BAB II KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI"

Transkripsi

1 31 BAB II KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Kamus besar bahasa Indonesia memuat pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. 34 Menurut Andi Hamzah arti kata harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata yang menghina atau memfitnah. 35 Kata korupai berasal dari bahasa Latin Corruptio yang kemudian muncul dalam Bahasa Inggris dan Prancis Corruption, serta dalam bahasa Belanda Korruptie. 36 berikut : Sedangkan Black s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai Corruption is an act done with an intent to give advantages inconsistent with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person contrary to duty and the rights of others. 37 Transparency International menyatakan : 34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1989) 35 Andi Hamzah (a), Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Cet 3, (Jakarta : Gramedia,1991), hal Andi Hamzah (b), Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985), hal Black s Law Dictionary v. 240

2 32 Corruption involves behavior on part of officials in the public sector wether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the missue of the public power entrusted them. (korupsi mencakup perilaku dari pejabatpejabat di sektor publik, baik politikus ataupun pegawai negeri, dimana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka.) Pengertian tindak pidana korupsi juga telah dirumuskan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara keseluruhan dapat dilihat pada Bab II ( Tindak Pidana Korupsi), salah satu yang Penulis kutip adalah pengertian korupsi pada Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini yang menyatakan : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. B. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Extraordinary Crime Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP. 38 Di Indonesia tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang no. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa yang juga membutuhkan 38 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 1.

3 33 penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti terorisme, genosida dan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. 39 Dikatakan extraordinary atau luar biasa disebabkan karena hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional dan akibat yang ditimbulkan tindak pidana korupsi tersebut selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi Tindak pidaan korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak hak ekonomi masyarakat, maka tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa Karena korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya, 39 akibatnya tidak hanya dari kerugian rakyat banyak, melainkan merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi kehidupan nasional, akibat lebih luasnya adalah memperlemah karakter bangsa sehingga tidak bersikap disiplin, malas, tidak diakses pada Rabu, 1 September 2010, pukul 18:33:03 WIB. 40 Lihat bagian menimbang huruf a dan b, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 41 Lihat penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bagian I Umum, paragraf 2.

4 34 bertanggung-jawab, tidak jujur, tidak proaktif, tidak percaya diri, dan tidak memiliki semangat berjuang untuk mandiri, sebaliknya mudah menyerah serta mencari jalan pintas Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus yang terjadi, kerugia keuangan negara maupun kualitas tindak pidananya Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, hak sosial, ekonomi, pembangunan, akan tetapi merupakan salah satu bentuk penghancuran secara sistematis dan memporakporandakan harkat dan martabata manusia dan lebih daripada itu akibat daripaad korupsi yang telah terstruktur dan mumbudaya maka tidak menutup kemungkinan akan mengancam keutuhan NKRI (ada perlakuan yang tidak adil dan tidak berprikemanusiaan, untuk itulah dibutuhkan penanganan yang luar biasa agar diperoleh hasil yang luar biasa Tindak Pidana Korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis. Kerugian negara atas menjamunya praktek korupsi 42 A.M. Fatwa, diakses pada Kamis, 2 September 2010 pukul 10:29:45 WIB. 43 Abdul Rahman Saleh, diakses Kamis, 2 September 2010, pukul 20:19:08 WIB. 44 Cornelius Tangkere diakses pada Kamis, 2 September 2010, pukul 16:22:15 WIB.

5 35 sudah tidak terhitung lagi. Tahun 1993, soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara lain tahun sekitar 3% dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapaiu 45% namun saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastis. 45 Penggolongan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime tidak begitu saja disetujui oleh semua pihak, salah satu pihak yang tidak menyetujui ialah Prof. Indriyanto Seno Adji. Menurut Beliau tindak pidana korupsi belum dapat digolongkan seagai tindak pidana extraordinary crime melainkan hanyalah sebagai extraordinary crime melainkan hanyalah Serious Crime. 46 Karena yang disebut sebagai Extraordinary Crime sifatnya sistemik secara keseluruhan, merusak sistem ketatanegaraan dan sistem perpolitikan, akibatnya pun meluas, sementara yang terjadi di Indonesia korupsinya belum melumpuhkan sistem ketatanegaraan, artinya masih normal, pusat-pusat kekuasaan legislatif, eksekyif dan yudikatif tidak lumpuh. 47 Dalam hal ini Penulis tidak sependapat dengan Prof. Indriyanto, menurut pendapat Penulis bahwa korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya 45 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta, Juli 2001), hal Indriyanto Seno Haji diakses pada Jumat, 3 September 2010, pukul 16:54:37 WIB. 47 Ibid.

6 36 karena tindak pidana korupsi telah merampas hak sosial, politik dan kemanusiaan rakyat yang seharusnya memperoleh kesempatan untuk menikmati pelayananpelayanan publik seandainya bagian-bagian tersebut tidak irampas oleh para koruptor. Masalah korupsi dapat dikatakan sebagai masalah utama di Indonesia, karena hampir tidak ada sektor di masyarakaat yang bebas dari korupsi. Korupsi tertanam secara mendalam dilapisan masyarakat dan berbagai institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, bahkan pengadilan. Khusus korupsi di pengadilan, mantan Ketua Muda Mahkamah agung (MA) Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa jumlah hakim korup di Indonesia mencapai sekitar 50%. 48 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen anti korupsi, Indonesia masuk dalam jajaran salah satu negara terkorup di dunia. 49 Tentunya masalah korupsi sudah ada sebelum rezim Soeharto berkuasa. kemudian mengalami peningkatan yang cukup tinggi di masa pemerintahan Beliau, Dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto di tahun angka kelajuan korupsi sedikit menurun- walaupun ternyata belum menghasilkan penurunan yang cukup signifikan Tingginya tingkat korupsi tersebut mendapat sorotan dari organisasi dan lembaga asing. Berdasarkan penelitian Transparency International (TI) misalnya, selama 5 tahun berturut-turut ( ), Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korupsi di 48 Tim Gabungan Pembrantasan Tindakan Pidana Korupsi, Op. cit., hal Soren Davidsen, et, all, Menghentikan Korupsi di Indonesia , Sebuah Survey Tentang Berbagai Kebijakan dan Pendekatan Pada tingkat Nasional, (Jakarta : USINDO, 2007), hal 13.

7 37 dunia. Dan berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001 peringkat Indonesia turun menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam. 50 C. Peraturan Perundang-undangan tentang Korupsi Setelah Era Reformasi Di era reformasi, pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai upaya, diantaranya menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang diharapkan bisa berlaku secara efektif undang-undang tersebut di antaranya: Nomor Peraturan Perundang- Penjelasan undangan 1 TAP MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme 3 Undang-Undang No. 31 Tahun Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun Keputusan Presiden No. 127 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara Tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretaris Jenderal Komisi 50 Tim Gabungan Pembrantasan Tindakan Pidana Korupsi, Op. cit., hal 1.

8 38 6 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun Keputusan Presiden No. 44 Tahun Undang-Undang No. 20 Tahun Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Tabel 2.1 Peraturan Perundang-undangan Korupsi Setelah Era Reformasi D. Kedudukan KPK Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun Sejarah Singkat Berdirinya KPK Sejak awal pemerintah orde baru, Presiden Soeharto sudah membentuk beberapa komisi anti korupsi dalam usaha pemberantasan korupsi, diantaranya pada tahun 1967 di bentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada di bawah Kejaksaan Agung dan pada tahun 1970, pemerintah juga pernah membentuk komisi empat di mana komisi ini bertugas untuk menemukan penyimpangan di Pertamina, Bulog, dan

9 39 Penebangan Hutan. 51 Pada masa pemerintahan Ahdurahman Wahid sebagai presiden juga pernah di bentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), di mana lembaga ini dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun keberadaan lembaga-lembaga tersebut sepertinya belum juga dapat memuaskan masyarakat dilihat dari kinerja dan hasil yang diberikan oleh lembaga-lembaga tersebut. Sesuai pernyataan pada bagian sebelumnya, dengan adanya kenyataan sosiologis bahwa korupsi sebagai extraordinary crime sudah sangat merajalela dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia maka upaya luar biasa (extraordinary efforts) yang dipilih Indonesia pada era reformasi untuk berperang melawan fenomena korupsi adalah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide awal pembentukan KPK dimaksudkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan pengadilan konvensional dalam berbagai aspek, misalnya kelemahan kualitas dan integritas sebagian hakim, ketiadaan akuntabilitas pengadilan yang menyebabkan maraknya praktek mafia peradilan dengan melibatkan aparat 51 Teten Masduki dan Danang Widyoko, Menunggu Gebrakan KPK Jentera edisi 8 Tahun III ( Maret 2005 ), hal 42.

10 40 penegak hukum yang bersifat korup dalam setiap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. 52 Menurut kesimpulan hasil survey yang diadakan oleh Transparency Internasional Indonesia (TIII), inisiatif/pemicu terjadinya penyimpangan dalam suatu proses peradilan justru berasal dari pihak pengadilan itu sendiri. Kondisi ini semakin memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan sehingga lembaga peradilan dalam setiap tingkatannya selaku penyelenggara kekuasaan yudikatif dianggap belum dapat berperan maksimal sebagai wadah integrasi dan penyeimbang kepentingan negara, hukum, maupun masyarakat. Pembentukan KPK merupakan pelaksanaan dari Pasa 43 Undang- Undang No, 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana dinyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak fidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, meskipun terjadi keterlambatan waktu pemhentukannya. 53 Selain itu dibentuknya KPK juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. 52 Mengadili eksistensi pengadilan tipikor diakses pada Kamis, 9 September 2010, pukul 15:20:34 WIB 53 Undang- undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 43 ayat (1) menyatakan : Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

11 41 Jaksa dan kepolisian dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan berbagai perkara tindak pidana korupsi, demikian juga dengan lembaga-lembaga yang pernah dibentuk sebelumnya. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi rendah. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya anggapan bagaimana mungkin memberantas korupsi bila aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat korupsi pula (bagaimana kita dapat membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang, kotor). Karena itulah KPK, sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnva bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, memiliki kewenangan yang luar biasa, berdasarkan pada klasifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh KPK akan di bahas lebih lanjut pada bagian berikutnya dalam skripsi ini. 2. Tugas Dan Wewenang KPK Sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK

12 42 bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 54 Kedudukan KPK yang independen dalam hal ini merupakan jawaban dari persoalan penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, elit politik, elit ekonomi atau pengusaha- pengusaha besar. Kondisi ini menyebabkan kejaksaan atau kepolisian seringkali tidak dapat leluasa untuk menegakkan hukum karena terbentur dengan campur tangan (intervensi) pihak lain. Selain itu perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK akan diadili oleh pengadilan khusus anti korupsi 55, yang berbeda dengan pengadilan konvensional. Perbedaan ini terlihat dari jumlah hakimnya, pengadilan korupsi dipimpin oleh lima (S) majelis hakim. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK mempunyai tugas melakukan: Kordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi 2. Supervisi terhadap, instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi 3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi Indonesia (c), Op. cit pasal 20 ayat (1) 55 Ibid pasal I bid, pasal 6.

13 43 4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan negara Dalam melakukan tugas koordinasi KPK berwenang: Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi 2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi 3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait 4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi Dalam melaksanakan tugas supervisinya, KPK berwewenang: Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan 57 Mengenai kewenang penyidikan oleh KPK akan Penulis uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. 58 Ibid., pasal Ibid., pasal 8.

14 44 pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. 2. Mengambil ahli penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau ke jaksaan Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenanguntuk: Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan 2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi 3. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan 4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi 5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum 6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan melaksanakan tugas monitor KPK berwenang untuk : Melakukan pengkajian terhadap sistem pengolahan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah 2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengolahan administrasi tersebut berpotensi korup 60 Ibid, pasal Ibid., pasal 14.

15 45 3. Melaporkan kepada presiden RI, DPRdan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berlandaskan pada lima (5) asas sebagai berikut: Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadiian dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK. 2. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 3. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertangung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 5. Asas proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK 62 Ibid., pasal 5.

16 46 3. Kewenangan KPK Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kriteria tindak pidana korupsi di mana KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah tindak pidana korupsi yang: Melibatkan aparat penegak hukum penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp ,00 (Satu milyar rupiah) Jika ternyata dalam perjalanan terdapat kasus korupsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka penanganan kasus tersebut bukanlah oleh KPK melainkan oleh institusi penegak hukum lainnya yang berwenang untuk itu, seperti kepolisian dan kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK berwenang; Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan 2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk bepergian ke luar negeri 63 Ibid, pasal Ibid., pasal 12.

17 47 3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa 4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka terdakwa atau pihak lain yanjg terklait 5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya 6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait 7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,transaksi perdagangan dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang di lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang di periksa 8. Meminta bantuan lnterpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri 9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dari uraian kewenangan di atas, terlihat bahwa undang-undang, memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada penyidik

18 48 KPK jika dibandingkan dengan penyidik kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan besarnya tugas yang diemban oleh KPK seiring dengan makin parahnya tindak pidana korupsi merajalela di Indonesia, sementara institusi kepolisian dan kejaksaan dinilai kurang bergigi dalam penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya, selain berdasarkan pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK juga tidak lepas dari pengaturan sebagai mana diatur oleh undang-undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1 ) undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa: 65 (1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyelidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam undang- undang ini. Selain KUHAP dalam menjalankan fungsi dan kewenangan KPK juga mengacu pada pengaturan di dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana dinyatakan dalam Pasa1 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK: Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang 65 Ibid., pasal 38.

19 49 berlaku dan berdasarkan undang undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 hahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, kecuali ditentukan tain dalam undang-undang ini. Dengan berlakunya beberapa undang-undang dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang penyidikan KPK bukanlah menunjukkan terjadi tumpang tindih hukum/ peraturan perundang-undangan, karena tetap berlaku asas lex generalis derogat lex specialis, di mana ketentuan hukum yang khusus akan mengenyampingkan hukum yang umum, jadi dalam melaksanakan fungsi penyidikannya, KPK tetap berdasar pada ketentuan peraturan umum yaitu KUHAP, kecuali terdapat hal lain yang diatur oleh Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang tentang KPK. Salah satu perbedaan kewenangan dalam proses penyidikan yang dimaksud adalah pengaturan dalam Pasal 40 undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan: Komisi pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana kurupsi. 66 Pengaturan dalam Pasal ini tentunya sangat kontroversial dan menimbulkan banyak pertayaan, pasalnya penyidik biasa, seperti kepolisian dan kejaksaan memiliki wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah 66 Ibid., pasal 40

20 50 Penghentian penyidikan (SP3) 67, lalu apa yang, melatarbelakangi pengaturan pasal ini dalam undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan bagaimana akibat keberlakuan pasal ini terhadap proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK? Semua akan di bahas lebih lanjut pada bab 3 dan 4 skripsi ini. E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 instansi penegak hukum di Indonesia, yaitu POLRI, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini diatur dengan jelas oleh KUHAP, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang- Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Berlakunya ketiga undang-undang ini diharapkan tidak menimbulkan persaingan dalam makna negatif di antara tiga institusi tersebut, melainkan menjadi cambukan untuk turut serta dalam proses pemberantasan korupsi di negeri kita sehingga mereka dapat berjalan dengan sinergis. Dan apabila ada hal-hal atau yang bersinggungan, maka digunakanlah asas hukum lex specialis derogat lex generalis, di mana ketentuan undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum. Dalam hal ini KUHAP merupakan undang-undang yang umum, 67 Dalam skripsi ini Penulis hanya akan membahas masalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), bukan penuntutan.

21 51 sedangkan undang-undang khusus adalah undang- undang No. 30 Tahun 2002 dan undang-undang No. 16 tahun Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi, unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi wewenangnya. 68 Setiap instansi aparat harus merupakan sub sistem yang mendukung total system proses pengakuan hokum dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. Keberlakuan KUHAP merupakan langkah pembinaan menuju suatu pelembagaan alat- alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre. 69 Law enforcement centre adalah suatu lembaga yang menghimpun alatalat penegak kekuasaan hukum dalam sistem penegak yang terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra ini berlangsung proses pengakan hukum dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga dalam penertiban aparat yang pertama dilakukan ialah pemolaaan dan penjernihan fungsi dan wewenang di antara sesama instansi penegak hukum. 70 Pada masa sebelum keberlakuan KUHAP, terdapat beberapa pejabat yang mempunyai kewenangan penyidik. Sehingga KUHAP mencoba melakukan pembidangan tugas antara instansi terkait, pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas, 68 Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana (s.n Bina Aksara : 1987 ), hal M. Yahya harahap Op. cit., hal Ibid.

22 52 wewenang dan tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi. 71 Sebelum kita sampai pada uraian mengenai SP3, terlebih dahulu dijelaskan mengenai proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. 1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan Penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan. KUHAP merumuskan pengertian penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tindaknya di lakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang. 72 Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupkan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang, mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. 73 Pengertian penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindakan pengusutan"' sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Karena penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari 71 Djoko Prakoso, Op. cit., hal Indonesia (a, Op. cit., pasal 1 angka M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 101.

23 53 penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan mempunyai fungsi sebagai "penyaring", apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin. 74 Penegasan dan pembedaan pengertian antara penyelidikan dan penyidikan sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum sehingga: Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masamasa lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa. 2. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap rasa hatihati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Meng hindari cara-cara penindakan yang men. jurus kepada mengutamakan pemerasan pengakuan daripada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan dengan Pasal 17 KUHAP (Perintah 74 Soesilo Yuwono Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, ( Bandung : Alumni, 1982), hal M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 102.

24 54 penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup) semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melangar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia. Mengigat pentingnya fungsi penyelidikan dalam kaitannya dengan fungsi penyidikan dengan segala konsekuensinya (terutama ganti rugi dan rehabilitasi), maka banyak hal yang harus mendapat perhatian dan ketelitian dari pejabat penyelidik dalam melaksanakan tugas-tugas penyelidikan yang dimaksud. Adapun hal-hal yang harus mendapatkan perhatian dan ketelitian tersebut antara lain: Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Karena untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana atau bukan merupakan suatu tindak pidana memerlukan pengetahuan pengalaman yang memadai, maka seyogyanya penyelidikan ditangani oleh petugas-petugas penyidik yang memenuhi syarat ditinjau dari pengetahuan dan pengalamannya. Oleh karena itu adalah bijaksana apabila penugasan para pejabat penyelidik yang melakukan penyelidikan dilakukan secara selektif. 2. Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. 76 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penentuan Dalam Proses Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hal 56.

25 55 Setelah seorang penyelidik mendapat kepastian bahwa suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, benar-benar merupakan suatu tindak pidana, maka ia masih harus menentukan apakah terhadap tindak pidana itu dapat atau tidak dilakukan penyidikan. Hal ini erat kaitannya dengan upaya penyidikan dalam mengumpulkan bahanbahan berupa keterangan-keterangan maupun benda- benda yang diperlukan bagi dilakukannya tindakan penyidikan atas tindak pidana tersebut. Jadi yang menjadi inti dari tindakan penyelidikan itu adalah mengarah kepada pengungkapan bukti-bukti tentang telah dilakukannya suatu tindak pidana oleh seseorang yang di curigai sebagai pelakunya. Oleh karena itu pada tahap ini meskipun masih termasuk tahap penyelidikan, penyelidik sudah harus mendapat gambaran tentang: tindak pidana apa yang terjadi, kapan dan dimana terjadinya tindak pidana itu, bagaimana pelakunya melakukan tindak pidana itu, apa akibat- akibat yang di timbulkannya, siapa yang melakukannya dan benda-benda apa yang dapat di pergunakan sebagai barang bukti. Adapun yang merupakan Penyelidik yang berwenang melakukan penyelidikan pada perkara pidana secara umum di atur oleh KUHAP dalam pasal 1 angka 4 sebagai berikut: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan. 77 Selanjutnya dalam Pasal 4 KUHAP juga di 77 Indonesia (a), Op. cit., pasal 1 angka 4.

26 56 sebutkan bahwa yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat negara Republik Indonesia. 78 Tegasnya penyelidikan adalah setiap pejabat POLRI, sedangkan Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan monopoli tunggal POLRI. 2.Tinjauan Umum Tentang Penyidikan Kamus Besar Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837, menemukan yang di maksud penyidikan adalah serangkaian penyidikan yang diatur oleh undang- undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. 79 Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar dengan pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda ) dan investigation (Inggris)atau penyiasatan atau siasat (Malaysia )menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti: 80 Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai berikut : Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang 78 Ibid., pasal Harun M. Husein, Op. cit., hal Andi hamzah (a), Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005), hal 118.

27 57 tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 81 Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut: Ketetentuan tentang alat-alat penyidik 2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik 3. Pemeriksaan di tempat kejadian 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa 5. Penahanan sementara 6. Penggeledahan 7. Pemer - iksaan atau interogasi 8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan 10. Pengenyampingan perkara 83 Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu di tentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang di peroleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai sesuatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan peyidikan, dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan. 84 Pada tindakan peyelidikan, penekanan di letakkan pada tindakan mencari dan 81 Ibid., pasal 1 angka Andi Hamzah (b), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan Kejaksaan Di Bidang Penyidikan, ( Jakarta : Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal Penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai bagian-bagian hukum acara yang menyangkut penyidikan seperti yang sudah disebutkan di atas. Penulisan bagian-bagian tersebut dimaksudkan agar pembaca mengetahui ruang lingkup yang menjadi bagian dari hukum acara yang menyangkut penyidikan. 84 Harun M. Husein, Op. cit., hal 87.

28 58 menemukan suatu peristiawa yang di anggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya di letakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. 85 Hampir tidak ada perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan, namun di tinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut: Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota POLRI, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik 2. Penyelidik memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya). Adapun yang merupakan Penyidik menurut Pasal 6 KUHAP adalah: 87 1) a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang 85 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal Ibid. 87 Indonesia (a), Op. cit., pasal 6.

29 59 2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan di atas, penyidikan merupakan kewenangan dari pejabat polisi negara Republik Indonesia (POLRI) dan pegawai negeri sipil yang ditunjuk (PPNS). Agar para pejabat yang dimaksud mempunyai kewenangan menyidik maka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan tertentu. Syaratsyarat kepangkatan penyidik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun a. Pejabat Polisi Negara Rebublik Indonesia (POLRI) Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut: 89 a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi b. Atau berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apahila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yaitu: M. Yahya harahap, Op. cit., hal Ibid. 90 Indonesia, Op. cit., pasal 7 ayat (1)

30 60 a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g. Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara i. Mengadakan penghentian penyidikan 91 j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pada daerah terpencil, terdapat keterbatasan tenaga Polri dengan pangkat tertentu untuk diangkat menjadi penyidik. Pasal 10 KUHAP menyatakan pejabat polisi dapat diangkat sebagai penyidik pembantu dengan syarat kepangkatannya sebagai berikut: 92 a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a) c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing masing. b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Terminologi kepolisian sebagai penyidik tunggal, secara teknis yuridis tidak tepat. Istilah penyidik tunggal dapat menimbulkan penafsiran keliru, yaitu seolah-olah Polri hanya satu-satunya pejabat penyidik. Menurut Pasal 6 KUHAP penyidik terdiri dari polisi dan PPNS. Oleh karena itu lebih tepat 91 Mengenai penghentian penyidikan akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya dalam penulilisan ini. 92 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 111.

31 61 disebut penyidik Polri daripada Polri sebagai penyidik tunggal. 93 Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur PPNS dapat mempunyai wewenang menyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberi wewenang penyidikan. Misalnya Undang- Undang Merek No. 19 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang No.14 Tahun Pasal 80 undangundang ini menegaskan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek dilimpahkan kepada PPNS. 94 Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: 95 Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Hubungan koordinasi antara PPNS dan Penyidik POLRI ialah: 96 a. PPNS kedudukannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. 93 Harun M. Husein, Op. cit., hal M. Yahya Harahap, Op. cit., hal Indonesia, Op. cit., pasal 7 ayat (2) 96 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 113.

32 62 b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRT memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. c. PPNS harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik jika dari penyidikan tersebut ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum. d. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum melalui POLRI e. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik POLRI, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum. c. Penyidik Kejaksaan Kewenangan institusi Kejaksaan untuk melakukan penyidikan sebenarnya tidak di atur KUHAP, namun Penulis menggolongkan Kejaksaan sebagai salah satu institusi yang berwenang melakukan penyidikan ke dalam sub bab ini agar terlihat pembedaan berdasarkan kewenangan yang dimiliki antara penyidik Polri dan Kejaksaan serta penyidik KPK. Undang undang yang mengatur mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik sudah berganti sebanyak 3 kali yaitu : yang pertama Undang- Undang No.15 Tahun 1961 yang mengatur secara implisit kewenangan

33 63 Kejaksaan untuk melakukan penyidikan segala tindak pidana. 97 Kemudian undang- undang tersebut dicabut dan diganti denagan Undang-Undang No. 5 Tahun Alasannya karena sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun Undang-undang ini memberi wewenang penyidikan lagi pada Kejaksaan namun hanya tidak pidana khusus. 98 Tindak pidana khusus yan g di maksud adalah perkara pidana korupsi 99 dan hak asasi manusia. 100 Berdasarkan ketentuan pasal 53 dan 54 Statuta Roma, penuntut umum mempunyai kewenangan untuk menyidik. 101 Statuta Roma atau Rome Statute of The International Criminal Court adalah persetujuan yang di sepakati pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomats Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional. ICC adalah Pengadilan Internasional yang permanen dan independen untuk melakukan penyidikan dan mengadili pelaku kejahatan internasional seperti 97 Indonesia (d), Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. 98 Indonesia (b), Op. cit., pasal 30 ayat (1) huruf d 99 Ibid. 100 Indonesia (e), Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN. No.191 Tahun 2000 TLN No diakses pada Jumat, 17 September 2010, pukul 19:08:30 WIB.

34 64 genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. 102 ICC sifatnya melengkapi keberadaan sistem peradilan nasional sebuah negara. ICC hanya akan memproses suatu perkara apabila suatu negara tidak memiliki kemauan atau kemampuan untuk menyidik dan menuntut perkara tersebut. 103 Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun ketentuanketentuan dalam Statuta Roma telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan mengundangkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 104 Berdasarkan uraian tersebut, KUHAP menegaskan instansi Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum saja, namun pada pengaturan undang-undang yang lebih khusus instansi Kejaksaan dapat berfungsi menjadi dua, yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum. F. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 1. Pengertian Surat Perintah Penghentian Penyidikan Terdapat kemungkinan pada setiap penyidikan perkara pidana penyidik menemukan _jalan buntu sehingaa tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan, dalam situasi demikian, oleh undang-undang (KUHAP), penyidik diberi 102 < diakses pada Jumat, 17 september 2010, pukul 19:15:34 WIB Jumat, 17 september 2010, pukul 19:44:24 WIB. 104 < di akses pada Jumat, 17 september 2010, pukul 19:55:21 WIB.

35 65 kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan. KUHAP tidak merumuskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan melainkan hanya memberikan perumusan tentang penyidikan saja. Selain itu pengaturan tentang tata cara penghentian penuntutan diatur dengan lebih rinci dan jelas, sedangkan mengenai penghentian penyidikan pengaturannya tidak lengkap. Akan tetapi dapat dirumuskan bahwa penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. 105 Dalam setiap proses dimulainya penyidikan, penyidik memiliki kewajiban untuk memberitahukannya kepada penuntut umum. Begitu pula ketika dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib memberikan pemberitahuan. Hal ini dinyatakan dalam KUHAP pasal 109 ayat (2): 106 a. Jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada: penuntut umum dan atau keluarganya. b. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil pemberitahuan penghentian harus segera disampaikan 105 Harun M. Husein, Op. cit., hal M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 154.

36 66 kepada: penyidik Polri sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan dan penuntut umum. Bahkan jika bertitik tolak pada angka 11 Lampiran Kep. Menkeh No. M. 14- PW. 03/ 1983, pemberitahuan penghentian penyidikan juga meliputi pemberitahuan kepada: penasehat hukum dan saksi pelapor atau korban. 107 Untuk setiap penghentian penyidikan yang dilakukannya, penyidik yang berwenang wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi yang dimaksud dengan SP3 adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana. 2. Alasan-Alasan Penghentian Penyidikan KUHAP menyebutkan secara terbatas alasan yang dipergunakan penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan. Alasan terbatas ini harus dapat dipertanggungjawabkan di depan persidangan bila ada pihak yang berwenang mengajukan gugatan praperadilan. Alasan penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. a. Karena Tidak Cukup Bukti Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk 107 Ibid.

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001.

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001. 104 DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum

Lebih terperinci

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA http://welcome.to/rgs_mitra ; rgs@cbn. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak Rabu,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN, PENGHENTIAN PENYIDIKAN, KOORDINASI, TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN, PENGHENTIAN PENYIDIKAN, KOORDINASI, TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN, PENGHENTIAN PENYIDIKAN, KOORDINASI, TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. a.bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana di dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH I. Pendahuluan. Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. betentangan satu dengan lainnya sehingga menambah keruh wajah hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. betentangan satu dengan lainnya sehingga menambah keruh wajah hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini sedang menghadapi situasi tekanan kuat tuntutan penegakan hukum terhadap kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang terjadi di berbagai

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang eksistensi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Eksistensi berarti hal berada atau dapat pula diartikan sebagai keberadaan. Eksistensi merupakan istilah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Arsip PAMJAKI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI

PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI PERANAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENGADILI TINDAK PIDANA KORUPSI A. Latar Belakang dan Dasar Hukum Dijadikannya Pengadilan Negeri sebagai Lembaga yang Berwenang Dalam Mengadili Tindak Pidana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG RGS Mitra Page 1 of 9 PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang

Lebih terperinci

Mengenal KPK dan Upaya Pemberantasan Korupsi Dedie A. Rachim Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

Mengenal KPK dan Upaya Pemberantasan Korupsi Dedie A. Rachim Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Mengenal KPK dan Upaya Pemberantasan Korupsi Dedie A. Rachim Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat LATAR BELAKANG DIBENTUKNYA KPK TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N 4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; BAB 2 Differensiasi Fungsional Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2.1 Sistem Peradilan Pidana Indonesia Konsepsi sistem

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

I. PENDAHULUAN. dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Oleh : Nimrot Siahaan, SH, M.H Dosen Tetap STIH Labuhanbatu Rantauprapat, Sumatera Utara ABSTRAK

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5 Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5.1 Kewenangan Penyidikan oleh BNN Dalam melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG BARAT Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam

BAB I PENDAHULUAN. Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D ----------------------------------------------------------- PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

PERBEDAAN KEWENANGAN KEKHUSUSAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DARI KEWENANGAN KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

PERBEDAAN KEWENANGAN KEKHUSUSAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DARI KEWENANGAN KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA 137 PERBEDAAN KEWENANGAN KEKHUSUSAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DARI KEWENANGAN KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Tumbur Ompu Sunggu Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI A. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 1. Pengertian Komisi Pemberantasan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI RESUME KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I. Latar Belakang Tindak pidana korupsi maksudnya adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau pejabat Negara dengan maksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya Indonesia merupakan Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan dan Undang-undang Dasar 1945 menghendaki adanya persamaan hak,tanpa membeda-bedakan Ras,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pelaksanaan Mekanisme Pengangkatan Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilakukan sebagai berikut, yaitu: a. Pengusulan pengangkatan Penyidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini telah berada dalam tahap yang parah, mengakar dan sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPATKOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPATKOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPATKOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci