BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Letak Geografis Kabupaten Pohuwato

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Letak Geografis Kabupaten Pohuwato"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Letak Geografis Kabupaten Pohuwato Kabupaten Pohuwato merupakan salah satu wilayah yang ada di Provinsi Gorontalo dan pada awalnya, Kabupaten Pohuwato masih termasuk Kabupaten Boalemo dalam kurung waktu dari tahun 1999 sampai dengan bulan mei Berdasarkan undang-undang nomor 6 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Bonebolango maka sejak tanggal 6 mei 2003 Kabupaten Pohuwato telah menjadi Kabupaten tersendiri. 1 Kabupaten Pohuwato dengan luas wilayah km² atau % dari luas total Provinsi Gorontalo, letak geografis antara lintang utara bujur timur. yakni sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buol (Sulawesi Tengah) dan Kecamatan Sumalata (Kabupaten Gorontalo Utara), sebalah timur berbatasan dengan Kecamatan Mananggu (Kabupaten Boalemo), sebelah selatan berbatasan dengan teluk tomini dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Mouton (Sulawesi Tengah). 2 1 Modul, (Pemetaan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove Kabupaten Pohuwato 2 Provinsi Gorontalo Skala 1:50.000), 2009, hlm 40 Modul, (Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan, Dan Penanggulangan Kerusakan Hutan Mangrove kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo), 2011, hlm 6

2 4.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap Alih Fungsi Kawasan Hutan Mangrove Di Kabupaten Pohuwato. Fenomena kondisi hutan manggrove di Kabupaten Pohuwato telah menghadapi baragam masalah yang kompleks dan saling keterkaitan yang bersifat multi dimensi yang mengharuskan semua pihak wajib mewujudkan sesuatu sistem pegelolaan secara lestari, baik kelestarian fungsi ekonomi, fungsi ekologi maupun fungsi sosial, dalam mempertahankan sumberdaya alam yang tersedia. Pemerintah harus berupaya melakukan penanganan melalui kegiatan-kegiatan yang dapat mengembalikan fungsi hutan yaitu fungsi produksi, fungsi lindung, serta fungsi konservasi. Akibat tekanan pertambahan penduduk dan mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato semakin menipis dimana budidaya pola tambak merupakan sumber mata pencaharian utama, dan bahkan ada kawasan yang menjadi satu pemukiman yang padat penduduk (desa). Alih fungsi kawasan hutan mangrove saat ini sangat mencuat dikalangan masyarakat yang telah banyak dijadikan lahan usaha pertambakan. Salah satu penyebabnya kurangnya peran serta pemahaman dari individu maupun kelompok masyarakat untuk merehabilitasi hutan mangrove. Padahal, dengan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak positif dalam peningkatan pembangunan ekonomi khususnya dalam bidang perikanan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Di samping itu, hutan mangrove sebagai suatu ekosistem didaerah pasang surut,

3 kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain. Pemanfaatan areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan ini banyak diusahakan oleh masyarakat yang berada didesa-desa wilayah kawasan hutan mangrove dan sebagian masyarakat yang berada didesa-desa diluar wilayah kawasan hutan mangrove. Besarnya pengalihan fungsi hutan mangrove ini, selain berakibat negatif kepada fungsi ekologi kawasan pesisir juga berdampak pada tingginya nilai ekonomi perlindungan lingkungan, dalam hal ini biaya rehabilitasi lahan mangrove. Melihat kondisi hutan mangrove yang sudah banyak dialih fungsikan maka diharapkan kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan ataupun suatu usulan guna mengembalikan kualitas hutan mangrove yang berpotensi sangat tinggi bagi kehidupan masyarakat untuk itu harus memerlukan pengelolaan dengan tepat, sejauh mungkin dapat mencegah terjdinya pencemaran lingkungan dan menjamin kelestarian untuk masa kini dan yang akan datang. Sejalan apa yang dikemukakan oleh Djoni Nento S.ip, Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan Dan Energi Kabupaten Pohuwato, (wawancara tgl 18/02/2013). Pemerintah daerah yang ada di Kabupaten Pohuwato khususnya dinas kehutanan pada tahun 2007 telah berupaya mengeluarkan surat dengan memuat tentang pelarangan dan pencegahan pembukaan lahan tambak oleh masyarakat dikawasan hutan mangrove, dan mendata serta melaporkan luas tambak yang sudah dimanfaatkan masyarakat.

4 Sejalan dengan intruksi Bupati Pohuwato nomor 01 tahun 2012 tentang larangan pembukaan lahan tambak dikawasan hutan mangrove dalam rangka perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato. Sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan maka pemerintah daerah tidak terlalu tegas terhadap adanya kerusakan lahan kawasan hutan mangrove yang dikelola oleh masyarakat hal ini dapat dibuktikan dengan pembukan lahan tambak di kawsan hutan mangrove. Sesuai dengan pernyataan Bpk. Nasir masyarakat/pemilik tambak (wawancara tgl 01/03/2013). Dalam hal ini memang pemerintah kabupaten telah menginstruksi dan mengeluarkan surat edaran tersebut tetapi kami tidak membuka lahan sendiri, kami membelinya dari orang yang sudah lama berkecimpun dimata pencaharian yaitu tambak sejak tahun 1999 dan sudah menghasilkan. Maka kalau ini dilarang maka kami harus bagaimana lagi untuk menghidupkan rumah tangga kami? sedangkan kami tidak punya apa-apa. Dalam melestarikan mangrove kami juga turut dalam hal ini. Contoh, mangrove yang berada diwilayah pesisir kami tidak merusaknya. Kerena kami juga mengetahui fungsi dan manfaatnya. Akan tetapi kami juga memberikan harapan agar pemerintah tidak menghentikan kegiatan kami ini namun sosialisasinya ditingkatkan. Menyikapi pernyataan yang disebutkan diatas dengan keterlambatan aturan yang dibuat oleh pemerintah dan kurangnya penyuluhan serta lemahnya aparat kehutanan sehingga masyarakat banyak meluangkan waktu untuk membuka lahan sebagai mata pencaharian dan mengalih fungsikan kawasan hutan mangrove menjadi

5 lahan tambak. Oleh karna itu perlu adanya peran serta kerja samanya pihak terkait dan pemerintah daerah. Berikut ini dapat kita lihat luas lahan kritis yang ada di Kabupaten Pohuwato pada tabel 1. Tabel 1: Luas Lahan Kritis di Kabupaten Pohuwato N o 1 2 LAHAN KRITIS Kecamatan AK K PK SK TK Gren Total Buntulia Dengilo 35, , , , , , , , Duhiadaa 1, , , Lemito Marisa Paguat Patilanggio Popayato 9 Popayato Barat 10 Popayato Timur Randangan Taluditi Wanggarasi 29, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,978.26

6 Grand Total 237, , , , , , Sumber, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kabupaten Pohuwato. Keterangan: AK : Agak Kritis SK : Sangat Kritis K : Kritis TK : Tidak Kritis PK : Potensial Kritis Berdasarkan tabel diatas nampaknya sangat besar lahan kritis diwilayah kabupaten pohuwato dan mengalami degradasi yang cukup laju, pemanfaatan lahan dipesisir berasal dari perbuatan manusia terhadap konservasi hutan mangrove. Kebanyakan terjadi konservasi hutan mangrove dialihkan ke fungsi yang lain seperti tambak. Dari uraian diatas kebijakan pemerintah dalam rangka melestarikan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato memerlukan pendekatan vertikal maupun horisontal dalam hal ini pemerintah harus mampu bersosialisasi dengan suluruh instansi terkait, dan msyarakat. Sebab dalam pemulihan ekosistem hutan mangrove dibeberapa daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Pohuwato yang dilakukan oleh pemerintah didukung dengan biaya dan dukungan serta partisipasi masyarakat, kebijakan tentang pelestarian ekosistem hutan mangrove oleh pemerintah Kabupaten Pohuwato karena hutan mangrove merupakan kawasan pantai yang didominasi oleh plora dan pauna. Luas kawasan hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato dapat dilihat pada tabel 2.

7 Tabel 2: Luas Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Kecamatan Di Kabupaten Pohuwato No Kecamatan Hutan Lindung Cagar Alam Hutan Produksi APL Grand Total 1 Paguat 251,83 60,31 24,02 270,72 606,88 2 Marisa 0 253,55 1,31 263,73 518,59 3 Duhiadaa 436,72 1, , Patilanggio 616, , Randangan 1, , , , Wanggarasi 1, , , Lemito 1, , Popayato timur Popayato Popayato barat , Grand total 6, , , , Sumber, Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kab Pohuwato. Berdasarkan tabel di atas bahwa kabupaten pohuwato mempunyai luas kawasan hutan mangrove sebesar 15, ha. Yang terdiri dari hutan lindung, hutan produksi, cagar alam, dan areal pembangunan lain (APL), saat ini hutan mangrove yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan sebesar 7, ha, hal ini dapat dilihat pada tabel 3.

8 No Tabel 3 : Luas kawasan Hutan Mangrove Yang Beralih Fungsi Menjadi Tambak Di Kabupaten Pohuwato Kecamatan Hutan Lindung Cagar Alam Hutan Produksi APL Grand Total 1 Paguat 95, Marisa Duhiadaa Patilanggio Randangan , Wanggarasi , , Lemito Popayato timur Popayato Popayato barat Grand total 2, , , , Sumber, Hasil Survey Tim Dinas Kehutanan Kabupaten Pohuwato Berdasarkan tabel diatas bahwa hutan mangrove yang ada di Kabupaten Pohuwato sudah banyak yang dialih fungsikan hal ini dapat menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan olehnya itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya rehabilitasi untuk menanggulangi kerusakan yang sudah terjadi. Adapun penyebab kerusakan hutan mangrove diwilayah Kabupaten Pohuwato yaitu mencakup dua faktor yaitu:

9 a. Faktor internal 1. Tidak jelasnya batas kawasan hutan mangrove; 2. Adanya budidaya perikanan darat (pola tamabak) disekitar kawasan hutan mangrove; 3. Adanya pembukaan/penguasaan lahan oleh masyarakat yang diperkuat oleh administrasi kepemilikan lahan oleh pemerinah desa dan kecamatan tanpa sepengetahuan pemerintah daerah; 4. Minimnya personil polhut serta belum adanya PPNS pada dinas kehutanan; 5. Masih kurangnya pengawasan oleh pemerintah desa, kecamatan dinas kehutanan dan instansi terkait terutama BKSDA; 6. Masih minimnya anggaran sarana dan prasarana untuk perlindungan hutan; 7. Belum terjalinnya koordinasi lintas sektor; 8. Masih kurangnya penyuluhan; 9. Belum adanya perda yang mengatur khusus daerah pesisir pantai kawasan hutan mangrove; b. Faktor eksternal 1. Masih rendahya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan manggrove serta peraturan perundang-undangan; 2. Adanya pengkaplingan lahan mangrove oleh masyarakat setempat dan diperjual belikan kepada pengusaha tambak; 3. Perkembangan jumlah penduduk diwilayah Kabupaten Pohuwato;

10 4. Adanya migrasi penduduk dari dan luar Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo yang berinvestasi pada usaha tambak; 5. Masih rendahnya ekonomi masyarakat pesisir kawasan hutan mangrove; 6. Masih lemahnya pengawasan dan masih rendahnya partisipasi masyarakat terhadap rehabilitasi hutan mangrove; Menurut penulis pemerintah daerah harus selalu memperhatikan keadaan hutan mangrove yang ada diwilayah Kabupaten Pohuwato mengingat tingkat kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato sangat-sangat memprihatinkan untuk itu, perlu adanya suatu trobosan dan secepatnya melakukan suatu tindakan terkait pelestarian kawasan hutan mangrove dan mengadakan penataan lingkungan hidup untuk kesejahteraan rakyat maka perlu adanya pembinaan oleh pemerintah kepada masyarakat. Upaya untuk melestarikan kawasan hutan lindung (mangrove) yang perlu ditingkatkan dan dipertahankan melalui kebijakan yang sifatnya sangat mengikat, antara lain: 1. Memanfaatkan fungsi lindung bagi kawasan lindung yang masih bisa dipertahankan; 2. Pengembalian fungsi hutan bagi kawasan lindung yang telah beralih fungsi dan mengalami tumpang tindih dengan kegiatan budidaya yang dapat mengganggu fungsi lindung; 3. Pelanggaran atau pencegahan atau kegiatan budidaya pada kawasan lindung yang telah ditetapkan;

11 4. Pembatasan budidaya yang ada dengan tindakan konservasi secara intensif; 5. Pemindahan kegiatan budidaya yang dapat mengganggu fungsi kawsan hutan lindung; Dalam kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung khususnya kawasan hutan mangrove perlu adanya pendekatan yang terintegritas antara kepentingan pemanfaatan dan sumberdaya alam dan pelestariannya. Dikaitkan dengan adanya kondisi hutan mangrove yang mengalami kerusakan maka perlu penataan ruang yang eksisting delineasi kawasan hutan lindung dengan permasalahan tumpang tindih dengan kegiatan budidaya pola tambak yang dapat mengganggu fungsi lindung. Beberapa permasalahan yang terjadi yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah (Rahardjo Adisasmita): 1. Perambahan atau intervensi kawasan hutan lindung untuk kegiatan perladangan berpindah, sehingga menyebabkan semakin melusnya lahanlahan kritis. 2. Kondisi eksisting pada kawasan hutan lindung yang ternyata tidak mempunyai fungsi lindugn lagi. 3. Kegiatan bididaya yang telah lama berkembang yang menurut kriteria fisik merupakan kawasan lindung. 4. Pemukiman yang telah berkembang lama didalam kawasan lindung. 3 3 Rahardjo Adisasmita, 2010: Pembangunan Kawasan Dan Tata Ruang, Graha Ilmu, Yogyakarta. hlm 84

12 Oleh karena itu sangat diperlukan kebijakan dalam pengendalian fungsi yang sudah ditetapkan, yaitu untuk menjaga terjadinya erosi, bencana alam, sedimentasi, dan hidrologis tanah untuk menjamin kelestarian lingkungan. Menurut penulis untuk menjaga dan mengendalikan fungsi kawasan hutan mangrove pemerintah harus lebih cenderung melakukan pengawasan pemanfaatan kawasan lindung yang diantaranya: a. Pemantauan 1. Potensi kawasan hutan lindung yang perlu dijaga kelestariannya untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.. 2. Adanya kegiatan yang bisa merusak di bidang kuhutanan yang perlu di hentikan. 3. Mengupayakan kegiatan budidaya pada kawasan lindung yang telah ditetapkan. b. Evaluasi 1. Mengevaluasi kawasan hutan mangrove yang fungsinya masih sangat mengambang;

13 2. Mengevaluasi tentang kegiatan yang terjadi dibidang kehutanan khususnya dikawasan hutan mangrove; 3. Mengevaluasi nilai ekonomis dalam kawasan hutan lindung; Sejalan dengan yang diungkapan oleh Udin Buludawa Tokoh masyarakat (wawancara tgl 01/03/2013). Kami sangat mengharapkan kepada pihak pemerintah terutama instansi terkait untuk mengoptimalkan kawasan hutan maka kami butuh kepastian hukum terhadap pelestarian hutan mangrove dalam pengawasan yang seluas-luasnya kepada kami dalam upaya perbaikan sistem pengelolaan hutan mangrove secara bertahap. Kenyataan yang sedemikian, masyarakat ingin melihat sejauh mana peran dan prilaku dari pemerintah atau lembaga yang terkait dalam pelestarian kawasan hutan mangrove dan memberikan sanksi ataupun kepastian hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan baik disengaja maupun yang tidak disengaja. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa kecendrungan gangguan pada ekosistem mangrove diwilayah Kabupaten Pohuwato terus meningkat. Sementara upaya perbaikan dan pemulihan habitat masih sangat kurang tidak sebanding dengan laju konservasi lahan menjadi tambak maupun penebangan kayu untuk kayu bakar, dimana kondisi fisik lahan telah mengalami perubahan secara signifikan maka dengan itu upaya untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove sangat sulit untuk dilakukan. Selanjutnya Arif Tahir masyarakat (wawancara tgl 03/03/2013). Menyatakan perhatian pemerintah sangat menentukan keberhasilan tentang upaya pelestarian kawasan hutan mangrove, jika

14 pemerintah mengawasi dan mendampingi pengelolaan hutan mangrove dengan baik maka hasil yang ingin dicapai dapat terlaksana sebagaimana mestinya, tetapi jika pemerintah hanya memantaunya dari jauh maka hasilnya tidak akan optimal. Menyikapi permasalahan diatas maka ada beberapa hal yang menjadi kebijakan pemerintah daerah diantaranya: 1. Mempertahankan kelestarian kawasan hutan mangrove; 2. Lahan tambak yang terdapat dilokasi APL akan ditetepkan menjadi kawasan budidaya perikanan pola tambak dengan merehabilitasi pematang tambak; 3. Usulan taman hutan raya (Tahura) ke pemerintah pusat dimana tahura tersebut dikelola dengan sistem pembagian zona yaitu zona perlindungan, zona budidaya, zona wisata alam; 4. Usulan perubahan fungsi kawasan hutan secara persial ke pemerintah pusat; Upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah daerah (Dinas Kehutanan, Pertambangan Dan Energi) terkait dengan pelestarian kawasan hutan mangrove yaitu: 1. Sosialisasi, pengawasn pembinaan dan penerbitan perusakan mangrove. 2. Instruksi pelarangan pembukaan lahan tambak baru dan penggunaan alat berat dikawasan hutan mangrove; 3. Monitoring bersama DPRD Kabupaten Pohuwato; 4. Rehabilitasi hutan mangrove dari tahun 2004 sampai dengan 2011 seluas ha;

15 5. Pemberian rekomendasi perbaikan pematang tambak; 6. Di heiring pansus mangrove oleh DPRD Provinsi; 7. Di heiring oleh komisi II DPRD Kabupaten Pohuwato; 8. Pelaporan perusakan mangrove; 9. Pemeriksaan oleh polri kepada masyarakat dan aparatur; 10. Operasi gabungan dengan polri, satpol, dan dishut; 11. Pendataan kepemilikan tambak; Untuk masa yang akan datang maka perbaikan, pemulihan kawasan hutan mangrove dapat difokuskan pada lahan pertambakan yang terindikasi telah ada pemulihan alami, upaya yang bisa dilakukan dengan memproteksi lahan tersebut dari berbagai gangguan seperti penebangan dan pembukaan kembali untuk budidaya tambak. Pada lahan yang masih terbuka dan sisa konstruksi tambak masih ada, perbaikan hidrologi dengan membuka jalur air pasang surut antar petak tambak. Peran kelompok kerja (pokja) mangrove menjadi sangat penting dalam kegiatan rehabilitasi mangrove. Menurut Dahuri pemecahan suatu masaalah dengan suatu perencanaan tata ruang kawasan pesisir yang baik serta adanya dukungan dan peran masyarakat, swasta, dan pemerintah setempat. Tata ruang yang dimaksud adalah penetapan peruntukan lahan yang dibagi dalam empat zona yaitu: 1. Zona preservasi;

16 2. Zona konservasi; 3. Zona pemanfaatan; Zona preservasi adalah suatu daerah yang ekosistemnya unik, biota endemik atau langkah atau proses penunjang seperti sebagai daerah pemijahan, pembesaran, alur ruaya dan sebagai tempat berlindung dan mencari makanan. Sedangkan pada zona konservasi sebagai kawasan lindung, juga bisa dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali seperti kegiatan wisata alam dan pendidikan. Sedangkan zona pemanfaatan untuk budidaya hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan tidak mengganggu zona lainnya 4 Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Anonim yang menyatakan selain penataan tata ruang yang baik yang didukung oleh peran serta masyarakat, swasta dan pemerintah setempat, perlu ada suatu model pengelolaan pemanfaatan hutan mangrove yang baik yang akan dijadikan sebagai areal budidaya, model tersebut dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagian dari budidaya. Menurut Anonim ada beberapa prinsip dasar yang dapat diperhatikan untuk mengelola kawasan hutan angrove dan tambak secara terpadu dan baik yaitu: 1. Tambak dibangun pada areal mangrove yang sudah diatur dalam tata ruang yang baik sesuai dengan peruntukan zonasinya. 4 Dahuri (Tesis Misran, Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove Serta Pengaruhnya Terhadap Potensi Hasil Tangkapan Beberapa Jenis Krustasea Dipesisir Selatan Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo), Manado, 2006, hlm 74

17 2. Ketentuan mengenai lebar jalur hijau antara tambak dan pantai atau sungai yang disesuaikan dengan kondisi peraturan yang telah ditetapkan. 3. Tambak sebaiknya dibangun pada areal yang sangat luas tutupan mangrovenya. 4. Perbandingan antara luas tambak dengan luas mangrove yang sangat professional dikawasan perlu diperhatikan dan dapat dijadikan patokan pada suatu wilayah untuk menjamin peran mangrove bagi tambak dan lingkungan sekitar. 5. Tambak dibangun diarea yang memenuhi aspek ekologi seperti kualitas air, karakteristik tanah yang sesuai dengan pasang surut dan komposisi jenis mangrove, dan aspek teknis konstruksi tambak, keleregan lahan, tata guna lahan serta komunitas air ke dalam tambak. 6. Tambak yang tidak memenuhi aspek ekologis dan teknis tersebut, tentunya akan mengalami kegagalan dan terjadinya kerusakan hutan mangrove yang produktif. Dan apabila terjadi maka tambak harus dihutankan kembali dan dikelola dengan baik. 5 Dengan memperhatikan peran dan potensi sumberdaya alam ekosistem hutan mangrove yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan manusia, maka pemanfaatan hutan tersebut perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari, 5 Anonim (Tesis Misran, Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove Serta Pengaruhnya Terhadap Potensi Hasil Tangkapan Beberapa Jenis Krustasea Di Pesisir Selatan Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo), Manado 2006, hlm 75

18 sehingga tidak akan mengurangi daya dukung lingkungan. Dalam perkembangannya hutan mangrove telah dimanfatkan untuk berbaagai macam kepentingan dikalangan masyarakat tentunya membuat dampak negatif seperti budiydaya pola tambak, adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam memanfaatkan areal hutan mangrove sering menimbulkan adanya konflik atau tumpang tindih. Melihat kondisi sumberdaya hutan yang terjadi saat ini, maka kebijakan yang perlu diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah mengoptimalkan fungsi ekonomi, sosial budaya dan ekologi hutan yang berorientasi pada pelestarian ekosistem mangrove dengan dukungan kelembagaan yang handal, didukung oleh partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, perlu ditingkatkan pula keterlibatan para pemuka masyarakat dan pemuka agama untuk mengingatkan ancaman dan bencana kerusakan sumberdaya lingkungan dari aksi kerusakan hutan. Kedepan ada tiga hal yang harus decermati yaitu pemisahan dan keterkaitan secara jelas yang meliputi, kebijakan lahan dan ruang, produksi, dan kelembagaan dan keuangan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansur Monoarfa Staf Pegawai Dinas Kehutanan, Pertambangan Dan Energi Kabupaten Pohuwato (wawancara tgl 18/02/2013). Kerusakan hutan mangrove kami berusaha untuk menghentikan kerusakan yang terjadi dan mengadakan kegiatan merehabilitasi bahkan merostorasi dengan mengembalikan fungsi utama kawasan hutan mangrove dan menata hutan

19 mangrove yang mengalami kerusakan, mengingat potensi hutan sangat bepotensi tinggi bagi kehidupan masyarakat dalam pemenuhan ekonomi. Menurut Ramdan, bahwa nilai ekonomi total tersebut belum dapat mecakup keseluruhan nilai sumberdaya tersebut, hal ini disebabkan karena banyak fungsi ekosistem dan proses yang sulit dianalisis secara ilmiah, tetapi hasil penelitian ekonomi tersebut tetap sangat berguna dalam pengambilan keputusan, pemanfaatan dan penciptaan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. 6 Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam (termasuk sumberdaya hutan mangrove) yang sampai saat ini cenderung bersifat ekstraktif, yang lebih mengutamakan manfaat langsung dari sumberdaya yang ada. Dampak dari pada kebijakan tersebut, menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya hutan mangrove. Dengan memperhatikan hal tersebut diharapkan kepada pemerintah untuk melakukan suatu kajian dalam pengelolaan sumberdaya alam. Meskipun nilai ekonomi yang diperoleh menggambarkan nilai dugaan yang secara kasar, hal ini menggambarkan bahwa analisis ekonomi sumberdaya hutan mangrove: 1. Mampu memberikan input informasi serta jasa lingkungan dan aset lingkungan. 6 Ramdan, (Modul, Pemetaan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Skala 1:50.000), 2009, hlm 75

20 2. Mampu menyajikan informasi sebagai bahan pembuatan suatu keputusan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, terutama ekonomi terhadap aset sumberdaya yang sering diberikan nilai terlalu rendah. 3. Mampu memberikan input informasi dalam mempertimbangkan sumberdaya hutan mangrove dapat memperlambat laju degradasi lingkungan, pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove seharusnya dapat dilakukan dan memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat. 4. Dalam upaya mempertahankan kelestarian sumberdaya alam mangrove sebagai dasar kebijakan pembangunan. Menurut penulis ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu elemen yang terpenting bagi kehidupan manusia dan peranannya sangat berpengaruh dalam keseimbangan kualitas lingkungan hidup dan dapat menyeimbangkan kawasan pantai pesisir. Maka ada beberapa usulan dari pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan pelestarian kawasan hutan mangrove yakni rencana makro dan rencana mikro: a. Rencana makro (a). Penunjukkan dan penataan kawasan taman hutan raya (tahura): 1. Taman hutan raya (tahura) merupakan kawasan yang memiliki ciri khas pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun ekosistemnya yang sudah berubah;

21 2. Taman hutan raya (tahura) memiliki keindahan alam atau gejala alam; 3. Taman hutan raya (tahura) mempunyai luas yang memungkinkan pembangunan tumbuhan dan satwa; (b). Pengawetan kawasan hutan raya (tahura): 1. Melakukan perlindungan dan pengamanan; 2. Melakukan invertarisasi kawasan; 3. Melakukan penelitian dengan pengembangan yang menunjang pengelolaan sumberdaya hutan; 4. Melakukan pembinaan dan pengembangan tumbuhan atau satwa; b. Rencana Mikro 1. Restorasi atau rehabilitasi hutan mangrove Restorasi atau rehabilitasi merupakan usaha untuk mengembalikan kondisi lingkungan yang sudah rusak kepada kondisi semula secara alami. Restorasi atau rehabilitasi akan terus diupayakan dan dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Pohuwato terutama kawasan cagar alam dan kawasan hutan lindung. 2. Hutan desa Didalam penjelasan undang-undang No 41 tahun 1999 tentang pokok kehutanan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya PP no 6 tahun 2007

22 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani ijin atau hak yang dikelola oleh desa untuk kesejahteraan desa. Pengelolaan hutan desa merupakan suatu alternatif pengelolaan, pemanfaatan, penanggulangan, kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato, masyarakat dapat memanfaatkan hutan lindung untuk budidaya perikanan tampak merubah fungsi kawasan hutan lindung, disamping itu kawasan untuk budidaya perikanan masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan untuk peningkatan pendapatan. 3. Hutan kerakyatan Sistem hutan kerakyatan menggambarkan hutan bukan sekedar tegakan kayu melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan diantaranya hutan alam, hutan sekunder. Kerakyatan menegaskan aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal. 4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah Terhadap Alih Fungsi Kawasan Hutan Mangrove Di Kabupaten Pohuwato. Kebijakan pemerintah daerah dalam upaya melestarikan kawasan hutan mangerove di Kabupaten Pohuwato untuk melindungi terjadinya kerusakankerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan juga mempertahanakan dan menjaga hak negara atas hutan. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi dinamika lahan pantai disepanjang pesisir Kabupaten Pohuwato yaitu:

23 1. Perairan pantai yang umumnya landai; 2. Sedimentasi akibat suplai sedimen dari sungai-sungai yang bermuara diwilayah pantai terutama (sungai popayato, lemito, randangan, dan sugai marisa), dan belakang berasal dari sungai-sungai pasang surut yang membawa sedimen dari lahan-lahan mangrove yang dibuka untuk tambak; 3. Aksi gelombang besar saat musim angin timur, menyebabkan terbentuknya arus susur pantai kearah barat sepanjang wilayah pantai pohuwato. Oleh karena itu didalam konteks kebijakan pemerintah ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pelestarian kawasan hutan mangrove diantarnya adalah yang pertama faktor komunikasi yang di informasikan kepada masyarakat, kedua faktor Sikap yaitu sikap pelaksana daripada kebijakan pelestarian hutan mangrove, ketiga sumberdaya berupa fasilitas ataupun sarana yang dimiliki oleh instansi terkait, keempat faktor ekonomi masyarakat yang ada dikawasan hutan mangrove yang mempunyai peranan penting dalam hal tersebut yaitu: a. Faktor Komunikasi Faktor komunikasi dalam penyelenggaraan kebijakan dalam bidang kehutanan sangat berpengaruh, hal ini harus dipahami oleh pemerintah dalam mensosialisasakan atau menginformasikan kepada masyarakat keberhasilan pembangunan di bidang kehutanan tidak saja ditentukan oleh aparatur yang cakap dan trampil, tetapi harus

24 juga didukung peran serta masyarakat. Dalam undang-undang No 41 tentang pokok kehutanan pasal 52 dijelaskan bahwa pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumberdaya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Disamping itu, didalam pasal 5 dan pasal 6 undang-undang no 4 tahun 1982 tentang pengelolaan lingkungan hidup telah diatur peran serta masyarakat. Pasal 5 undang-undang No 4 tahun 1982 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berbunyi: 1. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; 2. Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menganggulangi kerusakan dan pencemarannya; Pasal 6 undang-undang No 4 tahun 1982 tentang pengelolaan lingkungan hidup ditentukan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang no 41 tentang pokok kehutanan pasal 56 dijelaskan bahwa penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumberdaya hutan bagi kehidupan manusia.

25 Menyadari akan pentingnya suatu komunikasi antara semua stakeholder, baik pemerintah, serta masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu diharapkan kepada pemerintah dalam mengkomunikasikan secara tepat agar mancapai suatu tujuan yang diharapkan. Menurut Abd Wahid Hiola Sekretaris Dinas Kehutanan Pertambangan Dan Energi Kabupaten Pohuwato (wawancara tgl 20/02/2013). Kami sebagai penyelenggara suatu kebijakan dalam pelestarian hutan mangrove dalam mengkomunikasikan apa maksud dan tujuan pemanfaatan dan pelestarian kawasan hutan mangrove kami menggunakan sarana dan prasarana untuk melakukan penyuluhan, seminar, rapat kerja dan mempublikasikan melalui media lain Olehnya itu peranan penting bagi pemerintah dalam rangka pengetahuan masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove dengan kesadaran masyarakat menjaga kawasan akan pentingnya bagi kehidupan mereka. Selanjutnya menurut Umar Pasandre masyarakat menyatakan (wawancara tgl 05/03/2013). Tujuan pelaksanaan daripada kebijakan pelestarian hutan mangrove oleh pemerintah daerah sangat memberikan manfaat besar bagi kami sebagai masyarakat, namun demikian kecendrungan pemerintah dalam mengkomunikasikan atau mempublikasikan dalam waktu yang sangat langka sehingga terjadi komunikasi yang tidak berkelanjutan terutama masyarakat yang tinggal dipelosok pedesaan tentunya mereka tidak terlalu mengetahui adanya kebijakan dari pemerintah itu sendiri Dengan demikian faktor komunikasi dalam kebijakan pemerintah daerah khususnya pelestarian kawasan hutan mangrove sangat berpengaruh, untuk itu dalam

26 mencapai upaya agar kebijakan terlaksana dengan baik salah satu cara dalam kegiatan ini menitip beratkan kepada masyarakat yang ada dikawasan pesisir hutan mangrove, peran pemerintah harus mensinergitas antara masyarakat dan pemerintah dalam pelestarian kawasan hutan mangrove. b. Faktor Sikap Sikap pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan sangat dipengaruhi oleh sikap pemerintah itu sendiri, maka dari itu sikap dan perilaku dalam melaksanakan kegiatan kehutanan, tentunya sangat terkait dengan peran dan fungsi yang diembang setiap stakeholder. Hal ini sesuai pernyataan Bambang pelaksana tehnis lapangan Dinas Kehutanan Kabupaten Pohuwato (wawancara tgl 22/02/2013). Kami dalam melaksanakan tugas ataupun pengawasan terhadap kawasan hutan mangrove kami langsung turun ke lokasi, sasaran kami untuk memberikan pemahaman akan pentingnya kawasan hutan mangrove kepada masyarakat, terutama masyarakat yang telah memanfaatkan hutan mangrove untuk kebutuhan sehari-hari dan yang penting telah berahli fungsi menjadi tambak tanpak diberi ijin dari pihak pemerintah daerah terutama dinas kehutanan. Pemerintah harus melakukan suatu pendekatan ruang wilayah adalah pemanfaatan wilayah dengan memperhatikan aspek ruangan yang mencakup aspek lokasi wilayah dan aspek dimensi wilayah. Aspek lokasi wilayah berkaitan dengan fungsi lindung, dengan masalah pemilihan lokasi bagi tempat permukiman atau

27 kegiatan usaha yang memperoleh tingkat kemudahan yang diinginkan, dan kegiatan usaha bagi masyarakat diwilayah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk mengembangkan kegiatan usahanya sehari-hari. Dan aspek dimensi wilayah berkaitan dengan tataguna lahan sehubungan dengan fungsi lindung dalam rangka pemanfaatan secara optimal. Dalam mengembangkan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan kehutanan, maka diperlukan suatu budaya IPTEK, karena dengan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi maka sikap dan perilaku masyarakat dapat secara konsisten dikembangkan kearah yang lebih baik. Serta peran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang sebenarnya sudah diatur dalam beberapa-beberapa peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam pasal 68 samapi dengan pasal 70 undang-undang No 41 tahun 1999 tentang pokok kehutanan diatur sebagai berikut: 1. hak masyarakat a. Menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar hutan. b. Dapat. 1) Manfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

28 2) Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan. 3) Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan. 4) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan. c. Masyarakat didalam dan sekitar hutan berhak memperoleh kompensansi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu untuk tidak menimbulkan kesensaraan kepada pemerintah dan pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan konfensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya. d. Setiap orang berhak memperoleh konfensasi karena hilangnya hak atas tanah milik sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. kewajiban masyarakat Dalam bidang kehutanan masyarakat berkewajiban ikut serta memelihara dan menjaga kawasn hutan dari gangguan dan perusakan, artinya mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan sebagainya.

29 3. peran serta masyarakat a. Turut berperan serta dalam pembangunan bidang kehutanan; b. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat diatur dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya Rijal Sompah ketua karang taruna Desa Torosiaje menyatakan (wawancara tgl 06/03/2013). Sikap dan perilaku pemerintah dalam mengaplikasikan suatu program kerja sangat menentukan keberhasilan program itu sendiri dalam hal ini jika pemerintah dalam pelaksanaan program sangat berperan penting maka akan tercapai sesuai apa yang diharapkan. Pengawasan terhadap kebijakan dalam pelestarian kawasan hutan mangrove salah satu wujud dan kunci keberhasilan setiap usaha dan upaya pelestatian yang secara berkesinambungan. Oleh karena itu pemerintah harus meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove. c. Faktor Sumberdaya Pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem atau sisten habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar kegitan tersebut berupa kegitatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem mangrove. Kegiatan pelestarian ekosistem mangrove ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agar fungsi tersebut dapat lestari. Pemanfaatan yang baik adalah penyandagunaan

30 sumberdaya sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang bersangkutan. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi.(supriharyono). 7 Dalam kebijakan pelestarian kawasan hutan mangrove sangat diperlukan adanya sumberdaya yang mempunyai peranan penting untuk pengembangan kawasan sebagai upaya pembangunan pada suatu wilayah demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya secara efektif dan berkelanjutan dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan produktif (sektor primer,sekunder, tersier) dan penyediaan fasilitas pelayanan ekonomi dan sosial, penyedian sarana dan prasarana serta perlindungan lingkungan. Sebagaiman diungkapkan oleh Abd Wahid Hiola, Sekretaris Dinas Kehutanan, Pertambangan Dan Energi Kabupaten Pohuwato (wawancara tgl 22/02/2013). Saat ini keterbatasan personil dinas kehutanan maka akan dilakukan kerja antara sektor dengan maksud dan tujuan pelestarian kawasan hutan mangrove agar terlaksana dengan apa yang diharapkan, dan berusaha menyampaikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat 7 Supriharyono. (Modul, Pemetaan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Skala 1:50.000), 2009, hlm 22

31 Dengan demikian sangat dibutuhkan jumlah staf dan tenaga ahli dalam menata sumberdaya hutan terutama dinas kehutanan, dan seharusnya sumberdaya hutan perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah agar status dan keadaan sumber fisik hutan dapat terjaga dengan baik serta kondisi sosial masyarakat yang ada didalam dan disekitar hutan tentunya lebih mengoptimakan sinergitas semua elemen itu perlu dilakukan pengukuhan kawasan hutan, dan penyusunan neraca sumber daya hutan serta sistem informasi kehutanan, dan sumberdaya manusia yang ada didalamnya. Selanjutanya menurut Rahmat Labuku masyarakat menyatakan (wawancara tgl 06/03/2013). Permasalahnya saat ini adalah sumberdaya manusia yang sangat terbatas sehingga terjadi ketidak koneksitas antara masyarakat dan pemerintah dalam mengoptimalkan program pelestarian kawasan hutan mangrove yang ada di Kabupaten Pohuwato, contohnya diwilayah kecamatan popayato tidak ada konsisten dari pemerintah kepada masyarakat, saat ini pemerintah harus mampu merekrut relawan dari kelompok masyarakat yang dapat membantu terlaksananya program tersebut. Menyikapi hal tersebut sangat berdampak pada arah kebijakan dalam upaya pelestarian hutan mangrove yaitu mengembalikan daya fungsi hutannya, kebijakan oleh pemerintah daerah dengan meluasnya perambahan hutan mangrove sesuai dengan kebutuhan masyarakat menunjukkan bahwa ada kecenderungan masyarakat yang menggeluti masalah kehutanan dan belum optimalnya penyuluhan pemerintah

32 kepada masyarakat. Olehnya itu perlu ditingkatakan SDM dan stakeholder yang terkait dengan kehutanan. Ada beberapa prinsip dalam penataan ruang yang terkait dengan pelestarian kawasan hutang mangrove dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan hidup yaitu: 1. Kesesuaian (suitability). Setiap kegiatan terkait dengan pengelolaan sumberdaya harus mempertimbagkan keserasian antara kebutuhan dari kegiatan yang akan dilaksanakan baik kegiatan langsung maupun tidak langsung pada saat sekarang maupun yang akan datang dan menghindari berbagai konflik yang terjadi diantara kegiatan-kegiatan dalam pemanfaatan ruang. 2. Kesinambungan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (the continuity of natural resources and environment). Fungsi perlindungan (proteksi) seharusnya selalu mengikuti fungsi yang telah dialokasikan pada ruang atau kawasan tertentu menjadi sangat penting tidak hanya karena karakteristik kawasan tersebut, akan tetapi memeliki kaitan yang erat dengan kawasan tersebut.

33 3. Demokratisasi ruang. Pemanfatana ruang atau kawasan seharusnya mampu menyediakan aksebilitas secara profesional bagi setiap anggota masyarakat untuk pemenfaatan sumberaya dalam wilayah atau disuatu kawasan yang bersangkutan. Dalam rencana pengelolaan sumberdaya seharusnya direncanakan dan disususn sedemikian rupa yang merupakan pendorong untuk mengembangkan kegiatan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat setempat. 4. Sinergi regional (regional synergy). Sinergi regional dalam suatu kondisi dimana kapabilitas suatu wilayah atau kawasan mengembangkan kegiatan pembangunan diakibatkan oleh intraksi fungsional secara optimal diantara unit-unit wilayah dan sekitarnya. d. Faktor Ekonomi Perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan akan memberikan dampak pada kegiatan perekonomian masyarakat, yang pada akhirnya berakibat pada pendapatan dan biaya secara finansial. Perubahan pada pendapatan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk valuasi sumberdaya alam dan lingkungan.

34 Dalam hal ini perlu diidentifiksi fakor-faktor input untuk perikanan karang yang menjadi output bagi ekosistem hutan mangrove. Demikian pula faktor-faktor biofisik yang mempengaruhi produktifitas ekosistem hutan mangrove perlu diukur dan diidentifikasi kaitannya dengan perikanan karang. Nilai-nilai ekonomi yang terkandung didalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisein dan berkelanjutan. Hal terungkap dari Djoni Nento, S.Ip Kepala Dins Kehutanan, Pertambangan Dan Energi Kabupaten Pohuwato (wawancara tgl 24/02/2013). Kami dari pemerintah daerah akan berusaha untuk mempertegas aturan-aturan yang sudah dibuat dan kebijakan yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah dan kami juga akan menerapkan tindakan hukum kepada masyarakat yang semata-mata tidak ada perhatian atas kebijakan yang diupayakan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah akan mempertegas aturan dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan mangrove yang ada diwilayah Provinsi Gorontalo khususnya Kabupaten Pohuwato mengingat manfaat hutan mangrove bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu dikaitkan dengan struktur birokrasi yang efektif yang bisa mewujudkan suatu program unggulan dari pemerintah daerah terkait pelastarian hutan mangrove dan pembangunan bidang kehutanan dan pengembangan hutan rakyat dengan adanya reboisasi hutan dan lahan kritis dengan tanaman yang memiliki nilainilai ekonomis yang tinggi, serta membina dan meningkatkan kesadaran ekologi dan

35 konservasi pada masyarakat dalam pemanfaatan hutan mangrove. Sejalan apa yang diungkapkan oleh Marjun Ngguik masyarakat (wawancara tgl 07/03/2013). Seharusnya pemerintah harus memperhatikan kondisi daripada masyarakat, karena sebagian masyarakat hidup mereka sangat bergantungan pada pemanfaatan hutan mangrove, contohnya kami sebagai masyarakat kecil biasanya kami mempergunakan kayu mangrove untuk kepentingan rumah tangga seperti dipakai untuk memasak, tetapi jika pemerintah melarangnya maka kami dalam keadaan yang seperti ini harus bagaimana lagi? Lain halnya dengan pendapat Muhidin Darise, Tokoh Masyarakat menyatakan (wawancara tgl 07/03/2013). Pemerintah bisa saja melarang kami untuk mengambil atau mempergunakan kayu mangrove yang biasa disebut dengan bakau tetepi pemerintah harus mampu menanggulangi keperluan kami dalam sehari-hari, seperti menyiapkan kompor dan minyak tanah, karena melihat kondisi ekonomi yang sangat rendah maka setiap masyarakat menggunakan kayu untuk keperluan memasak dan lain-lain Menyikapi pernyataan diatas masyarakat dalam hal ini perlu mendapat pengertian dari pemerintah bahwa hutan mangrove yang akan dilestarikan akan menjadi milik mereka khususnya yang ada diwilayah pesisir. Melalui mekanisme ini masyarakat tidak merasa dianggap bertanggungjawab, melainkan ikut memeliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan apa yang direncanakan oleh pemerintah menyangkut pelestarian kawasan hutan mangrove. Kondis

36 kemiskinan masyarakat disekitar hutan sangat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun oleh sebab itu tidak danya lapangan kerja diluar pertanian menjadikan sumber tekanan kawasan hutan oleh masyarakat hal ini disebabkan faktor hukum dan kebijakan pemerintah yang mendukung hal itu terjadi. Hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato baik secara langsung maupu tidak langsung telah memberikan manfaat kepada masyarakat disekitarnya, maka dari itu pemerintah mempertahankan sumberdaya hutan mangrove, merujuk dari hasil wawancara dengan masyarakat yang ada dikawasan hutan mangrove, nilai ekonomi hutan mangrove di Kabupaten Pohuwato dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan. a. Manfaat langsung Manfaat langsung berupa: 1) manfaat usaha tambak; 2) manfaat dari hasil kayu untuk bahan bangunan; 3) manfaat penangkapan hasil perikanan seperti kepiting, bibit alam, benur atau nener, dan kerang; 4) manfaat dari bibit bakau b. Manfaat tidak langsung Manfaat tidak langsung adalah nilai yang secara tidak langsung diserahkan manfaatnya, berupa hal yang dapat mendukung nilai guna langsung.

37 c. Manfaat pilihan Manfaat pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang, memperhitungkan manfaat keanekaragaman hayati (boidiversity) dari ekosistem mangrove. d. Manfaat keberadaan Manfaat keberadaan adalah nilai guna yang berdasarkan pada kepedulian akan keberadaan sumberdaya. Berdasarkan hasil identifikasi dan kuantifikasi seluruh manfaat hutan mangrove yang diperoleh di Kabupaten Pohuwato, maka nilai keseluruhan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4: Nilai Total Ekonomi Hutan Mangrove Di Kabupaten Pohuwato tahun 2009 No 1 2 Kategori manfaat Manfaat langsung aktual Manfaat tidak langsung Rp Per ha per tahun Rp Per tahun Presentase , ,46 21, , ,66 60,93 3 Manfaat pilihan , ,60 0,76 4 Manfaat keberadaan , ,00 17,03 Total , ,72 100,00 Sumber: Data Primer Pemetaan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove Di Kabupaten Pohuwato,

38 Nilai ekonomi total (NET) bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungn yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam, sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam dalam distribusi manfaat sumberdaya alam tersebut, (Ramdan). 8 8 Ramdan et al, (Modul, Pemetaan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Skala 1:50.000), 2009, hlm 73

ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN POHUWATO

ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN POHUWATO ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN POHUWATO Ain Madjid Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend. Soedirman No. 06 Kota Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Rencana Strategis

Rencana Strategis kesempatan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terdiri dari 17,508 buah pulau yang besar dan yang kecil secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Oleh : Presiden Republik Indonesia Nomor : 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal : 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber : LN 1991/35; TLN NO. 3441 Presiden Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah adalah Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. Pelayanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan garis pantai yang panjang menyebabkan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2011 2031 UMUM Ruang wilayah Kabupaten Karawang dengan keanekaragaman

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci