BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah lakunya diatur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah lakunya diatur"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah lakunya diatur oleh hukum sebagai patokan bahwa hukum dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Negara Republik Indonesia tentu ingin mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Penegakan HAM bukan saja merupakan masalah yang dihadapi oleh negara-negara tertentu saja, melainkan sudah merupakan masalah yang sifatnya mendunia. Artinya masalah ini akan selalu dihadapi oleh masyarakat internasional, termasuk Indonesia. Dengan demikian, persoalan hak-hak asasi manusia ini mengandung aspek universal dan lintas budaya. 1 Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai 1 B. Hestu Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 272.

2 2 mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Salah satu materi yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah mengenai jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia warga negara. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa masalah HAM menjadi salah satu materi yang dimuat di dalam konstitusi atau Undang- Undang Dasar? Jawaban atas pertanyaan ini adalah karena negara sebagai organisasi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut, oleh sebab itu untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka dalam UUD NRI Tahun 1945 akan selalu memuat kekuatan mengenai hal ini. Dalam sejarah pemikiran negara dan hukum menunjukkan bahwa negara selalu dikonotasikan sebagai suatu lembaga yang mempunyai keabsahan untuk memaksakan kehendak kepada warga negaranya. 2 Konstitusi dibentuk sejatinya adalah untuk membatasi kekuasaan, agar tidak diterapkan secara sewenang-wenang. Dengan demikian pengaturan mengenai HAM akan selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam suatu konstitusi negara, bahkan salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya jaminan hak-hak asasi manusia, di samping pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas. 3 Bagi Indonesia, wacana HAM masuk dengan indah ke dalam benakbenak anak bangsa. HAM diterima, dipahami, dan diaktualisasikan dalam 2 Ibid. 3 Ibid.

3 3 bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosio-politis yang berkembang. Dalam konteks reformasi, pemikiran ke arah bentuk jaminan HAM yang lebih kokoh semakin mendapatkan momentumnya. Perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah fakta sejarah sekaligus diyakini sebagai the starting point bagi penguatan demokrasi Indonesia yang berbasis perlindungan HAM. Dalam tataran realitas, kemajuan normativitas HAM belum berjalan dengan maksimal, pelanggaran HAM masih terjadi secara masif. HAM acapkali mengalami reduksi dan deviasi makna. HAM dipahami sebagai hak absolut tanpa mengindahkan pentingnya kehadiran kewajiban asasi manusia (KAM). Pendekatan ini tidak jarang menghasilkan upaya pemaksaan kehendak bertameng kepentingan dan kebaikan bersama. Sulit memahami bagaimana dorongan kuat untuk membela HAM ternyata mengandung perbuatan yang justru melanggar HAM itu sendiri. HAM berubah menjadi dua sisi dari sebuah mata pisau. Pada satu sisi mengedepankan dimensi humanitas manusia, tetapi pada sisi yang lain HAM dipandang terlalu menakutkan bagi setiap orang terlebih bagi pengambil kebijakan karena didalamnya dengan hegemoni dan kooptasi. 4 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membawa perubahan yang fundamental di dalam sistem peradilan pidana, yang mengutamakan perlindungan HAM, dimana rakyat dapat menghayati hak dan kewajibannya. 5 Adanya pengaturan HAM dalam bentuk hak-hak tersangka atau terdakwa membuat KUHAP sebagai karya besar 4 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm Hendrastanto Yudowidagdo dkk, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 22.

4 4 bangsa Indonesia. 6 KUHAP memuat seluruh proses penyelesaian perkara pidana, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, (penyelidikan dan / atau penyidikan), penuntutan, pemeriksaan lanjutan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga eksekusi dan pengawasan pelaksanaan eksekusi. Di samping itu, salah satu asas yang paling hakiki dari KUHAP adalah memberi penghormatan atas harkat dan martabat manusia sesuai dengan Pancasila. 7 KUHAP dipandang sudah lengkap dan merupakan karya besar bangsa Indonesia pada saat itu, namun dalam perkembangannya ternyata masih dirasa kurang memberikan perlindungan terhadap tersangka. Para penganut teori positivistik dalam ilmu hukum juga menyadari bahwa tidak ada satupun Undang-Undang yang dapat dianggap lengkap dan sempurna, begitupun dengan KUHAP tetap memiliki sisi kelemahan atau kekurangan, baik dalam perumusan pasal-pasalnya maupun pelaksanaannya. Dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Yang dimaksud dengan bukti permulaan terkait dengan penangkapan, dalam Pasal 17 KUHAP mengatur mengenai perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14. Jika berhubungan dengan penahanan, dalam 6 Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm P. Bambang Siswoyo, 1983, Komentar Sekitar KUHAP, Mayasari, Solo, hlm. 10.

5 5 Pasal 21 ayat (1) KUHAP memberi pedoman bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Di dalam KUHAP, jika merujuk pada Pasal 1 angka 14, Pasal 17 serta penjelasannya, dan Pasal 21 ayat (1), ada berbagai istilah yang digunakan yaitu bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup, tetapi KUHAP tidak memberikan pengertian secara jelas, dan juga tidak mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut, namun di dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 memuat bahwa frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. KUHAP tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan penuntutan. KUHAP hanya mengatur mengenai kecukupan dan kelengkapan alat bukti sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan. Adapun jangka waktu penahanan dalam setiap tingkat pemeriksaan menurut KUHAP adalah:

6 6 No Tingkat pemeriksaan Tabel. 1 Jangka Waktu Penahanan di dalam KUHAP Lama Perpanjanngan penahanan penahanan Yang memberikan perpanjangan Jumlah 1 Penyidikan (Pasal 24) 2 Kejaksaan (Pasal 25) 3 Pengadilan Negeri (Pasal 26) 4 Pengadilan Tinggi (Pasal 27) 5 Mahkamah Agung (Pasal 28) 20 hari 40 hari Jaksa Penuntut Umum 20 hari 30 hari Ketua Pengadilan Negeri 30 hari 60 hari Ketua Pengadilan Negeri 30 hari 60 hari Ketua Pengadilan Tinggi 60 hari 50 hari 90 hari 90 hari 50 hari 60 hari Ketua MA 110 hari 400 hari Fungsi KUHAP adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana dan bertugas melaksanakan hukum pidana materiil. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana harus dapat melindungi para tersangka ataupun terdakwa. Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius (Extra Ordinary Crime), karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara serta masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa. 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 9 untuk melakukan penyelidikan, 8 Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hlm Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lihat Pasal 2, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

7 7 penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tugas KPK lainnya adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Di dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatukannya di dalam Institusi tersebut. KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi (Pasal 40). Tidak disebutkan dalam undangundang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi maka seseorang akan otomatis menjadi tersangka, yang disebutkan adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada KPK (Pasal 44). Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini (Pasal 46). Ada beberapa perkara tindak pidana korupsi terkait penetapan status sebagai tersangka menjadi persoalan bila dipandang dari perspektif

8 8 perlindungan HAM dan kepastian hukum, yaitu mengenai lamanya waktu status tersangka yang dialami dan proses penetapan status tersangka, seperti yang diketahui penulis, mengenai perkara tindak pidana korupsi bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Suroso Atmo Martoyo (SAM), SAM ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Bulan November 2011, diduga oleh KPK mengenai suap pengadaan zat tambahan bahan bakar TEL (tetraethyl lead) SAM disangka mengantungi duit suap dari Direktur PT Soegih Indrajaya, Willy Sebastian Liem. Atas perbuatan tersebut, SAM sebagai penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara Willy sebagai pihak pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 10 Status tersangka yang disandang oleh SAM baru diupayakan penyelesaian melalui jalur praperadilan oleh tersangka dan kuasa hukumnya pada bulan April tahun 2015, seiring dengan upaya jalur praperadilan yang hendak ditempuh, penyidik menyatakan berkas perkara SAM telah dinyatakan lengkap (P21) dan akan segera disidangkan. Kasus Korupsi Hibah Persiba Bantul oleh Idham Samawi (IS), IS diduga terkait dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) untuk klub sepakbola Persiba Bantul sebesar Rp12,5 miliar. Kasus ini berawal dari laporan LPH Yogyakarta tentang adanya dugaan penyimpangan dana hibah dan Bansos 10 Ranny Virginia Utami, Senin, 06 April 2015, Pukul 19:29 WIB, Eks Direktur pertamina soalkan status penyidik KPK, diakses pada tanggal 14 April 2015, Pukul 11:37 WIB.

9 9 DPRD Yogyakarta sebesar Rp181,5 miliar. 11 IS sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini pada akhir tahun 2013, tetapi dalam prosesnya IS tidak ditahan dan berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan oleh Kejaksaan tinggi DIY. 12 Pada tanggal 4 Agustus 2015 Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY) resmi mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) untuk kasus korupsi ini. Kepala Kejaksaan Tinggi DIY I Gede Sudiatmaja mengatakan, Kejati mengeluarkan SP3 karena tidak ditemukannya alat bukti yang cukup terhadap IS. SP3 itu diterbitkan Kejati dengan nomor Print-369/0.4/Fd.1/08/ Mengenai penetapan status Dahlan Iskan (DI) sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat pada periode Senilai Rp1,063 triliun. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengusut kasus ini sejak Juni 2014 setelah menerima laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap proyek gardu listrik. BPKP dalam auditnya menyebutkan bahwa proyek tersebut diduga merugikan negara sebesar Rp33 miliar. Menurut kejaksaan, penyimpangan ditemukan antara lain ketika penandatanganan kontrak pembangunan gardu induk pada tahun 2011, tetapi lahannya belum dibebaskan. DI dan kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan bahwa DI 11 Fathi Mahmud, 12 Desember 2014 Pukul 14:30 WIB, KPK Minta Kajati Percepat Kasus Eks Bupati Bantul Idham Samawi, diakses pada tanggal 29 Mei 2015, Pukul WIB. 12 Muh, Syaifullah, 18 Mei 2015, Pukul WIB, Jaksa Panggil Bupati Bantul Pada Sidang Korupsi, Bantul-pada-Sidang-Korupsi, diakses pada tanggal 29 Mei 2015, Pukul WIB. 13 Fathi Mahmud, 5 Agustus 2015, Pukul WIB, Kejati DIY SP3 Kasus Dana Hibah Ketua PSSI Bantul, diakses pada tanggal 6 Agustus 2015, Pukul WIB.

10 10 terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka baru kemudian dicari alat buktinya. Padahal untuk bisa menetapkan seorang tersangka seharusnya sudah ada dua alat bukti yang cukup. Hakim tunggal Lendriaty Janis memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya gugatan praperadilan DI terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, bahwa pengadilan sependapat dengan pihak pemohon DI yang menilai bahwa surat perintah penyidikan atas DI tidak sah dan tidak berkekuatan hukum mengikat. 14 Pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan status tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan yang salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum dalam menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Titik sentral memeriksa dan menyelesaikan perkara tindak pidana harus memahami manusia dan kemanusiaan yang wajib dilindungi harkat martabat 14 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Memutuskan Untuk Mengabulkan Seluruhnya Gugatan Praperadilan Dahlan Iskan Terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. n, diakses pada tanggal 26 Agustus 2015, Pukul WIB.

11 11 kemanusiaannya, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sekalipun kita menginsafi bahwa tujuan tindakan penegakan hukum untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat, penegak hukum tidak boleh mengorbankan hak dan martabat tersangka, atau juga sebaliknya, demi untuk melindungi dan menjunjung harkat dan martabat tersangka tidak boleh dikorbankan kepentingan masyarakat / negara. Harus mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah digariskan KUHAP, sehingga antara dua kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sama-sama tidak dikorbankan, 15 dan sesuai dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kepastian hukum kepada tersangka. Dengan adanya aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya, itulah juga salah satu implementasi dari kepastian hukum dan esensi asas praduga tak bersalah. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan 15 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahsan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm

12 12 penelitian serta pembahasan terkait permasalahan tersebut dan akan ditulis dalam bentuk tesis dengan judul: Penetapan Status Tersangka Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang permasalahan, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi proses penetapan status seseorang sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana seharusnya pengaturan mengenai batas waktu status tersangka pada tingkat penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam perspektif perlindungan Hak Asasi Manusia? C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Tujuan Subyektif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data serta mengkaji data tersebut sehingga dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik berupa Tesis, agar dapat memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar magister ilmu hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

13 13 2. Tujuan Obyektif Adapun tujuan obyektif dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan mengenai perkembangan hukum pidana Indonesia yang mengatur tentang penetapan sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi di Indonesia. b. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan mengenai Bagaimana batas waktu penetapan status tersangka dalam tingkat penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam perspektif perlindungan Hak Asasi Manusia. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan pengaturan mengenai penetapan status tersangka perkara tindak pidana korupsi dalam perspektif perlindungan HAM. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum pidana dalam upaya melindungi hakhak tersangka tindak pidana korupsi. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan dapat menambah pengetahuan tentang hukum bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga pemerintah, khususnya aparat penegak hukum.

14 14 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, baik terhadap tesis maupun karya ilmiah lainnya, maka ditemukan ada beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan objek, topik, maupun tema penelitian yang dilakukan oleh penulis. Namun, dalam penelitian yang akan ditulis oleh penulis tidak ditemukan penelitian yang sama persis dengan penelitian yang akan dilakukan dan dibahas oleh penulis. Adapun beberapa penulisan karya ilmiah yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan: 1. Disertasi yang ditulis oleh Berlian Simarmata dalam memperoleh gelar Doktor pada program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2012, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka dan Terdakwa Dalam Penahanan, dengan rumusan masalah: (1) Apakah pengaturan penahanan dalam KUHAP telah memberikan perlindungan hukum kepada tersangka atau terdakwa dalam penahanan?, (2) Bagaimana pelaksanaan pemberian perlindungan hukum atas hak-hak tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan di Sumatera Utara?, (3) Bagaimana seharusnya pengaturan pelaksanaan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP pada masa yang akan datang dalam rangka perlindungan hukum bagi tersangka atau terdakwa? Kesimpulan dari Disertasi ini adalah, (1) Pengaturan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa dalam penahanan, ada ketentuan yang secara tegas memberikan perlindungan hukum,

15 15 melalui pengaturan yang tegas, jelas, terukur, tidak multitafsir dan operasional sehingga pelaksanaannya tidak memerlukan penafsiran lagi. Sebaliknya, ada ketentuan yang tidak secara tegas memberikan perlindungan hukum dalam arti masih terbuka kemungkinan untuk memberi atau tidak memberi, masih tergantung kepada penafsiran dari penegak hukum, sehingga memberikan kesempatan kepada penegak hukum untuk menafsirkan secara subjektif. (2) Pelaksanaan pemberian perlindungan hukum atas hak-hak tersangka atau terdakwa yang telah diatur dalam KUHAP terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan di Sumatera Utara adalah: a) Pelaksanaan pemenuhan syarat objektif penahanan pada dasarnya sudah dilaksanakan secara formal, namun secara material masih sering terjadi tindak pidana ringan diklasifikasikan sebagai tindak pidana biasa sehingga pelakunya dapat dikenakan penahanan, sedangkan pemenuhan syarat subjektif penahanan belum memberikan perlindungan hukum karena penerapannya sangat tergantung kepada penafsiran subjektif penegak hukum. b) Pelaksanaan pemenuhan hak atas segera diperiksa terhadap tersangka atau terdakwa belum memberikan perlindungan hukum dengan sungguh-sungguh. Hak untuk segera diperiksa oleh penyidik atau hakim masih diartikan secara sempit, yaitu pemeriksaan (sidang) pertama. Pada tingkat penyidikan dan penuntutan, pelimpahan perkara masih sering dilakukan menjelang batas akhir penahanan. c) Pelaksanaan hak tersangka dan terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum sudah terlaksana dengan baik. d) Pelaksanaan pemenuhan hak untuk membela diri bagi tersangka atau terdakwa, terutama untuk mengajukan

16 16 saksi yang menguntungkan belum sepenuhnya terlaksana. Belum semua penyidik bersedia memeriksa saksi yang menguntungkan (a decharge), hanya dianjurkan untuk diajukan di pengadilan. Pada persidangan, umumnya sudah dilaksanakan dengan baik, walaupun hakim dapat membatasinya. e) pemenuhan hak tersangka dan terdakwa untuk memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan masih sangat terbatas. Kelebihan tingkat hunian Rutan / Lapas yang tinggi mengakibatkan hak-hak tahanan (juga napi) atas fasilitas kesehatan tidak memadai. Khusus untuk rawat inap sudah terlaksana dengan baik, karena sudah dijamin dengan fasilitas JamKesMas. f) pemenuhan hak tersangka dan terdakwa untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi baru terlaksana dengan baik untuk kunjungan rohaniawan, sedangkan kunjungan keluarga masih disandera dengan berbagai kutipan atas nama penggeledahan ditempat tertutup, namun waktunya cukup. Hak untuk diperiksa secara bebas masih diartikan tidak diborgol, sedangkaan paksaan fisik dan psikis untuk kasus yang dianggap memiliki jaringan masih sering terjadi. g) Pelaksanaan pemenuhan hak tersangka dan terdakwa atas pemberitahuan penahanan kepada keluarga secara prinsip sudah terlaksana dengan baik, kesulitan hanya terjadi untuk tersangka yang alamatnya jauh dari jangkauan alat-alat komunikasi. h) Pelaksanaan pemenuhan hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka dan terdakwa belum terlaksana dengan baik mengingat prosedurnya yang berbelit-belit dan besaran nilai nominalnya tidak pasti. (3) Perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam penahanan pada KUHAP yang akan datang harus

17 17 memperhatikan beberapa prinsip, yaitu: a) Prinsip kejelasan makna rumusan norma (tidak multitafsir), yang menuntut rumusan norma hukum jelas, terang dan tidak menimbulkan keragu-raguan dalam mengartikannya. b) Prinsip kemandirian kerja dan profesionalisme penegak hukum, yang menuntut tidak adanya campur tangan pihak lain diluar penegak hukum yang sedang menangaani perkara itu sendiri. c) Prinsip intensitas pengawasan, baik intern maupun ekstern, yang menuntut adanya pengawasan terhadap setiap tindakan penegak hukum yang sedang menangani suatu perkara, baik yang dilakukan oleh intern institusi maupun oleh masyarakat di luar institusi. d) Prinsip ketepatan penerapan norma, yang menuntut penerapan norma sesuai tujuan atau dasar filosofis pembuatan dan perkembangan jaman. e) Prinsip ketepatan kategorisasi nilai objek kejahatan, yang menuntut perlunya penyesuaian atau penafsiran sosiologis terhadap obyek kejahatan yang ditujukan terhadap harta kekayaan. f) Prinsip ketepatan kategori beracara di pengadilan, yang menuntut perlunya seleksi perkara yang akan diperiksa menurut acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat. g) Prinsip keterpaduan subsistem dalam sistem peradilan pidana terpadu, yang menuntut perlunya koordinasi antara institusi penegak hukum, utamanya yang berkaitan dengan administrasi peradilan dalam pelaksanaan penahanan. h) Prinsip profesionalisme dalam pemberian bantuan hukum prodeo, agar pemberi bantuan hukum prodeo tidak sekedar formalitas namun harus berbuat seperti pada pemberi bantuan hukum biasa yang bukan prodeo. i) Prinsip ketepatan dan ketersediaan anggaran sesuai dengan kebutuhan yang riil, yang menuntut pengadaan biaya pemeriksaan

18 18 perkara serta waktu pencariannya sesuai dengan kebutuhan yang riil pada setiap perkara Tesis yang ditulis oleh Yhoga Aditya Ruswanto, dalam memperoleh gelar Magister Hukum pada Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2009, dengan judul Perwujudan pemenuhan hak asasi manusia bagi tersangka / terdakwa dalam konteks sistem negara hukum Indonesia (studi tentang perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka / terdakwa di lembaga pemasyarakatan), dengan rumusan masalah: Bagaimana perwujudan hak asasi tersangka / terdakwa dalam KUHAP di Lapas Klas II A Yogyakarta? Kesimpulan dari Tesis ini, bahwa pengakuan hak asasi tersangka / terdakwa dalam KUHAP di Lapas Klas II A Yogyakarta yang di implementasikan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP merupakan hak sipil (civil right) sebagai bagian dari HAM yang juga diakui secara internasional di dalam DUHAM dan dokumen HAM lainnya. Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam HAM Internasional tersebut lebih lanjut diwujudkan di dalam KUHAP, Pasal 50 sampai dengan Pasal 68, mengenai hak-hak tersangka / terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian KUHAP di jiwai oleh Undang-Undang Dasar 1945 serta Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman benar-benar memberikan perlindungan terhadap HAM sebagaimana diatur dalam DUHAM Berlian Simarmata, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka dan Terdakwa dalam Penahanan, Disertasi, Program Doktor Pada Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Yhoga Aditya Ruswanto, 2009, Perwujudan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka/Terdakwa dalam Konteks Sistem Negara Hukum Indonesia (studi tentang

19 19 3. Skripsi yang ditulis oleh Panji Pridyanggoro dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2011, dengan judul Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan tinggi Kalimantan Barat dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat terhadap kasus korupsi pengerukan alur pelayaran sintete dan perkara korupsi pengadaan baju hansip di kota Pontianak?, (2) Apakah kendala dalam penyelesaian penyidikan kedua kasus tersebut?. Kesimpulan dari Skripsi ini adalah, (1) Penyidikan yang dilakukan telah sesuai dengan aturan-aturan penyidikan yang ditetapkan dalam KUHAP yang kemudian diperluas dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (2) Kendala penyidikan dari kedua kasus tersebut adalah adanya mutasi / perpindahan tugas penyidik ke daerah lain yang seringkali mengakibatkan terhentinya pelaksanaan penyidikan yang telah berjalan selama beberapa waktu, selain itu juga mengenai rendahnya kualitas SDM yang dimiliki. Jika ditilik dari segi peraturan perundang-undangan maka pada dasarnya kejaksaan juga mengalami kendala terkait birokrasi terhadap penyidikan yang dilakukan terhadap pejabat tertentu. 18 perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka/terdakwa di lembaga pemasyarakatan), Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. 18 Panji Pridyanggoro, 2011, Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat dalam Upaya Percepatan Pemberantasan Korupsi, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

20 20 Dengan demikian, judul dan permasalahan Disertasi, Tesis, dan Skripsi di atas berbeda dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam Tesis ini, yaitu mengenai Penetapan status tersangka perkara tindak pidana korupsi dalam perspektif perlindungan hak asasi manusia. Membahas mengenai proses penetapan status tersangka tindak pidana korupsi dan batas waktu status tersangka tindak pidana korupsi dalam perspektif hak asasi manusia.

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta. 135 DAFTAR PUSTAKA Buku : Akub, Syukri dan Baharuddin Baharu, 2012, Wawasan Due Proses Of Law dalam Sistem Peradilan Pidana, Mahakarya Rengkang Offset, Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945) menyebutkan bahwa tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian,

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setiap pelanggaran hukum yang menjadi perhatian adalah pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus pelanggaran hukum tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci