya penegasan Samuel E. Finer, Soedirman, Muh. Hatta dan Onghokham tentang aktivitas, tugas, fungsi dan tujuan tunggal dari tipologi tentara profesional. Menurut Samuel E. Finer, Soedirman, Muh. Hatta dan Onghokham tugas, fungsi dan tujuan tipologi tentara profesional hanya sematamata berfokus pada aktivitas, tugas, fungsi, tujuan militer. Sementara yang terbukti di lapangan adalah adanya implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD yang masih mencakup fungsi non-militer. Penolakan Satuan Kowil TNI AD terhadap teori tipologi militer profesional Samuel P. Huntiongton dapat pula dilihat dari kurangnya minatnya melaksanakan 2 jenis fungsi pembinaan tertorial lainnya, yaitu pendataan potensi pertahanan dan rakyat terlatih (cadangan militer), padahal pendataan potensi pertahanan dan rakyat terlatih justru sangat berkaitan dengan fungsi pertahanan militer. Hal itu

11 membuktikan pula kebenaran pendapat Agus Wijoyo tentang pengertian fungsi teritorial yang sangat luas dan dinamis yang ditandai bukan saja oleh penolakan Satuan Kowil TNI AD meninggalkan ke-14 fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD yang dirumuskan oleh Mabes TNI pada tanggal Agustus 2001, tetapi juga terus dikembangkannya sesuai dengan kemauannya sendiri dengan argumen sesuai kondisi wilayah seperti terbukti dengan ditemukannya pelaksanaan pembinaan masyarakat kumuh dan pembinaan tokoh agama di Provinsi DKI Jakarta. Signifikansi studi ini adalah juga mengkonfirmasi asumsi teoritis S.E Finer, Amos Perlumutter dan Eric A. Nordlinger tentang dampak meningkatnya profesionalisme militer di bidang non-militer. Berdasarkan hasil penelitian dan argumentasinya masing-masing, S.E Finer, Amos Perlumutter dan Eric A. Nordlinger melihat bahwa meningkatnya profesionalisme militer di bidang nonmiliter akan meningkatkan minat militer untuk terlibat ke dalam politik dengan sejumlah maksud dan sebab, seperti: (1) atas nama formulasi kepentingan nasional ; (2) bosan menjadi penjaga malam dan enggan dijadikan pemadam kebakaran ; (3) merasa berkewajiban untuk menyelamatkan persatuan nasional; (4) untuk mengontrol pengambilan dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional; (5) untuk menyelamatkan profesionalismenya; otonomi, keikhlasan, kepakaran dan keahlian mengendalikan kekerasan dari ancaman pihak sipil. Hasil studi terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 menemukan bahwa asumsi teoritis S.E Finer, Amos Perlumutter dan Eric A. Nordlinger tentang potensi keterlibatan militer dalam politik yang disebabkan oleh meningkatnya profesionalisme militer (keahlian nonmiliter) seluruhnya terbukti benar (verifikasi). Setidaknya hal itu tercermin dari implementasi 5 jenis fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI yang mencakup tugas dan fungsi pemerintah daerah yang menjadi fokus penelitian ini. Keahlian atau pengetahuan non-militer Satuan Kowil TNI AD yang semula hanya dipersiapkan untuk kebutuhan militer, seperti pengetahuan yang berkaitan dengan intelijen militer, organisasi dan birokrasi militer, logistik militer, teritorial militer, perencanaan militer, kesekretariatan, pengumpalan/pengolahan

12 data militer, penerangan militer, mental militer, kesehatan militer, jasmani militer, perbekalan/angkutan militer, keuangan militer, topografi militer, perhubungan militer, zeni militer dan peralatan militer, serta pengetahuan tentang psykologi, sejarah, politik, administrasi, manajemen, kepempinan dan lain-lain semuanya menjadi dasar kompetensi bagi keterlibatannya dalam melaksanakan tugas dan fungsi non-militer yang sudah menjadi tugas, fungsi, kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh keikutsertaannya dalam lembaga ekstra-parlemen daerah, yaitu Muswarah Pimpinan Kota (Muspiko) untuk mengontrol dan memastikan kebijakan yang diusulkan dilaksanakan dan tidak mengganggunya. Bahkan dasar kompetensi itu semakin menguat karena mendapat dukungan dari kultur militernya yang revoluioner dan tidak mengakui supremasi sipil sebagaimana tercermin dalam Jati Diri-nya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang profesional yang sangat mengakar dalam doktrin TNI Tri Dharma Eka Putra dan doktrin TNI AD Kartika Eka Paksi. Konsekuensi dari tidak berlakunya asumsi teoritis Samuel P. Huntington tentang keahlian non-militer yang ada dalam jenis tentara profesional yang dapat menjauhkan militer dari tindakan campur tangan dalam politik, dan berlakunya asumsi teoritis S.E Finer, Amos Perlumutter dan Eric A. Nordlinger tentang potensi keterlibatan militer dalam politik yang disebabkan oleh meningkatnya profesionalisme militer perwiranya adalah adanya dua konsekuensi implikasi teoritis, yaitu: (1) berlakunya teori tipologi tentara profesional revolusioner Burhan D. Magenda dari Amos Perlmutter pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004; (2) tidak berlakunya teori tipologi tentara pretorian Eric A. Norlinger pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sebagaimana yang diungkap dalam menelitian ini. Hasil studi terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengungkap fungsi non-militer yang tidak lagi mengandung politik praktis dan fungsi non-militer itu bukan merupakan fungsi pertahanan militer menunjukkan berlakunya teori tipologi tentara profesional revolusioner Burhan D. Magenda dari Amos Perlmutter. Satuan Kowil TNI AD

