BAB I PENDAHULAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULAN 1.1. Latar Belakang Kelurusan adalah istilah yang diberikan oleh kalangan geolog untuk sebuah bentukan memanjang ( lines) atau batas tepi ( edges), diasumsikan terbentuk karena proses geologi, dan dapat dikenali dalam citra penginderaan jauh. Istilah ini sebenarnya telah dipakai jauh sebelum tersedianya foto udara dimana kalangan geolog menggunakannya untuk fitur geologi maupun morfologi, seperti bentukan topografi (punggungan, pola pengaliran, garis pantai), batas satuan batuan dan atau zona rekahan (Campbell dan Wynne, 2011). Pada awal perkembangan penginderaan jauh, geolog termasuk kalangan sipil pertama di luar militer yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan foto udara untuk penyelidikan geologi. Termasuk di dalamnya adalah ketertarikan para ahli geologi foto ( photogeologist) untuk melakukan kajian kelurusan yang terekspresikan oleh bentukan topografi atau morfologi dan sangat jelas dikenali dalam sebuah foto udara. Kajian yang dilakukan para ahli geologi foto ini mendapati bahwa fitur lurus atau kelurusan yang dikenali dari foto udara ternyata berkesesuaian besar dengan kenyataan kondisi struktur geologi yang ada di lapangan. Penelitian kelurusan, khususnya dalam kerangka kerja penginderaan jauh, telah mendapat banyak perhatian dan termasuk salah satu tema yang sering dibahas. Secara umum penelitian yang membahas kelurusan dapat dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian yang dititik beratkan pada pengembangan teknik ekstraksi dan analisis kelurusan dari citra penginderaan jauh ( Kernieli et al, 1996; Wang, 1996; Zakir et al, 1999; Casas et al, 2000; Vassilas et al, 2002). Dan kategori kedua adalah penelitian yang membahas penerapan atau pemanfaatan ekstraksi kelurusan untuk bidang ilmu lainnya diantaranya yaitu membahas analisis kelurusan dan hubungannya dengan eksplorasi minyak dan gas (Mohammed et al, 2010; Prabaharan et al, 2013), 1

2 permasalahan dan potensi air tanah (Dinger et al, 2002; Haryono et al, 2005; Henriksen, 2006), mineralisasi logam (Cunha, 1996; Sugeng, 2005). Perkembangan teknologi penginderaan jauh, terutama perkembangan teknik analisis manual ke digital, juga membawa dampak perubahan teknik ekstraksi dan analisis dalam kajian kelurusan. Metode ekstraksi dan analisis kelurusan secara digital/otomatis pun mulai banyak digunakan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa metode ekstraksi dan analisis manual/visual menghasilkan tingkat akurasi yang lebih baik namun perkembangan metode ekstraksi dan analisis digital/otomatis ini seharusnya mendapatkan respon yang positif mengingat metode ekstraksi dan analisis manual/visual memiliki tingkat subyektifitas yang tinggi dan sangat bergantung pada pengalaman dan keahlian seorang interpreter/analis, sedangkan melalui metode ekstraksi dan analisis digital/otomatis dapat diharapkan suatu hasil yang lebih obyektif. Hal ini tentunya memerlukan penelitian secara kontinyu dimana metode baru yang dikembangkan terus diuji dan dievaluasi sehingga dapat diterapkan secara tepat dan memberikan akurasi hasil yang sama baiknya atau mungkin lebih baik dibandingan dengan metode ekstraksi dan analisis manual/visual Rumusan Masalah Citra satelit menyajikan gambaran yang komprehensif tentang permukaan bumi dimana struktur geologi dalam cakupan regional tergambarkan sebagai sebuah bentuk kelurusan. Dalam kerangka kerja penginderaan jauh, kelurusan diinterpretasikan dari ekspresi topografi atau morfologi yang terekam dalam sebuah citra. Perubahan-perubahan fitur topografi atau morfologi seperti perubahan kemiringan lereng yang mendadak pada lereng yang curam, punggungan bukit/gunung, lembah, dan pola pengaliran akan tergambarkan oleh perubahan tonal/nilai keabuan yang mendadak sehingga membentuk fitur lurus dan dapat dikenali dalam sebuah citra. Beberapa faktor, seperti musim, vegetasi, sudut penyinaran matahari (iluminasi), resolusi spektral dan spasial mempengaruhi pengenalan kelurusan dari sebuah citra (Kavak dan Cetin, 2007). Satu faktor yang paling penting adalah iluminasi (Lillesand et al, 2004; Campbell dan Wynne, 2011). Sudut Azimut iluminasi akan menentukan arah bayangan dan 2

