STUDI KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR NINDY ASLINDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR NINDY ASLINDA"

Transkripsi

1 STUDI KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR NINDY ASLINDA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Nindy Aslinda A

3 ABSTRAK NINDY ASLINDA. Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir. Dibimbing oleh SYARTINILIA. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan salah satu DAS yang melintasi wilayah Ibukota DKI Jakarta. DAS Ciliwung dikategorikan sebagai DAS Super Prioritas di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Jakarta yang termasuk ke dalam DAS Ciliwung Hilir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun dan menganalisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Data dianalisis secara spasial dan deskriptif menggunakan teknologi Sistem Infomasi Geografis (SIG). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung Hilir sebesar 70.07%. Permukiman didominasi oleh permukiman tidak terencana (87.23%) dengan karakteristik sebagai berikut: pola permukiman linier, ukuran permukiman sangat besar, kepadatan permukiman rendah-sedang, dan kondisi infrastruktur yang baik. Lima rekomendasi pengelolaan dihasilkan untuk mengelola permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Kata kunci: DAS Ciliwung, karakteristik permukiman, perubahan penutupan lahan, pengelolaan lanskap, SIG ABSTRACT NINDY ASLINDA. Study on Characteristics of Settlement in Down Stream of Ciliwung Watershed. Supervised by SYARTINILIA. Ciliwung Watershed is one of watershed that across the Jakarta capital region. Ciliwung Watershed is categorized as super-priority watershed in Indonesia. The study was conducted in down stream of Ciliwung Watershed in Jakarta. The main objectives of this study were to analyze land cover changes, and to analyze characteristics of settlement in down stream of Ciliwung Watershed. Data were analyzed using Geographical Information System (GIS). Based in the result, it can be shown that land cover changes from green open space to built up area occured in down stream of Ciliwung watershed (70.07%). The settlement is dominated by the unplanned settlement (87.23%). The charactristics of the unplanned settlement are linier settlement patterns, very lage size of settlement, low to medium building density, and good condition of insfrastructure. Five recommendation have provided for landscape managing of settlement in down stream of Ciliwung Watershed. Keywords: Ciliwung Watershed, characteristics of settlement, land cover changes, GIS

4 STUDI KARAKTERISRIK PERMUKIMAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HILIR NINDY ASLINDA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

5 Judul Skripsi : Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir Nama : Nindy Aslinda NIM : A Disetujui oleh Dr. Syartinilia, SP, M.Si Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr Ketua Departemen Tanggal Lulus:

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 hingga November 2014 ini ialah Pengelolaan Lanskap, dengan judul Studi Karakteristik Permukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hilir di bawah bimbingan Dr. Syartinilia, SP, M.Si. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu, antara lain: 1. Dr. Syartinilia, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, masukan,dukungan, nasehat, dan waktu serta ilmu yang sangat bermanfaat. 2. Kedua orangtua, Aris Daeng Pene dan Ida Supriati, dan adik (Ninda Irlinda dan Mar ie Muhammad) serta keluarga besar atas doa dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak tergantikan. 3. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan pengalaman yang bermanfaat. 4. Bapak Yudi selaku staf PPLH, Riri (Bundo) dan Bunga (MNH 46)yang telah mengajarkan software yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 5. Sahabat-sahabat (Yaomi Ifadha, Renny Yahna Oktevia, Eka Yuniawatiningtyas, Wika Diannisa Purnomo, dan Khoirunnisa Cahyamurti) atas bantuan, semangat, dukungan, doa, dan kebersamaannya selama ini. 6. Teman-teman seperjuangan, Sry Wahyuni, Ramandhini Puspitasari, dan Paraditio Bryan Prakoso atas bantuan, semangat, dan dukungannya. 7. Keluarga dan teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 46 atas bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya. 8. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari tentunya karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2015 Nindy Aslinda

7 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 Kerangka Pikir Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai 4 Klasifikasi Penutupan Lahan 5 Perubahan Penutupan Lahan 5 Permukiman 6 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian 9 Alat dan Data Penelitian 10 Metode Penelitian 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Situasional 15 Penutupan Lahan 19 Perubahan Penutupan Lahan 26 Karakteristik Permukiman 28 Rekomendasi Pengelolaan 38 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 39 Saran 40 DAFTAR PUSTAKA 40 LAMPIRAN 43 RIWAYAT HIDUP 53

8 DAFTAR TABEL 1 Hubungan tujuan, jenis, bentuk dan sumber data kegiatan penelitian 10 2 Deskripsi kelas penutupan lahan 12 3 Kriteria penilaian infrastruktur permukiman 14 4 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan Tahun Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung Hilir 24 Tahun Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman tidak terencana 31 9 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman terencana 36 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian 3 2 Pola permukiman terencana konvensional 7 3 Pola permukiman terencana cluster 7 4 Pola permukiman terencana Planned Unit Development (PUD) 7 5 Lokasi penelitian 9 6 Bagan alur penelitian 11 7 Matriks Post Classification Comparison 13 8 Peta administrasi DAS Ciliwung Hilir 15 9 Suhu udara menurut bulan Kelembaban menurut bulan Curah hujan menurut bulan Peta rencana pola ruang DKI Jakarta Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun Ruang terbangun di lokasi penelitian Tahun RTH di lokasi penelitian Tahun Badan air di lokasi penelitian Tahun Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun Persentase luas RTH menjadi ruang terbangun berdasarkan kecamatan periode Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Kondisi eksisiting jalan pada permukiman tidak terencana 31 di lokasi terpilih 21 Saluran drainase pada permukiman tidak terencana 33 di lokasi terpilih 22 Sarana pembuangan sampah pada permukiman tidak terencana 34 di lokasi terpilih 23 Pola permukiman terencana di lokasi terpilih Kondisi eksisiting jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih Saluran drainase pada permukiman terencana di lokasi terpilih 38

9 DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta penutupan lahan yang tetap dan mengalami perubahan di DAS Ciliwung Hilir periode Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir 44 3 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Rebo 46 4 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Jagakarsa 47 5 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Minggu 48 6 Peta lokasi sampel permukiman terencana dan tidak terencana 49 7 Data Administrasi DAS Ciliwung Hilir 50 8 Modeler fungsi perkalian post classification comparison 52

10

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi (Ahyat 2012). Bertambahnya jumlah penduduk baik akibat urbanisasi ataupun perkembangan alamiah di daerah perkotaan berkorelasi dengan semakin besarnya kebutuhan akan lahan. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penutupan lahan menjadi ruang terbangun, khususnya kawasan permukiman. Menurut UU No. 4 Tahun 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang kegiatan yang mendukung penghidupan. Secara umum permukiman di Indonesia terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Sebanyak 84.00% permukiman di Indonesia merupakan permukiman tidak terencana yang dibangun sendiri oleh masyarakat, sedangkan 16.00% sisanya merupakan permukiman yang terencana yang dibangun oleh pengembang (developer) (Kuswartojo 1999 dalam Masykur 2006). Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai beserta anak-anak sungainya. DAS berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami (Asdak 1995). DAS merupakan satu ekosistem yang terdiri dari wilayah hulu yang berfungsi sebagai wilayah konservasi air, wilayah tengah yang berfungsi sebagai wilayah pemanfaatan air, dan wilayah hilir yang berfungsi sebagai wilayah pengaturan air (drainase). DAS Ciliwung memiliki panjang 117 km 2 dan meliputi areal seluas km 2. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun , DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS yang berstatus sebagai DAS Super Prioritas, hal ini dikarenakan wilayah hilir DAS Ciliwung meliputi wilayah Ibukota Jakarta yang berstatus sebagai kawasan strategis nasional di Indonesia. DAS Ciliwung memiliki permasalahan berupa tingginya laju perubahan penutupan lahan dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi ruang terbangun di wilayah tersebut. Pada Tahun 1990 penutupan lahan terbesar di wilayah tersebut berupa ruang terbangun (52.76%), Ruang Terbuka Hijau (RTH) (33.75%), dan badan air (13.49%). Pada Tahun 2000 luas RTH menurun menjadi 27.07%, sedangkan luas ruang terbangun meningkat menjadi 61.05%. Adapun perubahan menjadi ruang terbangun yang paling banyak terjadi di wilayah hilir yaitu mencapai 80.00% (Melati et al 2002). Dengan demikian perlu adanya studi terkait perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung, khususnya DAS Ciliwung hilir, dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi

12 2 Geografis (SIG) guna mengetahui seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di wilayah tersebut. DAS Ciliwung sebagai bagian dari Ibukota Jakarta mengalami perkembangan permukiman yang sangat pesat. Pada tahun 1990 luas permukiman sebesar 36.12% dan mengalami peningkatan menjadi sebesar 37.22% pada tahun Adapun luas kawasan permukiman terbesar terdapat di wilayah hilir yaitu mencapai 62.00% (Melati et al 2002). Perkembangan permukiman, khususnya di DAS Ciliwung hilir berdampak terhadap keanekaragaman karakteristik permukiman di wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya analisis mengenai karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir guna menghasilkan output berupa rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai di wilayah tersebut. Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menganalisis perubahan penutupan lahan dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi ruang terbangun dan distribusinya di DAS Ciliwung Hilir; 2. menganalisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir; dan 3. menyusun rekomendasi pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Manfaat Penelitian Hasil tugas akhir ini diharapkan akan memberikan manfaat berupa memberikan informasi mengenai karakteristik permukiman di DAS Ciliwung hilir dan sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola kawasan permukiman di DAS Ciliwung hilir. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi skala makro yaitu wilayah DAS Ciliwung, kemudian pada skala meso meliputi wilayah DAS Ciliwung Hilir, dan pada skala mikro meliputi 3 kecamatan di wilayah DAS Ciliwung Hilir. Penelitian ini dibatasi pada pembuatan peta penutupan lahan, peta perubahan penutupan lahan dan peta distribusi permukiman guna mendapatkan lokasi sampel permukiman untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap karakteristik permukiman berdasarkan pola, ukuran, kepadatan, dan infrastruktur permukiman. Kerangka Pikir Penelitian DAS Ciliwung Hilir sebagai bagian dari wilayah Ibukota Jakarta memiliki permasalahan berupa perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan lahan, terutama kawasan permukiman akibat proses urbanisasi. Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai bentuk permukiman, baik permukiman terencana maupun tidak terencana. Perkembangan permukiman di DAS Ciliwung Hilir berdampak pada keanekaragaman bentuk dan karakteristik permukiman di wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya analisis karakteristik permukiman di DAS Ciliwung Hilir