13 melaksanakan fungsi non-militer yang tidak lagi (1) mengandung politik praktis dan (2) bukan merupakan fungsi pertahanan militer merupakan ciri dari teori tipologi tentara profesional revolusioner Burhan D. Magenda dari Amos Perlmutter yang disebabkan oleh keahlian non-militernya yang berdasar pada kultur militernya yang revolusioner dan tidak mengakui supremasi sipil. Berlakunya kembali tipologi tentara profesional revolusioner Burhan D. Magenda dari Amos Perlmutter pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dapat dicermati dari dasar argumennya dalam melaksanakan fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta yang selalu dikaitkan dengan ciri kultur militernya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional profesional yang diperolehnya dari awal-awal pembentukannya dan pengalaman revolusionernya. Oleh karena itu implikasi teoritis yang dihasilkan dari temuan studi ini adalah depolitisasi militer di Satuan Kowil TNI AD tetap memberi jalan dianutnya teori tipologi militer profesional Samuel P. Huntington bila terdapat kultur militer yang sudah mengakui supremasi sipil. Implikasi teoritis lainnya adalah militer yang menganut teori tipologi tentara profesional revolusioner pada awal pembentukannya cenderung berkembang mengikuti pola lingkaran dan atau menolak pola garis lurus. TNI berkembang berturut-turut dari; (1) teori tipologi tentara profesional revolusioner Burhan D. Magenda pada awal masa revolusi dan masa pergolakan internal; (2) kemudian menganut tipologi tentara pretorian Eric. Nordlinger di awal-awal dan pertengahan Orde Baru; (3) lalu berkembang menganut teori tipologi baru berupa tentara profesional pretorian terutama di periode penghujung Orde Baru; (4) hingga akhirnya kembali lagi menganut teori tipologi tentara profesional revolusioner setelah dihujat akibat intevensinya yang anti-sosial dan anti-politik, serta menolak menganut teori tipologi tentara profesional Samuel P. Huntington. Berdasarkan temuan-temuan dan implikasi teoritis yang telah disebutkan itu, studi ini mengajukan suatu asumsi teoritis baru, yaitu: bahwa militer yang sejak lahirnya menganut tipologi tentara revolusioner profesional lalu kemudian menganut tipologi tentara pretorian dan terjebak ke dalam tipologi tentara profesional pretorian sangat sulit melakukan depolitisasi militer dan cenderung

14 kembali ke tentara profesional revolusioner ketimbang berlanjut ke tipologi militer profesional. Kesulitan depolitisasi militer dan kecenderungan Satuan Kowil TNIAD kembali ke tipologi militer profesional revolusioner disebabkan oleh keahlian non-militernya dan nilai-nilai revolusioner yang ada dalam kultur militernya. Keahlian non-militernya dan Jati Diri-nya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang sudah menjadi bagian dari kultur militernya sebagaimana tercermin dalam doktrin TNI Tri Drama Eka Putra, doktrin TNI AD Kartika Eka Paksi dan Sapta Marga TNI, membuatnya menolak menganut tipologi militer profesional Samuel P. Huntington dengan alasan konsep profesionalismenya berbeda dengan konsep profesionalisme yang dalam tipologi militer profesional Samuel P. Huntington. Studi ini juga mengajukan perspektif teoritis baru dalam konteks depolitisasi militer, yaitu: (1) meskipun depolitisasi militer dalam fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD merupakan upaya sulit, namun fungsi non-militer tetap dapat diatasi dengan cara menyalurkan keahlian non-militer atau profesionalisme non-militer ke dalam misi kemanusian (civic mission) dan misi perdamaian (peace keeping); (2) meskipun penyaluran keahlian non-militer atau profesionalisme non-militer ke dalam misi kemanusian (civic mission) dan misi perdamaian (peace keeping) dapat mempermudah depolitisasi militer, namun dapat berakibat pada kebosanan militer sebagai penjaga malam yang dapat membuatnya kembali menganut teori tipologi tentara profesional pretorian; (3) kultur militer berupa Jati Diri TNI berpengaruh signifikan dalam impelementasi fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD berupa pelaksanaan fungsi non-militer di satu sisi, dan lemahnya fungsi pertahanan militer yang dihasilkannya di sisi lain. Meskipun demikian perspektif teoritis baru itu juga melahirkan implikasi teroritis lain bagi militer Indonesia ke depan, yaitu potensi intervensi militer yang kembali mengarah ke teori tipologi tentara profesional pretorian bila otoritas sipil gagal memerintah dengan cakap dan tidak mengembangkan tentara rakyat yang profesional melalui wajib militer. Oleh karena itu jika teori tipologi militer profesional ingin dianut, maka depolitisasi militer mensyaratkan perlunya penghilangan seluruh fungsi non-militer TNI AD yang tidak berkaitan dengan fungsi kemanusiaan; misi sipil (civic mission) dan misi perdamaian (peace

15 keeping). Pilihan kebijakan depolitisasi militer yang dapat diambil untuk membebaskan TNI dari fungsi non-militer sekaligus menjadikan TNI AD sebagai organ militer profesional, yaitu: (1) menciptakan tentara reguler profesional yang kecil sambil mengembangkan tentara rakyat profesional melalui wajib militer; (2) mengubah Satuan Kowil TNI AD menjadi Komando Wilayah Pertahanan Militer Darat (Kowilhanrat) yang langsung membawahi pasukan-pasukan tempur Angkatan Darat yang organisair oleh Korem dengan terlebih dahulu mengubah Korem menjadi Komando Daerah Pertahanan Militer Darat (Kodahanrat). Fungsionalisasi Kowilhanrat dan Kodahanrat sebagai organ militer adalah melaksanakan fungsi pertahanan militer berupa membinaan pasukan-pasukan tempur reguler, pembinaan pasukan cadangan militer, pembinaan rakyat terlatih yang siap di gerakkan untuk melaksanakan fungsi pertempuran militer; Namun jika teori tipologi militer profesional revolusioner tetap ingin dipertahankan, maka pilihan kebijakan depolitisasi militer yang dapat diambil yaitu: (1) tetap mempertahankan Kodam dan Korem disertai pengembalian seluruh fungsi non-militer yang tidak berkaitan dengan fungsi pertahanan militer ke pemerintah sebagai pemilik ilmiah dan alamiah; (2) menghapus Kodim, Koramil dan Babinsa. Sejumlah alasan yang mendasarinya; (a) fungsi politik praktis yang sudah hilang itu tidak bersifat final dan permanen. Fungsi politik praktis Satuan Kowil TNI AD hilang manakala demokrasi Maswadi Rauf dan demokrasitasasi Geryy van Klinken dan Georg Sorensen menguat, dan sebaliknya akan muncul kembali bila demokrasi Maswadi Rauf dan demokrasitasasi Geryy Van Klinken dan Georg Sorensen kembali melemah; (b) secara teoritik mengandung duplikasi kekuasaan dan kewenangan. Struktur yang berbeda namun menjalankan fungsi yang sama potensial tumpang tindih, berkompetisi tidak sehat dan berkonflik yang disebabkan oleh kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya; (c) Kodim dan Koramil, Babinsa bukan organ militer profesional; (d) semua fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD tidak termasuk ke dalam kategori tugas-tugas kemanusian; misi sipil (civic mission) dan misi perdamaian (peace keeping) yang memang diakui dunia internasional sebagai tugas tambahan militer; (e) fungsi dan karier militer yang ada di Kodim, Koramil dan Babinsa dapat memperkuat dan dibina di Kodam dan Korem.

16 Mengenai tidak ditemukannya lagi tugas dan fungsi politik praktis dalam implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI nomor 34 Tahun 2004, hal itu tidak dapat dilihat sebagai hal yang bersifat final dan permanen. Sebab, potensi fungsi politik praktis dalam implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD sangat ditentukan oleh kontrol sipil. Bagaimana pun juga fungsi politik praktis Satuan Kowil TNI AD akan menguat bila kontrol sipil atas militer dan supremasi sipil kembali melemah sejalan dengan melemahnya demokrasi dan demokratisasi.

17 Namun yang lebih penting dari semua argumen tersebut adalah semua fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 merupakan tugas dan fungsi Pemerintah Kota/Provinsi DKI Jakarta. Namun demikian TNI multi fungsi sebagaimana tercermin dalam fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD ternyata membawa beban tersendiri yang mungkin tidak disadari oleh pihak sipil-militer. Disadari atau tidak didasari profesionalisme ganda dan penumpukan kekuasaan seperti yang ditunjukan oeh fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD telah menyulitkan posisi TNI beranjak dari tipologi militer revolusioner profesional ke tipologi militer profesional. Padahal gagasan militer profesional sudah diterima luas oleh seluruh lapisan masyarakat sipil terutama elemen masyarakat pro-demokrasi, pro-reformasi dan pro-militer profesioanl teremasuk di internal TNI sendiri. Satuan Kowil TNI AD multi fungsi yang memiliki kekuasaan ganda berupa kekuasaan militer dan kekuasaan non-militer juga telah menyulitkan TNI AD menunaikan fungsi militernya. Pembinaan kekuatan militer untuk pertempuran yang tidak dapat dijalankan oleh lembaga lain tidak dapat berkembang dengan baik akibat tugas-tugas pokok tambahan yang mestinya diserahkan kepada instusi sipil yang kompeten. Profesionalisme ganda dan penumpukan kekuasaan selain memperlambat profesionalisme militer, juga mempersulit perkembangan profesinalisme sipil. Berdasarkan temuan penelitian sejumlah alasan mengapa Satuan Kowil TNI AD Hal itu dapat dilihat dari tesis Michael C. Desch, Harold D. Laswell dan Stanislaw Andreski yang semuanya tidak berlaku di TNI. Implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 di Provinsi DKI Jakarta yang memperlihatkan bahwa kontrol sipil atas militer justru dipengaruhi oleh demokrasi, dan bukannya lingkungan struktural membuktikan tidak berlakunya tesis Michael C. Desch yang melihat kontrol sipil atas militer dipengaruhi oleh lingkungan struktural dan bukannya dipengaruhi oleh demokrasi. Implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 di Provinsi DKI Jakarta yang memperlihatkan bahwa

18 lingkungan ancaman internasional yang berbahaya dan menantang maupun lingkungan internasional yang lebih damai (perang dingin) tidak mempengaruhi kontrol sipil atas militer membuktikan tidak berlakunya tesis Harold D. Laswell yang melihat militer akan lebih sulit dikontrol dalam lingkungan ancaman internasional yang berbahaya dan menantang ketimbang di dalam lingkungan internasional yang lebih damai. Juga implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD pada masa perang kemerdekaan tahun membuktikan tidak berlakunya tesis Stanislaw Andreski yang melihat adanya hubungan terbalik antara ancaman eksternal dan kontrol sipil atas militer. Adanya temuan penelitian berupa pelaksanaan pembinaan tokoh masyarakat dan pembinaan masyarakat kumuh di Provinsi DKI Jakarta menujukkan bahwa implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD Pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 justru semakin luas dan dinamis penafsirannya karena masih mencakup fungsi pembinaan keamanan wilayah, pembinaan potensi pertahanan dan terwujudnya kemanunggalan TNI-Rakyat. Padahal kedua bentuk pembinaan itu tidak termasuk ke dalam 16 fungsi pembinaan teritorial yang dirumuskan Mabes TNI pada workshop tanggal Agustus Hal itu menunjukkan pula bahwa Satuan Kowil TNI AD dapat menafsirkan fungsi pembinaan teritorial sesuai kemauannya sendiri dengan dasar argumen kondisi wilayah. UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 menetapkan tugas pokok TNI mencakup tiga hal, yaitu: (1) menjaga kedaulatan negara; (2) mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (3) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam melaksanakan ketiga tugas pokok TNI itu, TNI AD dapat melakukan dua bentuk gelar kekuatan, yaitu: (1) operasi

19 militer untuk perang; (2) operasi militer selain perang. Kedua bentuk gelar kekuatan yang juga dapat dilakukan oleh Satuan Kowil TNI AD memperlihatkan empat kategori fungsi Satuan Kowil TNI AD, yaitu: (1) fungsi militer yang terdiri dari fungsi pertempuran dan fungsi pertahanan militer; (2) fungsi politik untuk mendukung fungsi militer; (3) fungsi sosial (missi sipil) yang terdiri dari fungsi kemanusian; (4) fungsi perdamaian (misi perdamaian) yang terdiri dari fungsi penengah konflik. Fungsi pertempuran militer bertujuan untuk memenangkan perang melawan militer negara musuh atau melawan militer kelompok separatis. Sedangkan fungsi pertahanan militer adalah untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman militer negara musuh atau ancaman militer kelompok bersenjata, seperti gerakan separatisme. Kedua fungsi militer itu secara organik melekat dalam Satuan Kowil TNI AD yang ditandai oleh kehadiran Satuan Tempur di tingkat Kodam dan Tingkat Korem yang siap melakukan fungsi pertempuran dan fungsi pertahanan militer. Sedangkan fungsi non-militer adalah fungsi politik yang merupakan perwujudan dari tugas TNI AD memberdayaan wilayah pertahanan di darat dalam rangka mendukung sistem pertahanan semesta. Fungsi ini secara organik melekat dalam Satuan Kowil TNI AD mulai dari tingkat Kodam hingga tingkat Koramil/Babinsa. Oleh karana pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD pengertiannya masih sangat luas dan dinamis seperti yang ditegaskan oleh Agus Wijodjo. Sementara kategori fungsi lainnya, yaitu fungsi politik praktis untuk kepentingan kelompok militer yang secara organik melekat dalam konsep dwifungsi ABRI seperti yang marak di era Orde Baru tidak lagi ditemukan dalam implementasi fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun Metode dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru berupa fungsi pembinaan teritorial Satuan Koter TNI AD menunjukkan adanya fungsi politik praktis TNI AD yang dilaksanakan dengan menggunakan lembaganya sendiri, yaitu Satuan Koter TNI AD. Fungsi politik TNI ini telah dihapus oleh pihak otoritas sipil sejak tahun 1999 melalui kebijakan depolitisasi militer.

20 Tesis Eric A. Norlidenger yang melihat adanya hubungan antara tingkat kepakaran dan kemungkinan intervensi atau campur tangan tidak berlaku di Satuan Kowil TNI AD. Implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 di Provinsi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa meskipun fungsi pembinaan behubungan dengan tingkat kepakaran militer akan tetapi keterlibatannya dalam melaksanakan fungsi dan tugas pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan karena atas dasar intervensi campur tangan. Keterlibatan Satuan Kowil TNI AD dalam melaksanakan fungsi dan tugas pemerintah Provinsi DKI Jakarta selain karena mengacu pada UU Pertahanan Nomor 3 tahun 2002 dan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, juga atas dasar kerjasama dengan pihak pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 di Provinsi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan terbalik antara ancaman eksternal dan kontrol sipil atas militer. Kontrol sipil atas militer kuat bukan karena faktor ancaman eksternal berupa meningkatnya ketegangan hubungan Indonesia dengan Malaysia, melainkan karena faktor demokrasi dan demokratisasi yang semakin membaik. Penelitian ini menemukan bahwa tesis Stanislaw Andreski yang melihat bahwa dari sudut pandang jangka panjang tampaknya ada hubungan terbalik antara perang besar dengan pretorianisme ternyata tidak terbukti. Sebab-sebab pretorianisme di Indonesia dalam kurun waktu tahun tidak berkaitan dengan perang besar, melainkan citra negatif pihak sipil di mata militer yang mencapai puncaknya pada penemuan sebuah konsep konflik sipil-militer berupa dwifungsi ABRI. Tidak adanya pretorianisme pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sejalan dengan terbangunnya citra positif pihak sipil di mata militer. Tesis Stanislaw Andreski yang melihat adanya hubungan terbalik antara ancaman ekternal dan pretorianisme militer tidak terbukti. Menurut Stanislaw Andreski pretorianisme militer rendah bila terdapat ancaman eskternal yang tergolong tinggi dan ancaman internal yang tergolong rendah, dan sebaliknya pretorianisme militer tinggi jika terdapat ancaman eskternal yang tergolong rendah dan ancaman internal yang juga tergolong rendah. Sementara di Indonesia

21 dua era yang berbeda sama-sama tetap memperlihatkan banyak pretorianisme, yaitu: (1) era dimana ancaman eskternal yang tergolong tinggi dan ancaman internal yang tergolong rendah; (2) era dimana ancaman eskternal yang tergolong rendah dan ancaman internal yang juga tergolong rendah. Sebab-sebab pretorianisme di Indonesia tidak berkaitan dengan persepsi tingkat ancaman eksternal dan ancaman internal. Pretorianisme yang berlangsung sejak tahun sangat dipengaruhi oleh persepsi negatif pihak militer terhadap pihak sipil yang sudah terbangun sejak proses pembentukan badan militer tahun 1945 dan pilihan strategi dalam penghadapi angresi Belanda tahun , serta program restrukturisasi dan rasionalisasi (RERA) di era Kabinet Amir Syarifuddin dan Muh. Hatta. Begitu pula tidak adanya pretorianisme militer dalam implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, hal itu tidaklah berkaitan dengan tinggi rendahnya ancaman eksternal dan ancaman internal. Melainkan karena faktor kebijakan depolitisasi militer yang tidak lagi memberi peluang bagi keterlibatan militer dalam dunia politik praktis. Kebijakan depolitisasi militer yang diputuskan oleh pihak sipil dan militer selain untuk mengakhiri keterlibatan militer dalam politik praktis, juga untuk membangun militer profesional. Asumsi teoritis Michael C. Desch yang melihat bahwa prospek demokrasi dan demokratisasi yang berhasil di daerah-daerah lainnya di seluruh dunia terkait dengan kontrol sipil atas militer yang memadai tidak berlaku. Michael C. Desch melihat prospek demokrasi dan demokratisasi yang berhasil merupakan produk dari kontrol sipil atas militer yang memadai. Sementara yang terjadi pada tahun justru sebaliknya, yaitu kontrol sipil atas militer yang memadai merupakan produk dari prospek demokrasi dan demokratisasi yang berhasil dimana militer juga berkontribusi di dalamnya. Hilangnya pretorianisme militer pada tahun sejalan dengan bergulirnya kebijakan depolitisasi militer setelah penghapusan kekaryaan organik dan non-organik, serta implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD yang tidak lagi mencakup fungsi politik praktis merupakan akibat langsung dari menguatnya kontrol sipil atas militer. Namun kontrol sipil yang

22 kuat atas militer yang merupakan perwujudan dari supremasi sipil dapat dikatakan hanyalah merupakan produk samping dari proses demokrasi dan demokratisasi yang mengalami kemajuan. Sebab, produk utama dan yang pertama dari proses demokrasi dan demokratisasi yang mengalami kemajuan adalah kebijakan depolitisasi militer, bukan kontrol sipil atas militer. Kontrol sipil atas militer yang memadai pada tahun justru merupakan produk dari prospek demokrasi dan demokratisasi yang relatif berhasil. Sebab, implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta yang tidak lagi menyentuh wilayah politik praktis justru mengacu pada kebijakan depolitasi militer yang merupakan produk demokrasi dan demoktarisasi. Dengan katan lain kontrol sipil atas militer yang memadai dan supremasi sipil adalah produk demokrasi dan demokratisasi yang dimulai dari kebijakan depolitisasi militer. Pretorianisme militer yang hilang dalam implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI selama kurun waktu berkaitan erat dengan keberhasilan sipil-militer mencapai konsensus tentang program militer profesional melalui kebijakan depolitisasi militer.

23 Kelompok Militer Pro-Demokrasi 1. Seskoad Paper tahu No. Nama Kelompok Tahun Isu 1. Seskoad Paper 1978 Dominasi militer dalam politik dan ABRI yang dekat Glkar 2. Forum Studi dan 1978 Penegakan demokrasi Komunikasi (Fosko) TNI AD 3. Widodo Paper 1981 Dominasi ABRI dalam Politik

24 4. Petisi 50 Reformasi ekonomi dan politik Mengenai tidak ditemukannya lagi tugas dan fungsi politik praktis dalam implemntasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI nomor 34 Tahun 2004, hal itu tidak dapat dilihat sebagai hal sudah bersifat final dan permanen. Sebab, potensi fungsi politik praktis dalam implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD sangat ditentukan oleh kontrol sipil. Fungsi politik praktis Satuan Kowil TNI AD akan menguat bila kontrol sipil atas militer dan supremasi sipil kembali melemah sejalan dengan melemahnya demokrasi dan demokratisasi. Namun yang lebih penting dari semua argumen tersebut adalah semua fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 merupakan tugas dan fungsi pemerintah daerah. Fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD tidak dapat dilepaskan dari pengaruh fungsi teritorial militer Belanda (KNIL) dan fungsi gerilya militer Jepang (PETA/Heiho). Pengaruh Koter KNIL terhadap Satuan Kowil TNI AD yang melihat ancaman internal lebih berbahaya dibanding ancaman eksternal masuk melalui perwira didikan KNIL, Abdul Haris Nasution. Sedangkan pengaruh fungsi gerilya militer Jepang terhadap Satuan Kowil TNI AD yang memandang ancaman eksternal lebih berbahaya dibanding ancaman internal masuk melalui perwira didikan PETA/Heiho, Soedirman. Akibat pengaruh fungsi teritorial militer Belanda (KNIL) dan fungsi gerilya militer Jepang (PETA/Heiho) membuat Koter TNI AD bentukan Abdul Haris Nasution dan Soedirman harus melihat ancaman internal dan eksternal sama-sama berbahaya. Pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia, Satuan Koter TNI AD melaksanakan fungsi militer dan fungsi teritorial dalam menghadapi ancaman ekternal berupa pendudukan militer Sekutu. Namun kekuatan militer Sekutu yang tampak lebih kuat dibanding militer Indonesia membuat fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD lebih menonjol dibanding fungsi militernya. Fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD pada saat itu lebih difokuskan kepada fungsi pembinaan wilayah untuk potensi pertahanan dan perlawanan militer. Melalui pembinaan fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD, TNI AD memobilisasi

25 seluruh sumber daya yang ada di daerah terutama yang dimiliki oleh masyarakat untuk menghadapi ancaman eksternal, yaitu militer Sekutu. Berikutnya, pada pasca revolusi, fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD masih tetap menonjol dibanding fungsi militer. Namun pada masa ini fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD lebih difokuskan untuk menghadapi meningkatnya ancaman internal berupa pemberontakan daerah (separatisme) seiring menurunnya ancaman eksternal. Fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD diarahkan untuk mengadai pemberontakan daerah yang dipimpin oleh para perwira TNI AD yang tidak puas terhadap TNI dan pemerintah pusat. Implementasi fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD yang menonjol pada masa ini adalah tetap pada fungsi pembinaan wilayah untuk memperkuat integrasi teritorial dalam rangka menghadang gerakan separatisme. Selanjutnya, fungsi pembinaan teritorial Satuan Koter TNI AD terus dipertahankan hingga pada masa Orde Baru. Namun fungsi pembinaan teritorial pada masa Orde Baru tidak lagi terfokus pada fungsi pembinaan potensi pertahanan dan perlawanan untuk menghadapi ancaman internal. Sebab, pemberontakan daerah yang marak dapat dikatakan telah berakhir. Meskipun demikian argumen pelaksanaan fungsi pembinaan teritorial Satuan Koter TNI pada masa Orde Baru tetap mencakup ancaman komunisme dan separatisme, serta lokalisme atau primordialisme seperti SARA yang oleh TNI AD dilihatnya sebagai ancaman nyata yang sangat berbahaya. Gerakan separatisme bersenjata seperti RMS di Maluku, GAM di Aceh dan OPM di Irian, serta gerakan komunisme tetap menjadi dasar legitimasi bagi pelaksanaan fungsi pembinaan teritorial TNI AD pada masa Orde Baru. Namun yang sangat menonjol dalam implementasi fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD pada masa Orde Baru adalah fungsi pembinaan politik untuk menjaga stabilitas politik rezim Soeharto dari ancaman para oposisi. Pelaksanaan kedua fungsi itu merupakan penjabaran dari konsep dwifungsi ABRI sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU Pertahanan Nomor 20 Tahun 1982 dan UU Prajurit ABRI Nomor 2 Tahun Sehingga implementasi fungsi teritorial Satuan Koter TNI AD pada masa Orde Baru memiliki kemiripan dengan implementasi fungsi pembinaan teritorial Koter KNIL, yaitu sama-sama agar penyelenggaraan kekuasaan negara dapat berjalan tanpa ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dari segala anasir-anasir domestik terutama ancaman ketidakpuasan masyarakat dan para oposisi loyal. Penyempurnaan konsep dwifungsi ABRI berupa kekaryaan dan pembinaan teritorial pada hakekatnya merupakan rangkaian perjuangan panjang militer untuk melengkapi keberhasilannya setelah sukses mendapatkan legitimasi historis dan legitimasi politis. Legitimasi historis fungsi pembinaan teritorial Satuan Koter TNI AD diperoleh setelah TNI sukses mendekatkan sejarah kelahirannya, 5 Oktober 1945, dengan sejarah kelahiran negara Republik Indonesia, 17 Agustus Padahal sejarah kelahiran TNI sesungguhnya 3 Juni 1947, di samping sejarah kelahiran Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kontroversial itu; TKR versi PETA (5 Oktober 1945) dan TKR versi KNIL (15 Oktober 1945). Sedangkan legitimasi politik fungsi pembinaan teritorial Satuan Koter TNI AD diperoleh dengan cara memasukkan sejarah fungsi BKR sebagai bagian dari sejarah TNI. Padahal kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kelahiran dan perkembangan TNI tidak ada kaitannya dengan BKR. Sejarah TNI yang

PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA

PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA Materi Kuliah Sistem Politik Indonesia [Sri Budi Eko Wardani] Alasan Intervensi Militer dalam Politik FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL 1. Nilai dan orientasi perwira

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer.

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer. BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan Militer Indonesia merupakan kasus yang menarik bagi studi mengenai Militer dan Politik. Selain keterlibatan dalam sejarah kemerdekaan, selama tiga dekade militer Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP Bab ini bertujuan untuk menjelaskan analisa tesis yang ditujukan dalam menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan hipotesa. Proses analisa yang berangkat dari pertanyaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Latar belakang TNI sebagai kekuatan Sosial Politik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER 145 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA (Studi Tentang Kebijakan Dwifungsi ABRI Terhadap Peran-peran Militer di Bidang Sosial-Politik

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya lahir dalam kancah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya lahir dalam kancah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA Disusun Oleh: I Gusti Bagus Wirya Agung, S.Psi., MBA UPT. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA U N I V E R S I T A S U D A Y A N A B A L I 2016 JUDUL: PENDIDIKAN

Lebih terperinci

SEJARAH DAN PENGARUH MILITER DALAM KEPEMIMPINAN DI INDONESIA

SEJARAH DAN PENGARUH MILITER DALAM KEPEMIMPINAN DI INDONESIA SEJARAH DAN PENGARUH MILITER DALAM KEPEMIMPINAN DI INDONESIA Latar belakang Sejarah awal terbentuknya bangsa Indonesia tidak lepas dari peran militer Terdapat dwi fungsi ABRI, yaitu : (1) menjaga keamanan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 3-2002 lihat: UU 1-1988 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 51, 1982 (HANKAM. POLITIK. ABRI. Warga negara. Wawasan Nusantara. Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cikal bakal lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada awal

BAB I PENDAHULUAN. Cikal bakal lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada awal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat mempertahankan kemerdekaan, banyak orang Indonesia berjuang untuk membentuk pasukan mereka sendiri atau badan perjuangan Masyarakat. Tradisi keprajuritan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 121 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Pada bab terakhir ini, peneliti akan memaparkan mengenai kesimpulan dan rekomendasi dari penulisan skripsi yang berjudul " Refungsionalisasi Tentara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. strategis guna menghadapi tantangan tugas ke depan. Sistem pertahanan negara

BAB I PENGANTAR. strategis guna menghadapi tantangan tugas ke depan. Sistem pertahanan negara 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Peran Koramil dalam proses pemberdayaan wilayah pertahanan sangat strategis guna menghadapi tantangan tugas ke depan. Sistem pertahanan negara Indonesia yang menganut

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. samapta dalam rangka proses regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI AD.

BAB I PENGANTAR. samapta dalam rangka proses regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI AD. 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan pendidikan bagi meningkatkan prajurit TNI AD bertujuan untuk kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan jasmani yang samapta dalam rangka proses regenerasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deklarasi terhadap pembentukan sebuah negara yang merdeka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pembentukan struktur atau perangkatperangkat pemerintahan

Lebih terperinci

MARKAS BESAR TENTARA NASIONAL INDONESIA Tim Teknis PWP dalam KLH

MARKAS BESAR TENTARA NASIONAL INDONESIA Tim Teknis PWP dalam KLH RAKOTER TNI TAHUN 2009 Tema Melalui Rapat Koordinasi Teritorial Tahun 2009 Kita Tingkatkan Pemberdayaan Wilayah Pertahanan di Jajaran Komando Kewilayahan TNI CERAMAH KETUA TIM TEKNIS KETAHANAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka menyikapi permasalahan yang muncul di wilayah binaan pada era reformasi pembina teritorial pada hakekatnya adalah segala unsur potensi wilayah geografi,

Lebih terperinci

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

METHODE. 1. Pembinaan Bakti TNI. a. Bakti TNI adalah :

METHODE. 1. Pembinaan Bakti TNI. a. Bakti TNI adalah : METHODE 1. Pembinaan Bakti TNI. a. Bakti TNI adalah : 1) Pengertian umum. Dharma Bakti TNI dalam perjuangan bangsa untuk mewujudkan cita-cita nasional. 2) Pengertian khusus. Pelibatan TNI sebagai komponen

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru

BAB I PENGANTAR. Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi membawa banyak perubahan pada hampir segala bidang di Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru menyebabkan arus informasi

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013 Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PRASETYA PERWIRA TENTARA NASIONAL INDONESIA

Lebih terperinci

Bab II Perawatan Kendaraan Tempur di Lingkungan TNI AD

Bab II Perawatan Kendaraan Tempur di Lingkungan TNI AD Bab II Perawatan Kendaraan Tempur di Lingkungan TNI AD Angkatan Darat merupakan bagian dari sistem pertahanan darat yang dimiliki TNI dan mengambil peran yang tetap di wilayah pertahanan darat, oleh sebab

Lebih terperinci

KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI SISHANKAMRATA SEBAGAI SISTEM PERTAHANAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN SKRIPSI.

KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI SISHANKAMRATA SEBAGAI SISTEM PERTAHANAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN SKRIPSI. KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI SISHANKAMRATA SEBAGAI SISTEM PERTAHANAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-1998 SKRIPSI Oleh : Rizki Agung Novariyanto NIM. 050210302228 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

Lebih terperinci

Amanat Presiden RI pada Peringatan HUT TNI Ke-64, Senin, 05 Oktober 2009

Amanat Presiden RI pada Peringatan HUT TNI Ke-64, Senin, 05 Oktober 2009 Amanat Presiden RI pada Peringatan HUT TNI Ke-64, 05-10-09 Senin, 05 Oktober 2009 Â AMANAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERINGATAN HARI ULANG TAHUN TNI KE-64 DI MABES TNI, CILANGKAP, JAKARTA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sosial. Didalamnya sekaligus terkandung makna tugas-pekerjaan yang harus

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sosial. Didalamnya sekaligus terkandung makna tugas-pekerjaan yang harus 1 2 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa ini dengan tujuan yang sangat mulia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

Program Sasaran

Program Sasaran 1. Penguatan Lembaga Legislastif (DPR) Pasca-Amandemen UUD 1945 a. Fungsi: DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan [Pasal 20A (1)**]. b. Hak: DPR mempunyai hak interpelasi,

Lebih terperinci

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Gerakan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di wilayah Aceh, Papua, dan Maluku merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika sejarah terletak pada kemampuan untuk memandang dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Gerakan Dewan Banteng meledak pada tanggal 15 Februari 1958 dengan

BAB V KESIMPULAN. Gerakan Dewan Banteng meledak pada tanggal 15 Februari 1958 dengan BAB V KESIMPULAN Gerakan Dewan Banteng meledak pada tanggal 15 Februari 1958 dengan diumumkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai wujud protes atau koreksi Sumatera Tengah terhadap

Lebih terperinci

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL ANATOMI KEAMANAN NASIONAL Wilayah Negara Indonesia Fungsi Negara Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap negara, apapun ideologinya, menyeleng garakan beberapa fungsi minimum yaitu: a. Fungsi penertiban

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN KETAHANAN NASIONAL DAN POLITIK STRATEGI NASIONAL. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

KEWARGANEGARAAN KETAHANAN NASIONAL DAN POLITIK STRATEGI NASIONAL. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika KEWARGANEGARAAN Modul ke: KETAHANAN NASIONAL DAN POLITIK STRATEGI NASIONAL Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan

Lebih terperinci

ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1

ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1 ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1 LANDASAN KONSTITUSIONAL Sebagaimana ditentukan dalam Alinea ke-iv Pembukaan UUD 1945, tujuan pembentukan Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR VII/MPR/2000 TENTANG PERAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DAN PERAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pertahanan

Lebih terperinci

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA

Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA Oleh: DEPUTI VI/KESBANG KEMENKO POLHUKAM RAKORNAS FKUB PROVINSI DAN KAB/KOTA SE INDONESIA Jakarta, 6 Oktober 2016 VISI KABINET KERJA: TERWUJUDNYA INDONESIA YANG BERDAULAT, MANDIRI DAN BERKEPRIBADIAN BERLANDASKAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pertahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945

I. PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 diantaranya melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lebih terperinci

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA

BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA BERSATU MENGATASI KRISIS BANGKIT MEMBANGUN BANGSA Oleh : PROF. DR. 1 TERIMA KASIH ATAS UNDANGAN UNTUK MENGIKUTI TEMU NASIONAL ORMAS KARYA KEKARYAAN GAGASAN TENTANG UPAYA MENGATASI KRISIS DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

Presiden Menekankan TNI Dilahirkan dari Rahim Rakyat Senin, 05 Oktober 2015

Presiden Menekankan TNI Dilahirkan dari Rahim Rakyat Senin, 05 Oktober 2015 Presiden Menekankan TNI Dilahirkan dari Rahim Rakyat Senin, 05 Oktober 2015 Sejarah mencatat bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilahirkan dari â rahimâ rakyat. Panglima Besar Jenderal Soedirman menyatakan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

2015 DAMPAK DOKTRIN BREZHNEV TERHADAP PERKEMBANGAN POLITIK DI AFGHANISTAN

2015 DAMPAK DOKTRIN BREZHNEV TERHADAP PERKEMBANGAN POLITIK DI AFGHANISTAN 1 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Setelah berakhirnya perang dunia kedua, muncul dua kekuatan besar di dunia yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Kedua negara ini saling bersaing untuk

Lebih terperinci

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Kasus separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengancam integritas Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Sebagai bagian dari agenda untuk mewujudkan kondisi aman dan damai, upaya secara komprehensif mengatasi dan menyelesaikan permasalahan separatisme yang telah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dari pembahasan yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dari pembahasan yang BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dari pembahasan yang telah dikemukakan. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari pertanyaanpertanyaan penelitian

Lebih terperinci

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perjuangan Pengertian perjuangan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan, yang dilakukan dengan menempuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka pada tahun 1950 KNIL dibubarkan. Berdasarkan

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pd Farewell Presiden dg Perwira dan Prajurit TNI,di Magelang, tgl. 17 Okt 2014 Jumat, 17 Oktober 2014

Sambutan Presiden RI pd Farewell Presiden dg Perwira dan Prajurit TNI,di Magelang, tgl. 17 Okt 2014 Jumat, 17 Oktober 2014 Sambutan Presiden RI pd Farewell Presiden dg Perwira dan Prajurit TNI,di Magelang, tgl. 17 Okt 2014 Jumat, 17 Oktober 2014 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA FAREWELL PRESIDEN DENGAN PERWIRA

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) Dilihat dari gambaran umum dan penyebab konflik, maka dapat diciptakan sebuah model 2x2 matriks

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA

KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA 2012, No.362 4 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTAHANAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA 1. Latar belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orde Baru lahir dari tekad untuk melakukan koreksi total atas kekurangan sistem politik yang

I. PENDAHULUAN. Orde Baru lahir dari tekad untuk melakukan koreksi total atas kekurangan sistem politik yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orde Baru lahir dari tekad untuk melakukan koreksi total atas kekurangan sistem politik yang telah dijalankan sebelumnya. Dengan kebulatan tekad atau komitmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak Orde Baru memegang kekuasaan politik di Indonesia sudah banyak terjadi perombakan-perombakan baik dalam tatanan politik dalam negeri maupun politik luar negeri.

Lebih terperinci

BUPATI BURU. Assalamu alaikum wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua, Saudara-saudara keluarga besar Tentara Nasional Indonesia yang berbahagia,

BUPATI BURU. Assalamu alaikum wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua, Saudara-saudara keluarga besar Tentara Nasional Indonesia yang berbahagia, BUPATI BURU Assalamu alaikum wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua, Saudara-saudara keluarga besar Tentara Nasional Indonesia yang berbahagia, Hadirin peserta upacara yang berbahagia, Pada kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, bebas dan jujur.tetapi pemilihan umum 1955 menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budi Setiawan Marlianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budi Setiawan Marlianto, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini tujuan individu untuk bekerja tidak hanya mencari uang saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti kebutuhan untuk dihargai, membentuk

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Perubahan yang terjadi di Indonesia selama setengah abad ini sesungguhnya telah membawa masyarakat ke arah yang penuh dengan fragmentasi dan kohesi sekaligus (Abdullah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

Lebih terperinci

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia. Laut bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu tentang Pertahanan dan Keamanan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT 37 BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT A. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia Demokrasi adalah bentuk

Lebih terperinci

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI www.bimbinganalumniui.com 1. Setelah kabinet Amir Syarifuddin jatuh, atas persetujuan presiden KNIP memilih Hatta sebagai Perdana Menteri. Jatuhnya Amir Syarifuddin membuat kelompok kiri kehilangan basis

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950- BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan. Dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) sangat menarik untuk dikaji. Militer adalah organ yang penting yang dimiliki

Lebih terperinci

bentuk usaha pembelaan negara meliputi:

bentuk usaha pembelaan negara meliputi: BENTUK USAHA PEMBELAAN NEGARA bentuk usaha pembelaan negara meliputi: 1. upaya bela Negara terhadap ancaman militer Persatuan dan kesatuan harus terus diperkuat dan dikobarkan, karena hanya dengan inilah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: DEMOKRASI ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1. MENYEBUTKAN PENGERTIAN, MAKNA DAN MANFAAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

Ketahanan nasional. Geostrategi Indonesia Pelaksanaan Geopolitik dalam negara Suatu cara atau pendekatan dalam memanfaatkan kondisi lingkungan

Ketahanan nasional. Geostrategi Indonesia Pelaksanaan Geopolitik dalam negara Suatu cara atau pendekatan dalam memanfaatkan kondisi lingkungan Ketahanan nasional Geostrategi Indonesia Pelaksanaan Geopolitik dalam negara Suatu cara atau pendekatan dalam memanfaatkan kondisi lingkungan Ketahanan Nasional sebagai Kondisi Keadaan yang seharusnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan nasional Indonesia adalah

Lebih terperinci

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si ISU STRATEGIS BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN DALAM RPJMN 2015-2019 PENINGKATAN KAPASITAS DAN STABILITAS

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka beberapa hal. yang dapat disimpulkan di antaranya adalah :

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka beberapa hal. yang dapat disimpulkan di antaranya adalah : 178 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka beberapa hal yang dapat disimpulkan di antaranya adalah : 1. Implementasi Otsus Papua di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. melalui kontribusi nyata dalam pembentukan capital, penyediaan bahan pangan,

BAB I. PENDAHULUAN. melalui kontribusi nyata dalam pembentukan capital, penyediaan bahan pangan, 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan komoditi yang sangat penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku

I. PENDAHULUAN. pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang perjalanan sejarah RI pernah meletus suatu perlawanan rakyat terhadap pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Kebijakan pemerintahan Francisco..., Fadhil Patra Dwi Gumala, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB IV KESIMPULAN. Kebijakan pemerintahan Francisco..., Fadhil Patra Dwi Gumala, FISIP UI, Universitas Indonesia 68 BAB IV KESIMPULAN Pasca berakhirnya perang saudara di Spanyol pada tahun 1939, Francisco Franco langsung menyatakan dirinya sebagai El Claudilo atau pemimpin yang menggunakan kekuasaannya dengan menerapkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Revolusi Revolusi dipahami sebagai proses yang sangat luar biasa, sangat kasar, dan merupakan sebuah gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Pasca perang kemerdekaan Indonesia maka TNI / ABRI berusaha membenahi

IV. GAMBARAN UMUM. Pasca perang kemerdekaan Indonesia maka TNI / ABRI berusaha membenahi IV. GAMBARAN UMUM A. Sejarah Singkat Batalyon Infanteri 143 Pasca perang kemerdekaan Indonesia maka TNI / ABRI berusaha membenahi organisasi disesuaikan dengan kebutuhan sesuai dengan instruksi KSAD NO:2/KSAD/Instr/52

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara Abdil Mughis Mudhoffir http://indoprogress.com/2016/12/kekerasan-sipil-dan-kekuasaan-negara/ 15 December 2016 IndoPROGRESS KEBERADAAN kelompok-kelompok sipil yang dapat

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

MENEGAKKAN KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN MENUJU NEGARA MARITIM YANG BERMARTABAT (KOMISI KEAMANAN) (Forum Rektor Indonesia 2015)

MENEGAKKAN KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN MENUJU NEGARA MARITIM YANG BERMARTABAT (KOMISI KEAMANAN) (Forum Rektor Indonesia 2015) MENEGAKKAN KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN MENUJU NEGARA MARITIM YANG BERMARTABAT (KOMISI KEAMANAN) (Forum Rektor Indonesia 2015) Oleh: Sudirman (Rektor UHT) KATA KUNCI: 1.NEGARA KEPULAUAN

Lebih terperinci

PERANAN TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) DALAM MENGHADAPI ANCAMAN YANG BERSIFAT MILITER

PERANAN TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) DALAM MENGHADAPI ANCAMAN YANG BERSIFAT MILITER PERANAN TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) DALAM MENGHADAPI ANCAMAN YANG BERSIFAT MILITER DAN NONMILITER DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Oleh : Andri Chandarapatriana ABSTRAK

Lebih terperinci

SAMBUTAN DIRJEN KESBANGPOL DISAMPAIKAN PADA FORUM KOMUNIKASI DAN KOORDINASI PENANGANAN FAHAM RADIKAL WILAYAH BARAT TAHUN 2014

SAMBUTAN DIRJEN KESBANGPOL DISAMPAIKAN PADA FORUM KOMUNIKASI DAN KOORDINASI PENANGANAN FAHAM RADIKAL WILAYAH BARAT TAHUN 2014 KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN DIRJEN KESBANGPOL DISAMPAIKAN PADA FORUM KOMUNIKASI DAN KOORDINASI PENANGANAN FAHAM RADIKAL WILAYAH BARAT TAHUN 2014 SUMATERA KALIMANTAN IRIAN JAYA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep

Lebih terperinci

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi I. Pendahuluan Kontroversi dan pro kontra berkaitan dengan pembahasan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) memasuki babak baru. Tarik menarik dan penolakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam organisasi tersebut memiliki sumber daya manusia yang menunjukkan komitmen yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam organisasi tersebut memiliki sumber daya manusia yang menunjukkan komitmen yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu organisasi akan dikatakan menjadi organisasi yang produktif jika visi dan misi organisasi tersebut dapat tercapai. Hal terpenting dalam pencapaian usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah negara selain memiliki wilayah dan Penduduk, sebuah negara juga harus memiliki sebuah Angkatan Bersejanta untuk mengamankan wilayah kedaulatan negaranya.

Lebih terperinci