3 sudut elevasi iluminasi akan menentukan panjang bayangan. Oleh karena kelurusan umumnya memiliki arah dan orientasi tertentu maka kelurusan yang sejajar dengan sudut azimut iluminasi (arah datangnya sinar) akan sulit untuk dikenali. Demikian halnya dengan panjang bayangan yang ditentukan oleh sudut elevasi iluminasi, ketika posisi iluminasi menyebabkan panjang bayangan menjadi besar maka fitur kelurusan yang berada dalam daerah bayangan tersebut akan sulit untuk dikenali. Kajian literatur yang dilakukan mendapati bahwa citra Landsat-7 dan citra SRTM merupakan dua jenis citra yang umum digunakan dalam penelitian yang membahas mengenai kelurusan. Kedua citra ini dapat memperlihatkan ekspresi topografi atau morfologi daerah yang terekam di dalamnya. Dua jenis citra ini mewakili dua jenis sistem pencitraan dalam teknologi penginderaan jauh. Citra Landsat dihasilkan dari sistem penginderaan jauh pasif, dimana topografi atau morfologi terekspresikan secara tidak langsung oleh perbedaan tonal/nilai keabuan akibat pengaruh sudut azimut dan elevasi matahari. Sedangkan citra SRTM dihasilkan dari sistem penginderaan jauh aktif, dimana topografi atau morfologi secara langsung digambarkan oleh perbedaan nilai piksel yang merupakan nilai ketinggian/elevasi. Pada citra Landsat-7 pengaruh iluminasi terjadi secara alamiah oleh posisi matahari pada saat citra tersebut direkam. Sedangkan pada pada citra SRTM pengaruh iluminasi dapat diubah-ubah dengan memanfaatkan algoritma shaded relief. Sejalan dengan perkembangan teknik analisis yang berkembang ke arah digital/otomatis serta ditambah dengan semakin banyaknya sumber data citra dalam bentuk digital maka metode ekstraksi kelurusan otomatis merupakan teknik yang dipilih untuk diterapkan dalam penelitian ini. Teknik ekstraksi kelurusan otomatis sebenarnya telah banyak diterapkan dalam berbagai penelitian namun belum terlalu populer di daerah-daerah tropis yang tutupan lahannya didominasi oleh vegetasi. Khususnya di Indonesia, kajian analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis masih jarang ditemukan. Hasil yang obyektif dan tidak tergantung pada pengalaman seorang interpreter/analis merupakan kelebihan dari teknik ekstraksi otomatis, terlebih lagi pelaksanaannya 3

4 dalam kerangka kerja penginderaan jauh. Misalkan hal ini dikaitkan dengan upaya untuk memahami tatanan tektonik dan atau untuk mempelajari serta menyediakan data struktur geologi, maka penerapan teknik ekstraksi kelurusan otomatis ini akan menjadi alternatif yang sangat baik karena memberikan efektifitas yang lebih baik dalam hal waktu, tenaga, dan biaya dibandingkan dengan teknik ekstraksi dan analisis kelurusan secara manual/visual. Dari studi literatur yang dilakukan terdapat beberapa algoritma yang digunakan untuk mengekstrak kelurusan secara otomatis dari sebuah citra, salah satunya yaitu yang terdapat dalam modul LINE PCI Geomatica. Algoritma ini merupakan algoritma yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian mengenai kelurusan sekaligus juga algoritma yang dipilih dan akan digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian yang tertuang pada paragraf-paragraf sebelumnya maka dapat dirumuskan permasalahan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Metode ekstraksi kelurusan secara otomatis merupakan metode yang relatif baru berkembang seiring dengan perkembangan sains dan teknologi penginderaan jauh terutama perkembangan teknik analisis manual ke digital, dan khususnya di Indonesia, penerapannya masih jarang ditemukan. Maka penerapan metode ini dianggap perlu untuk dilakukan di lokasi penelitian. 2. Citra Landsat-7 dan citra SRTM merupakan dua citra yang umum digunakan dalam penelitian mengenai kelurusan. Sebagaimana diketahui bahwa kedua jenis citra ini dihasilkan dari sistem pencitraan yang berbeda maka akan memberikan informasi dan hasil ekstraksi kelurusan yang berbeda. Untuk itu dipandang perlu melakukan kajian perbandingan kemampuan kedua citra ini khususnya ketika digunakan untuk menganalisis kelurusan dengan menggunkan metode ekstraksi otomatis pada satu lokasi penelitian, 3. Iluminasi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan dapat dikenali atau tidaknya fitur kelurusan dari sebuah citra satelit. Pengaruh iluminasi pada citra Landsat-7 terjadi secara alamiah yakni ditentukan 4

