BAB I PENDAHULUAN. Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam
|
|
- Farida Hartanto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 1 Penyidikan merupakan suatu tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi Pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. 2 Namun, dalam hal tertentu jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. 3 Selain itu berdasarkan Undang-Undang No. 1 Indonesia (a),undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981, LN. No.76 Tahun!981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 2. 2 Ibid., pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 jo. pasal 10 3 Ibid., pasal 284 ayat (2) jo. Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, LN. No. 67 Tahun 2004, TLN No. 4401, pasal 30
2 10 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebutkan bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 4 Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan proses penyelidikan pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian penyelidikan adalah sebagai berikut : Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 5 Dari pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang ayat (1), huruf d. Dalam penjelasan UU. No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa undang-undang tersebut mengatur dan menyempurnakan kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dan Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4 Indonesia ( c ), Undang-Undang Nomor 30 Tentang Komisi Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002, TLN No pasal 45. ( Selanjutnya Penulis akan menyebut dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK) 5 Indonesia (a), op. cit., pasal 1 angka 5.
3 11 dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana. 6 Sedangkan pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya (penyelidikan dan penyidikan), hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. 7 Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti ditengah jalan? Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Pasal 19 ayat (2) KUHAP menyatakan: 8 Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: 6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan ( Edisi Kedua), ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal Ibid., hal Indonesia (a), Op. cit., pasal 109 ayat (2).
4 12 1. Karena tidak terdapat cukup bukti; 2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; 3. Penyidikan dihentikan demi hukum. Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat perintah Penghentian Penyidikan (SP3). 9 Pemberian SP3 yang akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah pemberian SP3 terhadap tindak pidana biasa/umum, seperti pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang dalam beberapa waktu belakangan ini mengundang kontroversi dan perdebatan serta menciptakan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja dan citra aparat penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang seringkali mengeluarkan SP3. 10 Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak 9 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis dan Permasalahannya,(Bandung: P.T. Alumni, 2007), hal 54. (Selanjutnya Penulis akan menyebut Surat Perintah Penghentian Penyidikan dengan SP3). 10 Tindak pidana Korupsi digolongkan oleh para ahli hukum sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa dikarenakan bukan hanya menyebabkan kerugian pada keuangan Negara dan menyengsarakan rakyat banyak, namun juga merusak moral dan karakter bangsa serta sendisendi kehidupan nasional. Oleh karena itu tindak pidana korupsi membutuhkan penanganan yang luar biasa pula.
5 13 pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Di mata masyarakat yang mengehendaki agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan dikenai hukuman yang seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang merusak harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. 11 Dari ketiga alasan penghentian penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang telah disebutkan diatas, alasan pertama yaitu karena tidak terdapat cukup bukti merupakan alasan yang paling sering digunakan oleh penyidik tindak pidana korupsi. 12 Hal ini Penulis amati dari berbagai contoh perkara korupsi yang terjadi, di mana dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan besar. 13 Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga saat ini, tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Data tersebut diperoleh berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama 5 (lima) tahun terakhir ( ). Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP Emerson Yuntho, Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi, diakses pada Jumat, 20 Agustus 2010, pukul 15:10:21 WIB 12 Ibid. 13 Ibid. (Yang dimaksud penulis dengan perkara korupsi besar adalah perkara korupsi yang cukup besar menarik perhatian masyarakat, baik dari segi jumlah maupun tersangkanya antara lain Perkara Dugaan Korupsi Technical Assistance Contract (TAC), Dugaan Korupsi Dana BLBI, dan Dugaan Korupsi Jamsostek). 14 Ibid.
6 14 Terdapat suatu kejanggalan apabila kita menilik kembali ke tahapan awal dari proses pemeriksaan suatu perkara pidana kemudian menghubungkannya dengan alasan dikeluarkannya SP3. Pnyelidikan merupakan suatu tindakan penyelidik yang bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan adanya tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa tanggung jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia. 15 Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. 16 Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan, karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaan dari aparat penegak hukum itu sendiri agar tidak dinilai tergesa-gesa dalam melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana. 15 M. Yahya Harahap, op. cit., hal Ibid.
7 15 Dari berbagai contoh kasus yang ada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap penyidikan kemudian diterbitkan SP3 oleh penyidik yang adalah pihak kejaksaan dengan alasan yang dinilai kurang transparan dan tidak jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi dimana dasar pemberian SP3 itu dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku. 17 Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga negara yang dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi, Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. 18 Pernyataan dalam pasal tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi. Sekilas, ketentuan dalam pasal tersebut tentu saja dinilai mengebiri hak asasi tersangka yang juga merupakan 17 Emerson Yuntho, Op. cit. 18 Indonesia (c), Op. cit., pasal 40.
8 16 warga negara, sebab tanpa adanya SP3, maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya SP3 adalah sebagai sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk memulihkan martabat tersangka bila penyidik ternyata tidak memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3, KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke level yang lebih tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan. 19 Adanya Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK ini juga berarti seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, maka bagaimanapun juga kasusnya harus sampai ke pengadilan. Orang-orang KPK membenarkan hal ini dengan alasan untuk mencegah KPK menangkap orang secara sembarangan. Kalau benar seperti itu,maka maksud tersebut sungguh mulia sekali. Akan tetapi selain itu masih ada pembenaran lain yang tidak kalah mulianya, yaitu asas praduga tidak bersalah. Makna asas ini yang boleh menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak adalah pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak, bukanlah satu atau dua orang penyidik KPK yang penguasaan hukumnya sekuat majelis hakim. Dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Disamping itu, terjadilah pula dualisme dalam sistem peradilan. Dalam hal ini, apabila ada dua orang yang disangka melakukan korupsi, maka mereka diadili dengan undang- 19 Suripto. Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review) IV.2006.pdf, diakses pada Senin, 23 Agustus 2010, pukul 16:25:09 WIB.
9 17 undang yang sama, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun Tetapi lembaga yang mengadilinya berbeda. Yang satu diadili oleh Peradilan Umum, sedangkan yang lain diadili oleh Pengadilan Tipikor. Tersangka yang diadili oleh Peradilan Umum dapat menikmati SP3, wujudnya adalah si tersangka bisa tidak ditahan. Kalau sudah ditahan pun masih mungkin dikenakan tahanan luar. Akan tetapi tersangka yang diadaili oleh pengadilan Tipikor, tidak akan diberikan SP3, sekaipun dia belum terbukti bersalah. Apakah UUD 1945 membolehkan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara? Jawabannya terang benderang tidak boleh. Hal ini tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Begitu juga dengan Pasal 28 I ayat 2 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 20 Akan tetapi berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari susut pandang latar belakang dibentuknya KPK yang berperan sebagai salah satu tonggak penegakan hukum dinegara Indonesia dalam usaha pemberantasan korupsi. Undang-Undang telah menggariskan KPK untuk selalu berada di luar cara-cara konvensional penegakan hukum karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang sering disebut dengan extra ordinary crime, dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara khusus pula untuk 20 Indonesia., Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
10 18 mengananinya. 21 Hal ini tercermin dalam wewenang yang dimiliki KPK yang berada diluar sistem hukum material dan formal undang-undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam pembicaraan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ini, diantaranya mengajukan judicial review atau pengujian materil mengenai klausula apakah undang-undang tersebut bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain terpidana kasus korupsi Prof. Nazaruddin Syamsudin untuk perkara No. 016/PUU-IV/2006, serta Mulyana W. Kusumah dan Captain Tarcisius Walla untuk perkara No.012 dan 019/PUU- IV/2006. Para pihak yang mengajukan judicial review tersebut berpendapat bahwa dengan adanya beberapa pengaturan kewenangan yang dimiliki KPK, seperti Pasal 40 dan Pasal 12 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, terhadap masalah ini juga pernah diajukan judicial review oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), namun MK menolak permohonan tersebut karena berpendirian bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu 21 Suara Pembaharuan, Jadikan Korupsi Extra Ordinary Crime diakses pada Rabu 25 Agustus 2010, pukul 21: 20.31
11 19 untuk menegakkan pesan konstitusi yaitu memberantas korupsi. 22 Oleh karena itu, semuanya dikembalikan pada landasan sosiologis, yuridis dan filosofis undang-undang korupsi dan KPK itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government dan tegaknya keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang. 23 Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Maka berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, Penulis bermaksud menulis skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS JUDICIAL REVIEW PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) B. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka disusun pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu: 22 Hukum Online, UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi diakses pada Jumat,27 Agustus 2010, pukul 21:45:09 WIB. 23 Ibid.
12 20 1. Bagaimana kewenangan Penyidik mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi? 2. Apakah latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK? 3. Bagaimana penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan penyidik dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang dalam penetapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 3. Untuk mengetahui penerapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.
13 21 C.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang pengetahuan ilmu hukum pidana pada umumnya dan tentang kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3 pada tindak pidana korupsi khususnya. Sehingga skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para para mahasiswa hukum maupun praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia. 2. Secara Praktis a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Penyidik dalam kewenangannya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi dan dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap akibat dan keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.
14 22 D. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penulusuran studi literature dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini. Judul judul yang ada tentang korupsi tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi yaitu tentang Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (Tinjauan Pasal 40 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Bila ternyata terdapat judul dan penambahan yang sama dengan skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka Penulis bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan diberikan batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya multi tafsir maupun kerancuan definisi dan diharapkan akan dapat membantu dalam menjawab pokok permasalahan usulan penelitian ini. Beberapa pembatasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
15 23 tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 26 Menurut penjelasan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu berdasarkan pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi. Jadi dalam penelitian ini, penyidik adalah POLRI, Kejaksaan, dan KPK. 24 Indonesia, (a), Op. cit., pasal 1 angka 5 25 Ibid., pasal 1 angka 2 26 Ibid., pasal 1 angka 1
16 24 4. Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi yang sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2-pasal 20 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penghentian Penyidikan Meskipun KUHAP tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan, namun dapat dirumuskan bahwa penghentian penyidikan merupkan tindakan penyidik menghentikan penyidikan dengan berdasar pada alasan-alasan sebagai berikut : 28 1) Tidak terdapat cukup bukti 2) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana 3) Penyidikan dihentikan demi hukum 6. Surat Perintah Penghentian Penyidikan ( SP3 ) Surat Perintah Penghentian penyidikan adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh Penyidik sebagai bukti telah dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana. 7. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) 27 Lilik Mulyadi, Op. cit., hal Indonesia (a), Op. cit., pasal 109 ayat (2).
17 25 KPK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sehingga pembentukan komisi itu bertujaun meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi Extra Ordinary Crime Istilah extra ordinary crime berarti kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang laur biasa pula. Istilah ini muncul untuk menggambarkan kejahatan terhadap hak asasi manusia, seperti genosida. Karena tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, kerugian keuangan negara, dan kualitas tindak pidananya, maka tindak pidana korupsi dapat diigolongkan sebagai extra ordinary crime. 30 Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu 29 Indonesia (c), Op. cit., pasal Abdul Rahman Saleh, diakses Sabtu, 28 Agustus 2010, pukul 20:19:08 WIB.
18 26 digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. 31 F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan ( library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang yang terdapat dalam pearturan perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. 32 Norma hukum yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur mengenai proses pemeriksaan perkara pidana miulai dari penyelidikan hiingga dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain itu juga digunakan norma hukum lain yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi serta undang-undang dan peraturan lainyang mengatur mengenai masalah kewenangan penyidik dalam proses penghentian penyidikan. Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 33 Bahan hukum primer adalah bahanbahan hukum yang mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer 31 Indonesia (d), Undang-Undang Tentang Perubahan Atasa Undang-Undang No. 31 athun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20, LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150, konsiderans (a). 32 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta. 1979), hal Ibid., hal. 52.
19 27 dari seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3 serta kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum. Selain itu, untuk bahan hukum tertier digunakan ensiklopedia dan kamus hukum (black laws dictionary). Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan bahan bagi penelitian ini adalah bersifat empiris yuridis. Oleh karena itu, dengan perkataan lain penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan penelitian ini. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data sekunder adaalh dengan wawancara narasumber, penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka, serta media elektronik (internet). Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumbersumber hukum serta doktrin yang ada bukan dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai proses penyidikan, penghentian penyidikan oleh penyidik, serta pemaparan yang jelas mengenai ketentuan yang mengatur bahwa KPK tidak
20 28 berwenang mengeluarkan SP3. Kemudian dianalisis untuk menemukan permasalahan hukumnya serta jawaban dari permasalahan tesebut. G. Sistematika Penulisan Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima Bab dengan beberapa sub-bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut: BAB 1 : PENDAHULUAN Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB 2 : KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam bab ini akan diuraikan secara teoritis mengenai pengertian tindak pidana korupsi, peraturan perundangundangan mengenai korupsi setelah era reformasi yang berlaku di Indonesia berdasarkan undang-undang No.30 tahun 2002 tentang KPK, sejarah singkat, tugas dan kewenangan KPK, khususnya dalam proses penyidikan, proses pemeriksaan perkara dari mulai penyelidikan, penyidikan,alasan-alasan yang menjadi dasar penerbitan
21 29 SP3 tersebut, serta instansi yang berwenang dan tidak berwenang mengeluarkan SP3. BAB 3 : LATAR BELAKANG TERHADAP PENETAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai Judicial Review terhadap Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK serta analisis hukumnya dan latar belakang penetapan pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK BAB 4 : PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Bab ini membahas penerapannya dalam proses penyelidikan tindak pidana korupsi, serta kaitannya dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana di Indonesia. BAB 5 : PENUTUP Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para
22 30 pembacadalam memahami topik yang telah dibahas yaitu mengenai Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK).
BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya Indonesia merupakan Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan dan Undang-undang Dasar 1945 menghendaki adanya persamaan hak,tanpa membeda-bedakan Ras,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001.
104 DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan
Lebih terperinciPresiden, DPR, dan BPK.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua
Lebih terperinciANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
1 ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangannya dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari sudut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciMANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu
MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciMENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1
MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangan terus meningkat dari tahun
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, selalu memikirkan untuk mendapat keuntungan bagi dirinya. Hal ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Korupsi sudah lama melanda Negara Indonesia dan sudah menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Fenomena ini semakin
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan
Lebih terperinciPernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
Lebih terperinciTinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat
Lebih terperinciBAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Salah satunya dalam hal ini mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma
Lebih terperinciKEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI
KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi I. PEMOHON Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu, dan Waryono Karno Kuasa Hukum Afrian Bonjol,
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciSKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
Lebih terperincidengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
PUTUSAN Nomor 81/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
Lebih terperincib. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Negara juga menjunjung tinggi hak asasi
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XV/2017
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP
Lebih terperinciRISALAH SIDANG PERKARA NO. 012/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UUD 1945
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NO. 012/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang
BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang mengaturnya, karena hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tua. Bahkan korupsi dianggap hampir sama kemunculanya dengan masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi adalah masalah yang sudah cukup lama lahir dimuka bumi ini. Pada umumnya diakui bahwa korupsi adalah problem yang berusia tua. Bahkan korupsi dianggap hampir
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan
Lebih terperinciUPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H
1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hukum pidana, ditandai oleh perubahan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh dinamika doktrin dan ajaran-ajaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,
Lebih terperinci