13 3 guna menghasilkan output berupa rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai di wilayah tersebut. DAS Ciliwung Hilir Perubahan Penutupan Lahan Urbanisasi Meningkatnya Kebutuhan Lahan Kawasan Permukiman Permukiman Terencana Permukiman Tidak Terencana Studi Karakteristik Permukiman Rekomendasi Pengelolaan Permukiman Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

14 4 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 1995). DAS menggambarkan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik biologi serta kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Komponen utama ekosisitem DAS terdiri dari manusia, vegetasi, hewan, iklim, tanah dan air. Masing-masing yang terkait satu sama lain sehingga membentuk suatu ekosistem. Menurut Wahyuni (2013) DAS Ciliwung merupakan salah satu dari 108 DAS Prioritas di Indonesia dan tergolong ke dalam DAS Prioritas I (Super Prioritas). Menurut Suripin (2002) dalam Wahyuni (2013), penetapan DAS prioritas ini berdasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Kondisi hidrologisnya kritis yang ditandai dengan rendahnya persentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya nisbah debit sungai maksimum dan debit minimum serta kandungan lumpur yang berlebihan; 2. Urgensi perlindungan investasi yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar di daerah hilirnya; 3. Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; 4. Daerah perladangan berpidah dan/atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; 5. Daerah dengan tingkat pendapatan penduduk rendah, tingkat kesadaran masyarakat akan pelestarian sumber daya alam masih rendah; dan 6. Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Adapun tujuan pengelolaan DAS adalah sebagai berikut: 1. terjaminnya penggunaan sumber daya alam yang lestari, seperti hutan, hidupan liar dan lahan pertanian; 2. tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan; 3. terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun; 4. mengendalikan aliran permaukaaan air dan banjir; dan 5. mengendalikan erosi tanah dan proses degradasi lahan. Prinsip pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut (Asdak 1995) : 1. mengenali hal-hal yang menjadi tuntutan mendasar untuk mencapai usahausaha penyelamatan lingkungan dan sumberdaya alam; 2. mempertimbangkan nilai-nilai jasa lingkungan yang saat ini belum atau tidak diperhitungkan secara komersial dalam pembuatan kebijaksanaan; 3. menyelaraskan konflik-konflik kepentingan yang bersumber dari penentuan batas-batas alamiah dan batas-batas politis/administratif; dan

15 5 4. menciptakan investasi (sektor swasta), peraturan-peraturan, insentif, dan perpajakan yang berkaitan dengan interaksi antara aktivitas tata guna lahan di bagian hulu dan kemungkinan yang ditimbulkannya di daerah hilir. Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Kelas-kelas ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh komputer Jaya (2010) dalam Aryanti (2011). Berdasarkan teknik pendekatannya, klasifikasi kuantitatif dibedakan atas Klasifikasi Tidak Terbimbing (unsupervised classification) dan Klasifikasi Terbimbing (supervised classification). Klasifikasi Tidak Terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung pada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Kelas-kelas ini tidak berhubungan secara langsung dengan watak-watak tertentu dari fitur atau obyek yang ada pada citra. Pada klasifikasi ini hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan atau didesain oleh analis, misalnya jumlah kelas atau klaster yang akan dibuat, teknik yang akan digunakan, jumlah iterasi, dan band-band atau kanal yang akan digunakan. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh analisis melalui pembuatan training area. Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) dengan menggunakan metode Peluang Maksimum (Maksimum Likelihood Classifier). Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dan merupakan metode standar. Metode ini mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas (satu per jumlah kelas yang dibuat). Setelah menentukan training area, maka akan dilakukan proses lain seperti penggabungan kelas (Merging) berdasarkan nilai keterpisahannya, labelling, pendugaan akurasi, dan proses deteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan Jaya (2010) dalam Aryanti (2011). Perubahan Penutupan Lahan Dalam penyelenggaraan hidupnya manusia banyak melakukan aktifitas yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan yaitu aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya. Perubahan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial ekonomi, politik dan budaya. Pembangunan kota yang semakin pesat menyebabakan perubahan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Lahan pertanian tersebut berubah menjadi permukiman, perdagangan, industri,

16 6 dan infrastruktur kota. Kegiatan konversi lahan ini dimaksudkan untuk mendukung tersedianya sarana dan prasarana kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun kegiatan konversi lahan tersebut berdampak negatif pada kehidupan manusia. Salah satu dampak negatif dari perubahan penutupan lahan yaitu banjir. Banjir pada hakikatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS yang tidak tepat. Beberapa penyebab banjir secara biofisik yaitu; curah hujan yang sangat tinggi, karakterisitk DAS itu sendiri, penyempitan saluran drainase dan perubahan penutupan lahan. Dalam studi terkait deteksi perubahan penutupan lahan, dapat dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Land Cover Change Detection (LCCD) merupakan aplikasi penting dari teknik penginderaan jauh karena kemampuannya untuk merekam penginderaan yang dilakukan berulang kali dengan kualitas gambar yang konsisten pada interval yang pendek, skala global, dan selama satu siklus penuh. Tujuan dari LCCD adalah untuk membandingkan perubahan penutupan lahan yang berbeda baik secara kualitatif ataupun kuantitatif Civco et al (2002) dalam Aryanti (2011). Metode yang biasa digunakan dalam metode ini adalah Post Classification Comparison. Menurut Bruzzone dan Seprico (1997) dalam Aryanti (2011), cara kerja metode ini yaitu melakukan deteksi perubahan dengan membandingkan peta klasifikasi yang diperoleh dengan mengklasifiksikannya secara independen antara dua citra dari area yang sama dalam waktu yang berbeda. penggunaan metode Post Classification Comparison ini sangat mungkin untuk mendeteksi perubahan dan memahami jenis-jenis perubahan yang terjadi. Klasifikasi citra multitemporal ini menghindari kebutuhan untuk menormalkan kondisi atmosfer, perbedaan sensor antara dua akuisisi. Namun, teknik Post Classification Comparison tergantung pada akurasi dari peta klasifikasi. Hal ini disebabkan karena adanya fakta bahwa metode ini tidak mengambil dan memperhitungkan ketergantungan yang ada antara dua citra di daerah yang sama dalam waktu yang berbeda. Permukiman Pengertian dasar tentang pemukiman dalam UU No. 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa pemukiman merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang kegiatan yang mendukung penghidupan. Menurut Kuswartojo (1999) dalam Masykur (2006), secara umum permukiman di Indonesia terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Sebesar 16.00% diantaranya merupakan permukiman terencana, yaitu permukiman yang dibangun oleh pengembang (developer), dan berjumlah sebesar 16.00%. Sebesar 84.00% diantaranya merupakan permukiman tidak terencana, yaitu permukiman yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan pola permukimannya. Pada permukiman tidak terencana memiliki pola permukiman yang umumnya mengikuti bentang alam di sekitarnya seperti mengikuti pola sungai, pantai, pegunungan dan lain sebagainya. Menurut Van der Zee (1986) dalam Syartinilia

17 7 (2001), pola permukiman terdiri dari pola permukiman linier (memanjang), dispersed (tersebar), nucleated (terpusat). Permukiman terencana memiliki pola permukiman yang berbeda dengan pola permukiman tidak terencana. Hal ini dikarenakan permukiman terencana merupakan produk yang memilki nilai ekonomis tinggi, sehingga perlu adanya konsep perencanaan yang baik, sehingga dapat meningkatkan nilai jual permukiman terencana tersebut. Menurut Kwanda (2000) dalam Syartinilia (2001) terdapat tiga konsep perencanaan yang berkaitan dengan pembagian lahan, yaitu konsep konvensional, cluster, dan Planned Unit Development (PUD). Pada konsep konvensional memiliki batas kapling yang jelas dan tingkat kepadatan rumah yang tersebar merata di seluruh kawasan. Pada konsep cluster rumah dibangun secara berkelompok untuk mendapatkan kepadatan yang tinggi. Pada konsep PUD menerapkan pengembangan multi fungsi yang mengkombinasikan tiap zona kegiatan, misalnya dalam suatu area terdapat kawasan permukiman yang di dalamnya juga terdapat area perkantoran, pertokoan, rekreasi, ruang terbuka dan sebagainya. Gambar 2 pola permukiman terencana konvensional (Sumber : Syartinilia 2001) Gambar 3 pola permukiman terencana cluster (Sumber : Syartinilia 2001) Gambar 4 pola permukiman terencana PUD (Sumber : Syartinilia 2001)

18 8 Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan ukurannya. Adapun ukuran yang dimaksud yaitu jumlah penduduk yang tinggal dalam suatu permukiman atau perumahan. Ukuran permukiman menurut Mulyana et al. (2007) adalah permukiman/perumahan tunggal (terdiri dari satu rumah), permukiman/perumahan kecil (terdiri sampai dengan 500 penduduk), permukiman/perumahan sedang (terdiri sampai dengan penduduk), permukiman/perumahan besar (terdiri dari penduduk), dan permukiman/perumahan sangat besar (terdiri lebih dari penduduk). Kepadatan bangunan juga dapat membentuk karakteristik suatu kawasan permukiman. Adapun kepadatan bangunan menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam Martono et al. (2013) adalah Kepadatan rumah tinggi (tingkat kepadatan 60.00%), kepadatan rumah sedang (tingkat kepadatan %), dan kepadatan rumah rendah ( tingkat kepadatan 40.00%). Infrastruktur merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendukung keberlangsungan suatu kawasan permukiman. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, infrastruktur permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun kelengkapan dasar fisik tersebut berupa jaringan jalan, jaringan air bersih, saluran drainase, dan pembuangan sampah. Berdasarkan paparan di atas, adapun kriteria kondisi infrastruktur permukiman menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum tentang identifikasi kawasan kumuh perkotaan antara lain sebagai berikut: 1. Jalan a. Baik : Kerusakan < 50.00% b. Buruk : Kerusakan % c. Sangat Buruk : Kerusakan > 70.00% 2. Saluran Drainase a. Baik : Genangan < 25.00% b. Buruk : Genanagan % c. Sangat Buruk : Genangan > 50.00% 3. Air Bersih a. Baik : Pelayanan > 60.00% b. Buruk : Pelayanan % c. Sangat Buruk : Pelayanan < 30.00% 4. Pembuangan Sampah a. Baik : Pelayanan > 70.00% b. Buruk : Pelayanan % c. Sangat Buruk : Pelayanan < 50.00%

19 9 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Maret 2013 sampai November Kegiatan penelitian ini meliputi tahap inventarisasi (pengumpulan data), analisis spasial dan analisis karakteristik permukiman serta sintesis berupa penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap permukiman. Lokasi penelitian terletak di DAS Ciliwung Hilir, Jakarta (Gambar 5). Gambar 5 Lokasi penelitian (DAS Ciliwung Hilir) (Sumber: Landsat 8 Tanggal 6 April 2013)

20 10 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), kamera digital, alat tulis dan komputer dalam pengolahan data menggunakan Geographic Information System (GIS) seperti ERDAS Imagine 9.1, Arc GIS 9.3 Version dan Global Mapper. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial (raster dan vektor) dan non-spasial (deskriptif) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber data dan kegunaan Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Kegunaan Citra Landsat 7 TM (04/12/1993) Raster, resolusi 30x30 m LAPAN Analisis penutupan lahan tahun 1993 Citra Landsat 8 TM (06/04/2013) Raster, resolusi 30x30 m LAPAN Analisis penutupan lahan tahun 2013 Data RTRW Deskriptif BAPPEDA Jakarta Analisis perubahan penutupan lahan Data RDTR Deskriptif Dinas Tata Ruang Jakarta Analisis perubahan penutupan lahan Peta Batas DAS Vektor BPDAS Ciliwung Penentuan wilayah penelitian (DAS Ciliwung Hilir Peta Administrasi Kecamatan dan Desa Vektor PPLH IPB Penentuan sampel penelitian (3 Kecamatan) Data Kependudukan Deskriptif Kecamatan dalam Angka, Laporan Tahunan Kelurahan, Survey lapang Analisis ukuran, kepadatan Permukiman Keterangan : 1. LAPAN : Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional 2. PPLH : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup 3. BPDAS : Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai 4. RTRW :Rencana Tata Ruang dan Wilyah 5. RDTR : Rencana Detail Tata Ruang Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu inventarisasi, analisis penutupan lahan, perubahan penutupan lahan, dan karakteristik permukiman, serta pembuatan rekomendasi pengelolaan lanskap permukiman di DAS Ciliwung Hilir. Bagan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

21 11 Pengumpulan Data Spasial dan Non-spasial Ground Check Klasifikasi Citra (Klasifikasi Terbimbing) Inventarisasi Analisis Training Area Peta Penutupan Lahan Tahun 1993 Peta Penutupan Lahan Tahun 2013 Pendugaan Akurasi Perubahan Penutupan Lahan (Metode Post Classification Comparison) Peta Perubahan Penutupan Lahan ( RTH menjadi Ruang Terbangun) Distribusi Permukiman (Deliniasi Google Earth) Peta Distribusi Permukiman Permukiman Terencana Permukiman Tidak Terencana Pengambilan Sampel Pola Permukiman Ukuran Permukiman Kepadatan Permukiman Infrastruktur Permukiman (Van der Zee 1986 dalam Syartinilia 2001) Linier (memanjang) Dispersed (menyebar) Nucleated (memusat) (Kwanda 2000 dalam Syartinilia 2001) Konvensional Cluster (mengelompok Planned Unit Development (PUD) (multifungsi) (Mulyana et al 2007) Tunggal ( 1rumah) Kecil (500penduduk) Sedang (2 000penduduk) Besar ( penduduk) Sangat Besar ( penduduk) (Dirjen Cipta Karya PU) Rendah ( 40%) Sedang (40-60%) Tinggi ( 60%) (Dirjen Cipta Karya PU) Jalan - Baik (kerusakan < 50%) - Buruk (kerusakan 50-70%) - Sangat Buruk (kerusakan >70%) Drainase - Baik (Genangan < 25%) - Buruk (Genangan 25-50%) - Sangat Buruk (Genangan >50%) Air Bersih - Baik (Pelayanan >60%) - Buruk (Pelayanan 30-60%) - Sangat Buruk (Pelayanan < 30%) Sampah - Baik (Pelayanan >70%) - Buruk (Pelayanan 50-70%) - Sangat Buruk (Pelayanan < 50%) Karakteristik Permukiman Output Rekomendasi Pengelolaan Gambar 6 Bagan Alur Penelitian

22 12 Inventarisasi Pada tahap inventarisasi dilakukan kegiatan pengumpulan data dan survai lapang. Data yang diperlukan berupa data spasial (raster dan vektor) dan data non spasial (deskriptif). Pada tahap survey lapang dilakukan pengumpulan data non spasial berupa pengamatan langsung di lokasi penelitian, wawancara dengan pihak terkait dan dokumentasi lapang, serta studi pustaka yang terkait dengan tujuan penelitian. Klasifikasi Penutupan Lahan Peta penutupan lahan dibuat dari citra satelit Landsat 7 tanggal 4 Desember 1993 dan citra satelit Landsat 8 tanggal 6 April 2013 dengan komposit band sesuai standar Departemen Kehutanan Indonesia yaitu band combination Hal ini dikarenakan tampilan dari komposit ini mendekati warna alami, yang disebabkan oleh band combination tersebut mencakup band inframerah sedang, inframerah dekat dan sinar tampak. Sinar inframerah sedang merekam variasi kelembaban (water content) dari vegetasi, inframerah dekat terkait dengan biomassa, sedangkan sinar tampak terkait informasi kehijauan daun (chlorophyll) (Jaya 2010). Peta penutupan lahan dihasilkan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing pada software ERDAS Imagine 9.1. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokan kelas diterapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh melalui pembuatan training area (area contoh) berdasarkan hasil survey lapang. (Aryanti 2011). Training area yang digunakan dalam penelitian yaitu Ruang Terbuka Hijau (RTH), ruang terbangun, dan badan air (Tabel 2). Uji akurasi dilakukan terhadap hasil penutupan lahan yang diperoleh dengan menggunakan occuracy assasement dari sofware ERDAS Imagine 9.1 dengan tingkat akurasi minimal 75.00% (Syartinilia 2004). Tabel 2 Deskripsi kelas penutupan lahan Kelas Penutupan Lahan Ruang Terbangun RTH Badan Air Band Combination 6,5,4 6,5,4 6,5,4 Deskripsi Seluruh kawasan yang berupa area terbangun Seluruh hamparan lahan yang terdiri dari tegakan pohon, semak belukar, rumput dan lahan pertanian Seluruh kawasan dengan kenampakan perairan meliputi sungai, danau, dan waduk Gambar Sumber : Standar Nasional Indonesia Klasifikasi Penutupan Lahan

23 13 Analisis Perubahan Penutupan Lahan Metode yang digunakan pada proses ini adalah Post Classification Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian. Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan lahan tahun 1993 dengan tahun 2013 yang telah di-recode terlebih dahulu (Lampiran 3). Proses tersebut menghasilkan image baru yang mengandung informasi berupa penutupan lahan yang berubah ataupun yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut (Gambar 7). Gambar 7 Matriks Post Classification Comparison Proses recode masing-masing nilai kelas pada masing-masing peta penutupan lahan dilakukan menggunakan ERDAS Imagine 9.1. Hasil perkalian matriks tersebut menghasilkan kelas penutupan lahan dengan nilai baru. Nilai tersebut menggambarkan perubahan masing-masing kelas dalam periode Hasil akhir yang didapatkan dari analisis tersebut berupa peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di DAS Ciliwung hilir. Analisis Distribusi Permukiman Pada tahap ini dilakukan deteksi distribusi permukiman pada 3 kecamatan terpilih. Analisis spasial dilakukan dengan cara deliniasi kawasan permukiman dengan menggunakan software Google Earth berdasarkan teratur atau tidaknya pola permukiman. Tahap selanjutnya yaitu menginput data hasil deliniasi kawasan permukiman pada software ArcGIS 9.3 sehingga diperoleh peta distribusi permukiman. Pada tahap ini dilakukan proses georeferencing yaitu proses memberikan kordinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah planimetris (Jaya, 2010). Analisis Karakteristik Permukiman Metode yang digunakan dalam analisis karakteristik permukiman terdiri dari 4 tahapan, yaitu: 1. Penentuan sampel, yaitu menentukan jumlah sampel permukiman masingmasing 1 permukiman terencana dan 1 permukiman tidak terencana di 3 RW pada 3 kecamatan terpilih; 2. Analisis pola permukiman, yaitu interpretasi pola permukiman berdasarkan hasil studi pustaka dengan cara deliniasi kawasan permukiman dengan menggunakan software Google Earth untuk selanjutnya dilakukan georeferencing;

24 14 3. Analisis kepadatan permukiman, yaitu membandingkan kepadatan bangunan dalam suatu blok permukiman. Menurut Martono et al. (2013), kepadatan permukiman dirumuskan sebagai berikut : Kepadatan Permukiman = 4. Analisis infrastruktur permukiman dengan menggunakan metode skoring, yaitu pemberian skor pada masing-masing aspek untuk selanjutnya dilakukan penjumlahan guna mengetahui kualitas infrastruktur permukiman di lokasi terpilih. Aspek infrastruktur permukiman meliputi jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Pada tahap ini dilakukan penilaian kondisi infrastruktur oleh ketua RT/RW pada lokasi permukiman terpilih. Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (1983) dalam Alvino (2014). Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Rendah = SMi sampai SMi + IK Tabel 3 Kriteria penilaian infrastruktur permukiman Aspek Skor 1 (Sangat Buruk) 2 (Buruk) 3 (Baik) Jalan Kerusakan > 70.00% Kerusakan % Kerusakan < 50.00% Saluran drainase Ketinggian >50.00% Ketinggian % Ketinggian <25.00% Air Bersih Pelayanan <30.00% Pelayanan % Pelayanan >60.00% Pembuangan Sampah Pelayanan <50.00% Pelayanan % Pelayanan >70.00% Penyusunan Rekomendasi Tahap akhir berupa penyusunan rekomendasi berdasarkan hasil analisis guna menghasilkan rekomendasi pengelolaan permukiman yang sesuai pada lokasi penelitian.

25 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Situasional Letak Geografis Lokasi penelitian terletak di DAS Ciliwung Hilir, Propinsi DKI Jakarta. Lokasi ini terletak pada koordinat 6 o o 90 0 LS dan 106 o o 54 0 BT dengan luas wilayah ha. Adapun DAS Ciliwung Hilir dibatasi oleh: a. Sebelah barat berbatasan dengan DAS Angke; b. Sebelah timur berbatasan dengan DAS Bekasi; c. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan d. Sebelah selatan berbatasan DAS Ciliwung Tengah. Gambar 8 Peta administrasi DAS Ciliwung Hilir

26 16 Topografi, Geologi dan Tanah Berdasarkan keadaan topografinya, lokasi penelitian dikategorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian lahan berkisar antara mdpl dari pantai sampai ke banjir kanal. Jenis tanah yang mendominasi pada lokasi penelitian ini yaitu tanah latosol dan regosol. Tanah latosol merupakan tanah yang berwarna merah, berasal dari batuan vulkanik yang bersifat intermediet, memiliki profil tanah yang dalam, msudah menyerap air, mudah mneyerap air, memiliki kandungan bahan organik yang sedang, dan ph netral hingga asam. Tanah Regosol bertekstur kasar, peka terhadap erosi, berwarna keabuan, ph , kaya akan unsur hara, dan mudah menyerap air. Iklim Berdasarkan data dari stasiun pengukur iklim Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta, suhu tertinggi terjadi pada Bulan September dan suhu udara terendah terjadi pada Bulan April, Agustus, Novmber (Gambar 9). Kelembaban maximum terjadi pada Bulan Desember, sedangkan kelembaban minimum terjadi pada Bulan Juli (Gambar 10). Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Januari dan curah hujan terendah terjadi pada Bulan Agustus (Gambar 11). Suhu Udara (ºC) 29, , ,5 27 Gambar 9 Suhu udara menurut bulan Kelembaban Udara (%) Gambar 10 Kelembaban udara menurut bulan

27 Curah Hujan (mm/hari) Kondisi Sosial dan Kependudukan Gambar 11 Curah hujan menurut bulan Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa jumlah penduduk di lokasi penelitian sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar jiwa. Kawasan dengan jumlah penduduk tertinggi hingga terendah yaitu Jakarta Selatan dengan total jumlah penduduk sebesar jiwa, Jakarta Timur sebesar jiwa, Jakarta Pusat sebesar jiwa, Jakarta Utara sebesar jiwa dan Jakarta Barat sebesar jiwa. Kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi hingga terendah yaitu Jakarta pusat sebesar jiwa/km 2, Jakarta Selatan sebesar jiwa/km 2, Jakarta Timur sebesar jiwa/km 2, Jakarta Utara sebesar jiwa/km 2, dan Jakarta Barat sebesar jiwa/km 2. Struktur perekonomian penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat berdasarkan status mata pencaharian dimana masyarakat cenderung berprofesi pada sektor non pertanian. Menurut BPS (2013) struktur perekonomian di Jakarta didominasi oleh sektor keuangan, rela estate dan jasa perusahaan (27.75%), sektor perdagangan, hotel, restoran (21.11%), sektor industri pengolahan (15.23%), sektor konstruksi (11.16%), sektor jasa (12.85%), sektor pengangkutan dan komunikasi (10.49%), sektor listrik, gas dan air bersih (0.88%), sektor pertambangan dan penggalian (0.44%) dan sektor pertanian (0.08%). Kondisi tersebut menandakan Kota Jakarta sebagai kota jasa. Hal ini dikarenakan sekitar 72.56% PDRB Jakarta berasal dari sektor (perdagangan,keuangan,jasa dan angkutan), sebesar 26.95% berasal dari sektor industri pengolahan, konstruksi, listrik, gas dan air bersih. Sedangkan sebesar 0.49% berasal dari sektor pertanian. Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Dalam Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2030, mengatur tentang perencanaan struktur dan pola ruang di DKI Jakarta. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budidaya, diantaranya kawasan lindung, budidaya, RTH, fungsi ibukota, permukiman, permukiman taman, perkantoran, perdagangan dan jasa, serta kawasan industri.

28 18 Gambar 12 Peta rencana pola ruang DKI Jakarta

29 19 Penutupan Lahan Penutupan Lahan Tahun 1993 Penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir terdiri dari tiga kelas yaitu ruang terbangun, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan badan air. Selain itu terdapat dua kelas yang tidak terklasifkasi sebagai penutupan lahan yaitu awan dan bayangan awan, namun kedua kelas tersebut tetap dilibatkan karena berpengaruh terhadap proses dan hasil klasifikasi (Gambar 8). Kelas penutupan lahan yang mendominasi yaitu ruang terbangun sebesar ha (57.59%) dari total luas wilayah meliputi bangunan (permukiman, kawasan industri, pusat bisnis dan pemerintahan). Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas ha (29.80%) dari total luas wilayah terdiri dari areal hutan kota, taman kota, sawah, lahan kosong, semak belukar, dan jalur hijau jalan. Badan air dengan luas ha (3.10%) dari total luas wilayah terdiri dari sungai, danau, dan waduk. Awan dengan luas ha (3.00%) dan bayangan awan sebesar ha (6.50%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub- DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL >75.00% (Sodikin 2012). Akurasi pembuat (Producer s Accuracy) diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Berdasarkan matriks kesalahan di atas diketahui bahwa nilai akurasi pembuat tertinggi (Producer Accuracy) terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun,. sedangkan nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air (Tabel 4). Akurasi pengguna (User Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel kelas tersebut. Nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun, sedangkan nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan RTH (Tabel 4). Akurasi umum (Overall Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan total keseluruhan piksel yang digunakan. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 1993 Kelas Data Acuan Total UA(%) Baris Total Kolom PA (%) Overall Accuracy(%) Kappa Accuracy(%) Ket: 1= ruang terbangun; 2= ruang terbuka hijau(rth); 3= badan air; 4= awan; 5= bayangan awan; UA= User s Accuracy; PA= Producer s Accuracy

30 20 1. Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 1993 Berdasarkan peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir pada tahun 1993 diketahui bahwa kecamatan dengan luas ruang terbangun terbesar yaitu Kecamatan Tebet. Sedangkan kecamatan dengan luas ruang terbangun terkecil yaitu Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas RTH terbesar yaitu Kecamatan Pasar Rebo. Sedangkan luas RTH terkecil terdapat pada Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas badan air terbesar yaitu Kecamatan Tanjung Priok. Sedangkan pada Kecamatan Cempaka Putih dan Tamansari tidak terdapat badan air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan tahun 1993 Kecamatan Jenis Penutupan Lahan (ha) Ruang Terbangun RTH Badan Air Cempaka Putih Gambir Johar Baru Kemayoran Menteng Sawah Besar Senen Pademangan Tanjung Priok Tamansari Jatinegara Kramat Jati Matraman Pasar Rebo Jagakarsa Pancoran Pasar Minggu Setiabudi Tebet Total Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1993 diketahui bahwa Kecamatan Tebet merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar yaitu sebesar ha (14.38%). Hal ini disebabkan jumlah penduduk di kecamatan tersebut merupakan yang tergolong tinggi yaitu sebesar jiwa, menurut BPS (1994). Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah peruntukkan Kecamatan Tebet sebagai kawasan permukiman di wilayah Jakarta Selatan, menurut RTRW DKI Jakarta tahun Peruntukkan kawasan sebagai kawasan permukiman berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun, khususnya permukiman di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1993, diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo merupakan kawasan dengan luas RTH terbesar yaitu sebesar ha (27.75%). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan resapan air di wilayah Jakarta Timur, menurut RTRW DKI Jakarta tahun Hal ini mengakibatkan masih tingginya luas RTH di kawasan tersebut guna mendukung kegiatan budidaya pertanian.

31 Gambar 13 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun

32 22 Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013 Penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 terdiri dari tiga kelas penutupan lahan yaitu ruang terbangun, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan badan air. Selain itu terdapat dua kelas yang tidak terklasifkasi sebagai penutupan lahan yaitu awan dan bayangan awan (Gambar 17). Ruang terbangun adalah seluruh kawasan yang berupa lahan terbangun yang meliputi kawasan pemukiman, pusat perdagangan, industri, infrastruktur, dan lainnya. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah seluruh hamparan lahan yang terdiri dari tegakan pohon, semak belukar, rumput dan lahan pertanian. Badan air adalah seluruh kawasan dengan kenampakan perairan meliputi sungai, danau, dan waduk. Gambar 14 Ruang terbangun di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang) Gambar 15 RTH di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang) Gambar 16 Badan air di lokasi penelitian (Sumber : Survey lapang) Kelas penutupan lahan yang mendominasi yaitu ruang terbangun sebesar ha (75.57%) dari total luas wilayah meliputi bangunan (permukiman,

33 kawasan industri, pusat bisnis dan pemerintahan). Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas ha (12.06%) dari total luas wilayah terdiri dari areal sawah, tegalan, lahan kosong, semak belukar, taman kota, dan jalur hijau jalan. Badan air dengan luas ha (4.88%) dari total luas wilayah terdiri dari sungai, danau, dan waduk yang tersebar di DAS Ciliwung Hilir. Awan dengan luas ha (4.77%) dan bayangan awan sebesar ha (3.71%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub-DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL >75.00% (Sodikin 2012). Akurasi pembuat (Producer s Accuracy) diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Berdasarkan matriks kesalahan di atas diketahui bahwa nilai akurasi pembuat (Producer Accuracy) tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun, sedangkan nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air (Tabel 6). Akurasi pengguna (User Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel kelas tersebut. Nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan RTH dan badan air, sedangkan nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan ruang terbangun (Tabel 6). Akurasi umum (Overall Accuracy) diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan total keseluruhan piksel yang digunakan. Nilai akurasi umum dan akurasi kappa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6 Matriks penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 Kelas Data Acuan Total UA(%) Baris Total Kolom PA (%) Overall Accuracy(%) Kappa Accuracy(%) Ket: 1= ruang terbangun; 2= ruang terbuka hijau(rth); 3= badan air; 4= awan; 5= bayangan awan; UA= User s Accuracy; PA= Producer s Accuracy 1. Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 2013 Berdasarkan peta penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir pada tahun 2013 diketahui bahwa kecamatan dengan luas ruang terbangun terbesar yaitu Kecamatan Pasar Rebo. Sedangkan kecamatan dengan luas ruang terbangun terkecil yaitu Kecamatan Cempaka Putih. Kecamatan dengan luas RTH terbesar yaitu Kecamatan Jagakarsa. Sedangkan luas RTH terkecil terdapat pada Kecamatan Matraman. Kecamatan dengan luas badan air terbesar yaitu Kecamatan Tanjung Priok. Sedangkan pada Kecamatan Cempaka Putih dan Tamansari tidak terdapat badan air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 23

34 24 Tabel 7 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung Hilir tahun 2013 Kecamatan Jenis Penutupan Lahan (ha) Ruang Terbangun RTH Badan Air Cempaka Putih Gambir Johar Baru Kemayoran Menteng Sawah Besar Senen Pademangan Tanjung Priok Tamansari Jatinegara Kramat Jati Matraman Pasar Rebo Jagakarsa Pancoran Pasar Minggu Setiabudi Tebet Total Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar yaitu sebesar ha (13.26%). Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang tergolong besar yaitu sebesar jiwa menurut BPS dalam Pasar Rebo dalam Angka (2014). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan permukiman kepadatan rendah. Namun jika dilihat berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, Kecamatan Pasar Rebo tergolong wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (Lampiran 2). Hal ini perlu diperhatikan karena beresiko terhadap daya dukung kawasan sebagai kawasan permukiman kepadatan rendah. Selain itu Kecamatan Pasar Rebo juga diperuntukkan sebagai wilayah pengembangan kawasan perindustrian di wilayah Jakarta Timur menurut RTRW DKI Jakarta tahun Tingginya aktivitas industri mendorong pertumbuhan penduduk, sehingga berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa luas RTH terbesar terdapat di Kecamatan Jagakarsa dengan luas sebesar ha (20.66%). Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan resapan air di wilayah Jakarta Selatan menurut RTRW DKI Jakarta tahun Namun berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan di Kecamatan Jagakarsa tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini perlu diperhatikan karena akan berdampak pada kurangnya kemampuan lahan dalam menyerap air akibat berkurangnya kawasan resapan air di wilayah tersebut. Dengan demikian perlu adanya peningkatan luas RTH tidak hanya di wilayah Jagakarsa melainkan juga wilayah-wilayah lainnya di DAS Ciliwung Hilir, guna menanggulangi masalah kurangnya wilayah resapan air di DAS Ciliwung Hilir.

35 Gambar 17 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun

36 26 Perubahan Penutupan Lahan Perubahan Penutupan lahan Periode Dalam kurun waktu terdapat lahan yang mengalami perubahan dan ada juga yang tetap atau tidak mengalami perubahan (Lampiran 1). Luas penutupan lahan yang tidak mengalami perubahan yaitu sebesar ha (56.38%). Sedangkan luas penutupan lahan yang mengalami perubahan yaitu ha (26.42%). Luas lahan yang tidak mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah tetap ruang terbangun sebesar ha (84.95%), tetap RTH sebesar ha (12.73%), dan tetap badan air sebesar ha (2.32%). Jenis penutupan lahan yang tidak mengalami perubahan terbesar berupa ruang terbangun. Hal ini disebabkan peruntukkan wilayah yang tergolong sebagai wilayah perkotaan. Hal ini terkait dengan fungsi utama kawasan perkotaan sebagai wilayah non pertanian, sehingga menyebabkan tingginya intensitas ruang terbangun di wilayah tersebut. Sementara itu luas lahan yang mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah ruang terbangun menjadi RTH sebesar ha (12.81%), ruang terbangun menjadi badan air sebesar ha (4.76%), RTH menjadi ruang terbangun sebesar ha (70.07%), RTH menjadi badan air sebesar ha (7.47%), dan badan air menjadi ruang terbangun sebesar ha (2.79%) dan badan air menjadi RTH sebesar ha (2.10%). Jenis penutupan lahan yang mengalami perubahan terbesar berupa RTH menjadi ruang terbangun. Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang berdampak pada tingginya laju perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di wilayah tersebut. Perubahan Penutupan lahan dari RTH menjadi Ruang Terbangun Berdasarkan peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun periode , diketahui bahwa dalam kurun waktu tersebut hampir seluruh wilayah di lokasi penelitian mengalami perubahan. Perubahan lahan terutama terjadi pada RTH yang beralih fungsi menjadi ruang terbangun sebesar ha (70.07%). Gambar di bawah ini menunjukkan persentase luas kawasan yang mengalami perubahan penutupan lahan RTH menjadi ruang terbangun dari yang terkecil hingga terbesar berdasarkan kecamatan ,8810,95 0,04 0,09 0,38 0,44 0,54 0,57 0,63 0,75 0,84 1,52 2,3 3,01 4 4,92 6,34 18,7 33,08 luas (%) RTH menjadi Ruang Terbangun Gambar 18 Persentase luas RTH menjadi ruang terbangun per kecamatan periode

37 Berdasarkan hasil peta perubahan penutupan lahan diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu merupakan 3 kecamatan dengan perubahan RTH ke ruang terbangun yang paling tinggi. Pada Kecamatan Pasar Rebo telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar ha (33.08%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Rebo yaitu Kelurahan Pekayon sebesar ha (33.31%). Pada Kecamatan Jagakarsa telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar ha (18,70%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Jagakarsa yaitu Kelurahan Tanjung Barat sebesar ha (53.99%). Pada Kecamatan Pasar Minggu telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar ha (10.95%). Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Minggu yaitu Kelurahan Pejaten Timur sebesar ha (85.53%). Perubahan lahan terutama terjadi di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk dapat dilihat berdasarkan data kependudukan di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu pada tahun 1993, 2000, 2010, 2011, 2012 dan 2013 dari BPS DKI Jakarta. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Rebo tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa, pada tahun 2000 berjumlah jiwa, pada tahun 2010 berjumlah jiwa, pada tahun 2011 berjumlah jiwa, pada tahun 2012 berjumlah jiwa dan pada tahun 2013 berjumlah jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Jagakarsa tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa, pada tahun 2000 berjumlah jiwa, pada tahun 2010 berjumlah jiwa, pada tahun 2011 berjumlah jiwa, pada tahun 2012 berjumlah jiwa, dan pada tahun 2013 berjumlah jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Minggu tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa, pada tahun 2000 berjumlah jiwa, pada tahun 2010 berjumlah jiwa, pada tahun 2011 berjumlah jiwa, pada tahun 2012 berjumlah jiwa dan pada tahun 2013 berjumlah jiwa. Besarnya jumlah penduduk berdampak pada tingginya kepadatan penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu (Lampiran 2). Menurut Paimin et al. (2012) dalam Wahyuni (2013), salah satu parameter yang mencerminkan tekanan penduduk terhadap suatu lahan atau wilayah adalah kepadatan penduduk. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka semakin tinggi pula tekanan terhadap lahan. Oleh karena itu tingkat kepadatan penduduk di ketiga wilayah tersebut perlu diperhatikan karena akan beresiko pada meningkatnya perubahan lahan, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi ekologis ketiga wilayah tersebut sebagai daerah aliran sungai. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu juga disebabkan oleh pembagian zona perencanaan kawasan dalam RTRW dan RDTR. Pada periode telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 48.03% di Kecamatan Pasar Rebo. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta tahun dan RTRW DKI Jakarta tahun

38 Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Rebo termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 3). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pekayon. Pada periode telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 38.69% di Kecamatan Jagakarsa. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun dan RTRW DKI Jakarta tahun Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Jagakarsa termasuk zona kawasan permukiman kepadatan sedangtinggi (Lampiran 4). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Tanjung Barat. Pada periode telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 35.82% di Kecamatan Pasar Minggu. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Minggu sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun dan RTRW DKI Jakarta tahun Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Minggu termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi (Lampiran 5). Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pejaten Timur. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun pada periode yang tidak sesuai dengan arahan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH perlu diperhatikan karena berpotensi menimbulkan perubahan lahan menjadi ruang terbangun yang semakin luas. Hal ini akan berdampak pada terganggunya fungsi ekologis kawasan tersebut sebagai daerah aliran sungai. Selain itu RDTR yang ada saat ini belum mengimplementasikan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH, oleh karena itu perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap RDTR yang ada khususnya tentang rencana detail RTH. Hal ini perlu diperhatikan agar tercipta keselarasan antara RDTR dan RTRW dalam hal rencana RTH di ketiga kecamatan terpilih. Karakteristik Permukiman Permukiman di lokasi terpilih terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Menurut pedoman teknis tata cara pemilihan lokasi prioritas untuk pengembangan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan Dinas PU, permukiman terencana adalah permukiman yang dibangun dengan suatu aturan yang jelas sehingga membentuk tata bangunan yang memiliki pola yang teratur, umumnya dibangun oleh pihak pengembang (developer). Sedangkan permukiman tidak terencana adalah permukiman yang dibangun secara informal yaitu permukiman yang dibangun oleh individu tanpa mengikuti aturan yang berlaku sehingga membentuk tata bangunan yang cenderung tidak memiliki pola yang teratur. Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan pola permukiman, ukuran permukiman, kepadatan permukiman dan infrastruktur permukiman di dalamnya.

39 Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun, diperoleh 3 wilayah yang paling banyak mengalami perubahan terutama menjadi kawasan permukiman (Kelurahan Pekayon, Tanjung Barat, dan Pejaten Timur). Saat ini ketiga wilayah tersebut didominasi oleh permukiman tidak terencana sebesar ha (87.23%). Sedangkan permukiman terencana sebesar ha (12.77%). Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan, diperoleh sampel permukiman yaitu permukiman tidak terencana yang berlokasi di RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat), dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur). Sedangkan pada permukiman terencana diperoleh sampel yaitu Komplek Tanjung Mas Estate (Kelurahan Tanjung Barat) dan Komplek Batu Permata (Kelurahan Pejaten Timur) (Lampiran 6). Karakteristik Permukiman Tidak Terencana 1. Pola permukiman Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth diketahui bahwa di ketiga lokasi yaitu pada RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) memiliki pola permukiman yang linier (memanjang). Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah merupakan bangunan permanen. 29 Gambar 19 Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Pola permukiman pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman linier (memanjang) dan berorientasi pada jalan. Pada pola permukiman ini unit-unit rumah dibangun secara memanjang mengikuti arah jalan. Pola permukiman memanjang pada jalan terutama dipengaruhi oleh jaringan jalan yang telah ada. Hal ini terkait dengan kemudahan akses yang diperoleh jika membangun permukiman di sepanjang jalan. Selain itu topografi juga mempengaruhi pola permukiman memanjang. Hal ini dikarenakan topografi kawasan di lokasi terpilih relatif datar, sehingga memungkinkan untuk membangun permukiman di kawasan tersebut. 2. Ukuran permukiman Ukuran permukiman dibedakan menjadi permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (0-500 jiwa), permukiman sedang ( jiwa), permukiman besar ( jiwa) dan permukiman sangat besar (>5 000 jiwa) (Mulyana et al. 2007). Berdasarkan hasil analisis data kependudukan diketahui bahwa pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) tergolong ke dalam permukiman berukuran sangat besar yaitu sebesar jiwa. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) tergolong ke dalam permukiman berukuran sangat besar yaitu sebesar jiwa. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) tergolong ke dalam permukiman berukuran sangat yaitu sebesar jiwa. Pada permukiman tidak terencana di 3 lokasi terpilih

40 30 tergolong ke dalam permukiman sangat besar. Hal ini dikarenakan pada permukiman tidak terencana yang terdapat di 3 lokasi terpilih memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut akibat lokasi permukiman yang berada di wilayah semi perkotaan. Hal ini menyebabkan harga tanah di wilayah tersebut lebih murah dan berdampak pada banyaknya masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Selain itu kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan dan pelayanan juga mempengaruhi ukuran permukiman. Hal ini dikarenakan kemudahan mengakses pusat kegiatan dan pelayanan merupakan faktor penting dalam menunjang keberlangsungan permukiman. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun. Dalam PERMEN tersebut menyatakan bahwa salah satu dasar pemilihan lokasi permukiman yaitu kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan dan pelayanan (Emawati 2011). Pada permukiman tidak terencana di Kelurahan Pekayon misalnya, permukiman banyak tumbuh terutama di RW 02. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut dekat dengan pusat pemerintahan yaitu Kantor Kelurahan Pekayon dan Kalisari. Pada permukiman tidak terencana di RW 05 Kelurahan Pejaten Timur dan RW 01 Kelurahan Tanjung Barat, kawasan permukiman banyak tumbuh dikarenakan kawasan tersebut dekat dengan pusat perkantoran (TB. Simatupang, Pejaten) dan sarana transportasi (Terminal Pasar Minggu, Stasiun Pasar Minggu, dan Stasiun Tanjung Barat). Hal ini menandakan bahwa kemudahan dalam mengakses pusat kegiatan menjadi salah satu faktor pemicu pertumbuhan penduduk dan bedampak pada kenekaragaman ukuran permukiman di suatu wilayah. 3. Kepadatan permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, kepadatan permukiman dibedakan menjadi kepadatan rendah (<40.00%), kepadatan sedang ( %), dan kepadatan tinggi (>60.00%). Berdasarkan hasil analisis kepadatan permukiman diketahui bahwa pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) memiliki kepadatan sebesar 51.65% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) memiliki kepadatan sebesar 39.53% dan tergolong ke dalam kepadatan rendah. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) memiliki kepadatan sebesar 49.98% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada permukiman tidak terencana di 3 lokasi terpilih tergolong ke dalam kawasan permukiman kepadatan rendah-sedang. Pada RW 02 (Kelurahan Pekayon) tergolong ke dalam permukiman kepadatan sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Pasar Rebo, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini tergolong sedang. Pada RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) tergolong ke dalam permukiman kepadatan rendah. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan KDB sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Jagakarsa, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini tergolong rendah. Pada RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) tergolong ke dalam permukiman kepadatan sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan

41 KDB sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Pasar Minggu, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini relatif sedang. 4. Infrastruktur permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat beberapa aspek penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan kualitas infrastruktur permukiman. Aspek yang digunakan dalam penilaian kualitas infrastruktur permukiman yaitu jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi infrastruktur di ketiga lokasi terpilih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai total seluruh aspek (Tabel 8). Tabel 8 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman tidak terencana Sampel Permukiman Skor Jalan Skor Drainase Skor Aspek Skor Air Bersih Skor Pembuangan Sampah Skor Total 31 Keterangan RW 02 Pekayon Tinggi RW 01 Tanjung Barat Tinggi RW 05 Pejaten Timur Tinggi Keterangan: Nilai total 4-7 = Rendah, 8-10= Sedang, 11-12= Tinggi 4.1 Jalan Kondisi jalan pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur), tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 18). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian kondisi jalan. Hal ini dikarenakan tingkat kerusakan jalan di lokasi terpilih <50.00%. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih diketahui bahwa pada umunya jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II dan jalan lokal sekunder III dengan lebar jalan berkisar antara m. Selain itu diketahui bahwa pada ketiga lokasi terpilih tidak terdapat bahu jalan. Gambar 20 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Lebar jalan lokal sekunder I di ketiga lokasi terpilih berkisar antara m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder II minimum yaitu m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan lokal sekunder II di ketiga lokasi terpilih berkisar antara m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder II minimum yaitu m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun

42 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan lokal sekunder III di ketiga lokasi terpilih berkisar antara m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder III minimum yaitu m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Namun baik pada jalan lokal sekunder maupun jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Lebar jalan yang tidak memenuhi standar dan tidak terdapatnya bahu jalan disebabkan padatnya bangunan permukiman di lokasi terpilih sehingga tidak memungkinkan dilakukan pelebaran jalan. Dengan demikian diketahui bahwa sistem jaringan jalan pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II dan jalan lokal sekunder III. Lebar jalan lokal sekunder I, II dan III pada permukiman tidak terencana tidak sesuai dengan kriteria yang ada. Bahu jalan merupakan bagian dari ruang manfaat jalan yang berfungsi sebagai fasilitas bagi pejalan kaki. Keberadaan bahu jalan dalam suatu permukiman sangat penting karena merupakan fasilitas bagi pejalan kaki. Oleh karena itu keberadaan bahu jalan diperlukan dalam menujang keberlangsungan permukiman. Dengan demikian perlu adanya pengawasan terhadap implementasi peraturan dalam pembangunan infrastruktur jalan khususnya keberadaan bahu jalan pada permukiman. 4.2 Saluran Drainase Saluran drainase merupakan salah satu kelengkapan fisik dasar yang harus dimiliki dalam suatu permukiman. Secara umum drainase diartikan suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan, sehingga fungsi kawasan tersebut tidak terganggu (Suripin 2004 dalam Mursitaningsih 2009). Sistem saluran drainase di lokasi terpilih yaitu saluran mikro berupa saluran di sepanjang sisi jalan dan saluran di sekitar bangunan. Adapun saluran drainase berbentuk saluran drainase terbuka. Saluran drainase terbuka adalah saluran yang permukaan air nya terpengaruh dengan udara luar (atmosfer). Saluran ini biasanya digunakan untuk mengalirkan air hujan atau air limbah yang tidak mengganggu kesehatan lingkungan dan keindahan. Pada ketiga lokasi yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur), kondisi saluran drainase tergolong buruk (Gambar 19). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 2 pada penilaian kondisi saluran drainase. Hal ini dikarenakan menurut narasumber, ketinggian air di saluran drainase pada lokasi terpilih relatif tinggi yaitu 50.00%. Selain itu diketahui bahwa saluran drainase berbentuk saluran terbuka dengan kedalaman berkisar antara cm dan lebar berkisar antara cm. Kondisi saluran drainase yang buruk disebabkan kedalaman saluran air yang relatif dangkal sehingga tidak mampu menampung air limbah rumah tangga masyarakat sekitar. Selain itu juga disebabkan tumpukan sampah yang tergenang dan

43 mengendap pada saluran drainase menyebabkan rendahnya tingginya genangan air. Hal ini perlu diperhatikan karena beresiko menyebabkan banjir di kawasan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi saluran drainase, guna mencegah terjadinya banjir di kawasan tersebut. Hal yang dapat dilakukan yaitu perbaikan sistem drainase dengan pendekatan Sustainable Urban Drainage System (SUDS). Menurut Dinas PU, Sustainable Urban Drainage System (SUDS) atau sistem drainase berkelanjutan adalah teknik pengelolaan air yang berfokus pada pengendalian aliran air permukaan dengan prinsip menampung dan meresapkan air. Adapun cara kerjanya yaitu, air hujan yang jatuh ditahan melalui bangunan resapan, baik buatan maupun alamiah seperti kolam tandon, sumursumur resapan, biopori, dan lainnya, untuk selanjutnya diresapkan ke dalam tanah. Oleh karena itu perlu adanya peran serta masyarakat dalam penerapan Sustainable Urban Drainage System (SUDS). 33 Gambar 21 Saluran drainase pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih 4.3 Air Bersih Air bersih merupakan salah satu kelengkapan dasar fisik dalam suatu permukiman dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) pelayanan air bersih tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan air bersih. Menurut narasumber pelayanan air bersih pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih tergolong dalam kondisi yang baik. Hal ini dikarenakan menurut narasumber hampir seluruh unit rumah sudah mendapatkan pelayanan air bersih (90.00%) yang berasal dari air tanah. 4.4 Pembuangan Sampah Sarana pembuangan sampah juga merupakan salah satu kelengkapan dasar fisik permukiman. Pada ketiga lokasi terpilih yaitu RW 02 (Kelurahan Pekayon), RW 01 (Kelurahan Tanjung Barat) dan RW 05 (Kelurahan Pejaten Timur) pelayanan pembuangan sampah tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 3 narasumber (Ketua RW lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan menurut narasumber sebagian besar masyarakat (>80.00%) sudah mendapatkan pelayanan pembuangan sampah. Selain itu juga dikarenakan frekuensi pengangkutan sampah dilakukan setiap hari. Pelayanan pembuangan sampah di lokasi terpilih ditangani oleh Suku Dinas Kebersihan setempat. Selain itu berdasarkan hasil turun lapang diketahui bahwa terdapat sarana pengelolaan sampah berupa Tempat Penampuangan Sampah Sementara (TPS), di RW 01 Kelurahan Tanjung Barat dan RW 05 Kelurahan Pejaten Timur. Sarana pengangkutan sampah berupa

44 34 gerobak sampah berkapasitas volume sampah ± 1 m 3. Mekanisme pengangkutan sampah di kawasan permukiman tidak terencana di lokasi terpilih dilakukan dengan cara diangkut oleh petugas kebersihan, kemudian dikumpulkan di TPS untuk selanjutnya di buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Gambar 22 Sarana pembuangan sampah pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Karakteristik Permukiman Terencana 1. Pola permukiman Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth diketahui bahwa pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman yang berbeda. Pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki pola konvensional. Pada Komplek Batu Permata memilki pola cluster. Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah merupakan bangunan permanen. Gambar 23 Pola permukiman terencana di lokasi terpilih Pola permukiman pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki pola permukiman konvensional dan cluster. Pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki pola permukiman berbentuk konvensional. Pada pola permukiman konvensional memiliki batas kapling yang jelas dan tingkat kepadatan rumah yang tersebar merata di seluruh kawasan. Hal ini dikarenakan komplek Tanjung Mas Estate berdiri Tahun 1983, dan pada saat itu konsep konvensional tersebut merupakan konsep perencanaan permukiman terencana yang pertama dikenal dan berkembang pada Tahun Dengan demikian diketahui bahwa faktor keterbatasan konsep perencanaan perumahan mempengaruhi pola permukiman di Komplek Tanjung Mas Estate. Sedangkan pada Komplek Batu Permata memilki pola permukiman cluster. Pada konsep cluster rumah dibangun secara berkelompok untuk mendapatkan kepadatan yang tinggi. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki komplek Batu Permata yaitu sebesar m 2, sehingga rumah-rumah dibangun secara berkelompok guna mendapatkan tingkat

45 kepadatan bangunan yang tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah unit bangunan di komplek Batu Permata yang hanya berjumlah 22 unit. Dengan demikian diketahui bahwa faktor luas lahan mempengaruhi pola permukiman di Komplek Batu Permata. 2. Ukuran permukiman Ukuran permukiman dibedakan menjadi permukiman tunggal (satu rumah), permukiman kecil (0-500 jiwa), permukiman sedang ( jiwa), permukiman besar ( jiwa) dan permukiman sangat besar (>5 000 jiwa) (Mulyana et al. 2007). Berdasarkan hasil hasil wawancara dengan Ketua RT setempat diketahui bahwa pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman berukuran sedang. Hal ini dikarenakan komplek tersebut memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa. Sedangkan pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman berukuran kecil. Hal ini dikarenakan komplek tersebut memiliki jumlah penduduk sebesar 96 jiwa. Permukiman terencana di lokasi terpilih dapat dikategorikan sebagai permukiman kecil dan sedang. Pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman ukuran sedang. Kawasan perumahan ini dihuni sekitar jiwa yang terdiri dari 480 KK. Hal ini disebabkan kawasan Komplek Tanjung Mas Estate tergolong sebagai wisma besar. Hal ini dapat dilihat berdasarkan luas kavling rata-rata >400 m 2. Kawasan Komplek Tanjung Mas Estate yang tergolong sebagai wisma besar, menyebabkan tingginya harga lahan dan unit rumah di kawasan tersebut dan berdampak pada jumlah penduduk di dalamnya. Sedangkan Pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman ukuran kecil. Kawasan perumahan ini dihuni sekitar 96 jiwa yang terdiri dari 22 KK. Hal ini disebabkan kawasan Komplek Batu Permata tergolong sebagai wisma sedang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan luas kavling rata-rata >200 m 2. Kawasan Komplek Batu Permata sebagai wisma sedang menyebabkan tingginya harga lahan dan unit rumah di kawasan tersebut dan berdampak pada jumlah penduduk di dalamnya. Selain itu juga disebabkan unit rumah yang terbatas akibat keterbatasan luas Komplek Batu Permata. 3. Kepadatan permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, kepadatan permukiman dibedakan menjadi kepadatan rendah (<40.00%), kepadatan sedang ( %), dan kepadatan tinggi (>60.00%). Berdasarkan hasil analisis kepadatan permukiman diketahui bahwa pada Komplek Tanjung Mas Estate memiliki kepadatan sebesar 30.95% dan tergolong ke dalam kepadatan rendah. Pada Komplek Batu Permata memiliki kepadatan sebesar 45.75% dan tergolong ke dalam kepadatan sedang. Pada permukiman terencana di lokasi terpilih memiliki kepadatan permukiman rendah dan sedang. Pada Komplek Tanjung Mas Estate tergolong ke dalam permukiman kepadatan rendah. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke dalam kawasan permukiman dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sedang-tinggi menurut RDTR Kecamatan Jagakarsa, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini masih tergolong rendah. Pada Komplek Batu Permata tergolong ke dalam permukiman kepadatan sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan ini yang termasuk ke kawasan permukiman dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sedang-tinggi menurut 35

46 36 RDTR Kecamatan Pasar Minggu, sehingga menyebabkan tingkat kepadatan permukiman di kawasan ini masih tergolong sedang. 5. Infrastruktur permukiman Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, terdapat beberapa aspek penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan kualitas infrastruktur permukiman. Aspek yang digunakan dalam penilaian kualitas infrastruktur permukiman yaitu jalan, saluran drainase, air bersih dan pembuangan sampah. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi infrastruktur di ketiga lokasi terpilih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai total seluruh aspek (Tabel 9). Penilaian infrastruktur permukiman dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 9 Penilaian infrastruktur permukiman pada permukiman terencana Skor Aspek Sampel Skor Skor Skor Air Skor Pembuangan Skor Permukiman Jalan Drainase Bersih Sampah Total Keterangan Komplek TME Tinggi Komplek BP Tinggi Keterangan: Nilai total 4-7 = Rendah, 8-10= Sedang, 11-12= Tinggi 4.1 Jalan Kondisi jalan pada lokasi terpilih (Komplek Tanjung Mas Estate dan Komplek Batu Permata) tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 22). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian kondisi jalan. Hal ini dikarenakan tingkat kerusakan di lokasi terpilih <50.00%. Selain itu diketahui bahwa jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dan jalan lokal sekunder II, dengan lebar jalan sebesar m dan permukaan jalan umumnya sudah beraspal. Sedangkan pada Komplek Batu Permata diketahui bahwa jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dengan lebar yaitu berkisar antara m, dan pada umumnya juga sudah beraspal. Selain itu diketahui bahwa pada kedua lokasi terpilih tidak terdapat bahu jalan. Gambar 24 Kondisi eksisiting jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih Pada Komplek Tanjung Mas Estate, jalan terdiri dari jalan lokal sekunder I dan jalan lokal sekunder II. Pada jalan lokal sekunder I di kawasan Komplek Tanjung Mas Estate memiliki lebar m. Hal ini sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder I minimum yaitu m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Selain itu juga terdapat median jalan dengan lebar m.

47 Sedangkan pada lokal sekunder II memiliki lebar m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lingkungan II minimum yaitu m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Namun baik pada jalan lokal sekunder maupun jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Pada Komplek Batu Permata hanya memiliki satu akses jalan berupa jalan lokal sekunder I dengan lebar m. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria lebar jalan lokal sekunder I minimum yaitu m, menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Selain itu pada kawasan ini tidak terdapat median jalan. Namun pada jalan lokal sekunder dan jalan lingkungan tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan lingkungan yang diharuskan memiliki bahu jalan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Dengan demikian diketahui bahwa sistem jaringan jalan pada permukiman terencana di lokasi terpilih terdiri dari jalan lokal sekunder I, jalan lokal sekunder II. Lebar jalan lokal sekunder I pada permukiman terencana (Komplek Tanjung Mas Estate) sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan pada jalan lokal sekunder II belum sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Lebar jalan lokal sekunder I pada permukiman terencana (Komplek Batu Permata) belum memenuhi kriteria yang ada. Pada jalan lokal sekunder I dan II pada permukiman terencana tidak terdapat bahu jalan. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria jalan yang telah ditetapkan. Bahu jalan merupakan bagian dari ruang manfaat jalan yang berfungsi sebagai fasilitas bagi pejalan kaki. Keberadaan bahu jalan dalam suatu permukiman sangat penting karena merupakan fasilitas bagi pejalan kaki. Oleh karena itu keberadaan bahu jalan diperlukan dalam menujang keberlangsungan permukiman. Dengan demikian perlu adanya pengawasan terhadap implementasi peraturan dalam pembangunan infrastruktur jalan khususnya keberadaan bahu jalan pada permukiman. 4.2 Saluran Drainase Kondisi saluran drainase pada lokasi terpilih (Komplek TME dan Komplek Batu Permata) tergolong ke dalam kondisi yang baik (Gambar 23). Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 2 pada penilaian kondisi saluran drainase. Hal ini dikarenakan menurut narasumber ketinggian air di saluran drainase pada lokasi terpilih relatif rendah 25.00%. Selain itu diketahui bahwa saluran drainase berbentuk saluran terbuka dengan kedalaman berkisar antara cm. Sedangkan pada Komplek Batu Permata pada umumnya saluran drainase berbentuk saluran terbuka dengan kedalaman berkisar antara cm dan lebar antara cm. 37

48 38 Gambar 25 Saluran drainase pada permukiman terencana di lokasi terpilih Kondisi saluran drainase yang relatif lancar disebabkan kedalaman saluran drainase yang cukup ideal, yaitu minimum cm menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 tentang petunjuk teknis kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri. Selain itu juga disebabkan tingginya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. 4.3 Air Bersih Kondisi pelayanan air bersih pada lokasi terpilih (Komplek TME dan Komplek Batu Permata) tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan air bersih. Hal ini dikarenakan menurut narasumber seluruh unit rumah sudah mendapatkan pelayanan air bersih (100.00%), yang berasal dari air tanah. 4.4 Pembuangan Sampah Kondisi pelayanan sampah di lokasi terpilih (Komplek TME dan Komplek Batu Permata) tergolong baik. Hal ini berdasarkan hasil penilaian 2 narasumber (Ketua RT lokasi terpilih) yang memberikan nilai skor 3 pada penilaian pelayanan pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan menurut narasumber seluruh penghuni perumahan sudah mendapatkan pelayanan pembuangan sampah (100.00%). Selain itu juga dikarenakan frekuensi pengangkutan sampah dilakukan setiap hari (Komplek Batu Permata) dan setiap 2 hari sekali (Komplek Tanjung Mas Estate). Sarana pengangkutan sampah berupa gerobak sampah berkapasitas volume sampah ± 1 m 3. Mekanisme pengangkutan sampah pada lokasi terpilih dengan cara diangkut oleh petugas kebersihan, kemudian dikumpulkan di TPS terdekat untuk selanjutnya di buang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Rekomendasi Pengelolaan Berdasarkan hasil analisis terhadap perubahan penutupan lahan dan karakteristik permukiman, diketahui bahwa : 1. Luas RTH pada tahun 1993 (29.80%) dan pada tahun 2013 (12.06%). Berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan (IPL) diketahui bahwa kondisi penutupan lahan (RTH) di DAS Ciliwung Hilir pada tahun 1993 dan 2013, tergolong buruk (IPL <30.00%). Hal ini tidak sesuai dengan standar IPL dalam suatu DAS, dimana suatu DAS atau Sub-DAS tergolong dalam keadaan baik jika memiliki IPL (RTH) >75.00%. Dengan demikian perlu meningkatkan luas RTH di seluruh wilayah DAS Ciliwung Hilir melalui penyusunan pedoman pengelolaan RTH berbasis DAS. Selain itu pemerintah

49 juga perlu melakukan sosialisasi tentang RTH, peran serta manfaat RTH bagi DAS kepada masyarakat. 2. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun pada periode sebesar 70.07%. Dengan demikian perlu adanya pengendalian perubahan penutupan lahan melalui pemberian insentif dan disinsentif oleh pemerintah. 3. Permukiman di lokasi terpilih di dominasi oleh permukiman tidak terencana (87.23%). Hal ini disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk sehingga mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk dijadikan permukiman. Oleh karena itu perlu adanya pengendalian penambahan permukiman tidak terencana oleh pemerintah melalui konsolidasi lahan. 4. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih, memiliki karakteristik permukiman berupa kepadatan permukiman rendah-sedang. Hal ini disebabkan peruntukkan kawasan di lokasi terpilih sebagai kawasan permukiman dengan KDB sedang-tinggi berdasarkan RDTR Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu. Dengan demikian RDTR yang ada khususnya rencana detail kawasan permukiman perlu dipertahankan. 5. Pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih, memiliki karakteristik berupa buruknya infarstruktur permukiman yaitu drainase permukiman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kapasitas saluran drainase sehingga berpotensi menyebabkan banjir di wilayah tersebut. Dengan demikian perlu adanya revitalisasi saluran drainase melalui pendekatan Sustainable Urban Drainage System (SUDS) atau sistem drainase berkelanjutan, yaitu teknik pengelolaan air yang berfokus pada pengendalian aliran air permukaan dengan prinsip menampung air pada bangunan serapan (kolam tandon, sumur resapan, lubang biopori) untuk selanjutnya di resapkan ke dalam tanah. 39 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis peta perubahan lahan di DAS Ciliwung Hilir periode , diketahui bahwa perubahan penutupan lahan terbesar terjadi pada RTH menjadi ruang terbangun sebesar 70.07%. Perubahan lahan disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya jumlah penduduk dan peruntukkan wilayah berdasarkan RTRW. Permukiman di DAS Ciliwung Hilir terdiri dari permukiman tidak terencana (87.23%) dan permukiman terencana (12.77%). Karakteristik permukiman tidak terencana di DAS Ciliwung Hilir adalah memiliki pola permukiman linier (memanjang), ukuran permukiman sangat besar, kepadatan permukiman rendah-sedang, serta kondisi infrastruktur permukiman baik. Karakteristik permukiman terencana di DAS Ciliwung Hilir adalah memiliki pola permukiman konvensional dan cluster, ukuran permukiman kecil-sedang, kepadatan permukiman rendah-sedang, dan kondisi infrastruktur permukiman baik. Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yaitu meningkatkan luas RTH melalui penyusunan pedoman pengelolaan RTH, sosialisasi fungsi dan peran RTH, pengendalian perubahan penutupan lahan melalui pemberian insentif dan disinsentif oleh pemerintah, pengendalian penambahan permukiman tidak terencana oleh pemerintah melalui konsolidasi lahan, mempertahankan RDTR

50 40 yang ada, khususnya rencana detail kawasan permukiman, dan revitalisasi saluran drainase melalui pendekatan sistem drainase berkelanjutan. Saran Dalam menganalisis perubahan penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir, diperlukan penambahan sampel wilayah lainnya, guna mengetahui faktor-faktor lain penyebab perubahan lahan di wilayah tersebut. Dalam mengelola kawasan permukiman di wilayah DAS perlu adanya studi lanjutan terkait karakteristik sosial masyarakat dan sarana prasarana yang lebih mendalam. DAFTAR PUSTAKA Ahyat B Kajian Permukiman Dearah Aliran Sungai (Studi Kasus: Krueng Langsa). [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Alvino Rencana Revitalisasi Kota Tuo Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aryanti M Monitoring Perubahan Penutupan Lahan dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Penginderaan Jauh. (Studi Kasus: Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah ALiran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. [BPS] Badan Pusat Statistik Jakarta Dalam Angka. Jakarta (ID):BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Jakarta Dalam Angka. Jakarta (ID):BPS. [BSN] Badan Standardisasi Nasional Persyaratan Umum Sistem Jaringan dan Geometri Jalan Perumahan. Jakarta (ID):BSN. Ermawati IP Perencanaan Site Plan Komplek Perumahan Galmas Residence Tahap II Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten. [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hudayya R Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaen Bogor, Jawa Barat). Fakultas Pertanian. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jaya, INS Analisis Citra Digital, Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Kemendagri] Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Keputusan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Nomor 9 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D). Jakarta (ID). Kemendagri. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun Jakarta (ID): Kemenhut.

51 [Kemenpera] Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri. Jakarta (ID). Kemenpera. [Kemen PU] Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia Pedoman teknis tata cara pemilihan lokasi prioritas untuk pengembangan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan. Jakarta (ID). Kemen PU. [Kemen PU] Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Sistem Informasi Kawasan Kumuh Perkotaan..[Internet] Diakses pada April Tersedia dalam Martono DA, Nugrahaeni T, Saputra A Analisis Kualitas Lingkungan Permukiman Menggunakan Citra Quickbird di Kecamatan Kota Gede Kota Yogyakarta. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospasial untuk Optimalisasi Otonomi Daerah. Yogyakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Surakarta. Masykur Karakteristik Permukiman Dualistik dan Tingkat Keberhasilan Penghunian di Bogor (Studi Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Melati FF, Hendrawan D, and Sitawati A. (2002). Land use and water quality relationships in the Ciliwung river basin, Indonesia. Jakarta (ID): Trisakti University. Mulyana R, Alikodra HS, Arifin HS, Prasetyo LB Karakteristik Bangunan Rumah dan Bentuk Permukiman di Wilayah DAS Cianjur, Jawa Barat. J STNI Volume 17(3):217. Mursitaningsih Analisis Kinerja Saluran Drainase di Darah Tangkapan Air Hujan Sepanjang Kali Pepe Kota Surakarta [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID). Sekretariat Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Derah No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID). Sekretariat Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Jakarta (ID). Sekretariat Negara. Riastika M Pengelolaan Air tanah Berbasis Konservasi di Recharge Area Boyolali (Studi Kasus Recharge Area Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah. JIL Volume 9(2): Sodikin Kinerja Daerah Aliran Sungai berdasarkan Indikator Penggunaan Lahan pada DAS Padang Guci, Bengkulu. J SDAL Volume 1(2):107. Syartinilia Studi Karakteristik Permukiman di DAS Ciliwung Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syartinilia Penerapan Multi Criteria Decision Making (MCDM) dan Geographical Information System (GIS) pada Evaluasi Peruntukan Lahan (Studi Kasus: DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 41

52 42 Wahyuni S Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

53 43 LAMPIRAN Lampiran 1 Peta penutupan lahan yang tetap dan mengalami perubahan di DAS Ciliwung Hilir periode

54 44 Lampiran 2 Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir Kecamatan Kelurahan Penduduk Kepadatan (jiwa) (jiwa/km2) Taman Sari Mangga Besar Maphar Pinangsia Taman Sari Tangki Jagakarsa Lenteng Agung Srengseng Sawah Tanjung Barat Pasar Minggu Pejaten Timur Pasar Minggu Pancoran Cikoko Pengadengan Rawajati Setia Budi Menteng Atas Pasar Manggis Tebet Bukit Duri Kebon Baru Manggarai Manggarai Selatan Menteng Dalam Tebet Barat Tebet Timur Pasar Rebo Baru Cijantung Gedong Kalisari Pekayon Kramat Jati Bale Kambang Batu Ampar Cawang Cililitan Kampung Tengah Jatinegara Bidara Cina Kampung Melayu Matraman Kebon Manggis Pal Meriem Menteng Cikini Gondangdia Kebon Sirih Menteng Pegangsaan Senen Bungur Kenari Kramat Kwitang Paseban Senen Johar Baru Galur Johar Baru Kampung Rawa Tanah Tinggi Cempaka Putih Rawa Sari

55 Lampiran 2 Data Kependudukan DAS Ciliwung Hilir (lanjutan) Kecamatan Kelurahan Penduduk Kepadatan (jiwa) (jiwa/km2) Gambir Gambir Kebon Kelapa Kemayoran Cempaka Baru Gunung Sahari Selatan Harapan Mulya Kebon Kosong Kemayoran Serdang Sumur Batu Utan Panjang Sawah Besar Gunung Sahari Utara Karang Anyar Kartini Mangga Dua Selatan Pasar Baru Pademangan Ancol Pademangan Barat Pademangan Timur Tanjung Priok Papango Sunter Agung Sunter Jaya Tanjung Priok Warakas Sumber : Jakarta Dalam Angka (2013) 45

56 46 Lampiran 3 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Rebo

57 Lampiran 4 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Jagakarsa 47

58 48 Lampiran 5 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pasar Minggu

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sintang Kalimantan Barat, terletak kurang lebih 395 km dari K ota Pontianak Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat. Meliputi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6 0 12 Lintang Selatan dan 106 0 48 Bujur Timur. Sebelah Utara Propinsi DKI Jakarta terbentang pantai dari Barat

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (XXXX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (XXXX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (XXXX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 Analisa Perubahan Tutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Brantas Bagian Hilir Menggunakan Citra Satelit Multitemporal (Studi Kasus:

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir

LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir LAMPIRAN DATA Lampiran 1. Matriks Pendapat Gabungan Berdasarkan Kriteria Faktor Utama Penyebab Banjir Faktor Penyebab Banjir ta 1 ta 2 ta 3 ta 4 RG VP Curah hujan 0.315 0.057 0.344 0.359 0.217 0.261 Jenis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru terletak pada 101 0 18 sampai 101 0 36 Bujur Timur serta 0 0 25 sampai 0 0 45 Lintang Utara.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran 1. Tata Guna Lahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ekstraksi ketinggian permukaan tanah dari data DEM, penggabungan Peta Aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Perkampungan Portugis Kampung Tugu Jakarta Utara Lanskap Sejarah Aspek Wisata Kondisi Lanskap: - Kondisi fisik alami - Pola Pemukiman - Elemen bersejarah - Pola RTH

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Landsat Untuk Klasifikasi Tutupan Lahan Lanskap Perkotaan Kota Palu

Pemanfaatan Citra Landsat Untuk Klasifikasi Tutupan Lahan Lanskap Perkotaan Kota Palu Pemanfaatan Citra Landsat Untuk Klasifikasi Tutupan Lahan Lanskap Perkotaan Kota Palu ANDI CHAIRUL ACHSAN 1 1. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta. Posisi Kota Jakarta Pusat terletak antara 106.22.42 Bujur Timur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

KONDISI UMUM 4.1. DKI Jakarta

KONDISI UMUM 4.1. DKI Jakarta 30 KONDISI UMUM 4.1. DKI Jakarta Kota Jakarta sebagai ibukota negara merupakan kota yang dinamis. Setiap waktu fisik kota tampak berubah oleh kegiatan pembangunan sarana dan prasarana kota seiring pertambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 51 BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis Kota Bogor 4.1.1 Letak dan Batas Wilayah Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43 30 BT dan 30 30 LS 6 derajat 41 00 LS serta mempunyai ketinggian

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

2.1 Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik. A. Kondsi Geografis

2.1 Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik. A. Kondsi Geografis 2.1 Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik A. Kondsi Geografis Kabupaten Bolaang Mongondow adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Utara. Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow adalah Lolak,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Mengacu kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Akhir Masa Jabatan 2007 2012 PemProv DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci