VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Transkripsi

1 VII. RESPON PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Setelah memahami apa yang menjadi urusan di dalam peraturan perundang-undangan, kemudian kondisi pelatakan kewenangan atas sejumlah urusan tersebut, maka tahapan selanjutnya perlu diketahui tentang respon pemerintah daerah selaku eksekutor peraturan di tingkat daerah dan masyarakat atas sejumlah ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Informasi tentang tingkat respon ini penting untuk digali, guna memudahkan dalam mengungkap sekaligus memastikan, apakah persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS saat ini, sebagai turunan dari buruknya kualitas respon atau ada persoalan lain. Untuk tujuan tersebut, pada bagian ini dilakukan penelusuran terhadap rencana strategis (RENSTRA) di dua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumbawa. Pemilihan atas kedua instansi tersebut, atas pertimbangan ada kesesuaian tugas dan fungsi pokok serta wewenangnya dengan isu penyelenggaraan pengelolaan DAS. Dari penelusuran tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan memeriksa laporan akuntabilitas kinerja pemerintah (LAKIP) dari kedua SKPD tersebut untuk melihat persentase implementasi dari setiap program yang dicanangkan dalam RENSTRA. Dua tahapan tersebut, merupakan instrumen yang digunakan dalam riset ini dalam rangka mengukur tingkat respon pemerintah daerah terhadap enam amanat peraturan perundang-undangan. Sementara untuk mengukur respon masyarakat selaku penerima dampak kebijakan, adalah dengan melihat bentuk keterlibatan mereka dalam sejumlah program pemerintah dan juga inisiatif yang pernah mereka lakukan terkait upayanya dalam pelestarian Sub DAS. 7.1 Respon Pemerintah Daerah Ke-enam amanat peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan dalam mengukur tingkat respon pemerintah daerah, sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut :

2 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999) Salah satu tugas yang diperintahkan oleh UU No.41/1999 kepada pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya adalah meningkatkan daya dukung DAS dengan menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran yang proporsional guna mengoptimalkan manfaat baik lingkungan, sosial maupun manfaat ekonomi masyarakat setempat. Angka 30 persen tersebut didasari atas pertimbangan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Sebagai amanat UU, tentunya pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melaksankannya. Berdasarkan data pola penggunaan lahan di wilayah Sub DAS Batulanteh tahun 2010, diperoleh informasi bahwa dari Ha luas Sub DAS Batulanteh, ,07 Ha atau 34,79 persen diantaranya masih berupa hutan (lihat Gambar 22). Jumlah tersebut sedikit lebih baik dari syarat minimal yang ditetapkan oleh UU No.41/1999 yakni minimal 30 persen dari total luas DAS. Namun terdapat dua hal yang perlu menjadi catatan yaitu : pertama, sebarannya tidak proporsional, sebagaimana terlihat dalam peta tata guna lahan, dimana kawasan yang masih berupa hutan hanya terkonsentrasi pada bagian hulu dari Sub DAS. Kedua, angka tersebut juga jauh menyusut pada saat dilaporkan tahun Hasil analisis spasial Bakosurtanal dalam Hasanuddin (2008) melaporkan bahwa luas kawasan Sub DAS Batulanteh berupa hutan ± seluas Ha atau 50,78 persen, artinya dalam kurun waktu empat tahun telah terjadi penurunan luasan kawasan Sub DAS Batulanteh berupa hutan ± sebesar 15 persen. Penyusutan yang terbilang besar, barangkali jawaban atas kesalahan persepsi dalam memaknai angka minimal 30 persen, padahal dalam penjelasan umum dari pasal 18 ayat (1) UU No.41/1999 tentang kehutanan diterangkan secara eksplisit tentang larangan bagi setiap provinsi dan atau kabupaten/kota untuk mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan, dimana luas minimal tidak boleh dijadikan dalih

3 97 untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan mengingat pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Pertanyaan berikutnya, kemana arah konversi? Mencermati data perubahan luasan lahan berupa ladang sebesar 5,3 persen dari tahun 2007, menguatkan dugaan telah dilakukan konversi kawasan hutan menjadi ladang. Konversi tersebut barangkali dapat dimaknai sebagai konsekuensi atas ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian dan sekaligus barangkali sebagai sikap pemerintah daerah yang cenderung mempertahankan besaran kontribusi sektor pertanian dalam struktur perekonomian daerah. BPS, (2010) melaporkan kontribusi sektor ini terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) pada tahun sebesar 42,83 persen, dimana 24,89 persen diantaranya merupakan share dari sub sektor tanaman bahan makanan. Gambar 22. Tata guna lahan pada wilayah Sub DAS Batulanteh (Sumber: Bappeda Kabupaten Sumbawa, 2010)

4 Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999) Pada paragraf 2 dan 3 dalam penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan dijelaskan kedudukan hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sekaligus sebagi modal pembangunan nasional yang perlu dijaga kelestariannya salah satu melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan guna dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Sebagai bentuk respon atas perintah UU, berbagai skema dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan dengan mengikutsertakan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah daerah, diantaranya hutan kemasyarakatan (social forestry) pada tahun 2003 dan 2004 dilaksanakan di tiga lokasi (Desa Serading, Semamung dan Kanar). Program ini meliputi usaha penanaman empon-empon dibawah tegakan. Kemudian program dana reboisasi (DR) pada tahun 2002 seluas 200 Ha di dua lokasi (Desa Semamung dan Desa Lunyuk), program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) seluas 300 Ha di tiga lokasi (Desa Semamung, Kanar dan Desa Serading), dimana program ini menanam tanaman multipusposes tree species (MPTS); dan program pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) ± 900 Ha dilaksanakan di tiga lokasi yaitu : Desa Serading, Semamung dan Desa Kanar (P3P Unram dan MFP, 2006). Di samping itu, sepanjang periode 2005 sampai 2010 pun, begitu banyak ditemukan program dengan semangat yang sama sebagaimana terdokumentasi dalam RENSTRA dan LAKIP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa. Secara garis besar, dari hasil penelusuran menunjukkan ada 5 program yang dihajatkan untuk menurunkan luasan lahan kritis, yaitu : (a). Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan; (b). Meningkatkan perlindungan fungsi dan status kawasan hutan; (c) Penegakan hukum dan perlindungan hutan; (d) Pemeliharaan wilayah tangkapan sumber air dan sumber-sumber mata air; dan (e). Meningkatkan keterampilan masyarakat perkebunan dan membangun pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, melalui pengembangan hutan tanaman rakyat dan pembinaan kelompok madu. Namun, mencermati hasil review BPDAS Dodokan Moyosari terhadap lahan kritis di Kabupaten Sumbawa tahun 2009, dapat disimpulkan bahwa tingkat

5 99 keberhasilan atas sejumlah program rehabilitasi hutan dan lahan yang sudah diupayakan masih terbilang rendah. Keberadaan lahan kritis pada tingkat kekritisan agak kritis, kritis sampai dengan sangat kritis yang tersebar di dalam dan luar kawasan serta di kawasan budidaya, diketahui masih mencapai ± 129 ribu Ha atau 32,47 persen dari total luas hutan Kabupaten Sumbawa yang mencapai ,35 Ha. Secara rinci disajikan pada Tabel 22 Tabel 22. Luas lahan kritis Kabupaten Sumbawa tahun 2009 Tingkat Luas kawasan (Ha) Jumlah kekritisan Budidaya Dalam kawasan Luar kawasan Sangat kritis 42,09 0, , ,75 Kritis 3.889, ,63 458, ,84 Agak kritis , , , ,99 Jumlah , , , ,58 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Kondisi demikian, barangkali juga sebagai turunan dari ketidakmampuan daerah dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam skala luas. Sepanjang periode , pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa dilaporkan hanya mampu melakukan rehabilitasi hutan dan lahan sebatas Ha atau setara dengan Ha per tahun. Sebuah kemampuan yang tergolong kecil, mengingat dengan kemampuan yang demikian, maka dibutuhkan waktu ± 34 tahun untuk menuntaskan kegiatan rehabilitasi terhadap lahan kritis tersebut, itupun dengan asumsi tidak ada penambahan lahan kritis baru. Angka luasan lahan kritis yang ada saat ini, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram dan Multistakeholder Forestry Programme (MFP), (2006), tidak terlepas dari puncak kerusakan yang berlangsung pada periode Pada momentum itulah terjadi kevakuman kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan khususnya kawasan hutan 15 eks Perum Perhutani, yang kemudian mendorong masyarakat sekitar hutan kembali memasuki kawasan untuk melakukan penyerobotan. 15 Perum perhutani keluar dan meningggalkan kawasan hutan tanaman industry (HTI) pada tahun 1998

6 Perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999) Penegakan hukum atas tindak pidana kehutanan merupakan salah satu instrumen yang dinilai cukup efektif dalam melakukan perlindungan hutan. Pada pasal 50 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 41/1999 disebutkan beberapa bentuk pelanggaran tindak pidana kehutanan yang dapat dikenakan denda kurungan maupun dalam bentuk materi. Adapun jenis pelanggaran dan denda disajikan pada Tabel 23. Sepanjang periode , Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa telah menangani tindak pidana kehutanan sebanyak 96 kasus, dengan beragam bentuk pelanggaran. Tabel 23. Bentuk pelanggaran dan denda yang dapat dikenakan kepada setiap pelaku tindak pidana kehutanan No Bentuk pelanggaran pidana Denda Kurungan Materi 1 Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan 10 tahun 5 Miliar 2 Pemilik ijin usaha melakukan pemanfaatan yang 10 tahun 5 Miliar merusak hutan 3 Menduduki kawasan hutan secara tidak sah 10 tahun 5 Miliar 4 Merambah kawasan hutan 10 tahun 5 Miliar 5 Melakukan penebangan pada radius di luar 10 tahun 5 Miliar ketentuan UU 6 Membakar hutan dengan sengaja 15 tahun 1,5 Miliar 7 Menebang pohon atau memungut hasil hutan 10 tahun 5 Miliar tanpa ijin/tanpa memiliki hak 8 Menerima, membeli, menyimpan dan atau 10 tahun 5 Miliar memiliki hasil hutan yang diketahui atau diduga diambil secara tidak sah 9 Melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, dan 10 tahun 5 Miliar atau eksploitasi bahan tambang tanpa izin 10 Mengangkut dan atau memiliki hasil hutan yang 5 tahun 10 Miliar tidah dilengkapi dengan surat keterangan sahnya 11 Mengembalakan ternak yang tidak ditunjuk 3 bulan 10 juta secara khusus untuk tujuan tersebut 12 Membawa alat-alat berat atau lainnya yang 5 tahun 5 Miliar diduga digunakan untuk mengangkut hasil hutan tanpa izin 13 Membawa alat-alat yang lazimnya digunakan 3 tahun 1 Miliar untuk menebang dalam hutan tanpa izin 14 Membuang benda-benda yang dapat 3 tahun 1 Miliar menyebabkan kebakaran 15 Mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi UU tanpa izin 1 tahun 50 juta Sumber : UU No.41/1999 tentang kehutanan

7 101 Tabel 24 menyajikan jumlah kasus tindak pidana kehutanan berdasarkan jenis pelanggaran sepanjang periode Dari 96 kasus yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun, 25 kasus atau 26 persen diantaranya terjadi pada tahun 2009, dengan jenis pelanggaran terbanyak sepanjang periode tersebut, berupa pengangkutan hasil hutan berupa kayu tanpa dilengkapi dokumen yang sah dan penebangan tanpa izin. Tabel 24. Jumlah kasus tindak pidana kehutanan periode berdasarkan jenis pelanggarannya Jenis Pelanggaran Pasal Jumlah kasus per tahun JML pelanggaran Penebangan tanpa izin 50 ayat point (e) Memiliki, menimbun dan membawa kayu tanpa dukumen 50 ayat 3 point (f) Mengangkut kayu 50 ayat tanpa dilengkapi point (h) dokumen yang sah Merambah kawasan 50 ayat hutan/peladangan liar poin (b) Jumlah Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Kedua jenis pelanggaran tersebut dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 ayat 5 UU No.41/1999 tentang kehutanan disebutkan akan diancam dengan 10 tahun kurungan/penjara dan denda sebesar 5 miliar rupiah. Namun yang perlu menjadi catatan dari data tersebut, ancaman hukuman yang tergolong berat belum mampu meredam prilaku menyimpang masyarakat dalam interaksinya dengan hutan. Mengambil contoh di tahun 2008, terlihat ada terjadi penambahan pelanggaran tindak pidana sebanyak 5 kasus dari tahun sebelumnya (2007), kemudian kembali bertambah sebanyak 6 kasus pada tahun Meskipun pada tahun 2010 menunjukkan penurunan sampai 40 persen dari tahun sebelumnya (2009), namun belum mampu diprediksi apakah kondisi positif tersebut akan berlangsung lama, mengingat data dalam lima tahun terakhir cendrung fluktuatif. Pertanyaan selanjutnya bagaimana proses penangan perkara atas sejumlah kasus tersebut? Berikut pada Tabel 25 disajikan jumlah kasus 16 Tidak ada keterangan tentang jenis pelanggaran

8 102 tindak pidana kehutanan selama periode berdasarkan proses justisi dan jumlah hukuman. Tabel 25. Jumlah kasus berdasarkan proses justisi perkara dan jumlah hukuman sepanjang periode Tahun Jumlah Proses justisi Vonis hukuman kasus Lidik & sidik SP3 P21 >2 thn 1-2 thn <1 thn jumlah Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa,2011 Patut diapresiasi, apabila melihat proses atas penanganan perkara yang berhasil diselesaikan atas sejumlah kasus yang ada, artinya tidak ada tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut atau tidak termonitor perkembanganya. Namun yang patut disayangkan, kualitas vonis dari perkara yang disidangkan tergolong rendah. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim sangat ringan, jika merujuk dengan ancaman hukuman yang diberikan oleh undangundang. Secara keseluruhan hukuman diberikan kurang dari satu tahun. Vonis hakim yang tergolong rendah menggambarkan bahwa pemerintah belum tegas dalam melakukan penegakan hukuman atas tindak pidana kehutanan yang terjadi, sehingga tidaklah mengherankan bila tidak memberikan efek jerah bagi pelaku kejahatan di sektor kehutanan Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004) Benjamin Fangklin seorang penemu dan sekaligus diplomat Amerika mengatakan manakala sumurnya kering kita baru mengetahui betapa berharganya air (Postel,1995). Tidak mau menunggu sumur benar-benar kering, UU No.7/2004 tentang sumber daya air dalam pasal 21 ayat (1) dan (2) memerintahkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya akan perlunya untuk melakukan perlindungan dan pelestarian atas sumber air dan mata air, mengingat pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia. Tabel 26,

9 103 menyajikan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan rehabilitasi mata air sepanjang periode Tabel 26. Jumlah titik mata air yang direhabilitasi di Kabupaten Sumbawa selama periode Kemampuan rehabilitasi titik mata air per tahun Jumlah Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 Tidak adanya data resmi tentang kondisi terkini dari 153 titik mata air yang ada di Kabupaten Sumbawa, namun dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa sebagian besar titik mata air perlu mendapat penanganan serius. Jika diasumsikan sebesar 50 persen dari jumlah titik mata air yang perlu penanganan serius dan dengan kemampuan rehabilitasi rata-rata sebanyak 5 titik mata air per tahun, maka masih dibutuhkan 10 tahun lagi untuk menuntaskan kegiatan rehabilitasi mata air tersebut, itupun dengan asumsi tidak ada penambahan jumlah baru titik mata air yang rusak Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal 86 UU No.7/2004) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan aksi untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Atas dasar itulah, UU No.7/2004 memerintahkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya untuk membentuk wadah koordinasi untuk setiap wilayah sungai. Tugas pokok wadah koordinasi adalah menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air. Mengingat peran dan tugasnya, maka wadah koordinasi merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi keberlangsungan pengelolaan sumber daya air yang optimal, equity dan berkelanjutan. Sebagai necessary condition, maka wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air harus dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Pada tahun 2010, pemerintah Kabupaten Sumbawa telah membentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi. Sesuai hajat pembentukannya yakni memudahkan koordinasi para pihak yang berkepentingan terhadap sumber

10 104 daya air, maka komisi irigasi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010, berunsurkan pemerintah dan non pemerintah. Instansi pemerintah yang terlibat antara lain : Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian. Sedangkan unsur non pemerintah adalah LSM, akademisi, dan P3A. Secara umum komisi irigasi tersebut diberikan wewenang dalam menyusun rencana kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi irigasi. Syarat unsur keanggotaan tersebut, sudah terpenuhi bilamana merujuk pada pasal 86 ayat 4 UU No.7/2004 tentang sumber daya air, dimana disebutkan bahwa wadah koordinasi beranggotakan unsur pemerintah dan unsur non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Namun yang perlu menjadi catatan bahwa pemerintah daerah terbilang lalai dalam hal ini, dimana untuk menghadirkan wadah koordinasi tersebut, dibutuhkan waktu 6 tahun sejak UU diterbitkan tahun Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) beserta infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007) Tuntutan akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya hutan secara efisien dan lestari, UU No.41/1999 tentang kehutanan beserta peraturan turunannya Peraturan Pemerintah No.3/2007 perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan, melahirkan konsep pengelolaan hutan dalam bentuk unit terkecil atau yang biasa dikenal dengan istilah kesatuan pengelolaan hutan terkecil atau biasa disingkat dengan KPH. Sama halnya dengan pembentukan wadah koordinasi yang diatur dalam 16 undang-undang No.7/2004 tentang sumber daya air, pembentukan KPH pun dipandang sebagai syarat perlu (necessary condition) untuk menjalankan praktek pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Sebagai syarat perlu, tentunya keberadaan KPH menjadi sebuah keharusan dan pemerintah selaku penerima mandat dari undang-undang sesuai kewenangannya berkewajiban menghadirkannya, karena tanpa KPH maka tidak bisa dijamin akan terjadinya atau berlangsungnya praktek pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Jumlah KPH yang telah terbentuk sampai dengan tahun 2011, seperti terlihat pada Tabel 27.

11 105 Tabel 27. Nama dan luas KPH berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Sumbawa sampai tahun 2011 Nama KPH Luas KPH (Ha) Jumlah Rasio atas Hutan lindung Hutan produksi (Ha) luas hutan Batulanteh , , ,67 7,78 Puncak Ngegas , , ,7 11,11 Orong Telu , ,59 15,29 Brang Beh , ,94 15,05 Rinti Labangka , , ,40 17,99 Jaran Pusang , , ,86 8,40 Ampang Sili , , ,09 9,47 Ampang Riwo , , ,55 11,52 Jumlah , , ,80 96,62 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, 2011 KPH yang telah selesai dibentuk oleh pemerintah daerah mencapai 96,62 persen, jumlah ini sudah cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien. Pertanyaannya kemudian, apakah infrastuktur dari KPH tersebut telah terbentuk? Karena diketahui, untuk mengoperasionalkan KPH tersebut, perlu dikuti dengan melengkapi organisasi pengelolaanya, berupa struktur organisasi, prosedur-prosedur, personil atau sumber daya manusia dan sarana-prasarananya. Dari 8 KPH yang telah dinyatakan terbentuk, diperoleh informasi bahwa kesemuaanya telah dilengkapi dengan organisasi pelaksananya, namun masih diperlukan pembenahan atas sarana-prasarana yang ada dan penambahan personil di setiap KPH, mengingat luasnya wilayah kerja dan perlu juga dilakukan Kepatuhan Pemerintah Daerah Terhadap Amanat Peraturan Pelaksanaan atas ke enam amanat Undang-undang sebagaimana diterangkan dalam uraian respon di atas, menjadi pentunjuk bahwa tingkat kepatuhan pemerintah daerah terbilang cukup baik (lihat Tabel 28). Kepatuhan tersebut dapat dimaknai sebagai keseriusan pemerintah daerah dalam meminimalisir tekanan yang tengah dihadapi oleh Sub DAS Batulanteh. Bentuk kesungguhan tersebut, tercermin pula pada inisiatif mereka dalam menghadirkan produk hukum berupa Raperda pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh. Inisiatif tersebut patut diapresiasi, mengingat kehadiran Raperda tersebut, terbilang murni sebagai reaksi pemerintah daerah atas permasalahan yang tengah terjadi pada kawasan Sub DAS Batulanteh. Tidak ditemukannya amanat undangundang yang secara eksplisit memerintahkan pemerintah daerah untuk

12 106 menghadirkan PERDA tentang pengelolaan DAS, menjadi indikator bahwa Raperda tersebut lahir atas inisiatif daerah. Raperda yang terdiri atas 14 bab dengan 50 pasal, secara garis besar mengatur tiga hal : pertama, perencanaan pengelolaan Sub DAS dan tata cara pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi hutan dan lahan serta konservasi hutan, lahan dan air dalam kawasan Sub DAS (diatur dalam pasal 6-38); kedua, hak dan kewajiban masyarakat hulu (diatur dalam pasal 40-41); dan terakhir, pembentukan komisi pengelolaan Sub DAS yang berunsurkan pemerintah, swasta, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang relevan (diatur dalam pasal 45-46). Mencermati urusan yang diatur dalam Raperda tersebut, diprediksi kehadirannya belum mampu sepenuhnya menjawab persoalaan Sub DAS. Semestinya Raperda tersebut mengakomodir isu terkait perilaku makhluk hidup yang saling berinteraksi dalam DAS atau dinamika penggunaan lahan pada kepemilikan masyarakat yang notabene kurang diatur dalam UU No.7/2004. Isu lainnya, yang mungkin perlu juga diatur, misalnya menyangkut mekanisme cost sharing antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, mekanisme pemanfaatan dana internasional, serta sistem insentif dan disinsentif. Hal ini perlu dilakukan, karena Seidman and seidman (2004) menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab dari adanya perilaku menyimpang masyarakat dalam konteks interaksinya dengan sumber daya alam adalah terkait dengan ada atau tidak adanya peraturan. Ketika peraturan telah ada, namun perilaku menyimpang tersebut masih terjadi, maka ada kemungkinan ketentuan yang diatur dalam peraturan tidak jelas dan atau tidak lengkap dan atau tidak tegas. Tingkat kepatuhan yang tergolong cukup baik, ternyata belum cukup menjawab persoalan lahan kritis yang tersebar pada zona tengah kawasan Sub DAS Batulanteh. Lahan yang sebagai besar milik masyarakat telah dimanfaatkan secara intensif untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran. Intervensi kedepan sudah semestinya lebih diarahkan pada rehabilitasi dan manajemen lahan pada kepemilikan masyarakat dan perlu diatur mekanisme insentif yang mampu menggerakkan masyarakat, dari pola pemanfaatan saat ini beralih pada pengelolaan lahan menurut kontur dan mengembangkan budidaya tanaman agroforestry yang memiliki nilai konservasi selain nilai keekonomiannya.

13 Tabel 28. Matriks indikator tingkat respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan Amanat peraturan perundangan-undangan Kondisi faktual Keterangan Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari total luas DAS dengan sebaran proporsional (Pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999 tentang kehutanan) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta mendorong peran serta masyarakat dalam bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999 tentang kehutanan) Perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan (Pasal 48 ayat (1) & (5) UU No.41/1999 tentang kehutanan) Perlindungan dan pelestarian sumber air dan mata air (Pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004 tentang sumber daya air) Membentuk wadah koordinasi atau dengan nama lain (Pasal 86 UU No.7/2004 tentang Sumber daya air) Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) beserta infrasturkturnya oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan) Dari Ha luas Sub DAS Batulanteh, ,07 Ha atau 34,79 persen diantaranya masih berupa hutan, namun sebarannya tidak proporsional. Skema rehabilitasi hutan dan lahan dengan keterlibatan masyarakat, diantaranya program HKm, dana reboisasi (DR), GERHAN, dan PSDHBM. Tidak ada tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut atau tidak termonitor perkembanganya. Artinya proses penanganan perkara berhasil diselesaikan. Telah terehabilitasi 25 titik mata air sepanjang periode Pada tahun 2010, telah dibentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati No: 407/kpts/2010, yang berunsurkan pemerintah dan non pemerintah KPH yang telah selesai dibentuk oleh pemerintah daerah mencapai 96,62 persen. Jumlah ini sudah cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien Amanat UU tidak sepenuhnya dipatuhi Amanat UU dipatuhi, namun tingkat keberhasilan program masih rendah Amanat UU dipatuhi, namun kualitas vonis sangat rendah Amanat UU sudah dipatuhi, namun kemampuan rehabilitasinya masih rendah Amanat UU sudah dipatuhi, namun pembentukan terbilang lamban. Amanat UU sudah dipatuhi, namun masih perlu dilakukan pembenahan terhadap organisasi pengelola. 107

14 Relevansi Respon Terhadap Permasalahan Sub DAS Telah dipahami dari pembahasan sebelumnya, bahwa respon pemerintah daerah yang terbilang cukup baik atas sejumlah amanat undang-undang, belum juga mampu memberikan perubahan yang signifikan atas persoalan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS Batulanteh. Kondisi tersebut, memunculkan keraguan akan relevansi respon dengan permasalahan Sub DAS sebenarnya. Pada bagian ini, dibahas bagaimana relevansi antara respon dengan kondisi lahan Sub DAS yang kritis. Mencermati sajian Tabel 29, barangkali sulit melihat relevansi secara lansung antara respon dengan permasalahan lahan kritis Sub DAS. Hal ini dapat dipahami, karena amanat peraturan perundang-undangan yang direspon oleh pemerintah daerah tidak terbatas peruntukkannya khusus untuk menjawab persoalan lahan kritis pada Sub DAS Batulanteh, melainkan amanat tersebut bersifat makro yang dihajatkan untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya alam secara umum yang optimal dan lestari. Relevansinya akan terlihat, manakala didalami semangat yang melekat pada setiap amanat yang direspon. Keluaran respon 1 sampai 4 misalnya, bermuara pada meminimalisir peningkatan lahan kritis baik di dalam dan luar kawasan Sub DAS. Demikian juga dengan respon 5 dan 6 ditujukan untuk menjawab kesulitan koordinasi antar setiap aktor yang terlibat dalam pengelolaan Sub DAS dan terselenggaranya pengelolaan sumber daya hutan yang efisien dan lestari. Adanya jalinan koordinasi yang intensif antar aktor, memungkinkan pemerintah selaku aktor di level kebijakan mampu menyelami kebutuhan masyarakat sebagai aktor yang bergantung atas lahan dalam kawasan Sub DAS dan pada gilirannya akan muncul solusi yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat pemilik lahan dengan kepentingan publik sebagai pemanfaat jasa Sub DAS. Untuk itu, bisa dikatakan permasalahan lahan kritis dalam kawasan Sub DAS, bukan dikarenakan ketiadaan relevansi respon, melainkan lebih disebabkan oleh bentuk intervensi yang belum spesifik dan optimal khusus pada lahan kritis milik masyarakat. Semestinya perlu pendekatan khusus, misalnya dengan mengatur mekanisme insentif, melalui mekanisme payment for environmental service (PES).

15 Tabel 29. Matrik relevansi antara respon dengan permasalah Sub DAS Respon Permasalahan Sub DAS Kategori Relevan Tidak relavan - Lahan dengan slope >40% dan berada pada ketinggian >500 mdpl masuk kategori kritis, yang ditandai oleh tutupan lahan yang tidak menunjang aspek konservasi tanah dan air. Struktur kepemilkan lahan sebagian besar miliki Negara dan sisanya milik masyarakat. Mempertahankan kecukupan hutan di atas angka minimal 30% (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No.41/1999) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan peran serta masyarakat seperti program HKm, dana reboisasi (DR), GERHAN, dan PSDHBM. (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 42 ayat (1) dan (2); dan pasal 70 ayat (2) UU No.41/1999) Melakukan perlindungan hutan di dalam dan luar kawasan, melalui penegakan hukum (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 21 ayat (1) & (2) UU No.7/2004) Memebentuk wadah koordinasi dengan nama komisi irigasi (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 86 UU No.7/2004) Membentuk KHP dalam jumlah yang cukup sebagai landasan pengelolaan hutan yang lestari dan efisien (respon atas amanat yang diatur dalam pasal 10 ayat 1 PP No.3/2008 perubahan dari PP No. 6/ 2007) *Menghadirkan produk hukum berupa RAPERDA pengelolaan terpadu Sub DAS Batulanteh Ket. *). Bukan bagian dari amanat yang diperintahkan UU - Lahan dengan slope 25-40% dan berada pada ketinggian mdpl juga masuk kategori kritis. Struktur kepemilkan lahan sebagian besar milik masyarakat dan telah dibudidayakan secara intensif untuk tanaman palawija dan sayuran. 109

16 Respon Masyarakat Pada paragraf 11 penjelasan umum UU No.41/1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan perolehan atas manfaat sumber daya hutan, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan fungsi pokoknya (konservasi, lindung, dan produksi) dan menjaga keberlangsungannya melalui kegiatan perlindungan dan rehabilitasi serta reklamasi dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat juga diungkapkan pada paragraf 7 penjelasan umum UU No.7/2004 tentang sumber daya air, dimana disebutkan perlunya melibatkan seluas-luasnya peran serta masyarakat mulai dari penyusunan pola pengelolaan, kemudian perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, sampai pada pemantauan serta pengawasan dalam pengelolaan sumber daya air. Pertanyaannya, Bagaimana bentuk peran serta atau keterlibatan masyarakat? Adakah inisiatif lokal yang berkontribusi bagi kelestarian sumber daya tersebut? Apakah inisiatif lokal tersebut lahir atas dasar pemahaman mereka akan kehendak undang-undang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dibahas pada bagian ini. Bentuk keterlibatan masyarakat yang dikehendaki undang-undang, sebenarnya sudah relatif banyak ditemukan pada sejumlah program pemerintah daerah, sebagaimana telah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, misalnya program hutan kemasyarakatan, (HKm), kemudian program pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM), program gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN), program dana reboisasi (DR), dan program hutan tanaman rakyat (HTR) serta termasuk program konservasi-ntb WRMP di wilayah Sub DAS Batulanteh yang dimulai sejak tahun kerjasama antara Pemda, Uni Eropa, World Bank dan LP3ES. Program konservasi lahan-ntb WRMP tersebut, dalam pelaksanaannya di samping telah berhasil membentuk 6 kelompok konservasi dengan wilayah kerja tersebar di zona hulu dan tengah Sub DAS Batulanteh (lihat Tabel 30), juga berhasil membentuk wadah yang bernama forum komunikasi hulu-hilir Sub DAS Batulanteh. Forum yang beranggotakan dari unsur pemerintah, LSM, perguruan tinggi, GP3A/P3A, PDAM dan masyarakat hulu dipersiapkan untuk memfasilitasi proses pengembalian manfaat air yang diterima oleh PDAM dan P3A atau GP3A Aji dan Pungka ke wilayah hulu.

17 111 Tabel 30. Kelompok konservasi lahan Sub DAS Batulanteh Nama kelompok Lokasi Waktu Jumlah Desa Kecamatan pembentukan anggota Karya Baru Kerekeh Untir iwis April Ai Bulu Kelungkung Batulanteh Juni Lemak Sewe Pelat Untir iwis April Batu Balomo Kerekeh Untir iwis Juni Batudulang Utama Batudulang Batulanteh April Sumber : LP3ES, 2011 Kesemuan program tersebut, memiliki semangat yang sama yakni membuka akses masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan dengan tetap mengedepankan pengelolaan yang lestari. Perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya hutan saat ini, barangkali sebagai respon atas ungkapan Nancy Peluso yakni Rich forest poor people - hutan banyak mengandung kekayaan, namun masyarakat disekitarnya miskin, meskipun saat ini hutannya telah terkuras, masyarakatnya tetap miskin (Julmansyah, 2007). Keterlibatan masyarakat dalam berbagai skema kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, menjadi indikasi baiknya respon masyarakat. Lagi-lagi respon yang relatif baik, belum juga bisa menyelesaikan persoalan lahan kritis. Rendahnya tingkat keberhasilan program salah satu pemicunya adalah ketidak efektifan respon tersebut. Secara keselurahan program seringkali pelaksanaannya tidak tuntas, dikarenakan kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk tidak bisa bertahan lama. Kelompok tersebut sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya seiring selesainya kegiatan pendampingan oleh pemerintah atau pihak ketiga. Masyarakat selaku sasaran program menilai kondisi demikian dikarekan kelompok yang pembentukannya difasilitasi oleh pemerintah atau pihak ketiga belum mandiri pada saat proses pendampingan berakhir. Untuk itu, setiap program kedepannya sudah semestinya memiliki konsep exit strategy yang jelas. Mengakhiri pembahasan tentang peran serta masyarakat melalui programprogram pemerintah di atas, selanjutnya bagaimana dengan inisiatif lokal yang juga berkontribusi bagi kelestarian Sub DAS? Mari melihat apa yang dilakukan masyarakat Desa Batudulang di hulu Sub DAS Batulanteh, dalam merawat dan

18 112 memelihara pohon yang mereka sebut sebagai 17 pohon boan. Masyarakat menganggap pohon itulah salah satu yang juga merawat dan memelihara kelangsungan dapur mereka, karena pada pohon itulah aktivitas berburu madu tetap hidup dalam masyarakat sampai saat ini. Selain itu, masyarakat Desa Batudulang juga telah memulai melakukan praktek pemanfaatan lahan tiga dekade silam yang diketahui memiliki nilai konservasi tinggi. Usaha tersebut yakni budidaya tanaman kemiri yang dilakukan secara swadaya dengan luasan mencapai ± 249 Ha. Namun dua contoh inisiatif tersebut bukanlah lahir atas dasar pemahaman mereka akan pentingnya kelestarian sumber daya hutan sebagaimana dikehendaki UU, melainkan hanya atas motivasi ekonomi. Masyarakat tidak berpikir atas kepentingan publik atau kepentingan jangka panjang atas apa yang mereka lakukan, melainkan hanya bagaimana mereka dan keluarga mereka bisa bertahan hidup. Perilaku semacam ini oleh Suparmoko (1997) dalam konsep ruang dan waktunya akibat ketidakberdayaan ekonomi masyakat tersebut, dimana dijelaskan masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi cenderung membuat pertimbangan untuk diri dan lingkungannya sendiri dan juga bersifat jangka pendek. Namun konsep tersebut tidak sepenuhnya benar, karena faktanya kerusakan sumber daya alam saat ini justru lebih besar disebabkan oleh kerakusan kelompok-kelompok kaya. Ruang Waktu Gambar 23. Pandangan manusia terhadap ruang dan waktu (sumber : Suparmoko, 1997) 17 Pohon boan adalah pohon yang menjulang tinggi dan sering menjadi tempat bersarangnya madu.

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan Sub DAS Batulanteh dengan memilih Desa Batudulang, Kecamatan Untir Iwis dan Kecamatan Sumbawa sebagai daerah sampel.

Lebih terperinci

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH

VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH Deng Xio Ping suatu ketika pernah mengatakan bahwa the China s problem is land problem, and the land problem is rural problem. Persoalan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU 137 Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU No Amanat pertauran perundang-undangan 1 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa Hutan Lindung Kota Bontang mempunyai

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan sumber daya alam yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA, PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA, Menimbang : a. bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BATULANTEH KABUPATEN SUMBAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN a. Perlindungan terhadap kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang harus mendapat persetujuan

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I. UMUM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikaruniai oleh Allah Yang Maha

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan

Lebih terperinci

Rencana Umum Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan;

Rencana Umum Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan; Penataan ruang kota pada dasarnya mencakup kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu dalam Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK) Kota Sei

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888] UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau

Lebih terperinci

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Pada akhir masa sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif DPR mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 3 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

OLEH: LALU ISKANDAR,SP DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LOMBOK TENGAH

OLEH: LALU ISKANDAR,SP DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LOMBOK TENGAH MANAJEMEN PENGELOLAAN HUTAN DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH OLEH: LALU ISKANDAR,SP KEPALA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LOMBOK TENGAH DISAMPAIKAN PADA LOKAKARYA REDD+ KOICA-FORDA-CIFOR SENGGIGI,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan Pengetahuan manusia tentang hutan dimulai sejak keberadaan manusia di muka bumi. Kita ketahui bersama bahwa permukaan bumi kita ini sebagian

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa air permukaan mempunyai peran

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT) DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT) DASAR HUKUM DAN ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI PROV. NTT UUD 1945; Pasal 33 BUMI, AIR DAN KEKAYAAN ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa hutan mangrove di Kota Bontang merupakan potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Karena dalam mendukung

Lebih terperinci

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR RANCANGAN (Disempurnakan) BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa fungsi irigasi memegang peranan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air memiliki

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,

PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 25 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah adalah Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. Pelayanan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG Perda No. 7 / 2002 tentang IRIGASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2002 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat yang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang bermanfaat bagi kelangsungan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah I. PEMOHON 1. Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, sebagai Pemohon I; 2. Edi Kuswanto, sebagai Pemohon

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 167, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS

LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS Seminar Regional Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektif Tata Ruang LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS Niken Sakuntaladewi (n.sakuntaladewi@yahoo.com) Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kupang,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALANGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENGURANGAN PENGGUNAAN KANTONG PLASTIK

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENGURANGAN PENGGUNAAN KANTONG PLASTIK LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2012 NOMOR : 17 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENGURANGAN PENGGUNAAN KANTONG PLASTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDUNG,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah dan air dalam wilayah

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS BAB II PERENCANAAN STRATEGIS 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci