ANALISIS POTENSI DAN OPTIMALISASI PAJAK HIBURAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH TAHUN DI PROVINSI DKI JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS POTENSI DAN OPTIMALISASI PAJAK HIBURAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH TAHUN DI PROVINSI DKI JAKARTA"

Transkripsi

1 ANALISIS POTENSI DAN OPTIMALISASI PAJAK HIBURAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH TAHUN DI PROVINSI DKI JAKARTA Lusy Marta Subekti, Ayuningtyas Hertianti Program Studi Ekstensi Akuntansi Fakultas Ekonomi ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi pajak hiburan, kendala, dan upaya optimalisasi pajak hiburan yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penilaian potensi pajak hiburan dengan menggunakan Kriteria Davey menunjukkan hasil bahwa pajak hiburan di Jakarta pada tahun 2008 adalah pajak yang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan untuk tahun 2009 kurang potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Tahun 2010 menunjukkan hasil bahwa penerimaan pajak hiburan potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sedangkan tahun 2011 tidak potensial untuk meningkatkan penerimaan daerah. Peneliti menyarankan agar Dinas Pelayanan Pajak melakukan koordinasi yang lebih baik dengan pihak terkait khususnya Dinas Pariwisata dan BPKD, mengintensifkan sosialisasi online system kepada wajib pajak, menerapkan mekanisme penagihan aktif, mengintensifkan pemeriksaan pajak hiburan, dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kata kunci : Pajak Daerah; Potensi Pajak; Pajak Hiburan; Optimalisasi Penerimaan ABSTRACT This study aimed to analyze the potential of entertainment tax, constraints and efforts to optimizing entertainment tax in Jakarta. This study is a qualitative research. Assessment of potential entertainment tax by using the criteria that disclosed by Davey, shows that entertainment tax in 2008 was a potential tax for local revenue in DKI Jakarta. Whereas in 2009 was less potential to increase the local revenue. In 2010, shows that the entertainment tax is potential to increase the local revenue. On the other hand, entertainment tax in 2011 was not potential. Researcher suggested that the Dinas Pelayanan Pajak to have a better coordination with the parties concerned, especially the Dinas Pariwisata and BPKD, intensifying socialization online system for taxpayers, implements active billing mechanism, intensifying the entertainment tax audit, and improve service to the public. Keywords: Local Taxes; Potential Tax; Entertainment Tax; Revenue Optimization 1

2 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah maka suatu daerah dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuannya dalam menggali potensi atau sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD), pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. PAD dapat bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang Sah. Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia yang memiliki wilayah sebesar 662,33 km 2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak jiwa ini tidak memiliki sumber daya alam yang dapat dijadikan sebagai andalan pendapatan daerah. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan daerah dari sektor lain. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, sektor jasa (tersier) sebagai tulang punggung perekonomian Jakarta memiliki peranan sebesar 70% bila dilihat dari kontribusinya pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pembentuk sektor tersier meliputi sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang mempunyai kontribusi terhadap perekonomian daerah sebesar 20%, sektor jasa keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sekitar 31%, dan sisanya diberikan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa lainnya. Ini menunjukan struktur perekonomian Jakarta mengarah kepada struktur jasa (service city). Menurut Laporan Realisasi APBD Provinsi DKI Jakarta, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi sumber penerimaan yang dominan dalam struktur APBD Provinsi DKI Jakarta yakni diatas 50% dari total penerimaan daerah setidaknya dalam 4 tahun terakhir. Besaran nilai realisasi PAD juga meningkat dari tahun ke tahun. Pajak daerah menyumbangkan penerimaan terbesar yakni diatas 80% dari total keseluruhan PAD tahun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan fungsi pemungutan pajak daerah yang dilaksanakan oleh Dinas Pelayanan Pajak (DPP). 2

3 Dari sebelas jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, salah satu yang menarik untuk dicermati adalah pemungutan pajak hiburan. Hal ini dikarenakan Jakarta sebagai ibukota negara, pusat bisnis dan pemerintahan, dan sebagai kota terbesar di Indonesia sudah selayaknya dapat mengandalkan penerimaan dari sektor pajak hiburan sebagai kontribusi terhadap PAD. Jakarta tumbuh sebagai kota metropolitan yang memiliki penduduk terpadat di Indonesia. Pendapatan perkapita penduduk Jakarta sebesar Rp. 101,01 juta per tahun pada tahun 2011 atau tiga kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk secara nasional yang tercatat sebesar Rp. 30,80 juta per tahun. Hal tersebut membuat Jakarta menyimpan banyak potensi dalam sektor pajak hiburan. Pada tahun 2011 kontribusi penerimaan pajak hiburan sebesar 1,94% dari keseluruhan penerimaan pajak daerah atau sebesar 1,57% dari keseluruhan PAD. Dari data tersebut dapat diketahui total penerimaan pajak hiburan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya kecuali terjadinya penurunan penerimaan di tahun Melihat besarnya kontribusi pajak daerah terhadap PAD tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus berupaya untuk menggali potensi penerimaan pajak yang ada, serta melakukan upaya-upaya optimalisasi pemerimaan pajak daerah, termasuk dalam sektor pajak hiburan. Dengan mengoptimalkan realisasi penerimaan khususnya dari pajak hiburan ini diharapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat meningkatkan kemandirian dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah: 1. Bagaimana potensi pajak hiburan di DKI Jakarta? 2. Apa saja faktor kendala dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak hiburan? 3. Bagaimana upaya optimalisasi pajak hiburan yang ada di provinsi DKI Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui potensi pajak hiburan di wilayah DKI Jakarta 2. Untuk mengetahui apa saja faktor kendala dalam upaya pemungutan pajak hiburan 3

4 3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak hiburan di Provinsi DKI Jakarta 2. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Potensi Pajak Daerah Untuk menilai potensi pajak sebagai penerimaan daerah diperlukan beberapa kriteria (Davey, 1988). Terdapat 4 (empat) kriteria penilaian yaitu kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administratif, dan kesepakatan politis. 1. Kecukupan dan elastisitas Persyaratan pertama untuk suatu sumber pendapatan adalah dimana sumber tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Jika biaya meningkat maka pendapatan juga harus meningkat. Elastisitas merupakan kualitas suatu sumber pajak yang penting. Elastisitas dapat diukur dengan membandingkan hasil penerimaan selama atau beberapa tahun dengan perubahan-perubahan dalam indeks harga, penduduk atau produk nasional bruto (GNP). Perhitungan elastisitas dapat pula dilakukan dengan membandingkan dasar pengenaan pajak per kapita secara riil (dengan mempertimbangkan tingkat inflasi) dengan perubahan pendapatan per kapita dalam satu periode. 2. Keadilan Keadilan pada prinsipnya adalah pengeluaran pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Konsep ini merupakan konsep keadilan sosial yang secara luas dianut oleh hampir semua pemerintahan namun dalam prakteknya tidak selalu dilaksanakan. Keadilan dalam perpajakan mempunyai tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dimensi kedua dari keadilan adalah keadilan horizontal, yaitu hubungan pembebanan pajak dengan sumber pendapatan. Dimensi ketiga adalah keadilan geografis. Pembebahan pajak harus adil antar penduduk di berbagai daerah. 4

5 3. Kemampuan Administratif Administrasi perpajakan dalam pengertian pengelolaan pajak mencakup upaya pemanfaatan seluruh sumber daya yang ada pada instansi perpajakan secara efektif dan efisien untuk menghasilkan penerimaan pajak yang optimal (Ikhsan dan Salomo, 2002). Menurut Devas (1989) salah satu dari tiga tolok ukur hasil kebijaksanaan anggaran adalah hasil guna (effectiveness). Efektifitas menyangkut semua tahap administrasi penerimaan pajak: menentukan wajib pajak, menetapkan nilai kena pajak, memungut pajak, menegakkan sistem pajak, dan membukukan penerimaan. 4. Kesepakatan Politis Tidak ada pajak yang populer, meski beberapa pajak lebih tidak populer bila dibandingkan dengan yang lainnya. Kemauan politis diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak itu harus ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi kepada pelanggar. Hal ini pada gilirannya tergantung pada dua faktor yaitu kepekaan dan kejelasan dari pajak tersebut dan adanya keleluasaan dalam mengambil keputusan. 2.2 Optimalisasi Pajak Daerah Menurut McMaster (1991) dalam Sembiring (2007) beberapa upaya untuk pajak yang dapat dilakukan diantaranya : 1. Memperbaharui dan memelihara basis pajak local yang sudah ada terutama pajak kekayaan (potensi yang besar untuk peningkatan di kebanyakan negara-negara) 2. Meningkatkan administrasi pajak daerah, meninjau ulang pajak yang sudah ada, memperketat pemeriksaan, menetapkan sistem target pemungutan dan menggunakan metode pencatatan terkomputerisasi 3. Penghapusan pajak yang penerimaannya kecil, lalu berkonsentrasi pada pajak yang memiliki potensi besar 4. Mendapatkan kemudahan dalam pengaturan tarif pajak lokal 5. Menambah sumber penerimaan dari pajak daerah yang baru 6. Meninjau ulang biaya pelayanan pajak 5

6 Untuk mewujudkan realisasi penerimaan yang optimal, administrator pendapatan daerah harus memperhatikan penghindaran yang dimungkinkan oleh wajib pajak daerah dan retribusi daerah, serta tindak penipuan dan kolusi yang mungkin timbul (Luthfi, 2006). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus meliputi analisis mendalam dan kontekstual terhadap situasi yang mirip dalam organisasi lain, dimana sifat dan definisi masalah yang terjadi adalah serupa dengan yang dialami dalam situasi saat ini (Sekaran, 2009). 3.2 Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Studi kepustakaan (Library research) 2. Wawancara (Interview) 3. Dokumentasi (Documentation) Sumber data bisa diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder (Sekaran, 2009): 1. Data Primer Data primer pada penelitian ini data primer diperoleh dari hasil wawancara. 2. Data Sekunder Data sekunder pada penelitian ini didapat dengan melakukan studi literatur dan melakukan pencarian data-data pendukung dari berbagai sumber. 3.3 Teknik Analisis Data Analisis data pada penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif induktif. Untuk menentukan apakah pajak hiburan di DKI Jakarta merupakan sumber penerimaan yang potensial atau tidak, akan dibahas dengan kriteria umum pajak daerah yang diungkapkan oleh Davey (1988). Bachtiar (2003) dalam Septian (2011) menggunakan skala penilaian dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5 untuk menilai pajak tersebut potensial atau tidak. Penjelasan dari penilaian adalah sebagai berikut : 6

7 1. Kecukupan dan elastisitas a. Nilai 1 berarti pajak tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak daerah dan tidak elastis sempurna b. Nilai 2 berarti pajak tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak daerah dan tidak elastis c. Nilai 3 berarti pajak tersebut cukup memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak daerah dan elastis uniter d. Nilai 4 berarti pajak tersebut cukup memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak daerah dan elastis e. Nilai 5 berarti pajak tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan pajak daerah dan elastis Untuk menghitung elastisitas terlebih dahulu dihitung pertumbuhan penerimaan pajak pajak hiburan dan pertumbuhan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk menghitung pertumbuhan digunakan rumus sebagai berikut : Pertumbuhan pendapatan tahun t = Pendapatan tahun t pendapatan tahun t-1 x 100% Pendapatan tahun t-1 Elastisitas dihitung dengan rumus sebagai berikut : E = Δ Penerimaan Pajak / Δ PDRB Kriteria ukuran untuk elastisitas Rahardja (2006) adalah sebagai berikut : a. E > 1 : Elastis artinya penerimaan pajak akan berubah sebesar elastisitasnya ketika PDRB mengalami perubahan sebesar 1% b. E = 1 : Uniter artinya penerimaan pajak akan berubah sebesar perubahan yang terjadi pada PDRB c. E < 1 : Tidak elastis artinya penerimaan pajak akan berubah sebesar elastisitasnya ketika PDRB mengalami perubahan sebesar 1% 7

8 d. E = O : Tidak elastis sempurna artinya penerimaan pajak tidak terpengaruh oleh perubahan PDRB 2. Keadilan Skala penilaian keadilan dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5 adalah sebagai berikut (Septian, 2011) : a. Nilai 1 berarti pajak tersebut tidak adil dalam penerapannya b. Nilai 2 berarti penerapan tarif pajaknya proporsional, pembebanan pajak tidak adil dan ada perbedaan dalam pembebanan pajak di tiap daerah c. Nilai 3 berarti penerapan tarif pajaknya proporsional, pembebanan pajaknya adil namun masih ada perbedaan dalam pembebanan pajaknya di daerah yang berbeda d. Nilai 4 berarti penerapan tarif pajaknya proporsional, pembebanan pajaknya adil dan sama di setiap daerah e. Nilai 5 berarti penerapan tarif pajaknya progresif, pembebanan pajaknya adil dan sama di setiap wilayah 3. Kemampuan administratif Efektivitas pemungutan pajak diukur dengan rumus sebagai berikut : Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak Daerah x 100% Target Penerimaan Pajak Daerah Standar minimal rasio keberhasilan adalah 100% atau 1 (satu) dimana realisasi sama dengan target yang telah ditentukan. Nilai efektivitas secara umum dapat dikategorikan sebagai berikut (Septian, 2011): Ø Sangat efektif : >100% Ø Efektif : 100% Ø Cukup efektif : 90% - 99% Ø Kurang efektif : 75% - 89% Ø Tidak efektif : < 75% 8

9 Skala penilaian kemampuan adinistratif dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5 adalah sebagai berikut (Septian, 2011) : a. Nilai 1 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori tidak efektif b. Nilai 2 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori kurang efektif c. Nilai 3 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori cukup efektif d. Nilai 4 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori efektif e. Nilai 5 berarti pemungutan pajak daerah tersebut termasuk ke dalam kategori sangat efektif 4. Kesepakatan politis Skala penilaian kesepakatan politis dengan rentang nilai 1 sampai dengan adalah sebagai berikut (Septian, 2011) : a. Nilai 1 berarti pajak tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak jelas pengenaannya serta daerah tidak dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah b. Nilai 2 berarti pajak tersebut dapat diterima masyarakat namun masih memberatkan masyarakat, tidak jelas pengenaannya dan daerah tidak dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah c. Nilai 3 berarti pajak tersebut dapat diterima masyarakat namun masih memberatkan masyarakat, jelas dalam pengenaannya dan daerah dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah namun dengan batasan tertentu. d. Nilai 4 berarti pajak tersebut dapat diterima oleh masyarakat, jelas dalam pengenaannya dan daerah dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah namun dengan batasan tertentu. e. Nilai 5 berarti pajak tersebut dapat diterima oleh masyarakat, jelas dalam pengenaannya dan daerah dapat mengambil keputusan terkait pajak daerah tanpa adanya batasan. 9

10 Menurut Davey dalam Imam (2003), evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan skala nilai untuk masing-masing kriteria dengan rentang nilai 1 sampai dengan 5 dengan penjelasan masing-masing nilai yang sudah disebutkan di metode penelitian. Batasan jumlah nilai yang digunakan dalam penelitian adalah : - Nilai total sampai dengan 10 menunjukan bahwa pajak tersebut tidak potensial - Nilai total lebih dari 10 sampai dengan 14 menunjukan bahwa pajak tersebut kurang potensial - Nilai total dimulai dari 15 sampai dengan 20 menunjukan bahwa pajak tersebut potensial - Nilai total lebih dari 20 menunjukan bahwa pajak tersebut sangat potensial. 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Potensi Penerimaan Pajak Hiburan di DKI Jakarta Untuk menentukan apakah pajak hiburan merupakan penerimaan pajak yang potensial di DKI Jakarta, digunakan empat kriteria Davey sebagai berikut: 1. Kecukupan dan Elastisitas Terkait dengan kriteria dimana hasil pemungutan pajak harus lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemungutannya, dapat diukur dari besaran jumlah penerimaan pajak yang berhasil direalisasikan terhadap biaya pemungutannya. Sudjarwoko (2010) dalam penelitiannya tentang Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tehadap PAD dan APBD Provinsi DKI Jakarta, menggunakan data Realisasi Anggaran Belanja Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta sebagai besaran biaya pemungutan. Tabel 4.1 Perbandingan antara Realisasi Anggaran Belanja dengan Penerimaan Pajak Daerah (dalam Rupiah) NO TAHUN TOTAL REALISASI ANGGARAN BELANJA REALISASI PENERIMAAN PAJAK DAERAH % (3 : 4) , , , ,99 Sumber : Data diolah oleh penulis 10

11 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa presentase biaya pemungutan pajak daerah relatif rendah bila dibandingkan dengan penerimaan pajaknya dari tahun Sedangkan untuk melihat besaran kontribusi penerimaan pajak hiburan terhadap total penerimaan pajak daerah dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 4.2 Penerimaan Pajak Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun (dalam rupiah) NO JENIS PAJAK REALISASI PENERIMAAN PAJAK DAERAH 2008 % 2009 % 2010 % 2011 % 1 PKB , , , ,07 2 BBN-KB , , , ,10 3 PBB-KB , , , ,57 4 Pajak AirTanah , , , ,75 5 Hotel , , , ,64 6 Restoran , , , ,78 7 Hiburan , , , ,95 8 Reklame , , , ,77 9 Penerangan Jalan , , , ,36 10 Parkir , , , ,04 11 BPHTB ,96 JUMLAH , , , ,00 Sumber : Laporan Realisasi APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun Point kedua dalam kriteria ini adalah elastisitas. Tabel 4.3 dan 4.4 menggambarkan besaran elastisitas penerimaan pajak hiburan terhadap PDRB DKI Jakarta tahun Pertumbuhan PKB Tabel 4.3 Pertumbuhan Pajak Daerah dan PDRB DKI Jakarta Tahun BBN- KB PBB- KB PAT Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame PPJ Pajak Parkir PDRB Harga Konstan 2008 (%) 10,55 34,57 27,53 3,00 16,51 34,07 32,36 19,08 10,39 14,84 6, (%) 5,66 (14,71) (12,48) 108,67 (1,98) 16,27 7,29 (12,14) 7,73 22,16 5, (%) 12,32 57,22 8,32 23,92 22,28 16,61 9,57 (4,27) 10,65 (6,68) 6, (%) 17,91 14,62 16,67 (26,96) 15,33 17,15 1,08 4,45 12,06 22,29 6,71 Sumber :hasil olahan menggunakan analisis pertumbuhan penduduk 11

12 Berdasarkan data pertumbuhan diatas, maka elastisitas masing-masing pajak terhadap PDRB dapat dihitung. Elastisitas masing masing pajak daerah terhadap PDRB di DKI Jakarta adalah sebagai berikut : 2. Keadilan Tahun PKB Tabel 4.4 Elastisitas Pajak Daerah DKI Jakarta terhadap PDRB Tahun BBN- KB PBB- KB PAT 12 Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame PPJ Pajak Parkir ,69 5,55 4,42 0,48 2,65 5,47 5,19 3,06 1,67 2, ,13 (2,93) (2,49) 21,66 (0,40) 3,24 1,45 (2,42) 1,54 4, ,89 8,80 1,28 3,68 3,42 2,55 1,47 (0,66) 1,64 (1,03) ,67 2,18 2,49 (4,02) 2,29 2,56 0,16 0,66 1,80 3,32 Sumber : Hasil olahan menggunakan rumus elastisitas Dimensi yang pertama adalah keadilan secara horizontal, yaitu hubungan pembebanan pajak dengan sumber pendapatan. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta dapat dikatakan sudah cukup adil secara horizontal. Ini dikarenakan pajak hiburan tersebut dikenakan kepada pengunjung tempat hiburan, dimana pengunjung tempat hiburan tersebut adalah kelompok dengan penghasilan yang cukup tinggi (golongan ekonomi menengah keatas), sehingga pajak hiburan ini tidak terlalu membebani kelompok tersebut. Sementara itu konsep keadilan secara vertikal berarti pemerataan secara vertikal hubungan dalam pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Untuk penerapan konsep keadilan secara vertikal dalam pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta dilihat dari adanya perbedaan tarif dalam beberapa jenis hiburan. Dimensi ketiga dari prinsip keadilan adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil antar penduduk di berbagai daerah. Dalam pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta dapat dikatakan sudah cukup adil karena pengenaan tarif pajak diberlakukan yang sama di seluruh wilayah DKI Jakarta sesuai dengan jenis hiburan masing-masing. Untuk pembahasan kriteria keadilan pada tahun 2011 sedikit berbeda. Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan untuk menggantikan perda sebelumnya, terdapat poin perubahan yang berkaitan dengan kriteria keadilan. Yakni masuknya permainan golf sebagai objek pajak hiburan. Di

13 satu sisi, masuknya permainan golf sebagai objek pajak hiburan adalah wujud dari ekstensifikasi sumber pajak baru untuk mengoptimalkan penerimaan pajak hiburan. Namun disisi lainnya adalah usaha golf telah terlebih dahulu merupakan objek PPN yang dipungut oleh pemerintah pusat. Hal ini memungkinkan terjadinya pemungutan pajak ganda sehingga pemungutan pajak hiburan ini kurang memenuhi prinsip keadilan. 3. Kemampuan Administratif Menurut Devas (1989) salah satu tolok ukur administrasi penerimaan daerah adalah mengitung tingkat efektivitas atau hasil guna pajak (tax effectivity). Tabel 4.5 Efektivitas Pajak Hiburan DKI Jakarta Tahun Tahun Rencana Penerimaan Realisasi Penerimaan Efektivitas (%) , , , ,72 Rata-rata Sumber : hasil olahan menggunakan rasio efektivitas 99,14 4. Kesepakatan Politis Dukungan politis dari pihak legislatif yakni DPRD diwujudkan dalam peraturan daerah yang mengatur tentang pajak daerah yakni Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak Hiburan. Dalam perda tersebut telah jelas diatur tentang subjek pajak hiburan, objek pajak hiburan, tarif, dasar pengenaan pajak, sanksi dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pemungutan pajak hiburan. Sehingga unsur kejelasan dalam pemungutan pajak hiburan telah terpenuhi. Penerapan aturan-aturan terkait dengan industri hiburan di DKI Jakarta mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah telah mampu mengambil keputusan terkait dengan pajak daerah dan diterima oleh masyarakat. Namun segala peraturan yang telah ditetapkan tersebut harus tetap dalam koridor undang-undang yang disusun oleh pemerintah. Yang dalam hal ini terkait dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah. 13

14 Hampir sama dengan penilaian kriteria keadilan, penilaian kriteria kesepakatan politis juga mengalami perubahan pada tahun Dengan masuknya permainan golf sebagai objek pajak hiburan yang memicu adanya gugatan uji matreiil oleh para pengusaha golf ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adanya gugatan tersebut mengindikasikan bahwa pada tahun 2011 unsur kesepakatan politis kurang terpenuhi karena adanya sebagian masyarakat dalam hal ini wajib pajak yang masih keberatan dengan pengenaan pajak hiburan tersebut. Berdasarkan evaluasi diatas maka pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta dapat diidentifikasi sebagai berikut : Tabel 4.6 Evaluasi Pajak Hiburan di DKI Jakarta berdasarkan Kriteria Davey Kriteria 2008 Tahun Keterangan Kecukupan dan Elastisitas Tahun 2008 berkontribusi 2,85% terhadap pajak daerah dan elastisitas terhadap PDRB sebesar 5,47 (elastis), tahun 2009 kontribusi sebesar 3,13% dan elastisitas 1,45 (elastis), tahun 2010 kontribusi sebesar 2,73% dengan elastisitas 1,47 (elastis), dan tahun 2011 kontribusi sebesar 1,95% dengan elastisitas terhadap PDRB sebesar 0,16 (tidak elastis) Keadilan Pajak hiburan dikenakan kepada pengunjung tempat hiburan (keadilan secara horizontal), dengan tarif proporsional yang ditetapkan menurut per jenis hiburan (keadilan secara vertikal), dan ditetapkan sama di seluruh wilayah DKI Jakarta (keadilan secara geografis). Pengecualian pada tahun 2011 kurang memenuhi prinsip keadilan karena pajak hiburan dikenakan pada permainan golf yang mana merupakan objek PPN (pajak berganda) 14

15 Kemampuan Administratif Kesepakatan Politis Efektivitas pemungutan pajak hiburan pada tahun 2008 sebesar 113,95% (sangat efektif), tahun 2009 sebesar 89,25% (kurang efektif), tahun 2010 sebesar 108,65% (sangat efektif) dan tahun 2011 sebesar 84,72% (kurang efektif) Adanya kesepakatan politis baik dari unsur pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan pengusaha hiburan sendiri. Pengenaannya jelas diatur dalam Perda dan Pergub yang terkait dengan pajak hiburan. Pemda dapat menentukan aturanaturan terkait pajak hiburan asalkan tetap mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah. Pengecualian terjadi pada tahun 2011 dimana pengusaha golf (wajib pajak) melakukan gugatan uji materiil terhadap perda terkait pajak hiburan. Jumlah Tahun 2008 : Potensial Tahun 2009 : Kurang Potensial Tahun 2010 : Potensial Tahun 2011 : Tidak Potensial Sumber : Hasil olahan penulis 4.2 Optimalisasi Penerimaan Pajak Hiburan di Provinsi DKI Jakarta Sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan upaya-upaya optimalisasi pajak daerah. Berikut ini adalah penghitungan tax effort pajak daerah di DKI Jakarta : Tabel 4.7 Perhitungan Usaha Pajak (Tax Effort) Pajak Daerah Provinsi DKI Jakarta (dalam Triliun rupiah) No. Tahun PDRB atas Harga Realisasi Penerimaan Tax Effort Konstan Pajak Daerah (%) ,72 8,7513 2, ,47 8,5601 2, ,63 10,7517 2, ,16 15,2212 3,61 Rata - rata 2,78 Sumber : Data diolah oleh penulis 15

16 Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa usaha pajak yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun Menurut Devas (1989) apabila tax effort (usaha pajak) yang diperoleh mencapai 2% maka usaha pajak yang dilakukan adalah baik. Sehingga dari hasil penghitungan diatas dapat disimpulkan bahwa usaha pajak yang dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dapat dikatakan baik dengan rata-rata sebesar 2,78 % ( ). Beberapa kendala dalam pengoptimalan penerimaan pajak hiburan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia Berdasarkan hasil Kegiatan Analisis Kebutuhan Jabatan Dinas Pelayanan Pajak Tahun 2012 menunjukkan hasil bahwa DPP masih kekurangan karyawan sebanyak 587 orang. 2. Belum adanya formula baku untuk penghitungan potensi pajak hiburan Sampai dengan tahun 2012 Dinas Pelayanan Pajak belum menetapkan suatu formula baku dalam penghitungan potensi pajak daerah, akibatnya terdapat kemungkinan bahwa cara penilaian potensi tidak sama antara wilayah satu dengan yang lainnya. Setelah adanya rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada awal tahun 2013 telah dibuat Surat Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak Nomor 376 Tahun 2013 tentang Penetapan dan Formula Baku Perhitungan Potensi dan Rencana Penerimaan. 3. Kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang terkait Yang pertama adalah kurangnya koordinasi antara DPP dengan Badan Pengelola Keuangan Daerah terkait data penerimaan pajak hiburan (sistem yang belum terintegrasi) sehingga harus dilakukan rekonsiliasi secara berkala. Kemudian koordinasi antara DPP dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terkait data izin usaha hiburan dan data jumlah wajib pajak hiburan yang belum sama. 4. Kendala dalam penerapan online system bagi wajib pajak hiburan Kendala teknis meliputi beragamnya merk dan tipe alat transaksi, beragamnya format data yang harus disesuaikan dan alat transaksi yang masih manual. Selain itu kendala non teknis yakni keengganan dari WP untuk menerapkan sistem online dalam administrasi usahanya. Upaya optimalisasi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta adalah sebagai berikut : 16

17 1. Intensifikasi pemungutan pajak hiburan Upaya intensifikasi ini meliputi pengoptimalan peran seksi penagihan untuk melakukan penagihan pajak kepada wajib pajak terutama untuk penagihan secara aktif, intensifikasi pemeriksaan pajak hiburan dan percepatan pelaksanaan online system. 2. Ekstensifikasi sumber-sumber pajak hiburan Upaya ekstensifikasi meliputi pendataan terhadap wajib pajak baru, yang mana petugas Dinas Pelayanan Pajak harus lebih sering terjun ke lapangan untuk memantau adanya usaha hiburan yang baru. Kemudian puaya lainnya adalah perluasan objek pajak hiburan. 3. Penambahan jumlah pegawai yang ada di DPP dan penyelenggaraan berbagai diklat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi DPP untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi pegawai 4. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat berupa penambahan lokasi gerai pajak di wilayah kota administrasi, penyelenggaraan sosialisasi tentang pajak daerah, dan perbaikan manajemen penanganan pengaduan mengenai pajak daerah 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis potensi penerimaan pajak hiburan berdasarkan empat kriteria Davey yakni kecukupan dan elastisitas, keadilan, kemampuan administratif dan kesepakatan politis tersebut, didapatkan hasil bahwa pada tahun 2008 pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta termasuk ke dalam kategori potensial, tahun 2009 ke dalam kategori kurang potensial, tahun 2010 termasuk ke dalam kategori potensial dan tahun 2011 pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta termasuk ke dalam kategori tidak potensial. Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya disimpulkan bahwa terdapat beberapa kendala dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak hiburan : 1. Keterbatasan sumber daya manusia 2. Belum adanya rumusan baku dalam penilaian potensi pajak hiburan sampai dengan tahun

18 3. Kurangnya koordinasi antara pihak-pihak terkait 4. Adanya kendala teknis dan non teknis dalam penerapan online system bagi wajib pajak hiburan. Terdapat beberapa upaya untuk optimalisasi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta : 1. Intensifikasi pemungutan pajak hiburan 2. Ekstensifikasi sumber-sumber pajak hiburan 3. Penambahan jumlah pegawai yang ada di Dinas Pelayanan Pajak dan penyelenggaraan berbagai diklat yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi DPP untuk meningkatkan keahlian dan kompetensi pegawai. 4. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat berupa penambahan lokasi gerai pajak di wilayah kota administrasi, penyelenggaraan sosialisasi tentang pajak daerah, dan perbaikan manajemen penanganan pengaduan mengenai pajak daerah. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas, dapat direkomendasikan saran untuk mengoptimalkan penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta sebagai berikut : 1. Perlunya koordinasi yang lebih baik antara Dinas Pelayanan Pajak (DPP) dengan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Khususnya agar aplikasi yang terkait dengan penerimaan pajak daerah di dua instansi tersebut dapat saling terintegrasi. Dengan terintegrasinya sistem tersebut maka akan menghasilkan data penerimaan pajak yang lebih akurat, sehingga tidak perlu lagi untuk melakukan rekonsiliasi setiap bulannya. 2. Perlunya koordinasi yang lebih baik antara DPP dengan Dinas Pariwisata terkait dengan data usaha hiburan. Sebaiknya ada MoU yang menjelaskan bahwa secara berkala dua instansi tersebut saling bertukar informasi dalam bentuk laporan yang berisi data usaha hiburan yang telah mendapatkan izin usaha hiburan dari Dinas Pariwisata dan data usaha hiburan yang telah ditunjuk sebagai wajib pajak oleh DPP. Hal ini untuk meminimalisasi kemungkinan hilangnya potensi pajak hiburan. Selain itu, perlu disusun suatu payung hukum yang mengatur bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi salah satu prasyarat dalam 18

19 pengajuan perpanjangan izin usaha hiburan oleh Dinas Pariwisata. Sehingga wajib pajak yang masih mempunyai tunggakan pajak diharapkan dapat segera melunasi kewajibannya. 3. Mengintensifkan sosialisasi kepada wajib pajak agar bersedia menerapkan online system dalam sistem transaksi mereka. Hal ini tentunya harus diikuti dengan perbaikan dari sistem online tersebut agar kendala teknis dapat diatasi. Sehingga wajib pajak merasa tenang dan yakin bahwa online system berjalan dengan lancar dan tidak menghambat sistem transaksi mereka tetapi justru akan mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 4. Segera menyusun mekanisme penagihan aktif untuk diterapkan di Dinas Pelayanan Pajak. Selama ini penagihan yang dilakukan kepada wajib pajak sebatas penagihan pasif yaitu dengan memberikan surat teguran atau surat peringatan kepada wajib pajak. 5. Mengintensifkan pemeriksaan pajak hiburan khususnya terhadap wajib pajak yang belum menerapan online system. Dengan pemeriksaan yang lebih intensif maka akan mendorong wajib pajak untuk melakukan pembayaran pajaknya secara tepat waktu dan tepat jumlah. Selain itu, dalam rangka ekstensifikasi sumber-sumber pajak hiburan, petugas harus lebih sering terjun ke lapangan untuk memantau keberadaan kegiatan hiburan yang belum ditunjuk sebagai wajib pajak. 6. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dinas Pelayanan Pajak harus membuat Standar Operational Procedure (SOP) yang jelas dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat untuk ditaati oleh seluruh karyawan sehingga image masyarakat terhadap pelayanan pemerintah yang berbelit-belit dan lama dapat dihilangkan. Diperlukan internal auditor untuk memastikan bahwa SOP yang telah disusun dilaksanakan dengan benar. 6. KEPUSTAKAAN Bachtiar, Imam. (2003). Optimalisasi penarikan pajak daerah dalam rangka mendukung penerimaan daerah (kasus pajak pju di Kabupaten Bekasi). Jakarta : Universitas Indonesia. Davey, K.J. (1988). Pembiayaan pemerintah daerah : praktek-praktek internasional dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta : UI-Press. 19

20 Devas, Nick. (1989). Keuangan pemerintah daerah di Indonesia. Jakarta : UI Press. Luthfi, Achmad. (2006). Penyempurnaan administrasi pajak daerah dan retribusi daerah : suatu upaya dalam optimalisasi penerimaan PAD. jurnal ilmu administrasi dan organisasi : bisnis dan birokrasi, Vol. XIV, No.1. Mardiasmo. (2002). Perpajakan. Yogyakarta : Andi Mc. Master, James. (1991). Urban financial manajemen : A training manual. Washington : The International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan. Rahardja, Prathama. (2006). Teori ekonomi mikro : suatu pengantar. Jakarta : LPE. Sekaran, Uma. (2009). Metode penelitian untuk bisnis (Edisi 4). Jakarta : Salemba Empat. Sembiring, Fillyanto. (2007). Optimalisasi pajak parkir di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta : Universitas Indonesia. Septian, Angga. (2011). Analisis potensi pajak reklame di Kota Depok dan optimalisasi penerimaannya. Depok : Universitas Indonesia. Simanjuntak. (2001). Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah Bunga Rampai Keuangan Daerah. Yogyakarta : AMP YKPN Sudjarwoko. (2010). Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi DKI Jakarta. Depok : Universitas Indonesia. 20

Analisis Potensi dan Kendala Serta Optimalisasi Pajak Parkir terhadap Penerimaan Pajak Daerah di Provinsi DKI Jakarta

Analisis Potensi dan Kendala Serta Optimalisasi Pajak Parkir terhadap Penerimaan Pajak Daerah di Provinsi DKI Jakarta Analisis Potensi dan Kendala Serta Optimalisasi Pajak Parkir terhadap Penerimaan Pajak Daerah di Provinsi DKI Jakarta Tika Sugiharti, Dahlia Sari Program Studi Ekstensi Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR. Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak

ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR. Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak ANALISIS KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR Calen (Politeknik Bisnis Indonesia) Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah harus

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan nasional merupakan suatu rangkaian pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruhan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pembangunan

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA

KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA 1 KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA SAMARINDA Jonetta Triyanti. D, H.Eddy Soegiarto K, Imam Nazarudin Latif Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengelola pembangunan di daerah tanpa adanya kendala struktural yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk 1. 1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS PAJAK DAERAH ATAS PENDAPATAN ASLI DAERAH PADA BADAN PELAYANAN PAJAK DAERAH KOTA MALANG TAHUN

ANALISIS EFEKTIVITAS PAJAK DAERAH ATAS PENDAPATAN ASLI DAERAH PADA BADAN PELAYANAN PAJAK DAERAH KOTA MALANG TAHUN ANALISIS EFEKTIVITAS PAJAK DAERAH ATAS PENDAPATAN ASLI DAERAH PADA BADAN PELAYANAN PAJAK DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2011-2016 Yunita Dwi Puspita, Hj. Nur Hidayati, SE.,MM & Junaidi, SE.,M.SA Fakultas Ekonomi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan. BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, batasan penelitian, proses penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah menerapkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Nasional. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Otonomi daerah merupakan kebijakan pemerintah dalam hal pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sangat berdampak pada berbagai aspek. Salah satu aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang berarti pemerintah daerah dapat mengurus keuangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang ini

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah serta UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI EVALUASI POTENSI PENDAPATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

JURNAL SKRIPSI EVALUASI POTENSI PENDAPATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI JURNAL SKRIPSI EVALUASI POTENSI PENDAPATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru dengan dikeluarkannya Undangundang No.22 tahun 1999 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Dra. Sri Murdiati, M.Si. Abstrak

ANALISIS POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Dra. Sri Murdiati, M.Si. Abstrak ANALISIS POTENSI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Dra. Sri Murdiati, M.Si. Abstrak Penyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan persaingan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh Pendapatan..., Fani, Fakultas Ekonomi 2015 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih

BAB I PENDAHULUAN` dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah. Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah otonom diberi wewenang yang lebih BAB I PENDAHULUAN` 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah di Indonesia mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah menetapkan Undang- Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar yang berkedudukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar yang berkedudukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Objek Penelitian 1. Sejarah DPPKAD Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) kabupaten Karanganyar adalah salah satu dari Satuan Kerja Perangkat Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan daerah pemekaran yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah 333 ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Vidya Vitta Adhivinna Universitas PGRI Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan tata cara pemerintahan terwujud dalam bentuk pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Konsekuensi

Lebih terperinci

ANALISIS EVEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PADANG PANJANG PERIODE

ANALISIS EVEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PADANG PANJANG PERIODE Vol. X Jilid 2 No.73 Desember 216 ANALISIS EVEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PADANG PANJANG PERIODE 211-215 Oleh Dina Anggraini, SE, M.Si, Fitrah Mulyani, SST,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan dari pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan hak kepada setiap warganya untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

Lebih terperinci

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK DAERAH MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK DAERAH MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR EVALUASI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NASKAH PUBLIKASI Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti jalan, jembatan, rumah sakit. Pemberlakuan undang-undang tentang

BAB I PENDAHULUAN. seperti jalan, jembatan, rumah sakit. Pemberlakuan undang-undang tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan terbesar negara, telah banyak memberi manfaat. Beberapa pengeluaran pemerintah menggunakan dana pajak di antaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola daerah masing-masing sesuai dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

Pande Kadek Yuda Mahardika. Jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia.

Pande Kadek Yuda Mahardika. Jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia. PENERIMAAN PAJAK HOTEL DAN RESTORAN DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (STUDI PADA DINAS PENDAPATAN KABUPATEN GIANYAR PERIODE TAHUN 2011-2014) Pande Kadek Yuda Mahardika Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI Oleh: Muhammad Alfa Niam Dosen Akuntansi, Universitas Islam Kadiri,Kediri Email: alfa_niam69@yahoo.com

Lebih terperinci

Keywords: Local Revenue, Local Taxes, effectivity and Contributions

Keywords: Local Revenue, Local Taxes, effectivity and Contributions 1 ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA DINAS PENDAPATAN DAERAH KOTA PALEMBANG Oleh : Elbi Kusdianto Fakultas Ekonomi, Jurusan

Lebih terperinci

Diaz Ardhiansyah Sri Mangesti Rahayu Achmad Husaini Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang

Diaz Ardhiansyah Sri Mangesti Rahayu Achmad Husaini Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang ANALISIS POTENSI PAJAK HOTEL DANPAJAK RESTORAN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAPPENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Studi Kasus pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Batu Tahun 2011-2013) Diaz Ardhiansyah Sri Mangesti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hakikat mendasar dari prinsip kebijakan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola daerah masing-masing. Sebagai administrator penuh, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus dalam pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

POTENSI PAJAK RUMAH KOS SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PAJAK DAERAH DALAM PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA BANJARMASIN

POTENSI PAJAK RUMAH KOS SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PAJAK DAERAH DALAM PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA BANJARMASIN POTENSI PAJAK RUMAH KOS SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PAJAK DAERAH DALAM PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KOTA BANJARMASIN Phaureula Artha Wulandari 1 Prodi Komputerisasi Akuntansi, Jurusan Akuntansi 1 ayu.phaureula@akuntansipoliban.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam upaya pelaksanaan pembangunan nasional, hal yang paling penting adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan pengeluaran pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pengelolaan keuangan daerah merupakan sub-sistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. ARAH KEBIJAKAN EKONOMI DAERAH Berdasarkan RPJMD Kota Jambi, tahun 2016 merupakan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH RETRIBUSI PARKIR KENDARAAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA TAHUN NASKAH PUBLIKASI

ANALISIS PENGARUH RETRIBUSI PARKIR KENDARAAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA TAHUN NASKAH PUBLIKASI ANALISIS PENGARUH RETRIBUSI PARKIR KENDARAAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA TAHUN 1990-2010 NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern, Perguruan Tinggi dituntut untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan

Lebih terperinci

PUSAT PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG MANGUPRAJA MANDALA.

PUSAT PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG MANGUPRAJA MANDALA. PUSAT PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG MANGUPRAJA MANDALA www.bapenda.badungkab.go.id info@bapenda.badungkab.go.id KONDISI GEOGRAFIS LUAS 418,52 KM 2 (7,43% LUAS P. BALI) Terdiri dari 6 kecamatan Terbagi atas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan dampak reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI ANALISIS EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN DI KOTA PADANG. Oleh: FIKRI ZUHRI PADANG

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI ANALISIS EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN DI KOTA PADANG. Oleh: FIKRI ZUHRI PADANG FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS SKRIPSI ANALISIS EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN DI KOTA PADANG Oleh: FIKRI ZUHRI 05 153 103 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANJARMASIN

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANJARMASIN Analisa Kontribusi Daerah Terhadap PAD (Trisna dan Phaureula Artha Wulandari) ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BANJARMASIN Trisna (1) dan Phaureula Artha Wulandari

Lebih terperinci

17 Analisis pajak..., Sri Endah Nuryani, FE UI, 2010.

17 Analisis pajak..., Sri Endah Nuryani, FE UI, 2010. 17 BAB II TINJAUAN LITERATUR : PAJAK DAERAH 2.1 Pajak Daerah Pajak Daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah mencanangkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan nasional

Lebih terperinci

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SETELAH PENETAPAN UU NO

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SETELAH PENETAPAN UU NO EVALUASI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SETELAH PENETAPAN UU NO. 28 TAHUN 2009 SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2010-2014) PUBLIKASI ILMIAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Kota Bandung merupakan salah satu daerah otonom yang termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat yang tidak lepas dari dampak penerapan otonomi daerah. Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat ini potensi yang ada masih terus digali. Pajak digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat

I. PENDAHULUAN. pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan dengan kewenangan otonomi daerah beserta perangkat kelengkapannya sejak ditingkatkannya status

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2006:1) definisi pajak dalam buku perpajakan edisi revisi, pajak adalah : Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PBB DAN TINJAUAN PERANAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH

BAB 4 ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PBB DAN TINJAUAN PERANAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH BAB 4 ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PBB DAN TINJAUAN PERANAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH Bab ini merupakan inti dari penulisan tesis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Keseluruhan pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hasil dari pembayaran pajak kemudian digunakan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hasil dari pembayaran pajak kemudian digunakan untuk pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan iuran wajib masyarakat kepada kas negara yang diatur sesuai undang- undang. Pemungutan pajak dapat dipaksakan oleh setiap warga negara. Hasil dari pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam rangka mewujudkan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam rangka mewujudkan tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang menjujung tinggi hak dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu menempatkan pajak sebagai

Lebih terperinci

SITI RAHMAWATI HIDAYAH

SITI RAHMAWATI HIDAYAH KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) KABUPATEN GROBOGAN PERIODE 2006-2010 Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud dan Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

KONTRIBUSI DAN EFEKTIFITAS PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN

KONTRIBUSI DAN EFEKTIFITAS PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN ISSN-P 2407-2184 Jurnal Akuntansi Politeknik Sekayu ( ACSY ) Volume II, No. 1, April 2015, h. 31-40 KONTRIBUSI DAN EFEKTIFITAS PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pulihnya perekonomian Amerika Serikat. Disaat perekonomian global mulai

BAB I PENDAHULUAN. pulihnya perekonomian Amerika Serikat. Disaat perekonomian global mulai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perekonomian dunia terlihat mulai membaik sejak tahun 2012. Sumber utama pemulihan perekonomian dunia ini adalah adanya peningkatan aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Segala bentuk fasilitas umum seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perangkat Daerah dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar

BAB I PENDAHULUAN. Perangkat Daerah dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Objek Penelitian 1. Sejarah DPPKAD Karanganyar Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) kabupaten Karanganyar adalah salah satu dari Satuan Kerja Perangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Pembangunan diberbagai bidang tumbuh dengan pesat khususnya pembangunan dibidang ekonomi yang merupakan salah satu aspek penting dalam kemajuan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIFITAS DAN KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PADA KPP PRATAMA SERPONG TERHADAP PENDAPATAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN

ANALISIS EFEKTIFITAS DAN KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PADA KPP PRATAMA SERPONG TERHADAP PENDAPATAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN ANALISIS EFEKTIFITAS DAN KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PADA KPP PRATAMA SERPONG TERHADAP PENDAPATAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN I DEWA MADE MARDIKA Banjar Wijaya B 50 No.11,Cipete - Tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

ANALISIS UPAYA PAJAK DAERAH (TAX EFFORT) DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN PAD KOTA PALOPO

ANALISIS UPAYA PAJAK DAERAH (TAX EFFORT) DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN PAD KOTA PALOPO Prosiding Seminar Nasional Volume 03, Nomor 1 ISSN 2443-1109 ANALISIS UPAYA PAJAK DAERAH (TAX EFFORT) DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN PAD KOTA PALOPO A.Dahri Adi Patra Ls 1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk meningkatkan kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun pada kenyataannya, pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan yang adil dan merata, sangat diperlukan sumber dana dan sumber daya yang berasal dari luar

Lebih terperinci

Oleh : Indra Gunawan Dimas Andika James Antony. L. F

Oleh : Indra Gunawan Dimas Andika James Antony. L. F Catatan atas Laporan Keuangan Kabupaten Boyolali dan Kota Salatiga untuk Ekonomi Kebijakan Ekonomi Makro, Kebijakan Keuangan, dan Pencapaian Target Kinerja APBD Oleh : Indra Gunawan Dimas Andika James

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengakibatkan banyak dampak bagi daerah, terutama terhadap kabupaten dan kota. Salah satu dampak otonomi daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Kabupaten Bekasi merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PENDAPATAN ASLI DAERAH, PAJAK DAERAH DAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN SIDOARJO

BAB 3 GAMBARAN UMUM PENDAPATAN ASLI DAERAH, PAJAK DAERAH DAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN SIDOARJO BAB 3 GAMBARAN UMUM PENDAPATAN ASLI DAERAH, PAJAK DAERAH DAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN SIDOARJO Sebelum memasuki pembahasan mengenai peranan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas )

I. PENDAHULUAN. bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas ) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah daerah berusaha mengembangkan dan meningkatkan perannya dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dalam rangka meningkatkan daya guna ( efektivitas ) penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan Target dan Realisasi Pajak Daerah Pengembangan penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pengelola Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan dalam rangka melaksanakan Trilogi pembangunan, diperlukan ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama mengelola sumber daya yang. perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama mengelola sumber daya yang. perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan kehidupan masyarakat dapat dicapai jika pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001, pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang diberikan kewenangan oleh pemerintah

Lebih terperinci