5 oleh posisi matahari pada saat perekaman citra sedangkan pada Citra SRTM dapat diterapkan iluminasi buatan dengan menggunakan algoritma shaded relief. Berdasarkan hal ini maka dianggap perlu untuk melakukan kajian pengaruh perbedaan iluminasi pada kedua citra tersebut terhadap hasil analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis. 4. Analisis kelurusan dengan metode ekstraksi otomatis disandarkan pada fitur topografi/morfologi permukaan yang terekam pada citra dan dipercaya memiliki hubungan dengan proses tektonik yang pernah ataupun sedang berlangsung di daerah tersebut. Oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan kajian untuk mengetahui seberapa jauh penerepan metode ini dapat memberikan deskripsi tatanan tektonik di lokasi penelitian. Menilik rumusan masalah yang dipaparkan di atas maka dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Dapatkah penerapan metode ekstraksi kelurusan otomatis digunakan untuk menganalisis kelurusan di lokasi penelitian? 2. Bagaimanakah perbandingan hasil kemampuan citra Landsat-7 dan citra SRTM untuk analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis di lokasi penelitian? 3. Bagaimanakah pengaruh iluminasi terhadap hasil analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis? 4. Dapatkah hasil analisis kelurusan dengan metode ekstraksi otomatis memberikan gambaran keadaan tektonik di lokasi penelitian? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hal-hal yang tertuang dalam rumusan masalah guna mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah diajukan. Bila dijabarkan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menerapkan metode ekstraksi otomatis untuk menganalisis pola kelurusan di lokasi penelitian, 5

6 2. Melakukan kajian perbandingan hasil kemampuan citra Landsat-7 dan citra SRTM untuk analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis di lokasi penelitian, 3. Mengkaji pengaruh perbedaan iluminasi terhadap hasil analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis, 4. Mengkaji hasil analisis yang didapatkan dalam memberikan keadaan tektonik di lokasi penelitian Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu: 1. Peta kelurusan hasil ekstraksi otomatis skala 1: , 2. Deskripsi evaluasi perbandingan hasil kemampuan citra Landsat-7 dan citra SRTM untuk analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis di lokasi penelitian, 3. Deskripsi evaluasi pengaruh perbedaan iluminasi terhadap hasil analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis. 4. Deskripsi evaluasi keadaan tektonik di lokasi penelitian berdasarkan hasil analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis Kegunaan Penelitian Capaian hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Memberikan gambaran penerapan metode ekstraksi otomatis untuk analisis kelurusan dalam kerangka kerja penginderaan jauh, 2. Menunjang perkembangan metode ekstraksi otomatis untuk analisis kelurusan dari citra penginderaan jauh, 3. Memberikan cara alternatif dalam upaya untuk memahami tatanan tektonik dan atau untuk mempelajari serta menyediakan data struktur geologi Keaslian Penelitian Telah banyak penelitian yang bertemakan kajian kelurusan dengan memanfaatkan sains dan teknologi penginderaan jauh dilakukan oleh para ahli dan 6

7 kalangan praktisi. Beberapa diantaranya akan diuraikan pada bagian ini selain sebagai literatur rujukan juga sebagai pembanding untuk mencari persamaan maupun perbedaan dengan penelitian ini agar keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Shaheen Alhirmizy (2015), dalam penelitian berjudul Automatic Mapping of Lineaments Using Shaded Relief Images Derived from Digital Elevation Model (DEM) in Kirkuk Northeast Iraq, melakukan pemetaan kelurusan secara otomatis dengan menggunakan algoritma LINE dalam perangkat lunak PCI Geomatica Data yang digunakan berupa citra SRTM ( 90 x 90m global DEM), menggunakan teknik shaded relief dengan 8 (delapan) variasi sudut azimut penyinaran. Hasil analisis memperlihatkan kelurusan di daerah penelitian kecenderungan utamanya berarah NE-SW. Ekstraksi kelurusan otomatis dari citra A (gabungan variasi azimut dengan sudut 0 0, 45 0, 90 0, dan ) berhubungan erat dengan sistem garis kelurusan positif yang mana dengan sangat baik menunjukkan hubungan kelurusan dengan pola relief topografi sedangkan ekstraksi kelurusan otomatis dari citra B (gabungan variasi azimut dengan sudut 180 0, 225 0, dan ) lebih banyak memperlihatkan sistem garis kelurusan negatif yang me-nunjukkan hubungan kelurusan dengan pola pengaliran yang dikontrol oleh struktur geologi. Hung L.Q., Batelaan O., De Smedt F. (2005), dalam penelitian berjudul Lineament extraction and analysis, comparison of LANDSAT ETM and ASTER imagery. Case study Suoimuoi tropical karst catchment, Vietnam, mencoba membuat sebuah metodologi ekstraksi kelurusan secara digital/otomatis pada skala peta dasar 1: Data yang digunakan berupa citra Landsat-7 dan citra ASTER. Fusi citra diterapkan pada citra Landsat-7 menggunakan metode IHS pada saluran 3,4,5 untuk meningkatkan resolusi spasial ketiga saluran tersebut menjadi 15m. Ekstraksi kelurusan secara otomatatis menggunakan modul LINE perangkat lunak PCI Geomatica. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu : a.) Band 3 citra ASTER (AST3) dan band 4 hasil fusi citra Landsat-7 (TM4_F) merupakan saluran yang paling baik untuk digunakan dalam ekstrakasi kelurusan secara otomatis; b.) Citra ASTER menghasilkan 7

