SKRIPSI. PROFIL PENINGKATAN RECOVERY PADA PROSES PEMEKATAN β-karoten DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE PENGULANGAN FRAKSINASI PELARUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI. PROFIL PENINGKATAN RECOVERY PADA PROSES PEMEKATAN β-karoten DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE PENGULANGAN FRAKSINASI PELARUT"

Transkripsi

1 SKRIPSI PROFIL PENINGKATAN RECOVERY PADA PROSES PEMEKATAN β-karoten DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE PENGULANGAN FRAKSINASI PELARUT Oleh: EDY GUNAWAN F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i

2 Edy Gunawan. Profil Peningkatan Recovery pada Proses Pemekatan β- karoten dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Pengulangan Fraksinasi Pelarut. Di bawah bimbingan: Purwiyatno Hariyadi dan Nur Wulandari RINGKASAN Minyak sawit kasar (MSK) memiliki warna jingga-kemerahan yang merupakan sumber mikronutrien karoten (provitamin A) alami. Sebagian besar karoten pada MSK berupa β-karoten, yang memiliki 100% aktivitas vitamin A, dan bermanfaat sebagai antioksidan dan pewarna pangan alami. Proses pengolahan (pemurnian) pada industri MSK sengaja menghilangan warna MSK ini karena kurang disukai oleh konsumen. Oleh karena itu, diperlukan upaya dalam mengekstrak β-karoten dari MSK ini agar dapat lebih dimanfaatkan. Proses pengekstrakan β-karoten dari MSK dapat dilakukan dengan proses pemekatan β-karoten dengan menggunakan metode fraksinasi pelarut yang juga memperhatikan sifat fisiko-kimia dari β-karoten, seperti sifat non-polar β-karoten yang mengakibatkan mudah larut pada komponen utama MSK (gliserida) yang bersifat non-polar juga. Selain itu, β-karoten sangat labil terhadap oksidasi, cahaya, maupun panas. Proses fraksinasi pelarut dapat meningkatkan pemisahan β-karoten dari gliserida MSK yang baik dengan bantuan pelarut dan suhu rendah. Penelitian ini menggunakan MSK (tanpa proses pemurnian) agar kandungan β-karoten yang akan dipekatkan dapat lebih tinggi ( ppm). Pelarut yang digunakan adalah heksana (non-polar) dan aseton (semi-polar). Fraksinasi pelarut diawali dengan menghomogenkan campuran 50 g MSK dan 100 ml pelarut (1:2, b/v) dalam erlenmeyer, bertutup dan berlapis aluminium-foil serta dihembus gas N 2, pada suhu 50 o C selama 15 menit dengan kecepatan pengadukan 200 rpm. Kemudian larutan MSK/pelarut disimpan pada ruangan bersuhu 20 o C hingga pengkristalan gliserida optimal, yaitu tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat dalam erlenmeyer selama 24 jam. Kemudian suhu ruangan diturunkan dengan interval 10 o C hingga kondisi optimal sampai suhu akhir fraksinasi -20 o C. Lalu dilakukan pemisahan fraksi cair dari faksi padat yang terbentuk dengan cara penyaringan menggunakan kertas saring (Whatman no. 1). Fraksi cair mengandung pelarut, β-karoten, dan sebagian kecil gliserida, sedangkan pada fraksi padat terdapat kristal gliserida, sebagian kecil pelarut dan β-karoten yang terperangkap dalam kristal gliserida. Konsentrat dihasilkan dari penguapan fraksi cair menggunakan gas N 2 hingga diperoleh bobot yang konstan. Pengulangan fraksinasi pelarut dilakukan terhadap fraksi padat dengan cara yang sama, sehingga fraksinasi pelarut pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 tahap yaitu tahap 1 terhadap MSK, tahap 2 dan tahap 3 terhadap fraksi padat yang dihasilkan pada akhir fraksinasi pelarut tahap 1 dan tahap 2. Karakter konsentrat yang diinginkan yaitu memiliki tingkat pemekatan β-karoten yang tinggi dan recovery β-karoten yang tinggi. Pelarut aseton menghasilkan konsentrat dengan tingkat pemekatan β-karoten lebih tinggi ( kali) tetapi total recovery β-karoten lebih lebih rendah (39.98%), sedangkan pelarut heksana menghasilkan konsentrat dengan tingkat pemekatan β-karoten yang lebih rendah ( kali), tetapi recovery β-karoten yang lebih tinggi (73.78%). Berdasarkan hasil uji ANOVA, jenis pelarut memberikan pengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemekatan dan recovery β-karoten. ii

3 PROFIL PENINGKATAN RECOVERY PADA PROSES PEMEKATAN β-karoten DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE PENGULANGAN FRAKSINASI PELARUT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: EDY GUNAWAN F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR iii

4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PROFIL PENINGKATAN RECOVERY PADA PROSES PEMEKATAN β-karoten DARI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN METODE PENGULANGAN FRAKSINASI PELARUT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: Edy Gunawan F Dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1986 di Tanjungbalai, Sumatera Utara Tanggal Lulus: 22 Januari 2009 Menyetujui Bogor, 30 Januari 2009 Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc. Pembimbing Akademik I Nur Wulandari, STP, MSi. Pembimbing Akademik II Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan iv

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjungbalai, Sumatera Utara pada tanggal 16 Mei 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Winarto dan Muliaty. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD RK I/II Fransiskus/Andreas, pendidikan menengah pertama di SMP Maria, dan pendidikan menengah atas di SMU Don Bosco. Seluruh pendidikan diselesaikan di Padang, Sumatera Barat. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Sarjana pada program studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Semasa kuliah, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, seperti anggota divisi Kerohanian pada Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (Kemaki) selama dua tahun kepengurusan 2005/2006 dan 2006/2007. Penulis pernah menjadi finalis lomba karya ilmiah tingkat nasional Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) bidang Kesejahteraan Masyarakat yang diadakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Indonesia pada tahun Penulis juga aktif sebagai panitia beberapa kegiatan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) IPB seperti Seminar dan Training HACCP IV (2006) dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (2006). Selain itu penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar dan Biologi Dasar sejak 2005 hingga Selama kuliah, penulis mulai mengembangkan pengalaman berwirausaha dan membangun relasi serta jaringan pada salah satu Multi Level Marketing (Oriflame) dan berhasil mencapai peringkat New Achiever Manager 12% pada tahun Penulis juga sempat menjadi distributor majalah pangan FOODREVIEW Indonesia di kampus IPB pada tahun Penulis juga mendapat beasiswa atas prestasi akademik dari Bank Mandiri pada tahun 2008 hingga lulus menjadi Sarjana. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul penelitian Profil Peningkatan Recovery pada Proses Pemekatan β-karoten dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Pengulangan Fraksinasi Pelarut di bawah bimbingan Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc. dan Nur Wulandari, STP, MSi. v

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat-nya kepada penulis sehingga penelitian, sidang akhir, dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc sebagai dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang memberikan dukungan, bimbingan, saran, arahan dan waktu kepada penulis selama menempuh pendidikan, penelitian, dan penulisan skripsi ini. 2. Nur Wulandari, STP, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, bimbingan, waktu dan pengertian kepada penulis selama penelitian sampai penulisan skripsi selesai dengan baik. 3. Dase Hunaefi, STP, M.FoodSt sebagai dosen penguji luar yang telah memberikan masukan, saran, dan pemikiran yang sangat berharga bagi penulis dan penyempurnaan skripsi ini. 4. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis berikan kepada ayah (Winarto) dan ibu (Muliaty) penulis atas kasih sayang, perhatian, kesabaran, dan dorongan materi yang tak terhitung jumlahnya yang telah diberikan kepada penulis sejak awal kehidupan sampai menyelesaikan pendidikan sarjana ini. Untaian doa yang tulus dan tak putus dari ayah dan ibu adalah kekuatan bagi penulis. 5. Para staf Laboratorium SEAFAST Center (Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center)-IPB: Pak Sukarna (Abah), Pak Deni, Pak Jun, Mas Arief, Mbak Ria, Mbak Ira, Mbak Ari, Mbak Ria dan Mbak Deni, Mbak Desty, Mbak Lira, Mbak Nia, Mbak Hanna, Sofah, Gugun, dan semuanya atas bantuan dan kebersamaanya selama penelitian. 6. Para staf SEAFAST Center-IPB : Bu Tri Susilo, Pak Zul, Mbak Virna, Bu Elly, Pak Nana, Mbak Zul, Pak Udin, Bibik Cacih, Bibik Entin, dan seluruh keluarga besar SEAFAST Center-IPB yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kerjasama dan rasa kekeluargaannya selama ini. vi

7 7. Rekan-rekan se-laboratorim SEAFAST Center IPB : Chabib Mustofa (Chabib), Hardianzah Rahmat (Ancha), Astrida Renata L. (Auu), Riska Rozida Bastomi (Riska), Dhieta Prisilia (Sisi), Shabrina Novia (Ririn), T. Aprilia D. (Lia), Sofiyan Hadi, Sukma Paramita Dewi, Reynetha Rawendra, Mas Rai, Mbak Puspa, Mas Ayusta, Mas Aziz, Pak Soenar, Mbak Anggi, Mbak Reno, dan tak lupa Mbak Dhany dan Mbak Her2 untuk waktu dan kebersamaannya bersama penulis selama melakukan penelitian. 8. Rektor IPB, Dekan FATETA, Ketua Departemen ITP, Dosen, dan Pegawai Administrasi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, yang telah memberi perhatian, pegajaran, dan pelayanan administrasi dan akademik kepada penulis selama kuliah hingga akhir di IPB. 9. Teman-teman penulis pada program studi Ilmu dan Teknologi Pangan 41 (2004): Tomi, Gina, Qia, Nanang, Rani, Cici, Sigit, Yunita, Ratih, Ade, Tika, Aris, Andri, Ofa, Citra Dev, Wardi, Bina, Risma kecil, Titin, Arum, Dikin, Novia, Puke, Iqbal, Cecek, Eka, Ari, Fina, Anto, Rina, Indra, Hermanto, Indri F., Dody, Mega, Indiri L., Citra P.L., Kani, Jamal Lulail, Inke, Bima, Kurnia, April, Nona, Tuko, Tenni, Umul, Yuliana, Ros, Rizqi, Dini, Tika Amalia, Vera Lisnan, Sherly, Gema, Jamal Z., Prita, Wulan, Ety, Mayland, Hesti, Lutfi, Willine, Hans Cewe, dan Wachyu, dan teman-teman lain yang sempat berkenalan dengan penulis selama di IPB. 10. Dyah Ayu Puspitasari dan Yuke Juanita, M. Arief Fadli, Rhais Prasetyo, dan Oboth, Dilla, Aziz, Mas Taqi, Ame, Ode, Sucen, Farid, Shofia, Shinta teman dalam tugas dan kuliah, saat siang dan malam, serta dalam suka dan duka. 11. Kakak-kakak kelas mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan: Uda Akhyar, Mbak Oke, Mbak Teti, Mbak Findya, Mbak Silvana, Mbak Fin, Bu Lisna, Mbak Ema, Mbak Henny, dan semua mahasiswa IPN 2008 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas perkenalan, dukungan, dan doanya selama ini. Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya. Dan semoga karya tulis ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2009 Penulis vii

8 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iv RIWAYAT HIDUP... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG PENELITIAN... 1 B. TUJUAN PENELITIAN... 2 C. MANFAAT PENELITIAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. KAROTENOID... 3 B. MINYAK SAWIT KASAR (MSK)... 6 C. GLISERIDA... 8 D. FRAKSINASI E. KRISTAL GLISERIDA F. EKSTRAKSI PELARUT III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN B. ALAT C. METODE PENELITIAN Analisis Karakter Minyak Sawit Kasar Fraksinasi Pelarut Analisis Karakter Konsentrat D. RANCANGAN PERCOBAAN E. METODE ANALISIS Kadar Air dan Zat Yang Menguap (AOAC Official Method ; 1999) Kadar Asam Lemak Bebas sebagai Asam Palmitan (AOCS Official Method Ca 5a-40; ) Konsentrasi Karoten Diukur sebagai β-karoten (PORIM p2.6, 2005; Determination of Carotene Content) Tingkat Pemekatan β-karoten Total β-karoten Recovery β-karoten Rendemen (Muchtadi 1992) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTER MINYAK SAWIT KASAR viii

