kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur."

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dana merupakan oksigen bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dana bagi perusahaan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari modal (equity) dan utang (loan). 1 Untuk masalah pendanaan, perusahaan seringkali meminjam uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam hubungan ini, pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si berutang. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayan dari kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur. Apabila debitur tidak dapat mengembalikan pinjaman sebagaimana diperjanjikan sebelumnya, maka harta debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari dapat digunakan sebagai tanggungan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya kepada kreditur 2 sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. 1 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2010), hal Lihat Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditur yang diperoleh dari perjanjian utang piutang diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. 1

2 2 Pada umumnya, debitur tidak hanya meminjam utang kepada satu pihak saja, tetapi sering kepada beberapa pihak. Dalam hal ini Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan, Pasal ini memberikan jaminan kedudukan yang seimbang bagi krediturnya. Namun ketentuan ini dapat dikecualikan apabila ditentukan lain oleh undang-undang karena alasan yang sah untuk didahulukan oleh kreditur lainnya misalnya tagihan yang bersangkutan berupa hak hak istimewa, tagihan yang dijamin dengan hak gadai, dan tagihan yang dijamin dengan hipotik. Dalam Pasal 1133 KUH Perdata jelas menyatakan: Hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan 21 buku ini. Hal ini berkaitan dengan ketentuan dalam hal hak jaminan khusus dan umum. Hak jaminan khusus seperti juga jaminan umum, tidak memberikan jaminan, bahwa tagihannya pasti dilunasi, tetapi hanya memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dalam penagihan, lebih baik daripada kreditur konkuren yang tak memegang hak jaminan khusus atau dengan perkataan lain ia relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya.

3 3 Selain jaminan materiil (kebendaan), juga terdapat jaminan immaterial (personal). Jaminan immaterial telah dikenal pada hukum Romawi untuk mengenal orang sebagai penjamin utang debitur, konsekuensi dari orang yang mengajukan dirinya sebagai penjamin utang debitur sedangkan ternyata penjamin tersebut tidak mampu membayar utang debitur dari harta kekayaannya, maka penjamin tersebut akan menjadi budak dari kreditur. Dalam perkembangannya, jaminan berupa penjamin perorangan tersebut tidak lagi menyangkut jasmani dari penjamin tersebut, tetapi terbatas kepada harta kekayaannya saja. 3 Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan immateriil. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan immateriil (perorangan) adalah Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya 4. Pendapat yang lain disampaikan oleh Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) sepengetahuan si berhutang 3 Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, ditulis dalam rangka kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah,Tahun 2001, hal.4.

4 4 tersebut. 5 Menurut Soebekti juga, bahwa maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan. 6 Jaminan perorangan tersebut terbagi atas dua jenis, yaitu jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi yang dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama dimana hak dan kewajiban yang dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subjek pelakunya berbeda. 7 Keberadaan penjamin disini personal guarantee maupun corporate guarantee berupa pernyataan 8 oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut. 9 Dalam hal debitur sudah tidak memiliki kemampuan lagi dalam membayar utangnya, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah permohonan 5 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1989, hal Ibid. 7 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal Suatu Pernyataan adalah menyatakan sesuatu dengan tujuan mengungkapkan kehandak yang bertujuan. Pernyataan merupakan landasan dari kekuatan mengikat. Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bahti, 2006), hal Ibid.

5 5 pailit sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU). Pemilihan mekanisme kepailitan melalui Pengadilan Niaga diambil pelaku usaha mengingat waktu penyelesaian yang relatif lebih cepat daripada mekanisme gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri. Selain itu, setiap tahapan dari permohonan hingga pengurusan dan pemberesan harta pailit sudah diatur sangat ketat oleh UUK-PKPU sehingga setiap proses dapat berjalan sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Walaupun banyak memiliki kelebihan, penyelesaian hutang piutang melalui mekanisme pailit sering mengalami kendala. Salah satunya terkait dengan corporate guarantee. Di satu sisi, corporate guarantor hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila debitur utama sudah tidak mampu menyelesaikan kewajibannya. Hal ini tentunya akan membutuhkan waktu yang lama dan tidak sejalan dengan semangat peradilan cepat yang diusung oleh Pengadilan Niaga. Selain itu, corporate guarantee yang tidak beritikad baik juga dapat berlindung dibalik kewajiban menagih kepada debitur utama tersebut. Kendala yang lainnya adalah terkait dengan permohonan pailit yang dapat diajukan kepada corporate guarantee yang telah melepaskan hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 1832 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi : Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya bendabenda atau harta kekayaan debitur disita dan dijual terlebih dahulu Selain karena telah melepaskan hak istimewanya, Pasal 1832 ayat 2,3,4,dan 5 KUH Perdata menyatakan bahwa penjamin dapat diajukan permohonan pernyataan pailit apabila: a. Penjamin telah bersama-sama debitor mengikatkan dirinya secara tanggung renteng.

6 6 Di satu sisi, permohonan pailit yang diajukan kepada corporate guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya bersamaan dengan debitur dianggap dapat memberikan perlindungan kepada kreditur. 11 Namun di sisi lainnya, perusahaan yang beritikad baik sebagai corporate guarantor juga perlu dilindungi. Permohonan pailit yang diajukan terhadap perusahaan tentunya akan berdampak buruk pada kegiatan bisnis perusahaan karena rekan bisnis dan investor perusahaan akan mengantisipasi bila perusahaan dinyatakan pailit, seperti investor menarik asset dari perusahaan, rekan bisnis membatalkan perjanjian/kontrak dengan perusahaan. Disamping itu, iklim kerja juga akan terganggu karena keresahan tenaga kerja yang dibayangbayangi pemutusan hubungan kerja. Melalui pembahasan ini diharapkan dapat membantu para pelaku usaha untuk mengetahui bagaimana kedudukan corporate guarantor, bila corporate guarantor secara sukarela telah mencabut hak istimewanya untuk bertindak sebagai corporate guaranteee, dan selain itu juga untuk mengetahui bagaimana perlindungan kepada corporate guarantor dan kreditur pemegang corporate guarantee dalam proses kepailitan. Dengan demikian kemudahan verifikasi dapat berjalan dengan lancar karena verifikasi merupakan prosedur untuk menetapkan hak menagih. 12 a. Debitor dapat mengajukan tangkisan yang hanya menyangkut dirinya secara pribadi. b. Debitor berada dalam keadaan pailit. c. Penjaminan (penanggungan) tersebut telah diberikan berdasarkan perintah pengadilan. 11 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Jakarta:Sofmedia, 2010 ), hal Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penudaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, (Jakarta: Radjawali Pers, 1991), hal.71.

7 7 Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk membahas tesis yang berjudul Kedudukan Corporate Guarantor Sebagai Pihak Penjamin Debitur Utama Dalam Proses kepailitan. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan corporate guarantor yang telah secara sukarela melepaskan hak istimewanya untuk bertindak sebagai corporate guarantee dalam perkara kepailitan? 2. Bagaimana perlindungan terhadap corporate guarantor yang dimohonkan pailit dalam hal debitur utama tidak mampu melaksanakan kewajibanya? 3. Bagaimanakah perlindungan terhadap kreditur pemegang corporate guarantee dalam hal debitur utama pailit? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kedudukan corporate guarantor yang telah secara sukarela melepaskan hak istimewanya untuk bertindak sebagai corporate guarantee. 2. Untuk mengetahui perlindungan terhadap corporate guarantee yang dimohonkan pailit dalam hal debitur utama wanprestasi. 3. Untuk mengetahui perlindungan terhadap kreditur pemegang corporate guarantee dalam hal debitur utama pailit.

8 8 D. Manfaat Penelitian Selain tujuan tersebut di atas, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal di antaranya: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kepailitan. 2. Secara Praktis Penelitian diharapkan bermanfaat untuk : a. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum dengan hukum kepailitan. b. Dengan adanya penelitian ini maka Penulis dapat memberikan gambaran hukum tentang bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan. c. memberikan pemahaman kepada insan perbankan terkait dengan dimungkinkanya corporate guarantee dapat ikut serta dimohonkan pailit. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang telah dilakukan di kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara oleh peneliti, maka penelitian dengan judul Kedudukan Corporate Guarantor Sebagai Pihak Penjamin Debitur Utama

9 9 Dalam Proses Kepailitan belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya, namun ada beberapa tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah kepailitan yaitu: 1. Satria Braja Hariandja, Tesis pada tahun 2011 dengan judul Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST). 2. Atmawati, Tesis pada tahun 2003 dengan judul Penyelesaian Utang Piutang Melalui Hukum Kepailitan Suatu Antisipasi Terhadap Kredit Bermasalah. 3. Halida Rahardini, Tesis pada tahun 2002 dengan judul Analisis Hukum Terhadap Tanggung jawab direktur Dalam Hal Terjadi Kepailitan Perseroan. Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian di atas. Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun. Apabila di kemudian hari ternyata penelitian ini telah melanggar asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka, maka Peneliti bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori yang digunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah teori hukum keadilan yang dikemukakan oleh Adam

10 10 Smith ( ). 13 Adam Smith hanya menerima satu konsep atas teori keadilan yaitu keadilan komutatif. Alasannya, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain. Adam Smith menggambarkan keadilan komutatif tersebut dalam 3 (tiga) prinsip yaitu: Prinsip No Harm Prinsip keadilan komutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat. 13 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, (Medan: USU, 17 April 2004), hal di unduh tanggal 27 Desember 2012, Pukul

11 11 2. Prinsip Non-Intervention Disamping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain. Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan. 3. Prinsip Keadilan Tukar Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa upah buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang didalam pasar. Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum Adam Smith, mengatakan bahwa : Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian (the goal of justice is to secure from injury) Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L.Merk, D.D.Raphael dan P.G.Stein,e.d, Lecture of Jurisprudence, (Indianapolis: Liberty Fund, 1982), hal. 9.

12 12 Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadannya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan kekuasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. Salah satu filosofi hukum kepailitan ialah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberi manfaat, kegunaan dan kepastian hukum. 16 Keadilan menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa saja yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya. Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah bahwa : a. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti lawfull yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti, dan ; b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak. 17 Untuk memperjelas ukuran keadilan sebagaimana yang diutarakan dari pendapat Aristoteles di atas, maka debitur utama menuangkan ketentuan hak dan 16 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal Ibid.

13 13 kewajiban pemberi garansi/penjaminan dalam bentuk perjanjian yang dinamakan dengan Perjanjian Pemberi Garansi/Penjaminan yang memuat persetujuan dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatanya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya (Pasal 1820 KUHPer). Dalam hal ini seorang pihak ketiga yang dimaksud disini adalah corporate guarantee yang secara sukarela mengikatkan diri sebagai penjamin yang akan memenuhi kewajiban debitur utama apabila si debitur utama lalai atau tidak mampu lagi melaksanakan kewajibanya kepada kreditur. Perjanjian Pemberian Garansi/Penjaminan ini berlaku mengikat dan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 18 Dengan kata lain antara debitur utama dengan CG memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur. Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu: 19 a. Keadilan Disitributif yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya. b. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan. Menurut W. Friedman, suatu undang-undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadipribadi tersebut. 20 Hal ini menjadi dasar pertimbangan bagi CG dan debitur utama untuk mengetahui lebih jelas hak dan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam 18 Pasal 1338 KUHPerdata. 19 M.Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Dalam buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal.7.

14 14 Perjanjian Pemberian Garansi/Penjaminan. Perjanjian ini dapat memberikan keadilan yang sama terhadap CG dan debitur utama walaupun terdapat perbedaan-perbedaan pemenuhan kewajiban-kewajiban antara pribadi-pribadi dalam memenuhi kewajiban terhadap kreditur sebagaimana yang dimaksud oleh pendapat Friedmann di atas. Dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut maka sebagaimana ketentuan dari Pasal 1832 ayat 1 KUHPer yang menyatakan Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda atau harta kekayaan debitur disita dan dijual terlebih dahulu. Telah berlaku bagi CG oleh karena CG telah melepaskan hak istimewanya dengan adanya perjanjian pemberian garansi/penjaminan tersebut. Dengan kata lain antara CG dan debitur utama telah memiliki kedudukan yang sama. Teori keadilan digunakan untuk menganalisis apakah perjanjian pemberian garansi telah memberikan keadilan bagi Kreditur, Debitur dan Corporate Guarantor. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) Nomor 37 Tahun 2004 lahir bertujuan untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. 21 Bila debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua hutang kepada kreditur, maka para kreditur akan Juni Imran Nating, Hukum Kepailitan, http//artikelhukumku.blogspot.com//, diakses tanggal 15

15 15 berlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis, hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan UUK-PKPU 22. Dengan lahirnya UUK-PKPU diharapkan antara debitur dan kreditur dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka masingmasing sehingga terwujudlah keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum kepailitan tersebut adanya nilai keadilan. Dengan Lahirnya UUK-PKPU, pertanyaan berapa besar pembagian piutang kepada kreditur telah diatur yaitu antara lain: a. Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan diantara pemegang klaim melawan debitur atau kekayaan debitur. b. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian mungkin dipertemukan. c. Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan, diantara penagih-penagih, akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa. 23 Ketiga pertimbangan yang telah diuraikan di atas memungkinkan bahwa kreditur tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai pengganti rencana pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal. Bagaimanapun para kreditur akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatu 22 Rudhy A. Lontoh, et.al., Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal Ibid.

16 16 sistem yang mengikat semua kreditur lain. Untuk mengijinkan debitur membuat perjanjian dengan kreditur lain yang akan memilih ke luar daripada kerangka penyelesaian. Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berisi antara lain adalah : a. Asas Keseimbangan Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik. b. Asas Kelangsungan Usaha. Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan kelangsungan usahan bagi perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. c. Asas Keadilan. Dalam Kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangan-

17 17 wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masingmasing terhadap debitur dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya. d. Asas Integrasi Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. 24 Sutan Remy Sjahdeini menyatakan untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa debitur akan secara nyata mengembalikan pinjamanya setelah jangka waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut jaminan. Asas yang pertama menentukan apabila debitur ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata (KUHPer) yang berbunyi: segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitur. 25 Pasal 1131 KUH Perdata menentukan harta kekayaan debitur bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditur yang diperoleh dari perjanjian kredit diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang 24 Penjelasan Umum UUK-PKPU. 25 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.4-5.

18 18 timbul dari perikatan debitur. Oleh karena Pasal 1131 KUH Perdata menentukan semua harta kekayaan (asset) debitur menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditur tertentu saja tetapi juga semua kreditur lainya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitur itu kepada para krediturnya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan. 26 Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan : kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan tersebut terbagi atas dua jenis, yaitu jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi yang dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee/cg). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama dimana hak dan kewajiban yang dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subjek pelakunya berbeda. 27 Bila CG subjeknya berupa badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha yang tidak berbadan hukum. 26 Ibid, hal Adrian Sutedi, Op.cit, hal.151.

19 19 Keberadaan penjamin disini personal guarantee maupun corporate guarantee (CG) berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk melaksankan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut. 28 Jadi CG berperan sebagai penjamin/guarantor bagi debitur pailit yang apabila debitur pailit tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur pailit tersebut untuk melunasi utangnya, sedangkan dalam hal penjaminnya/guarantornya adalah CG, maka apabila debitur pailitnya tidak mampu melaksanakan kewajibanya maka guarantor tersebut bersedia melaksanakan kewajiban dari debitur pailit tersebut. Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin/guarantor untuk membayar utang debitur pailit bila debitur pailit lalai atau tidak mampu lagi membayar utangnya tersebut. 29 Berkaitan dengan pemberian garansi/jaminan dalam perusahaan yang biasanya dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor dapat melakukan kewajiban debitur apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibanya maka penjamin 28 Ibid diakses tanggal 16 Juni 2012.

20 20 dapat pailit oleh kreditur. Jadi kepailitan perusahaan sebagai debitur utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor. Namun penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak istimewa penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitur kepada kreditur sebelum harta kekayaan debitur pailit disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi hutangnya debitur, berarti penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitur yang belum dipenuhinya kepada kreditur. 30 Dengan adanya perjanjian pemberian kredit yang termasuk dengan perjanjian pemberian jaminan maka penjamin/guarantor dalam hal ini CG memiliki peran yang sama dengan debitur pailit bila sewaktu-waktu debitur pailit lalai dalam melaksanakan kewajiban melakukan pembayaran utang, dan dengan demikian ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUK-PKPU telah berlaku, dimana Dalam Pasal 24 UUK-PKPU telah memuat dengan jelas bahwa dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaanya yang dimasukkan dalam harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan kata lain penjamin dalam hal ini corporate guarantor yang dinyatakan pailit tidak lagi dapat melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya. Dalam KUHPerdata dalam Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1850, dari ketentuan Pasal dalam KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau 30 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.24.

21 21 penanggung adalah juga seorang debitur yang berkewajiban melunasi utang debitur kepada krediturnya apabila tidak membayar utang apabila sudah jatuh waktu. 31 dan sama demikian halnya dengan teori keadilan dengan adanya perjanjian pemberian jaminan, kedudukan antara CG dan debitur pailit memiliki kedudukan yang sama, dan guarator haruslah bertindak sebagai pihak yang melunasi kewajiban debitur bila si debitur gagal dalam melunasi hutangnya. Dengan demikian para pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama dan tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan merupakan persamaan hak dan seseorang tidak boleh melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti lawfull yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti seperti yang tertulis dalam perjanjian pemberian jaminan yang mana ketentuan ini merupakan pernyataan Aristoteles dengan teori keadilannya. Berdasarkan asas yang terdapat dalam kepailitan, dapat dimaknai bahwa penggunaan Pasal 1831 ayat 1,2,3,4 dan ayat 5 KUH Perdata dalam hal pemberian jaminan adalah berlaku oleh karena adanya asas dalam kepailitan yaitu asas integrasi yang menyatakan terkait hukum materiilnya, hukum perdata merupakan satu kesatuan dengan UUK-PKPU, sehingga guarantoor wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang jo.pasal 1831 ayat 1,2,3,4, dan ayat 5 KUH Perdata. 31 Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit, hal.98.

22 22 2. Konsepsi Bagian kerangka konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan sesuai dengan judul penelitian ini yang berjudul Kedudukan Corporate Guarantor Sebagai Pihak Penjamin Debitur Utama Dalam Proses kepailitan. Penjelasan konsespsional tersebut yaitu : a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. 32 Suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim (sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 2 UUK-PKPU). b. Pailit berasal dari bahasa Perancis failite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. 33 c. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan rekstrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren dan pada akhirnya jika dapat terlaksana dengan baik debitur akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibanya dan meneruskan usahanya Pasal 1 Ayat (1) UUK-PKPU. 33 Lee Aweng, Hukum Kepailitan (Faillisement) dan Penundaan Pembayaran (Surseance Van Betalling), (Medan: Bahan Ceramah Pelatihan Hakim Pengadilan Tinggi, 10 April 1998). 34 Rudhy.A.Lontoh, Op.cit, hal.173.

23 23 d. Corporate Guarantor adalah Perusahaan yang bertindak sebagai penjamin. e. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum. 35 f. Hak istimewa adalah hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitur) terlebih dahulu disita dan dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi hutangnya, kemudian baru harta kekayaan penjamin, 36 hak untuk meminta pemecahan uang, 37 dan hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditur. 38 g. Jaminan adalah tanggungan atau boroh. 39 h. Jaminan Perusahaan (corporate guarantee) adalah jaminan oleh perusahaan yang ada hubungan kepentingan bisnis antara debitur dengan penjamin/guarantor tersebut. Bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang dapat diperjanjikan dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka penjamin tersebut bersedia untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut Pasal 1 ayat (3) UUK-PKPU. 36 Pasal 1831 KUHPerdata. 37 Pasal 1837 KUHPerdata. 38 Pasal 1848 dan Pasal 1849 KUHPerdata. 39 J.C.T.simorangkir.dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal kepailitan, diakses tgl.17 april 2012.

24 24 i. Jaminan Perorangan (personal guarantee) adalah jaminan oleh pihak ketiga yang berisi pernyataan bahwa pihak ketiga tersebut bersedia menanggung utang debitur utama kepada kreditur dalam jumlah tertentu. j. Kedudukan Corporate Guarantee adalah kedudukan perusahaan pemberi jaminan berkenaan dengan hal dan tanggung jawabnya dalam kedudukanya sebagai penjamin utang debitur pailit. k. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasanya dapat ditagih di muka umum. 41 l. Kreditur Preferen adalah adalah kreditur yang memiliki hak preferensi atau hak untuk lebih diutamakan pemenuhan piutangnya. m. Kreditur Separatis adalah kreditur yang memiliki jaminan kebendaan tertentu sehingga memiliki hak diutamakan dalam pemenuhan piutang yang berasal dari benda yang dijaminkan tersebut. n. Kreditur Konkuren adalah kreditur yang tidak memiliki hak preferensi, sehingga pemenuhan piutangnya dilakukan bersama dengan kreditur konkuren lainnya. o. Kreditur Pemegang Corporate Guarantee adalah kreditur yang memegang jaminan perusahaan. p. Perjanjian Pemberi Garansi adalah suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatanya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya Dedi Harianto, Bahan Kuliah Hukum kepailitan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal.4.

25 25 q. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor 43. G. Metode Penelitian Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan kaena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan. 44 Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka metodolaogi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah- 42 Pasal 1820 KUHPerdata. 43 Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU. 44 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hal Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal.64.

26 26 kaedah atau norma-norma hukum positif. 46 Dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian untuk menganalisis hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi yang diberikan Corporate Guarantor (CG) sebagai pihak penjamin dalam kepailitan. Sifat penelitian dari tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum. 47 Dalam hal ini peraturan hukum terkait dengan penelitian tesis ini adalah UUK-PKPU dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terkait dengan jaminan yang tidak dapat dipisahkan dari kepailitan. 2. Sumber Data/Bahan Hukum Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif yang berarti mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangundangan yang diurut berdasarkan hierarki seperti peraturan perundang-undangan di bidang hukum jaminan dan hukum kepailitan yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium 46 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6.

27 27 mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian, khusunya yang berkaitan dengan hukum jaminan dan hukum kepailitan. 48 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 49 Berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet. 3. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik studi pustaka dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilih guna memperoleh asas, kaidah, norma, konsep dan doktrin hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. 4. Analisis Data Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, analisis tersebut dilakukan dengan memilih peraturanperaturan hukum tentang hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi perusahaan dalam kepailitan. Langkah selanjutnya membuat sistematika kaidah- 48 Johny Ibrahim, Op.cit, hal Ibid.

28 28 kaidah hukum dalam peraturan tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi yang relevan dengan objek permasalahan yang dibahas dalam peneltian ini. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode deduktif, yakni postulat-postulat umum sebagaimana terdapat atas norma yang terkandung dalam kaidah hukum untuk digunakan menganalisis peristiwa yang lebih khusus yakni kedudukan corporate guarantor dalam proses kepailitan.

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan perusahaan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering dijumpai perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan pembangunan merupakan dua variabel yang selalu sering mempengaruhi antara satu sama lain. Hukum berfungsi sebagai stabilisator yang mempunyai peranan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh Ida Ayu Kade Winda Swari A.A. Gede Ngurah Dirksen A.A. Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor berhenti melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada para kreditornya. Ketidakmampuan debitor dalam melakukan pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kedudukan Personal Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak Istimewanya Dalam Proses Kepailitan (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 868 K/ Pdt.Sus/ 2010) Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di pisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan para pelaku ekonomi yang secara terus menerus dari waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda bergerak maupun yang tidak berwujud. Pesatnya perkembangan masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan sarana

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan adalah salah satu sumber dana bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk membeli rumah, mobil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu menunjukkan arah untuk menyatukan ekonomi global, regional ataupun lokal, 1 serta dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya perekonomian suatu bangsa, menyebabkan pemanfaatan tanah menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama kurang lebih 32 tahun, kita baru menyadari bahwa pembangunan bidang ekonomi lebih diutamankan namun dengan mengabaikan pembangunan hukumnya. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan ini dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan ini dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan dalam dunia perekonomian nasional memberikan banyak dampak yang begitu fenomenal dan alternatif dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Pembangunan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketenagakerjaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D 101 09 397 ABSTRAK Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah akibat-akibat

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kebutuhan demi menunjang kehidupannya. Berbagai cara dilakukan oleh manusia demi menjamin kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan dan perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali pelaku usaha baik dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia bidang hukum yang meminta perhatian serius dalam pembinaan hukumnya di antara lembaga jaminan karena perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam

Lebih terperinci