VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH M. RASYID RIDHA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH M. RASYID RIDHA"

Transkripsi

1 VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH M. RASYID RIDHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2016 M Rasyid Ridha NIM B

4

5 RINGKASAN M RASYID RIDHA. Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan ELOK BUDI RETNANI. Kejadian Filariasis limfatik saat ini masih tinggi diberbagai daerah di Indonesia. Desa Mandomai diketahui merupakan daerah endemik filariasis di Kabupaten Kapuas. Jumlah kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir tetap tinggi. Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman jenis nyamuk, kepadatan nyamuk, aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting), infeksi mikrofilaria pada nyamuk, infeksi mikrofilaria pada penduduk dan mengetahui tipe habitat jentik nyamuk. Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas. Kegiatan yang dilakukan adalah penangkapan nyamuk dengan teknik human landing collection dan resting di dalam dan di luar rumah, pembedahan nyamuk, pengambilan sediaan darah jari dan kapiler, dan identifikasi habitat nyamuk. Hasil penelitian menunjukkan ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai terdiri atas 13 jenis yaitu Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik dan eksofilik. Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies dan dominasi spesies yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus, sedangkan kepadatan nyamuk yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. Kepadatan nyamuk lebih tinggi terjadi di dalam rumah dibandingkan dengan di luar rumah. Kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan. Cx. bitaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pada pukul Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul dan , sedangkan di dalam rumah pada pukul Cx. quinquefasciatus mempunyai aktivitas menggigit pada pukul di luar rumah, sedangan di dalam rumah pada pukul Cx. bitaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat pada pukul baik di dalam dan diluar rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pada pukul Cx. quinquefasciatus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pada pukul

6 Larva infektif (L3) tidak ditemukan pada nyamuk yang dibedah. Perkiraan umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38.9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23.9 hari dan Cx quinquefasciatus 14.3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis. Hasil Pemeriksaan darah jari ditemukan 2 (0.02%) orang positif dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang Periodisitas mikrofilaria bersifat non periodik di dalam darah tepi, namun tidak selalu dijumpai pada setiap periode pemeriksaan selama 24 jam (sepanjang hari), khususnya pada jam 12.00, dan Tipe perindukan yang diamati berjumlah 24 buah dengan proporsi positif jentik yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan di Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk. Kata kunci: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis

7 SUMMARY M. RASYID RIDHA. Potential Vectors of Filariasis and Habitat in Mandomai Villige Kapuas Districk Kalimantan Tengah Province. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and ELOK BUDI RETNANI Lymphatic filariasis cases in some area in Indonesia currently are still high. Mandomai Village in Kapuas District is a filariasis endemic area with the highest cases. There were 5 cases of filariasis in 2009, 2 cases in 2010, 21 cases in 2011 and both of 2012 and 2013 respectively 16 cases. Since 2008 Kapuas has conducted mass drug assesment and ended in 2012, but the number of cases last up to 5 years are still high. The aims of this study were to determine the various species of mosquitoes, density, biting activity and resting, infection of microfilariae in mosquito, microfilariae infection in community and habitat characteristics of filariasis vectors. This study was conducted over four months in Mandomai village, Kapuas. The mosquitoes were collected by human landing collection (HLC) indoors and outdoors, and by indoors and outdoors resting collections, dissecting mosquitoes, blood collected by finger prick and capillaries, and and identification of the breeding type. The result showed that there were 13 species i.e. Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti and Armigeres subalbatus. Cx. bitaeniorhynchus was exophagic, endophilic and exophilic species. Cx. quinquefasciatus and Cx. tritaeniorhynchus were belong to exophagic and exophilic species. There were 3 species which high in densitiy i.e Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus. Indoor density were higher than outdoor. Mosquito density were directly proportional to the index of rainfall, temperature and humidity, there were no relationship on statistical. Cx. bitaeniorhynchus have biting activity indoor were highest at 6 pm to 7 pm and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm; 9 pm to 10 pm and 7 pm to 8 pm in indoor and 9 pm to 10 pm in outdoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciarus. Cx. bitaeniorhynchus have behaviour resting indoor and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm both indoor and outdoor; 3 am to 4 am in outdoor and 12 pm to 1 am in indoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciatus. Infective larvae (L3) not found in mosquitoes were dissecting.the estimate of age population (longevity) were 38.9 days for Cx. bitaeniorhynchus, 23.9 days for Cx. tritaeniorhynchus and 14.3 days for Cx. quinquefasciatus. Those three species were potentially became filariasis vectors. The results of fingers blood tests were found 2 (0.02%) positive votes from 110 people examined. Positive patients age were in the range The microfilaria periodicity is non periodic microfilariae in the peripheral blood, but not always found in each inspection period for 24 hours (during the day), specifically at 12:00 hours, 22:00 and Type of breeding places were observed of 24

8 pieces with positive presentation of mosquitoe larva i.e 25 % for ponds, 100% for schhol pounds, 11% for puddles, 28% for ditches, 100% for paddy fields and 50% for latex sap falling container. Based on these data can conclude In Mandomai Village there were found three species potentially vectors i.e. Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus and also their breeding places. Keywords: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

10

11 VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH M. RASYID RIDHA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh Fadjar Satrija MSc PhD

13 Scanned by CamScanner

14 Judul Tesis : Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah Nama : M. Rasyid Ridha NRP : B Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D Ketua Dr drh Elok Budi Retnani MS Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Dekan SekolahPascasarjana Prof Drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D Dr Ir Dahrul Syah MScAgr Tanggal Ujian: 29 Agustus 2016 Tanggal Lulus:

15

16 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dengan judul Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph. D dan Ibu Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dr Hijaz Nuhung M. Sc sebagai Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Bapak dr. Paisal M. Biomed beserta Tim Peneliti dari Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, serta Ibu Ninik SKM MM dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman teman seperjuangan PEK 2014 yang banyak memberikan masukan, bantuan, dan semangat serta motivasi ( Bang Umar, Bang Irpan, Bos Simba, Bang Zoel, Pak Anto, Firman, Bang Wiro, Pak Alan, Evi, Lisa, Novi, Milda dan Mba Nindya) Kita adalah teman seperjuangan, semangat kuliah dan praktek bersama takkan pernah terlupakan, sukses temanteman. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kedua orang tua (H. Zainuddin S. PdI dan Dra. Hj. Siti Aisyah M. Pd) dan Mertua (Nurjali S. Pd, MM dan Ida Rosanti), Istri tercinta Nur Afrida Rosvita SKM, terimakasih atas do a dan pengertiannya, Kedua putra tersayang Pangeran Kecil (Muhammad Naufal Rakha dan Muhammad Fathan Abidzar Al Ghifary), terimakasih atas segala do a dan motivasi serta dukungannya. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2016 M Rasyid Ridha

17

18 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vi vi vi 1. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2. TINJAUAN PUSTAKA 3 Filariasis 3 Endemisitas Filariasis 4 Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis 7 Pengendalian Filariasis 8 3. METODE PENELITIAN 8 Tempat Penelitian 8 Waktu Penelitian 9 Rancangan Penelitian 9 Cara Kerja 9 Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman jenis nyamuk 14 Kepadatan nyamuk 20 Aktivitas menggigit dan resting 24 Infeksi mikrofilaria pada nyamuk 31 Infeksi filaria pada penduduk 32 Tipe habitat perindukan larva SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 38 Saran 39 DAFTAR PUSTAKA 41 LAMPIRAN 44 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

19 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 18 2 Komposisi keanekaragaman nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 19 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 20 4 Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour density/mhd) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 21 5 Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/mhd) dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/mbr) berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 22 6 Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 32 7 Prevalensi filariasis berdasarkan katagori umur (tahun) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas 32 8 Periodisitas mikrofilaria Brugia malayi pada penderita di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas 34 9 Tipe Perindukan jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas 36 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Endemisitas Filariasis di Indonesia ) Peta Pulau Kalimantan, 2) Peta Kabupaten Kapuas 9 3 Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection (HLC)/bare leg collection (BLC)/Umpan orang 10 4 Jenis nyamuk dari genus Culex. a. Culex quinquefasciatus; b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus Jenis nyamuk dari genus Mansonia. a. Mn. annulata; b. Mn. uniformis; c. Mn. dives. 17

20 6 Jenis nyamuk dari genus Anopheles. a. Anopheles balabacensis; b. Anopheles barbirostris 18 7 Jenis nyamuk dari genus Aedes. a. Aedes albopictus; b. Aedes aegypti 18 8 Armigeres subalbatus 19 9 Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah hujan (ICH) (September Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata (September Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban ratarata (September Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Perilaku aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang luar(uol) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September - Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Perilaku resting Mansonia spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Perilaku resting Culex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Perilaku resting Aedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 31

21 20 Perilaku resting Anopheles spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Fluktuasi Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Pengambilan darah Jari (1 dan 2), Spesies Brugia malayi pada pemeriksaan Mikroskopis (3 dan 4) Peta distribusi perindukan jentik di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas Tipe perindukan nyamuk di di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kabupaten Kapuas (September Desember 2015). A dan B. Selokan; C. Limbah Buangan Rumah Tangga; D. Sawah; E. Kolam Sekolah; F. Kolam Ikan; G. Perkebunan Karet; H. Kolam Ikan 39 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Naskah Penjelasan Penelitian 45 2 Persetujuan Setelah Penjelasan/Inform Consent 46 3 Jumlah Rata-Rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan HLC di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) 47 4 Jumlah Rata-rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan Resting DesaMandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Kegiatan Penelitian 49 6 Hasil Pemeriksaan Darah Jari 50 7 Pengukuran kedalaman, ph, Salinitas dan Suhu setap bulan (September Desember 2015) pada beberapa tipe perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas 53 8 Perhitungan Uji Korelasi Indeks curah hujan, Suhu dan kelembaban dengan Kepadatan Nyamuk 54 9 Perhitungan Periodisitas Titik Koordinat Pengambilan Data GPS Rekomendasi Ijin Penelitian dari Pemkab. Kapuas Persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun

22 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Filariasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan nyamuk sebagai vektor. Filariasis dapat menimbulkan dampak berupa penurunan produktivitas kerja, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara karena dapat menyebabkan kecacatan menetap. Kecacatan yang disebabkan oleh filariasis merupakan kecacatan terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO 2011). Data WHO (2011) menunjukkan terdapat 83 negara dengan jumlah 1.3 miliar penduduk yang berisiko tertular filariasis dan lebih dari 60 % negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang diantaranya sudah terinfeksi, sebanyak 43 juta orang menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan di kaki atau lengan (lymphoedema) atau anggota tubuh lainnya. Penyakit ini tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang semua golongan umur, laki-laki dan perempuan. Kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan yang disebabkan oleh filariasis adalah 67 % dari total pengeluaran rumah tangga perbulan (Evans et al. 1993), selain itu Ramaiah et al. (2000) melaporkan perkiraan kerugian ekonomi di India akibat filariasis mencapai US$ 842 juta pada penderita kronis dan akut. Cacing penyebab filariasis ada 3 spesies yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor utama filariasis tipe W. bancrofti adalah dari Culex spp. (di daerah urban dan semi urban), Anopheles spp. (di daerah rural) dan Aedes spp. (di Kepulauan Pasifik), sedangkan filariasis tipe Brugia malayi ditularkan dari berbagai spesies Mansonia spp., namun pada beberapa daerah juga di temukan pada Anopheles spp. (WHO 2015). Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus dengan PCR (polymerase chain reaction), dapat dideteksi keberadaan B. malayi (Yahya et al. 2014). Sementara itu, An. barbirostris merupakan vektor penting B. malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Soeyoko 2002). Ughasi et al. (2012) menyatakan bahwa Ma. africana dan Ma. uniformis merupakan vektor W. bancrofti di Ghana. Kley and Rajan (2002) mencatat vektor Brugia spp. terdiri atas An. nigerrimus, An. peditaenitus, An. vagus, An. subpictus, Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. orchracea, Ma. annulata, Ma. annulifera, Ma. bonneae, Ma. dives, Ma. indiana, Ma. uniformis dan Ar. subalbatus. Kasus filariasis terdapat di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Tengah, hingga tahun 2011 terdapat 44 kasus filariasis di antaranya Kabupaten Sukamara 13 kasus, Kotawaringin Timur 3 kasus, Seruyan 2 kasus, Kapuas 16 kasus, Pulang Pisau 5 kasus dan Barito Selatan 5 kasus (Dinkes Provinsi Kalteng 2012). Kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir masih tinggi. Transmission assesment survei (TAS) sebagai survey evaluasi untuk mengetahui adanya penularan baru dilakukan pada 1542 anak sekolah dasar (SD) pada tahun Hasil survey TAS ditemukan 17 anak positif filariasis (Dinkes Kabupaten Kapuas 2014)

23 2 Kasus tertinggi di Kabupaten Kapuas terdapat pada Kecamatan Kapuas Barat khususnya di Desa Mandomai yang merupakan daerah endemis filariasis, hal tersebut kemungkinan karena terdapat nyamuk yang berpotensi sebagai vektor dan topografi yang mendukung terjadinya penyebaran serta terdapatnya reservoir. Kasus filariasis di Desa Mandomai mengindikasikan masih terjadi transmisi, selain itu belum pernah dilakukan penelitian tentang vektor filariasis sehingga data mengenai vektor dan habitanya di Kabupaten Kapuas belum diketahui. Data keanekaragaman jenis dan karakteristik habitat perkembangbiakan vektor sangat diperlukan dalam upaya perencanaan pengendalian filariasis. Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan observasi data dasar mengenai ragam jenis nyamuk dan kaitannya sebagai vektor filariasis, mendeteksi kasus baru filariasis disekitar penderita serta periodisitasnya pada daerah endemis filariasis di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keragaman nyamuk, cara penangkapan, kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies, menganalisis hubungan kepadatan nyamuk dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, mengetahui waktu aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting). Pada manusia dilakukan kegiatan untuk mengetahui prevalensi filariasis dan melakukan analisis periodisitas filariasis. Tempat perindukan nyamuk di indentifikasi dengan mengetahui tipe habitat jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar tentang pengendalian filariasis yang efektif dan efesien di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

24 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Filariasis Filariasis limfatik merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria melalui berbagai jenis nyamuk sebagai vektor. Tiga spesies cacing penyebab filariasis yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. B. timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan W. bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi enam tipe yaitu Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) memiliki periodisitas nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang baik di air limbah rumah tangga. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) memiliki periodisitas nokturnal dan ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk Anopheles. Brugia malayi subperiodik nokturnal, nyamuk penularnya adalah Mansonia spp. yang banyak ditemukan di daerah rawa. B.malayi periodik nokturna, nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan. Brugia malayi nonperiodik, nyamuk penularnya adalah Ma. bonneae dan Ma. uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, nyamuk penularnya An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara (Soeyoko 2004). Daur hidup cacing filaria ada 2 yaitu di dalam tubuh penderita (manusia) dan di dalam tubuh nyamuk. Penderita filariasis mengandung cacing dewasa jantan dan betina dalam tubuhnya. Tempat yang disukai adalah kelenjar getah bening dalam rongga sekitar pinggul dan pangkal paha. Telur-telur dieram dalam uterus cacing dewasa betina hingga mencapai stadium embrio aktif yang kemudian dilepaskannya ke dalam saluran getah bening menuju saluran darah dan tumbuh menjadi embrio yang berbentuk lurus, bergerak aktif, melepaskan selaput membran pembungkus atau mikrofilaria (panjang µm serta diameter sama dengan diameter butir darah merah). Mikrofilaria dapat berada dalam peredaran darah perifer menurut waktu sesuai dengan jenis mikrofilaria itu. Di Indonesia periodisitas ini terdapat di malam hari antara pukul malam hari sampai dengan 2.00 dini hari (Ziebeg 2013). Mikrofilaria yang berada di dalam darah perifer akan terhisap oleh nyamuk pada waktu nyamuk menggigit. Di dalam tubuh vektor larva-larva ini tidak memperbanyak diri. Pertumbuhan larva sejak dihisap oleh nyamuk hingga menjadi infektif memerlukan waktu hari, tergantung dari spesiesnya. Migrasi ke mulut (probosis) nyamuk terjadi apabila telah menjadi larva infektif. Larva infektif (L3) keluar dari kelenjar ludah nyamuk pada saat nyamuk betina menggigit manusia dan jatuh di kulit serta masuk ke tubuh melewati luka yang telah dibuat oleh probosis nyamuk (Kazura 2002). Seseorang dapat tertular filariasis limfatik apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva instar 3 atau L3. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan

25 4 bergerak menuju sistim limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis limfatik dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis limfatik, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali (Kazura 2002). Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa atau perkembangannya sangat bervariasi dan mempunyai spektrum yang luas serta tergantung masing-masing individu dan spesiesnya.. Penduduk yang berasal dari daerah nonendemik filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala lebih berat dan munculnya lebih cepat dari penduduk setempat. Gejala klinis filariasis malayi muncul lebih cepat dari pada filariasis bancrofti (WHO 1987). Gejala klinis pada infeksi dengan B. malayi dan B. timori lebih nyata. Pada stadium akut limfadenitis sering terjadi di daerah inguinal pada kelenjar limfe superfisial, dapat terjadi berulang-ulang terutama setelah bekerja berat. Gejala klinis filariasis bancrofti pada stadium akut dapat terjadi peradangan terutama pada saluran limfe genital seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis yang sifatnya periodik dan setiap kali serangan hanya berlangsung beberapa hari. limfedema dan elefantiasis pada penderita filaria bancrofti lebih jarang dijumpai jika dibandingkan dengan filaria malayi dan filaria timori. Kelainan fisik dapat terjadi pada tungkai, lengan, skrotum, vulva dan payudara. Berbeda dengan filaria malayi dan timori, pada filaria bancrofti dapat terjadi pembengkakan seluruh tungkai atau lengan dengan ukuran sampai tiga kali dari keadaan normal (Partono 1987). Endemisitas Filariasis Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan tahun 2014, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)(2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang). Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia (Kemenkes 2014). Hal ini memerlukan perhatian untuk ditindak lanjuti dan dicari kemungkinan penyebabnya.

26 5 Gambar 1. Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014 Data Kementerian Kesehatan (2014) berdasarkan kabupaten, pada tahun 2013 terdapat tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1 353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Berdasarkan data kabupaten tahun 2013, 87% kabupaten/kota mempunyai kasus klinis filariasis pada range kasus, 5.9 % kab / kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5.2% pada range kasus, 1.2 % pada range kasus dan 0.2 % pada range > 700 kasus. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0 % - 40 %. Dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2014, kabupaten/kota yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0.6 %), dan 176 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasais. Pada tahun 2014 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei tahun 2013, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 71.9 % sedangkan 139 kabupaten/kota (28.1 %) tidak endemis filariasis, seperti tampak pada Gambar 1. Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis Larva filaria berkembang di dalam tubuh nyamuk secara siklo developmental atau bertahap dari larva instar 1 (L1), L2 dan menjadi larva infektif (L3). Perkembangan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk tidak konstan. Mikrofilaria dapat meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah mikrofilaria yang dihisap. Hal ini dikenal dengan istilah fenomena fasilitasi. Mikrofilaria juga dapat berkurang yang dikenal dengan fenomena limitasi. Fasilitasi dan limitasi mempengaruhi epidemiologi dan pengendalian filariasis linfatik (Pichon 2002). Fenomena limitasi (negative density dependence) terjadi pada beberapa jenis vektor nyamuk culicinae (Pichon 2002; Subramanian et al dalam Pichon 2002), sedangkan fenomena fasilitasi (positive density dependence) ditemukan pada beberapa jenis vektor Anophelinae (Pichon 2002; Southgate dan Bryan 1992 dalam

27 6 Pichon 2002). Prod hon et al. (1980) dalam Pichon (2002) melaporkan Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus yang merupakan vektor filariasis di Tahiti hanya mampu menampung masing-masing 10 dan 68 larva W. bancrofti di dalam tubuhnya, sedangkan Southgate dan Bryan (1992) dalam Pichon (2002) melaporkan An. gambiae dan An. arabiensis yang merupakan vektor filariasis di Gambia mampu menampung W. bancrofti masing-masing sebanyak 128 dan 42 mikrofilaria. Migrasi mikrofilaria ke dalam saluran pencernaan nyamuk dapat terhalang oleh adanya gigi-gigi tajam dan keras (sclerotinized teeth) yang terdapat pada cibarial armature dan pharyngeal armature pada nyamuk dan simuliidae (Bain et al dalam McGreevy et al. 1978). Dengan demikian mikrofilaria yang melewati kedua armature tersebut mati karena terluka. McGreevy et al. (1978) berhasil mengukur proporsi mikrofilaria yang terbunuh oleh kedua armature tersebut pada nyamuk vektor secara alami dan laboratorium. Mikrofilria Brugia yang terhisap Anopheles spp. dan Aedes spp. dipengaruhi oleh keberadaan cibarial armature. Kerusakan maksimal pada mikrofilaria Brugia terjadi pada Anopheles spp. yang mempunyai kedua armature tersebut. Disini, % mikrofilaria terluka dan % mati (amotile) setelah terhisap. Sebaliknya kerusakan minimal terjadi pada mikrofilaria Brugia di Aedes spp., yang hanya memiliki pharyngeal armature, tanpa cibarial armature. Disini, 9 12 % mikrofilaria terluka dan 6 12 % mati (amotile) (McGreevy et al. 1978). Aktivitas terbang merupakan aspek perilaku vektor yang dirubah oleh parasit. Parasit bersaing secara langsung dengan inang vektor secara metabolik dan mengurangi kemampuan aktivitas terbang vektor. Misalnya pada lalat tsetse yang terinfeksi parasit, aktifitas terbangnya berkurang sebesar 15% (Bursell 1981 dalam Rowland and Lindsay 1986). Rowland and Lindsay (1986) mencatat aktivitas terbang sirkadian Aedes aegypti L. yang terinfeksi Brugia pahangi selama 16 hari berurutan menggunakan acoustic actoghraph. Aktivitas terbang terbang dari nyamuk kontrol yang tidak terinfeksi meningkat sampai maksimum 3 hari setelah menghisap darah, kemudian menurun sedikit dan tetap stabil selama durasi eksperimen. Aktivitas terbang pada nyamuk yang terinfeksi parasit sementara berkurang selama 2 hari setelah mengisap mikrofilaria pada kucing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi parasit dari usus tengah ke otot terbang. Karena larva parasit berkembang pada otot terbang selama 3 6 hari maka aktivitas harian dari semua nyamuk kembali pada level kontrol. Aktivitas pada hari ke 7 8 nyamuk yang terinfeksi mikrofilaria dengan jumlah tiga belas atau lebih turun drastis menjadi sekitar 10% dibandingkan dengan kontrol. Perubahan ini bertepatan dengan munculnya larva stadium infektif dari otot terbang. Keberadaan larva yang sedikit, tidak mengganggu aktivitas terbang. Karena berkurangnya kemampuan terbang, nyamuk yang terinfeksi berat kemungkinan sedikit berperan dalam transmisi filariasis. Eleminasi Filariasis Kerugian akibat filariasis menyebabkan cacat permanen. Cacat fisik permanen umumnya lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena lebih sering keluar rumah yang berkaitan dengan pekerjaannya, hal tersebut mengakibatkan laki-laki kemungkinan kontak dengan nyamuk lebih besar, sehingga berpengaruh terhadap sosial ekonomi keluarga. Penderita filariasis juga mempunyai beban

28 psikososial, hidupnya terisolasi dari pergaulan masyarakat karena merasa malu menderita cacat fisik, angka perceraian akan meningkat bagi yang sudah berkeluarga dan kesulitan mendapatkan pasangan bagi yang belum berkeluarga (WHO 1994). Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat filariasis tersebut, maka penyakit tersebut perlu dilakukan pemberantasan. Eleminasi filariasis perlu dilakukan secara global. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia dengan program global programme to eliminate lymphatic filariasis (GPELF) bertujuan untuk menghilangkan penyakit sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020 dengan 2 pilar utama. Pengobatan massal diberikan kepada semua orang disemua daerah endemik dengan dosis tunggal dosis (dua macam obat) sekali setahun selama minimal 5 tahun. Target untuk eliminasi filariasis limfatik didasarkan pada upaya pengendalian yang telah dilakukan dibeberapa negara endemis dan dilaporkan dalam kurun waktu dan rencana strategis (WHO 2011). Program eliminasi filariasis di Indonesia merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun Tujuan khusus program adalah : a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1 % di setiap kabupaten/kota; b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Program akselerasi eliminasi filariasis diupayakan sampai dengan tahun 2020, dilakukan dengan bertahap lima tahunan yang dimulai tahun Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis selama 5 tahun dimaksudkan untuk mengurangi dan membunuh mikrofilaria yang berada di dalam darah agar tidak terjadi transmisi. Anak usia < 2 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, sakit berat, kasus kronis filariasis, balita marasmus, kwasiorkor, gizi buruk sebaiknya pengobatannya ditunda untuk menghidari efek samping berlebih yang ditimbulkan (Kemenkes 2014). Strategi pengendalian filariasis limfatik secara umum yang telah dilakukan WHO (1997) dan telah diaplikasikan di berbagai negara adalah sebagai berikut: 1) Menurunkan angka penularan dengan cara mengobati inangnya agar terjadi penurunan jumlah mikrofilaria di dalam darah dan mencegah kontak antara inang dengan vektor dan menurunkan jumlah populasi vektor. Upaya menurunkan jumlah populasi vektor dianjurkan untuk memanfaatkan toksin yang dapat menutup permukaan air sehingga dapat membunuh stadium larva nyamuk, dan penyemprotan insektisida, insecticide impregnated bed nets yang keduanya dapat membunuh stadium dewasanya. 2) Melakukan perawatan penderita yang menunjukkan gejala akut atau kronik dan mencegah terjadinya infeksi samping. Obat yang dianjurkan adalah topikal antibiotika dan anti jamur. 3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengendalian filariasis. Pengobatan massal pada penderita dianjurkan dengan berbagai macam cara yaitu: dosis tunggal diethyl carbamazine citrate (DEC) 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari, ivermectin 400 g/kg berat badan sekali dalam satu tahun, kombinasi ivermectin 400 g/kg berat badan + DEC 6 mg/kg berat badan sekali dalam satu tahun, DEC 400 mg sekali dalam setahun atau menggunakan garam DEC (DEC fortified-salt): 0.15 % % jangka lama (WHO 2013). 7

29 8 3 METODE PENELITIAN Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Gambar 2). 1 2 Gambar 2 1) Peta Pulau Kalimantan (sumber : 2) Peta Kabupaten Kapuas; (sumber : Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September Desember 2015 di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah

30 9 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Kegiatan yang dilakukan adalah 1). Penangkapan Nyamuk, 2) Identifikasi Nyamuk, 3) Pembedahan Nyamuk untuk Identifikasi vektor, 4) Pengamatan kepadatan Nyamuk, 5) Pengambilan sediaan darah jari pada penduduk, 6) Pengamatan Periodisitas dan, 7) Survei Karakteristik habitat 8) Pengambilan titik koordinat dengan GPS. Cara Kerja Penangkapan nyamuk dengan human landing collection (HLC) dan resting Koleksi nyamuk menggunakan umpan orang atau human landing collection (HLC) untuk mengetahui kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan manusia dan resting untuk mengetahui perilaku nyamuk istirahat (Gambar 3) (WHO 2015). Penangkapan nyamuk dilakukan pada 3 rumah dengan jumlah kolektor masing-masing rumah berjumlah 2 orang yaitu 1 orang di dalam dan 1 orang di luar rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai pukul Setiap jam terdiri atas 45 menit penangkapan dengan umpan orang dan 10 menit dilakukan dengan penangkapan resting dengan menggunakan aspirator. Penangkapan dengan penangkapan HLC dan resting dilakukan di dalam rumah (umpan orang dalam / UOD) (dinding dalam / DD) dan di luar rumah (umpan orang luar / UOL) (dnding luar / DL). Nyamuk yang tertangkap melalui HLC dan resting di identifikasi di bawah mikroskop stereo menggunakan kunci identifikasi morfologi bergambar nyamuk Anopheles (O Connor dan Soepanto 2013a), nyamuk Aedes (O Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O Connor dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O Connor dan Soepanto 2000b). A B Gambar 3 Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection (HLC)/bare leg collection (BLC). A. Kader Penangkap nyamuk; B. Bagian kaki yang digunakan sebagai umpan

31 10 Penangkapan Nyamuk Menggunakan Light Trap. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan light trap model CDC pada kandang hewan. light trap diletakkan sebanyak 1 buah di kandang sapi dengan ketinggian 1½ m dari permukaan tanah dan diletakkan pada tempat gelap (jauh dari sumber cahaya lainnya). Pemasangan light trap dilakukan pada pukul Setelah light trap dipadamkan pada pagi hari, nyamuk yang terperangkap diambil dengan sebuah alat penghisap (aspirator) dan dipindahkan ke paper cup. Nyamuk yang masih hidup dibius/dibunuh dengan menggunakan kloroform selanjutnya di identifikasi hingga tingkat spesies dengan menggunakan kunci identifikasi bergambar nyamuk Anopheles (O Connor dan Soepanto 2013a), nyamuk Aedes (O Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O Connor dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O Connor dan Soepanto 2000b).. Pembedahan Nyamuk Pembedahan nyamuk dilakukan dengan menggunakan jarum seksi di bawah mikroskop. Sebelumnya kaki dan sayapnya dilepaskan terlebih dahulu agar tidak mengganggu saat pembedahan, kemudian ditambahkan larutan garam fisiologis (GF) dan diteteskan di atas kaca objek/slide. Setelah itu, nyamuk diletakkan di atas kaca objek yang telah diteteskan larutan GF. Abdomen segmen ketujuh ditarik dengan jarum seksi sampai ovariumnya kelihatan dan terendam larutan GF. Setelah itu, ovarium dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 x. Nyamuk parus (pernah bertelur) diteruskan dengan pembedahan seluruh bagian tubuh, sedangkan jika nulliparus (tidak pernah bertelur) tidak diteruskan. Nyamuk parus kemudian dihancurkan dengan jarum bedah, sehingga bagian tubuhnya terpisah menjadi kecilkecil dan semua bagian tubuh tersebut terendam larutan GF. Nyamuk diamati dengan menggunakan mikroskop, apabila ditemukan cacing maka akan tampak bergerak. Pergerakan cacing tergantung stadiumnya, instar larva 1-2 pendek, gemuk, gerakannya lambat. Larva 3 (infektif), panjang dan gerakannya cepat. Apabila terdapat mikrofiaria diambil dengan menggunakan jarum bedah di bawah mikroskop. Hasil identifikasi dicatat berapa mikrofilaria yang ditemukan per individu nyamuk untuk menghitung infection rate dan infective rate (WHO 2011). Pemeriksaan Mikrofilarimia dengan Survei Darah Jari. Pengambilan survei darah jari (SDJ) dilakukan pada penduduk yang berada disekitar penderita (hasil pemeriksaan transmission assesment survei/tas) secara sukarela. SDJ dilakukan pada bulan Desember Pengambilan SDJ pada penduduk dilakukan pada malam hari mulai pada pukul Pemeriksaan darah dilakukan dengan cara tusuk jari. Pelaksanaan survei darah jari dilaksanakan dengan menusuk ujung jari kedua, ketiga atau keempat yang sebelumnya dibersihkan dengan kapas alkohol 70 % hingga kering. Jari yang telah diberikan alcohol kemudian ditusuk dengan lancet sampai darah menetes keluar, pada tetesan darah pertama yang keluar dihapus dengan kapas kering, kemudian darah berikutnya dihisap dengan tabung kapiler tanpa heparin sebanyak 60 µl. Darah kemudian diteteskan ke atas kaca benda, dilebarkan sehingga membentuk sediaan darah tebal dan berbentuk oval dengan diameter 2 cm, setelah dikeringkan selama 1 malam dengan cara penyimpanan yang aman dari serangga, keesokan harinya di-

32 11 hemolisis dengan air selama beberapa menit sampai warna merah hilang, kemudian dibilas dengan air dan dikeringkan. Sediaan darah kemudian difiksasi dengan methanol selama 1-2 menit dan dikeringkan, kemudian diwarnai dengan giemsa yang telah dilarutkan di dalam cairan buffer ph 7.2 (1 tablet buffer dilarutkan dalam 100 cc aquadest) dengan perbandingan 1 : 14 selama 15 menit. Sedian sarah kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (10 x 10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria. Pembesaran tinggi (10 x 40) untuk menentukan jenis/spesiesnya (WHO 2013). Survei Periodisitas Mikrofilaremia Kasus mikrofilaremia yang diperiksa ulang periodisitas mikrofilarianya dipilih berdasarkan kesukarelaan. Penderita yang bersedia melakukan suvei periodisitas yaitu 1 orang dari 2 penderita. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 12 kali yaitu pukul 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00, 20.00, 22.00, 24.00, 02.00, dan Pada tiap pemeriksaan periodisitas, diambil darah dari ujung jari sebanyak 20 µl menggunakan lancet dan mikropipet. Pewarnaan sediaan darah sama seperti prosedur pada survei darah jari. Hasil pewrnaan kemudian periksa dan dihitung jumlah mikrofilaria dari setiap jam pemeriksaan. Pengamatan Karakteristik Habitat Larva Pengamatan karakteristik habitat dilakukan pada bulan berupa: tumbuhan air, predator alami, jentik yang ditemukan, serangga lain, jarak terhadap permukiman, ekosistem sekitar, kondisi air, dasar perairan, kedalaman, ph, salinitas dan suhu. Pengamatan habitat jentik dilakukan di semua jenis perairan baik alamiah maupun buatan yang diduga sebagai tempat perkembangbiakan. Pencidukan dilakukan merata mewakili luas perairan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan cidukan atau pipet. Jentik yang didapat dari setiap jenis perairan di masukkan kedalam gelas plastik dan diberi label berdasarkan tanggal penelitian. Jentik yang ditemukan kemudian diidentifikasi dengan melihat ciri morfologi jentik sampai pada tahap genus. Pemetaan dengan Software Arc GIS Pemetaan dilakukan pada tempat yang di identifikasi terdapat jentik. Pemetaan ini dilakukan dengan cara merekam koordinat lokasi sampel yang disimpan dalam bentuk WPT (waypoint) dengan GPS Garmin, kemudian melakukan database management system antara data keruangan dengan data atribut menggunakan software MS Excell dan disimpan dalam format yang sama dengan format software GIS, kemudian dibuat peta tematik dalam bentuk distribusi dengan Arc GIS Hasil pengolahan dalam bentuk peta distribusi tempat perindukan. Analisis Data Data hasil penelitian yang didapatkan akan dilakukan pengolahan dan tabulasi dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian akan dilakukan analisis secara analitik dan diskriptif. Pengaruh indeks curah hujan (ICH), suhu dan kelembaban

33 12 dengan kepadatan nyamuk dianalisis secara statistik menggunakan uji korelasi pearson dengan tingkat keprcayaan 95 % (α = 5 %) menggunakan SPSS Indeks curah hujan : Indeks Curah Hujan (ICH) Jumlah curah hujan x hari hujan jumlah hari pada bulan yang bersangkutan x 100 % Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Spesies dan Dominansi Spesies Kepadatan nyamuk spesies tertentu dengan beberapa penangkapan penangkapan yang dinyatakan dalam kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap dan angka dominansi nyamuk (Sigit 1968). Kelimpahan nisbi : Frek. Spesies : Jumlah individu spesies tertentu yang ditangkap Jumlah total individu nyamuk yang tertangkap x 100% Jumlah bulan tertangkapnya nyamuk spesies tertentu Jumlah bulan penangkapan Dominansi spesies : Kelimpahan nisbi x Frekuensi spesies. Kepadatan Nyamuk Pada Orang Kepadatan populasi nyamuk dapat diketahui dari hasil penangkapan di daerah penelitian, maka data yang diperoleh dihitung menurut rumus yaitu (WHO 2013): Man hour density (MHD) : Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang Lama penangkapan/ jam x Jlh penangkap xjlh wkt penangkapan Man bitting rate (MBR) : Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang Lama penangkapan/ jam x Jumlah malam x Jumlah umpan orang

34 13 Proporsi parus (parity rate), peluang hidup dan umur relatif Proporsi parus adalah persentase nyamuk yang pernah bertelur berdasarkan hasil pembedahan kelenjar ovari dalam suatu periode penangkapan. Parity rate : Jumlah nyamuk pernah bertelur (parus) Jumlah nyamuk yang diperiksa ovariumnya Peluang hidup nyamuk setiap hari yang dinyatakan dalam % yang diperoleh dari suatu perhitungan matematis dengan mengetahui proporsi parus dan siklus gonotropik (Davidson 1954). Rumus Peluang hidup P : peluang hidup nyamuk setiap hari b : siklus gonotropik (hari) (P) = b d d : Parus rate (porporsi nyamuk parus = %) Hasil pengukuran : Peluang hidup nyamuk setiap hari ( % ) Umur relatif nyamuk di populasi adalah perkiraan umur nyamuk di populasi yang dinyatakan dalam hari, yang diperoleh melalui suatu perhitungan matematis dengan melakukan perhitungan setelah diketahuinya peluang hidup nyamuk setiap hari (Davidson 1954; Drapper and Davidon 1952). Umur relatif di populasi : Keterangan : 1 log e : bilangan matematis tertentu - log e p p : Peluang hidup nyamuk Periodisitas Mikrofilaremia Hasil pemeriksaan periodisitas mikrofilaria pada penderita dianalisis dengan formula Aikat dan Das (1976) dalam Fontes et al. (2000).

35 Ragam Jenis Secara Morfologi 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keanekaragaman Jenis Nyamuk Jenis nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai terdiri atas Culex quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus. Cx. quinquefasciatus mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang putih, tergit pada abdomen dengan gelang basal yang sempit dan integumen pada pleuron berwarna pucat merata (Gambar 4a). Cx. gellidus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat. Skutum tertutup sisik-sisik keperakan yang lebat dan setidaknya di bagian anterior serta berakhir dipangkal sayap. Gelang basal abdomen mencapai tepi tergit dengan bentuk V kearah posterior (Gambar 4b). a b c d e Gambar 4 Jenis nyamuk dari genus Culex spp. di Desa Mandomai a. Culex quinquefasciatus; b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus. ciri khas setiap jenis nyamuk

36 15 Cx. tritaeniorhynchus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat, bagian ventral probosis ke pangkal dengan bercak pucat dan pada sayap tanpa noda sisik sisik yang jelas (Gambar 4c). Cx. hutchinsoni mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang putih, integumen pada pleuron berwarna coklat kehitam-hitaman (Gambar 4d). Cx. bitaeniorhynchus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat dan pada sayap dengan sisik-sisik pucat yang menyebar di antara sisik-sisik gelap, terutama pada kosta dan sub kosta. Abdomen dengan gelang pucat apikal yang bagian atasnya mirip segitiga dan gelang basal atau pada bagian abdomen tertutup oleh sisik-sisik pucat (Gambar 4e). Mn. annulata mempunyai ciri khas pada femur kaki depan terdapat 5 bercak pucat, pada bagian mesonotum terdapat sisik putih tidak beraturan dan pada ruas tarsal bergelang pucat lebar (Gambar 5a). Mn. uniformis mempunyai ciri khas ciri khas pada femur kaki depan terdapat 3 bercak pucat, bagian mesonotum toraks terdapat sepasang garis longitudinal pucat (Gambar 5b). Mn. dives mempunyai ciri khas ciri khas pada femur kaki depan terdapat 5 bercak pucat, bagian mesonotum terdapat kumpulan sisik-sisik putih berbentuk bulat sebanyak 6 buah. Bagian atas pangkal sayap di mesonotum ada kumpulan sisik putih (Gambar 5c). An. balabacensis mempunyai ciri khas pada probosis seluruhnya gelap, pada pangkal sayap vena terdapat 4 atau lebih noda pucat, kaki-kaki dengan bintik pucat dan persambungan tibia dan tarsus kaki belakang dengan gelang pucat lebar (Gambar 6a). a b c Gambar 5 Jenis nyamuk dari genus Mansonia spp. di Desa Mandomai a. Mn. annulata; b. Mn. uniformis; c. Mn. dives. ciri khas setiap jenis nyamuk

37 16 a b Gambar 6 Jenis nyamuk dari genus Anopheles spp. di Desa Mandomai a. Anopheles balabacensis; b. Anopheles barbirostris. ciri khas setiap jenis nyamuk An. barbirostris mempunyai ciri khas pada palpus seluruhnya gelap, pada ruas abdomen VII terdapat sisik/sikat gelap, pada kosta dan urat I dari sayap terdapat tiga atau kurang noda-noda pucat (Gambar 6b). a b c d Gambar 7 Jenis nyamuk dari genus Aedes spp. di Desa Mandomai a dan c Aedes albopictus; b dan d. Aedes aegypti. ciri khas setiap jenis nyamuk

38 17 Gambar 8 Armigeres subalbatus di Desa Mandomai ciri khas nyamuk Ae. albopictus mempunyai ciri khas pada kepala, toraks dan abdomen berwarna belang-belang hitam putih, skutelum 3 lobus dan satu garis putih pada mesonotum berbentuk lurus (Gambar 7a). Ae. aegypti mempunyai ciri khas berwarna belang-belang hitam putih baik pada kepala toraks dan abdomen serta terdapar garis/corak pada mesonotum yang berbentuk seperti siku lire/curve berhadapan (Gambar 7b). Ar. subalbatus mempunyai ciri khas pada probosis yang melengkung ke bawah dan pada abdomen bagian bawah memiliki noda putih yang merata (Gambar 8). Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. gellidus, Cx bitaeniorhnchus merupakan vektor JE di Indonesia. Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti di DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Papua (Irian Jaya). Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. annulirostris merupakan vektor W. bancrofti di Irian jaya (Hadi dan Soviana 2010). Cx. quinquefasciatus, Ma.annulata, Mn. bonneae, Mn. uniformis dan Mn. dives juga dilaporkan vektor B.malayi di Bengkulu (Suzuki et al. 1981). An. barbirostris, An. vagus dan An. subpictus merupakan vektor B. timori tipe periodik nokturna di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, Timor Timur (Fischer 2002). Menurut Shriram et al. (2015), Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe sub periodik diurnal di Nicobarase, Pulau Nicobar India. Mn. uniformis diketahui merupakan vektor dari B. malayi tipe hutan di Batanghari, Jambi (Yahya et al. 2012). Muslim et al. (2013) melaporkan Ar. subalbatus merupakan vektor B. pahangi di daerah sub urban di Penisular Malaysia dan Bonne- Wepster (1956) melaporkan bahwa Cx. bitaeniorhynchus merupakan vektor W. bancrofti di Papua Nugini. Mn. uniformis dan Mn. africana dilaporkan di Ghana adalah vektor W. bancrofti (Ughasi et al. 2012) Ragam Jenis Berdasarkan Cara Penangkapan Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti merupakan nyamuk yang ditemukan pada semua metode penangkapan (Tabel 1). Persentase nyamuk yang menggigit di luar rumah untuk Cx. bitaeniorhynchus (47.55%), Cx. tritaeniorhynchus (24.03%) dan Cx.

39 18 Tabel 1 Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015). Jenis Nyamuk Umpan orang (HLC) Resting Light trap UOL UOD RD RL Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus Total Ket : UOL : umpan orang luar; UOD : umpan orang dalam; RD : Istirahat di dalam rumah; RL : Istirahat di luar rumah. quinquefasciatus (21,84 %), sedangkan di dalam rumah yaitu Cx. bitaeniorhynchus %, Cx. quinquefasciatus % dan Cx. tritaeniorhynchus %. Jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus selain didapatkan pada umpan orang juga diperoleh dengan penangkapan menggunakan light trap di kandang sapi (41.77%). Perilaku resting Cx. bitaeniorhynchus di dalam rumah sebesar 55.62% dan di luar rumah sebesar %. Berdasarkan komposisi keanekaragaman nyamuk diketahui Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus merupakan spesies yang paling banyak tertangkap masing-masing sebanyak 3416 dan 1695 nyamuk. Jenis Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus paling banyak ditemukan di luar rumah dengan persentase berturut-turut % dan % (Tabel 2). Cx. bitaeniorhynchus menunjukkan aktivitas menggigit lebih menyukai di luar (eksofagik) dan di dalam rumah (endofagik) serta beristirahat di dalam rumah (endofilik). Jenis Nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat endofilik dan eksofilik. Yahya et al. (2015) melaporkan di Batanghari, Jambi bahwa Cx. quinquefasciatus lebih bersifat eksofilik dan zoofilik, sedangkan Ramadhani dan Yuniarto (2009) melaporkan Cx. quinquefasciatus dan Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik karena lebih banyak ditemukan menggigit di luar rumah. Jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan vektor filariasis W. bancrofti di Pekalongan.

40 19 Tabel 2 Komposisi keanekaragaman nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015). Jenis Nyamuk Jumlah Umpan orang (HLC) Resting Light Trap UOL UOD RD RL Mn. uniformis (50.79 %) (19.05 %) (16.67 %) (13.49 %) (0.00 %) Mn. dives (11.36%) (0.00%) (2.27%) (6.82%) (79.55%) Mn. annulata (20.00%) (21.23%) (10.77%) (13.85%) (0.00%) Cx. quinquefasciatus (34.69 %) (27.32 %) (12.15 %) (23.24 %) (2.60 %) Cx. bitaeniorhynchus (37.47 %) (25.70 %) (17.24 %) (16.54 %) (3.04 %) Cx. tritaeniorhynchus (41.18 %) (23.93 %) (11.65 %) (19.92 %) (3.31 %) Cx. gellidus (50.00 %) (0.00 %) (0.00 %) (50.00 %) (0.00 %) Cx. hutchinsoni (0.00 %) (0.00 %) (0.00 %) ( %) (0.00 %) An. balabacensis (50.00 %) (0.00 %) (0.00 %) (50.00 %) (0.00 %) An. barbirostris % % 0.00 % 9.09 % 0.00 % Ae. aegypti (14.61 %) (58.43 %) (11.24 %) (7.87 %) (7.87 %) Ae. albopictus (44.44 %) (16.67 %) (16.67 %) (22.22 %) (0.00 %) Ar. subalbatus (50.00 %) (0.00 %) (50.00 %) (0.00 %) (0.00 %) Total (100.00%) (36.41%) (25.94%) (14.73%) (18.67%) (4.25%) UOL : umpan orang luar, UOD : umpan orang dalam, RD : Istirahat di dalam rumah, RL : Istirahat di luar rumah. Kesukaan dan kebiasaan menghisap darah setiap jenis nyamuk pada suatu daerah berbeda dan bersifat kompleks. Wilson dan Sevarkodiyone (2013) di Tamil Nadu, India melaporkan bahwa Cx. quinquefasciatus bersifat zoofilik karena lebih menyukai satwa mamalia (kerbau, sapi dan kambing) dan burung, namun Farajollahi et al. (2011) melaporkan di Thailand bahwa Cx. quinquefasciatus lebih bersifat zooantropofilik karena selain mamalia (kerbau, sapi dan kambing) dan burung juga menyukai manusia.

41 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi dan Dominansi Spesies Tabel 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Umpan Orang Light trap No Jenis nyamuk Jlh KN KN FS DS (%) (%) FS DS 1. Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus KN : Kelimpahan Nisbi, FS : Frekuensi Spesies, DS : Dominansi Spesies Kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominansi spesies tertinggi dengan penangkapan umpan orang terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Cx. bitaeniorhynchus, sedangkan dengan light trap terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus (Tabel 3). Hal tersebut diduga disebabkan di sekitar pemukiman banyak terdapat pembuangan air limbah rumah tangga dan selokan yang merupakan habitat potensial bagi ketiga spesies nyamuk tersebut. Ramadhani dan Yuniarto (2009) di daerah Pekalongan Jawa Tengah menyatakan bahwa pengelolaan limbah rumah tangga yang tidak baik dapat menyebabkan air menjadi tergenang dan dapat menjadi habitat Cx. quinquefasciatus. Dominansi spesies tinggi pada penangkapan dengan menggunakan light trap yaitu dari jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus (0.21) dan Cx. quinquefasciatus (0.18) dengan frekuensi spesies masing-masing 1.00 seperti yang tersaji pada Tabel 3. Sitorus et al. (2015) di Desa Karang Anyar, Kabupaten Banyuasin melaporkan jenis nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan light trap sebanyak 38 nyamuk dengan jenis nyamuk tertangkap yaitu Cx. quinquefasciatus, An. vagus dan An. sinensis/crawfordi Kepadatan Perbulan 4.2 Kepadatan Nyamuk Kepadatan nyamuk menggigit tertinggi per orang per jam (man hour density/mhd) pada bulan September yaitu jenis nyamuk Mn. uniformis (UOL 0,59 nyamuk/orang/jam dan UOD 0.24 nyamuk/orang/jam). Bulan Oktober dan November kepadatan menggigit tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx.

42 21 Tabel 4 Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour density/mhd) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Jenis Nyamuk September Oktober November Desember UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni* ) An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Armigeres. Sp Ket : * ) hanya ditemukan pada penangkapan resting/istirahat. UOD : umpan orang dalam, UOL : umpan orang luar quinquefasciatus dan bulan Desember kepadatan menggigit tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus (Tabel 4). Kepadatan nyamuk di antaranya dipengaruhi oleh iklim seperti yang dilaporkan oleh Dixit et al. (2009) di Chattisgarh, India yang menyatakan bahwa Cx. quinquefasciatus meningkat pada bulan Februari ketika musim hujan. Hal ini didukung oleh Pipitgool et al (1998) yang melaporkan kepadatan nyamuk (MHD) Cx. quinquefasciatus di Kota Khon Kaen, Thailand berkisar antara 1,6 nyamuk/orang/jam di bulan Desember menjadi 9.2 nyamuk/ orang / jam di bulan Maret ketika musin hujan. Nilai MHD tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus sebesar nyamuk/jam/orang. Kepadatan tinggi lainnya terdapat pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus dengan nilai MHD masing-masing nyamuk/jam/orang dan nyamuk/jam/orang (Tabel 5). Nilai MBR tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus (29.97 nyamuk/hari/orang). Kepadatan tinggi lainnya terdapat pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus dengan nilai MBR masing-masing 14.6 nyamuk/jam/orang dan nyamuk/jam/orang (Tabel 5). Nilai MHD dan MBR umumnya lebih tinggi di luar rumah dibandingkan dengan di dalam rumah, hal ini kemungkinan jenis nyamuk yang ditemukan lebih bersifat eksofilik. Kepadatan Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Mn. annulata yang tinggi di Desa Mandomai karena dekat dengan tempat habitat larva yang berada di sekitar rumah penduduk.

43 22 Tabel 5 Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/mhd) dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/mbr) berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) NO Jenis nyamuk MHD Total MBR Total Luar Dalam MHD Luar Dalam MBR 1 Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus Ket : MHD = kepadatan nyamuk menggigit/orang/jam; MBR : kepadatan nyamuk menggigit/orang/hari Setiawan et al. (2012) di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah juga melaporkan nilai MBR dan MHD pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus tertinggi di luar rumah, hal ini karena tenpat perindukan dekat dekat pemukiman. Hal ini diperkuat oleh Sukowati dan Shinta (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan nyamuk yang tinggi sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jarak tempat habitat larva dengan rumah penduduk, demikian pula halnya dengan kondisi di Desa Mandomai yang banyak ditemukan tempat habitat larva yang dekat dengan rumah penduduk Hubungan Kepadatan Nyamuk (MBR) dengan Indeks Curah Hujan (ICH), Suhu dan Kelembaban Indeks curah hujan (ICH) terendah di Kecamatan Kapuas Barat berada pada bulan September (28.27 mm/bulan), sedangkan ICH tertinggi pada bulan Desember (239 mm/bulan). Bulan Desember jumlah nyamuk yang tertangkap mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Cx. bitaeniorhynchus tidak ditemukan pada bulan September Oktober, namun meningkat tajam pada bulan Desember. Hal ini diduga karena ICH yang tinggi pada bulan Desember (Gambar 9). Suhu udara di Desa Mandomai diketahui berkisar antara C dengan suhu terendah pada bulan Desember dan tertinggi pada bulan September (Gambar 10). Data kelembaban diketahui berkisar antara % dengan kelembaban terendah pada bulan September dan tertinggi pada bulan Desember (Gambar 11). Bulan Desember kelembaban udara tinggi dengan suhu udara yang rendah, hal ini disebabkan karena telah memasuki musim penghujan. kondisi ini menyebabkan kepadatan nyamuk meningkat di bulan tersebut karena suhu dan kelembaban mendukung perkembangan nyamuk.

44 Kepadatan nyamuk (individu per orang per malam) Suhu (Derajat Celsius) Kepadatan nyamuk (individu per orang per malam) Indeks Curah Hujan (Bulan/mm) September oktober november desember Bulan 0.00 Cx. bitaenioryhnchus Cx. quinquefasciatus Cx. tritaeniorhynchus Indeks curah hujan Gambar 9 Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah hujan (ICH) (September Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah September oktober november desember Bulan Cx. bitaenioryhnchus Cx. quinquefasciatus Cx. tritaeniorhynchus suhu rata-rata ( Celcius) Gambar 10 Hubungan jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata (September Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

45 Kepadatan nyamuk (individu per orang per mala) Kelembaban (%) September oktober november desember Bulan Cx. bitaenioryhnchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. quinquefasciatus Kelebaban Udara (%) Gambar 11 Hubungan jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban rata-rata (September Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Hasil perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan antara indeks curah hujan, suhu dan kelembaban dengan kepadatan nyamuk (nilai P > 0.05) (Lampiran 8), hal ini kemungkinan karena data curah hujan yang didapatkan pada bulan penangkapan tidak terlalu jauh perbedaanya, namun menurut Bai et al. (2013) bahwa suhu, curah hujan, angin, dan cuaca ekstrim berpengaruh terhadap penularan penyakit bersumber nyamuk di China dalam 100 Tahun terakhir. Russel et al. (1963) menyatakan bahwa suhu udara 25 C 27 C dan kelembaban antara % sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk, selain itu Paaijmans and Thomas (2013) melaporkan bahwa perubahan iklim C dari suhu sebelumnya memberikan dampak terhadap daya optimal nyamuk. Menurut Santoso et al. (2014), suhu optimum perkembangbiakan nyamuk penular filariasis (Mn. uniformis dan Mn. dives) di Muaro Jambi berkisar antara C. Pemetaan risiko kejadian filariasis yang dilakukan di Tamil Nadu, India berdasarkan geo environmental risk map (GERM) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, kelembaban relatif, ketinggian dan tipe tanah berpengaruh terhadap risiko kejadian filariasis (Sabesan et al. 2006) Aktivitas Menggigit 4.3 Aktivitas Menggigit dan Istirahat (Resting) Mn. uniformis mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah meningkat pada pukul dan , kemudian meningkat kembali pada pukul Jenis nyamuk Mn. annulata peningkatan aktivitas terjadi menjelang senja yaitu pukul , sebaliknya puncak aktivitas Mn. dives terjadi menjelang pagi yaitu pukul Aktivitas menggigit Mn. uniformis di dalam rumah meningkat pada pukul , Mn. annulata pukul , sedangkan pada Mn. dives tidak ditemukan puncak aktivitas menggigit di dalam rumah (Gambar 12).

46 MHD MHD MHD 25 Mansonia uniformis Mansonia annulata UOL UOD UOL UOD jam penangkapan jam penangkapan Mansonia dives UOL UOD jam penangkapan Gambar 12 Aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Aktivitas menggigit nyamuk di dalam dan diluar rumah juga dilaporkan oleh Ambarita dan Sitorus (2004) di Desa Sebubus, Sumatera Selatan, bahwa aktivitas Mn. dives tertinggi di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pukul dan pada Mn. uniformis di luar rumah tertinggi pada pukul dan sedangkan di dalam rumah tertinggi pukul Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus aktivitas menggigitnya ditemukan pada setiap jam penangkapan dan meningkat menjelang senja di luar dan di dalam rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah meningkat pada pukul sedangkan di dalam rumah peningkatan aktivitas meningkat pada pukul Aktivitas menggigit Cx. gellidus menigkat pada pukul dan , sedangkan di dalam rumah tidak ditemukan aktivitas menggigit. Jenis nyamuk Cx. hutchinsoni tidak ditemukan aktivitas menggigit baik di dalam maupun di luar rumah (Gambar 13). Aktivitas menggigit Culex spp. di dalam dan diluar rumah juga dilaporkan oleh Syahrial et al. (2005) di daerah endemis filariasis di Desa Empat, Kalimantan Selatan bahwa waktu puncak aktivitas mengigit Cx. vishnui, Cx. sitiens, Cx. quinquefasciatus, Cx. fuslephalus, Mn. uniformis, Mn. dives, dan An. nigerrimus pada pukul dan

47 MHD MHD MHD MHD MHD 26 Culex bitaeniorhynchus Culex tritaeniorhynchus UOL UOD UOL UOD Jam Penangkapan Jam penangkapan Culex gellidus Culex quinquefasciatus UOL UOD UOL UOD jam Penangkapan Jam penangkapan Culex hutchinsoni UOL UOD jam penangkapan Gambar 13 Aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Ae. aegypti mempunyai aktivitas menggigit yang meningkat pada pukul di dalam rumah, sedangkan di luar rumah pada pukul Jenis nyamuk Ae. albopictus, aktivitas menggigit meningkat beberapa kali yaitu pada pukul , dan di dalam rumah, sedangkan di luar rumah pada pukul dan (Gambar 14). Aktivitas Aedes biasanya aktif pada siang hari, namun di Desa Mandomai juga ditemukan aktif pada malam hari. Aktivitas menggigit Aedes aegypti malam hari juga dilaporkan oleh Hadi et al. (2012) di berbagai daerah di Indonesia yaitu Cikarawang, Babakan, dan Cibanteng Kabupaten Bogor, Cangkurawuk Darmaga Bogor, Pulau Pramuka, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Gunung Bugis, Gunung Karang, Gunung Utara Balikpapan dan Kayangan, Lombok Utara.

48 MHD MHD MHD MHD MHD 27 Aedes aegypti Aedes albopictus UOL UOD UOL UOD Jam Penangkapan Jam penangkapan Gambar 14 Aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) An. balabacensis mempunyai aktivitas menggigit menjelang senja ( ) di luar rumah, sedangkan pada An. barbirostris, aktivitas menggigit merata sepanjang malam baik di dalam dan di luar rumah (Gambar 15). An. barbirostris dilaporkan sebagai vektor filariasis (B. timori) di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan aktivitas menggigit dan (Atmosoedjono et al. 1977) Anopheles balabacensis UOL UOD Anopheles barbirostris UOL UOD Jam Penangkapan Jam penangkapan Gambar 15 Aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Armigeres subalbatus UOL UOD Jam Penangkapan Gambar 16 Aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015)

49 MHD MHD MHD 28 Jenis nyamuk Ar. subalbatus mempunyai aktivitas menggigit hanya menjelang pagi dan di luar rumah yaitu pukul (Gambar 16). Prastowo & Anggraini (2012) melaporkan bahwa aktivitas menggigit Ar. subalbatus di Kebumen, Jawa Tengah pada pukul dan Ar. subalbatus dilaporkan sebagai vektor filariasis (B. pahangi) pada kucing dan anjing di suburban Kuala Lumpur, Peninsular Malaysia (Muslim et al. 2013) Perilaku Istirahat (resting) Mn. dives mempunyai perilaku istirahat pada pukul di dalam rumah, sedangkan di luar rumah ditemukan pukul , dan Perilaku istirahat Mn. uniformis tertinggi di dalam rumah pada pukul , sedangkan di luar rumah pukul Pada Mn. annulata, perilaku istirahat tertinggi pada pukul baik di dalam dan di luar rumah (Gambar 17). Genus culex sp. merupakan jenis nyamuk yang lebih suka isirahat di dalam dan di luar rumah, kecuali Cx. gellidus dan Cx. hutchinsoni tidak ditemukan istirahat di dalam rumah. Perilaku istirahat Cx. gellidus tertinggi pada pukul , sedangkan pada Cx. hutchinsoni pada senja hari yaitu pukul (Gambar 18). Mansonia uniformis Mansonia annulata RD RL RD RL Jam penangkapan Jam penangkapan Mansonia dives RD RL Jam penangkapan Gambar 17 Perilaku resting Mansonia spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015)

50 MHD MHD MHD MHD MHD 29 Culex gellidus Culex hutchinsoni 0.10 RD RL 0.10 RD RL Jam penangkapan Jam penangkapan Culex bitaeniorhynchus Culex tritaeniorhynchus RD RD RL Jam Penangkapan Jam penangkapan Culex quinquefasciatus RD RL Jam penangkapan Gambar 18 Perilaku resting Culex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Ae. aegypti mempunyai perilaku istirahat sepanjang malam, namun yang tertinggi pada waktu senja di dalam rumah yaitu pukul , sedangkan perilaku istirahat Ae. albopictus terjadi mejelang senja yaitu pukul , kemudian tengah malam ( ) dan menjelang pagi ( ) (Gambar 19).

51 MHD MHD MHD MHD MHD 30 Aedes aegypti Aedes albopictus RD RL RD RL Jam penangkapan Jam penangkapan Gambar 19 Perilaku resting Aedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Anopheles sp. Mempunyai perilaku istirahat hanya di luar rumah. Jenis nyamuk An. balabacesis hanya ditemukan istirahat pada pukul sedangkan An. barbirostris perilaku istirahat tertinggi terdapat pada pukul (Gambar 20). Anopheles balabacensis Anopheles barbirostris RD RL RD RL Jam penangkapan Jam penangkapan Gambar 20 Perilaku resting Anopheles spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Ar. subalbatus memiliki perilaku istirahat hanya di dalam rumah yaitu pukul (Gambar 21). Armigeres subalbatus RD RL Jam penangkapan Gambar 21 Perilaku resting Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015)

52 31 Perilaku nyamuk istirahat di dinding rumah merupakan informasi penting dan dibutuhkan bagi pengelola program filariasis dalam pengendalian vektor. Menurut Bruce (1980), informasi tentang perilaku istirahat di dinding ini sangat diperlukan dalam pengendalian vektor dengan penyemprotan rumah (indoor residual spraying = IRS). Upaya pengendalian vektor dengan penyemprotan rumah akan sangat efektif apabila perilaku vektor diketahui istirahat di dalam rumah. 4.4 Infeksi Mikrofilaria Pada Nyamuk Hasil pembedahan dari 7022 nyamuk tidak ditemukan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk. Hal ini diduga karena jumlah mikrofilaria di dalam darah hanya sedikit sehingga bisa dibunuh oleh pertahanan tubuh nyamuk. Berdasarkan paritas, nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus Cx. quinquefasciatus, Mn. annulata, Cx. hutchinsoni dan Ar. subalbatus memiliki paritas yang tinggi (Tabel 6). Widyastuti et al. (2013) menyatakan bahwa nyamuk yang sudah pernah bertelur kemungkinan memiliki rentang umur yang panjang sehingga akan mempengaruhi penyelesaian masa inkubasi ekstrinsik parasit yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan klimatologis, seperti suhu dan kelembaban relatif. Perkiraan umur populasi nyamuk di Desa Mandomai yang sangat bervariasi dari hari. Umur populasi nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus berturut-turut 38.9, 23.9 dan 14.3 hari dengan peluang hidup per hari 0.97 %, 0.95 % dan 0.93 % (Tabel 9). Perkiraan umur populasi nyamuk menunjukkan bahwa jenis nyamuk yang memenuhi syarat sebagai vektor potensial filariasis adalah Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. hal ini dikarenakan perkiraan nyamuk tersebut memungkinkan mikrofilaria berkembang di dalam tubuh nyamuk sesuai dengan masa inkubasi. Masa inkubasi ekstrinsik filariasis W. bancrofti menurut WHO (2013) adalah 6 12 hari, sedangkan filariasis B. malayi hari dan filariasis B. timori 7 10 hari (Sasa 1976). Satu syarat nyamuk menjadi vektor filariasis yaitu harus mempunyai umur yang relatif nyamuk harus lebih panjang dari masa inkubasi ekstrinsik (Sasa 1976). Paritas, umur nyamuk dan siklus gonotrofik dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Mala et al. (2014) melaporkan bahwa umur An. gambie di Kenya lebih panjang (1.1 hari) pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini didukung dengan penelitian Uttah et al. (2013) di daerah endemis filariasis dan malaria di Calabar, Nigeria yang menyatakan bahwa pada musim hujan ratarata nyamuk bisa bertahan sampai 3 kali parus. Persyaratan nyamuk menjadi vektor antara lain adalah umur nyamuk yang lebih panjang dari masa inkubasi ekstrinsik, kepadatan nyamuk yang tinggi, ada kontak dengan manusia, tahan terhadap parasit dan ada sumber penularan (WHO 2015). Faktor penghambat nyamuk sebagai vektor filariasisis di antaranya ada cibarial armatures yaitu duri-duri halus pada faring yang mampu membunuh 30-96% mikrofilaria yang terhisap, misalnya pada An. farauti dan An. gambiae (McGreevy et al. 1978), namun ketika jumlah mikrofilaria yang terhisap tinggi dapat menyebabkan cibarial armatures tertutup oleh mikrofilaria sehingga mikrofilaria lainnya dapat lewat ke usus tengah (midgut) (Amuzu et al. 2010). Nyamuk yang tidak mempunyai cibarial armatures dalam penelitian ini adalah Ae. aegypti dan Mn. uniformis, sehingga lebih berpeluang menjadi vektor filariasis.

53 32 Tabel 6 Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Jenis nyamuk Paritas Proporsi Perkiraan umur nyamuk per spesies Jumlah parus ( % ) Umur populasi Peluang hidup nyamuk P N nyamuk (hari) per hari ( % ) Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus Keterangan = P : parus, N : nulliparus 4.5 Infeksi Filaria pada Penduduk Prevalensi Filariasis Hasil Pemeriksaan darah jari ditemukan masih ada 2 orang positif filariasis dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang dan (Tabel 7). Spesies mikrofilaria yang ditemukan yaitu B. malayi (Gambar 22). Panjang cacing dewasa pada umumnya pada jantan 24 mm lebih pendek dari betina 53 mm, dengan ukuran panjang rata-rata mm (Zeibig 2013). Filariasis Brugia merupakan penyakit zoonosis yang dapat menginfeksi hewan selain manusia yaitu kera (Macaca fascicularis), lutung (Presbythis cristatus) dan kucing (Felis catus), sedangkan anjing (Canis fascicularis) adalah reservoir untuk D. immitis (Zeibig 2013). Santoso et al. (2014) juga menemukan B. malayi pada Kucing (Felis catus) di daerah Muaro Jambi Provinsi Jambi. Tabel 7 Prevalensi filariasis berdasarkan katagori umur (tahun) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas Tahun Golongan Umur Jenis kelamin (N: 110) Jumlah penderita (Tahun) Laki-laki Perempuan Total (Orang)

54 33. Gambar 22 Pengambilan darah Jari (SDJ) (1 dan 2); Spesies Brugia malayi pada pemeriksaan Mikroskopis (3 dan 4) Periodisitas Mikrofilaria pada Penderita Pemeriksaan survei darah jari, hanya 1 penderita positif mikrofilaremia yang bersedia dilakukan pemeriksaan periodisitas mikrofilaria. Hasil pemeriksaan selama 24 jam menunjukkan keberadaan mikrofilaria di dalam darah tepi pada setiap periode pemeriksaan. Pemeriksaan pukul 12.00, dan tidak ditemukan mikrofilaria per 20 mm 3 darah tepi. Jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan pada pukul yaitu sebanyak 11 mikrofilaria (Tabel 8). Total mikrofilaria yang ditemukan selama 24 jam sebanyak 31 mikrofilaria dengan rata Menurut postulate WHO (2013) jumlah mikrofilaria per 20 mm 3 minimal mengandung 15 mikrofilaria supaya dapat ditularkan ke orang lain. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Setiawan et al. (2012) di Kotawaringin Kalimantan Tengah yang menemukan rerata mikrofilaria 4.45 sehingga tidak ditemukan larva filaria di dalam tubuh nyamuk. Perhitungan dengan formula Aikat dan Das (1977) diperoleh nilai F sebesar Nilai F < F 5 % teoritis (4.26) (lampiran 9), sehingga dikatakan tidak harmoni (non periodik), hal ini mengindikasikan bahwa pemeriksaan mikrofiremia bisa dilakukan pada siang hari. Nilai F yang rendah menunjukkan hubungan kepadatan mikrofilaria dengan waktu pemeriksaan sebagai gelombang yang non harmonik dan belum menunjukkan sifat sirkadian yang berkaitan dengan siklus siang dan malam seperti pada mikrofilaria yang lebih umum. Ciri non periodik lain yang tidak kalah penting yaitu mikrofilaria malayi dapat dijumpai dalam darah tepi pada malam dan siang hari dengan kepadatan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan kepadatan mikrofilaria puncak tidak menetap pada siang dan malam hari, namun perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam, mengingat penderita yang dihitung periodisitasnya hanya 1 orang.

55 34 Tabel 8 Periodisitas mikrofilaria Brugia malayi pada penderita di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas No Waktu pengambilan darah Jumlah mikrofilaria per 20 µm 3 darah tepi Total Rerata Tipe Habitat Tempat Perindukan Larva di Desa Mandomai Tipe habitat jentik nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai beragam seperti kolam, kubangan air, selokan, penampung karet dan sawah (Tabel 9). Proporsi tipe perindukan yang positif jentik nyamuk dari 24 buah yang dilakukan pengamatan yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50% (lampiran 10). Secara geografis Desa Mandomai berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dan suhu ratarata C dengan daerah yang dikelilingi air (dekat sungai), rawa-rawa, lahan gambut, perkebunan dan persawahan. Tipe habitat akan menentukan tipe spesies nyamuk yang ditemukan dan dalam satu habitat bisa ditemukan 1 atau lebih jenis jentik nyamuk. Umumnya disetiap tempat habitat yang terdapat jentik nyamuk sangat dipengaruhi oleh keberadaan predator serta faktor fisik, kimia dan biologi juga berpengaruh terhadap jumlah larva pada setiap tempat habitat (Sukowati dan Shinta 2009). Predator yang ditemukan pada tempat habitat larva di antaranya larva Odonata (capung). Odonata pada tahap dewasa dapat memangsa nyamuk dan pada fase pradewasa mampu memakan jentik. Seekor larva Odonata mampu memakan 7-14 jentik nyamuk selama hidupnya, sehingga Odonata jika dalam populasi yang banyak mampu berperan sebagai predator alami nyamuk yang signifikan dalam 80 hari (dengan dibantu populasi Toxorhnychites sebanyak 10 2,5 ) jika populasi perbandingan antara Odonata dan nyamuk masing-masing 10 2 / km 2 dan 10 7 / km2 (Faithpraise et al. 2014). Cx. bitaeniorhynchus dapat ditemukan pada habitat penampungan sementara baik permanen maupun tidak permanen dan terkena sinar matahari langsung serta terdapat vegetasi (WRBU 2016). Tempat perindukan Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus banyak dijumpai pada air berpolusi, sumur dangkal, kontainer permanen dan semi permanen yang berhubungan

56 35 langsung dengan tanah, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang banyak ditemukan jentik Culex spp. pada bekas buangan limbah rumah tangga. Perindukan lain yang ditemukan pada kolam dengan tumbuhan air adalah Mansonia sp, spesies tersebut dapat ditemukan pada habitat dengan adanya tumbuhan air seperti teratai, kangkung, dan tumbuhan air lainnya yang digunakan untuk menancapkan sifon pada bagian batang air untuk bernafas (Heriyanto et al. 2011). Peta distribusi perindukan jentik nyamuk di Desa mandomai disajikan pada Gambar 23. Pengambilan data spasial dengan GPS didapatkan tempat perindukan 4 genus nyamuk yaitu Mansonia, Culex, Anopheles dan Aedes, namun tidak didapatkan habitat perindukan untuk Armigeres, hal tersebut kemungkinan karena jumlah nyamuk Armigeres yang sedikit. Tempat perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai tentunya akan menunjang terjadinya transmisi kejadian filariasis yang terus menerus. Gambar 23 Peta distribusi perindukan jentik di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kec. Kapuas Barat Kabuaten Kapuas

57 36 Tabel 9 Tipe Perindukan yang ditemukan larva nyamuk Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas (September Desember 2015) No Tipe perindukan 1 Kolam Ikan1 Teratai (Nymphaea), Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.) 2 Kolam Sekolah Teratai (Nymphaea), Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.) 3 Selokan Lumut hijau (Enleroinorplia sp) 4 Kubangan Air/Pembuangan Rumah Tangga 5 Sawah Padi (Oryza sativa L) 6 Penampung Karet (dipohon) Tumbuhan Air Predator Alami jentik yang ditemukan Larva Odonata (capung), Ikan Nila, Ikan Sepat, (Belostomatidae, Geriidae) Larva Odonata (capung), (Belostomatidae, Geriidae) Ikan Kepala timah, Hemiptera (Belostomatidae, Geriidae) Larva Odonata (capung) Ikan Kepala timah, ikan lele, Anopheles sp, Culex sp, Mansonia sp Anopheles sp, Culex sp, Mansonia sp Culex sp Culex sp Anopheles sp Variabel yang ditemukan Serangga lain Jarak Ke Pemukiman Odonata (Gomphidae, Lebellulidae) Odonata (Gomphidae, Lebellulidae) Psychodidae, Chironomidae Odonata (Lebellulidae) Odonata (Lebellulidae) Ekosistem sekitar Kondisi air Dasar Periran 5-10 m Perkebunan Tergenang Tanah 2-3 m 5, m Perkebunan Tergenang Tanah 3-4 m 5,6-6, m Pemukiman Tergenang, jika hujan mengalir m Pemukiman, persawahan, Perkebunan m Perkebunan Tergenang, mengalir lambat Tanah bercampur semen - - Aedes ap m Pemukiman Tergenang Karet, kayu Kedalaman ph Salinitas Suhu 5 15 cm 5,7-6.3 Tergenang Tanah cm 5,8-6,2 Tanah cm 5, cm 5,9-6, C C C ,5 0 C C C

58 Gambar 24 Tipe perindukan nyamuk di di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kabupaten Kapuas (September Desember 2015). A dan B. Selokan; C. Limbah Buangan Rumah Tangga; D. Sawah; E. Kolam Sekolah; F. Kolam Ikan; G. Perkebunan Karet; H. Kolam Ikan 37

59 38 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai sebanyak 13 jenis yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mn. uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, An. barbirostris, An. balabacensis, Ae. albopictus, Ae. aegypti dan Ar. subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik dan eksofilik. Kepadatan nyamuk tinggi ( MHD dan MBR ) yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. Kepadatan lebih tinggi di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan. Cx. bitaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pada pukul Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul dan , sedangkan di dalam rumah pada pukul Cx. quinquefasciatus mempunyai aktivitas menggigit pada pukul di luar rumah, sedangan di dalam rumah pada pukul Cx. bitaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat pada pukul baik di dalam dan diluar rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pada pukul Cx. quinquefasciatus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul dan di dalam rumah pada pukul Larva infektif (L3) tidak ditemukan pada nyamuk yang dibedah. Perkiraan umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38.9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23.9 hari dan Cx quinquefasciatus 14.3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis. Berdasarkan pemeriksaan darah jari ditemukan 2 (0.02%) orang positif filariasis dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang Pemeriksaan periodisitas selama 24 jam, mikrofilaria tidak ditemukan pada jam 12.00, dan Periodisitas mikrofilaria bersifat non periodik di dalam darah tepi. Tipe perindukan yang diamati berjumlah 24 buah dengan proporsi positif jentik yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa di Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk. Saran Perlu dukungan dan kerja sama tokoh masyarakat serta lintas sektor dalam upaya pencegahan dan pengendalian vektor filariasis terutama untuk membersihkan lingkungan agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk vektor filariasis. Pemeriksaan dan pengobatan juga diperlukan terhadap hewan yang bertindak sebagai zoonosis (kucing, kera) terutama hewan yang menjadi peliharaan penderita

60 39 filariasis agar tidak menjadi sumber penularan. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui penderita baru pada penduduk yang belum dilakukan pengambilan darah jari, sehingga jika ditemukan penderita dapat dilanjutkan dengan mengetahui peridositas. DAFTAR PUSTAKA Aikat, TK and Das M A Modified Statistical Method For Analysis of Periodicity of Microfilaria. Indian J Med Res. 65: Ambarita LP dan Sitorus H Studi Komunitas Nyamuk di Desa Sebubus (Daerah Endemis Filariasis) Sumatera Selatan Tahun J. Ekol Kes 5(1) : Amuzu H, Wilson MD and Boakye DA Studies of Anopheles gambiae s.l (Diptera: Culicidae) Exhibiting Different Vectorial Capacities in Lymphatic Filariasis Transmission in The Gomoa District, Ghana. Parasites & Vectors. 3(85) : 2 6. Atmosoedjono S, Partono F, Dennis DT Anopheles barbirostris (Diptera: Culicidae) As a Vector of the Timor Filaria on Flores Island: Preliminary Observations. J Med Entomol. 13(4 5) : Bai L, Morton CL and Qiyong L Climate Change and Mosquito Borne Diseases in China: a review. Globalization and Health. 9(10) : Bonne-Wepster J Culex bitaeniorhynchus as Vector Of Wuchereria bancrofti in New-Guinea. Documenta de Medicina Geographica et Tropica. 8 (4 ): Bruce CLJ Essential Malariology. London (ENG): William Heinemann Medical Books Ltd. Christensen BM, Forton KF Hemocytemediated Melanization of Microfilariae in Aedes aegypti. J Parasitol. 72(2): Davidson G Estimation of the Survival Rate of Anopheline Mosquitoes. Nature. 174: [DEPKES RI] Departemen Kesehatan RI Epidemiologi Filariasis. Ditjend PP&PL Jakarta (ID). Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Laporan Kasus Filariasis tahun Kapuas (ID). Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Palangkaraya (ID). Dixit VI, Baghel P, Gupta AK, Bisen PS, Prasad GB Impact of Season on Filarial Vector Density and Infection in Raipur City of Chhattisgarh, India. J Vector Borne Dis. 46(3) : Drapper C and Davidson G A New Method of Estimating the Survival Rate of Anopheline Mosquitoes in Nature. Trop Dis Bull. 46:569. Evans DB, Gelband H, Vlassoff C Social and Economic Factors and the Control of Lymphatic Filariasis: A review. Acta Tropica. 53: Faithpraise FO, Idung J, Usibe B, Chatwin CR, Young R, Birch P Natural Control of the Mosquito Population via Odonata and Toxorhynchites. Int l J Innov Res in Sci Eng Tech. 3(5): Farajollahi A, Fonseca DM, Kramer LD, Marm AK Bird biting Mosquitoes and Human Disease: A review of the Role of Culex pipiens Complex

61 40 Mosquitoes in Epidemiology. Infect Genetics and Evol. 7 (11): Fischer P, Wibowo H, Pischke S, Ruckert P, Liebau E, Ismid IS, Supali T PCR-Based Detection and Identification of the Filarial Parasite Brugia timori from Alor Island, Indonesia. Annals Trop Med Parasitol. 96(8): Fontes GE. Rocha MM, Brito AC, Fireman FAT The Microfilarial Periodicity of Wuchereria bancrofti in north eastern Brazil. Annals Trop Med Parasitol. 94 (4) : Hadi UK dan Soviana S Ektoparasit : Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press. Hadi UK, Soviana S, Gunandini DJ Aktivitas Nokturnal Vektor Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Indonesia. JEI. 9 (1): 1 6. Herianto B, Boewono DT, Widiarti, Boesri H, Widyastuti U, Blondine CP, Sowasono H, Ristiyanto, Pujiyanti A, Alfiah S, Prastowo D, Anggraini YM, Irawan AS, Mujiyono Atlas Penyakit Vektor Penyakit di Indonesia (Seri 1). Kementerian Kesehatan RI, Badan Litbangkes BBPVRP Salatiga, Salatiga Indonesia (ID). Kazura JW Lymphatic Filarial Infections: An Introduction To The Filariae. Dalam Klei Thomas R, Rajan T V. The Filaria.. New York (USA). Kluwer academic publishers. 5 :1-9. Kley RT, Rajan TV World Class Parasite : Volume 5 The Filaria. Kluwer Academic Publishers New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. p [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan RI Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. Direktorat P2B2 Ditjen P2PL Jakarta (ID). Mala AO, Irungu LW, Mitaki EK, Shililu JI, Charles MM, Joseph KN, Githure JI Gonotrophic Cycle Duration, Fecundity and Parityof Anopheles gambiae Complex Mosquitoes Duringan Extended Period of Dry Weather in a Semi Aridarea in Baringo County, Kenya. Int l J of Mosq Res.1 (2): Mcgreevy IB, Bryan JH, Oothuman I, Kolstrup N The Lethal Effects of the Cibarial and Pharyngeal Armatures of Mosquitoes on Microfilariae. Trans Royal Soc Trop Med Hyg.72(4) 1978 : Muslim A, Fong MK, Mahmud R, Lau YL and Sivanandam S Armigeres subalbatus Incriminated as a Vector of Zoonotic Brugia pahangi Filariasis in Suburban Kuala Lumpur, Peninsular Malaysia. Parasites & Vectors. 6(219) :2 5. O connor JD dan Soepanto A. 2013a. Kunci Bergambar untuk Anopheles Betina dari Indonesia.Dirjen P2PL KEMENKES RI. Jakarta(ID). O connor JD dan Soepanto. 2013b. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Ditjen P2 Dan PL Subdit Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan RI. Jakarta (ID). O connor JD dan Soepanto. 2000a. Kunci Bergambar Nyamuk Mansonia.Ditjen P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI.Jakarta (ID). O connor JD dan Soepanto. 2000b. Kunci Identifikasi Culex. Ditjen PPM & PLP. Jakarta (ID).

62 Paaijmans KP and Thomas MB Relevant Temperatures in Mosquito and Malaria Biology. Ecol parasite vector interact. 3 : Partono F The Spectrum of Diseases Lymphatic Filariasis. Ciba Fondation Symposium 127. John Wiley & Son (SIN): Pipitgool VI, Waree P, Sithithaworn P, Limviroj W Studies on Biting Density and Biting Cycle of Culex quinquefasciatus say in Khon Kaen City, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 29(2): Pichon G Limitation and Facilitation in the Vectors and Other Aspects of the Dynamics of Filarial Transmission: the Need for Vector Control Against Anopheles Transmitted Filariasis. Annals Trop Med Parasitol. 96 (Suppl. 2): S143 S152. Prastowo D, Anggraini YM Dinamika Populasi Nyamuk Yang Diduga Sebagai Vektor Di Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. J Vektora. 4(2): Ramadhani T dan Yunianto B Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator.1 (1): Ramaiah KD, Das PK, Michael E, Guyatt H The Economic Burden of Lymphatic Filariasis in India. Parasitol Today 16(6) : Rowland MW and Lindsay SW The Circadian Flight Activity of Aedes aegypti Parasitised with the Filarial Nematode Brugia pahangi. Physiol Entomol. 11 : Russel PF, West LS, Manwell RD, Macdonal G Practical Malariology. 2nd Edition. London (ENG): Oxrford University Press. Sabesan S, Raju HKK, Srividy AN, Das PK Delimitation of Lymphatic Filariasis Transmission Risk Areas: a Geo-Environmental Approach. Filaria J. 5(12) : 1 6. Santoso, Yahya, Milana S Penentuan Jenis Nyamuk Mansonia Sebagai Tersangka Vektor Filariasis Brugia malayi dan Hewan Zoonosis Di Kabupaten Muaro Jambi. Media Penelitian Kesehatan. 24 (4): Santoso, Oktarina R, Ambarita LP, Sudomo M Epidemiologi Filariasis di Desa Sungai Rengit Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Tahun Bull Penelitian Kesehatan. 36(2): Sasa M Human Filariasis. A Global Survey of Epidemiology and Control. Tokyo: University of Tokyo Press (JPN). Setiawan B, Soeyoko, Satoto TB Epidemiologi Filariasis Limfatik di Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalteng. Bul. Spirakel.4: Shriram AN, Krishnamoorthy K, Vijayachari P Diurnally Subperiodic Filariasis Among the Nicobarese of Nicobar District - Epidemiology, Vector Dynamics & Prospects of Elimination. Indian J Med Res. 141 : Sigit SH Parasitology and Parasitic Diseases in Indonesia (A Country Report) in : Isao Tada I, Akoi T, Aoki Y, Arizono N, Himeno K, Hirayana K et al. editors. Proceeding The 1st Congress of Federation of Asian Parasitologist (FAP) : 2000 November 3 5 Chiba. University Japan : 2000 pp

63 42 Sigit SH Studies on The Organization of Oribatid Mite Communities in Three Ecologycally Different Grasslands[Disertation]. Oklahoma State University USA. Sitorus H, Santoso, Budiyanto A, Ambarita L, Hapsari N, Taviv Y Keanekaragaman Spesies Nyamuk di Wilayah Endemis Filariasis di Kabupaten Banyuasin dan Endemis Malaria di Oku Selatan. BALABA (11) 2 : Soeyoko Penyakit kaki gajah (filariasis limfatik):permasalahan dan alternatif penanggulangannya : Orasi Guru Besar Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (ID). Sukowati S, Shinta Habitat Perkembangbiakan dan Aktivitas Menggigit Nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus di Purworejo, Jawa Tengah. J Ekol Kes. 8 (1) : Southgate BA Recent Advances in the Epidemiology and Control of Filarial Infections Including Entomological Aspects of Transmission. Trans R Soc Trop Med Hyg. 78 Suppl: Suzuki T, Sudomo M, Bang YH, Lim BL Studies on Malayan Filariasis in Bengkulu (Sumatera), Indonesia With Special Reference to Vector Confirmation. The Southeast Asian J Trop Med Public Health. 12(1): Syahrial Z, Santi M, Ririh Y, Hasan A Populasi Nyamuk Dewasa di Daerah Endemis Filariasis Studi di Desa Empat Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Tahun J Kes Lingk. 2 (1) : Ughasi J, Bekard HE, Coulibaly M, Delphina D, Gyapong J, Appawu M, Wilson MD, Boakye DA Mansonia africana and Mansonia uniformis are Vectors in the Transmission of Wuchereria bancrofti Lymphatic Filariasis in Ghana. Parasites & Vectors. 5(89): 2 5. Uttah EC. Iboh CI. Raymond A, Osim SE, Etta H Physiological Age Composition of Female Anopheline Mosquitoes in an Area Endemic for Malaria and Filariasis. Int l J Scie and Res Pub. 3(7):1 5. [WHO] World Health Organization Lymphatic Filariasis:Monitoring and Epidemiological Asessment of Mass Drug Administration. TAS. A manual for National Elimination Programmes. Geneva (SWISS). [WHO] World Health Organization Control of Lymphatic Filariasis : A Manual for Health Personal, Geneva, Swiss (SWISS). [WHO] World Health Organization Lymphatic Filariasis Infection and Disease: Controlstategis. Report of a consultative meeting held at the University Sains Malaysia, Penang, Malaysia (MAS). [WHO] World Health Organization Lymphatic Filariasis. Prospect for the Elimination of Some TDR diseases. p: [WHO] World Health Organization Lymphatic Filariasis : A Handbook For National Elimination Programmes. WHO Press, World Health Organization, Geneva (SWISS). Terdapat pada : f [WHO] World Health Organization Lymfatic Filariasis (Epidemiologi) : The Vector. Geneva (SWISS). terdapat pada :

64 43 Widyastuti U, Boewono DT, Widiarti, Supargiyono, Satoto TBT Kompetensi Vektorial Anopheles maculatus, Theobald di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo. Media Penelitian Kesehatan. 23 (2): Wilson JJ and Sevarkodiyone SP Behavioral Expression (Breeding and Feeding) of Mosquitoes in an Agro Ecosystem. (Athikulam, Virudhunagar District Tamil Nadu, India). European J Biol Sci. 5 (3): Yahya, Santoso, Salim M, Arisanti M Deteksi Brugia malayi pada Armigeres subalbatus dan Culex quinquefasciatus yang di Infeksikan Darah Penderita Filariasis Dengan Metode PCR. Aspirator, 6(2) :pp Yahya, Santoso, Ambarita L Aktivitas Menggigit Mansonia uniformis (Diptera: Culicidae) di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Jurnal Buski. 5 (3) : Zeibig EA Clinical Parasitology: A Practical Approach. Saunders Elsevier Inc. Saint Louis University St. Louis, Missouri (USA).

65 LAMPIRAN

66 45 Lampiran 1 : Naskah Penjelasan Penelitian NASKAH PENJELASAN PENELITIAN Sebagai salah satu syarat akhir untuk lulus megister sains pada INSTITUT PERTANIAN BOGOR, SEKOLAH PASCASARJANA, PRORAM STUDI PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN adalah dengan membuat tesis penelitian. Judul penelitian tesis ini adalah Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Madomai, Kabupaten Kapuas di Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui vektor penular filariasis dan karakteristik habitat filariasis di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dalam penelitian ini ada kegiatan penangkapan nyamuk, pengambilan jentik, pengambilan darah dan survey periodisitas. Kami sangat mengharapkan partisipasi saudara(i) dalam penelitin ini, partisipasi bersifat sukarela tanpa paksaan dan bila tidak berkenan dapat menolak atau sewaktu waktu dapat mengundurkan diri tanpa sanksi apapun. Hak saudara(i) sebagai kader penangkap nyamuk dalam penelitian ini akan diberikan kompensasi sebagai pengganti waktu yang hilang sebesar Rp ,- /orang/6 Jam dan pada survey periodisitas sebesar ,- Semua informasi yang saya dapatkan dari Bapak/Ibu akan dijaga kerahasiaannya dan akan disimpan untuk keperluan penelitian.. Informasi tersebut hanya digunakan untuk pengembangan kebijakan program kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Semua data tidak akan dihubungkan dengan identitas saudara. Apabila saudara memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai riset ini dapat menghubungi : M. Rasyid Ridha (No. Hp )

67 46 Lampiran 2 : Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Inform Consent Saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai hal yang berkaitan dengan penelitian tesis yang dilaksanakan oleh M. Rasyid Ridha dengan judul Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas di Provinsi Kalimantan Tengah, Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi dalam riset ini secara sukarela tanpa paksaan. Bila saya inginkan, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu-waktu tanpa sanksi apapun. Nama Tgl/bln/tahun Tanda tangan/cap jempol diri sendiri Tanda tangan/cap jempol wali syah Nama Saksi Tgl/bln/tahun Tanda tangan Keterangan: 1. Subjek penelitian yang boleh menandatangani informed consent adalah mereka yang telah berumur 15 tahun. 2. Bagi Subjek penelitian yang berumur kurang dari 15 tahun, informed consent ditandatangani oleh wali yang sah.

68 47 Lampiran 3 : Jumlah Rata-Rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan HLC di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015) Jam Lokasi Mn. uniformis Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeneurhyncus Cx. gellidusus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. babrbirostris Mn. dives Mn. annulata Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD Ket : UOD (Umpan Orang Dalam ), UOL (Umpan Orang Luar).

69 48 Lampiran 4 : Jumlah Rata-rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan Resting DesaMandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September Desember 2015). Jam Lokasi Mn. uniformis Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeneurhyncus Cx. gellidusus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. babrbirostris Mn. dives Mn. annulata Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL RD RL Ket : RD (Dinding dalam), RL (Dinding Luar)

70 49 Lampiran 5 : Foto Kegiatan Penelitian Identifikasi dan pembedahan nyamuk Pengambilan darah jari pada pendukduk Kader penangkap nyamuk Identifikasi dan pembedahan nyamuk Persiapan alat dan bahan penangkapan nyamuk Persiapan alat dan bahan penangkapan nyamuk Pengukuran parameter air pada perindukan nyamuk Pengukuran parameter air pada perindukan nyamuk

71 50 Lampiran 6 : Hasil Pemeriksaan Darah Jari c Nama Umur JK RT Hasil Tgl Pemeriksaan 11/19/ Rivaldo 8 L 14-11/20/ Sasliadi 36 L 14-11/20/ Helda 33 P 14-11/20/ Unes 45 L 14-11/20/ M. Andi 14 L 14-11/20/ Riza 16 L 20-11/20/ Rinto 34 L 14-11/20/ Indah Sari 11 P 14-11/20/ Haiti 63 P 14-11/20/ Kristiani 6 P 17-11/20/ Melin 36 L 17-11/20/ Riati 53 P 17-11/20/ Suri 38 P 17-11/20/ Mawardi 39 L 20-11/20/ Iyan 57 L /20/ Riska 6 P 14-11/20/ Semboyan 57 L 14-11/20/ Lani 50 P 14-11/20/ Firmansyur 36 L 14-11/20/ Toha 43 L 14-11/20/ Rizki 11 P 14-11/20/ Yendri 27 L 14-11/20/ Natalia 24 P 14-11/20/ Cindy 7 P 11-11/20/ Kartini 34 P 11-11/20/ Rike 71 P 11-11/20/ Milo 45 P 11-11/20/ Defiana 23 P 11-11/20/ M. Ramadani 6 L 2-11/20/ Suliati 54 P 2-11/20/ Ahmadi 50 L 2-11/20/ Mengki 20 L 2-11/20/ Lioni 78 P 2-11/20/ Enyang 55 L 2-11/20/ Ningrum 56 P 2-11/20/ Lita 19 P 2-11/20/ Hesti Jesica 7 P 1-11/20/ Nana 32 P 1-11/20/ Adi Candra 43 L 20-11/20/ /20/ Putra 6 L 9-11/21/2015

72 41 Vera yani 35 P 9-11/21/ Ismail Jaelani 9 L 19-11/21/ Milna 29 P 19-11/21/ Meikasi 52 L /21/ Mely Viviana 18 P 19-11/21/ Syifa Azzahra 5 P 20-11/21/ Ardi 11 L 20-11/21/ Lamsiah 65 P 9-11/21/ Mega 56 P 9-11/21/ Tati 41 P 20-11/21/ Nurkoniati 58 P 20-11/21/ Nati 63 P 20-11/21/ Melti 24 P 20-11/21/ Rio 13 L 20-11/21/ Mera 15 L 20-11/21/ Arbain 40 L 20-11/21/ Nurul 36 P 20-11/21/ Dagun 49 L 10-11/21/ Digu 58 L 19-11/21/ Defi 7 P 19-11/21/ Sri Handayani 36 P 19-11/21/ Yanita 38 P 14-11/21/ Sudi 45 L 14-11/21/ Lindriani 16 P 14-11/21/ Doni Ramadhan 11 L 14-11/21/ Hendra 35 L 15-11/21/ Miwa 31 P 15-11/21/ Leli 53 P 15-11/21/ Anska 21 P 15-11/21/ Kristopel 52 L 15-11/21/ Lusi Patricia 12 P 15-11/21/ Rica 45 P 15-11/21/ Roky 18 L 15-11/21/ Ramlah 37 P 15-11/21/ Ero 74 L 17-11/21/ Rizki 16 L 17-11/21/ Neni 38 P 17-11/21/ Superdi 43 L 17-11/21/ Rianto 34 L 17-11/21/ Miftahul Jannah 13 P 20-11/21/ Yuli 37 P 20-11/21/ /21/ Rifa 3 P 20-11/24/ Pita 30 P 20-11/24/

73 52 84 Jupin 34 L 20-11/24/ Mimi 50 P 11-11/24/ Milowati 43 P 17-11/24/ Delia 69 P 17-11/24/ Riane 54 P 16-11/24/ Noli 74 P 16-11/24/ Karlina 14 P 16-11/24/ Delia 12 P 17-11/24/ Fitriani 40 P 16-11/24/ Deni 27 L 16-11/24/ Sumanto 34 L 17-11/24/ Rosita 49 P 16-11/24/ Rangkep 22 L 16-11/24/ Hayati 56 P 14-11/24/ Wiwi 34 P 14-11/24/ Melki 35 L 14-11/24/ Esra 68 L 14-11/24/ Impun 41 L 14-11/24/ Inprasetyaningsih 48 P 19-11/24/ Budi Setyo 53 L 19-11/24/ Mimi 56 L /24/ Radikin 33 L /24/ Cicoh 51 P /24/ Eki S. 11 L /24/ Arsah 11 L /24/ Rohanah 18 L /24/ Agus Salim 3 L /24/2015

74 53 LAMPIRAN 7 : Pengukuran kedalaman, ph, Salinitas dan Suhu setap bulan (September Desember 2015) pada beberapa tipe perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas Kedalaman ph Salinitas ( ) Suhu ( 0 C) S O N D S O N D S O N D S O N D Kolam Ikan 2 m 2 m ,6 5,6 5, m m Kolam 3 m 3,2 3,3 4 5,6 5,6 5,7 6, Sekolah m m m Selokan 0,5 0,5 5 cm 15 5,7 5,8 5,7 6, cm cm cm Kubangan 0,3c ,8 5,9 6 6, Air/Pembuan gan Rumah Tangga m cm cm cm Sawah ,8 5, cm cm cm cm Penampung Karet (dipohon) 5 cm 5 cm 7 cm 7 cm 5,9 5,9 6 6, Ket : S : September, O : Oktober, N : November, D : Desember

75 54 Lampiran 8 : Perhitungan Uji korelasi Indeks curah hujan, Suhu dan kelembaban dengan Kepadatan Nyamuk Pengaruh Indeks Curah Hujan Terhadap Kepadatan Nyamuk Correlations kelembaban Kepadatan_nyam uk Spearman's rho Kelembaban Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)..200 N 4 4 Kepadatan_nyamuk Correlation Coefficient Sig. (2-tailed).200. N 4 4 Pengaruh Suhu Terhadap Kepadatan Nyamuk Correlations Suhu Kepadatan_nyamu k Spearman's rho Suhu Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)..200 N 4 4 Kepadatan_nyamuk Correlation Coefficient Sig. (2-tailed).200. N 4 4

76 55 Pengaruh Kelembaban Terhadap Kepadatan Nyamuk Correlations Indeks curah hujan Kepadatan_nyamu k Spearman's rho Indeks curah hujan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)..200 N 4 4 Kepadatan_nyamuk Correlation Coefficient Sig. (2-tailed).200. N 4 4

77 56 Lampiran 9 : Perhitungan Periodisitas Periodisitas mikrofilaria di daerah penelitian dianalisis dengan melihat hubungan antara kepadatan mikrofilaria (y) dengan waktu pengambilan darah (h), yang dihitung dengan menggunakan formulasi sebagai berikut : m = y/n b= 2 y cos 15 h/ n c = 2 y sin 15 h/ n y = m+b cos 15 h + c sin 15 h Indeks periodisitas dihitung dengan menggunakan rumus : a = b 2 + c 2 d = a / m Puncak kepadatan mikrofilaria (k) pada masing-masing kasus/tahap pemeriksaan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Tan 15k o = c/ b Untuk tes kemaknaan (apabila harga a 2 tidak sama dengan nol) dilakukan dengan cara menghitung harga F : F = n/2a 2 1/ n-3 [ y 2 (Y) 2 /n-n/2 a 2 ] Keterangan : y : kepadatan total mikrofilaria n : pemeriksaan darah selama 12 kali penegambilan darah m : rata-rata jumlah mikrofilaria per pengambilan darah (20 mm 3 ) h : waktu pengambilan darah k : puncak kepadatan mikrofilaria d : indeks periodisitas F : sifat gelombang Sifat gelombang yang diperoleh dikatakan harmonik, ritmik atau sirkadian apabila harga F lebih besar dari harga F 5 % teoritis (F = 4.26) dengan derajat kebebasan 2 dan (n 3) dan indeks periodisitas (d) sekitar 90 %, sebaliknya sifat gelombang dikatakan non harmonik apabila harga F yang diperoleh lebih kecil dan gelombang menunjukkan sifat subperiodik apabila indeks periodisitas (d) jauh lebih rendah yaitu sekitar 30 %.

78 57 Waktu pengambilan darah Cos 15h Sin 15h Jml mf (Y) Y 2 Y cos 15h Y sin 15h Total Analisis statistik hasil pemeriksaan periodisitas mikrofilaria pada penderita di di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas No. Perhitungan Statistik Penderita filariasis 1 y 31 2 y y cos 15h y sin 15h m b c a k 17.08'31" 10 f

79 58 Lampiran 10 : Titik Koordinat Pengambilan Data GPS dan Jenis Perindukan yang ditemukan NO S GPS E Tipe Perindukan Keberadaan jentik Positif jentik (%) ' ' Kolam ikan ' ' Kolam ikan ' ' Kolam ikan ' ' Kolam ikan ' ' Kolam sekolah ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Selokan ' ' Kubangan ' ' Kubangan ' ' Kubangan ' ' Kubangan ' ' Kubangan ' ' Kubangan ' ' Kubangan ' ' Sawah ' ' Penampung + 50 karet ' ' Penampung karet - Ket : (+) : Positif jentik, (-) : Negatif jentik

80 Lampiran 11 : Rekomendasi Ijin Penelitian dari Pemkab. Kapuas 59

81 60 Lampiran 12 : Persetujuan etik (ethical approval) dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes

82 Lampiran 13 61

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di sekitar Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng yaitu Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya (Gambar 1).

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik adalah penyalit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan sistem limfe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing Wuchereria Bancrofti (W. Bancrofti), Brugia(B) Malayi dan B. Timori. Penyakit ini menyebabkan pembengkakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan perwakilan dari 189 negara dalam sidang Persatuan Bangsa-Bangsa di New York pada bulan September

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA Editor: Nama : Istiqomah NIM : G1C015022 FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2015 /2016 1 IDENTIFIKASI FILARIASIS

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan METODOLOGI PENELITIAN 1 Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang. Desa Gondanglegi Kulon terletak di sebelah selatan dari kabupaten Malang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi klinis yang luas yang menyebabkan angka kesakitan dan kecacatan yang tinggi pada mereka yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi

Lebih terperinci

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 4, No. 4, Desember 013 Hal : 16-166 Penulis : 1. Juhairiyah. Budi Hairani Korespondensi : Balai Litbang

Lebih terperinci

KEPADATAN NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DESA PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS, DESA JALAKSANA KABUPATEN KUNINGAN DAN BATUKUWUNG KABUPATEN SERANG

KEPADATAN NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DESA PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS, DESA JALAKSANA KABUPATEN KUNINGAN DAN BATUKUWUNG KABUPATEN SERANG Kepadatan nyamuk tersangka vektor...(endang P A, Mara I, Tri W & Umar R) KEPADATAN NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DESA PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS, DESA JALAKSANA KABUPATEN KUNINGAN DAN BATUKUWUNG

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi penelitian dan waktu penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Lembah Sari Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar

Lebih terperinci

STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda

STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR Oleh : Akhmad Hasan Huda PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 AKHMAD HASAN HUDA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN.  1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang terdapat di dunia. Sekitar 115 juta penduduk terinfeksi W. Bancrofti dan sekitar 13 juta penduduk teridentifikasi sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk 16 Identifikasi Nyamuk HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis nyamuk yang ditemukan pada penangkapan nyamuk berumpan orang dan nyamuk istirahat adalah Ae. aegypti, Ae. albopictus, Culex, dan Armigeres. Jenis nyamuk

Lebih terperinci

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam (The Analysis of Mosquitoes as The Vector of Filariasis at Pidie District Nanggroe Aceh Darussalam) Fauziah

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di desa Doro yang terletak di wilayah pesisir barat Pulau Halmahera Bagian Selatan. Secara administratif Desa Doro termasuk ke dalam wilayah

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec.

3 BAHAN DAN METODE. Lokasi penelitian di Desa Riau Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung. Lokasi Penelitian. Kec. 3 BAHAN DAN METODE 3. 1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Riau, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Gambar 1). Secara geografis desa ini terletak di wilayah bagian

Lebih terperinci

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN 2014 DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik BAB I Pendahuluan A. latar belakang Di indonesia yang memiliki iklim tropis memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik dan dapat berfungsi sebagai vektor penyebar penyakitpenyakit seperti malaria,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis 1. Filariasis Filariasis adalah suatu infeksi cacing filaria yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk dan dapat menimbulkan pembesaran

Lebih terperinci

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 4, No. 2, Desember 2012 Hal : 73-79 Penulis : 1 1. Amalia Safitri 2 2. Hijrahtul Risqhi 3. M Rasyid

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Frekuensi = Dominasi Spesies Angka dominasi spesies dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi nyamuk tertangkap spesies tersebut dalam satu waktu penangkapan. Dominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Filariasis 1. Pengertian Filariasis Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda, penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Penyakit menular menjadi masalah kesehatan yang besar hampir di semua negara berkembang

Lebih terperinci

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009 ARTIKEL SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 9 Ruben Wadu Willa* *Loka Penelitian dan Pengembangan Bersumber Binatang (PB) Waikabubak, Email:majaraama@yahoo.co.id

Lebih terperinci

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan Perbandingan Prevalensi Filariasis berdasarkan Status IgG4 Antifilaria pada Penduduk Daerah Endemik Filariasis Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya Kecamatan Pondokgede Kabupaten Bekasi Jawa Barat Gracia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini tersebar

Lebih terperinci

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008 ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008 Yuanita, 2004, Pembimbing: Felix Kasim, Dr, dr, M.Kes dan Susy Tjahjani, dr, M.Kes Filariasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Filariasis 2.1.1. Pengertian Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE 1999 2010 Prayudo Mahendra Putra, 2011; Pembimbing I : Budi W. Lana., dr., MH Pembimbing II: Freddy T. Andries., dr.,ms Filariasis adalah penyakit yang

Lebih terperinci

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 2012 Ety Rahmawati 1, Johanis Jusuf Pitreyadi Sadukh 2, Oktofianus Sila 3 1 Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan yang dikenal dunia. Filariasis limfatik diidentifikasikan sebagai penyebab kecacatan menetap dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing filaria

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN SIKAP DAN PERILAKU PENDUDUK TERHADAP PENYAKIT FILARIASIS LIMFATIK DI DESA BONGAS KECAMATAN PAMANUKAN KABUPATEN SUBANG TAHUN 2011 Ayu Faujiah, 2011. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN BAB 4 HASIL PENELITIAN Sebanyak 362 anak-anak sekolah dasar berusia 6-13 tahun berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan masal dengan kombinasi obat DEC-albendazol. Sampel diambil

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah satu penyakit parasitik tertua di dunia. Penyakit menular ini bersifat menahun yang disebabkan

Lebih terperinci

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Morfologi Telur Anopheles Culex Aedes Berbentuk perahu dengan pelampung di kedua sisinya Lonjong seperti peluru senapan Lonjong seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Penyakit Filariasis 2.1.1. Pengertian Penyakit Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan karena cacing filaria, yang hidup

Lebih terperinci

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso Studi Endemisitas Filariasis... (Yahya et. al) STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III Yahya * dan Santoso Loka Litbang P2B2 Baturaja

Lebih terperinci

CULEX QUINQUIFASCL4TUS SEBAGAI VEKTOR UTAMA FILARIASIS LIMFATIK YANG DISEBABKAN WUCHERERIA BANCROFTI DI KELURAHAN PABEAN KOTA PEKALONGAN

CULEX QUINQUIFASCL4TUS SEBAGAI VEKTOR UTAMA FILARIASIS LIMFATIK YANG DISEBABKAN WUCHERERIA BANCROFTI DI KELURAHAN PABEAN KOTA PEKALONGAN CULEX QUINQUIFASCL4TUS SEBAGAI VEKTOR UTAMA FILARIASIS LIMFATIK YANG DISEBABKAN WUCHERERIA BANCROFTI DI KELURAHAN PABEAN KOTA PEKALONGAN Culex Quinquifasciatus As The Main Vector Of Lymphatic Filariasis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan di beberapa daerah menyebutnya

Lebih terperinci

STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH

STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH STUD1 HABITAT ANOPHELES NIGERRIMUS GILES 1900 DAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LENGKONG KABUPATEN SUKABUMI OLEH: DENNY SOPIAN SALEH PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK ' DENNY SOPIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus, jumlah ini menurun dari tahun 2012 yang ditemukan sebanyak 36 kasus (Dinkes Prov.SU, 2014).

Lebih terperinci

Prevalensi pre_treatment

Prevalensi pre_treatment Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL Sebanyak 757 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah sebelum pengobatan masal dan 301 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO (2013) penyakit infeksi oleh parasit yang terdapat di daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Virus dengue merupakan Anthropode-Borne Virus (Arbovirus) keluarga Flaviviridae 1, virus ini dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yang dapat berakibat

Lebih terperinci

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN 2442-9805 Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN 2086-4701 STUDI KOMUNITAS NYAMUK PENYEBAB FILARIASIS DI DESA BOJONG KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Suharno Zen Pendidikan

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 13 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Kabupaten Bulukumba secara geografis terletak di jazirah selatan Propinsi Sulawesi Selatan (+150 Km dari Kota Makassar), yaitu antara 0,5 o 20 sampai 0,5 o 40

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makhluk hidup bertahan hidup secara berkegantungan, termasuk nyamuk yang hidupnya mencari makan berupa darah manusia, dan membawa bibit penyakit melalui nyamuk (vektor).

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE 2002 2010 Eko Santoso, 2011; Pembimbing I : Winsa Husin., dr., M.Sc.,M.Kes. Pembimbing II: Rita Tjokropranoto., dr.,m.sc.

Lebih terperinci

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan EPIDEMIOLOGI Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Tri Ramadhani* Abstrak Filariasis limfatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya di Kota Pekalongan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2010-2014 difokuskan pada delapan fokus prioritas, salah satunya adalah pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Konsep kesehatan

Lebih terperinci

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA dan DBD

Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA dan DBD SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA dan DBD SURVEI ENTOMOLOGI MALARIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM Mampu menjelaskan, merencanakan dan melaksanakan survei entomologi malaria TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1.Mampu menjelaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

Lebih terperinci

Evaluasi Status Endemisitas Filariasis Pada Beberapa Kabupaten Di Provinsi Aceh Dengan Pemeriksaan Mikroskopis, Brugia Test dan ICT

Evaluasi Status Endemisitas Filariasis Pada Beberapa Kabupaten Di Provinsi Aceh Dengan Pemeriksaan Mikroskopis, Brugia Test dan ICT RAHASIA Laporan Hasil Penelitian Evaluasi Status Endemisitas Filariasis Pada Beberapa Kabupaten Di Provinsi Aceh Dengan Pemeriksaan Mikroskopis, Brugia Test dan ICT Penyusun Yulidar Tim Loka Litbang Biomedis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Etiologi dan Penularan Filariasis Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing Filaria. Filariasis di Indonesia

Lebih terperinci

Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan. dilakukan survei pendahuluan dan pelacakan kasus, ditemukan lagi dua penderita

Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan. dilakukan survei pendahuluan dan pelacakan kasus, ditemukan lagi dua penderita HASIL DAN PEMJ3AHASAN 1 Epidemiologi filariasis Kasus elefantiasis di desa Gondanglegi Kulon yang pernah dilaporkan oleh Puskesmas Gondanglegi kepada Sub Direktorat Filariasis Departemen Kesehatan RI.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis Filariasis limfatik adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang cacing dewasanya hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia. Penyakit

Lebih terperinci

Epidemiology of filariasis in Nunukan. Epidemiologi filariasis di Kabupaten Nunukan. Penelitian. Vol. 4, No. 4, Desember 2013

Epidemiology of filariasis in Nunukan. Epidemiologi filariasis di Kabupaten Nunukan. Penelitian. Vol. 4, No. 4, Desember 2013 Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol., No., Desember Hal : Penulis :. Liestiana Indriyati. Lukman Waris. Abdul Rahman. Juhairiyah Korespondensi

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian V. PEMBAHASAN UMUM Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian dan pemukiman mengakibatkan timbulnya berbagai habitat. Habitat yang ada dapat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Pengamatan Tempat Perindukan Aedes

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Pengamatan Tempat Perindukan Aedes 17 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur sebagai studi bioekologi nyamuk di daerah yang endemik DBD. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M.

Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun Hanani M. Kajian Epidemiologi Limfatikfilariasis Di Kabupaten Sumba Barat (Desa Gaura) dan Sumba Tengah (Desa Ole Ate) Tahun 2012 Hanani M. Laumalay Loka Litbang P2B2 Waikabubak, Jl. Basuki Rahmat, Km. 5 Puu Weri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana saat dewasa hanya bisa hidup di sistem limfatik manusia. Penularannya

Lebih terperinci

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA Ira Indriaty P.B Sopi 1 *, Majematang Mading 1 1 Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber

Lebih terperinci

KOLEKSI REFERENSI NYAMUK DI DESA JEPANGREJO, KECAMATAN BLORA, KABUPATEN BLORA. Dewi Marbawati*, Zumrotus Sholichah*

KOLEKSI REFERENSI NYAMUK DI DESA JEPANGREJO, KECAMATAN BLORA, KABUPATEN BLORA. Dewi Marbawati*, Zumrotus Sholichah* Hasil Penelitian KOLEKSI REFERENSI NYAMUK DI DESA JEPANGREJO, KECAMATAN BLORA, KABUPATEN BLORA Dewi Marbawati*, Zumrotus Sholichah* Abstract Some kind of mosquitoes can transmit desease through their biting.

Lebih terperinci

GAMBARAN PENULARAN FILARIASIS DI PROVINSI SULAWESI BARAT DESCRIPTION OF TRANSMISSION OF FILARIASIS IN WEST SULAWESI

GAMBARAN PENULARAN FILARIASIS DI PROVINSI SULAWESI BARAT DESCRIPTION OF TRANSMISSION OF FILARIASIS IN WEST SULAWESI Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 2, No. 2, Juni 21: 11-17 GAMBARAN PENULARAN FILARIASIS DI PROVINSI SULAWESI BARAT Sitti Chadijah, Ni Nyoman Veridiana, Risti, Jastal Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo.

3 BAHAN DAN METODE. Sarmi. Kota. Waropen. Jayapura. Senta. Ars. Jayapura. Keerom. Puncak Jaya. Tolikara. Pegunungan. Yahukimo. 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Dulanpokpok Kecamatan Fakfak Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Desa Dulanpokpok merupakan daerah pantai, yang dikelilingi

Lebih terperinci

Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah

Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Aktivitas enggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Tri Ramadhani 1, Bambang Yunianto 1 Biting Activities of Culex

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI DESA SUNGAI RENGIT KECAMATAN TALANG KELAPA KABUPATEN BANYUASIN TAHUN 2006

EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI DESA SUNGAI RENGIT KECAMATAN TALANG KELAPA KABUPATEN BANYUASIN TAHUN 2006 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI DESA SUNGAI RENGIT KECAMATAN TALANG KELAPA KABUPATEN BANYUASIN TAHUN 006 Santoso 1, Ambarita L.P. 1, Oktarina R., 1 M. Sudomo 1 Loka Litbang PB Baturaja Puslitbang Ekologi dan

Lebih terperinci

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah ) Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah ) Supatmi Dewi *) Lintang Dian Saraswati **) M.Sakundarno Adi **) Praba Ginandjar **) Bagian Epidemiologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. FILARIASIS 1. Perkembangan Penyakit filaria merupakan penyakit parasit yang penyebarannya tidak merata, melainkan terkonsentrasi di beberapa kantong-kantong wilayah tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia dan memiliki kelembaban dan suhu optimal yang mendukung bagi kelangsungan hidup serangga. Nyamuk merupakan salah

Lebih terperinci

Keanekaragaman Spesies Nyamuk di Wilayah Endemis Filariasis di Kabupaten Banyuasin dan Endemis Malaria di Oku Selatan

Keanekaragaman Spesies Nyamuk di Wilayah Endemis Filariasis di Kabupaten Banyuasin dan Endemis Malaria di Oku Selatan Keanekaragaman Spesies Nyamuk di Wilayah Endemis Filariasis di Kabupaten Banyuasin dan Endemis Malaria di Oku Selatan Species Diversity of Mosquito in Endemic Area of Lymphatic Filariasis in Banyuasin

Lebih terperinci

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI Lukman Hakim, Mara Ipa* Abstrak Malaria merupakan penyakit yang muncul sesuai

Lebih terperinci

nyamuk bio.unsoed.ac.id

nyamuk bio.unsoed.ac.id III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.1 Bagan Alir Penelitian Persiapan alat dan bahan penelitian di Lab. Parasitologi dan Entomologi Mengamati keadaan rumah yang akan diambil sampel nyamuk Aedes spp. meliputi:

Lebih terperinci

Biting activities of Mansonia uniformis (Diptera: Culicidae) in Batanghari District, Jambi Province

Biting activities of Mansonia uniformis (Diptera: Culicidae) in Batanghari District, Jambi Province Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 5, No. 3, Juni 2015 Hal : 140-148 Penulis : 1. Yahya 2. Lasbudi Pertama Ambarita 3. Santoso Korespondensi

Lebih terperinci

Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat

Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat ASPIRATOR, 7(2), 2015, pp. 42-47 Hak cipta 2015 - Loka Litbang P2B2 Ciamis Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat virus yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan menyebar dengan cepat. Data menunjukkan peningkatan 30 kali lipat dalam

Lebih terperinci

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012 Survei Daerah Jari Filariasis... (R. Irpan Pahlepi, Santoso, Deriansyah Eka Putra) SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA

Lebih terperinci

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY Studi Literatur TRANSMISSION ASSESSMENT SURVEY SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENENTUAN ELIMINASI FILARIASIS Diterima Oktober 2013 Disetujui Desember 2013 Dipublikasikan 1 April 2014 Fauziah Elytha 1 JKMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue dari genus Flavivirus ditularkan melalui gigitan nyamuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyamuk adalah serangga yang bentuknya langsing, halus, distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari 3.000 spesies, stadium larva dan pupanya hidup di air (Garcia

Lebih terperinci

BIONOMIK NYAMUK MANSONIA DAN ANOPHELES DI DESA KARYA MAKMUR, KABUPATEN OKU TIMUR

BIONOMIK NYAMUK MANSONIA DAN ANOPHELES DI DESA KARYA MAKMUR, KABUPATEN OKU TIMUR BIONOMIK NYAMUK MANSONIA DAN ANOPHELES DI DESA KARYA MAKMUR, KABUPATEN OKU TIMUR Mosquito Bionomic of Mansonia and Anopheles in Karya Makmur Village, East OKU Regency Yanelza Supranelfy l, Hotnida Sitorus',

Lebih terperinci

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN 7 Candriana Yanuarini ABSTRAK Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis banyak menghadapi masalah kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit penyebab masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan sub tropis yang sedang berkembang. Pertumbuhan penduduk yang

Lebih terperinci

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN SKRIPSI FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN 2011 Penelitian Keperawatan Komunitas WELLY BP. 07121017 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data) Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 4, No. 4, Desember 2013 Hal : 175-180 Penulis : 1. Junus Widjaja 2. Hayani Anastasia 3. Samarang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia fiiariasis dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Filariasis

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia fiiariasis dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Filariasis TINJAUAN PUSTAKA 1 Filariasis di Indonesia. Di Indonesia fiiariasis dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Filariasis merupakan penyakit meqular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria pada saluran

Lebih terperinci

STUDI BIOEKOLOGI NYAMUK Mansonia spp VEKTOR FILARIASIS DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR, PROVINSI JAMBI

STUDI BIOEKOLOGI NYAMUK Mansonia spp VEKTOR FILARIASIS DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR, PROVINSI JAMBI Studi Bioekologi Nyamuk Mansonia Spp... (Santoso, et. al) STUDI BIOEKOLOGI NYAMUK Mansonia spp VEKTOR FILARIASIS DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR, PROVINSI JAMBI Santoso, Yahya, Nungki Hapsari Suryaningtyas,

Lebih terperinci

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Praba Ginandjar* Esther Sri Majawati** Artikel Penelitian *Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Lebih terperinci

STUDI PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK

STUDI PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK STUDI PERILAKU MENGGIGIT NYAMUK Anopheles balabacensis DAN KAITANNYA DENGAN EPIDEMIOLOGI MALARIA DI DESA LEMBAH SARI KECAMATAN BATULAYAR KABUPATEN LOMBOK BARAT ALI WARDANA SEKOLAH PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun Filariasis Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2012-2013 Zahrotul Habibah, 1 Saleha Sungkar 2 1 Progam Studi Pendidikan Dokter, 2 Departemen Parasitologi FK

Lebih terperinci