9 B. FRAKSINASI PELARUT Pencampuran MSK dengan Pelarut Homogenisasi Campuran MSK/pelarut Penyimpanan Larutan MSK/pelarut dalam ruangan pendingin Penurunan Suhu Larutan MSK/pelarut Secara Bertahap Pemisahan Fraksi Cair dari Fraksi Padat Pengulangan Fraksinasi Pelarut terhadap Fraksi Padat Penguapan Pelarut C. KARAKTER KONSENTRAT Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Rendemen Bobot Konsentrat Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Tingkat Pemekatan β-karoten Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Recovery β-karoten Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Kehilangan Pelarut Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Kehilangan β-karoten V. PENUTUP A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

10 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan karotenoid berbagai bahan pangan... 4 Tabel 2. Jenis-jenis karotenoid dan aktivitas vitamin A nya... 5 Tabel 3. Komponen minor MSK... 6 Tabel 4. Komposisi MSK dan minyak nabati lain... 6 Tabel 5. Karakteri MSK menurut SNI Tabel 6. Komposisi karoten pada MSK... 7 Tabel 7. Beberapa asam lemak penyusun MSK dan titik bekunya... 9 Tabel 8. Beberapa jenis trigliserida dan titik bekunya... 9 Tabel 9. Residu pelarut organik yang diizinkan dalam makanan Tabel 10. Sifat fisiko-kimia heksana dan aseton Tabel 11. Hasil analisis MSK dan persyaratan mutu MSK Tabel 12. Tabel 13. Perubahan komposisi fraksi cair dan fraksi padat, warna, dan kelarutan campuran MSK dan pelarut selama proses homogenisasi Deskripsi pengamatan visual hasil penyimpanan larutan MSK/pelarut di dalam ruangan berusuhu rendah x

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur isoprena... 5 Gambar 2. Struktur beta-karoten... 5 Gambar 3. Urutan kepolaran pelarut dari paling non-polar ke polar Gambar 4. Tahapan penelitian pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut menggunakan heksana dan aseton Gambar 5. Diagram alir proses fraksinasi pelarut bertahap dan berulang Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. MSK yang homogen (a) dan MSK yang terfraksinasi pada suhu ruang (b) Erlenmeyer berisi 50 gram CPO (a); MSK dengan penambahan pelarut heksana (b) dan aseton (c) Erlenmeyer bertutup aluminium-foil di dalam orbitalthermoshaker (a); larutan MSK/pelarut setelah proses homogenisasi dengan pelarut: heksana (b) dan aseton (c) Gambar 9. Erlenmeyer bertutup dengan dilapisi parafilm Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Erlenmeyer berisi larutan MSK/pelarut ditutup rapat dengan aluminiumfoil pada seluruh permukaan erlenmeyer Larutan MSK/pelarut (a) disimpan di dalam ruangan bersuhu rendah dan dilengkapi termometer (b) Pembentukan fraksi cair dan fraksi padat larutan MSK/pelarut selama penurunan suhu secara bertahap Gambar 13. Hasil pemisahan fraksi padat (a) dan fraksi cair (b) Gambar 14. Fraksi cair di dalam wadah penghembusan (botol) dan sekaligus wadah penyimpanan konsentrat setelah penguapan pelarut heksana (a) dan aseton (b) Gambar 15. Pengaruh jenis pelarut terhadap rendemen bobot konsentrat Gambar 16. Pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan β-karoten Gambar 17. Pengaruh jenis pelarut terhadap recovery β-karoten konsentrat Gambar 18. Gambar 19. Kesetimbangan massa pada proses pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut heksana Kesetimbangan massa pada proses pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut aseton xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil analisis karakter konsentrat hasil pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut heksana dan aseton Lampiran 2. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap Rendemen bobot konsentrat Lampiran 3. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan β-karoten konsentrat Lampiran 4. Hasil analisis ragam pengaruh jenis pelarut terhadap total recovery β-karoten konsentrat Lampiran 5. Hasil pengukuran kesetimbangan massa pelarut heksana dan aseton selama pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut xii

13 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit kasar (MSK) terbesar di dunia pada tahun 2007, yaitu mencapai 17,37 juta ton dengan luas areal 6,78 juta hektar (Deptan 2008). Tingginya produktivitas MSK tidak akan bermanfaat jika tidak didukung dengan perkembangan produk hilirnya. Turunnya harga MSK dunia pada akhir tahun 2008 dapat diatasi, salah satu caranya dengan peningkatan produksi produk hilir MSK yang bernilai tinggi. Selama ini, sebagian besar produk MSK di Indonesia terbatas pada produk setengah jadi seperti minyak goreng dan margarin, sedangkan produk hilir lainnya seperti shortening, asam lemak, gliserol, metil ester (biodiesel), vitamin E, dan karotenoid produksinya masih relatif kecil. Oleh karena itu, perlu pengembangan teknologi produk hilir MSK yang lebih efektif dan efisien. Salah satu produk hilir MSK yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah konsentrat β-karoten (provitamin A) yang banyak terdapat pada MSK, tetapi dalam proses pengolahan lanjutan MSK sengaja dirusak karena penerimaan konsumen yang tinggi terhadap produk turunan MSK yang berwarna lebih pucat/bening. Senyawa β-karoten merupakan pigmen yang menyebabkan MSK berwarna jingga-kemerahan, jumlahnya yang tinggi yaitu ppm, juga memiliki aktivitas vitamin A yang tertinggi yaitu 100%. Pada aplikasinya, konsentrat β-karoten dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan provitamin A, antioksidan, dan pewarna pangan yang alami. Namun, senyawa β-karoten juga memiliki sifat yang labil terhadap oksidasi baik disebabkan oleh oksigen, cahaya, maupun panas. Oleh karena itu, teknologi dalam proses pemekatan β-karoten harus meminimalisasi kerusakan dan kehilangan yang terjadi. Hal lain yang harus diperhatikan adalah sifat MSK yang sebagian besar komponennya merupakan gliserida (trigliserida). Gliserida yang bersifat non-polar melarutkan β-karoten yang juga bersifat nonpolar, sehingga diperlukan proses untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas 1

14 pemisahan β-karoten dari TG tersebut. Salah satunya adalah dengan menggunakan proses fraksinasi pelarut. Fraksinasi pelarut merupakan kombinasi pelarut dan penurunan suhu rendah yang menyebabkan gliserida mengkristal dan mengendap membentuk fraksi padat, sedangkan β-karoten terlarut ke fraksi cair yang berisi pelarut dan sebagian gliserida yang larut (memiliki titik beku lebih rendah). Pelarut dapat melarutkan komponen yang memiliki sifat kepolaran yang sama. Konsentrat β-karoten diperoleh dengan menguapkan pelarut pada fraksi cair. Fraksinasi pelarut yang dilakukan Kuswardhani (2007) dengan perbandingan MSK dan heksana 1:2 (b/v) dengan penurunan suhu fraksinasi bertahap hingga suhu -10 o C menghasilkan konsentrat dari fraksi cair dengan tingkat pemekatan 1.46 kali (719.9 ppm) dengan recovery karotenoid 17.29%. Menurut Hernawati (2008), pemekatan β-karoten di dalam konsentrat dapat ditingkatkan dengan penurunan suhu fraksinasi hingga -20 o C dan/atau menggunakan pelarut semi-polar yaitu aseton. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan proses peningkatan pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode penurunan suhu fraksinasi pelarut heksana dan aseton secara bertahap hingga suhu -20 C. Selain itu, juga dilakukan peningkatan recovery β-karoten dari fraksi padat, hasil fraksinasi pelarut sebelumnya, dengan metode penurunan fraksinasi pelarut yang sama. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari proses pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode penurunan suhu fraksinasi pelarut heksana dan aseton secara bertahap hingga -20 o C, dan (2) meningkatkan recovery (perolehan kembali) β-karoten dari fraksi padat (hasil fraksinasi sebelumnya) dengan pengulangan metode fraksinasi pelarut yang sama. C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian bermanfaat sebagai alternatif teknologi pada industri hilir MSK untuk menghasilkan konsentrat β-karoten yang menggunakan proses pemekatan β-karoten dengan bersuhu rendah untuk mengurangi kerusakan akibat panas. o 2

15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. KAROTENOID Karotenoid merupakan molekul tetraterpenoid, terdiri dari delapan isoprenoid yang tersusun seakan-akan dua satuan C 20, terbentuk karena kondensasi kepala-ke-ekor dari empat satuan isoprenoid, dan disambungkan ekor-ke-ekor. Karotenoid terdiri dari dua golongan utama yaitu karoten dan xantofil. Karoten tersusun oleh unsur-unsur C dan H (hidrokarbon) seperti alpha-, beta-, gama-karoten, sedangkan xantofil tersusun oleh unsur-unsur C, H, O (gugus hidroksil, metoksil, karboksil, keto, atau epoksi) seperti lutein, kriptoxantin, kaptaxantin, dan zeaxantin (Wirahadikusumah 1985). Nama karotenoid diambil dari nama pigmen utama wartel (Daucus carota). Warna karotenoid berkisar dari kuning, jingga, jingga kemerahan. Warna ini akibat adanya ikatan rangkap yang terkonjugasi. Makin banyak ikatan rangkap dua yang terkonjugasi dalam molekul, maka pita serapan utama makin bergeser ke daerah panjang gelombang yang lebih tinggi, sehingga warnanya semakin merah. Dibutuhkan minimal tujuh ikatan rangkap terkonjugasi sebelum warna kuning yang akan dapat diserap timbul. Setiap ikatan rangkap dapat berkonjugasi cis atau trans. Karotenoid alami umumnya berkonfigurasi trans, tetapi kadang-kadang juga berubah menjadi cis karena dipengaruhi faktor cahaya, panas, dan asam. Semakin banyak konfigurasi cis mengakibatkan warna semakin muda (deman 1997). Karotenoid banyak terdapat pada daun, batang, umbi, dan buah. Karotenoid terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3%), terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding selsel palisade. Karena itu pada dedaunan hijau selain klorofil terdapat juga karotenoid (Winarno 1997). Salah satu sumber karotenoid terbesar pada bahan pangan adalah minyak kelapa sawit. Beberapa bahan pangan yang mengandung karotenoid dapat dilihat pada Tabel 1. Dibandingkan dengan sumber karoten lainnya, minyak sawit mempunyai retinol ekivalen 15 kali lebih besar daripada wortel dan 300 kali lebih besar daripada tomat (Tan 1987; Sundram 2007). Satu retinol ekivalen (RE) sama dengan satu mikrogram all- 3

16 trans retinol atau enam mikrogram all-trans β-karoten, atau 12 μg provitamin A lainnya. 1 RE = 3.33 IU = 1 μg retinol = 6 μg β-karoten = 12 μg karotenoid lain Tabel 1. Kandungan karotenoid berbagai bahan pangan*) Bahan pangan Jeruk Pisang Tomat Wortel Minyak Sawit Kasar (MSK) *) Choo et.al. (1989) μg RE/g Simpsons et al. (1987) menuliskan bahwa 1 RE sama dengan 3.33 IU vitamin. Satuan International (SI) atau International Unit (IU) merupakan satuan aktivitas vitamin A dari karotenoid. Satuan International (SI) umum digunakan di dalam data-data tentang gizi dan label nutrisi. Pemakaian komponen-komponen provitamin A lebih sedikit dibandingkan dengan retinol, maka satuan tersebut dinyatakan dalam retinol ekivalen. Berdasarkan tabel angka kecukupan gizi tahun 2004 bagi orang Indonesia kebutuhan vitamin A untuk orang dewasa sebesar 600 RE perhari. Menurut Meyer (1966) sifat fisiko-kimia karotenoid yaitu larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzena, karbon disulfida dan petroleum eter, tidak larut dalam dalam etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Menurut Ranganna (1979) karotenoid pada MSK termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan lain. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan (Schwartz dan Elbe 1996). Reaksi oksidasi karotenoid juga dipicu oleh suhu yang relatif tinggi. Karotenoid mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu di atas 60 o C (Naibaho 1983), tetapi lebih stabil terhadap 4

17 panas jika tidak ada oksigen (vakum). Ikatan ganda pada karotenoid menyebabkan percepatan laju oksidasi karena sinar dan katalis logam, seperti tembaga, besi dan mangan (Walfford 1980). Aktivitas karotenoid sebagai provitamin A berbeda sesuai jenis karotennya. Beta-karoten memiliki aktivitas provitamin A yang paling tinggi daripada semua jenis karoten. Beberapa karoten yang penting dan berkaitan dengan gizi tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-jenis karotenoid dan aktivitas vitamin A nya*) Jenis Karotenoid Aktivitas vitamin A (%) β-karoten 100 α-karoten γ-karoten β-zeakaroten ,4 dehidro- β-karoten 75 β-karoten-5,6-mono epoksida 21 *) Linder 1991 Struktur beta-karoten berupa molekul simetri, yaitu separuh bagian kiri merupakan bayangan cermin dari kanannya. Beta-karoten mempunyai 40 atom karbon, yang terdiri dari 8 unit isoprena dan 11 ikatan rangkap, serta mempunyai 2 cincin beta ionon yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya. Struktur isoprena dan β-karoten dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. CH 2 = C C = CH 2 CH 3 Gambar 1. Struktur isoprena (Winarno 1997) Gambar 2. Struktur β-karoten (Gross 1991) 5

18 B. MINYAK SAWIT KASAR (MSK) Minyak sawit kasar merupakan minyak yang dihasilkan dari mesokarp/daging buah kelapa sawit. Sedangkan minyak yang dihasilkan dari inti kelapa sawit disebut minyak inti sawit (MIS) (Somaatmadja 1981). Perbedaan kedua jenis minyak ini terutama tertelak pada kandungan karotenoid, dimana MSK mengandung pigmen karotenoid sehingga berwarna jingga-kemerahan, sedangkan MIS tidak mengandung karotenoid (Muchtadi 1992). Komponen utama dari MSK adalah trigliserida (94%), sedangkan sisanya berupa asam lemak bebas (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, squalen, gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya, seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komponen minor MSK Komponen minor Konsentrasi (ppm) Karotenoid Tokoferol dan tokotrienol Sterol Fosfolipid Squalen Alkohol alifatik *) Choo et. al. (1989) Perbandingan komposisi minyak sawit kasar dengan minyak nabati lain dan persyaratan minyak sawit kasar berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Komposisi MSK dan minyak nabati lain*) Komponen dalam minyak Minyak Sawit Kasar Minyak Kelapa Minyak Jagung Karotenoid (ppm) Vitamin E (ppm) tokoferol tokotrienol Asam lemak (%) jenuh tidak jenuh Minyak Kedelai Fitosterol (ppm) *) De Witt and Chong (1998) 6

19 Tabel 5. Karakteristik MSK menurut SNI Karakteristik Persyaratan SNI Warna kuning jingga - jingga kemerahan Asam lemak bebas sebagai palmitat (%) maks 5.0 Kadar air (%) maks 0.45 Kadar kotoran (%) maks 0.05 Kandungan karoten awal (ppm) - Menurut Winarno (1999) karotenoid dalam MSK sebagian besar terdiri dari beta-karoten dan alpha-karoten dan sejumlah kecil gama-karoten, likopen dan xantofil. Ooi et al. (1996) mengatakan beta-karoten dan alpha-karoten jumlahnya mencapai 90 persen dari total karotenoid yang ada dalam MSK. Komposisi karotenoid minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi karoten pada MSK*) Komponen Jumlah (%) β- karoten α-karoten γ-karoten 0.33 δ-karoten 0.83 ζ-karoten 0.69 cis- α-karoten 2.49 cis- β- karoten 0.68 Phytoene 1.27 Lycopen 1.30 *) Basiron (2005) MSK hasil ekstraksi ini masih mempunyai karakter yang belum layak makan karena masih mengandung air, sisa serat mesokarp, asam lemak bebas, fosfolipid dan senyawa fosfatida lainnya, logam, dan juga berbagai macam produk hasil oksidasi yang menyebabkan perlunya dilakukan langkah pemurnian (Ketaren 2005). Produk hasil oksidasi berupa aldehid dan keton menyebabkan ketengikan, perubahan warna karena kerusakan pigmen warna, penurunan kandungan vitamin dan keracunan. Namun, aplikasi suhu tinggi dalam proses pemurnian MSK secara thermal merusak pigmen karotenoid. (Pahan 2008). Padahal karotenoid memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan penyelamatan karotenoid dari MSK yang belum melalui tahap pemurnian. 7

20 C. GLISERIDA Gliserida merupakan molekul yang tersusun dari asam lemak (asam karboksilat) yang berikatan ester dengan gliserol (alkohol). Struktur asam lemak tersusun dari unsur-unsur C, H, dan O. Asam lemak yang tidak mempunyai ikatan rangkap membentuk asam lemak jenuh, sedangkan asam lemak dengan satu ikatan rangkap disebut asam lemak tidak jenuh. Panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkap pada asam lemak mempengaruhi sifat gliseridanya. Gliserida yang hanya memiliki satu molekul asam lemak yang terikat pada molekul gliserol disebut monogliserida atau monoasilgliserol, sedangkan jika hanya ada dua molekul asam lemak (Mayes 2003). Menurut Winarno (1999) gliserida MSK sama seperti trigliserida alami pada umumnya, mengandung asam lemak jenuh pada posisi 1 dan/atau 3 serta asam lemak tidak jenuh pada posisi 2, namun ada juga beberapa trigliserida yang ketiga asam lemaknya jenuh. Perbedaan penempatan asam lemak dan jenis asam lemak pada molekul gliserol menghasilkan sejumlah perbedaan trigliserida. Trigliserida dalam minyak sawit mempengaruhi sebagian besar karakteristik fisik minyak sawit seperti titik beku/titik cair (melting point) dan sifat kristalisasi (Sundram 2007). Titik beku trigliserida pada umumnya naik dengan semakin panjangnya rantai karbon asam lemak, tetapi kenaikannya tidak linier. Titik beku trigliserida turun jika ketidakjenuhannya meningkat. Hal ini dikarenakan ikatan antarmolekul trigliserida tidak jenuh kurang kuat akibat rantai asam lemak pada ikatan rangkap tidak lurus. Semakin banyak ikatan rangkap, ikatan semakin lemah sehingga titik beku semakin rendah (Winarno 1997; Ketaren 2005). Dibandingkan dengan asam lemak berkonfigurasi trans, bentuk cis pada umumnya mempunyai titik beku yang lebih rendah. Hal ini disebabkan secara geometris, bentuk cis lebih mengubah bentuk keseluruhan trigliserida (dari bentuk rantai lurus) sehingga tidak mudah tersusun membentuk kristal (Fardiaz et al. 1992). MSK tersusun dari dua jenis asam lemak terbanyak yaitu asam palmitat (40-46%) dan asam oleat (39-45%). Asam palmitat merupakan asam lemak rantai panjang C 16 yang memiliki titik beku yang tinggi, yaitu 64 C. Asam 8

21 oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang C 18 dan memiliki satu ikatan rangkap dengan titik beku 14 C (Ketaren, 2005). Beberapa jenis asam lemak (Tabel 7) dan trigliserida (Tabel 8) penyusun MSK dan titik bekunya masing-masing dapat dilihat di bawah ini. Tabel 7. Beberapa asam lemak penyusun MSK dan titik bekunya*) Jenis asam lemak Atom Karbon Kadar (%) Titik beku ( C) Asam laurat C 12 : Asam miristat C 14 : Asam palmitat C 16 : Asam stearat C 18 : Asam oleat C 18 : Asam linoleat C 18 : Asam linolenat C 18 : *)Siew 2000 Tabel 8. Beberapa jenis trigliserida dan titik bekunya (Tanaka et. al. 2007) Jenis trigliserida Titik beku pada bentuk paling stabil ( o C) OOO 5.5 OPO 21.9 POP 36.7 PPP 66.4 OSO 25.0 SOS 43.0 SSS 73.5 Sifat fisik asam lemak yang lain adalah kelarutan. Asam lemak berantai pendek dapat larut dalam air, tetapi semakin panjang rantai karbon asam lemaknya, maka semakin kurang daya kelarutannya dalam air. Asam lemak dalam bentuk bebas umumnya larut dalam pelarut organik. Suatu zat dapat larut dalam pelarut jika mempunyai nilai polaritas yang sama. Trigliserida bersifat non-polar, maka akan lebih mudah larut dalam pelarut organik yang non-polar, seperti: heksana, petroleum eter, benzena, atau kloroform. Sifat kelarutan ini dapat digunakan sebagai dasar pemisahan trigliserida dari komponen lain (karotenoid) melalui proses fraksinasi (Fardiaz et al. 1992; Ketaren 2005). Selanjutnya dalam penelitian ini, sebutan gliserida menunjukkan trigliserida yang merupakan komponen terbanyak dalam MSK. 9

22 D. FRAKSINASI Fraksinasi merupakan proses penurunan suhu suatu campuran (umumnya minyak) yang mengakibatkan hilangnya panas serta melambatnya gerakan molekul, sehingga jarak antar molekul menjadi lebih dekat. Pada jarak tertentu terjadi gaya Van der Waals antar molekul trigliserida sehingga saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik menurut jenis trigliseridanya dan menyebabkan terjadinya pemisahan menjadi fraksi padat dan fraksi cair (Winarno 1997). Fraksi cair mempunyai titik beku yang lebih rendah daripada fraksi padat (Moran dan Rajah 1994; Lin 2002). Fraksinasi MSK menghasilkan fraksi padat/fraksi stearin (30-35%) dengan titik beku o C dan fraksi cair/fraksi olein (65 70%) dengan titik beku o C (Gunstone 2005). Terdapat tiga metode fraksinasi yang biasa digunakan pada MSK, yaitu fraksinasi kering, fraksinasi Lanza, dan fraksinasi pelarut. Fraksinasi kering biasanya dilakukan secara semi-kontiniu terhadap minyak yang dimurnikan. Proses ini tidak membutuhkan bahan kimia, pelarut, atau bahan tambahan lainnya. Minyak dihomogenkan pada suhu 70 C untuk menghilangkan kristal yang telah terbentuk sebelumnya. Pembentukan dan pertumbuhan kristal minyak dengan diaduk dan didinginkan menggunakan pendinginan sirkulasi air. Fraksinasi kering biasanya menghasilkan olein sebanyak 70-75% (Moran dan Rajah 1994). Fraksinasi Lanza biasanya menggunakan pelarut deterjen. MSK didinginkan hingga suhu yang diinginkan tercapai, massa yang mengkristal dicampur dengan larutan deterjen yang mengandung 0,5% natrium lauril sufat dan MgSO 4 sebagai elektrolit. Kemudian dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan fraksi olein dan fraksi stearin. Fraksi olein kemudian dicuci dengan air panas untuk menghilangkan sisa deterjen lalu dikeringkan dengan pengering vakum dan menghasilkan olein mencapai 80% (Moran dan Rajah 1994). Fraksinasi pelarut atau solvent-fractionation merupakan proses fraksinasi dengan bantuan pelarut. Pelarut yang biasanya digunakan adalah heksana atau aseton. MSK dilarutkan dalam pelarut dan dilanjutkan dengan pendinginan hingga suhu yang diinginkan tercapai untuk mendapatkan kristal 10

23 minyak yang diinginkan. Proses ini biasanya digunakan untuk mendapatkan produk bernilai tinggi, seperti mentega coklat atau mendapatkan lemak tertentu berdasarkan titik bekunya (Moran dan Rajah 1994). E. KRISTAL GLISERIDA Gliserida membentuk kristal karena mengalami penurunan suhu. Pembentukan kristal MSK (fraksi padat stearin) dipengaruhi adalah suhu awal MSK, suhu akhir fraksinasi, kecepatan penurunan suhu, dan metode pemisahan. Faktor-faktor ini mempengaruhi ukuran dan bentuk kristal, kecepatan pemisahan, perolehan olein dan stearin, solid fat content, titil beku, profil gliserida dari fraksi cair dan fraksi padat (Breeding dan Marshall, 1995). Proses pembentukan kristal diawali dengan melambatnya gerakan molekul-molekul gliserida karena hilangnya panas. Kondisi ini menyebabkan jarak antaramolekul lebih dekat. Jika jarak antaramolekul mencapai 5Å, maka akan timbul gaya tarik menarik antarmolekul (Van der Walls). Akibatnya, gliserida MSK akan bertumpuk berjajar membentuk kristal. Fardiaz et al. (1992) menambahkan bahwa gaya tarik menarik pada pembentukan kristal MSK tidak hanya oleh gaya Van der Walls, tetapi juga karena adanya ikatan hidrogen. Bentuk kristal MSK terdiri dari tiga bentuk utama yaitu alfa, beta, dan beta intermediet. Bentuk alfa merupakan bentuk yang tidak stabil dengan sifat rapuh, transparan, pipih dengan ukuran 5 µm. Bentuk beta adalah bentuk yang paling stabil dengan ukuran besar-besar (25-50, kadang-kadang 100µm) dan berkelompok. Bentuk beta intermediet memiliki tingkat kestabilan diantara bentuk alfa dan beta dengan bentuk seperti jarum halus dengan ukuran 1µm (Winarno, 1997). F. EKSTRAKSI PELARUT Ekstrasi pelarut atau solvent-extraction merupakan metode ekstraksi yang cukup sederhana. Metode ekstraksi pelarut pertama kali diperkenalkan oleh Freeman (1940) dan pada awalnya metode ini didasarkan pada derajat ketidakjenuhan suatu campuran trigliserida, tetapi kemudian dikembangkan 11

24 untuk memperoleh komponen minor dari minyak seperti β-karoten (Choo et al. 1989; Ooi et al. 1994). Proses pengekstrakan pada ekstraksi pelarut tergantung jenis pelarut yang dapat memisahkan komponen yang diinginkan dalam penelitian ini yaitu β-karoten. FDA (1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut yang masih diperkenankan dalam bahan makanan (Tabel 9). Tabel 9. Residu pelarut organik yang diizinkan dalam makanan Jenis Pelarut Residu (ppm) Heksana 25 Aseton 30 Etil klorida 30 Etanol 30 Metilen diklorida 30 Isopropil alkohol 50 Metanol 50 Metode ekstraksi pelarut telah banyak digunakan oleh beberapa peneliti terdahulu untuk mengekstrak karotenoid, antara lain Burdick dan Fletcher (1985) dengan menggunakan campuran heksana-aseton-metanol (80:10:10 v/v/v), Schwartz dan Patroni (1985) dengan menggunakan campuran asetonheksana (1:9 v/v), Masni (2004) menggunakan campuran heksana-aseton (10:1 v/v) berhasil mengekstrak karotenoid dari limbah serat sawit dengan konsentrasi 1283 µg/g, Hasanah (2006) dapat meningkatkan konsentrasi karotenoid MSK dari 498 µg/g menjadi 744 µg/g melalui fraksinasi menggunakan isopropanol (6:1 v/b MSK). Penelitian yang dilakukan oleh Kuswardhani (2007) menghasilkan tingkat recovery karotenoid paling tinggi pada suhu fraksinasi -10 C pada perbandingan MSK/heksana 1:6 (b/v) sebesar 78.3% dengan tingkat pemekatan 1.32 kali dan konsentrasi karotenoid ppm. Sedangkan tingkat pemekatan karotenoid paling tinggi dicapai pada suhu fraksinasi -10 C pada perbandingan MSK/heksana 1:2 sebesar 1.46 kali dengan recovery karotenoid 17.29% dan konsentrasi karotenoid ppm. Rendahnya tingkat recovery karotenoid yang dilakukan oleh Kuswardhani (2007) dari fraksi cair (olein) dengan metode fraksinasi suhu rendah -10 C dengan perbandingan MSK/heksana = 1 : 2 sebesar 17.29%, perlu dilakukan peningkatan, dimana penelitian ini akan dilakukan recovery 12

25 β-karoten dari fraksi padat untuk mengoptimalkan recovery karotenoid dengan menggunakan penambahan pelarut heksana dan aseton secara berulang pada fraksi padat. Urutan tingkat kepolaran berdasarkan Gritter et al. (1991) dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Kuswardhani (2007) minyak sangat mudah larut dalam pelarut heksana sehingga sulit untuk memisahkan karotenoid dan minyak. Selain itu heksana mempunyai titik cair yang sangat rendah sehingga diperlukan suhu fraksinasi yang sangat rendah pula. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai pelarut organik yang digunakan dalam pemisahan. Pelarut organik yang diperlukan adalah yang dapat melarutkan karotenoid dengan baik, tetapi kelarutan minyak di dalamnya agak rendah. Jenis pelarut lain yang dapat digunakan adalah aseton. Hidrokarbon (petroleum eter, heksana, heptana) Sikloheksana Karbon tetraklorida (CCl 4 ) Benzena TINGKAT POLARITAS SEMAKIN TINGGI Toluena Metilen Klorida, Tetrahidrofuran Kloroform Etil eter Etil asetat Aseton n-propanol Etanol Asetonitril Metanol Air Gambar 3. Urutan kepolaran pelarut dari paling non-polar polar (Gritter et al. 1991) Hernawati (2008) melakukan seleksi beberapa jenis pelarut mulai dari pelarut polar hingga pelarut non-polar. Pelarut yang menghasilkan konsentrasi dan recovery karoten yang cukup tinggi pada suhu fraksinasi yang diturunkan secara bertahap mulai dari suhu kamar (27 o C), 20 o C, 15 o C, dan seterusnya sampai diperoleh pemisahan fraksi cair dan fraksi padat maksimal adalah aseton, heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, toluena. Sedangkan pelarut etanol, metanol, isopropanol, dan karbon tetraklorida menghasilkan konsentrasi dan recovery karoten yang rendah. Aspek lain yang menjadi pertimbangan jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat 13

26 kepolaran pelarut. Pelarut polar akan dapat melarutkan senyawa polar dan senyawa non polar akan melarutkan senyawa yang non polar juga. Menurut Widayanto (2007), penggunaan heksana yang bersifat lebih non-polar dibandingkan karotenoid perlu diteliti kembali, sehingga untuk mengoptimalkan pengekstrak karotenoid perlu dikaji mengenai penggunaan pelarut yang lebih polar dibandingkan karotenoid dan lebih non-polar dibandingkan MSK. Pelarut yang digunakan berarti harus lebih polar dibandingkan heksana. Jenis pelarut yang disarankan untuk digunakan adalah aseton. Aseton merupakan senyawa yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) yang termasuk pelarut polar. Aseton berfungsi sebagai pelarut karotenoid dalam keadaan terikat dengan senyawa lain yang bersifat polar (Mappiratu, 1990). Heksana merupakan senyawa hidrokarbon yang termasuk ke dalam pelarut non polar. Penggunaan pelarut heksana sebagai bahan pengekstrak karotenoid dari minyak sawit kasar didasarkan sifat kelarutan karotenoid. Karotenoid bersifat non polar dan hanya larut dalam pelarut non polar (Mappiratu, 1990). Heksana merupakan pelarut non polar dan efektif sebagai pelarut lemak dan minyak sehingga cocok untuk melarutkan karotenoid. Selain itu, dilihat dari segi harganya pun relatif lebih murah dibandingkan pelarut yang lain. Sifat fisiko-kimia dari pelarut aseton dan heksana dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Sifat fisiko-kimia pelarut heksana dan aseton (Smallwood 1996) Sifat fisiko-kimia Heksana Aseton Nama lain n-hexane Acetone, propan-2-one, dimethyl ketone Berat molekul (g/mol) Rumus empiris C 6 H14 C3H 6 O atau CH 3 COCH3 o Titik uap ( C) Titik beku ( o C) Log 10 partition (oktanol/air) Polaritas (air 100) Densitas (g/ml)

27 III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga November 2008 di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, Institut Pertanian Bogor. A. BAHAN Bahan baku utama yang digunakan adalah minyak sawit kasar (MSK) yang diperoleh dari PT. Sinar Meadow, Jakarta dan pelarut heksana dan aseton. Bahan lain yang digunakan, antara lain etanol distilasi 95%-v, NaOH, indikator phenolphthalein (PP), standar β-karoten, heksana (pro-analysis), air suling, dan gas N 2 teknis. B. ALAT Alat-alat yang digunakan, antara lain erlenmyer bertutup 250 ml, lemari pendingin, orbital-thermoshaker, spektrofotometer UV-VIS, labu dan penangas air dengan kondensor, neraca analitik, oven suhu 103 o C, penangas air, desikator, thermometer, stopwatch, aluminium-foil, cawan aluminium, corong pemisah kertas saring Whatman no. 1, botol semprot, dan alat gelas lainnya seperti tabung reaksi bertutup, erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pipet volumetrik, buret, parafilm, sudip dan pengaduk gelas. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari 3 tahap yaitu (1) analisis karakter MSK; (2) fraksinasi pelarut (3 tahapan); dan (3) karakterisasi konsentrat β-karoten yang dihasilkan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar Analisis Karakter Minyak Sawit Kasar MSK yang digunakan tidak mengalami proses pemurnian agar kandungan β-karoten masih tinggi antara ppm. Analisis MSK dilakukan untuk memastikan bahwa MSK yang digunakan memenuhi standar kualitas SNI tentang standar kualitas minyak kelapa sawit mentah, terutama warna (secara visual), kadar air, dan kadar asam lemak bebas. 15

28 MSK yang digunakan harus dalam keadaan homogen atau tidak terfraksinasi menjadi fraksi olein (cair) dan stearin (padat). Jika MSK belum homogen, maka MSK dipanaskan pada suhu maksimal 50 o C selama 15 menit sambil terus diaduk rata. Karakter MSK yang dianalisis adalah warna (secara visual), kadar air (AOAC Official Method ), kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat (AOCS Official Method Ca 5a-40, ), dan konsentrasi β-karoten (PORIM p2.6, 1995). Minyak Sawit Kasar (MSK) FRAKSINASI PELARUT Awal MSK/Heksana MSK/Aseton Analisis β-karoten (Metode Spektrofotometer PORIM p2.6) Gambar 4. Tahapan penelitian pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut menggunakan heksana dan aseton 2. Fraksinasi Pelarut Tujuan fraksinasi pelarut adalah melarutkan sebanyak mungkin β- karoten dalam pelarut dan mengkristalkan sebanyak mungkin gliserida sehingga dihasilkan fraksi cair kaya β-karoten yang terlarut dalam pelarut sedangkan gliserida mengkristal dan mengendap membentuk fraksi padat. Perbandingan MSK dan pelarut adalah 1/2 (b/v). Sebanyak 50 gram MSK yang telah homogen dimasukkan ke dalam erlenmyer 250 ml bertutup. Pelarut sebanyak 100 ml ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang telah berisi MSK. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini ada dua yaitu aseton dan heksana. Selanjutnya, campuran MSK dan pelarut (MSK/pelarut) dihomogenisasi dengan pemanasan pada suhu 50 o C dengan sambil diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Tujuan homogenisasi untuk melarutkan seluruh β-karoten dan gliserida di dalam pelarut, mencairkan kristal gliserida (fraksi padat) yang terdapat dalam MSK sehingga seluruh β-karoten yang terdapat pada fraksi padat dapat terlarut dalam pelarut. Pengamatan yang dilakukan adalah kelarutan MSK dalam pelarut secara visual meliputi warna campuran MSK/pelarut dan endapan yang 16

29 tersisa. Pengamatan tersebut dilakukan pada setiap bagian yaitu kelarutan campuran MSK/pelarut pada suhu ruang dan kelarutan campuran MSK/pelarut selama homogenisasi. Setelah campuran MSK/pelarut dihomogenisasi menggunakan thermoshaker, campuran dihembus gas N 2 teknis selama 5 detik untuk menghilangkan oksigen pada headspace erlenmeyer. Kemudian erlenmeyer berisi larutan MSK/pelarut segera ditutup rapat dan dilapisi parafilm. Seluruh permukaan erlenmeyer dibungkus dengan aluminium-foil. Fraksinasi larutan dilakukan dengan mekanisme penurunan suhu larutan MSK/pelarut dalam ruangan bersuhu rendah, sehingga gliserida MSK yang memiliki titik beku lebih tinggi membeku membentuk kristal fraksi padat, sedangkan gliserida yang memiliki titik beku lebih rendah masih berada pada fraksi cair bersama β-karoten dan pelarut. Ruangan tempat penyimpanan yang digunakan dapat menjaga suhu ruang konstan pada suhu 20 o C, 10 o C, 0 o C, -10 o C, dan -20 o C dengan toleransi ±2 o C. Erlenmeyer yang berisi larutan MSK/pelarut yang telah dihomogenkan (50 o C) langsung disimpan pada ruangan suhu 20 o C hingga tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat di dalam erlenmyer selama 24 jam. Kemudian dilakukan penurunan suhu ruangan secara bertahap dengan interval 10 o C hingga -20 o C (10 o, 0 o, -10 o, -20 o C) ketika tidak terjadi pertamabahan fraksi padat selama 24 jam. Seluruh proses ini disebut dengan fraksinasi pelarut ke-1. Pada suhu akhir fraksinasi (-20 o C), fraksi cair dipisahkan dari fraksi padat yang terbentuk dengan cara melewatkan fraksi cair pada kertas saring Whatman no. 1. Fraksi cair yang telah dipisahkan, diuapkan pelarutnya dengan menghembuskan gas N 2 teknis pada permukaan fraksi cair hingga diperoleh konsentrat dengan bobot yang konstan. Pengulangan fraksinasi pelarut yang ke-2 dilakukan terhadap fraksi padat, yang diperoleh dari fraksinasi pelarut ke-1, dengan cara yang sama dengan fraksinasi pelarut ke-1 yaitu dengan menambahkan 100 ml pelarut, kemudian dihomogenisasi, dan disimpan pada ruangan bersuhu rendah secara bertahap hingga suhu -20 o C. Pada suhu akhir fraksinasi (-20 o C) ini, 17

30 fraksi cair kembali dipisahkan dari fraksi padat yang terbentuk dengan cara melewatkan fraksi cair pada kertas saring Whatman no.1, kemudian menguapkan pelarutnya, sehingga diperoleh bobot konsentrat yang konstan. Pengulangan fraksinasi pelarut yang ke-3 dilakukan terhadap fraksi padat, yang diperoleh dari fraksinasi perlarut ke-2, dengan cara yang sama yaitu menambahkan 100 ml pelarut, dihomogenisasi, dan disimpan pada ruangan bersuhu rendah secara bertahap hingga suhu -20 o C. Pada suhu akhir fraksinasi (-20 o C) ini, fraksi cair kembali dipisahkan dari fraksi padat yang terbentuk dengan cara melewatkan fraksi cair pada kertas saring Whatman no.1, kemudian menguapkan pelarutnya, sehingga diperoleh konsentrat dengan bobot yang konstan. Fraksi padat akhir diuapkan pelarutnya dengan menyemprotkan gas N 2 teknis hingga diperoleh MSK sisa dengan bobot konstan. Proses fraksinasi pelarut berulang seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar 5. Diagram alir proses fraksinasi pelarut bertahap dan berulang 18

31 3. Analisis Karakter Konsentrat Konsentrat, yang diperoleh dari penguapan fraksi cair, dianalisis untuk mengetahui tingkat pemekatan β-karoten dan total recovery β- karoten. Analisis yang dilakukan terhadap konsentrat terdiri dari bobot konstan konsentrat dan konsentrasi β-karoten dengan metode spektrofotometer (PORIM p2.6, 1995). D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu taraf perlakuan dengan dua kali ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah jenis pelarut yaitu aseton dan heksana yang akan dilihat pengaruhnya terhadap tingkat pemekatan β- karoten dan total recovery β-karoten di dalam konsentrat. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji One Way ANOVA dari program statistik SPSS Jika berdasarkan uji F terdapat adanya pengaruh perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji beda nyata jarak berganda Duncan. Model matematika dari rancangan tersebut adalah: Y ij = µ + τ i + ε ij Keterangan: Y ij = nilai pengamatan pada perlakuan i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah populasi τ i = pengaruh perlakuan ke-i ε = pengaruh acak akibat perlakuan ke-i pada ulangan ke-j ij E. METODE ANALISIS Metode-metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kadar Air dan Zat yang Mudah Menguap (AOAC Official Mehtod ; 1999: Moisture and Volatile Matter in Oils and Fats: Vacuum Oven Method) Sampel dihomogenkan dengan cara diaduk dan jika perlu dengan sedikit pemanasan. Sampel dijaga jangan sampai mencair. Sampel ditimbang sebanyak 5±0.2 g pada cawan aluminium (diameter 5 cm dan 19

32 kedalaman 2 cm, dengan sambungan ketat agar sampel cair tidak keluar sambungan). Sampel dikeringkan hingga bobot konstan dalam oven vakum pada suhu o C (103±2 o C) di atas titik didih air pada tekanan 100 mmhg (13.3 kpa). Dinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang. Bobot konstan diperoleh ketika pengeringan dengan hasil baik selama periode pengeringan 1 jam dengan penambangan kehilangan 0.05% ( g). laporan % kehilangan bobot sebagai uap air dan zat yang mudah menguap. Wsi - W Kadar air (% berat basah) = W si sf x 100 % Keterangan: W si = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W = bobot sampel setelah dikeringkan (g) sf 2. Kadar Asam Lemak Bebas sebagai Asam Palmitat (AOCS Official Method Ca 5a-40; ) Sampel MSK (tercampur homogen) ditimbang sebanyak 7.05 ± 0.05 g dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 75 ml etanol netral mendidih dan 2 ml indikator PP. Lalu ditritrasi dengan 0.25N NaOH, Erlenmeyer digoyang hingga muncul warna merah jambu. Warna merah jambu ini harus yang bertahan selama 30 detik. Hasil % asam lemak bebas dilaporkan sebagai asam palmitat. Perhitungannya sebagai berikut: % asam lemak bebas sebagai asam palmitat ml NaOH N = g sampel MSK NaOH Konsentrasi Karoten Diukur sebagai β-karoten (PORIM p2.6, 1995; Determination of Carotene Content) Sampel ditimbang sebanyak 0.1 ± g ke dalam labu takar 25 ml. Kemudian sampel dilarutkan sedikit demi sedikit dengan pelarut heksana dan ditepatkan hingga tanda tera. Lalu larutan tersebut dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup ulir dan telah dibungkus dengan aluminium-foil. Kuvet quartz 1 cm dibilas dengan heksana dan dikeringkan. Absorbansi blanko (heksana) diukur sebagai faktor koreksi error kuvet. 20

33 Sebelum absorbansi sampel diukur, kuvet dibilas dengan sampel yang akan diukur. Absorbansi sampel diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm. Perhitungan kandungan karoten sebagai β-karoten sebagai berikut: Konsentrasi β - karoten (ppm) = W Keterangan: a s = absorbansi sampel ab = absorbansi blanko (di-autozero-kan, maka a b = 0,000) W = bobot sampel (g) 4. Tingkat Pemekatan β-karoten Tingkat pemekatan β-karoten merupakan perbandingan konsentrasi β-karoten di dalam konsentrat dengan konsentrasi β-karoten di dalam MSK. konsentrasi β - karoten dalam konsentrat (ppm) Tingkat pemekatan karoten (kali) = konsentrasi β - karoten dalam MSK (ppm) 5. Total β-karoten Total β-karoten merupakan hasil perkalian konsentrasi β-karoten terhadap bobot sampel (MSK atau konsentrat). Total β - karoten ( µ g) = konsentrasi β - karoten ( µ g/g) bobot sampel (g) x (a s - a b ) 6. Recovery β-karoten Recovery β-karoten merupakan perbandingan total β-karoten di dalam konsentrat terhadap total β-karoten di dalam MSK. Total β - karoten ekstrak ( µ g/) Recovery β-karoten (%) = x 100 Total β - karoten MSK ( µ g) 7. Rendemen (Muchtadi 1992) Nilai rendemen merupakan persentase hasil perbandingan produk dengan bahan awal. Pada penelitian ini produk adalah konsentrat dan bahan awal adalah MSK. Perhitungan rendemen menggunakan rumus: produk Rendemen (%) = 100 bahan awal 21

34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTER MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (MSK) yang digunakan pada penelitian tidak mengalami proses pemurnian agar kandungan β-karoten masih tinggi yaitu antara ppm. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia MSK seperti warna, kadar air, kadar asam lemak bebas, dan konsentrasi β-karoten. Hasil analisis MSK dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis MSK dan persyaratan mutu MSK Karakteristik Persyaratan Mutu Hasil Analisis Warna jingga-kemerahan a ) jingga-kemerahan Kadar air maksimal 0.5% a ) 0.15% Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat) maksimal 5 a ) 3.67 Konsentrasi β-karoten ppm b ) 614 ppm Keterangan: a ) SNI , b ) Ooi et al. 1994, konsentrasi karoten MSK diukur absorbansinya pada 446 nm dan dihitung sebagai β-karoten. Pengamatan secara visual memperlihatkan MSK berwarna jinggakemerahan. Warna ini menunjukkan tingginya kandungan β-karoten di dalam MSK. Hasil pengamatan ini didukung dengan hasil pengukuran konsentrasi β-karoten dengan menggunakan metode spektrofotometri (PORIM p ) yakni sebesar 614 ppm. Menurut Ooi et al. (1994), konsentrasi karoten dalam MSK berkisar ppm. Kadar β-karoten di dalam minyak kelapa sawit bermutu tinggi, yaitu 600 µg/g atau ppm di dalam minyak sawit bermutu regular (Hermana dan Mahmud, 1989). Hasil analisis kadar air dan kadar asam lemak bebas menunjukkan bahwa MSK yang digunakan masih memenuhi standar kualitas minyak kelapa sawit mentah (MSK) menurut Standar Nasional Indonesia (SNI ) yaitu kadar air maksimal 0.5% dan kadar lemak bebas (sebagai asam palmitat) maksimal 5%. B. FRAKSINASI PELARUT Pemekatan β-karoten dengan menggunakan proses fraksinasi pelarut dipilih karena efektivitasnya yang tinggi dalam memisahkan zat yang diinginkan. Proses pemisahan disebabkan oleh perbedaan kepolaran 22

35 komponen-komponennya seperti β-karoten (non-polar) dan gliserida (lebih non-polar) di dalam MSK. Jenis pelarut yang digunakan adalah pelarut yang dapat melarutkan β-karoten, dimana senyawa β-karoten termasuk senyawa yang larut dalam lemak dan pelarut lemak (Gross, 1991). Kemampuan pelarut dalam melarutkan β-karoten pada fraksi cair, sehingga diperoleh konsentrat dengan tingkat pemekatan (konsentrasi) β-karoten dan recovery β-karoten yang tinggi. MSK yang digunakan harus dalam keadaan homogen, tidak berada dalam bentuk fraksi olein (cair) dan stearin (padat), agar seluruh bagian MSK memiliki karakter yang sama. Jika MSK yang digunakan telah lama disimpan sehingga terbentuk fraksi, maka MSK harus dihomogenkan dengan cara memanaskan menggunakan pemanas air dengan suhu maksimal 50 o C sambil diaduk rata selama 15 menit, sehingga kristal gliserida mencair dan larut merata di seluruh bagian MSK. Suhu pemanasan tidak boleh melebihi 60 o C karena akan memicu terjadinya perubahan steroisomer trans menjadi cis, walaupun belum terjadi dekomposisi β-karoten (Klaui dan Bauernfeind 1981). Penampakan MSK yang homogen (sehari setelah proses produksi dari industri ) dan MSK yang telah disimpan dan terfraksinasi pada suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 6. a b Fraksi cair Gambar 6. MSK yang homogen (a) dan MSK yang terfraksinasi pada suhu ruang (b) Fraksinasi MSK pada suhu ruang terlihat pemisahan yang jelas yaitu olein (fraksi cair) dan stearin (fraksi padat). Olein berwarna jingga-kemerahan jernih dan stearin berwarna jingga padat. Warna jingga kemerahan karena kandungan β-karoten yang tinggi pada MSK yang digunakan. Fraksi padat Menurut Kuswardhani (2007) perbandingan MSK dengan heksana sebesar 1:1 (b/v) memberikan pengaruh nyata terhadap tingginya recovery 23

36 karoten di dalam konsentrat pada suhu 27 o C dengan kecepatan thermoshaker 200 rpm selama 15 menit. Akan tetapi, perbandingan MSK/heksana 1:1 (b/v) tidak dapat diaplikasikan pada fraksinasi suhu rendah karena seluruh larutan MSK/heksana membeku pada suhu 20 o C dalam waktu 24 jam. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan perbandingan MSK/pelarut sebesar 1:2 (b/v) yaitu 50 g MSK dilarutkan dalam 100 ml pelarut. Pelarut yang digunakan yaitu pelarut non-polar (heksana) dan semipolar (aseton). Menurut Hernawati (2008), pelarut yang menghasilkan konsentrasi dan recovery karoten yang cukup tinggi pada suhu fraksinasi yang diturunkan secara bertahap mulai dari suhu kamar (27 o C), 20 o C, 15 o C, dan seterusnya sampai diperoleh pemisahan fraksi cair dan fraksi padat yang maksimal adalah aseton, heksana, petroleum eter, dietil eter, benzena, dan toluena. Widayanto (2007) menyarankan penggunaan pelarut yang lebih polar dibandingkan karoten dan heksana untuk mengoptimalkan pengekstrakan karoten. Jenis pelarut yang disarankan untuk digunakan adalah aseton. 1. Pencampuran MSK dengan Pelarut Pada suhu ruang, campuran MSK/heksana berwarna jingga jernih, sedangkan campuran MSK/aseton berwarna jingga keruh (Gambar 7). Hal ini karena heksana melarutkan gliserida MSK dengan baik, sedangkan aseton yang bersifat lebih polar kurang mampu melarutkan MSK yang nonpolar dengan baik. Hal ini sesuai dengan prinsip like disloves-like yaitu senyawa non-polar akan larut dalam senyawa non-polar, dan sebaliknya (Houghton dan Raman 1998). a b c Gambar 7. Erlenmeyer berisi 50 gram MSK (a); MSK dengan penambahan pelarut heksana (b) dan aseton (c). 24

37 Pada Gambar 7(a) terlihat tanda label putih yang ditempel pada dinding erlemeyer bagian luar, tujuannya sebagai penanda tinggi MSK seberat 50 g di dalam erlenmeyer yang ditunjukkan oleh batas atas tanda. Masih terdapatnya fraksi padat dalam campuran MSK/pelarut karena campuran belum diaduk sehingga belum semua MSK dapat larut dengan sempurna pada suhu ruang. Selain itu, perbandingan MSK/pelarut sebesar 1/2 (b/v) mengakibatkan campuran cukup jenuh akan MSK akibatnya pelarut belum dapat melarutkan secara langsung seluruh MSK yang ada. Oleh karena itu, campuran MSK/pelarut harus dihomogenisasi yaitu dengan pemanasan dan pengadukan. 2. Homogenisasi Campuran MSK/pelarut Homogenisasi campuran MSK/pelarut dilakukan dengan cara pemanasan dan pengadukan. Tujuan homogenisasi adalah untuk melarutkan seluruh MSK di dalam pelarut sehingga kelarutan β-karoten dalam pelarut meningkat. Homogenisasi dilakukan dengan memanaskan campuran MSK/pelarut pada suhu 50 o C selama 15 menit sambil diaduk dengan kecepatan 200 rpm. Pemilihan suhu pemanasan campuran MSK/pelarut 50 dikarenakan (1) untuk mencairkan seluruh kristal gliserida MSK, dimana titik leleh stearin antara o C dan titik leleh olein berkisar o C (Gunstone 2005), (2) untuk melarutkan senyawa β-karoten ke dalam pelarut, (3) untuk membentuk fase undercooled/supersaturated dan membentuk inti kristal gliserida sewaktu suhu larutan MSK/pelarut melewati suhu 35 o C (titik beku MSK 36 o C), dan (4) untuk mengurangi kerusakan β-karoten akibat pemanasan pada suhu di atas 60 o C (Naibaho 1983). Oleh karena itu, proses homogenisasi menggunakan orbital-thermoshaker karena alat ini dapat menjaga suhu pemanasan yang konstan dan sekaligus dapat mengaduk campuran tersebut dengan kecepatan konstan sehingga mempercepat proses kelarutan MSK di dalam pelarut. Selain itu, sebelum erlenmeyer yang berisi campuran MSK/pelarut dihomogenisasi, gas N2 teknis dihembuskan pada headspace di dalam erlenmeyer selama 5 detik, lalu segera ditutup rapat dan dilapisi dengan o C 25

38 parafilm. Tujuan penghembusan dengan gas N 2 adalah untuk untuk mengeluarkan oksigen yang terdapat pada atmosfer di dalam erlenmeyer dengan gas N 2. Menurut Meyer (1966) senyawa β-karoten tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum atau tanpa oksigen. Kecepatan dan waktu penghembusan gas N 2 harus dijaga agar pelarut tidak ikut menguap. Hal ini dapat diketahui ketika tercium bau pelarut yang cukup menyengat. Jika pelarut ikut teruapkan ketika pengembusan gas N 2, maka efisiensi dan efektifitas pelarut dalam melarutkan β-karoten dan MSK akan berkurang karena jumlah pelarut yang berkurang akibat penguapan. Pengadukan campuran MSK/pelarut sebelum proses homogenisasi cara menggoyangkan erlenmeyer dengan tangan sebanyak 15 putaran (berlawanan arah jarum jam), juga akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelarutan MSK dan β-karoten di dalam pelarut selama proses homogenisasi. Selama proses homogenisasi, seluruh bagian erlenmeyer ditutup dengan aluminium-foil seperti terlihat pada Gambar 8. Tujuannya adalah untuk mengurangi kerusakan β-karoten akibat cahaya. Kelarutan MSK di dalam pelarut dapat diamati dari warna larutan MSK/pelarut dan endapan MSK yang masih tersisa di dalam erlenmeyer. Perubahan warna fraksi cair dan fraksi padat dari campuran MSK/pelarut selama proses homogenisasi menggunakan orbital-thermoshaker dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 12. a b c Gambar 8. Erlenmeyer bertutup aluminium-foil di dalam orbitalthermoshaker (a); larutan MSK/pelarut setelah proses homogenisasi dengan pelarut: heksana (b) dan aseton (c) 26

39 Tabel 12. Perubahan komposisi fraksi cair dan fraksi padat, warna, dan kelarutan campuran MSK/pelarut selama proses homogenisasi Menit MSK/aseton MSK/heksana awal FC: +++ (kuning keruh) FC: ++++ (jingga jernih) FP: ++ (kuning) FP: + (kuning) 5 FC: +++ (jingga keruh) FC: ++++ (jingga jernih) FP: ++ (kuning) FP: FC: ++++ (jingga jernih) FC: (jingga jernih) FP: + (kuning) FP: FC: (jingga-kemerahan) FC: (jingga-kemerahan) FP: - - FP: - - Keterangan: FC= fraksi cair, dan FP= fraksi padat Berdasarkan hasil pengamatan secara visual pada homogenisasi campuran MSK/pelarut memberikan sifat kelarutan yang cukup berbeda. Hal ini terlihat dari perbedaan warna fraksi padat dan fraksi cair antarcampuran MSK/pelarut yang disebabkan perbedaan sifat kelarutan MSK dan β-karoten di dalam pelarut. Intensitas dari warna kuning hingga jingga disebabkan oleh semakin larutnya MSK di dalam pelarut sehingga semakin banyak senyawa β-karoten yang terlarut sehingga fraksi cair terlihat lebih kemerahan akibat cahaya yang diteruskan ketika menembus fraksi cair. Larutan yang keruh pada fraksi cair, seperti yang terlihat pada campuran MSK/aseton dikarenakan belum semua kristal gliserida, yang terdispersi pada fraksi cair, larut sempurna di dalam aseton yang bersifat semi-polar. Sedangkan fraksi padat yang berwarna kuning, yang terlihat baik pada campuran MSK/aseton dan MSK/heksana, dikarenakan warna β-karoten yang berwarna kuning dipantulkan dari lapisan permukaan fraksi padat yang tidak tertembus cahaya. Kecepatan kelarutan campuran MSK di dalam aseton larut sempurna pada menit ke-15, sedangkan kelarutan campuran MSK di dalam heksana lebih cepat yakni pada menit ke-5. Kecepatan kelarutan MSK di dalam heksana dikarenakan prinsip like disloves-like MSK yang bersifat non-polar lebih mudah larut di dalam heksana yang juga bersifat non-polar dibandingkan aseton yang bersifat lebih polar (semi-polar) pada suhu yang sama. Akan tetapi, secara umum kelarutan campuran MSK/pelarut meningkat dengan semakin lamanya waktu pengadukan dan distribusi suhu pemanasan. Hal ini terlihat dari tidak ada fraksi padat yang tersisa karena 27

40 seluruh bagian MSK terlarut di dalam pelarut, dan pada akhirnya hanya terlihat fraksi cair yang berwarna jingga-kemerahan setelah 15 menit proses homogenisasi pada suhu 50 o C tersebut. Ini menunjukkan seluruh senyawa β-karoten di dalam MSK telah terlarut di dalam pelarut. Larutan yang homogen ini akan membantu proses kristalisasi gliserida sewaktu proses penurunan suhu berikutnya, dimana proses pembentukan fraksi padat terjadi lebih teratur dan seragam dimulai dari kristalisasi gliserida yang memiliki titik beku yang lebih tinggi dan disusul dengan kristalisasi gliserida yang memiliki titik beku lebih rendah. 3. Penyimpanan Larutan MSK/pelarut dalam ruangan pendingin Larutan MSK/pelarut yang telah homogen tersebut disimpan pada ruangan bersuhu rendah untuk mengkristalkan gliserida MSK membentuk fraksi padat sehingga diperoleh fraksi cair yang kaya akan β-karoten yang terlarut di dalam pelarut bersama sebagian kecil gliserida yang memiliki titik beku lebih rendah yang terlarut. Sebelum dilakukan penyimpanan di dalam ruangan bersuhu rendah, larutan MSK/pelarut dihembus dengan gas N 2 teknis kembali selama 5 detik pada headspace erlenmeyer. Tujuannya untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya oksigen pada atmosfer erlenmeyer ketika tutup erlenmeyer terbuka karena tekanan uap pelarut selama proses homogenisasi sebelumnya. Penghembusan gas N 2 tidak boleh dilakukan secara berlebih agar pelarut dan komponen yang mudah menguap lainnya tidak menguap sewaktu penghembusan gas N 2. Setelah penghembusan gas N 2, erlenmeyer segera ditutup rapat dan dilapisi dengan parafilm (Gambar 9). Seluruh permukaan erlenmeyer kembali ditutup rapat dengan aluminium-foil untuk mengurangi kerusakan oksidasi akibat cahaya seperti yang terlihat pada Gambar 10. Tutup erlenmeyer Dilapisi parafilm Gambar 9. Erlenmeyer bertutup dengan dilapisi parafilm 28

41 Gambar 10. Erlenmeyer berisi larutan MSK/pelarut ditutup rapat dengan aluminium-foil pada seluruh permukaan erlenmeyer. 4. Penurunan Suhu Larutan MSK/Pelarut Secara Bertahap Penurunan suhu larutan MSK/pelarut dilakukan secara bertahap mulai dari 20 o C sampai -20 o C seperti berikut 20 o C, 10 o C, 0 o C, -10 o C, dan -20 o C. Tujuan penurunan suhu hingga -20 o C menurut Kuswardhani (2007) adalah untuk meningkatkan konsentrasi β-karoten konsentrat yang dihasilkan. Lama waktu penyimpanan pada masing-masing suhu dilakukan hingga proses kristalisasi gliserida pada suhu tersebut optimal, yaitu tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat dalam waktu 24 jam. Tujuannya untuk memastikan seluruh gliserida yang memiliki titik beku di atas suhu penyimpanan telah membeku dan kristal yang terbentuk lebih kokoh sehingga memudahkan proses pemisahan fraksi cair dari fraksi padat. Jika tidak ada pertambahan tinggi fraksi padat selama 24 jam, maka suhu ruang penyimpanan diturunkan ke suhu yang lebih rendah. Larutan MSK/pelarut yang telah dihomogenisasi (50 o C) langsung disimpan pada ruangan yang telah bersuhu 20 o C. Suhu ruangan penyimpanan dikalibrasi dengan menggunakan termometer penyimpanan, seperti terlihat pada Gambar 11 (b). yang telah diletakkan di dalam ruang b a Gambar 11. Larutan MSK/pelarut (a) disimpan di dalam ruangan bersuhu rendah dan dilengkapi termometer (b) 29

42 Terjadi penurunan suhu dari 50 o C (suhu homogenisasi) ke 20 o C (suhu pembekuan) menyebabkan terjadinya kristalisasi dari gliserida MSK yang memiliki titik beku 20 o C. Waktu optimal penyimpanan larutan MSK/pelarut pada suhu 20 o C ini adalah selama 9 hari karena pada hari ke- 10 tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat. Suhu ruang penyimpan larutan MSK/pelarut diturunkan ke suhu 10 o C dan disimpan selama waktu optimal yaitu 4 hari karena pada hari ke-5 tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat. Suhu ruang penyimpanan MSK/pelarut diturunkan ke suhu 0 o C dan disimpan selama waktu optimal yaitu 3 hari karena pada hari ke-4 tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat. Suhu ruang penyimpanan MSK/pelarut diturunkan ke suhu -10 o C dan disimpan selama waktu optimal yaitu 3 hari karena pada hari ke-4 tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat. Suhu ruang penyimpanan MSK/pelarut diturunkan ke suhu -20 o C dan disimpan selama waktu optimal yaitu 3 hari karena pada hari ke-4 tidak terlihat pertambahan tinggi fraksi padat. Deskripsi pengamatan visual dan fraksinasi yang terjadi selama proses penyimpanan larutan MSK/pelarut selama penurunan suhu dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 12 berikut. Tabel 13. Deskripsi pengamatan visual hasil penyimpanan larutan MSK/pelarut di dalam ruangan berusuhu rendah Suhu/Hari Ke- Fraksi MSK/Heksana MSK/Aseton 50 o Cair (jingga kemerahan) (jingga kemerahan) C/0 Padat - - Cair ++++ (jingga kemerahan) ++++ (jingga kemerahan) 20 o C/ (kuning) + (kuning) Padat butiran utuh di dasar dinding butiran buyar di dasar Cair ++++ (jingga kemerahan) +++ (jingga kemerahan) 10 o C/H (kuning) ++ (kuning) Padat butiran utuh di dasar dinding butiran buyar di dasar Cair ++++ (jingga kemerahan) ++ (jingga kemerahan) 0 o C/ (kuning ) +++ (kuning) Padat utuh di dasar sekeliling dinding dasar (sumur) Cair ++ (jingga kemerahan) ++ (jingga kemerahan) -10 o C/ (kuning) +++ (kuning) Padat butiran buyar di permukaan sekeliling dinding (sumur) + (jingga kekuningan) Cair + (jingga kemerahan) -20 o selah-selah fraksi padat C/ (kuning) ++++ (kuning) Padat padat kokoh sekeliling dinding (sumur) Keterangan: (-) : tidak terbentuk fraksi (0%) (+) : terbentuk fraksi (20%) (++) : terbentuk fraksi (40%) (+++) : terbentuk fraksi (60%) (++++) : terbentuk fraksi (80%) (+++++) : terbentuk fraksi (100%) 30

43 Suhu/Hari ke- MSK/Heksana MSK/Aseton 50 o C/0 20 o C/ o C/ o C/ o C/ o C/24-27 Gambar 12. Pembentukan fraksi cair dan fraksi padat larutan MSK/pelarut selama penurunan suhu secara bertahap Secara umum, terlihat pertambahan fraksi padat yang mengendap seiring penurunan suhu dan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini terjadi karena gerakan termal gliserida melambat karena penurunan suhu sehingga 31

44 jarak antarmolekul gliserida lebih dekat sehingga membentuk kristal gliserida yang semakin besar akibat gaya Van der Waals antargliserida. 5. Pemisahan Fraksi Cair dari Fraksi Padat Setelah larutan MSK/pelarut disimpan dan diturunkan suhunya secara bertahap hingga suhu -20 o C, dilakukan pemisahan fraksi cair dari fraksi padat. Pemisahan fraksi padat yang terbentuk dilakukan hanya pada suhu akhir fraksinasi (-20 o C) saja, dan tidak pada setiap penurunan suhu karena menurut Kuswardhani (2007) pemisahan pada akhir fraksinasi berpengaruh nyata terhadap pemekatan karoten di dalam konsentrat, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap recovery karoten di dalam konsentrat. Selain itu juga untuk menyederhanakan proses pemisahan dan mengurangi kerusakan β-karoten akibat penambahan perlakuan di dalam proses pemisahan fraksi padat yang terbentuk. Pemisahan dilakukan dengan cara melewatkan fraksi cair melalui kertas saring (Whatman no. 1). Pemisahan dilakukan di dalam ruangan penyimpanan yang bersuhu sama dengan suhu akhir fraksinasi yaitu -20 o C. Tujuannya untuk mencegah kristal gliserida mencair akibat perbedaan suhu lingkungan yang lebih tinggi. Sewaktu pemisahan, fraksi cair, yang berupa larutan pelarut, β-karoten, dan sebagian kecil gliserida yang masih larut dan berwujud cair, akan melewati kertas saring dan ditampung di dalam botol penampung fraksi cair. Sedangkan butiran fraksi padat, yang berupa kristal gliserida dan sebagian β-karoten dan pelarut yang terperangkap, akan tertahan di atas kertas saring. Fraksi cair hasil pemisahan dari fraksi padat dapat dilihat pada Gambar 13. a b a b MSK/heksana MSK/aseton Gambar 13. Hasil pemisahan fraksi padat (a) dan fraksi cair (b) 32

45 6. Pengulangan Fraksinasi Pelarut terhadap Fraksi Padat Pengulangan fraksinasi pelarut bertujuan untuk mendapatkan kembali (recovery) β-karoten yang masih terperangkap dalam fraksi padat. Menurut sewaktu fraksinasi (penyimpanan) larutan MSK/pelarut di dalam ruangan bersuhu rendah. Pengulangan fraksinasi pelarut dilakukan terhadap fraksi padat, yang didapat dari proses pemisahan fraksi cair dan fraksi padat sebelumnya. Fraksi padat tidak dilakukan penguapan pelarut karena untuk menyederhanakan proses fraksinasi pelarut dan mengurangi kerusakan β-karoten sejalan dengan waktu proses. Proses pengulangan fraksinasi pelarut sama seperti proses fraksinasi yang pertama (sebelumnya), kecuali sampel MSK diganti dengan fraksi padat. Fraksi padat ditambahkan 100 ml pelarut, kemudian dihomogenisasi pada suhu 50 o C dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 15 menit, lalu disimpan di dalam ruangan bersuhu rendah dan diturunkan suhunya secara bertahap hingga suhu -20 o C. Fraksi cair dipisahkan dari fraksi padat dengan melewatkannya melalui kertas saring (Whatman no.1). Fraksi padat, yang didapat pada fraksinasi pelarut tahapan ke-2, difraksinasi pelarut kembali. Proses pengulangan fraksinasi pelarut ke-3 ini sama dengan tahapan ke-2, yaitu fraksi padat (yang diperoleh dari tahapan ke-2) ditambahkan 100 ml pelarut, kemudian dihomogenisasi pada suhu 50 o C dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 15 menit, lalu disimpan di dalam ruangan bersuhu rendah dan diturunkan suhunya secara bertahap hingga suhu -20 o C. Fraksi cair dipisahkan dari fraksi padat dengan melewatkan melalui kertas saring (Whatman no.1). Proses pengulangan fraksinasi pelarut selesai. 7. Penguapan Pelarut Setelah diperoleh fraksi cair, tahap selanjutnya adalah penguapan pelarut dari fraksi cair. Tujuannya untuk mendapatkan konsentrat β-karoten. Penguapan pelarut dilakukan dengan cara menghembuskan inert, biasanya gas nitrogen (N 2 ) yang berguna pada tahap akhir fraksinasi ketika hanya beberapa gram sampel yang dihasilkan dari sejumlah kecil larutan (Houghton dan Raman 1998). 33

46 Pada penelitian ini digunakan gas N 2 teknis yang dihembuskan melalui permukaan fraksi cair. Penggunaan gas N 2 teknis, tidak murni gas nitrogen 100%, jika mengandung oksigen akan menjadi penyebab kerusakan β-karoten. Selama penguapan pelarut, penggunaan wadah (botol) tempat penyemprotan yang ditutup dengan aluminium-foil dan penghembusan gas N 2 pada suhu ruang bertujuan untuk mengurangi kerusakan β-karoten akibat oksidasi cahaya dan panas. Wadah tempat penghembusan yang merupakan wadah penyimpanan akhir harus ditimbang sebelumnya (Houghton dan Raman 1998). Penghembusan gas N2 dilakukan hingga diperoleh konsentrat dengan bobot yang konstan. Bobot yang konstan maksudnya adalah tidak terjadi perubahan (pengurangan) bobot konsentrat dalam selang waktu 15 menit waktu penghembusan. Konsentrat yang dihasilkan dari penyemprotan fraksi cair dapat dilihat seperti pada Gambar 14 (a,b). MSK/ MSK/ a b Gambar 14. Fraksi cair di dalam wadah penghembusan (botol) dan sekaligus wadah penyimpanan konsentrat setelah penguapan pelarut heksana (a) dan aseton (b) C. KARAKTER KONSENTRAT Konsentrat dengan bobot konstan hasil penguapan pelarut dari fraksi cair kemudian dianalisis konsentrasi β-karoten menggunakan metode spektrofotometer (PORIM p ). Kemudian dihitung rendemen bobot, tingkat pemekatan β-karoten, dan recovery β-karoten dari konsentrat yang diperoleh (Lampiran 1). Pengaruh perlakuan jenis pelarut heksana dan aseton terhadap karakter konsentrat yaitu rendemen bobot, tingkat pemekatan β-karoten, dan recovery β-karoten dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini. 34

47 1. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Rendemen Bobot Konsentrat Rendemen bobot konsentrat merupakan persentase perbandingan bobot konsentrat yang diperoleh terhadap bobot MSK. Semakin besar bobot konsentrat, maka semakin besar rendemen bobot konsentrat. Tujuan penghitungan rendemen bobot konsentrat adalah untuk melihat pengaruhnya terhadap recovery β-karoten. Rendemen bobot konsentrat dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Pengaruh jenis pelarut terhadap rendemen bobot konsentrat Gambar 15 memperlihatkan bahwa pelarut heksana menghasilkan rendemen bobot konsentrat yang lebih tinggi dibandingkan pelarut aseton. Tingginya rendemen bobot konsentrat hasil fraksinasi pelarut heksana karena tingginya gliserida MSK yang terlarut di dalam pelarut heksana pada fraksi cair. Tingginya kelarutan gliserida di dalam pelarut heksana dikarenakan gliserida yang bersifat non-polar dapat larut dengan sempurna di dalam pelarut heksana yang bersifat non-polar juga. Hal ini sesuai dengan prinsip like disloves-like yaitu senyawa non-polar akan larut dalam senyawa non-polar, dan sebaliknya senyawa polar akan larut dalam senyawa polar juga (Houghton dan Raman 1998). Tingginya kelarutan gliserida di dalam 35

48 pelarut heksana menyebabkan fraksi cairnya mengandung gliserida terlarut lebih banyak, sehingga ketika pelarut heksana diuapkan dari fraksi cair akan diperoleh konsentrat dalam jumlah (bobot) yang lebih tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi pada konsentrat yang diperoleh dari fraksinasi pelarut aseton yang bersifat semi-polar kurang melarutkan gliserida MSK yang bersifat non-polar pada suhu rendah. Perbedaan kepolaran ini menyebabkan lebih sedikit gliserida MSK yang terlarut di dalam fraksi cair, sehingga ketika pelarut aseton diuapkan dari fraksi cair akan diperoleh konsentrat dalam jumlah (bobot) yang lebih rendah. Berdasarkan hasil uji ANOVA, jenis pelarut heksana dan aseton memberikan pengaruh secara signifikan terhadap rendemen bobot konsentrat β-karoten pada taraf nyata 5% (Lampiran 2). 2. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Tingkat Pemekatan β-karoten Pemekatan β-karoten merupakan perbandingan konsentrasi β-karoten di dalam konsentrat terhadap konsentrasi β-karoten di dalam MSK. Semakin tinggi konsentrasi β-karoten di dalam konsentrat, maka semakin tinggi tingkat pemekatan β-karoten yang dihasilkan. Tujuan penghitungan tingkat pemekatan β-karoten adalah untuk melihat kemampuan pelarut, baik heksana maupun aseton, dalam proses pemekatan β-karoten dari MSK dengan metode fraksinasi pelarut. Tingkat pemekatan β-karoten di dalam konsentrat dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Pengaruh jenis pelarut terhadap tingkat pemekatan β-karoten 36

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Malaysia dalam produksi minyak sawit. Pada tahun 2004, produksi dan ekspor negara Malaysia mencapai masing-masing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah paling potensial untuk menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

Bab II. Tinjauan Pustaka

Bab II. Tinjauan Pustaka Bab II. Tinjauan Pustaka A. Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380 nm)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka A. Minyak Sawit Bab II Tinjauan Pustaka Minyak sawit berasal dari mesokarp kelapa sawit. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) CPO yang berasal dari empat perusahaan di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow

Lebih terperinci

SKRIPSI OPTIMASI PEMEKATAN KAROTENOID PADA METIL ESTER KASAR (CRUDE METHYL ESTER) MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI

SKRIPSI OPTIMASI PEMEKATAN KAROTENOID PADA METIL ESTER KASAR (CRUDE METHYL ESTER) MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI SKRIPSI OPTIMASI PEMEKATAN KAROTENOID PADA METIL ESTER KASAR (CRUDE METHYL ESTER) MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI KOLOM ADSORPSI Oleh EKO WIDAYANTO F24102049 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS Zul Alfian Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Buah kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20% biji (endokarp dan endosperm), dan setelah di ekstraksi akan menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

4023 Sintesis etil siklopentanon-2-karboksilat dari dietil adipat

4023 Sintesis etil siklopentanon-2-karboksilat dari dietil adipat NP 4023 Sintesis etil siklopentanon-2-karboksilat dari dietil adipat NaEt C 10 H 18 4 Na C 2 H 6 C 8 H 12 3 (202.2) (23.0) (46.1) (156.2) Klasifikasi Tipe reaksi and penggolongan bahan Reaksi pada gugus

Lebih terperinci

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Gambar 7 Desain peralatan penelitian 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pemucat bekas yang diperoleh dari Asian Agri Group Jakarta. Bahan bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 19 Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Biodiesel Minyak jelantah semula bewarna coklat pekat, berbau amis dan bercampur dengan partikel sisa penggorengan. Sebanyak empat liter minyak jelantah mula-mula

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH Petunjuk Paktikum I. ISLASI EUGENL DARI BUNGA CENGKEH A. TUJUAN PERCBAAN Mengisolasi eugenol dari bunga cengkeh B. DASAR TERI Komponen utama minyak cengkeh adalah senyawa aromatik yang disebut eugenol.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, (C 17 H 35 COO Na+).Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan melalui kekuatan pengemulsian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta.

Lebih terperinci

SKRIPSI KAJIAN PROSES FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN PELARUT ORGANIK DALAM UPAYA PEMBUATAN KONSENTRAT KAROTENOID

SKRIPSI KAJIAN PROSES FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN PELARUT ORGANIK DALAM UPAYA PEMBUATAN KONSENTRAT KAROTENOID SKRIPSI KAJIAN PROSES FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR DENGAN PELARUT ORGANIK DALAM UPAYA PEMBUATAN KONSENTRAT KAROTENOID Oleh: HERHER HERNAWATI F24103027 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 1. Neraca Analitik Metter Toledo. 2. Oven pengering Celcius. 3. Botol Timbang Iwaki. 5. Erlenmayer Iwaki. 6.

BAB 3 METODE PENELITIAN. 1. Neraca Analitik Metter Toledo. 2. Oven pengering Celcius. 3. Botol Timbang Iwaki. 5. Erlenmayer Iwaki. 6. BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat alat 1. Neraca Analitik Metter Toledo 2. Oven pengering Celcius 3. Botol Timbang Iwaki 4. Desikator 5. Erlenmayer Iwaki 6. Buret Iwaki 7. Pipet Tetes 8. Erlenmayer Tutup

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan November 2011 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Desain dan Sintesis Amina Sekunder

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Desain dan Sintesis Amina Sekunder BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Sintesis amina sekunder rantai karbon genap dan intermediat-intermediat sebelumnya dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor. Sedangkan

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tumbuhan Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung untuk mengetahui dan memastikan famili dan spesies tumbuhan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Red Palm Olein (RPO) dan Mi Instan. RPO merupakan CPO yang telah mengalami proses netralisasi secara kimia

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010 LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F )

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F ) SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER Hendrix Yulis Setyawan (F351050091) Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK. Oleh : VERAWATY F

SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK. Oleh : VERAWATY F SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK Oleh : VERAWATY F24104109 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Verawaty. F24104109. Pemetaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah CPO yang berasal dari lima perusahaan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow Internasional

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan Bahan Peralatan yang diperlukan pada penelitian ini meliputi seperangkat alat gelas laboratorium kimia (botol semprot, gelas kimia, labu takar, erlenmeyer, corong

Lebih terperinci

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri Standar Nasional Indonesia Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri ICS 13.060.50 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ketersediaan sumber energi khususnya energi fosil semakin mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi dunia (Arisurya, 2009). Indonesia yang dahulu

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGEMBANGAN PRODUK MINYAK SAWIT MERAH (MSM) DAN INTRODUKSI PEMASARANNYA

SKRIPSI PENGEMBANGAN PRODUK MINYAK SAWIT MERAH (MSM) DAN INTRODUKSI PEMASARANNYA SKRIPSI PENGEMBANGAN PRODUK MINYAK SAWIT MERAH (MSM) DAN INTRODUKSI PEMASARANNYA 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Wardi, F24104038.

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MARGARIN TERHADAP KADAR ASAM LEMAK BEBAS

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MARGARIN TERHADAP KADAR ASAM LEMAK BEBAS PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MARGARIN TERHADAP KADAR ASAM LEMAK BEBAS Nur Istiqomah, Sutaryono, Farida Rahmawati INTISARI Berdasarkan kebiasaan masyarakat dalam menyimpan margarin untuk dikonsumsi dalam jangka

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah saus sambal dan minuman dalam kemasan untuk analisis kualitatif, sedangkan untuk analisis kuantitatif digunakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

BAHAN DAN METODE. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2013 di Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian, Medan. Bahan Penelitian Bahan utama yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Minyak dan Lemak 1.1 TUJUAN PERCOBAAN. Untuk menentukan kadar asam lemak bebas dari suatu minyak / lemak

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Minyak dan Lemak 1.1 TUJUAN PERCOBAAN. Untuk menentukan kadar asam lemak bebas dari suatu minyak / lemak BAB I PENDAHULUAN 1.1 TUJUAN PERCBAAN Untuk menentukan kadar asam lemak bebas dari suatu minyak / lemak 1.2 DASAR TERI 1.2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Februari

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 14 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Langkah Kerja Penelitian Studi literatur merupakan input dari penelitian ini. Langkah kerja peneliti yang akan dilakukan meliputi pengambilan data potensi, teknik pemanenan

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam tahapan sintesis ligan meliputi laboratory set dengan labu leher tiga, thermolyne sebagai pemanas, dan neraca analitis untuk penimbangan

Lebih terperinci

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Minyak goreng bekas

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Minyak goreng bekas BABHI METODA PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat 3.1.1. Bahan-bahan yang digunakan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Minyak goreng bekas yang diperoleh dari salah satu rumah makan di Pekanbaru,

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 Disusun Ulang Oleh: Dr. Deana Wahyuningrum Dr. Ihsanawati Dr. Irma Mulyani Dr. Mia Ledyastuti Dr. Rusnadi LABORATORIUM KIMIA DASAR PROGRAM TAHAP PERSIAPAN BERSAMA

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak sawit merah netral (Neutralized Deodorized Red Palm Oil, NDRPO) dari Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas BAB III METODE PENELITIAN Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas minyak belut yang dihasilkan dari ekstraksi belut, dilakukan penelitian di Laboratorium Riset Kimia Makanan

Lebih terperinci

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak A. Pengertian Lemak Lemak adalah ester dari gliserol dengan asam-asam lemak (asam karboksilat pada suku tinggi) dan dapat larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), Kloroform

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran bilangan peroksida sampel minyak kelapa sawit dan minyak kelapa yang telah dipanaskan dalam oven dan diukur pada selang waktu tertentu sampai 96 jam

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni tahun 2012 Januari 2013 di Laboratorium Riset Kimia dan Laboratorium Kimia Analitik Instrumen Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pengantar Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit (Elaeis guineensis) terbesar di dunia. Produksinya pada tahun 2010 mencapai 21.534 juta ton dan dengan nilai pemasukan

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN LEMAK UJI SAFONIFIKASI

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN LEMAK UJI SAFONIFIKASI LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN LEMAK UJI SAFONIFIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Biokimia Pangan Oleh : Nama : Fanny Siti Khoirunisa NRP : 123020228 Kel / Meja : H / 10 Asisten :

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat NP 4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat CEt + FeCl 3 x 6 H 2 CEt C 8 H 12 3 C 4 H 6 C 12 H 18 4 (156.2) (70.2) (270.3) (226.3) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan Adisi

Lebih terperinci

4002 Sintesis benzil dari benzoin

4002 Sintesis benzil dari benzoin 4002 Sintesis benzil dari benzoin H VCl 3 + 1 / 2 2 + 1 / 2 H 2 C 14 H 12 2 C 14 H 10 2 (212.3) 173.3 (210.2) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan ksidasi alkohol, keton, katalis logam transisi

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kelapa sawit segar dan buah pascaperebusan (perebusan pada suhu 131 o C, tekanan uap 2 atmosfer, selama 100

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam tahapan sintesis ligan meliputi laboratory set dengan labu leher tiga, thermolyne sebagai pemanas, dan neraca analitis untuk penimbangan

Lebih terperinci

4019 Sintesis metil asetamidostearat dari metil oleat

4019 Sintesis metil asetamidostearat dari metil oleat NP 4019 Sintesis metil asetamidostearat dari metil oleat C 19 H 36 2 (296.5) 10 9 SnCl 4 H 2 Me (260.5) + H 3 C C N C 2 H 3 N (41.1) NH + 10 10 9 9 Me Me C 21 H 41 N 3 (355.6) NH Klasifikasi Tipe reaksi

Lebih terperinci

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol 4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol C 12 H 26 O (186.3) OH H 2 SO 4 konz. (98.1) + HBr (80.9) C 12 H 25 Br (249.2) Br + H 2 O (18.0) Klasifikasi Tipe reaksi dan penggolongan bahan Substitusi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengararuh pemberian ransum dengan suplementasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengararuh pemberian ransum dengan suplementasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang pengararuh pemberian ransum dengan suplementasi tepung ceker ayam terhadap kadar kolesterol dan Asam lemak pada kuning telur

Lebih terperinci

5012 Sintesis asetilsalisilat (aspirin) dari asam salisilat dan asetat anhidrida

5012 Sintesis asetilsalisilat (aspirin) dari asam salisilat dan asetat anhidrida NP 5012 Sintesis asetilsalisilat (aspirin) dari asam salisilat dan asetat anhidrida CH CH + H H 2 S 4 + CH 3 CH C 4 H 6 3 C 7 H 6 3 C 9 H 8 4 C 2 H 4 2 (120.1) (138.1) (98.1) (180.2) (60.1) Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari x BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Lipid Pengertian lipid secara umum adalah kelompok zat atau senyawa organik yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari zat

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

Penentuan Sifat Minyak dan Lemak. Angka penyabunan Angka Iod Angka Reichert-Meissl Angka ester Angka Polenske Titik cair BJ Indeks bias

Penentuan Sifat Minyak dan Lemak. Angka penyabunan Angka Iod Angka Reichert-Meissl Angka ester Angka Polenske Titik cair BJ Indeks bias ANALISA L I P I D A Penentuan Sifat Minyak dan Lemak Angka penyabunan Angka Iod Angka Reichert-Meissl Angka ester Angka Polenske Titik cair BJ Indeks bias Penentuan angka penyabunan - Banyaknya (mg) KOH

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan

Lebih terperinci