Bab II Kajian Pustaka II.1. Geologi Regional Daerah Penelitian Episode Tektonik F0 Episode Tektonik F1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II Kajian Pustaka II.1. Geologi Regional Daerah Penelitian Episode Tektonik F0 Episode Tektonik F1"

Transkripsi

1 Bab II Kajian Pustaka II.1. Geologi Regional Daerah Penelitian Adanya pergerakan berupa tumbukan antara Lempeng Asia dengan Lempeng Samudra Hindia menyebabkan terbentuknya struktur geologi di Cekungan Sumatra Tengah. Posisi tumbukan yang menyudut menimbulkan dextral wrenching stress yang kuat, sehingga struktur yang banyak dijumpai di Cekungan Sumatra Tengah memiliki karakteristik wrench tectonic, seperti sesar besar bersudut, upthrust dan flower structure yang dicirikan oleh blok-blok patahan berupa rangkaian horst dan graben yang berorientasi utara-selatan. Di samping itu juga terjadi peleburan pada zona benioff yang berada di lapisan mantel, peleburan zona benioff ini menghasilkan magma diapir dengan konveksi panas yang naik, hal ini terjadi karena penipisan lempeng benua yang bertindak sebagai landasan Cekungan Sumatra Tengah. Ada 2 pola struktur utama pada Cekungan Sumatra Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen, cenderung berarah utara-selatan dan pola-pola muda berumur Neogen Akhir yang berarah barat laut-tenggara. Menurut Heidrick & Aulia (1993), perkembangan tektonik selama Tersier dapat dibagi ke dalam 4 fase sebagai berikut: Episode Tektonik F0 Batuan dasar Pra Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng benua dan samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar akan memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan selanjutnya akan mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut sebagai elemen struktur F0. Episode Tektonik F1 Episode tektonik F1 berlangsung pada Kala Eosen-Oligosen (50-26 jtl). Akibat dari tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua Asia 7

2 Tenggara sekitar 45 jtl., terbentuk suatu sistem rekahan trans-tensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan menuju Thailand, Malaysia, hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia, 1993). Perekahan ini menyebabkan terbentuknya serangkaian half graben di cekungan Sumatra Tengah. Half graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen dari Kelompok Pematang. Pada akhir episode F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan, ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan dataran peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosoil yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed. Episode Tektonik F2 Episode ini berlangsung pada Miosen Bawah-Tengah (26-13 jtl). Pada awal episode ini terbentuk sesar geser kanan (dextral) yang berarah utara-selatan. Pada episode ini juga Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan pengendapan sedimen-sedimen dari Kelompok Sihapas. Episode Tektonik F3 Episode ini berlangsung pada Kala Miosen Atas hingga sekarang (13 jtlsekarang). Pada awal episode ini terjadi pengaturan kembali Lempeng Indo- Australia. Di saat itu pulalah terjadi awal pembentukan subduksi Sumatra-Jawa dan sistem sesar geser serta busur vulkanisme Barisan. Pada akhir dari F3 terjadi tektonik kompresi yang membentuk struktur inversi raksasa, sesar naik sepanjang jalur wrench fault yang terbentuk sebelumnya pada busur F0, sesar F1, dan sesar geser utara-baratlaut hingga barat yang kemudian menjadi perangkap hidrokarbon. Pada awal episode ini Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan pengendapan sediment-sedimen dari Formasi Petani. Pada episode ini juga diendapkan Formasi Minas secara tidak selaras. 8

3 KETERANGAN: Antiklin Sesar naik ( inversi ) Sesar Geser Cekungan pullapart N 0 25 Km Gambar II.1. Peta tatanan tektonik regional Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick et al., 1996) 9

4 Tabel II.1. Diagram perkembangan tektonik Tersier di Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick et al., 1996). Garis kotak merah (Fase Rifting) merupakan fokus penelitian. II.2. Stratigrafi Regional Daerah Penelitian Secara umum, stratigrafi regional Cekungan Sumatra Tengah tersusun atas beberapa unit formasi, paling tua adalah batuan dasar (basement), Kelompok 10

5 Pematang, Kelompok Sihapas, Formasi Telisa, Formasi Petani dan Formasi Minas. 1. Batuan Dasar (Basement) Batuan dasar berumur Pra Tersier ini berfungsi sebagai landasan Cekungan Sumatra Tengah, yang dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama dengan kedudukan hampir paralel berarah utara-baratlaut hingga baratlaut yaitu: a. Mallaca Terrane Terdiri dari kuarsit, batugamping kristalin, sekis dan serpih, yang berumur 295 Ma, Ma, dan 150 Ma; yang diintrusi oleh pluton granodioritik dan granitik berumur Jura. Kelompok ini dijumpai pada dataran pantai bagian timur dan timur laut Cekungan Sumatra Tengah. b. Mutus Assemblage (Kelompok Mutus). Merupakan zona suture yang memisahkan Quartzite Terrane dan Deep-Water Assemblage. Kumpulan Mutus ini terletak di sebelah barat daya dari dataran pantai dan terdiri dari batuan ofiolit dan sedimen laut dalam. c. Graywacke Terrane Kelompok ini terletak di bagian barat daya dari Kelompok Mutus yang tersusun atas graywacke, pebbly-mudstone dan kuarsit. 2. Grup Pematang Kelompok Pematang merupakan batuan induk sumber hidrokarbon utama bagi perangkap-perangkap minyak bumi yang ada di Cekungan Sumatra Tengah dan merupakan lapisan sedimen tertua berumur Paleogen (24-65 jtl). Sedimen syn-rift Formasi Pematang ini diendapkan secara tidak selaras pada half graben yang berarah utara-selatan dan terdiri dari sedimen kipas aluvial, sungai, delta dan danau. Menurut Heidrick & Aulia (1993), dengan ditemukannya fosil ostracods, fresh water gastropods, spores, pollen, dinoflagellates, algae dan fern debris pada contoh batuan inti dan cutting di semua palung utama, serta dengan tidak hadirnya 11

6 sama sekali foraminifera memberikan indikasi lingkungan pengendapan nonmarin pada suasana lembab dan tropis. Batuan yang mendominasi adalah fanglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, batulumpur, batulempung dan serpih. Kelompok Pematang dibagi ke dalam 3 formasi, mulai dari yang tertua adalah: a. Formasi Lower Red Bed, terdiri dari batulempung, batulanau, batupasir arkose dan konglomerat yang diendapkan pada lingkungan darat dengan sistem pengendapan kipas aluvial dan berubah secara lateral menjadi lingkungan sungai dan danau. Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 3000 kaki. b. Formasi Brown Shale, terdiri dari serpih berlaminasi baik, warna coklat sampai hitam dan kaya akan material organik yang mengindikasikan lingkungan pengendapan danau dengan kondisi air yang tenang. Formasi dengan ketebalan lebih dari 600 kaki ini diyakini sebagai penghasil minyak dan gas bumi yang terdapat di Cekungan Sumatra Tengah. c. Formasi Upper Red Bed, terdiri dari batupasir, konglomerat dan serpih merah kehijauan yang diendapkan pada lingkungan lakustrin. 3. Grup Sihapas Kelompok Sihapas diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Pematang. Unit-unit sedimennya merupakan sekuen transgresi hasil perubahan dari lingkungan darat menjadi fluvio-deltaic. Kelompok Sihapas dibagi ke dalam 4 formasi, berurutan dari tua ke muda adalah sebagai berikut : a. Formasi Menggala (Miosen Bawah/N4). Diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok Pematang dan memiliki ketebalan sekitar 1800 kaki. Terdiri dari batupasir halus-kasar yang bersifat konglomeratan dengan lingkungan pengendapan braided river non-marin. b. Formasi Bangko (Miosen Bawah/N5). Diendapkan selaras di atas Formasi Menggala dan memiliki ketebalan sekitar 300 kaki. Litologi berupa serpih 12

7 abu-abu gampingan berseling dengan batupasir halus-sedang yang diendapkan pada lingkungan estuarine. c. Formasi Bekasap (Miosen Bawah/N6). Diendapkan selaras di atas Formasi Bangko dengan tebal mencapai 1300 kaki. Litologinya berupa batupasir dengan kandungan glaukonit di bagian atasnya serta sisipan serpih, batugamping tipis dan lapisan batubara yang diendapkan pada lingkungan estuarine, intertidal, inner-outer neritic. d. Formasi Duri (Miosen Bawah/N7-N8). Diendapkan selaras di atas Formasi Bekasap dengan lingkungan pengendapan barrier bar complex dan delta front. Litologinya berupa batupasir berukuran halus-sedang berseling dengan serpih dan sedikit batugamping dengan tebal mencapai 900 kaki. e. Formasi Telisa (Miosen Bawah-Tengah/N6-N11). Mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Bekasap di sebelah baratdaya dan dengan Formasi Duri di sebelah timurlaut. Formasi ini terdiri dari suksesi batuan sediment yang didominasi oleh serpih dengan sisipan batulanau gampingan. Lingkungan pengendapannya mulai dari neritic sampai non-marin dengan ketebalan mencapai 1600 kaki. f. Formasi Petani (Miosen Tengah-Pliosen Bawah/N9-N21). Diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Telisa. Formasi ini terdiri dari sekuen monoton serpih-mudstone dan berisi interkalasi batupasir minor dan batulanau dimana semakin ke atas menunjukkan lingkungan pengendapan yang semakin dangkal yaitu dari laut menjadi daerah payau. Ketebalan formasi ini mencapai 6000 kaki dan merupakan awal dari fase regresi yang menunjukkan akhir dari periode panjang transgresi di Cekungan Sumatra Tengah. g. Formasi Minas (Kuarter). Diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Petani. Litologinya terdiri dari lapisan-lapisan tipis konglomerat, pasir kuarsa, pasir lepas, kerikil, dan lempung yang merupakan endapan fluvial dari zaman Pleistosen hingga saat ini. 13

8 Tabel II.2. Kolom Stratigrafi Umum Cekungan Sumatra Tengah (Eubank & Makki, 1981 dalam Heidrick et al., 1996). Garis kotak merah menunjukan fokus penelitian yang akan dilakukan. II.3. Tektonostratigrafi Paleogen Daerah Penelitian Studi yang khusus dilakukan untuk mengevaluasi tektonostratigrafi Formasi Pematang telah banyak dilakukan oleh para ahli geologi di Chevron, Texaco dan Caltex, misalnya: 14

9 1. Central Sumatra Pematang Trough Study (1985), yang membagi secara litostratigrafi Kelompok Pematang menjadi 3 bagian yaitu Lake Fill Fm., Brownshale Fm., dan Lower Red Beds Fm. 2. Central Area Study for New Hydrocarbons - CASH (1986), yang melanjutkan penelitian tahun 1985 dan secara umum hasilnya tidak berbeda dengan penelitian tersebut. 3. Central Sumatra Areas Resource Evaluation - CARE (1996), yang membagi Kelompok Pematang menjadi 3 bagian yaitu Upper Red Beds, Brownshale Fm., dan Lower Red Beds Fm. Pembagian ini dilakukan berdasarkan kronostratigrafi. 4. Central Sumatra Deep Gas Projects (1998), yang membagi Kelompok Pematang menjadi 4 tahapan yaitu Braided fluvial (Stage IV), Mixed (Stage III), Lacustrine (Stage II) dan Meandering fluvial (Stage I). Paketpaket Kelompok Pematang ini dijelaskan menyeluruh secara litostratigrafi dan kronostratigrafi. Paket-paket tersebut dikontrol oleh eustasi. 5. Lithofacies and Reservoir Character: Brownshale and Lower Red Beds Sandstone, Pematang Group (Dawson, 1988), yang membagi, secara litostratigrafi, Kelompok Pematang menjadi 3 bagian yaitu Upper Red Beds Fm., Brownshale Fm., dan Lower Red Beds Fm. Pada tahun 1993, Prosser mengajukan suatu konsep tektonostratigrafi yang terkait dengan pembentukan rift dan sistem pengendapannya. Prosser membagi Tectonic System Tracts pada rift menjadi 5 tahap, yaitu: 1. Pre-rift (S1) Pada fase ini hanya terdapat basement dan merupakan fase sebelum terbentuknya rift. 2. Rift Initiation (S2) Pada fase ini terjadi: a. Pergerakan sesar yang pertama yang disebabkan oleh adanya tekanan ke bawah dari permukaan kerak bumi. 15

10 b. Sedimentasi yang volumenya sama dengan penyusutan bidang permukaan. Sistem axial river berupa channel dan interchannel berkembang di fase ini (Gambar II.3.a dan Gambar II.3.b) Gambar II.2. Sistem trak dari rift initiation. (a) blok diagram secara umum. (b) Diagram skematik secara cross-section (Prosser, 1993). 3. Rift Climax (S3) Merupakan fase paling penting dalam pembentukan rift karena pada fase ini kelak akan menjadi batuan sumber (source rock) yang potensial untuk menyimpan hidrokarbon. Pada fase ini merupakan sistem dengan kecepatan tertinggi dari pergerakan sesar (Gambar II.4). Pada fase ini terjadi sedimentasi yang volumenya hanya sedikit mengisi pada penyusutan bidang permukaan yang luas. Gambar II.3. Sistem trak dari rift climax. (a) blok diagram secara umum. (b) Diagram skematik secara cross-section (Prosser, 1993). 16

11 a. Early-Rift Climax (Gambar II.4.a) Karakteristik dari sistem pengendapan ini adalah adanya aggradation pada footwall dan terjadi progradasi sekuen offlap dan downlap pada hangingwall. b. Mid-Rift Climax (Gambar II.4.b) Karakterisasi dari sistem trak ini adalah perubahan geometri aggradation dan retrogradation pada sekuen hangingwall dan terjadi pengendapan sedimen yang merupakan kelanjutan aggradation dari early rift climax pada footwall. c. Late-Rift Climax (Gambar II.4.c) Karakteristik sistem ini adalah adanya topografi baru yang melingkupi cekungan dari footwall menerus ke hangingwall dengan ketebalan yang konstan. (a) (b) (c) Gambar II.4. Sistem trak dari (a) early rift climax, (b) mid-rift climax dan (c) late-rift climax (Prosser, 1993). 4. Immediate Post-rift (S4) Sistem trak ini adalah akhir pergerakan tektonik. Amblesan (subsidence) atau penurunan lebih kecil daripada pengendapan. Karakteristik sistem ini antara lain kemiringan yang berkurang pada hangingwall yang melewati sesar dan kecepatan dari pergerakan amblesan yang juga mengalami penurunan (gambar II.5). 5. Late Post-rift (S5) Pada trak ini amblesan atau penurunan dimungkinkan sudah tidak terjadi lagi. Sehingga pengendapan cenderung berbentuk horisontal. Pengendapan lebih dikontrol oleh perubahan muka air laut (eustasi) dan iklim. 17

12 Karaktersitik dari sistem trak ini adalah adanya proses sedimentasi dan degradasi pada fault block crest (Gambar II.6.). Gambar II.5. Sistem trak dari immediate post rift. (a) blok diagram secara umum. (b) Diagram skematik secara cross-section (Prosser, 1993). Gambar II.6. Sistem trak dari late post rift (2.a) blok diagram secara umum. (2.b) Diagram skematik cross-section (Prosser, 1993). II.4. Dasar Teori Dekomposisi Spektral Dekomposisi spektral memberikan sebuah gagasan dalam memberdayakan data seismik dan Transformasi Fourier Diskret (Discret Fourier Transform, DFT) untuk penggambaran dan pemetaan lapisan tipis dan diskontinuitas geologi pada suatu data seismik 3 dimensi. Data seismik yang ditransformasikan dari daerah asal (domain) waktu ke frekuensi melalui DFT, spektrum amplitudo dapat mendelineasikan variabilitas dari lapisan tipis, sementara spektrum fase mengindikasikan diskontinuitas geologi secara lateral. Dekomposisi spektral secara praktis dapat digunakan untuk mendelineasikan tatanan stratigrafi (seperti 18

13 channel batupasir) dan tatanan struktur yang melibatkan sistem sesar kompleks dalam survei seismik 3 dimensi (Partyka et al., 1999). Widess (1973) merintis penggunaan metode untuk menguantifikasikan ketebalan suatu lapisan tipis. Metode yang diperkenalkan oleh Widess menggunakan separasi antara puncak dan palung (peak and trough) dalam kaitannya dengan amplitudo gelombang seismik. Metode ini sangat bergantung pada proses pengolahan data yang sangat akurat untuk menghasilkan suatu fase wavelet dan amplitudo tras dengan tras sebenarnya (true trace-to-trace amplitude). Meskipun serupa secara konteks, dekomposisi spektral menawarkan sebuah metode menggunakan spektrum amplitudo yang tidak bergantung pada fase dan didesain untuk mengetahui tanggap suatu lapisan tipis pada data seismik 3 dimensi (Partyka et al., 1999). Konsep di belakang dekomposisi spektral dijelaskan pada gambar II.7., yaitu tanggap suatu refleksi suatu gelombang seismik yang merambat melalui suatu lapisan tipis yang mana dalam domain frekuensi memiliki karakter unik yang diindikasikan sebagai lapisan tipis. Karakter unik ini tidak dapat di-resolusikan secara detil pada domain waktu. Jadi inti dari Dekomposisi Spektral adalah hubungan antara ketebalan dengan frekuensi pada data seismik yang berbanding terbalik. Hubungan antara ketebalan dan frekuensi tersebut dapat digambarkan secara matematis sebagai berikut: 1 f ~ (4) T dengan f adalah frekuensi seismik dalam Hz dan T adalah ketebalan dalam unit waktu. II.4.1. Dekomposisi Spektral pada Data Seismik Dekomposisi Spektral telah sering digunakan pada pengolahan data seismik antara lain spektral analisis, penapisan frekuensi, karakteristik wavelet dan sebagainya 19

14 namun di beberapa tahun belakangan ini telah diaplikasikan pula pada intepretasi data seismik 3D (Partyka et al., 1999). Gambar II.7. Penggambaran spektral suatu lapisan tipis (Partyka et al., 1999) Secara konvensional, intepretasi data seismik dikerjakan pada anomali amplitudo berdasarkan frekuensi dominan pada data seismik. Sedangkan pada Dekomposisi Spektral menggunakan komponen discrete pada bandwidth seismik. Komponen frekuensi sendiri dapat digunakan untuk mengintepretasi dan mengetahui detil halus dari stratigrafi bawah permukaan. Pendekatan yang paling umum dilakukan untuk mengkarakterisasi reservoir menggunakan dekomposisi spektral adalah melalui suatu zona yang biasa disebut tuning cube. Konsep dasar dari tuning cube adalah bahwa refleksi dari lapisan tipis memiliki karakteristik penggambaran yang baik pada kawasan frekuensi. Penggambaran karakteristik ini menunjukkan ketebalan lapisan tipis yang dapat dihasilkan di bawah ¼ panjang gelombang. Berdasarkan pada pemisahan waktu puncak dan lembah pada wavelet, perhitungan ketebalan dapat memecahkan problem ini lebih baik dari ¼ panjang gelombang. Secara matematis, pemilihan ketebalan ditunjukkan dengan persamaan: 1 tuning thickness = (5) 2 way time ( 2 * frequency ) 1st do min ant Persamaan diatas didasarkan pada persamaan ¼ panjang gelombang sebagai berikut: 20

15 Δ tuning z = λ / 4 (6) Dimana λ adalah panjang gelombang, sehingga diperoleh persamaan: ( T / 2) V Δ z tuning = * (7) Dimana T adalah dua kali waktu tempuh gelombang dan V adalah cepat rambat gelombang. Dan persamaan cepat rambat gelombang tersebut sebagai berikut: V = λ * f (8) Pada tuning cube, data seismik 3D yang telah dikenai hasil akhir pemrosesan migrasi seismik, diintepretasikan sehingga diperoleh suatu fokus objek yang akan diproses selanjutnya. Setelah diperoleh fokus objek tersebut kemudian data tersebut ditransformasikan ke dalam domain frekuensi dan dapat dilakukan sayatan frekuensi pada data tersebut. Sayatan frekuensi ini sering disebut tuning map. Tuning map dapat digunakan untuk mengidentifikasi tekstur dan pola pada saat proses geologi. Langkah ini dapat dilihat pada gambar II.8. Gambar II.8. Transformasi data amplitudo atau fase ke domain frekuensi dalam bentuk tuning cube (Partyka et al., 2005) Sebelum dikenai keseimbangan spektral, tuning cube terdiri dari 3 komponen, yaitu lapisan tipis, gelombang seismik, dan random noise (Gambar II.9.). Setelah dikenai keseimbangan spektral (Gambar II.10.), komponen tuning cube 21

16 berkurang. Gelombang seismik yang semula ikut menyusun tuning cube dihilangkan sehingga komponen tuning cube terdiri dari lapisan tipis dan random noise (Gambar II.11.). Data seismik biasanya memiliki jangkauan data dengan frekuensi antara Hz Bandwidth, sehingga data ini mengandung energi yang direfleksikan dari bawah permukaan pada jangkauan frekuensi yang lebar. Pada kondisi ini dapat membantu melihat refleksi dari amplitudo atau fase pada frekuensi tertentu. Pemilihan amplitudo menunjukkan hubungan jarak pada kontras impedansi akustik. Ini dapat juga disebut sebagai contoh pemetaan dari pelemahan sinyal frekuensi tinggi akibat adanya hidrokarbon yang terdeteksi. Analisis Dekomposisi Spektral menentukan variasi amplitudo dengan frekuensi dan penguatan pada distribusi bentuk stratigrafi, sesar dan rekahan dan atau hidrokarbon. Gambar II.9. Tuning cube sebelum dikenai spectral balance (Partyka et al., 1999). Secara umum, dekomposisi spektral terdiri dari tiga langkah kerja (Partyka et.al., 1999), yaitu: 1. Pemrosesan dengan jendela analisis yang tidak menerus (discontinue) pada intepretasi horison seismik. Pemrosesan ini mentransformasikan data amplitudo atau fase pada domain frekuensi (dengan kata lain, menggambarkan frekuensi pada arah z, yang menggambarkan amplitudo atau fase pada Hz). Banyak disebut juga sebagai tuning cube. 2. Pemrosesan data pada kawasan waktu (running window). Hasilnya adalah volume flat yang dipilih pada frekuensi tertentu. Menggunakan volume flat memberikan arti yang mendalam pada interval evolusi geologi hingga 22

17 dipilih volume yang menunjukkan reservoir pada alur kerja yang pertama, tetapi dengan penambahan dimensi waktu geologi. Seperti sebelumnya, pemodelan respon frekuensi tidak tergantung pada ketebalan yang berbeda, geometri dan ciri fluida akan meningkatkan nilai intepretasi. 3. Penilaian secara kuantitatif pada ketebalan lapisan pada jendela analisis tanpa memerlukan intepretasi seismik yang akurat atau fase yang penting. Peta perkiraan ketebalan dengan mudah diperoleh dari atribut frekuensi puncak spektral yang pertama pada spektrum amplitudo untuk trace lain. Gambar II.10. Proses spectral balancing pada tuning cube. (Partyka, et al., 1999). Gambar II.11. Tuning cube setelah dikenai spectral balance. (Partyka et al., 1999). 23

18 II.4.2. Model Konvolusi Dekomposisi Spektral dengan menggunakan Discrete Fourier Transform diaplikasikan untuk menentukan adanya lapisan tipis dan mendeteksi ketidakmenerusan (diskontinuitas) yang halus (Partyka et al., 2005). Pada analisis jendela panjang, kondisi geologi sulit diprediksi dan pada domain frekukensi tidak tampak adanya reflektivitas wavelet (Gambar II.12.). Sedangkan pada analisis jendela pendek, terlihat refleksi wavelet yang menunjukkan filter lokal geologi yang teratur pada kawasan frekuensi (Gambar II.13.). Gambar II.12. Analisis Pemrosesan wavelet dalam jendela analisis panjang (Partyka et al., 1999). Gambar II.13. Analisis Pemrosesan wavelet dalam jendela analisis pendek (Partyka et al., 1999). 24

19 II.4.3. Metode Discrete Fourier Transform (DFT) Metode Discrete Fourier Transform adalah metode yang ditetapkan oleh British Petroleum (Landmark, 2003) yang didasarkan pada transformasi data seismik dari kawasan waktu g(t) ke kawasan frekuensi G(f). G 2πift ( f ) g( t) e dt = (8) Secara matematis, algoritma dari Discrete Fourier Transform ditunjukkan pada persamaan: DFT N 1 j= 0 ( ) ( ) ( 2π a j e ijk ) / = N = A k (9) Dimana i = 1 adalah nilai amplitudo trace seismik pada sampel, A (k) adalah nilai amplitudo trace yang telah ditransformasikan pada frekuensi k, dan N adalah nomor sampel pada window. Secara umum, metode DFT bekerja lebih baik pada analisis window 30 ms atau yang lebih besar. Untuk menganalisis data, metode DFT paling banyak digunakan pada atau diatas tuning thickness. II.4.4. Metode Maximum Entrophy (MEM) Metode Entropi Maksimum (Maximum Entrophy Method, MEM) adalah metode yang ditetapkan oleh Apache Oil (Landmark, 2003) yang didasarkan pada persamaan transformasi Z sebagai berikut: Z = e 2πifΔ Dimana Δ adalah interval sampel pada kawasan waktu. Metode Entropi Maksimum memiliki kemampuan yang baik untuk memperbesar fitur pada bagian yang sangat tipis dan sempit. (15) Spektrum Entropi Maksimum mempunyai kemampuan yang baik untuk memperbesar fitur yang sangat tipis dan sempit. Kerugian dari metode ini adalah selalu akan mencari spektral spike, walaupun pada dasarnya spektrum tersebut flat. Untuk alasan ini, dapat selalu dilakukan kontrol kualitas pada hasil ME dengan metode DFT atau dengan menggunakan horizon Kurtosis. Metode ini 25

20 bekerja dengan baik pada window 30 ms atau kurang. Untuk menganalisis, metode entropi maksimum (ME) lebih banyak digunakan pada atau di bawah tuning thickness. 26

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1 Kerangka Tektonik dan Geologi Regional Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatra yang secara fisiografi berarah baratlaut merupakan perpanjangan ke selatan dari Lempeng Benua Eurasia, tepatnya berada pada batas barat dari Sundaland. Posisi

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang (back arc basin) yang berkembang di sepanjang pantai barat dan selatan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH Cekungan Sumatra Tengah merupakan salah satu cekungan besar di Pulau Sumatra. Cekungan ini merupakan cekungan busur belakang yang berkembang di sepanjang

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah secara fisiografis terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi Regional Menurut Heidrick dan Aulia (1993) Cekungan Sumatra Tengah terletak di antara Cekungan Sumatra Utara dan Cekungan Sumatra

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI DERAH PENELITIAN

BAB 2 GEOLOGI DERAH PENELITIAN BAB 2 GEOLOGI DERAH PENELITIAN 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografis Regional Cekungan Sumatra Tengah Secara fisiografis (Gambar 2.1.), Cekungan Sumatra Tengah berada diantara Cekungan Sumatra Utara dan

Lebih terperinci

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency Peta isokron pada gambar IV.14 di atas, menunjukan bagaimana kondisi geologi bawah permukaan ketika sistem trak rift-climax tahap awal dan tangah diendapkan. Pada peta tersebut dapat dilihat arah pengendapan

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik persiapan data, analisis awal (observasi, reconnaissance) untuk mencari zone of interest (zona menarik), penentuan parameter dekomposisi spektral yang tetap berdasarkan analisis awal, pemrosesan dekomposisi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1. Pendahuluan Indonesia merupakan hasil dari evolusi dan interaksi dari gerak Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Pasifk, dan Lempeng Indo-Australia (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Batasan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahap eksplorasi di Cekungan Sumatra Tengah sudah mencapai tahap mature field, dengan segala sumber daya alam hidrokarbon yang ada akan diekstraksi. Salah satu formasi

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Cekungan Sumatera Tengah II.1.1 Stratigrafi Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari satuan-satuan stratigrafi dari tua ke muda yaitu : Batuan dasar atau basement

Lebih terperinci

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz Pada tahap akhir pembentukan sistem trak post-rift ini diendapkan Formasi Menggala yang merupakan endapan transgresif yang melampar di atas Kelompok Pematang. Formasi Menggala di dominasi oleh endapan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH Objek penelitian penulis terletak di Sumatera Tengah, yang secara fisiografis terletak di antara Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Sumatera Tengah terbentuk

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II KERANGKA GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB II KERANGKA GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi Regional Cekungan Sumatera Tengah berada di tepian Mikrokontinen Sunda yang merupakan bagian dari Lempeng Eurasia dan merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah

BAB II GEOLOGI REGIONAL Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Secara fisiografi, daerah penelitian berada pada Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 2.1 Geologi Regional Secara fisiografi, daerah penelitian berada pada Cekungan Sumatra Tengah. Cekungan Sumatra Tengah dipercayai merupakan cekungan busur sejak Neogen.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 GEOLOGI REGIONAL II.1.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada pada Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan Sumatera Tengah dipercayai merupakan cekungan busur sejak Neogen.

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional. II.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah. II.1.1. Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Sumatera Tengah

Bab II Geologi Regional. II.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah. II.1.1. Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Sumatera Tengah Bab II Geologi Regional II.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah II.1.1. Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Sumatera Tengah Lapangan minyak RantauBais secara regional berada pada sebuah cekungan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian

Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian Bab IV Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral dalam interpretasi paleogeografi di daerah penelitian dilakukan setelah

Lebih terperinci

APLIKASI DEKOMPOSISI SPEKTRAL DALAM INTERPRETASI PALEOGEOGRAFI SISTEM LAKUSTRIN- RIFT DI SUB-CEKUNGAN AMAN UTARA, CEKUNGAN SUMATRA TENGAH TESIS

APLIKASI DEKOMPOSISI SPEKTRAL DALAM INTERPRETASI PALEOGEOGRAFI SISTEM LAKUSTRIN- RIFT DI SUB-CEKUNGAN AMAN UTARA, CEKUNGAN SUMATRA TENGAH TESIS APLIKASI DEKOMPOSISI SPEKTRAL DALAM INTERPRETASI PALEOGEOGRAFI SISTEM LAKUSTRIN- RIFT DI SUB-CEKUNGAN AMAN UTARA, CEKUNGAN SUMATRA TENGAH TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Regional Pulau Sumatera terbentuk oleh subduksi dari dua mikrokontinen pada Pratersier Akhir (Pulunggono dan Cameron 1984, Barber 1985) dan pada saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional Cekungan Natuna Barat berada pada kerak kontinen yang tersusun oleh batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur Awal Kapur Akhir. Cekungan ini dibatasi oleh

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 3. Gridley, J., dan Partyka, G. (1997), Processing and Interpretational Aspects of Spectral Decomposition.

DAFTAR PUSTAKA. 3. Gridley, J., dan Partyka, G. (1997), Processing and Interpretational Aspects of Spectral Decomposition. DAFTAR PUSTAKA 1. Asnidar (2005), Analisis Penyebaran Reservoir Batupasir Upper Red Beds Menggunakan Metode Inversi dan Atribut Seismik di Sub-cekungan Aman Utara, Tesis S2 Teknik Geofisika Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari beberapa formasi yang telah dijelaskan sebelumnya pada stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah.

Lebih terperinci

Kerangka Geologi Daerah Penelitian

Kerangka Geologi Daerah Penelitian Bab II Kerangka Geologi Daerah Penelitian II.1 Geologi Regional Daerah Penelitian Lapangan Batang terletak di Sumatera Tengah. Sumatra Tengah dibatasi oleh paparan sunda di sebelah timur, disebelah Barat

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Kerangka Tektonik Indonesia dianggap sebagai hasil pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, dan Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

Gambar III.26 Atribut seismik pada horison Pematang 5 mewakili geometri sedimen mid maximum rift

Gambar III.26 Atribut seismik pada horison Pematang 5 mewakili geometri sedimen mid maximum rift RMS Amplitude Delta Footwall-1 7300 7400 dalam 7500 7600 Rawa & sungai dalam Jalur transport sedimen Rawa sungai 7700 7800 7900 8000 8100 High amp 8200 dalam 8300 8400 Low amp 8500 8600 Spectral Decomposition

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

Extivonus K.Fr ( ) Geologi Indonesia

Extivonus K.Fr ( ) Geologi Indonesia 1. Dari titik pandang struktur geologi, kita mengenal 3 pola struktur yang dominan di Pulau Sumatera. Coba anda jelaskan ketiga pola tersebut dari yang tua ke muda! Coba anda jelaskan juga (beri alasan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH DAN GEOLOGI KOTABATAK

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH DAN GEOLOGI KOTABATAK BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH DAN GEOLOGI KOTABATAK 2.1 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA TENGAH Secara fisiografi, daerah penelitian berada pada Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

memiliki hal ini bagian

memiliki hal ini bagian BAB III TATANANN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km 2 dan memiliki ketebalan sedimen antara 12.000 14..000 meter hal ini menyebabakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Dalam mencari cadangan minyak dan gas bumi, diperlukan adanya kegiatan eksplorasi hidrokarbon, salah satunya dengan mengevaluasi sumur sumur migas yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM Cekungan Asri merupakan bagian dari daerah operasi China National Offshore Oil Company (CNOOC) blok South East Sumatera (SES). Blok Sumatera Tenggara terletak pada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

III. TEORI DASAR. gelombang akustik yang dihasilkan oleh sumber gelombang (dapat berupa

III. TEORI DASAR. gelombang akustik yang dihasilkan oleh sumber gelombang (dapat berupa III. TEORI DASAR 3.1 Konsep Seismik Refleksi Seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk mengetahui keadaan di bawah permukaan bumi. Metode ini menggunakan gelombang akustik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Era eksplorasi dengan target jebakan struktur pada reservoir-reservoir Kelompok Sihapas yang berumur Miosen dengan lingkungan pengendapan laut tidak banyak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB IV GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN IV.1 Tektonik Regional Tatanan tektonik Cekungan Sumatra Tengah tidak terlepas dari Mandala Tektonik Regional Pulau Sumatera dan tektonik Asia Tenggara secara

Lebih terperinci

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ii PERNYATAAN.. iii KATA PENGANTAR.. iv SARI... v ABSTRACT.. vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Pendahuluan Pulau Kalimantan berada di tenggara dari lempeng Eurasia besar. Di sebelah utara berbatasan dengan lempeng semudra Laut Cina Selatan, di timur dibatasi oleh sabuk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Letak Geografis Daerah Penelitian Daerah penelitian, yaitu daerah Cekungan Sunda, secara umum terletak di Laut Jawa dan berada di sebelah Timur Pulau Sumatera bagian Selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku

Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di. Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Salah satu reservoir utama di beberapa lapangan minyak dan gas di Cekungan Sumatra Selatan berasal dari batuan metamorf, metasedimen, atau beku berumur Paleozoic-Mesozoic

Lebih terperinci

BAB IV PENAFSIRAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PENAFSIRAN DAN PEMBAHASAN BAB IV PENAFSIRAN DAN PEMBAHASAN IV.1 Penafsiran Data Seismik Data seismik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data seismik Supercube CS South yang merupakan gabungan beberapa survei seismik 3 dimensi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 4 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Struktur Regional Struktur PRB terletak kurang lebih 57 km arah baratlaut dari Pangkalan Berandan dan termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakan busur yang dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timur laut, ketinggian Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang berada di belakang busur dan terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Cekungan Sumatera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Morfologi Pulau Sumatra memiliki orientasi baratlaut yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng Benua Eurasia. Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR Terdapat tiga domain struktur utama yang diinterpretasi berdasarkan data seismik di daerah penelitian, yaitu zona sesar anjakan dan lipatan di daerah utara Seram

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI UMUM

BAB III GEOLOGI UMUM BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang berbentuk asimetris, dibatasi oleh sesar dan singkapan batuan Pra-Tersier yang mengalami pengangkatan di bagian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

Bab III Tektonostratigrafi Kelompok Pematang Sub Cekungan Barumun

Bab III Tektonostratigrafi Kelompok Pematang Sub Cekungan Barumun Bab III Tektonostratigrafi Kelompok Pematang Sub Cekungan Barumun III.1. Data dan Metodologi III.1.1. Data Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi data lebih dari 1000 km seismik 2D eks

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penerapan Cadzow Filtering Cadzow filtering adalah salah satu cara untuk menghilangkan bising dan meningkatkan strength tras seismik yang dapat dilakukan setelah koreksi NMO

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Kerangka Tektonik (a) 5 (b) Gambar 1. Posisi tektonik Cekungan Sumatera Selatan dan pembagian subcekungan di Cekungan Sumatera Selatan (Laporan Internal PT. PERTAMINA EP Asset

Lebih terperinci

Bab II Kerangka Geologi

Bab II Kerangka Geologi Bab II Kerangka Geologi II.1 Tatanan Tektonik Tiga konfigurasi struktural dapat ditentukan dari utara ke selatan (Gambar II.1) yaitu Paparan Utara, Dalaman Tengah dan Pengangkatan Selatan (Satyana, 2005).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Sumatera Barat South West Bukit Barisan merupakan nama blok konsesi minyak dan gas bumi yang terletak di daerah onshore di bagian tengah Sumatera Barat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Lapangan YTS Lapangan YTS adalah lapangn minyak yang terletak di Cekungan Sumatra Selatan dan dikelola oleh PT. Medco E & P sebagai lapangan terbesar penghasil

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Tatanan Geologi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan sedimentasi berumur Tersier di Indonesia dan terletak di Kalimantan bagian timur. Fisiografi Cekungan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian

I.2 Latar Belakang, Tujuan dan Daerah Penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Topik Kajian Topik yang dikaji yaitu evolusi struktur daerah Betara untuk melakukan evaluasi struktur yang telah terjadi dengan mengunakan restorasi palinspatik untuk mengetahui mekanismenya

Lebih terperinci

STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN LAPANGAN X, NORTH X, NORTH Y, Y, DAN Z, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BERDASARKAN ANALISIS DATA SEISMIK KARYA TULIS ILMIAH

STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN LAPANGAN X, NORTH X, NORTH Y, Y, DAN Z, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BERDASARKAN ANALISIS DATA SEISMIK KARYA TULIS ILMIAH STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN LAPANGAN X, NORTH X, NORTH Y, Y, DAN Z, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BERDASARKAN ANALISIS DATA SEISMIK KARYA TULIS ILMIAH Oleh : Ade Nurmasita 270110100013 UNIVERSITAS PADJADJARAN

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

Sekuen Stratigrafi Rift System Lambiase (1990) mengajukan pengelompokan tektonostratigrafi cekungan synrift yang terbentuk dalam satu satu siklus

Sekuen Stratigrafi Rift System Lambiase (1990) mengajukan pengelompokan tektonostratigrafi cekungan synrift yang terbentuk dalam satu satu siklus BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Sekuen Stratigrafi Rift System Lambiase (1990) mengajukan pengelompokan tektonostratigrafi cekungan synrift yang terbentuk dalam satu satu siklus tektonik menjadi rift initiation,

Lebih terperinci