8 keakuratan yang lebih baik dibanding citra Landat-7 dalam ekstraksi kelurusan otomatis pada skala dasar 1:50.000; c.) Metode yang dikembangkan terbukti berhasil digunakan untuk ekstraksi otomatis dan anilisis kelurusan; d.) Peta densitas dengan indeks rata-rata panjang kelurusan dapat menjelaskan zona patahan yang ada didaerah penelitian. GÜLCAN SARP (2005) dalam t esisnya yang berjudul Lineament Analysis From Satellite Images, North-West Of Ankara, menerapkan tenkik penginderaan jauh untuk menganalisis kelurusan di barat laut Ankara. Dua teknik ekstraksi diterapkan dan dibandingkan yakni teknik manual dan teknik digital/otomatis. Data yang digunakan adalah citra Landsat-7 TM+. Empat metode (pemfilteran, PCA, penisbahan saluran dan komposit warna) diterapkan untuk ektraksi manual, peta kelurusan dari masing-masing metode ditumpangsusunkan satu per satu secara bertahap sehingga dihasilkan satu peta kelurusan yang merupakan gabungan dari keempat metode yang digunakan. Ekstraksi kelurusan secara otomatis menggunakan modul LINE PCI Geomatica dengan citra saluran 7 sebagai citra masukan. Kesimpulan dari prosedur yang diterapkan dalam penelitian ini dinyatakan bahwa ekstraksi manual memberikan hasil yang lebih baik dibanding ekstraksi otomatis dan penerapan prosedur teknik ekstraksi manual dalam penelitian ini diyakini berhasil dalam mengidentifikasi sesar dan zona sesar di daerah penelitian dengan tingkat akurasi sebesar 38,69%. Anwar Abdullah, Shawki Nassr dan Abdoh Ghaleeb (2013) dengan penelitian berjudul Landsat ETM-7 for Lineament Mapping using Automatic Extraction Technique in the SW part of Taiz area, Yemen mencoba metode ekstraksi otomatis untuk mendeteksi kelurusan di daerah penelitian dan menyelidiki kemampuan metode ini dalam memberikan hasil yang kemudian dibandingkan dengan peta patahan yang telah ada sebelumnya. Data yang digunakan berupa citra landsat-7 ETM+ saluran 5 sebagai sumber informasi kelurusan. Hasil yang didapat setelah dikonformasi dengan peta struktur yang telah dipublikasikan sebelumnya ditambah dengan hasil pengukuran lapangan menunjukkan bahwa analisis orientasi kelurusan yang diekstrak secara 8

9 otomatis dari citra yang dipakai memiliki kesamaan besar dengan data orientasi struktur geologi di daerah penelitian. Sedangkan bila dilihat dari jumlah dan total panjang kelurusan hasil ekstraksi jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dan total panjang kelurusan dari data sekunder yang dijadikan acuan. Rayan Ghazi Thannoun (2013) dalam penelitian berjudul Automatic Extraction and Geospatial Analysis of Lineaments and their Tectonic Significance in some areas of Northern Iraq using Remote Sensing Techniques and GIS, mendesain sebuah metode yang sesuai dalam menganalisis kelurusan secara digital/otomatis dan menerapkan kekhususan hasil analisis kelurusan yang diperoleh guna menilai kondisi tektonik daerah penelitian. Saluran 8 (pankromatik) citra Landsat-7 sebagai citra masukan kemudian ditransformasi menggunkan teknik pemfilteran spasial. Filter yang dipilih yakni directional Sobel-kernel filter dengan arah N-S, NE-SW, E-W, NW-SE. Ekstraksi kelurusan dilakukan secara otomatis menggunakan modul LINE PCI Geomatica. Analisis geospasial (jumlah, panjang, densitas) dilakukan untuk mengevaluasi hasil ekstraksi kelurusan yang diperoleh. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu : a.) Kelurusan di daerah penelitian memiliki dua jurus utama berarah NE-SW dan N-S; b.) Kelurusan dominan memiliki total jumlah dan panjang terbesar berarah NE-SW; c.) Letak sesar dan kelurusan utama pada umumnya berdekatan dengan tempat yang berdensitas besar; d.) Hasil analisis geospasial yang diperoleh memperlihatkan kesesuaian yang baik dengan tatanan tektonik di daerah penelitian. 9

10 Tabel 1.1 Beberapa penelitian terdahulu Peneliti Judul Tujuan Jenis Data Metode Penelitian Hasil Shaheen Alhirmizy (2015) Hung L.Q., Batelaan O., De Smedt F. (2005) Automatic Mapping of Lineaments Using Shaded Relief Images Derived from Digital Elevation Model (DEM) in Kirkuk Northeast Iraq Lineament extraction and analysis, comparison of LANDSAT ETM and ASTER imagery. Case study Suoimuoi tropical karst catchment, Vietnam Melakukan pemetaan kelurusan di daerah penelitian secara otomatis. Menciptakan metodologi otomatis dan analisis kelurusan secara digital pada peta dasar berskala 1: Citra SRTM (90 x 90m Global DEM) Citra satelit Landsat-7 ETM dan citra ASTER 10 Menggunakan teknik shaded relief (bayangan relief) Menggabungkan 4 citra bayangan relief dengan sudut azimut penyinaran 0 0, 45 0, 90 0, menjadi satu citra (citra A) serta citra 4 citra DEM dengan sudut azimut penyinaran 180 0, 225 0, 270 0, menjadi satu citra yang lain (Citra B) Ekstraksi kelurusan menggunakan algoritma LINE dalam perangkat lunak PCI Geomatica 2013 Fusi citra Landsat-7 band 3,4,5 resolusi spasial 30m dengan band 8 resolusi spasial 15m menggunakan tenik IHS, Ekstraksi kelurusan menggunakan algoritma LINE dalam perangkat lunak PCI Geomatica, Menerapkan koreksi kelurusan secara otomatis menggunakan sarana perangkat lunak ( tool) yang dikembangkan penulis, Analisis densitas kelurusan, menggunakan 3 indeks densitas utama dan 3 indeks densitas modifikasi, Membandingkan hasil ekstraksi dan Hasil analisis memperlihatkan kelurusan di daerah penelitian kecenderungan utamanya berarah NE-SW, Ekstraksi kelurusan otomatis dari citra A lebih banyak memperlihatkan sistem garis kelurusan positif yang mana sangat jelas menunjukkan hubungan kelurusan dengan pola relief topografi, Ekstraksi kelurusan otomatis dari citra B lebih banyak memperlihatkan sistem garis kelurusan negatif yang menunjukkan hubungan kelurusan dengan pola pengaliran yang dikontrol oleh struktur geologi. Band 3 VNIR citra ASTER dan band 4 citra Landsat-7 yang telah difusi ( pan-sharpening) merupakan saluran yang paling baik untuk dipakai dalam ekstraksi kelurusan otomatis, Citra ASTER memiliki keakuratan yang lebih baik dibanding citra Landsat-7 dalam analisis kelurusan pada skala 1:50.000, Metodologi yang dikembangkan terbukti menjadi metode yang cocok untuk ektraksi otomatis dan analisis kelurusan, Peta densitas dengan indeks nilai rata-rata panjang kelurusan dapat

11 analisis kelurusan yang diperoleh dari citra ASTER dan citra Landsat-7 ETM. menjelaskan zona patahan di daerah penelitian. GÜLCAN SARP (2005) Lineament Analysis From Satellite Images, North-West Of Ankara Menerapkan teknik penginderaan jauh untuk menganalisis kelurusan di barat laut Ankara Citra Landsat ETM-7 Menerapakan teknik ektraksi kelurusan secara manual ( visual interpretation) dan ektraksi otomatis (modul LINE PCI Geomatica), dan membandingkan hasilnya, Empat metode (pemfilteran, PCA, penisbahan saluran dan komposit warna) diterapkan untuk ektraksi manual, peta kelurusan dari masingmasing metode ditumpang-susunkan satu per satu secara bertahap sehingga dihasilkan satu peta kelurusan yang merupakan gabungan dari keempat metode yang digunakan, Ekstraksi kelurusan secara otomatis menggunakan modul LINE PCI Geomatica dengan saluran 7 sebagai citra masukan. Prosedur ekstraksi manual memberikan hasil yang lebih baik dibanding ekstraksi otomatis, Penerapan teknik ekstraksi manual diyakini berhasil dalam mengidentifikasi sesar dan zona sesar di daerah penelitian dengan tingkat akurasi sebesar 38,69%. Anwar Abdullah, Shawki Nassr, Abdoh Ghaleeb (2013) Landsat-7 for Lineament Mapping using Automatic Extraction Technique in the SW part of Taiz, Yemen Mencoba metode ekstraksi otomatis untuk mendeteksi kelurusan di daerah penelitian dan menyelidiki kemampuan metode ini dalam memberikan hasil yang kemudian dibandingkan dengan peta patahan yang telah ada sebelumnya. Citra Landsat-7 saluran 5 Panajaman kontras dengan perentangan linier Pemfilteran spasial menggunakan edge sharphening filter, Ekstraksi otomatis menggunakan modul LINE pada perangkat lunak PCI Geomatica. Arah kelurusan hasil ekstraksi otomatis memiliki kesesuaian yang besar dengan data orientasi struktur di daerah penelitian, Total frekuensi dan panjang kelurusan yang didapatkan dari ekstraksi otomatis lebih besar dibandingkan dengan data struktur geologi dalam referensi acuan. Rayan Ghazi Thannoun (2013) Automatic Extraction and Geospatial Analysis of Lineaments and their Tectonic Merancang sebuah metode yang sesuai dalam menganalisis kelurusan secara digital/otomatis dan Citra Landsat-7 saluran 8 Menerapkan teknik pemfilteran spasial, menggunakan directional sobel-kernel, dengan arah N-S, NE- SW, E-W dan NW-SE, Kelurusan di daerah penelitian memiliki dua jurus utama berarah NE-SW dan N-S, Kelurusan dominan memiliki 11

12 Noviar Akase 2016 Significance in some areas of Northern Iraq using Remote Sensing Techniques and GIS Kajian Perbandingan Kemampuan Citra Landsat-7 dan Citra SRTM Untuk Analisis Kelurusan Dengan Menggunakan Metode Ekstraksi Otomatis (Studi Kasus Di Sebagian Pegunungan Selatan Bagian Timur Provinsi Gorontalo) menerapkan kekhususan hasil analisis yang diperoleh guna menilai kondisi tektonik daerah penelitian Menerapkan metode ekstraksi otomatis untuk menganalisis pola kelurusan di lokasi penelitian, Melakukan kajian perbandingan hasil pemanfaatan citra Landsat-7 dan citra SRTM untuk analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis di lokasi penelitian, Mengkaji pengaruh perbedaan iluminasi terhadap hasil analisis kelurusan dengan menggunakan metode ekstraksi otomatis, Mengkaji hasil analisis yang didapatkan dalam memberikan keadaan tektonik di lokasi penelitian. Citra Landsat-7 saluran 5 dan Citra SRTM (30m) Ekstrakasi kelurusan otomatis menggunakan modul LINE PCI Geomatica, Melakukan analisis geospasial berupa analisis panjang, densitas dan arah untuk mengevaluasi kelurusan. Memilih 2 scene citra Landsat-7 (berbeda tanggal perekaman) untuk mencari perbedaan sudut iluminasi Penerapan algoritma shaded relief untuk mendapatkan efektopografi pada citra SRTM, sudut azimut menyesuaikan dengan sudut azimut citra Landsat-7 Ekstraksi kelurusan secara otomatis menggunakan modul Line PCI Geomatica 2012, dengan 6 variasi parameter berdasarkan referensi acuan, Penajaman kontras ( histogram equalization), Analisis geospasial (densitas dan arah orientasi Melakukan evaluasi perbandingan hasil ekstraksi kelurusan otomatis yang didapatkan dari citra Landsat-7 dan citra SRTM total jumlah dan panjang terbesar berarah NE-SW, Letak sesar dan kelurusan utama pada umumnya berdekatan dengan tempat yang berdensitas besar, Hasil analisis geospasial yang diperoleh memperlihatkan kesesuaian yang baik dengan tatanan tektonik di daerah penelitian. Peta kelurusan hasil ekstraksi kelurusan otomatis skala 1: , Hasil ekstraksi kelurusan otomatis dengan citra masukan SRTM memberikan jumlah, total panjang, panjang max & min, rata-rata serta standar deviasi kelurusan yang lebih besar dibandingkan dengan citra masukan Landsat-7, Iluminasi berpengaruh pada hasil ekstraksi kelurusan secara otomatis, Arah trend kelurusan utama adalah NE-SW dan tren kedua adalah NW-SE dan ini secara regional sesuai dengan kondisi pembentukan sesar mendatar berpasangan dengan sesar terbesar adalah sesar Gorontalo yang berarah NW-SE. 12

13 1.7. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di Provinsi Gorontalo. Dalam lingkup regional lokasi penelitian berada di lengan utara pulau sulawesi yang secara tektonik merupakan kawasan rawan gempa sebagai konsekuensi logis adanya zona subduksi di utara laut sulawesi. Pemilihan lokasi penelitian terutama didasarkan pada kondisi topografi bergelombang berupa perbukitan dan pegunungan yang pembentukannya diasumsikan berhubungan dengan aktifitas tektonik yang pernah ataupun sedang berlangsung di daerah tersebut. Selain itu lokasi penelitian juga berbatasan langsung dengan Teluk Tomini dimana terdapat jalan lintas antar provinsi yang cukup ramai dengan aktifitas penduduk mulai dari permukiman, pariwisata, dermaga dan kepabeanan. Gambar 1.1. Peta lokasi Penelitian (sumber : pengolahan data, 2016) 13

14 Batas Lokasi Penelitian Letak geografis lokasi penelitian berada antara , ,768 BT dan , ,367 LU. Dengan luas ± 193,488 km 2 secara administratif meliputi dua wilayah kota/kabupaten di Provinsi Gorontalo yaitu Kota Gorontalo (4,1 %) dan Kabupaten Bone Bolango (95,9 %) Geologi Lokasi Penelitian Kondisi geologi regional lokasi penelitian didasarkan pada Peta Geologi Rinci, Indonesia, Lembar Bilungala Skala 1 : yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung Tahun Gambar 1.2. Peta Geologi Rinci Indonesia, Lembar Bilungala, Skala 1: (Partoyo E., dkk, PPPG Bandung, 1997) Daerah penelitian terletak pada daerah pertemuan dan batas antara lempeng-lempeng tektonik utama : daerah tumbukan yang memisahkan Lempeng Asia dari Lempeng India-Australia, daerah zona sesar geser (Zona Sesar Sorong) yang memisahkan lempeng India-Australia dari Lempeng Pasifik, dan daerah zona tunjaman memisahkan Lempeng Asia dari Lempeng Philipina-Pasifik. 14

15 Selama Miosen Akhir (?) sampai Pliosen Awal, Benua Banggai -Sula menyusup ke arah barat di bawah Lempeng Asia. Kejadian ini menghasilkan sistem magmatik dari Sulawesi Tengah Memanjang sampai ke lengan utara Sulawesi Utara dan berlanjut ke kepulauan Sangihe. Kegiatan gunungapi di lengan utara Sulawesi menghasilkan Batuan Gunungapi Bilungala dengan komposisi dari basalan sampai riolitan. Satuan batuan ini mungkin diendapkan pada lingkungan laut terbuka sampai darat. Tumbukan lempeng berakhir pada Pliosen bersamaan dengan perpindahan benua mikro Banggai-Sula dan obdaksi dari batuan metamorf ke atas jalur magmatik dari Lempeng Asia (Moore and Silver, 1983). Selama Pliosen Awal-Akhir, tumbukan lempeng menghasilkan thrust (sesar naik) di Satuan Batuan Gunungapi Bilungala. Kegiatan magmatik di lengan utara Sulawesi aktif kembali dan menghasilkan batuan vulkanik yang diendapkan pada daerah zona depresi antar pegunungan. Pada waktu Pleistosen, kegiatan vulkanik terbentuk dengan tatanan tektonik yang berbeda dengan kegiatan vulkanik sebelumnya. Jalur magmatik, termasuk satuan Batuan Gunungapi Pinogu, dihasilkan dari tumbukan antar Lempeng Philipina dengan lengan utara Sulawesi. Batuan Gunungapi Pinogu dibentuk oleh satuan material vulkanik yang mempunyai komposisi magma bersifat bimodal, dan diendapkan pada lingkungan darat sampai lingkungan laut. Pergerakan relatif dari Lempeng Philipina adalah ke arah SE sesuai dengan Sesar Gorontalo yang berarah SE-NW. Kegiatan tumbukan berakhir pada Pleistosen dengan disusul oleh terbentuk zona sesar normal yang berarah E-W, yang diwakili oleh dataran rendah Paguyaman, Limboto dan Pinogu. 15

Ekstraksi Kelurusan (Linement) Secara Otomatis Menggunakan Data DEM SRTM Studi Kasus: Pulau Bangka

Ekstraksi Kelurusan (Linement) Secara Otomatis Menggunakan Data DEM SRTM Studi Kasus: Pulau Bangka Ekstraksi Kelurusan (Linement) Secara Otomatis Menggunakan Data DEM SRTM Studi Kasus: Pulau Bangka Udhi Catur Nugroho 1 dan Susanto 1 1 Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

Metode Fault Fracture Density untuk Potensi Gerakan Tanah di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara

Metode Fault Fracture Density untuk Potensi Gerakan Tanah di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Metode Fault Fracture Density untuk Potensi Gerakan Tanah di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Irfan Saputra 1, Riza Novrinda 2 Jurusan Magister Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta 1,2 irfan.selfox@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam aktivitas tektonik sejak akhir zaman Tersier. Dinamika tektonik

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam aktivitas tektonik sejak akhir zaman Tersier. Dinamika tektonik 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Sumatera adalah bagian dari Paparan Sunda yang telah melewati berbagai macam aktivitas tektonik sejak akhir zaman Tersier. Dinamika tektonik sejak zaman Tersier

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi cadangan minyak bumi dan gas di bagian Barat Indonesia kini sudah melewati titik puncak kejayaannya, hampir seluruh lapangan minyak di bagian barat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tatanan tektonik daerah Kepala Burung, Papua memegang peranan penting dalam eksplorasi hidrokarbon di Indonesia Timur. Eksplorasi tersebut berkembang sejak ditemukannya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. geologi khususnya mempelajari tentang batuan sebagai objek utama, prosesproses

BAB I PENDAHULUAN. geologi khususnya mempelajari tentang batuan sebagai objek utama, prosesproses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Geologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian yang membahas berbagai aspek dan fenomena khusus yang ada di bumi. Dalam perkembangannya geologi khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang dilewati oleh Ring of Fire terbukti dengan banyaknya gejala-gejala geologi yang terdapat di Indonesia salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar dunia, antara lain Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia. Karena pertemuan ketiga

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal menjanjikan dalam eksplorasi minyak dan gas bumi di Cekungan Jawa Timur Utara. Zona Perbukitan Rembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana strata satu (S1). Tugas Akhir dilakukan dalam bentuk penelitian yang mengintegrasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7.1.Analisis Visual Analisis visual dilakukan untuk mendapatkan algoritma terbaik untuk menggabungkan data Landsat ETM+. Analisis visual dilakukan dengan menguji

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di ring of fire (Rokhis, 2014). Hal ini berpengaruh terhadap aspek geografis, geologis dan klimatologis. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur - 100 Bujur Timur. Provinsi Sumatera memiliki luas total sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa. Hal ini mendorong masyarakat disekitar bencana

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI Penginderaan jauh atau disingkat inderaja, berasal dari bahasa Inggris yaitu remote sensing. Pada awal perkembangannya, inderaja hanya merupakan teknik

Lebih terperinci

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai aktivitas manusia memungkinkan terjadinya perubahan kondisi serta menurunnya kualitas serta daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan rumah berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan diantara tiga lempeng besar, yaitu lempeng pasifik, lempeng Indo-

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan diantara tiga lempeng besar, yaitu lempeng pasifik, lempeng Indo- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sulawesi terletak di bagian tengah wilayah kepulauan Indonesia dengan luas wilayah 174.600 km 2 (Sompotan, 2012). Pulau Sulawesi terletak pada zona pertemuan

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terdiri dari 3 lempeng tektonik yang bergerak aktif, yaitu lempeng Eurasia diutara, lempeng Indo-Australia yang menujam dibawah lempeng Eurasia dari selatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Provinsi Sulawesi Barat terletak di bagian barat Pulau Sulawesi dengan luas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Provinsi Sulawesi Barat terletak di bagian barat Pulau Sulawesi dengan luas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mamuju merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan Provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004. Provinsi Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks, hal ini karena wilayah Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling bertumbukan,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan tatanan geologi Indonesia berada pada tiga pertemuan lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Bemmelen, 1949).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki tatanan tektonik yang aktif yang berada pada bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga lempeng besar,

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

JUDUL TUGAS AKHIR PEMETAAN GEOLOGI DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS DI DAERAH PEGUNUNGAN SELATAN ( Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah )

JUDUL TUGAS AKHIR PEMETAAN GEOLOGI DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS DI DAERAH PEGUNUNGAN SELATAN ( Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah ) JUDUL TUGAS AKHIR PEMETAAN GEOLOGI DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS DI DAERAH PEGUNUNGAN SELATAN ( Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah ) Rendy Arta Hanafi 3506 100 057 Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Bangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tiga Lempeng bumi (Bellier et al. 2001), yaitu Lempeng Eurasia (bergerak

BAB I PENDAHULUAN. tiga Lempeng bumi (Bellier et al. 2001), yaitu Lempeng Eurasia (bergerak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Sulawesi terletak pada wilayah yang merupakan pertemuan tiga Lempeng bumi (Bellier et al. 2001), yaitu Lempeng Eurasia (bergerak ke arah tenggara), Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang paling sering mengalami kejadian longsoran di Indonesia. Kondisi iklim tropis yang mempengaruhi tingginya curah

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi kesampaian daerah penyelidikan di Daerah Obi.

Gambar 1. Lokasi kesampaian daerah penyelidikan di Daerah Obi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya harga dan kebutuhan beberapa mineral logam pada akhirakhir ini telah menarik minat para kalangan investor tambang untuk melakukan eksplorasi daerah prospek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN SURVEY RAWAN BENCANA DI WILAYAH PEMBANGUNAN III KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA

PEMETAAN DAN SURVEY RAWAN BENCANA DI WILAYAH PEMBANGUNAN III KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA PEMETAAN DAN SURVEY RAWAN BENCANA DI WILAYAH PEMBANGUNAN III KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI BIDANG BINA PENGEMBANGAN GEOLOGI DAN SUMBERDAYA MINERAL Latar Belakang Secara

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG Vembri Satya Nugraha vembrisatyanugraha@gmail.com Zuharnen zuharnen@ugm.ac.id Abstract This study

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Indonesia Timur merupakan daerah yang kompleks secara geologi. Hingga saat ini penelitian yang dilakukan di daerah Indonesia Timur dan sekitarnya masih belum

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA LANDSAT UNTUK PEMODELAN PREDIKSI SPASIAL PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( STUDI KASUS : KOTA MUNTILAN)

APLIKASI CITRA LANDSAT UNTUK PEMODELAN PREDIKSI SPASIAL PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( STUDI KASUS : KOTA MUNTILAN) APLIKASI CITRA LANDSAT UNTUK PEMODELAN PREDIKSI SPASIAL PERKEMBANGAN LAHAN TERBANGUN ( STUDI KASUS : KOTA MUNTILAN) Hernandea Frieda Forestriko Jurusan Sains Informasi Geografis dan Pengembangan Wilayah

Lebih terperinci