RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF"

Transkripsi

1 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN i

2 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

3 Pengantar Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah mengambil langkah strategis dengan menetapkan Rencana Penelitian Integratif (RPI) , sesuai dengan tema penelitian dari Roadmap Penelitian Kehutanan yang telah dijabarkan ke dalam Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan bertanggung jawab terhadap Program Lanskap, Program Perubahan Iklim, dan Program Kebijakan, Buku RPI ini memuat 7 (tujuh) RPI yang menjadi bagian dari Program-Program tersebut, yaitu 1) Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS, 2) Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan, 3) Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan, 4) Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan, 5) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim, 6) Penguatan Tata Kelola Kehutanan, 7) Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. RPI merupakan acuan utama penyusunan rencana penelitian , baik bagi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan maupun Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan sebagai pelaksana kegiatan, sehingga pada akhir periode RPI dapat diperoleh hasil penelitian terintegrasi yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Bogor, Maret 2010 Kepala Pusat, Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc NIP iii

4 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

5 Rencana Penelitian Integratif (RPI) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan 1. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 2. Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 3. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 4. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 5. Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 6. Penguatan Tatakelola Kehutanan 7. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan v

6 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

7 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS i PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN Website :

8 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

9 Lembar Pengesahan Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS iii

10 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

11 Daftar Isi Lembar Pengesahan... iii Daftar Isi... v Daftar Tabel... vii Daftar Singkatan... ix I. Abstrak...1 II. Latar Belakang...1 III. Rumusan Masalah... 3 IV. Hipotesis... 5 V. Tujuan dan Sasaran...6 VI. Luaran...6 VII. Ruang Lingkup...6 VIII. Metode... 7 IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya X. Organisasi...13 XI. Daftar Pustaka...13 XII. Kerangka Kerja Logis...14 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS v

12 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

13 Daftar Tabel Table 1. Instansi Pelaksana, Tata Waktu, dan Rencana Biaya...12 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS vii

14 viii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

15 Daftar Singkatan BPK CBD CIFOR DAS DSS FAO GIS GPS Iptek KPH LHP RPI SFM UUD UPT : Balai Penelitian Kehutanan : Convention on Biological Diversity : Center for International Forestry Research : Daerah Aliran Sungai : Decision Support System : Food and Agricultural Organisation : Geographic Information System : Global Positioning System : Ilmu pengetahuan dan Teknologi : Kesatuan Pengelolaan hutan : Laporan Hasil Penelitian : Rencana Penelitian Integratif : Sustainable Forest Management : Undang-undang Dasar : Unit Pelaksana Teknis Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS ix

16 x RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

17 I. ABSTRAK Pengelolaan hutan di Indonesia dihadapkan pada tiga isue utama yaitu tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta pelestarian sumberdaya hutan atau SFM. Pendekatan klasik untuk mengelola hutan yang memisahkan aspek ekologi dari sosial-ekonomi dan lingkungan sekitar tidak berhasil menahan laju deforestasi maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin terancam kelestariannya. Penataan ruang melalui alokasi spasial penggunaan hutan perlu diintegrasikan dengan kepentingan (interests) dari berbagai pihak. Melalui penelitian integratif manajemen lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola kehutanan yang baik, good forest governance. Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai dimaksudkan untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan kerentanaan hutan terhadap perubahan iklim. Penelitian ini dilakukan dengan membangun konsep manajemen lanskap hutan yang selanjutnya akan diujicobakan di berbagai DAS yang memiliki karakteristik kepadatan penduduk tinggi, dan mengalami tekanan yang berat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dikaji dinamika spasial perubahan lanskap hutan disertai dengan dinamika sosial-ekonomi dan lingkungan yang mempengaruhi perubahan tersebut. Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai antara lain terwujudnya luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Kata kunci: manajemen lanskap, lanskap hutan, landuse, landuse change. II. Latar Belakang Forest management is not rocket science, it is far more complex (Thomas & Bunnel, 2001). Kalimat tersebut di atas menyebutkan bahwa mengelola hutan jauh lebih kompleks, rumit dari ilmu yang dipakai untuk membangun sebuah roket. Kompleksitas tersebut antara lain disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan hutan dan seringkali faktor tersebut berada di luar kemampuan manajemen untuk mengendalikannya. Baik faktor yang bersifat ekologi dan ekonomi serta sosial saling terkait keberadaannya dan mempengaruhi kelestarian pengelolaan hutan. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 1

18 Tantangan pengelolaan hutan di Indonesia adalah untuk mempertahankan sekaligus melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa, disamping mengoptimalkan berbagai fungsi yang ada sehingga keberadaan hutan mampu memenuhi kebutuhan yang semakin beragam serta memberikan peran yang lebih luas kepada masyarakat. Pengelolaan hutan juga dihadapkan pada perubahan iklim yang melanda dunia. Hutan di Indonesia dilaporkan menyumbang emisi ketiga terbesar di dunia, yang mempengaruhi fungsi hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya maupun sebagai stabilitas sistem penyangga lingkungan secara luas. Pendekatan klasik untuk mengelola hutan di Indonesia dilakukan sesuai dengan fungsi hutan yang telah ditetapkan, yaitu sebagai hutan produksi, konservasi dan hutan lindung. Pendekatan manajemen ini terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin terancam kelestariannya. Kelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan sekitarnya. Pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen lansekap hutan yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang beragam 1, baik yang bersifat ekologis, ekonomis maupun kebutuhan sosial. Dengan kata lain, melalui manajemen lansekap hutan rencana pengelolaan sumberdaya ditujukan untuk memproduksi komoditas sekaligus mempertahankan nilai ekologi yang ada melalui kegiatan pemantauan, kontrol struktur spasial maupun dinamikanya. Lanskap disepakati melalui konvensi negara-negara Eropa sebagai suatu areal yang dipahami oleh masyarakat memiliki karakter unik. Karakter tersebut merupakan resultante aksi dan interaksi dari berbagai faktor, baik yang bersifat alami maupun hasil pengaruh manusia. Keunikan karakteristik alam tersebut yang merupakan salah satu alasan untuk melakukan perlindungan hutan melalui kerangka hukum konservasi. Lanskap hutan dicirikan oleh karakteristiknya sebagai bentang alam yang didominasi oleh adanya hutan yang wilayahnya meliputi dari daerah hulu hingga ke bagian hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Manajemen 1 Menurut Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Kehutanan no 41/1999, hutan di Indonesia dikelola agar dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus pemeratan sosial, pemantapan stabilitas politik serta pelestarian ekologis-lingkungan. 2 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

19 lanskap bermaksud menata hutan secara spasial termasuk merencanakan alokasi penggunaannya sesuai dengan kepentingan (interests) dari berbagai pihak. Melalui manajemen lanskap kepentingan para pihak untuk menggunakan ruang di-integrasikan dengan tujuan pengelolaan di tingkat tapak atau lokal, wilayah maupun tingkat nasional. Melalui penelitian integratif manajemen lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola kehutanan yang baik, good forest governance. III. Rumusan Masalah Secara tradisional, pengelolaan hutan ditujukan terutama untuk memproduksi kayu dan kurang memperhatikan pengelolaan untuk tujuan yang lain. Tuntutan untuk melestarikan jenis yang terancam punah serta melindungi habitat atau zona sensitif serta tempat-tempat yang historis, dan juga zona perairan melalui pembatasan penebangan pohon menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi. Menurut data FAO (2007), tingkat deforestasi hutan di dunia mencapai 13,7 juta hektar per tahun, sedangkan penanaman yang dilakukan hanya mencapai 0,7 juta hektar per tahun. Lebih dari setengah luas hutan global yang ada terdeforestasi atau terdegradasi; dimana 40% dari hutan yang lebat dikonversikan menjadi penggunaan lain seperti misalnya untuk pengembangan pertanian, peternakan, dan 10% telah dibuka atau terfragmentasi. Kondisi tersebut merupakan penyebab utama merosotnya kualitas dan kesehatan hutan. Selanjutnya diprediksi bahwa sebanyak 1 juta jenis tanaman dan binatang akan punah dalam jangka waktu tahun mendatang. Akibatnya, pendekatan manajemen yang dilakukan saat ini dapat dikatakan gagal untuk mempertahankan dan melestarikan lanskap hutan untuk generasi mendatang. Pendekatan pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memiliki beberapa keterbatasan. Diantaranya dan yang paling utama adalah skala atau fokus dari pengelolaan itu sendiri. Sebagai contoh, rencana pengelolaan mencakup berbagai nilai yang tidak mungkin diintegrasikan pengelolaannya. Disamping itu, memprioritaskan nilai tertentu dan mengensampingkan nilai lainnya akan membatasi proses lanskap yang penting serta berdampak luas. Disamping itu, secara tidak disadari rancangan dan implementasi dari kegiatan penebangan dan penerapan silvikultur tertentu meninggalkan fragmentasi hutan, yaitu terputusnya rangkaian hutan yang padat menjadi Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 3

20 pulau-pulau hutan yang terisolasi. Keadaan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi proses biodiversity dan ekologi di masa mendatang. Hutan di Indonesia, kawasannya tersebar dari puncak gunung (Semeru, Rinjani, Puncak Jaya, Merbabu dan lain-lain) hingga wilayah perairan, seperti misalnya di Bunaken, Wasur di Papua, Danau Sentarum dll. Kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh pemerintah dan dikelola sesuai dengan fungsinya yang telah ditetapkan. Luas kawasan hutan terus merosot. Laporan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa luas wilayah hutan mencapai 123,46 juta ha, yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan seluas 71,52 juta ha, untuk perlindungan tata air seluas 31,78 juta ha dan untuk konservasi flora, fauna endemik serta bentang alam spesifik seluas 23,60 juta ha (Arsyad, 2008). Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, pemerintah memiliki mandat untuk mengelola hutan di Indonesia dan memberikan/ mendelegasikan hak pengelolaannya. Undang-undang Kehutanan yang baru tahun 1999 mengamanatkan pemerintah untuk melakukan desentralisasi urusan kehutanan dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten untuk mengurus pengelolaan hutan yang memiliki fungsi produksi dan fungsi lindung. Sedangkan urusan pengelolaan hutan konservasi masih berada pada pemerintah pusat. Ketentuan ini selaras dengan penataan kembali pemerintahan daerah yang dilakukan melalui UU no 32 dan UU no 33 tahun 2004, yang menggantikan UU no 25 dan UU no 27 tahun Seiring diberlakukannya kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan, luas hutan di Indonesia dilaporkan semakin menipis dan kondisinya semakin merosot. Laju penurunan luas hutan yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2002 mencapai 2,8 juta hektar hutan per tahun. Laju tersebut meningkat 50,5 % dibandingkan dengan tingkat deforestasi dalam periode 12 tahun yang terjadi pada tahun1986 s/d 1997, yang dilaporkan mencapai 1,86 juta hektar. Angka tersebut didukung oleh Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (2000) yang melaporkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta ha/ tahun atau 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan laju deforestrasi tahun 1980an. Penyebabnya adalah sistem politik dan ekonomi yang korup dengan menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Laju deforestasi yang paling tinggi terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, sehingga apabila tidak dilakukan upaya yang signifikan maka kedua pulau tersebut tidak akan memiliki hutan alam tropis lagi paska tahun RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

21 Hasil studi yang dilakukan oleh CIFOR melaporkan berbagai penyebab dari meningkatnya laju deforestasi di Indonesia. Selain sebagai akibat terjadinya ekonomi krisis di tahun 1997, meningkatnya laju deforestasi hutan terkait erat dengan reformasi politik dan desentralisasi urusan kehutanan yang mengakibatkan hutan di Indonesia semakin ter-fragmentasi dan rentan terhadap kebakaran. Penyebab utama menipisnya luas hutan berasal dari adanya konversi lahan dari kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan kehutanan menjadi kawasan non-kehutanan. Konversi paling tinggi adalah untuk keperluan pertanian dan perkebunan yang dilaporkan mencapai 8,2 juta ha hingga periode 1999/2000 tahun. Selain itu untuk pembangunan infrastruktur pengembangan daerah seperti pembuatan jalan baru yang menerobos kawasan hutan (lindung, konservasi dan produksi) dan memfasilitasi terjadinya pembukaan hutan lebih luas lagi. Kegiatan penebangan hutan untuk produksi kayu dan non-kayu yang melejit pada tahun 1992/1993 dengan produksi sekitar 28,2 juta m3, kebakaran hutan dan juga pemekaran pemerintahan daerah yang ditandai dengan terbentuknya propinsi baru, meningkatnya jumlah kabupaten dan pemerintahan daerah di tingkat desa. Di lain pihak peranan hutan semakin dirasakan pentingnya bagi masyarakat, yang ditandai dengan meningkatnya tutupan hutan di luar kawasan sebagai hutan rakyat, serta pembangunan hutan kota yang diamanatkan melalui PP 65 tahun Pendekatan manajemen lansekap dimaksudkan untuk menyelesaikan tiga issue utama yang menjadi tantangan bagi Departemen Kehutanan. Ketiga issue tersebut meliputi tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta pelestarian sumberdaya hutan atau SFM. Dalam hubungannya dengan tata ruang, keberadaan hutan semakin terdesak dengan pesatnya pembangunan daerah dan pemekaran wilayah administrasi. Kegiatan pembangunan daerah bertumpu pada sektor-sektor yang menggunakan lahan, seperti pertanian dan perkebunan, pembuatan jalan serta pembangunan perumahan. Kegiatan tersebut menuntut adanya pelepasan lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang berorientasi sektoral. Akibatnya tata guna hutan yang alokasinya telah disepakati pada tahun 1986 ditinjau kembali dan diselaraskan dengan adanya tuntutan pembangunan daerah serta kebutuhan yang semakin berkembang. Manajemen lanskap hutan menjawab isue penataan ruang ini melalui optimasi pemanfaatan lahan hutan serta pembangunan model luas dan sebaran hutan minimal. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 5

22 Pemanfaatan hutan dihadapkan pada adanya trade-off berbagai interest, masa waktu serta tujuan pengelolaan. Kebutuhan masing-masing individu untuk memperoleh pangan, sandang dan papan seringkali berbenturan dengan kebutuhan kelompok yang menginginkan keselarasan, kebudayaan dan kenikmatan. Selain itu, kebutuhan makan yang harus dipenuhi masa kini, untuk waktu yang sesaat, seringkali berseberangan dengan adanya kebutuhan perlindungan ataupun konservasi yang sifatnya jangka panjang. Manajemen lanskap hutan diharapkan menjawab permasalahan ini melalui pengaturan kembali fungsi hutan serta distribusinya agar keberadaan hutan dapat dirasakan manfaatnya secara optimal. Kelestarian hutan tidak hanya ditentukan oleh pilihan sistem silvikultur yang digunakan tetapi juga ditentukan kekompakan fungsi hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Melalui manajemen lansekap hutan karakteristik ekosistem dapat diidentifikasi serta diketahui faktor penentu kelestarian sumberdaya hutan. IV. Hipotesis Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah penataan ruang (pembangunan wilayah) dan penatagunaan hutan berbasis DAS akan mengurangi frekuensi terjadinya bencana banjir, erosi dan longsor dan mendukung penerapan pelaksanaan KPH. V. Tujuan dan Sasaran Penelitian Integratif Manajemen Lansekap berbasis Daerah Aliran Sungai bertujuan untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan ketahanan (resiliensi) hutan terhadap perubahan iklim. Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai adalah : 1. Tersedianya rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari 2. Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level manajemen dari tingkat operasional, wilayah hingga tingkat nasional 6 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

23 VI. Luaran Rencana Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai diharapkan menghasilkan : 1. Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal dalam penataan ruang wilayah 2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang berwawasan lingkungan Luaran tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai landasan untuk menerbitkan kebijakan untuk menentukan luas hutan optimal dan sebaran fungsinya di dalam wilayah DAS dan memberikan bahan pembelajaran untuk melakukan manajemen lanskap hutan. VII. Ruang Lingkup Sebagai suatu alat perencanaan, pendekatan lanskap mencari hubungan aksi yang dilakukan di tingkat lapangan - di tingkat petani atau pengelola hutan - dengan tingkat lansekap atau ekosistem. Merujuk pada keberhasilan dan kegagalan pendekatan yang dilakukan berbasis sektor, lanskap menghasilkan pendekatan antar sektor dan terintegrasi sehingga secara langsung dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan yang telah disepakati guna memberantas kemiskinan dan menjamin terciptanya kelestarian lingkungan. Pengambilan keputusan di sektor sumberdaya alam beserta perencanaannya semakin banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengambil keputusan dan perencana dengan demikian dituntut untuk membangun praktek dan menyesuaikan diri sesuai dengan isue yang berkembang. Desentralisasi dan pelimpahan otoritas untuk pengambilan keputusan di bidang perencanaan dan alokasi sumberdaya lahan dipandang sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan tata pemerintahan yang baik. Keberhasilan perencanaan di tingkat komuniti seringkali menjadi lemah apabila dihadapkan pada isue lingkungan dan sosial ekonomi yang berada di luar jangkauan atau pengaruhnya. Hal ini menggarisbawahi semakin pentingnya pendekatan lanskap untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang seringkali saling bertentangan. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 7

24 Selaras dengan itu, CBD yang telah diratifikasi berbagai negara anggota menuntut peran pemerintah untuk menerapkan pendekatan berbasis ekosistem dalam merencanakan pengelolaan sumberdaya alam yang didasari dengan prinsip best practice yang harus dipedomani. Hal ini menuntut dilakukannya koordinasi antar sektor serta pengambilan keputusan yang dilakukan secara bertingkat termasuk di tingkat lanskap dengan mengikutsertakan berbagai interest yang ada pada stakeholder yang berimplikasi pada kompleksitas dan proses pelibatan multi-pihak. Implementasi praktis pendekatan lanskap meliputi penerapan proses integratif yang diadaptasi pada konteks lokal. Penerapan ini menuntut keahlian baru serta alat perencanaan yang kemungkinan berbeda dari praktek konvensional yang biasa kita lakukan. VIII. Metode A. Kerangka Konseptual Manajemen lansekap merupakan konsep yang mempengaruhi bagaimana hutan dikelola secara luas. Terdapat empat dimensi yang menjadi pertimbangan dan dicerminkan di dalam pengambilan keputusan untuk mendorong dan melestarikan fungsi ekosistem disamping memberikan hasil barang dan jasa kepada masyarakat luas. Keempat dimensi tersebut mencakup aspek ekonomi, ekologi, teknologi dan sosial, yang diuraikan sebagai berikut. Aspek sosial: lahan, yang merupakan aspek manajemen merupakan properti, yang dimiliki suatu entitas yaitu masyarakat. Pengambil keputusan suatu lanskap yang dikelola adalah masyarakat. Konsekuensinya, publik menginginkan untuk terlibat, diikutsertakan dalam perencanaan penggunaan lahan dan penatagunaan lahan. Demikian juga dengan masyarakat, mereka memiliki hak sekaligus kewajiban dalampengelolaan lahan publik. Mengingat adanya intervensi terhadap hutan mempengaruhi masyarakat yang tinggal di dalamnya, dengan demikian keterlibatan masyarakat sangat esensial di dalam manajemen lanskap hutan. Peran publik dalam penggunaan sumberdaya sangat esensial dewasa ini. Melalui kelompok-kelompok tertentu, publik mendiskusikan dan mengkritisi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya, bagaimana pohon ditebang, spesies dilindungi serta regulasi dan kebijakan disusun menghadapi perubahan iklim. Pada umumnya perdebatan terpolarisasi pada dua kutub kategori penggunaan lahan, yaitu cut it down or lock it up artinya tebang atau pertahankan. Perdebatan tersebut mencakup nilai ekologi dengan 8 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

25 tanpa mengabaikan produksi untuk komoditas/tertentu. Tendensi yang ada bahwa publik menginginkan peran secara aktif di dalam tahap penyusunan rencana, dan keterlibatan publik tersebut akan membentuk model atau konsep manajemen ekosistem di masa yang akan datang. Aspek Ekonomi: Nilai ekonomi merupakan pembatas bagi setiap kegiatan, demikian juga halnya dengan MLH. Di dalam perencanaan, hasil hutan non-kayu mempengaruhi perolehan nilai ekonomi. Sebagai contoh, lahan hutan diperlukan juga untuk perlindungan biodiversitas, konservasi nasional dan rekreasi selain untuk produksi kayu. Selanjutnya, peningkatan kegiatan manajemen di tingkat lanskap akan berimplikasi menaikkan biaya manajemen dibandingkan dengan fokus pengelolaan pada kayu. Namun demikian, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu, mengkonservasi habitat liaran, biodiversitas dan ekologi di dalam suatu hamparan bentang lansekap kemungkinan akan lebih murah apabila dilakukan secara terpisahpisah. Dengan adanya pengalihan lahan untuk tujuan perlindungan dan bukannya untuk produksi kayu yang dipasarkan akan mengurangi efisiensi, peningkatan biaya untuk memperoleh kayu dan substitusinya. Pengelolaan yang ditujukan untuk mendukung habitat yang beragam, di lain pihak penebangan dilakukan untuk menutup ongkos operasi dapat mengurangi biaya yang diperlukan untuk memproduksi kedua output tersebut. Aspek Ekologi: Tujuan utama dari manajemen hutan adalah untuk mempertahankan sekaligus melestarikan ekosistem yang sehat dan produktif. Di dalam pengelolaan, perspektif ekosistem mempertimbangkan perlunya merancang strategi manajemen alternatif yang sensitif terhadap keseimbangan berbagai komponen hutan. Komponen yang penyusun utamanya adalah organisme di dalam ekosistem hutan terorganisir secara hierarkis kedalam fungsi kelompok dan terikat terhadap proses yang kompleks melalui lingkungan fisiknya serta ikatan yang lainnya. Ekosistem memiliki tiga atribut, yaitu komposisi, struktur atau pola dan fungsi atau proses. Komposisi menunjukkan identitas serta keragaman elemen di dalam suatu kelompok yang meliputi keseluruhan jenis flora dan fauna. Struktur merupakan organisasi fisik suatu sistem. Secara khusus, struktur menunjuk pada pengaturan spasial dari adanya patches dan hubungan keterkaitan yang ada di dalamnya. Fungsi tersebut meliputi proses ekologi dan evolutionary termasuk di dalamnya gene flow, disturbance dan siklus hara. Dengan kata lain, fungsi ekologi dikenali melalui capture (penangkapan), produksi, siklus, penyimpanan dan output dari sumberdaya tersebut. Elemen lain dari ekosistem yang mampu mewujudkan harmoni adalah hubungan atau interaksi yang ada pada karakteristik tersebut yang menjadikan sistem tersebut dinamis. Sebagai Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 9

26 contoh, adanya fungsi tergantung pada struktur yang membentuknya. Dalam hal ini, pengaruh manusia pada seluruh karakteristik ekosistem yang perlu menjadi pertimbangan bagi para perencana. Dengan adanya deskripsi ekosistem seperti tersebut di atas, manajemen yang dilakukan untuk melestarikan karakteristik tersebut menjadi penting dan kompleks. Manajemen perlu memahami kompleksitas tersebut dan memberikan pengukuran secara kuantitatif terhadap karakteristik yang ada, serta menawarkan rancangan prosedur yang dapat dipakai untuk mempertahankan dinamika sistem dalam jangka waktu yang lama dengan tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem itu sendiri disamping mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Peluang inilah yang akhirnya ditangkap oleh paradigma manajemen lansekap. Manajemen lanskap berorientasi pada skala makro, dan bukannya pada individual species. Manajemen lanskap hutan menitikberatkan pada kompleksitas jejaring interaksi yang mempengaruhi kualitas udara, air, tanah, vegetasi, insect, hewan liar dan mikro-organisme. Teori hierarchy menyatakan apabila unit di tingkat bawah berinteraksi dan menghasilkan perilaku yang lebih atas serta perilaku tersebut mengontrol yang ada di bawahnya maka perencanaan harus dilakukan pada skala yang lebih luas. Dengan demikian, pendekatan dalam skala luas pada level lanskapmerupakan pilihan tunggal untuk mengelola keragaman hayati. Fokus manajemen lanskap hutan dengan demikian adalah struktur lanskap hutan, mosaik patches kondisi hutan yang bervariasi dalam hal isi (content) maupun skala nya, dilengkapi dengan kejadian alam (proses geomorphopic dan ekologi) serta adanya intervensi manusia. Aspek IPTEK: Akumulasi pengetahuan di bidang kehutanan mempengaruhi manajemen ekosistem hutan. Adanya perubahan tujuan dari suatu manajemen, filosofi dan proses yang ada mengakibatkan perubahan fundamental di kehutanan. Disiplin baru muncul, seperti misalnya ekologi lanskap, modeling tata ruang hutan, etika lingkungan, konservasi biologi secara keseluruhan membantu kedewasaan ide manajemen lanskap. Selain itu, terdapat juga perkembangan teknologi komputer untuk menangani permasalahan sumberdaya hutan yang terdapat dalam skala luas dan waktu yang lama. Guna menjamin nilai hutan secara lestari, para pengelola atau manajer memerlukan alat pengambil keputusan yang lebih baik serta database spasial yang komprehensif. Perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) secara dramatis mampu meningkatkan kemampuan manajer sumberdaya serta para peneliti untuk mengumpulkan, menyimpan, mempertahankan, memanipulasi, 10 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

27 membangun model serta memonitor mosaik lanskap dengan menggunakan inventarisasi hutan digital. Monitoring hutan dapat dilakukan melalui remote sensing dengan resolusi yang tinggi, Geographic Positioning System (GPS) serta data yang diorganisir melalui GIS. Kemampuan tersebut mampu mengubah cakupan permasalahan kehutanan serta pertanyaan yang diajukan. Saat ini, dapat dikatakan mudah untuk melakukan klasifikasi spasial, menganalisis dan membangun model dan memantau adanya perubahan hutan dalam skala yang luas dengan berbagai atribut yang ada disamping mencermati hubungannya dengan nilai hasil hutan kayu dan non-kayu. Sangat memungkinkan saat ini untuk membangun strategi manajemen spasial dengan menerapkan teknik operational research seperti optimisasi, simulasi untuk memanipulasi pola spasial dengan cara pendugaan target pola lanskap dari waktu ke waktu. Dengan menguji adanya perubahan pola lanskap sebagai suatu aktivitas yang terencana maupun intervensi manusia dan atau kejadian alam, maka dinamika lanskap akan mudah dipahami. Penerapan GIS dikombinasikan dengan teknik penghitungan komputer lainnya seperti artificial intellegence dan remote sensing data ataupun analisis citra serta hasil inventarisasi memudahkan untuk mengelola jumlah data yang berlimpah. Di samping itu, proses pengambilan keputusan akan menjadi semakin berkualitas. Keadaan ini yang diinginkan bahwa manajemen lanskap akan menjadi operasional. Strategi kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peranannya serta memperkuat kerentanannya terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan cara menyusun model optimasi luas hutan dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan penggunaan hutan dalam suatu wilayah DAS. Kerangka konseptual yang disusun tersebut perlu dikomunikasikan ke berbagai lokasi penelitian yang terpilih. Komunikasi tersebut diperlukan untuk verifikasi jenis data yang diperlukan serta penyusunan rencana pengendalian penelitian di lapangan, termasuk monitoring data dan pelaporan progres penelitian. Sehubungan dengan itu maka kegiatan pengumpulan data lapangan sudah mulai dilakukan di awal tahun penelitian. Termasuk pengumpulan data untuk kegiatan. Kajian Lanskap hutan pada berbagai kondisi DAS dan Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan. Kegiatan penelitian Integrasi multi-strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap dilakukan pada tahun ke 2 setelah tersedia data awal dari penelitian yang lain. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 11

28 B. Kerangka Analisis Manajemen lanskap hutan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Memahami konteks, prinsip dan relevansi pendekatan tingkat lanskap bagi tata kelola sumberdaya alam saat ini; 2. Memahami bagaimana proses perencanaan di tingkat lanskap dapat dibangun serta bagaimana dapat difasilitasi; 3. Mengenali berbagai alat yang dipakai untuk menerapkan pendekatan tingkat lanskap dan berpengalaman dalam menerapkan serta mengadaptasinya sesuai dengan kondisi aktual; 4. Memahami peran pendekatan tingkat lanskap untuk memperbaiki pengambilan keputusan, pengelolaan secara berkelanjutan serta monitoring sumberdaya alam. Kerangka analisis yang dipakai di dalam penelitian manajemen lanskap meliputi analisis dinamika spasial penggunaan lanskap hutan yang dikombinasikan dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik para pengguna lanskap hutan. Kombinasi analisis tersebut dapat dilakukan apabila tahapan penelitian tersebut dibawah dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Secara keseluruhan analisis manajemen lanskap hutan dimaksudkan untuk menghasilkan model optimasi luas dan sebaran fungsi hutan di dalam suatu wilayah. Kegiatan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Review status riset manajemen lanskap hutan, untuk menghasilkan kerangka konseptual Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Hutan. 2. Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan dimaksudkan untuk menghasilkan model lanskap hutan berbasis persepsi para pihak. Kegiatan ini mencakup identifikasi persepsi multipihak tentang lanskap hutan dan identifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi multipihak tentang lanskap hutan 3. Analisis paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan yang dimasudkan untuk mengetahui demand dan suplai lahan kehutanan untuk pembangunan daerah. Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan identifikasi faktor koheren dan sinergitas penggunaan ruang dan identifikasi faktor yang mempengaruhi alokasi dan penggunaan ruang 4. Sintesa dan analisa model spasial dinamis dan model sosial-ekonomi lansekap hutan. 12 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

29 IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya Rencana Penelitian Integratif akan dilaksanakan untuk jangka waktu lima tahun, dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan pada akhir tahun 2014 sudah dapat diperoleh hasil akhirnya. RPI ini meliputi lima kegiatan penelitian yang akan dilakukan secara simultan selama periode tersebut. Penelitian ini diawali dengan melakukan review status riset manajemen lanskap pada tahun 2010, mengingat pendekatan ini merupakan hal baru bagi kehutanan. Hasil review selanjutnya dipakai sebagai landasan untuk menyusun kerangka konseptual (conceptual framework) penelitian integratif manajemen lanskap hutan berbasis DAS. Selain itu juga dilakukan kegiatan analisis paduserasi tata ruang wilayah (daerah) dengan tata guna hutan. Kedua kegiatan tersebut hanya dilakukan selama satu tahun, yaitu di awal tahun penelitian 2010, mengingat informasi yang dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut menjadi landasan untuk penyusunan kerangka konseptual yang selanjutnya akan diterapkan untuk pengumpulan data di lapangan. Kegiatan akan dilaksanakan oleh Puslitsosek dan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya tersaji dalam Tabel 1. Table 1. Instansi Pelaksana, Tata Waktu, dan Rencana Biaya KODE Program/ RPI/ Luaran/ TAHUN PELAKSANAAN PELAKSANA Kegiatan Program 1 Lanskap 1 RPI 1 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 1.1 Luaran 1 : Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah Review status riset manajemen lanskap hutan Puslitsosek Kajian Lanskap Hutan pada berbagai kondisi DAS Puslitsosek BPK Ciamis BPK Aek Nauli BPK Palembang BPK Mataram 125 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 13

30 KODE Program/ RPI/ Luaran/ TAHUN PELAKSANAAN PELAKSANA Kegiatan Analisis paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan Puslitsosek Luaran 2 : Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan perekonomian yang berwawasan lingkungan Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan Puslitsosek BPK Palembang BPK Mataram BPK Makasar BPK Aek Nauli BPK Solo Integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap Puslitsosek BPK Solo BPK Ciamis BPK Aek Na Uli BPK Palembang 100 TOTAL X. Organisasi RPI akan dikoordinasi oleh Puslitsosek, dengan koordinator Ir. Retno Maryani, MSc. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan, seperti BPK Aek Na Uli, BPK Solo, BPK Makasar, juga dengan instansi terkait lainnya. Koordinator akan dibantu Tim Koordinasi yang ditetapkan oleh Kepala Puslitsosek. XI. Daftar Pustaka Anonimus. A hierarchical spatial framework for forest landscape planning. Ecological Modelling 182 (2005) Food and Agricultural Organization (2007) State of the World Forest Jianguo Liu., Kalan Ickes., Peter S. Ashton., James V Lafrankie and Manokaran (1999). Spatial and Temporal Impacts of Adjacent Areas on the Dynamics of Species Diversity in a Primary Forests. In Spatial 14 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

31 Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press. Mladenoff, David.J., William Lawrence Baker (1999). Development of Forest and Modelling approaches. In Spatial Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press. Riiters, Kurt H., James D. Wickham and Timothy G Wade. An Indicator of Forest Dynamics Using a Shifting Landscape Mosaic. Ecological Indicators, Volume 9 Issue 1. January 2009, pages Yanuariadi, Tetra (1999). Sustainable Land Allocation. GIS-based decision support for industrial forest plantation development in Indonesia. ITC Publication Series, No 71 (Dissertation No. 59). ISBN International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC). PO.Box.6, 7500 AA Enschede. The Netherlands. XII. Kerangka Kerja Logis NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN: Menyediakan strategi kebijakan (decission support system, dcs) untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap perubahan iklim. Dihasilkannya rekomendasi yang dapat dipakai sebagai landasan pengambilan kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap perubahan iklim. Dokumen mengenai rekomendasi kebijakan untuk mempertahankan hutan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi Ilmiah, dan Policy brief Tidak ada perubahan mendasar dalam hal kewenangan pemerintah untuk mengatur pengelolaan hutan (UU No. 41/1999) dan PP No.38/2007 Dukungan penuh dari pemerintah daerah yang mewakili tiga contoh DAS Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 15

32 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI SASARAN: Tersedianya rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level manajemen dari tingkat operasional/ lokal, wilayah hingga tingkat nasional Telah dilaksanakannya penelitian penataan ruang dan penatagunaan hutan sesuai dengan karakteristik ekologi, ekonomi dan sosial yang mengutamakan daya dukung DAS Sintesis hasil penelitian tentang peningkatan peran fungsi hutan dalam mempengaruhi iklim mikro, mengatur tata air dan melindungi keanekaragaman hayati. Sintesis hasil penelitian terkait dengan kegiatan perekonomian yang berwawasan lingkungan Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan Sintesis hasil penelitian terkait dengan peranan hutan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat LHP Policy Brief Publikasi LUARAN: 1. Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah Dilaksanakannya : 1) Review status riset manajemen lanskap, 2) Kajian lanskap pada berbagai kondisi DAS, 3) Analisis padu serasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab 16 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

33 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang berwawasan lingkungan Dilaksanakannya penelitian : 1) Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan, 2) Integrasi multiple strategi ke dalam multi level manajemen lanskap Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab KEGIATAN: 1.1. Review status riset manajemen lanskap hutan Penelitian berhasil menemukan konsep penelitian integratif terkait manajemen lanskap hutan Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Sumberdaya mendukung dan aksesibilitas ke berbagai perpustakaan dan publikasi mudah 1.2 Kajian lanskap hutan pada berbagai kondisi DAS Penelitian berhasil: (1) menyusun karakteristik berbagai kondisi DAS; (2) mengidentifikasi sebaran luas dan fungsi hutan pada berbagai kondisi DAS; dan (3) menganalisi hubungan antara faktor sosialpolitik,ekonomi dan ekologi- biofisik yang mempengaruhi sebaran luas dan fungsi hutan pada berbagai kondisi DAS Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Adanya dukungan penuh dari para pemangku kepentingan terkait dengan manajemen lanskap 1.3 Analisis Paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan Penelitian berhasil: (i) menyusun pola paduserasi Tata Ruang dengan Tata Guna Hutan di tingkat nasional dan subnasional; dan (ii) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi dan ekologi/biofisik yang menentukan tercapainya paduserasi; Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 17

34 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 2.1. Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan Penelitian berhasil: (1) mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dengan manajemen lanskap hutan; (2) menyusun persepsi multipihak dalam hubungannya dengan manajemen lanskap hutan; dan (3) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi yang mempengaruhi persepsi multipihak terhadap manajemen lanskap hutan Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Pemerintah Pusat dan Daerah bersungguhsungguh melaksanakan pembangunan antar sektor di wilayahnya secara terpadu dan berwawasan lingkungan 2.2. Integrasi multiple strategi ke dalam multilevel manajemen lanskap hutan Penelitian berhasil: (1) menyusun berbagai strategi di dalam manajemen lanskap hutan; (2) mengidentifikasi adanya berbagai level manajemen lanskap hutan; dan (3) membuat model integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap hutan Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh kepada arah penelitian 18 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

35 Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan i

36 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

37 Lembar Pengesahan Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan iii

38 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

39 Daftar Isi Lembar Pengesahan... iii Daftar Isi... v Daftar Gambar... vi Daftar Tabel... vii Daftar Singkatan... ix I. Abstrak...1 II. Latar Belakang... 2 III. Rumusan Masalah... 3 IV. Tujuan dan Sasaran...4 V. Luaran...4 VI. Ruang Lingkup... 5 VII. Metode... 5 VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya IX. Organisasi...12 X. Daftar Pustaka...12 XI. Kerangka Kerja Logis...15 Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan v

40 Daftar Gambar Gambar 1. Pengembangan jenis dan luas ekosistem ruang terbuka hijau menurut struktur dan fungsi dalam Hutan Kota (modifikasi dari Kartawinata dan Samsoedin, 2007)... 7 Gambar 2. Faktor sosial budaya dan ekonomi pemilihan jenis pohon dalam pengembangan Hutan Kota... 7 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

41 Daftar Tabel Table 1. Metode Analisis RPI Pengembangan Hutan Kota/ Lanskap Perkotaan...9 Table 2. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan vii

42 viii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

43 Daftar Singkatan ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia BBPD : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa BPK : Balai Penelitian Kehutanan DSS : Decision Support System LHP : Laporan Hasil Penelitian RPI : Rencana Penelitian Integratif RTH : Ruang Terbuka Hijau RTRWN : Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional TAHURA : Taman hutan rakyat UI : Universitas Indonesia UPT : Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan ix

44 x RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

45 I. ABSTRAK Pembangunan fisik di perkotaan yang perencanaannya kurang memadai telah menyebabkan rusaknya lingkungan perkotaan. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan ekonomi di sektor produksi maupun konsumsi yang menghasilkan limbah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga ekosistem perkotaan tidak mampu lagi menampung dan mengolah limbah secara alami. Fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan. Oleh karena itu, keinginan untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori ekosistem buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan, danau/ situ, sempadan sungai, areal terbuka hijau, hutan tanaman, pekarangan, areal pemukiman, kawasan industri, jalan raya seperti jalan tol dan lain-lain. Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya adalah mengelola faktor lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam rangka tercapainya pembangunan dan pengembangan Hutan Kota di Indonesia, beberapa permasalahan mendasar yang teridentifikasi diantaranya, Rencana Induk Pembangunan Hutan Kota, pedoman dasar operasional pembangunan Hutan Kota, bencana banjir, masalah polusi udara, kontaminasi air tanah dan sungai serta sampah perkotaan. Promosi potensi sumberdaya genetik pohon-pohonan melalui upaya konservasi ex-situ pada ruang-ruang hijau di perkotaan, dan refungsionalisasi kawasan hijau, situ, danau, bantaran sungai sebagai daerah resapan air perlu dilakukan melalui pembangunan Hutan Kota dan ruang terbuka hijau yang terencana secara baik dan benar. Penelitian ini bertujuan menghasilkan data dan informasi serta IPTEK dalam rangka mendukung terciptanya keseimbangan lingkungan fisik (iklim mikro, kualitas udara, air dan radiasi) ekosistem perkotaan melalui pembangunan dan pengembangan Hutan Kota. Ruang lingkup kegiatan penelitian Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan tahun adalah konservasi plasma nutfah pohon-pohonan, analisis kelembagaan dan peraturan pendukung, mencari komposisi jenis pohon sesuai dengan lokasi dan fungsi kawasan ruang terbuka hijau, pengembangan areal persemaian, model Hutan Kota di kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan industri, bantaran sungai, situ dan bendungan, kajian nilai konservasi, ekonomi, jasa lingkungan, rekreasi dan estetika, Design Engineering Hutan Kota, dan pengembangan sistem pembangunan kawasan terbuka hijau baik di ekosistem hulu maupun ekosistem perkotaan. Melalui aktivitas di atas hasil yang diharapkan adalah rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi, policy brief, laporan kajian dan hasil-hasil penelitian serta bahan Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 1

46 pembelajaran dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. Kata kunci: hutan kota, lanskap perkotaan, ekosistem, pengelolaan, sumberdaya genetik pohon-pohonan, konservasi tanah dan tata air. II. Latar Belakang Pembangunan fisik di perkotaan yang diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan manusia, dalam perkembangannya telah menimbulkan permasalahan tersendiri akibat perencanaan yang kurang memadai. Pertumbuhan penduduk serta pembangunan infrastruktur untuk mendukung kegiatan ekonomi di perkotaan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan seperti hilangnya ruang terbuka hijau, rusaknya fungsi resapan air, polusi air dan udara. Tujuan pembangunan pada dasarnya adalah terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan. Citacita untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai apabila didukung oleh kebijakan yang mumpuni yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk plasma nutfah pepohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan sebagai sumber ekonomi tidak langsung. Upaya merevitalisasi ekosistem di perkotaan dapat dilakukan, antara lain, melalui pengembangan Hutan Kota/lanskap perkotaan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan yang serupa dengan ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, ekosistem pekarangan, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri dan jalan raya termasuk jalan tol. Namun demikian, interaksi yang diharapkan tidak terjadi karena adanya kerusakan beberapa komponen ekosistem. Sebagai contoh, kawasan sekitar danau di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang jumlahnya ribuan pada umumnya mengalami kerusakan. Oleh karena itu, ekosistem danau perlu menjadi prioritas dalam pengelolaannya karena merupakan bagian dari lingkungan perkotaan yang berfungsi sebagai pengatur iklim dan banjir maupun sebagai tempat resapan air. Walaupun upaya untuk memperbaiki ekosistem di perkotaan telah banyak dilakukan, antara lain, dengan melakukan kegiatan penanaman di banyak lokasi di Jakarta (Gerakan Sejuta Pohon, Pembangunan Hutan Kota 2 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

47 Kampus UI Depok, Pembangunan Hutan Kota Eks Kawasan Kemayoran, Pembangunan Hutan Kota Mabes ABRI Cilangkap, Pembangunan Hutan Kota Bumi Perkemahan Cibubur dan pembangunan hutan kota di banyak tempat di Jabodetabek termasuk kegiatan konservasi alam berupa pengembangan koridor konservasi melalui penanaman pohon di kawasan jalan tol), koordinasi dengan pihak terkait dalam pengelolannya secara integratif perlu terus dilakukan. Kiprah dan partisipasi Badan Litbang Kehutanan dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan Hutan Kota di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1989, melalui penelitian, seminar di dalam dan luar negeri serta kerjasama dengan instansi terkait (Samsoedin et. al., 1989a, 1989b, Samsoedin dan Sutisna, 1990, Samsoedin, 1991; Samsoedin, 1992; Samsoedin dan Setyawati, 1993; Samsoedin dan Mogea, 1993; Samsoedin, 1994; Samsoedin, 1997a, Samsoedin, 1997b; Samsoedin et. al., 2006; Samsoedin, 2007a; 2007b; 2007c ). Namun secara aktif kegiatan ini dimulai lagi pada tahun 2006, antara lain, melalui dijalinnya kerjasama dengan Pemerintah Kota Padang dalam pembuatan Design Engineering Pembangunan Hutan Kota Malvinas seluas 20 hektar serta kerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor dalam evaluasi keberadaan pepohonan di kawasan hijau. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dan PU yang ditandatangani oleh kedua Menteri terkait pada tahun 2006 tentang Penghijauan di kawasan jalan tol juga merupakan langkah nyata dalam membangun RTH di sekitar perkotaan. Permasalahan ekosistem perkotaan yang demikian kompleks telah mendorong Badan Litbang Kehutanan untuk secara konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memperbaiki kerusakan ekosistem di perkotaan melalui kegiatan penelitian pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. III. Rumusan Masalah Upaya-upaya mereduksi dampak negatif pembangunan fisik dan ekonomi perkotaan sudah banyak dilaksanakan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, masyarakat). Salah satu upaya yang berdampak positif dalam mengatasi permasalahan ini adalah melalui pembangunan dan pengembangan hutan kota yang sejak tahun 2002 telah memiliki kekuatan hukum dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Namun demikian dalam perjalanannya PP No. 63 ini belum berjalan dengan optimal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 3

48 1. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya PP. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota, dalam upaya perbaikan ekosistem perkotaan sudah cukup memadai dan sejauhmana upaya para pihak dalam melaksanakannya? 2. Seberapa jauh masyarakat menghargai hutan kota dan lanskap perkotaan dalam konteks pembangunan perkotaan? 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi apakah yang diperlukan untuk membangun dan mengembangkan hutan kota/lanskap perkotaan? IV. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah menghasilkan data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menyediakan strategi kebijakan (Decision Support System) pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan dalam proses pengambilan keputusan. Sasaran yang akan dicapai adalah: 1. Tersedianya rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota 2. Tersedianya rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi 3. Tersedianya rekomendasi tentang jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota 4. Tersedianya rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock) V. Luaran Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan secara jelas memberi arahan bahwa hutan telah ditetapkan sebagai azas dari lanskap dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) digunakan sebagai basis dalam arahan lanskap. Disamping itu, target per periode (phase) didasarkan pada urutan prioritas penanganan obyek, yaitu untuk pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan diarahkan pada daerah perkotaan berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dibagi ke dalam dua zona, yaitu daratan tertutup yang tidak mempunyai akses langsung ke laut (land locked cities) yang rentan terhadap perubahan iklim karena terkendala batas administratif pemerintahan wilayah di sekitarnya dan daerah perkotaan yang rentan terhadap perubahan iklim terutama dengan naiknya permukaan air laut, yaitu perkotaan dengan elevasi rendah yang berada di sepanjang pantai (low-laying coastal cities). 4 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

49 Luaran RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan yang hendak dicapai dalam waktu lima tahun mendatang (kegiatan RPI tahun ) adalah berupa: 1. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/ lanskap perkotaan 2. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan Melalui dua luaran di atas diharapkan terwujudnya strategi pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan yang diadopsi oleh pengguna. VI. Ruang Lingkup Penelitian difokuskan pada upaya-upaya penyediaan ilmu dan teknologi pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan dan pengembangan sistem kelembagaan yang mendukung kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. Kegiatan penelitian didasarkan pada Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehuanan , yaitu mencakup zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (land lock). VII. Metode A. Kerangka Konseptual 1. Sejarah Hutan Kota Sejarah Hutan Kota telah dimulai sekitar tahun lalu ketika manusia di Timur Tengah dan Afrika Utara memulai kebiasaan hidup mereka secara menetap dengan melakukan kegiatan bercocok tanam di sepanjang sungai Tigris, Euphrates, Indus dan Nil yang subur (Miller, 1988). Peradaban manusia terus berlanjut di sepanjang sungai Nil dan sungai Euphrates dan mencapai puncaknya pada tahun Sebelum Masehi pada saat dimulainya pembangunan piramid dan monumen-monumen lainnya. Potpot gantung (the hanging gardens) di kota Babylon dipercaya oleh para ahli sebagai awal dari penggunaan tanaman secara terencana (the intentional use of urban vegetation) (Miller, 1988). Di Indonesia, ornamen tanaman pada candi Borobudur yang dibangun oleh Dinasti Syailendra pada abad ke-8 merupakan bentuk sejarah pemanfaatan tanaman. Hutan Kota sebenarnya telah dimulai oleh nenek moyang kita pada saat itu. Mereka telah menanam pepohonan di sekitar Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 5

50 tempat tinggalnya untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari. Penanaman pohon secara lebih teratur dimulai oleh bangsa Belanda yang mulai menjajah bangsa kita ketika mereka memasuki negeri ini pada tahun Bekas-bekas dari kegiatan mereka masih nampak sampai sekarang dengan masih terpeliharanya pohon-pohon besar di tepi jalan di kota Bogor, Bandung, Medan dan beberapa kota lainnya. Setelah merdeka, penanaman secara berkelompok dilakukan pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Games of the New Emerging Forces atau yang kita kenal dengan Ganefo pada tahun Pepohonan yang ditanam di sekitar Gelora Senayan 43 tahun yang lalu masih dapat kita lihat disana. Namun demikian, secara resmi, pembangunan Hutan Kota dicanangkan oleh Pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Sedunia ke-7 di Jakarta pada tahun Penanaman pohon oleh para peserta kongres di atas lahan 5 hektar di lingkungan Gedung Manggala Wanabakti menjadi patok sejarah dicanangkannya pembangunan Hutan Kota. Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi Hutan Kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kerusakan hutan yang diakibatkan oleh perladangan berpindah dan perambahan ilegal yang sering mengikuti kegiatan pembalakan dan kemudian diikuti oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit umumnya terjadi di hutan pamah dipterokarpa Kalimantan dan Sumatera (Kartawinata dan Samsoedin, 2007). Melihat kenyataan terjadinya degradasi hutan alam yang begitu cepat, upaya-upaya penyelamatan sumberdaya genetik pohonpohonan harus secepat mungkin dilaksanakan. Dalam kasus ini Hutan Kota dapat berperan sebagai kawasan konservasi ex-situ bagi jenis-jenis pohon yang belum diketahui potensinya. Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya sebagai penunjang ekosistem perkotaan yang utama adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Faktor lingkungan, sosial budaya dan ekonomi dalam pemilihan jenis dalam pengembangan Hutan Kota disajikan dalam Gambar 2. 6 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

51 Fungsi Ekosistem Jenis Tanaman & Luas Areal Penggantian Jenis Tanaman Pengayaan Jenis Rehabilitasi Ekosistem Ruang Terbuka Hijau Pemulihan Diterlantarkan Lahan Kritis, Terpolusi Perkembangan Ekosistem Normal Terlantar Struktur Ekosistem Kota Gambar 1. Pengembangan jenis dan luas ekosistem ruang terbuka hijau menurut struktur dan fungsi dalam Hutan Kota (modifikasi dari Kartawinata dan Samsoedin, 2007) Kendala Lingkungan Edafik Iklim Phisiografik Biologis Faktor Tempat Kendala Kultural Struktur Penutup Lahan Polusi Utilities Seleksi Jenis Faktor Sosial Estetika Fungsi Eksternal Negatif Faktor Ekonomi Biaya Pembangunan Biaya Pemeliharaan Biaya Pengangkutan Gambar 2. Faktor sosial budaya dan ekonomi pemilihan jenis pohon dalam pengembangan Hutan Kota Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 7

52 2. Lanskap perkotaan. Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang di dalamnya terdiri dari berbagai kegiatan baik yang berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu, proses kegiatan di dalam lanskap akan selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan ekologi lanskap. Ekologi lanskap merupakan ilmu baru yang baru dikembangkan di negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II. Perkembangan ekologi lanskap berjalan secara progresif, dinamis dan merupakan proses global yang berhubungan dengan ilmu ekologi dan berkaitan erat dengan berbagai disiplin ilmu seperti geografi, botani, zoologi, animal behaviour dan arsitektur lanskap (Farina, 1998). Menurut Daryadi et.al. (2002), sejalan dengan berjalannya waktu, lanskap secara terus menerus berubah. Perubahan ini merupakan bagian dari proses evolusi. Namun demikian, perubahan atau degradasi lanskap bisa lebih cepat terjadi karena aktivitas manusia yang menjadikan perubahan amat berbeda bila dibandingkan dengan perubahan pada lanskap karena gangguan alam. Perkembangan atau perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan Gordon (1986) dalam Daryadi et.al. 2002) sebagai berikut: 1. Lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia) 2. Lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena missmanagement misal buruknya sistem pengelolaan hutan produksi) 3. Lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usaha tani yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi. Proses perubahan lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap, yaitu: usaha tani tradisional, kombinasi tradisional dan moderen dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan bentukbentuk pemukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu menjadi pedesaan dan perkotaan. 4. Lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan manusia, antara lain, kebun dan pekarangan). 5. Lanskap perkotaan Lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat aktivitas manusia. 8 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

53 Lingkungan di perkotaan sebagai penyangga kehidupan mahluk hidup khususnya manusia terdiri dari berbagai ekosistem. Sastrapradja et al., (1989) mengklasifikasi ekosistem di Indonesia menjadi empat kelompok ekosistem utama, yaitu: ekosistem bahari, ekosistem darat alami, ekosistem suksesi dan ekosistem buatan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan yang serupa dengan ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, ekosistem pekarangan, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri dan jalan raya seperti jalan tol. B. Metode Analisis Metode analisis untuk masing-masing luaran dipaparkan pada Tabel 1. Table 1. Metode Analisis RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan Kegiatan 1. Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota 2. Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan Metode Analisis Penelitian akan dilaksanakan dengan : Analisis dokumen Analisis stakehoders Lokakarya atau focus group discussion Analisis sistem pengelolaan Hutan Kota yang ada serta partisipasi masyarakat di perkotaan Analisis ekosistem hutan di perkotaan yang dilaksanakan dengan metode valuasi sumberdaya hutan yang sudah dikembangkan Analisis strategi alih teknologi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelayakan ekonomi, lingkungan dan sosial Penelitian akan dilaksanakan melalui: Kajian faktor biofisik Analisis model hutan kota yang ada saat ini dan telah ditetapkan oleh pemerintah setempat Analisis peran masyarakat dalam pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 9

54 Kegiatan 3. Kajian jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota 4. Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup Metode Analisis Inventarisasi jenis-jenis pohon di perkotaan dalam rangka mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang sesuai dengan pola Hutan Kota yang akan dikembangkan Parameter pohon yang diukur: (1) Diameter dan tinggi pohon (2) Model tajuk, bentuk daun, bentuk cabang dan bentuk batang (3) Kondisi pohon (4) Daya tumbuh di lahan kritis atau lahan terpolusi dan lahan dengan keadaan air tanah tinggi (situ dan bantaran sungai) (5) Fenologi pohon (buah dan bunga) Analisis jenis-jenis pohon di daerah pantai dan daratan Analisis tipe ekosistem (alam dan binaan) di kawasan pantai dan daratan C. Rencana Lokasi Lokasi yang dipilih untuk pelaksanan kegiatan RPI adalah ibukota propinsi yang pertumbuhan penduduknya meningkat dengan tajam dari tahun ke tahun. Selain pertumbuhan penduduk, pertimbangan dipilihnya kota-kota di atas adalah karena kota-kota tersebut merupakan urat nadi dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara sehingga perlu diupayakan keseimbangan lingkungannya. Kota-kota yang dipilih adalah kawasan hilir Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), kawasan hulu Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur), Bandung, Padang, Medan, Samarinda, Makasar, Mataram dan Denpasar, meliputi Hutan Kota, taman kota, arboretum, kebun raya, kebun percobaan, kebun koleksi, kebun botani, TAHURA (taman hutan rakyat), pohon tepi jalan, taman kota, lapangan golf, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, sempadan sungai, bantaran kereta api, kolong jembatan, jalan layang, jalan tol, saluran listrik tegangan tinggi, kawasan sekitar danau,waduk, rawa, zona penyangga, perkebunan, perladangan, persawahan, pertanian dan kawasan pantai. 10 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

55 VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Waktu penelitian RPI adalah 5 tahun ( ) dan rencana tata waktu pelaksanaan kegiatan penelitian pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan yang akan dilaksanakan oleh Puslitsosek dan UPT litbang Kehutanan di daerah dapat dilihat pada Tabel 2. Table 2. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya Kode TEMA/RPI / LUARAN / KEG- IATAN PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN / ANG- GARAN (juta Rupiah) TEMA 7 LANSKAP HUTAN 2 Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 2.1 Luaran 1 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/ lanskap perkotaan Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota Puslitsosek BPK Aek Nauli BPK Makasar BPK Ciamis BBPD Samarinda Luaran 2 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/ lanskap perkotaan Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota Puslitsosek BPK Aek Nauli BPK Palembang BPK Makasar BPK Ciamis Kajian jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota Puslitsosek BPK Aek Nauli BPK Palembang 150 Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 11

56 Kode TEMA/RPI / LUARAN / KEG- IATAN PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN / ANG- GARAN (juta Rupiah) BPK Makasar BPK Ciamis BBPD Samarinda Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup Puslitsosek BPK Aek Nauli BPK Palembang BPK Makasar BPK Ciamis BBPD Samarinda 100 TOTAL ANGGARAN IX. Organisasi Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puslitsosek dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan seperti BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Makasar, BPK Ciamis dan BBP Dipterokarpa Samarinda. Jika diperlukan, outsourcing dari instansi terkait lainnya dapat dilakukan. Penentuan koordinator RPI ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan, sedangkan tim koordinasi akan ditetapkan oleh Kepala Pusat. X. Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan ROADMAP Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Daryadi, L., Q.A.B. Priarso, T.S. Rostian dan E. Wahyuningsih Konservasi Lanskap. Alam, Lingkungan dan Pembangunan. Penerbit: Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia/Indonesian Zoological Parks Association. 12 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

57 Farina, A Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman and Hall. London-Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Forman, R.T.T. and M. Gordon Landscape Ecology. John Wiley&Son. Inc. Kartawinata, K. dan I. Samsoedin Rehabilitasi Lahan Hutan Rusak dan Pemulihan Ekosistem di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Miller, R. W Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. Prentice Hall, aglewood Cliffs, New Jersey Samsoedin, I., J.P Mogea and O. Satjapraja. 1989a. Potential Forest Plants for Ornamental Purposes. Flower Cultivation and Bussiness Seminar. Jakarta, June. Samsoedin, I.,S. Riswan and Y. Jafarsidik. 1989b. Endangered Plant Species with Emphases on Economic Tree Species. Asean Workshop. Bogor, June. Samsoedin, I. dan U. Sutisna Prospek Pengembangan Jenis Pohon Serba Guna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jenis-Jenis Pohon Serba Guna. Kerjasama Badan Litbang Kerhutanan- Departemen Kehutanan dengan F/Fred Project Winrock International. Bogor, Juni. Samsoedin, I., The Role of Trees in an Urban Area in Indonesia. School of Agricultural and Forest Sciences. University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom (unpublished). Samsoedin, I., Structural Damage Caused by Tree Roots in the London Area. School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom. MSc, Thesis. (Unpublished). Samsoedin, I. and T. Setyawati Urban Forestry and It s Role in Conserving Biodiversity: The Case of Jakarta. Tropical Environmental Management Workshop, Biodiversity for Sustainable Development in Southeast Asia. Dumoga Bone National Park. Toraut, North Sulawesi. February p.24. Samsoedin, I. and J.P. Mogea Ex-situ Biodiversity Conservation in Some Urban Areas in Indonesia. XV International Botanical Congress, Yokohama, Japan. August 28-September 3. Samsoedin, I Toraut Arboretum, A Proposed Site for Biodiversity Ex-situ Conservation and Sustainable Development for Wallace Area. Wallace Development Institute, Jakarta. Serpong, 6-9 june. Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 13

58 Samsoedin, I. 1997a. Potential Indigenous Plants for Urban Areas. Paper Presented on the Workshop on Biodiversity, FRIM, Kuala Lumpur, Malaysia November. Samsoedin, I. 1997b. Studi potensi jenis-jenis pohon Indonesia untuk daerah perkotaan. Hal Dalam. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian. Penerapan hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Diterbitkan oleh: P3HKA, Bogor Maret. 193 hal. Samsoedin, I., E. Subiandono, dan M. Bismark Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota. Paper dipresentasikan pada diskusi GETEK, Padang. Samsoedin, I. 2007a. Sejarah perkembangan hutan kota di Indonesia dan fondasi hukumnya. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Samsoedin, I. 2007b. The bush city of Bogor. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Samsoedin, I. 2007c. Sekelumit tentang kota Bogor dan pepohonannya. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Sastrapradja, D.S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M. A. Rifai Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Manusia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Bogor. Whitmore, T.C and I. Samsoedin Description of Forest Types of The Bukit Tigapuluh Area. p In: Rain Forest and Resource Management. Proceedings of the Norindra Seminar, Jakarta, May. p RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

59 XI. Kerangka Kerja Logis No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 1 Tujuan: Menghasilkan data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menyediakan strategi kebijakan (Decision Support System) pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan dalam proses pengambilan keputusan 2 Sasaran 1. Tersedianya rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota 2. Tersedianya rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi Dihasilkannya rekomendasi strategi pengembangan hutan kota/ lanskap Telah dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait sistem pengelolaan dan ekosistem hutan kota dalam implementasi PP 63 tahun 2002 Telah dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi Dokumen mengenai : Rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi Petunjuk teknis revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan Informasi tentang teknologi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan yang dikemas dalam LHP, Publikasi. Policy Brief LHP dan policy brief tentang PP 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota Sintesis hasil penelitian, publikasi dan policy brief tentang kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi Pemerintah (Propinsi dan Kota/ Kabupaten) mendukung program pembangunan hutan di perkotaan Ada kepastian kawasan/ lanskap perkotaan. Tersedianya hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat kebijakan pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 15

60 No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 3. Tersedianya rekomendasi tentang jenisjenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota 4. Tersedianya rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock) Dilaksanakannya penelitian terkait dengan jenisjenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota LHP, policy brief, publikasi tentang fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup Dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait dengan bentuk pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup Pembahasan hasil-hasil penelitian di tingkat Badan Litbang Kehutanan 3 Luaran: 1. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/lanskap perkotaan Dilaksanakannya penelitian tentang aspek kebijakan pengelolaan dan pengembangan hutan kota Dokumen sintesis, LHP, publikasi dan policy brief Sumberdaya penelitian tercukupi. Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pelaksana. Data sudah lengkap dan valid. 2. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan Dilaksanakannya penelitian : 1) Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/hutan kota, 2). Kajian jenis potensial untuk pengembangan hutan kota, 3) Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup Dokumen sintesis, LHP, publikasi ilmiah dan semipopuler, policy brief, buku mengenai jenis-jenis pohon untuk pengembangan hutan kota yang dilengkapi dengan deskripsi, gambar dan lain-lain. 16 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

61 No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 4 Kegiatan: 1.1 Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota 2.1. Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan 2.2. Kajian jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota Penelitian dapat memberikan informasi tentang status terkini IPTEK dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan ekosistem hutan di perkotaan Penelitian dapat memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan sosialisasi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan Penelitian dapat memberikan informasi kemampuan jenisjenis pohon dalam menyerap dan menyerap polutan. Demplot model hutan kota yang dilengkapi dengan koleksi jenis-jenis pohon potensial kurang dikenal. Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian Bahan pembelajaran untuk pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian Penelitian berlangsung sesuai RPTP. Tidak ada kendala teknis. Koordinasi berlangsung secara baik. Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 17

62 No Narasi Indikator Alat Verifikasi Asumsi 2.3. Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup Penelitian dapat memberikan informasi dan persyaratan teknis pembangunan dan pengelolaan jenis-jenis pohon untuk kawasan perkotaan; taman, jalur ruang terbuka hijau, kawasan pemukiman, kawasan industri, bantaran sungai, kebun dan pekarangan. Penelitian dapat memberikan informasi tentang potensi dan nilai ekologis ruang terbuka hijau di perkotaan, serta dapat menjawab permasalahan dalam mewujudkan Hutan Kota yang sesuai fungsinya. Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian 18 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

63 Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi i

64 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

65 Lembar Pengesahan Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi iii

66 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

67 Daftar Isi Lembar Pengesahan... iii Daftar Isi... v Daftar Gambar... vi Daftar Tabel... vii Daftar Singkatan... ix I. Abstrak...1 II. Latar Belakang... 2 III. Rumusan Masalah...4 IV. Hipotesis... 5 V. Tujuan dan Sasaran... 5 VI. Luaran...6 VII. Ruang Lingkup...6 VIII. Metode... 7 IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya...9 X. Organisasi XI. Daftar Pustaka XII. Kerangka Kerja Logis...13 Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi v

68 Daftar Gambar Gambar 1. Infrastruktur yang Diperlukan REDD (MoF, 2008)... 7 Gambar 2. Kerangka Pikir Riset Integratif...8 Gambar 3. Metode Analisis Penelitian...9 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

69 Daftar Tabel Table 1. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi vii

70 viii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

71 Daftar Singkatan BBPD BPHPS BPK BUMN CIFOR COP GDP GRK ICRAF Iptek LHP LSM MoF PHL REDD RPTP SBSTA SDM UNFCCC UPT : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa : Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat : Balai Penelitian Kehutanan : Badan Usaha Milik Negara : Center for International Forestry Research : Conference of the Parties : Gross domestic product : Gas rumah kaca : International Centre for Research in Agroforestry : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : Laporan Hasil Penelitian : Lembaga Swadaya Masyarakat : Ministry of Forestry : Pengelolaan Hutan Lestari : Reducing Emission from Deforestation and Degradation : Rencana Penelitian Tim Peneliti : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice : Sumberdaya manusia : United Nations Framework Convention on Climate Change : Unit Pelaksana Teknis Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi ix

72 x RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

73 I. ABSTRAK Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation, REDD) merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but differentiated responsibilities). REDD ini merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Untuk mengetahui upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim tanpa mengurangi tujuan pembangunan lokal dan nasional diperlukan dukungan penelitian yang integratif mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Dukungan penelitian ini diperlukan mulai dari tahap persiapan, sampai tahap pelaksanaan untuk mencapai keberhasilan mekanisme REDD. Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Penelitian yang akan dilakukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD dan REDD plus yaitu, bagaimana: (i) meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon, (ii) mempertahankan stok carbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko, serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan. Pada akhir kegiatan diharapkan diperoleh rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD dan REDD Plus. Kata Kunci : Emisi, REDD, REDD Plus, kelembagaan, sistem, biaya, manfaat, resiko, karbon, kebijakan Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 1

74 II. Latar Belakang Pengurangan Emisi dari Deforestasi 1 dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation, REDD) merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but differentiated responsibilities). Indonesia melalui UU No. 6/1994 telah mensahkan konvensi UNFCCC ini. Deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi terhadap emisi CO 2. Kontribusi deforestasi dan degradasi terhadap emisi gas rumah kaca global yaitu 18 %, (Stern, 2007), dan 75 persennya berasal dari negara berkembang. Stern (2007) juga mengemukakan untuk menekan laju emisi global pada level ppm atau untuk menstabilkan kembali iklim global, apabila dilakukan saat ini diperlukan biaya sebesar 1 sampai 3.5% GDP global 2. Apabila upaya penekanan ini ditunda, biaya dan resikonya akan lebih tinggi, bahkan dapat mencapai 5-20 % dari GDP global. Karena itu Indonesia mempunyai peran yang penting untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Hal ini terutama karena luasnya hutan Indonesia dan pentingnya penghindaran deforestasi dalam upaya mengurangi emisi CO 2. Luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120 juta ha atau sekitar 60 persen dari total luas Indonesia mempunyai fungsi langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung, dan 5.4 persen angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi nasional antara tahun 1980s 1990s. Fungsi tidak langsung hutan adalah sebagai sumber mega biodiversitas, pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan 1 Definisi deforestasi yang akan digunakan perlu disepakati. Menurut Keputusan 11/ CP.7UNFCCC deforestasi didefinisikan sebagai konversi hutan menjadi bukan hutan sebagai akibat langsung dari aktivitas manusia. Di dalam submisi ke SBSTA 25 yang lalu, Indonesia mengajukan definisi Deforestasi sebagai hilangnya hutan akibat aktivitas manusia yang meliputi konversi hutan menjadi penggunaan lain yang memiliki stok karbon yang lebih rendah, dan hilangnya hutan akibat dari proses degradasi yang berkelanjutan sebagai akibat dari kebakaran yang beruntun dan pemanenan kayu yang tidak berkelanjutan. 2 1 % GDP global saat ini sekitar US $ 400 million. 2 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

75 sink. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terjadi di kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi terutama konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan prasarana wilayah, serta degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan. Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu pulau, ndonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, baik dari sisi lingkungan, sosial, ekonomi. Karena itu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah masalah survival dan masalah pembangunan yang berkelanjutan. Dan perubahan iklim merupakan salah satu kendala dalam upaya mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini karena dari sisi suplai, pertama, proporsi luas hutan di Indonesia, menyebabkan kehutanan merupakan sumber daya strategis untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akibat kemungkinan meningkatnya emisi GRK. Kedua, tinggi tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan seperti pertanian dan kehutanan, yang sensitif terhadap perubahan iklim. Ketiga, relatif rendahnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita yang menjadikan kapasitas terbatas. Secara lebih terinci pengurangan emisi kehutanan diarahkan pada: 1. Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon (semua kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan), 2. Mempertahankan stok carbon ( konservasi hutan dan Sustainable Forest Management yang merupakan hasil dari Bali Plan di Conference of the Parties (COP) 13 di Bali, yang dikenal dengan sebutan REDD plus 1, 3. Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi: PHL, pencegahan illegal logging, penanggulangan kebakaran, pencegahan konversi dan perambahan Beberapa kegiatan yang berkaitan adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi dan mengelola hutan yang masih tersisa, mengelola kawasan konservasi, kawasan lindung, dan hutan produksi alam, mencegah konversi dan kebakaran hutan. Dengan dilakukan kegiatan ini berarti Indonesia sudah mengurangi emisi CO 2 dan meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan terdegradasi dan 1 Dengan definisi ini artinya, kegiatan pengayaan hutan, penerapan sistem silvikultur dengan dampak tebang rendah (reduced impact logging), menkonservasi karbon di hutan konservasi dan lindung, dapat masuk ke dalam kategori kegiatan REDD plus. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 3

76 mengarahkan pengembangan hutan tanaman dan perkebunan ke lahanlahan tersebut, akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan carbon, dan pada akhirnya juga meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim. Disamping itu juga mempertahankan fungsifungsi lain seperti konservasi sumberdaya genetik dan keaneka-ragamannya, perlindungan tata air, serta fungsi sosial-ekonomi terutama bagi masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya dari hutan. Karena itu, tekanan perubahan iklim memerlukan penetapan kebijakan dan strategi yang dapat mengakomodasi semua pihak baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Selain itu, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi akan memberikan revenue yang signifikan bagi Indonesia dalam mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan. Potensi tersebut akan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan Indonesia melakukan: (i) Pemantauan perubahan penutupan hutan dan cadangan stok karbon, dan (ii) Kesiapan perangkat peraturan dan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD baik secara horizontal maupun vertikal. III. Rumusan Masalah Sebagai suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan merupakan hasil kesepakan negara-negara yang tergabung dalam kerangka konvensi UNFCCC, REDD mensyaratkan berbagai kesepakatan yang dikeluarkan dalam setahun sekali dalam konferensi para pihak UNFCCC. Kesepakatan ini diharapkan dapat diakomodasi oleh negara yang menginginkan mekanisme REDD ini diterapkan. Untuk Indonesia, berdasarkan studi MoFor (2008), diperlukan lima pilar penyangga kegiatan REDD yaitu: (i) Pembangunan Referensi Tingkat Emisi (Reference Emission Level REL ) 1, Penyiapan Strategi REDD Indonesia, (iii) Pembangunan Monitoring Sistem, (iv) Mekanisme Pasar, dan (v) Mekanisme Distribusi Insentif dan Tanggung Jawab. Untuk mempersiapkan kelima pilar tersebut diperlukan upaya yang tidak sedikit, mulai dari peningkatan kesadaran dan peningkatan kapasitas 1 Emisi referensi merupakan tingkat emisi yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar tingkat penurunan emisi yang berhasil dilakukan dari pencegahan kegiatan konversi dan kerusakan hutan yang akan dijadikan basis besarnya kompensasi yang akan diberikan. Penentuan emisi referensi masih akan dinegosiasikan di COP13 di Bali, diantaranya dengan mengikuti pola emisi historis, dengan membuat model pendugaan emisi ke depan dan dengan menggunakan besar emisi atau stok karbon sebelum atau menjelang kegiatan REDD dilaksanakan (MoFor, 2008). 4 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

77 untuk para pihak terkait REDD, konsultasi dan komunikasi stakeholders, peningkatan akses terhadap data, informasi, dan teknologi; penyiapan regulasi dan identifikasi dan pelibatan instansi penanggung jawab dan pihakpihak yang menangani atau terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Untuk menjawab masalah tersebut, diperlukan dukungan penelitian yang integratif, yang mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Penelitian yang akan dilakukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD dan REDD plus yaitu, bagaimana: (i) meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon, (ii) mempertahankan stok karbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko, serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan. IV. Hipotesis Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas hutan dalam pengurangan emisi merupakan upaya strategis untuk mitigasi GRK. 2. Faktor tingginya tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan seperti Pertanian, Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi dan Depdagri, memerlukan penangan harmonisasi kebijakan, regulasi, institusional dan teknis bersama. 3. Kondisi sosial dan ekonomi lokal, nasional, dan internasional berpengaruh pada perumusan kebijakan dan kelembagaan untuk strategi pengurangan emisi mitigasi kehutanan. V. Tujuan dan Sasaran Tujuan umum penelitian ini adalah menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan. Tujuan penelitian secara khusus adalah: 1. Mengidentifikasi dan merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan dengan melakukan analisis terhadap: Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 5

78 a. Distribusi insentif dan peran dalam REDD dan REDD Plus b. Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus c. Pasar d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) e. Resiko f. Colateral Benefit g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak 2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD dan REDD Plus. Sasaran penelitian ini adalah : a. Tersedianya informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi b. Distribusi insentif dan tanggung jawab c. Tatakelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus d. Pasar e. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) f. Resiko g. Colateral Benefit h. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak 3. Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam mendukung implementsi REDD dan REDD plus VI. Luaran 1. Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD dan REDD Plus VII. Ruang Lingkup Penelitian ini didasarkan pada Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan infrastruktur yang diperlukan dalam persiapan REDD sebagaimana dilihat dalam Gambar 1. Fokus dari penelitian ini sesuai dengan temanya difokuskan pada infrastruktur 2, 4 dan 5, yaitu strategi, pasar dan pendistribusian tanggungjawab dan insentif dari REDD. Dengan coverage dari kegiatan ini nasional dan sub nasional. 6 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

79 National approach, sub-national implementation Historical emission /future scenario Reference Emission Level Forest cover and carbon stock changes, National registry CO 2 $ Strategy Monitoring Attractiveness, Source of fund Market/ Funding Responsibilities and benefits Distribution Awareness raising Capacity building Access to data Access to technology Stakeholders communication WG-FCC REDDI Guideline REDDI Committee Rekomendasi IFCA 2007 : Strategi REDD di 5 tipe landscapes : Hutan Produksi, Hutan Konservasi, HTI, Peat land, Pengembangan kelapa sawit (terkait perubahan penggunaan lahan) Gambar 1. Infrastruktur yang Diperlukan REDD (MoF, 2008) VIII. Metode A. Kerangka Pikir Riset Riset ini akan lebih memfokuskan pada bagaimana fungsi hutan sebagai pengemisi karbon dapat dihindari, beserta mekanisme pendanaan dan metode yang telah diakui secara internasional, baik voluntari maupun compliance (REDD). Kerangka pikir riset dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Gambar terlihat bahwa aspek yang akan dilihat adalah: (i) aspek sosial dan budaya, (ii) ekonomi dan (iii) kelembagaan dan kebijakan, serta (iii) metode, monitoring dan pelaporan. Aspek sosial dan budaya akan meliputi tenurial, resiko sosial, masyarakat adat dan peningkatan kapasitas parapihak umumnya. Untuk aspek ekonomi mencakup Distribusi insentif dan peran dalam REDD dan REDD Plus. Untuk aspek ekonomi mencakup tatakelola, kelembagaan dan kebijakan REDD dan REDD Plus, Pasar Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi), Resiko dan colateral benefit. Untuk kelembagaan dan kebijakan meliputi penelitian kesiapan kelembagaan, termasuk regulasi dan kelembagaan. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 7

80 Problem 1 Problem 2 Pemanasan Global Rehabilitasi, Deforestasi, Degradasi hutan CDM Funds Volun REDD Sink/ Removal Hutan Source/ Emisi Kebijakan, Kelembagaan dan Institusi Pengguna Gambar 2. Kerangka Pikir Riset Integratif B. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi: 1. Desk study dalam upaya mencari riset status dan sinkronisasi penelitian yanga telah dan sedang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian seperti CIFOR, ICRAF, universitas, dan lembaga penelitian lainnya. 2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif di tingkat sub nasional di daerah dan nasional di pusat. Di daerah (dinas kehutanan provinsi dan kebupaten/kota), Swasta, BUMN, serta masyarakat dan kalangan LSM, dalam rangka validasi dan pengkayaan hasil desk study. 3. Wawancara (konsultasi) dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas. 8 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

81 C. Metode Analisis Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Secara umum analisis yang digunakan tertera dalam Gambar 3. PENDEKATAN EMPIRIS Uji konsistensi, Gap Analisis, Skoring PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUANTITATIF Matrix, AHP, PRA, IPCC guideline PENDEKATAN KUANTITATIF Modeling, Simulasi, Kuantitatif analysis, Economic analysis, Analisis biaya Gambar 3. Metode Analisis Penelitian Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian tersaji pada tabel 1. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 9

82 Table 1. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM 16 Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 16.1 Luaran 1 : Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD dan REDD plus PUSLITSOSEK Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD dan REDD plus PUSLITSOSEK BBPD Samarinda BPK Manokwari BPHPS Kuok BPK Solo Analisis Sosial budaya REDD PUSLITSOSEK BBPD Samarinda BPK Manokwari BPHPS Kuok BPK Makassar Luaran 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD dan REDD Plus Kajian Tatakelola REDD dan REDD plus PUSLITSOSEK BPK Manokwari BPHPS Kuok BPK Makassar Analisis Pasar dan Pendanaan REDD PUSLITSOSEK Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD plus PUSLITSOSEK RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

83 Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) BBPD Samarinda BPK Manokwari BPK Ciamis BPK Mataram BPK Solo TOTAL ANGGARAN X. Organisasi RPI ini berada dibawah koordinasi Puslitsosek, dengan koordinator Dr. Kirsfianti L. Ginoga, MSc. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan seperti BBPD Samarinda, BPK Manokwari, BPK Palembang, serta instansi terkait lainnya. XI. Daftar Pustaka Boer, R Presentasi pembukaan pada Workshop Nasional IFCA. Jakarta. November Chomitz, K.M Policies for national-level avoided deforestation programs: a proposal for discussion. Background paper for Policy Research Report on Tropical Deforestation Geoffrey Heal, G. and Kevin Conrad A solution to climate change in the world s rainforests Financial Times. trackback/ Indonesia Forestry Climate Alliance (IFCA) Laporan konsolidasi Penurunan emisi gas rumah kaca dari pencegahan konversi dan degradasi hutan (REDD). Departemen Kehutanan. Jakarta IPCC Land use, Land-use change, and Forestry-Intergovernmental Panel on Climate Change Special Report (eds. Watson R.T., Noble I.R., Bolin B., Ravindranath N.H., Verardo D.J., Dokken D.J.) Cambridge University Press, IPCC Summary for Policy Makers. In Climate Change 2001: Mitigation Contribution of Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press: Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 11

84 IPCC 2006, 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.IPCC Kremen, C., J. O. Niles, M. G. Dalton, G. C. Daily, P. R. Ehrlich, J. P. Fay, D. Grewal, R. P. Guillery Economic Incentives for Rain Forest Conservation Across Scales. Science. June 2000 Vol Moutinho, P. dan Stephan Schwartzman Tropical Deforestation and Climate Change. IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA Stern, N Stern Review: The Economics of Climate Change. Murdiyarso, D, dan Hetty Herawati Carbon Forestry: Who Will Benefit?. CIFOR. Bogor. Moutinho, Paulo, and Stephan Schwartzman Tropical deforestation and climate change / edited by. -- Belém - Pará - Brazil : IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA : Environmental Defense. Niles, J. O., S. Brown, J. Pretty, A.Ball, J. Fay Potential Carbon Mitigation and Income in Developing Countries from Changes in Use and Management of Agricultural and Forest Lands. Centre for Environment and Society Occasional Paper , University of Essex. UK. Niles, J.O., S. Brown, J. Pretty, A.S. Ball, and J. Fay Potential carbon mitigation and income in developing countries from changes in use and management of agricultural and forest lands. Phil.Trans.R.Soc. Land. The Royal Society. Philibert, Cédric Approaches For Future International Co-Operation. Organisation for Economic Co-operation and Development International Energy Agency. Organisation de Coopération et de Développement Economiques Agence internationale de l énergie. Paris. Santilli, Ma rcio, Paulo Moutinho, Stephan Schwartzman, Daniel Nepstad, Lisa Curran and Carlos Nobre Tropical deforestation and the kyoto protocol An editorial essay. Climatic Change (2005) 71: Santilli, M. P. Moutinho, S. Schwartzman, D. Nepstad, L. Curran, and C. Nobre Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climate Change (2005) 71: RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

85 Schlamadinger, B. N. Bird, S. Brown, J. Canadell, B. Clabbers, M. Dutschke,J. Fiedler, A. Fischlin, P. Fearnside, C. Forner, A. Freibauer, P. Frumhoff, N. Hoehne, T. Johns, M. Kirschbaum, A. Labat, G. Marland, A. Michaelowa, L. Montanarella, P. Moutinho, D. Murdiyarso, N. Pena, K. Pingoud, Z. Rakonczay, E. Rametsteiner, J. Rock, M.J.Sanz, U. Schneider, A. Shvidenko, M. Skutch, P. Smith, Z. Somogyi, E. Trines, M. Ward, Y. Yamagata Options for including LULUCF activities in a post-2012 international climate agreement. Final Draft for publication in Special Issue of Environment Science and Policy Schlamadinger, B. N., L. Ciccarese, M. Dutschke, P. M. Fearnside, S. Brown, D. Murdiyarso Should we include avoidance of deforestation in the international response to climate change? CIFOR. Bogor. Stiglitz, J. E Global Green Trade. XII. Kerangka Kerja Logis NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN : Umum : Menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan Khusus : 1. Mengidentifikasi dan merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan 2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD dan REDD Plus Dihasilkannya rekomendasi-rekomendasi tentang: a) Distribusi Insentif dan Tanggung Jawab REDD b) Rumusan Tata kelola c) Rekomendasi Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD Plus d) Potensi dan Peluang Pasar dan Pendanaan karbon e) Kelayakan, Biaya (Resiko) dan Manfaat (Colateral Benefit) Kegiatan REDD dan REDD Plus f) Peranan Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat dan parapihak dalam kegiatan REDD dan REDD Plus Dokumen mengenai rekomendasi implementasi kegiatan REDD dan REDD plus, yang dikemas dalam síntesis formulasi hasil penelitian, Laporan, Jurnal dan Policy Brief SDM dan sumberdaya lain mendukung Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 13

86 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI SASARAN : 1. Tersedianya Informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi, yang meliputi aspek a) Distribusi Insentif dan tanggung jawab b) Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus c) Pasar dan Pendanaan d) Analisis kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) e) Resiko f) Colateral Benefit g) Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat, parapihak Telah dilakukannya penelitian terkait dengan: a. Distribusi Insentif dan tanggung jawab b. Tatakelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus c. Pasar dan Pendanaan d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) e. Resiko f. Colateral Benefit g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat, parapihak Sintesis hasil penelitian terkait IPTEK Sosek Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim SDM dan sumberdaya lain mendukung 2. Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam mendukung implementasi REDD dan REDD Plus Tersedianya rekomendasi strategis Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dan REDD plus Tersediannya Laporan, Publikasi Ilmiah dan Policy Brief SDM dan sumberdaya lain mendukung 14 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

87 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI LUARAN : 1. Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim 1. Dilaksanakannya penelitiannya (i) Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD dan REDD plus, (ii) Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD dan REDD plus, dan (iii) Analisis Sosial budaya REDD 5 ( lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis SDM dan sumberdaya lain mendukung 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD dan REDD Plus 2. Dilaksanakannya penelitian (i) Kajian Tatakelola REDD dan REDD plus, (ii) Analisis Pasar dan Pendanaan REDD, dan (iii) Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD plus 5 (lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis SDM dan sumberdaya lain mendukung KEGIATAN: 1.1 Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD dan REDD plus 1.2 Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD dan REDD plus 1.3 Analisis Sosial budaya REDD Penelitian berhasil menghasilkan formulasi peran, tanggungjawab dan insentif parapihak terkait REDD dan REDD plus Dokumen hasil penelitian, laporan, Publikasi SDM dan sumberdaya lain mendukung 2.1 Kajian Tatakelola REDD dan REDD plus 2.1 Analisis Pasar dan Pendanaan REDD 2.2 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD plus Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 15

88 16 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

89 Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory Inventory) Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) i

90 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

91 Lembar Pengesahan Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) iii

92 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

93 Daftar Isi Lembar Pengesahan... iii Daftar Isi... v Daftar Gambar... vi Daftar Tabel... vii Daftar Singkatan... ix I. Abstrak...1 II. Latar Belakang...1 III. Rumusan Masalah... 2 IV. Hipotesis...4 V. Tujuan dan Sasaran...4 VI. Luaran... 5 VII. Ruang Lingkup... 5 VIII. Metode...8 IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya...15 X. Organisasi...17 XI. Daftar Pustaka...17 XII. Kerangka Kerja Logis Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) v

94 Daftar Gambar Gambar 1. Sumber emisi dan serapan GRK untuk sektor Agriculture, Forestry and Land Use (AFOLU) (Sumber: IPCC 2006)...6 Gambar 2. Strategi Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan...8 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

95 Daftar Tabel Table 1. Negara-negara pengemisi GRK, tanpa LULUCF (Baumertz et al, 2005)... 3 Table 2. Negara pengemisi GRK terbesar di dunia (Juta Ton CO2 e) (Peace, 2007)... 3 Table 3. Komponen GRK dan potensinya terhadap pemanasan global..6 Table 4. Pilihan Pendekatan dan Tiers... 7 Table 5. Kategori penutupan lahan menurut IPCC dan kategori penutupan lahan/hutan di Indonesia Table 6. Format pelaporan umum hasil inventarisasi GRK sektor LULUCF...13 Table 7. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya...15 Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) vii

96 viii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

97 Daftar Singkatan AGB ALU BAU BBPD BGB BPK BPHPS CAIT CDM Ditjen GL GN RHL GPG GRK HR HTI HTR INCAS IPB IPCC LHP LULUCF MAI MRV NFI OMOT PHKA : Above Ground Biomass : Agriculture and Landuse : Business as Usual : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa : Below Ground Biomass : Balai Penelitian Kehutanan : Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat : Climate Analysis Indicators Tool : Clean Development Mechanism : Direktorat Jenderal : Guideline : Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan : Good Practice Guidance : Gas Rumah Kaca : Hutan Rakyat : Hutan Tanaman Indonesia : Hutan Tanaman Rakyat : Indonesia National Carbon Accounting System : Institut Pertanian Bogor : International Panel on Climate Change : Laporan Hasil Penelitian : Land Use, Land Use Change and Forestry : Mean Annual Increment : Measurable, Reportable and Verifiable : National Forest Inventory : One Man One Tree : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) ix

98 REDD REDDI REL RLPS RPI Tier UNFCCC WRI : Reduced Emission from Deforestation and Degradation : Reduced Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia : Reference Emission Level : Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial : Rencana Penelitian Integratif : Tingkat Kerincian : United Nations Framework Convention on Climate Change : World Resource Institute x RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

99 I. ABSTRAK Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (land use, land use change and forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Di tingkat global, kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di tingkat nasional mencapai 74 %. Indonesia penting untuk menerapkan metode inventarisasi gas rumah kaca dengan hasil inventarisasi yang lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), perlu untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance) termasuk mekanisme REDD. Kajian mengenai kondisi terkini metode perhitungan emisi perlu dilakukan sebagai informasi guna mengembangkan sistem perhitungan GRK di Indonesia. Tingkat kerincian (Tier) yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3) untuk activiy data dan emission factor diperlukan guna memperoleh hasil perhitungan emisi yang akurat. Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca, berbagai metode inventarisasi telah dikembangkan. Diantaranya IPCC (International Panel on Climate Change) telah mengembangkan metode yang telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi metode IPCC Guideline memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Penelitian dalam RPI mencakup kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, penelitian untuk memperbaiki activity data dan faktor emisi/serapan lokal untuk berbagai tipe hutan atau penggunaaan lahan, serta pengaplikasian IPCC GL untuk perhitungan emisi. Hal ini guna memperbaiki sistem inventarisasi GRK khususnya kehutanan yang MRV untuk berbagai keperluan dimasa yang akan datang. Kata Kunci : inventarisasi gas rumah kaca, IPCC Guideline, sektor LULUCF II. Latar Belakang Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca. Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di Indonesia First National Communication melaporkan LULUCF sebesar 74 %. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 1

100 akan sangat menetukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission). Di Indonesia estimasi penghitungan emisi tahun 1990-an menunjukkan hasil yang sangat bervariasi yaitu antara juta ton, dengan serapan karbon antara juta ton (Boer et al., 1999). Variasi ini disebabkan oleh perbedaan activity data (misalnya luas hutan, luas grassland, konversi dan penggunaan lahan lainnya), konsumsi kayu, faktor emisi, metode pengukuran serta asumsi yang digunakan dalam analisis. Untuk kepentingan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) kehutanan diperlukan data yang akurat dan metode yang diakui internasional untuk melaporkan perkembangannya. Hal ini untuk mendukung tercapainya hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance). III. Rumusan Masalah Kontribusi sektor kehutanan dalam emisi GRK cukup besar. Berbagai laporan menyebutkan, tanpa kontribusi sektor LULUCF Indonesia ada diperingkat 15 dunia sedangkan dengan LULUCF indonesia adalah negara pengemisi terbesar ke 3 di dunia sebagaimana terlihat pada Tabel-Tabel berikut. 2 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

101 Table 1. Negara-negara pengemisi GRK, tanpa LULUCF (Baumertz et al, 2005) Table 2. Negara pengemisi GRK terbesar di dunia (Juta Ton CO2 e) (Peace, 2007) Untuk memberikan informasi besarnya emisi dan serapan dari sektor LULUCF di Indonesia, diperlukan data yang valid, terutama dari segi metode, asumsi dan waktu. Karena itu inventarisasi dan pelaporan perubahan emisi dengan menggunakan metode yang secara internasional Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 3

102 sudah terakreditasi perlu untuk dilakukan, sebagai salah satu kewajiban negara-negara yang meratifikasi konvesi perubahan iklim United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change) adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Untuk negara Non-Annex 1 dapat menggunakan revised IPCC 1996 guideline sementara itu negara maju yang masuk dalam negara Annex 1 sejak tahun 2005 wajib menggunakan metode dalam LULUCF GPG Meskipun demikian, negara non-annex 1 disarankan agar juga menggunakan LULUCF-Good Practice Guidance (GPG) 2003 atau 2006 IPCC Guide Line (GL). Perhitungan emisi GRK kehutanan termasuk aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertanity) dan konsisten dalam pembagian kategori lahan. Hasil perhitungan emisi akan menghasilkan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stock karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO 2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Sampai saat ini Indonesia belum memiliki institusi khusus yang melakukan inventarisasi dan monitoring GRK. Hal ini menimbulkan permasalahan yaitu kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-co 2 gas yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. IV. Hipotesis Peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang perhitungan emisi GRK sektor kehutanan dan penggunaan faktor emisi atau serapan lokal akan meningkatkan kualitas hasil perhitungan emisi GRK sektor kehutanan (peningkatan dari Tier 1 menjadi Tier 2 atau 3). V. Tujuan dan Sasaran Menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan. Sasaran yang ingin dicapai adalah : 1. Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan yang meliputi metode inventarisasi, institusi dan data kegiatan, faktor emisi atau serapan, pengurangan emisi dari substitusi penggunaan energi 4 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

103 fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan serta kontribusi sektor kehutanan di Indonesia dalam target penurunan emisi sebesar 26%. 2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan 3. Diaplikasikannya metode IPCC GL untuk penghitungan emisi GRK kehutanan, serta metode penghitungan Reference Emission Level (REL). Diharapkan para pihak yang nantinya berkepentingan dalam pelaksanaan perhitungan perubahan emisi dapat melakukannya dengan lebih mudah, dan memberikan hasil yang baik. Aplikasi dari penghitungan emisi menggunakan IPCC GL juga merupakan alat untuk menentukan REL atau referensi emisi (baseline), yang merupakan salah satu infrastruktur yang diperlukan untuk kesiapan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di Indonesia (REDDI). Untuk menetapkan REL ini diperlukan metode yang terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV- measurable, reportable, verifiable), serta telah diakui secara internasional. VI. Luaran Penelitian ini akan menghasilkan luaran : 1. Rekomendasi hasil kajian inventarisasi GRK kehutanan 2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi atau serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman) 3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC GL 2006) dan metode penentuan REL VII. Ruang Lingkup Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai pengemisi karbon (emitter) dan penyerap karbon (sinker), sebagaimana terlihat pada Gambar 1 berikut: Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 5

104 Gambar 1. Sumber emisi dan serapan GRK untuk sektor Agriculture, Forestry and Land Use (AFOLU) (Sumber: IPCC 2006) Selain CO 2, sektor AFOLU juga mengemisi GRK lainnya seperti N 2 O dan CH 4. Gas-gas ini memiliki potensi pemanasan global (GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO 2. Tabel 3 menunjukkan jenis gas rumah kaca dan besarnya potensi gas tersebut terhadap pemanasan global. Table 3. Komponen GRK dan potensinya terhadap pemanasan global Komponen GRK Potensi Pemanasan Global (GWP) Carbon Dioxide, CO 2 1 Methane, CH 4 23 Nitrous Oxide, N 2 O 296 Hydrofluorocarbons, HFC Perfluorocarbons, PFC Sulfur Hexafluoride Sumber: IPCC Third Assessment Report (2001) Dalam inventarisasi GRK, metode yang telah disepakati dan digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC adalah metode IPCC GL Metode ini memberikan tahapan dan langkah yang diperlukan untuk pengukuran, pemantauan dan pelaporan perubahan emisi. 6 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

105 Komponen penting dalam inventarisasi GRK adalah data kegiatan (activity data) dan faktor emisi atau serapan (emission factor). Activity data merupakan kuantifikasi perubahan luas areal untuk setiap kategori emisi atau serapan. Sedangkan faktor emisi/serapan adalah kemampuan untuk mengemisi atau menyerap GRK dari suatu unit/kategori lahan yang dikonversi (misalnya dalam ton CO2/biomas per ha per tahun). Masingmasing activity data dan emission factor memiliki tingkat kerincian (Tier). Tingkat kerincian atau Tiers yang digunakan tertera pada Tabel 1. Terdapat tiga pilihan kerincian, yaitu Tier 1, 2 dan 3. Penelitian ini bertujuan agar terjadi peningkatan kerincian dalam inventarisasi GRK kehutanan (tidak lagi menggunakan Tier 1 untuk mendukung sistem pelaporan yang baik serta skema perdagangan karbon lainnya termasuk pasar sukarela dan mekanisme REDD). Table 4. Pilihan Pendekatan dan Tiers Pendekatan untuk menentukan perubahan luas areal (Activity Data) 1. Pendekatan Non-spasial : dari data statistik negara/global (mis FAO ) memberikan gambaran umum perubahan luas hutan 2. Berdasarkan peta, hasil survey dan data statistik nasional/lokal 3. Data spatial dari interpretasi penginderaan jauh dengan resolusi tinggi Tingkat kerincian faktor emisi (Emission Factor) (Tier): perubahan cadangan karbon Tier 1 (basic). Memakai data yang diberikan oleh IPCC (data default values) pada skala global Tier 2 (intermediate). Data spesifik dari tiap negara (nasional/lokal) untuk beberapa jenis hutan yang dominan atau yang utama Tier 3 (most demanding). Data cadangan karbon dari Inventarisasi Nasional, yang diukur secara berkala atau dengan modelling Dengan demikian lingkup penelitian ini adalah terkait inventarisasi GRK kehutanan yaitu penyediaan data dan informasi, serta menyajikan proses dan pilihan perhitungan emisi yang meliputi 5 carbon pools, jenis GRK dan tingkat kerincian (Tier) untuk berbagai kategori penutupan lahan. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 7

106 VIII. Metode Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan Kajian inventarisasi GRK kehutanan Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman) 1. Kajian metode inventarisasi 2. Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) 3. Kajian faktor emisi dan serapan 4. Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas 5. Kajian sistem monitoring/pelaporan 6. Kajian penurunan emisi 26 % 1. Hutan alam gambut 2. Hutan alam mineral 3. Hutan tanaman gambut 4. Hutan tanaman mineral Informasi Ilmiah Template dan Rekomendasi Inventarisasi GRK Kehutanan Aplikasi i Perhitungan emisi GRK 1. Metode IPCC untuk lokasi Sumatera 2. Metode REL Gambar 2. Strategi Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan A. Kajian Inventarisasi GRK 1. Kajian Metode Inventarisasi Kajian meliputi berbagai metode telah dikembangan untuk menghitung besarnya emisi di sektor LULUCF. Metode yang paling banyak dipakai adalah metode inventarisasi GRK yang dikembangkan oleh IPCC. IPCC telah mengembangkan metode inventasisasi GRK sejak tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari (1) Changes in forest and other woody biomass stocks (2) Forest and grassland conversion (3) Abandonment of croplands, pastures, plantation forests or other managed lands (4) CO2 emissions and removals from soils dan (5) Others. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL Aplikasi IPCC GL 2006 akan menghasilkan inventarisasi yang lebih baik, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertainty), konsistensi pembagian kategori lahan, estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan serta non CO 2 gas 8 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

107 (berdasarkan analisis key source/sink category). Hal ini berimplikasi kepada penyediaan data untuk activity data dan faktor emisi terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-co 2 gas yang terkait. LULUCF IPCC GPG 2006, membagi kategori lahan dalam 6 kategori yaitu: (1) Forest land, (2) Grassland, (3) Cropland, (4) Wetland, (5) Settlement, and (6) Other land. Setiap kategori tersebut memiliki potensi GRK masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masingmasing penggunaan lahan. Metode lain diantaranya adalah National Carbon Accounting System yang dikembangkan oleh Australia dan saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan dan diadopsi oleh Indonesia menjadi Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS). University of Colorado juga mengembangkan software untuk menghitung emisi gas rumah kaca khususnya sektor Agriculture and Landuse (ALU) software. Software ini pada dasarnya untuk mendukung sistem inventarisasi GRK dengan metode IPCC. Hasil dari penggunaan program ini akan sama dengan IPCC GL. Sistem lain diantaranya adalah yang dikembangkan oleh World Resource Institute (WRI) yang dikenal dengan CAIT program. Sementara itu di TN Lore Lindu telah dipasang alat untuk memonitor CO 2, alat ini perlu dipelajari/ dianalisis untuk kemungkinan pengembangan di wilayah lain dan dapat memberikan kontribusi terhadap sistem perhitungan GRK. 2. Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Dalam kegiatan inventarisasi GRK, faktor yang sangat menentukan besarnya GRK adalah luas perubahan lahan yang terjadi selama periode waktu tertentu. Untuk menghasilkan data besarnya perubahan penggunaan lahan diperlukan informasi dari hasil citra satelit. Institusi yang bertanggung jawab dalam penyediaan data perubahan penutupan lahan di Indonesia untuk sektor kehutanan adalah Ditjen Planologi. Kegiatan ini akan mengkaji sistem yang ada dan akan dikembangkan oleh Ditjen Planologi termasuk Teknologi Remote Sensing dan jenis satelit atau images yang digunakan. Klasifikasi penutupan lahan yng dikembangkan oleh IPCC adalah 6 kategori yaitu: (1) Forest land, (2) Grassland, (3) Cropland, (4) Wetland, (5) Settlement, and (6) Other land. Sampai saat ini sistem pembagian kategori penutupan lahan yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan (Ditjen Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 9

108 Planologi) adalah 23 kategori. Kategori ini apabila dihubungkan dengan kategori lahan menurut IPCC adalah sebagai berikut : Table 5. Kategori penutupan lahan menurut IPCC dan kategori penutupan lahan/hutan di Indonesia Kategori IPCC 2006 Kategori Hutan FL Hutan Lahan Kering Primer (UD) FL Hutan Rawa Primer (UD) FL Hutan Mangrove Primer (UD) FL Hutan Lahan Kering Sekunder (D) FL Hutan Rawa Sekunder (D) FL Hutan Mangrove Sekunder (D) FL Hutan Tanaman Area Penggunaan Lain (APL) GL Belukar WL Belukar rawa OL Tanah terbuka WL Rawa CL Pertanian CL Pertanian campur semak CL Transmigrasi S Permukiman GL Padang rumput CL Sawah CL Perkebunan OL Tambak OL Bandara - Air - Awan 10 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

109 3. Kajian Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan Dalam rangka inventarisasi GRK kehutanan, selain activity data informasi yang diperlukan adalah faktor emisi atau serapan. Faktor emisi atau serapan untuk kehutanan merupakan kemampuan jenis vegetasi atau hutan untuk tumbuh (mean annual increment/mai) atau potensi biomas (stok) dari tipe hutan tertentu. Banyak tipe hutan di indonesia yang dibagi menurut fungsinya (hutan lindung, hutan produksi atau hutan konservasi), menurut ketinggian dari permukaan laut (hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan), menurut iklim (hutan hujan, hutan musim), menurut jenis tanah (hutan gambut, hutan pada tanah mineral), hutan alam, hutan tanaman, dan sebagainya. Untuk menghitung emisi atau serapan dari setiap perubahan kondisi atau jenis tutupan hutan perlu didukung oleh informasi luas perubahan tutupan (activity data) dan faktor emisi atau serapan. Berbagai studi telah dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan faktor emisi dan serapan. Selain itu IPCC juga telah menyediakan angka default untuk jenis hutan, pada kondisi iklim dan tanah tertentu. Penggunaan faktor emisi atau serapan lokal akan meningkatkan kerincian (Tier) sedangkan penggunaan angka default merupakan tingkat kerincian yang paling rendah (Tier 1). Kajian akan dilakukan dengan mengumpulkan hasil berbagai studi menyangkut pertumbuhan dan stok karbon pada berbagai tipe penutupan lahan/hutan. Kajian juga akan mengumpulkan hasil inventarisasi atau studi tentang biomas yang dilakukan oleh Ditjen Planologi melalui petak permanen dari kegiatan National Forest Inventory (NFI), kelti Biometrika pada Pusat Litbang Hutan Tanaman dan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, termasuk informasi dari perkembangan penyusunan NCASI (National Carbon Accounting System Indonesia) dari hasil kerjasama Indonesia dengan Australia. Informasi juga dikumpulkan untuk mengetahui 5 karbon pool yaitu biomas diatas tanah (above ground biomass/agb), biomas dibawah tanah (below ground biomass /BGB), kayu-kayu mati (dead organic matter), serasah (litter), dan tanah serta pool yang keenam yaitu penebangan kayu. Selain dari perubahan penutupan lahan, emisi GRK kehutanan juga berasal dari kegiatan pemupukan (pemberian kapur) dan kebakaran. Kedua sumber emisi ini menghasilkan GRK lain selain CO 2 yaitu CO, CH 4, N 2 O, dan NOx Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 11

110 4. Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi biomas sebagai pengganti energi fosil Emisi GRK banyak dihasilkan dari penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan. Salah satu kontribusi sektor kehutanan dalam rangka penurunan emisi GRK adalah substitusi penggunaan energi fosil menjadi energi yang berasal dari biomas. Mekanisme ini telah disepakati internasional dalam bentuk Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/ CDM). Kajian akan difokuskan pada potensi, peluang, tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan dan pengembangan energi biomas untuk menggantikan energi fosil. 5. Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penurunan emisi 26% Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penuruan emisi dilakukan dengan menganalisa trend emisi yang telah lalu sebagai basis terhadap estimasi perhitungan sampai tahun Data yang dapat digunakan diantaranya adalah hasil dari Second National Communication. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap emisi BAU ( Bussines as Usual) yang didasarkan kepada sumber emisi utama dari inventarisasi GRK yaitu deforestasi, degradasi, kebakaran dan pengelolaan lahan gambut. Selain itu dikumpulkan informasi tentang sumber serapan (removal) BAU yaitu pertumbuhan hutan dan penanaman. Sejarah pencapaian penanaman dari berbagai program yang telah dilaksanakan merupakan informasi penting tentang kemampuan rata-rata penanaman berdasarkan BAU. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan. Kajian terhadap emisi mitigasi dilakukan dengan mengkaji kebijakan mitigasi yang ada, kajian upaya penuruan emisi (REDD, pencegahan deforestasi dan kebakaran) serta kajian berbagai rencana penanaman seperti HTI, HTR, HR, GN RHL, OMOT dsb. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan untuk mitigasi. Dari hasil perhitungan menggunakan asumsi pada BAU dan skenario mitigasi, dilakukan estimasi proyeksi emisi sampai tahun 2020 yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik penurunan emisi. 6. Kajian sistem monitoring dan pelaporan Hasil dari penghitungan emisi dan serapan GRK disajikan dalam tabel yang merupakan format umum dalam pelaporan hasil inventarisasi GRK. Untuk mengisi tabel 6 (enam) tersebut yang merupakan ringkasan dari hasil perhitungan inventarisasi gas rumah kaca, IPCC telah mengembangkan 12 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

111 tabel-tabel dalam format Microsoft Excel. Pengisian data ke dalam tabel excel memerlukan informasi yang rinci mencakup data kegiatan (Activity Data), misalnya perubahan lahan dan luas hutan yang tetap sebagai hutan, luas tanaman pertanian, luas padang rumput dan sebagainya. Selain itu diperlukan informasi mencakup faktor emisi atau removal yang lokal spesifik seperti data pertumbuhan (Mean Annual Increment - MAI) untuk berbagai jenis hutan atau tanaman. Table 6. Format pelaporan umum hasil inventarisasi GRK sektor LULUCF Sumber GRK dan kategori serapan Kategori penggunaan lahan total A. Lahan hutan A.1. FL sisa FL A.2. Konversi lahan ke FL B. Lahan pertanian B.1. CL tetap CL B.2. Konversi lahan ke CL C. Lahan rumput C.1. GL tetap GL C.2. Konversi lahan ke GL D. Lahan basah D.1. WL tetap WL D.2. Konversi lahan ke WL E. Pemukiman E.1. Set. tetap Set. E.2. Konversi lahan ke Set. F. Lahan lain F.1. OL. tetap OL. F.2. Konversi lahan ke OL. G. Lainnya (specify) Pembakaran biomas Pemberian kapur Net Emisi / Serapan CO 2 CH 4 N 2 O NO x CO (Gg) Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 13

112 B. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman) Penelitian ini untuk menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal guna meningkatkan akurasi hasil perhitungan emisi GRK. Dari hasil kajian faktor emisi dan serapan akan diketahui tipe hutan/vegetasi yang masih memerlukan hasil penelitian. Selain perhitungan biomas (stok dan pertumbuhan) penelitian juga akan mencakup perhitungan karbon pool yang lain seperti serasah (litter), kayu mati (dry organic matter) dan tanah. Pada garis besarnya penelitian akan dilakukan pada hutan alam dan tanaman tanah mineral serta tanah gambut. Selain itu penelitian juga akan mencakup GRK selain CO 2 yang berasal dari kebakaran dan pemupukan yaitu CO, CH 4, N 2 O, dan NOx. Kontribusi GRK kehutanan banyak dihasilkan dari lahan gambut yaitu akibat drainase, pengelolaan dan kebakaran. Penelitian pada lahan gambut akan mencakup faktor emisi dan serapan serta potensi lahan gambut dalam menyerap dan mengemisi GRK. C. Aplikasi Perhitungan Emisi GRK (Metode IPCC) Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Dalam perjalanannya metode inventarisasi yang dikeluarkan oleh IPCC telah berkembang selama 3 kali, yaitu metode inventasisasi GRK tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari : (i) perubahan di hutan dan simpanan biomas berkayu lainnya, (ii) hutan (forest) dan padang alangalang (grassland) yang dikonversi, (iii) lahan pertanian (croplands), lahan penggembalaan (pastures), dan hutan tanaman (plantation forests) yang diterlantarkan atau lahan yang dikelola lainnya (other managed lands), (iv) emisi dan serapan CO 2 dari tanah, dan (v) lainnya. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL Aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidak pastian (reduced uncertainty), konsisten dalam pembagian kategori lahan dan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO 2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi dan serapan terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-co2 gas yang terkait sangat menentukan tingkat akurasi inventarisasi. 14 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

113 Penelitian ini merupakan aplikasi penghitungan emisi menggunakan tabel-tabel IPCC GL 2006, dengan wilayah studi di Sumatera dan Papua. Penelitian meliputi aplikasi penghitungan GRK menggunakan IPCC GL 2006 di Indonesia, hambatan yang ada, data pendukung yang diperlukan serta rekomendasi untuk meningkatkan akurasi dari metode ini di Indonesia. Penelitian dan kajian ini diharapkan akan menghasilkan cara aplikasi IPCC GL 2006 sehingga bisa dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan pengukuran, pemantauan dan pelaporan pengurangan atau penambahan emisi GRK di Indonesia. Hasil aplikasi penghitungan emisi merupakan informasi yang menjadi masukan untuk penetapan REL. Selain itu akan dilakukan kajian secara khusus mengenai berbagai metode/alternatif untuk menentukan REL pada skala nasional maupun sub nasional. IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya Pelaksana RPI adalah Puslitosek dan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan, yang relevan dengan topik penelitian serta representasi lokasi penelitian. Jangka waktu RPI adalah 5 tahun mulai tahun 2010 sampai tahun Jadwal untuk setiap kegiatan selama tahun , instansi pelaksana, dan kebutuhan anggaran adalah sebagai berikut : Table 7. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Kode Program/RPI/Luaran/ Instansi Tahun (juta rupiah) Kegiatan pelaksana PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM 17 Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 17.1 Luaran 1 : Rekomendasi sistem inventarisasi GRK kehutanan Kajian metode inventarisasi GRK Puslitsosek Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Puslitsosek Kajian faktor emisi dan serapan Puslitsosek Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas Puslitsosek Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 15

114 Kode Program/RPI/Luaran/ Instansi Tahun (juta rupiah) Kegiatan pelaksana Kajian sistem monitoring dan pelaporan Puslitsosek Kajian target penurunan emisi kehutanan 26 % Puslitsosek Luaran 2 : Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman) Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Gambut Puslitsosek BPK Banjarbaru Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Tanah Mineral Puslitsosek BBPD Samarinda BPK Manokwari Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Gambut Puslitsosek BPHPS Kuok BPK Palembang Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Tanah Mineral Puslitsosek BPK Ciamis BPK Kupang BBPD Samarinda Luaran 3 : Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (Metode IPCC) Aplikasi perhitungan emisi GRK di Wilayah Sumatera Puslitsosek BPHPS Kuok BPK Palembang Kajian Penentuan REL Puslit Sosek TOTAL ANGGARAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

115 X. Organisasi Penelitian akan dilaksanakan dibawah kordinasi Puslitsosek, dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan, akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi lain seperti IPB, Ditjen Planologi, PHKA, RLPS, dan instansi terkait lainnya. XI. Daftar Pustaka Baumert, K.A, T. Herzog and J. Pershing Navigating the Numbers : Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute. Boer, R., Hendri and Gintings, N.: Emissions and uptake of greenhouse gases by Indonesian forest. Paper delivered to F7 network. First National Communication The Indonesia First National Communication to the UNFCCC. KLH. Indonesia. IPCC IPCC Third Assessment Report IPCC Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES, Japan. IPCC IPCC Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Intergovernmental Panel on Climate Change. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan. IPCC IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan. PEACE Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. DFID, World Bank. Stern, N The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 17

116 XII. Kerangka Kerja Logis No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI A. Tujuan: Menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan B. Sasaran: 1. Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan 2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan 3. Diaplikasikannya IPCC GL untuk inventarisasi GRK Tersedianya informasi ilmiah mengenai : inventarisasi GRK kehutanan, database faktor emisi dan serapan GRK, data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan, model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK, hasil aplikasi IPCC dalam inventarisasi GRK kehutanan. Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan inventarisasi GRK kehutanan Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan karbon untuk perbaikan faktor serapan dan emisi lokal Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan emisi menggunakan IPCC GL Dokumen dalam bentuk laporan, policy brief dan publikasi ilmiah mengenai inventarisasi GRK kehutanan, database faktor emisi atau serapan GRK, data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan, model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK, serta hasil aplikasi IPCC inventarisasi GRK kehutanan Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/ kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan. Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/kajian tentang Faktor serapan atau emisi lokal Tersedianya LHP dan publikasi ilmiah hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan. Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan. Sda Sda 18 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

117 No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI C. Luaran 1. Rekomendasi hasil kajian inventarisasi GRK kehutanan 2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman) 3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL Dilaksanakannya penelitian/kajian : 1) Metode inventarisasi 2) Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) 3) Faktor emisi dan serapan 4) Pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas 5) Sistem monitoring dan pelaporan 6) Target penurunan emisi Dilaksanakannya penelitian teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam dan hutan tanaman gambut serta hutan alam dan hutan tanaman tanah mineral Dilaksanakannya penelitian aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL -Dokumen sintesis hasil penelitian/ kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, -LHP, Policy Brief Dokumen sintesis hasil penelitian/ kajian tentang Faktor serapan dan emisi lokal LHP, Policy Brief Dokumen. hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL LHP, Policy Brief Tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan. Sda Sda Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 19

118 No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI D. Kegiatan 1.1 Kajian metode inventarisasi GRK 1.2 Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) 1.3 Kajian faktor emisi dan serapan 1.4 Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas 1.5 Kajian sistem monitoring dan pelaporan 1.6 Kajian target penurunan emisi kehutanan 26 % 2.1. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam gambut 2.2. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam mineral Kajian berhasil mengumpulkan informasi terkini (state of the art) tentang inventarisasi GRK, faktor emisi dan serapan, substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan. Penelitian menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal GRK Dokumen rencana dan hasil kajian/ penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian Dokumen rencana dan hasil kajian/ penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan. Sda 2.3. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan tanaman gambut 2.4. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan tanaman mineral 20 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

119 No NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 3.1. Aplikasi Perhitungan emisi GRK (metode IPCC) di wilayah Sumatera 3.2. Kajian penentuan REL Diketahuinya emisi GRK untuk wilayah Sumatera, metode penentuan REL serta rekomendasi perbaikan dalam rangka aplikasi perhitungan emisi menggunakan IPCC GL Dokumen rencana dan hasil perhitungan emisi GRK metode IPCC dan metode REL Sda Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 21

120 22 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

121 Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim i

122 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

123 Lembar Pengesahan Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim iii

124 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

125 Daftar Isi Lembar Pengesahan... iii Daftar Isi... v Daftar Gambar... vi Daftar Tabel... vii Daftar Singkatan... ix I. Abstrak...1 II. Latar Belakang...1 III. Rumusan Masalah... 3 IV. Tujuan dan Sasaran...4 V. Luaran...4 VI. Ruang Lingkup... 5 VII. Metode VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya...17 IX. Organisasi X. Daftar Pustaka XI. Kerangka Kerja Logis Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim v

126 Daftar Gambar Gambar 1. Ekosistem hutan, barang dan jasa hutan serta hubungannya dengan kehidupan manusia (sumber : Locatelly (2008), Seppala (2009)) Gambar 2. Kerentanan ekosistem dan masyarakat (sumber: Locatelly (2008))...12 Gambar 3. Konsep Kerentanan terhadap Perubahan...12 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

127 Daftar Tabel Table 1. Kegiatan penelitian, instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim vii

128 viii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

129 Daftar Singkatan AC AHP ANP BBPBTH BPHPS BPK IAM IPCC LHP RPI : Adaptive Capacity : Analytic Hierarchy Process : Analytic Network Process : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan : Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat : Balai Penelitian Kehutanan : Integrated assessment models : International Panel on Climate Change : Laporan hasil penelitian : Rencana Penelitian Integratif Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim ix

130 x RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

131 I. ABSTRAK Perubahan iklim sudah terjadi dan dampaknya telah dirasakan banyak pihak. Perubahan iklim yang ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu udara, pergeseran musim dan intensitas curah hujan, berpengaruh pada ekosistem hutan juga kehidupan manusia. Pengaruh perubahan iklim sangat terasa terutama di negara-negara berkembang, khususnya pada masyarakat kurang mampu yang penghidupannya tergantung pada sumber daya alam (hutan). Berbagai keterbatasan menjadikan mereka tidak mempunyai banyak pilihan kecuali beradaptasi dengan lingkungan yang sudah berubah agar tetap dapat bertahan hidup. Pemerintah sebagai penanggung jawab Negara dan kehidupan masyarakat sejahtera sangat penting perannya dalam penyusunan strategi adaptasi dan pelaksanaannya. Di Indonesia, belum didapat banyak informasi tentang kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim serta bentuk adaptasinya. Penelitian terkait dengan hal ini masih sangat terbatas dan perlu dilakukan untuk mendapatkan basis ilmiah penyusunan strategi adaptasi. Penelitian Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim tahun 2010 hingga 2014 diharapkan akan menghasilkan publikasi, policy bief, dan rekomendasi terkait dengan strategi adaptasi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Penelitian ini mentargetkan empat luaran: i. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya; ii. Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim; iii. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim; iv. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat. Kata kunci : adaptasi, bioekologi, sosial ekonomi, budaya, perubahan iklim, kerentanan II. Latar Belakang Terjadinya perubahan iklim telah dilansir oleh International Panel on Climate Change (IPCC). Perubahan iklim merupakan masalah bersama dan dampaknya dirasakan manusia diberbagai belahan bumi. Adanya perubahan iklim dapat dilihat antara lain melalui naiknya permukaan air laut, mencairnya tutupan es di daerah kutub, meningkatnya frekuensi kebakaran, mewabahnya hama penyakit dan munculnya banyak badai dan cuaca ektrim (IPPC, 2007a). Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 1

132 Perubahan iklim terjadi karena banyaknya CO2 di atmosfir. Keadaan ini memberikan dampak terhadap ekosistem hutan dan kehidupan manusia, terutama mereka yang berdomisili di negara berkembang, kurang mampu kondisi sosial ekonominya dan penghidupannya tergantung pada hutan. Hasil penelitian di berbagai negara antara lain menunjukkan adanya perubahan fenologi dan produktivitas tumbuhan, pergerakan spesies, jumlah populasi tumbuhan pohon, merebaknya serangga, dan perubahan distribusi spesies (Ayres et al. 2009a; Fischlin et.al. 2009). Didapatkan juga bahwa dampak perubahan iklim lebih terlihat nyata pada hutan boreal dari pada tipe hutan lainnya, namun berbagai faktor terkait dengan kerentanan hutan terhadap perubahan iklim lebih terlihat nyata di hutan tropis (Ayres et al. 2009a). Terkait dengan masyarakat, perubahan iklim yang berpengaruh pada ketersediaan air berdampak pada sumber nafkah, ketahanan pangan, juga kesehatan (Neil Adger et.al. 2009). Kondisi ini memberikan stres sosial. Dampak dari perubahan iklim berbeda dari satu tempat ke tempat lain dikarenakan perbedaan tingkat kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Untuk tetap bertahan hidup atau mempertahankan kelestariannya, baik tanaman, hewan maupun manusia perlu beradaptasi. Adaptasi merupakan upaya makhluk hidup yang mengarah pada persiapan atau penyesuaian diri terhadap dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Adaptasi menjadi semakin penting artinya dan sangat perlu untuk dilakukan karena upaya melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim tidak cukup. Perubahan iklim tidak dapat sepenuhnya dihindari dan berbagai kebijakan terkait dengan mitigasi memerlukan waktu untuk dapat berjalan dengan efektif. Individu, masyarakat maupun pemerintah perlu menyadari adanya perubahan iklim dan mempersiapkan berbagai strategi untuk beradaptasi, termasuk strategi yang bersifat antisipatif. Untuk mendapatkan strategi adaptasi yang sesuai diperlukan informasi tentang kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim. Namun belum banyak penelitian di Indonesia mengarah kesana. Oleh karena itu, penelitian Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim akan mengakses kerentanan dan kapasitas adaptasi dari ekosistem hutan, vegetasi dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim, serta mendapatkan model dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan, sosial ekonomi masyarakat dan biaya adaptasi. Hasil penelitian ini antara lain dimaksudkan untuk menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi adaptasi, serta memberi masukan ilmiah kepada para pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan terkait 2 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

133 dengan adaptasi perubahan iklim, dasar pembuatan berbagai opsi adaptasi untuk menghindari dampak yang membahayakan dari perubahan iklim, dan memanfaatkan keuntungan dari kesempatan yang diberikan oleh perubahan iklim. III. Rumusan Masalah Sumber daya alam (hutan) dan manusia atau masyarakat (yang oleh Koentjaraningrat, 1984, didefinisikan sebagai kolektif manusia dalam arti yang seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka pandang sama) keberadaannya saling mengkait. Hutan menyediakan produk barang dan jasa kepada masyarakat, dan masyarakat melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan harapan untuk mendapat produk barang dan jasa hutan secara lestari. Di Indonesia, sumber daya hutan mendapat tekanan kuat dari luar. Krisis pangan, energi, dan air bersih yang dialami bangsa Indonesia, menjadikan hutan makin dituntut perannya untuk memasok kebutuhan hidup khalayak luas. Kawasan hutan yang mencapai 120 juta ha (60% dari total luas daratan) pada akhirnya perlu dikelola dengan bijak agar menghasilkan produk dan jasa hutan secara lestari serta tetap terjaganya aspek perlindungan dan konservasi. Perubahan iklim langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada ekosistem hutan, namun ekosistem hutan mampu mencapai klimaksnya yang baru pada kondisi yang berbeda (Andreas Fischlin et.al 2009). Hasil penelitian di berbagai negara seperti Finlandia, Nigeria, India, Australia, Canada dsb menunjukkan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada merebaknya hama dan penyakit tanaman, frekuensi kebakaran, produk barang dan jasa hutan serta fenologi, kehidupan dan kesehatan manusia, dsb (Andreas Fischlin, 2009; Matthew Ayres, 2009a; Matthew Ayres, 2009b). Perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Meski banyak diantara masyarakat tidak memahami perubahan iklim, mereka yang penghidupannya dari hasil pertanian dan bergantung pada sumber daya alam (hutan) merasakan dampaknya. Sebagaimana terjadi di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur, musim kemarau dirasakan masyarakat menjadi lebih panjang dan ketersediaan air menurun, menjadikan hasil pertanian menurun dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selama 1 tahun. Kondisi ini menjadikan mereka lebih sering masuk ke hutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, ekonomi (uang tunai) dan energi (kayu bakar). Pengelola Taman Nasional Baluran, Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 3

134 Propinsi Jawa Timur merasakan dalam kawasan mereka terjadi kekurangan pasokan air untuk minum dan berkubang satwa. Banyak kubangan yang mengering dan secara rutin harus diisi air agar satwa-satwa bertahan hidup dan tidak lari keluar kawasan guna mencari air. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) untuk tetap bertahan pada kondisi lingkungan yang telah berubah. Adaptasi juga dimaksudkan sebagai upaya melestarikan ekosistem hutan untuk dapat menghasilkan barang dan jasa secara lestari bagi kepentingan masyarakat dan makhluk hidup lain yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Adaptasi yang dilakukan dapat bersifat antisipatif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau multisektoral. Di Indonesia, penelitian terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat belum banyak dilakukan, sehingga belum banyak diketahui tingkat kerentanan mereka dan upaya adaptasinya. Pada akhirnya pengelolaan hutan tropis, kebijakan dan program pembangunan terkait dengan sektor kehutanan perlu memperhatikan dampak perubahan iklim dan potensi adaptasi ekosistem hutan dan masyarakat agar kepentingan khalayak umum terhadap pemenuhan ekonomi, pangan, energi dan air dapat terpenuhi secara lestari. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pengambil keputusan dalam penyempurnaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam (hutan) terkait dengan dampak dan strategi adaptasi terhadap perubahan. IV. Tujuan dan Sasaran A. Tujuan Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasinya terhadap perubahan iklim. B. Sasaran Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. V. Luaran RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim diharapkan memberikan 4 (empat) luaran, yaitu: 4 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

135 1. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya 2. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim 3. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan ikilm dan cuaca ekstrim, dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim 4. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang Luaran tersebut dapat berupa publikasi ilmiah dan popular minimal sebanyak 5 buah dan policy brief. VI. Ruang Lingkup Penelitian Adaptasi Bioekologi dan Social Ekonomi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim akan dilakukan dari tahun 2010 hingga Penelitian ini akan melihat kondisi hutan, vegetasi dan satwa, genetis tumbuhan, produktivitas dan fenologinya, masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang penghidupannya bergantung pada sumber daya hutan, dan melakukan modeling dampak perubahan iklim terhadap hutan, sosial ekonomi masyarakat, dan biaya adaptasi. Lingkup RPI meliputi 4 (empat) kegiatan yang terintegrasi. Kegiatan-kegiatan dimaksud beserta cakupan masing-masing kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: A. Analisis Kerentanan Hutan Terhadap Perubahan Iklim Meliputi 4 (empat) kegiatan, yaitu: 1. Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim Secara konsep, perubahan satu atau lebih dimensi iklim (a.l. temperature dan curah hujan) akan mempengaruhi proses ekosistem hutan (Ayres, et.al. 2009). Perubahan dari proses ekosistem dapat berdampak pada distribusi, biodiversitas dan jasa ekosistem. Terkait dengan konsep tersebut, cakupan analisa ini meliputi dua atau lebih hal berikut: i. perubahan luasan dan distribusi tipe hutan; ii. komposisi spesies tumbuhan hutan; iii. perpindahan ekosistem hutan (misal dari hutan spruce ke hutan pinus, atau dari hutan ke savana - Nobre and Oyama 2003, Fischlin et al. 2007, Mendes 2007); iv. kelangsungan hidup seedling dan sapling; v. hilangnya flora dan fauna endemik yang lazim di Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 5

136 suatu daerah (biodiversitas), dan vi. invasi hama dan penyakit tanaman atau spesies baru. Hal ini pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas ekologi. 2. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan ilim dan cuaca ekstrim Perubahan iklim diduga berperan terhadap keberadaan satwa termasuk species langka di masa mendatang. Hal ini dikarenakan perubahan iklim diduga mempengaruhi kondisi habitat satwa, juga musim berbunga dan produksi biji/buah yang merupakan pakan satwa, ketersediaan air, suhu udara, dsb. Terkait dengan hal tersebut, analisa kerentanan satwa terhadap perubahan iklim mencakup dua atau lebih hal berikut: perubahan perilaku satwa, kemampuan reproduksi, besaran populasi, kemampuan untuk bertahan hidup, perubahan distribusi, wabah hama dan penyakit satwa, serta pola migrasi. 3. Kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim Perubahan iklim mempengaruhi keberadaan air, sebagaimana terjadi di Bali Barat, Indonesia. Perubahan iklim menyebabkan berkurangnya air untuk bertani dan pemenuhan kebutuhan air minum. Disisi lain, perubahan iklim di Philippines menjadikan jumlah penduduk yang kekurangan air berkurang (Seppala, 2009). Perubahan iklim dalam kaitannya dengan jasa hutan (air) secara khusus akan menganalisa pengaruh perubahan iklim terhadap ketersediaan dan kontinuitas air (penurunan atau peningkatan kapasitas air) di sungai, dam, reservoir air dsb. Bila memungkinkan, penting juga untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kualitas air (misal salinitas air karena adanya intrusi air laut ke daratan). 4. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi Fenologi adalah aktivitas musiman hewan dan tumbuhan. Pergeseran fenologi sebagai dampak dari pemanasan global antara lain berupa pergeseran musim kawin, pertunasan dan pembungaan tumbuhan. Perubahan iklim juga diperkirakan mempengaruhi produktivitas hutan. Produktivitas hutan tropis diperkirakan meningkat bila tersedia cukup air (Seppala, 2009). Dalam analisis dampak perubahan iklim terhadap produktivitas hutan dan fenologi akan mencakup pergeseran fenologi dan produktivitas hutan tropis terutama kayu dan pangan. 6 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

137 B. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim Perubahan iklim menjadikan tanaman perlu beradaptasi untuk mempertahankan kelestariannya. Bentuk adaptasi dimungkinkan dengan berbagai cara seperti plastisitas fenotipik, migrasi untuk mendapatkan kondisi yang sesuai, atau evolusi. Untuk mengantisipasi dan mempertahankan kelangsungan hidup tanaman pohon umur panjang, sangat diperlukan sumber benih spesifik dari spesies dengan karakter adaptif yang cocok dengan prediksi perubahan iklim yang akan datang. Beberapa karakter adaptif pada tanaman dapat dilihat dari persen hidup, pertumbuhan, ketahanan terhadap kekeringan, dll (Bradley St Clair dan Howe, 2007). Terkait dengan hal tersebut, analisis adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim akan meliputi 3 hal berikut: 1. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan daerah kering, ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem pegunungan dan sebaran alaminya Untuk kepentingan ini akan dilakukan identifikasi jenis di sebaran alami spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan pegunungan. 2. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies & uji provenans Koleksi materi genetik akan dilakukan dengan cara mengumpulkan benih di habitat-habitat alami termasuk habitat yang ekstrim pada saat musim berbuah. 3. Uji provenansi spesies teridentifikasi di lahan masyarakat Uji penanaman pada lokasi yang baru dan cocok dengan gambaran prediksi perubahan iklim yang akan datang (misal daerah kering, daerah bergaram tinggi, dll) diharapkan merupakan langkah tepat untuk menyediakan species dan genotip yang tahan di daerah-daerah berkondisi ekstrim atau marginal. Terkait dengan kegiatan ini akan dilakukan 2 hal: i. pembibitan spesies dari masing-masing provenans biji yang terkumpul dan pembibitan spesies yang sudah dimuliakan; ii. Pelaksanaan pembangunan uji species, uji provenans dan genetik, pemeliharaan dan evaluasi. Pada ekosistem pegunungan hanya akan dilakukan identifikasi spesies dan dokumentasi berbagai karakter lingkungan tempat spesies tumbuh yang meliputi: iklim mikro dan karakter fisiologisnya. Hal ini dikarenakan sulitnya mencari lokasi penelitian di ekosistem pegunungan untuk uji Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 7

138 spesies dan uji genetik. Dalam uji spesies dan uji genetik dipersyaratkan kondisi yang seragam, meliputi keseragaman lingkungan (perbedaan kelerengan tidak lebih dari 5%) dan keseragaman edapik (keseragaman tanah dalam blok) dan lokasi yang memenuhi persyaratan tersebut tidak mudah didapat. Bila memungkinkan akan dilakukan juga uji spesies dan uji genetik pada ekosistem hutan dataran rendah yang merupakan ekosistem antara (antara ekosistem pantai dan ekosistem pegungan). Spesies yang akan di identifikasi pada ekosistem antara adalah spesies yang sudah dimuliakan. Hal ini terkait dengan upaya besar-besaran untuk merehabilitasi kawasan hutan dan terjadinya penggundulan hutan. Replikasi di beberapa tempat akan dilakukan untuk mengetahui kondisi adaptasi terhadap perubahan ilklim. C. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim Perubahan iklim diperkirakan berdampak pada kapasitas hutan untuk menyediakan jasa ekosistem. Hal ini memberikan konsekuensi yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat tergantung pada hutan. Adaptasi harus mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup. Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim akan dikaitkan dengan ketahanan pangan, ketersedian energi, dan kelangsungan ekonomi. Penaksiran akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kondisi sosial ekonomi keluarga atau komunitas, lokasi geografi dan latar belakang budaya, akses mereka terhadap sumber daya alam (hutan), serta program pembangunan dan kebijakan pemerintah setempat. Bentuk adaptasi yang dilakukan terhadap kehidupan masyarakat akan mempertimbangkan skala lokal dan regional; strategi adaptasi yang dilakukan (proaktif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau multisektoral); kendala serta biaya adaptasi. Penelitian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim masih relatif baru di sektor kehutanan dan berbagai metode digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan juga untuk mengeksplorasi berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di sektor kehutanan. 8 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

139 D. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang. Pola iklim di Asia Tenggara sudah berubah cukup nyata (Seppala, 2009) dan Stern Review (2007) menginformasikan bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih rentan terhadap perubahan iklim di banding belahan bumi lainnya. Dengan demikian penting bagi Indonesia untuk mempunyai kebijakan yang efektif untuk penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat juga pengurangan terhadap kerentanan. Terkait dengan hal tersebut perlu diketahui pola dan proyeksi perubahan iklim, kerentanan hutan dan masyarakat serta proyeksinya ke depan, serta melakukan monitoring terhadap dampak perubahan iklim dan proyeksinya di masa mendatang. Informasi tersebut bermanfaat untuk menentukan bentuk atau opsi adaptasi yang tepat guna menghidari dampak yang membahayakan dari perubahan iklim, serta penentuan bentuk tindakan untuk meningkatkan resiliensi hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim. Terdapat tiga kegiatan yang akan dilakukan terkait dengan basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat. Kegiatan dimaksud meliputi: 1. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan Kegiatan ini akan memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap tumbuhan hutan, satwa, jasa (air), fenologi dan produktivitas hutan. 2. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan Perubahan iklim dapat berdampak pada skala desa hingga nasional. Kegiatan ini direncanakan untuk memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat tergantung pada hutan, minimal pada skala kecamatan dan terkait dengan ketahanan pangan, ketersediaan energi, dan keberlangsungan ekonomi. 3. Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim Kondisi sosial, ekonomi, dan kebijakan yang cukup dinamis menjadikan pemilihan bentuk adaptasi yang tepat tidak mudah didapat karena cukup kompleks dan menghadapi banyak pilihan. Adaptasi dapat berupa perubahan pola pengelolaan sumber daya alam (hutan, lahan, air, dsb), penggantian spesies, varietas, atau komposisi tanaman, Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 9

140 pembangunan infrastruktur, perubahan perilaku, teknologi, kebijakan, dsb. yang kesemuanya adaptif terhadap kondisi lingkungan baru. Adaptasi memerlukan waktu, daya upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dan dalam banyak hal memerlukan biaya cukup besar pada skala keluarga, kelompok masyarakat, desa, hingga skala nasional bahkan internasional. Studi yang dilakukan World Bank mendapatkan bahwa biaya adaptasi akan terus bertambah seiring dengan waktu. Besarnya biaya tersebut tergantung, antara lain, pada magnitude dari perubahan iklim, besarnya dampak dan tindakan atau bentuk adaptasi yang dilakukan. Modeling Biaya Adaptasi akan memberikan informasi besaran biaya untuk melakukan adaptasi juga aspek-aspek yang memerlukan biaya adaptasi yang besarnya cukup signifikan. Dalam modeling akan menimbang berbagai biaya adaptasi pada skope yang lebih besar pada skala nasional dan cross sectoral serta meliputi berbagai aspek (pengelolaan, teknologi, sosial ekonomi, dsb) dan akan memperhitungkan kebutuhan ke depan sehingga dapat diketahui keuntungan dari pilihan tindakan adaptasi di masa mendatang. Modeling juga membicarakan tentang ketidakpastian (uncertainities) dan kemungkinan (probabilities), membantu memahami sensitivitas dari faktor-faktor yang beradaptasi dan saling berinteraksi serta konsekuensi biaya adaptasi, membantu mengidentifikasi biaya per sektor (yang beresiko), menunjukkan bahwa adaptasi akan mengurangi resiko kerusakan yang parah dari perubahan iklim dan biaya adaptasi yang lebih besar di masa mendatang. VII. Metode A. Kerangka Konseptual 1. Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim Hutan berperan penting bagi kehidupan manusia. Secara umum peran tersebut disajikan pada Gambar RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

141 FREEDOM OF CHOICE AND ACTION HEALTH Access to clean air and water Strength Feeling well SECURITY Personal safety Secure resource access Security from disaster BASIC MATERIAL FOR LIFE Adequate livelihood Sufficient nutritious food Shelter Access to goods GOOD SOCIAL RELATION Social cohesion Mutual respect Ability to help others PROVISIONING Wood products Non-wood products Water REGULATING Climate Regulation Food regulation Disease regulation CULTURAL Aesthetic Spiritual Recreational SUPPORTING SERVICES (Supporting necessary for the production of all other ecosystem services) Nutrient cycling Primary production Soil formation Provision of habitat Biodiversity maintenance Gambar 1. Ekosistem hutan, barang dan jasa hutan serta hubungannya dengan kehidupan manusia (sumber : Locatelly (2008), Seppala (2009)) Hutan menyediakan barang dan jasa lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia. Sebaliknya manusia melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan maksud untuk mendapatkan barang dan jasa hutan secara lestari. Perubahan iklim akan mempengaruhi ekosistem hutan dan manusia, secara positif ataupun negatif. Besarnya pengaruh tersebut tergantung pada sensitifitas dan kapasitas adaptasi dari ekosistem hutan, manusia atau masyarakat, serta kemampuan manajemen. Efek negatif akan menjadi makin besar di masa mendatang bila tidak dilakukan penanganan. Adanya pengaruh negatif ini menandakan bahwa ekosistem hutan dan manusia rentan terhadap perubahan iklim. Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 11

142 Climate Change Exposure Other driver of change Vulnerability of a coupled human-environment system to the loss of ecosystem services Sensitivity Ecosystem (hutan) Adaptive capacity Ecosystem good & services Management Adaptive Capacity Sensitivity Society Adaptive capacity Gambar 2. Kerentanan ekosistem dan masyarakat (sumber: Locatelly (2008)) Kerentanan terhadap perubahan iklim dalam International Panel on Climate Change (IPCC) diartikan sebagai keterbatasan kapasitas yang dimiliki untuk mengatasi konsekuensi negatif dari perubahan iklim. Kerentanan dapat juga diartikan sebagai derajat kemudahan suatu sistem terkena dampak, atau ketidakmampuan untuk menanggulangi dampak, termasuk dampak dari variabilitas iklim dan kondisi ekstrim. Hutan dan masyarakat memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap iklim yang bervariasi, tergantung pada daerah dan tipe hutan, kondisi geografis, latar belakang budaya, kebijakan, kelembagaan, dsb. Metzger et al. (2006) dan IPCC (2007) mendefi nisikan kerentanan sebagai fungsi dari eksposure, sensitifitas suatu sistim untuk berubah, dan kapasitas beradaptasi yang dipunyai (yaitu resilience). Gambaran umum dari konsep kerentanan terhadap perubahan iklim disajikan pada Gambar 3. Climate Change Forest Good & Service Forest Good and Services Society Forest Good & Services Society Gambar 3. Konsep Kerentanan terhadap Perubahan 12 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

143 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan juga bervariasi. Sebagai contoh: masyarakat miskin dengan mobilitas geografis yang rendah akan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan dengan mereka yang mempunyai mobilitas tinggi. Mereka memerlukan kebijakan dan pengelolaan terhadap hutan tempat mereka bergantung untuk mengurangi kerentanan mereka (Reid and Huq, 2007). Pengelolaan hutan lestari sangat esensial untuk mengurangi kerentanan hutan terhadap perubahan iklim. Terdapat keterbatasan kapasitas hutan dan masyarakat (yang kehidupannya tergantung pada hutan) untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Komitmen yang kuat diberbagai pihak pada level nasional maupun lokal sangat esensial untuk menghadapi berbagai tantangan dalam beradaptasi dan merealisasikan pengelolaan hutan lestari. Kerentanan manusia terhadap perubahan iklim ditentukan oleh berbagai faktor seperti kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya dari suatu keluarga atau komunitas, akses terhadap sumber daya alam, lokasi geografi, infrastruktur, serta program pembangunan. Kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya yang meliputi, antara lain, pendidikan formal dan informal, teknologi yang dimiliki, akses informasi, kemampuan ekonomi pada umumnya berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kapasitas masyarakat dalam mengatasi atau mengantisipasi terjadinya suatu bencana atau sembuh kembali (recovery). Akses masyarakat terhadap sumber daya alam dapat membantu mengurangi besarnya bencana yang bakal diterima dan mengurangi kerentanan masyarakat karena hutan merupakan sumber ekonomi, pangan, energi, dll. Akses masyarakat ke sumber daya alam (khususnya hutan Negara) di Indonesia diatur pemerintah. Berbagai kebijakan dikeluarkan terkait dengan pemanfaatan hutan oleh masyarakat dan hal ini mempengaruhi kerentanan masyarakat juga kerentanan hutan. Lokasi geografis biasanya dikaitkan dengan lokasi pekerjaan atau lokasi tempat tinggal yang aman bencana serta ketersediaan infrastruktur (misal sarana irigasi, dam, saluran pembuangan air, dsb) akan berdampak pada magnitude kerawanan masyarakat terhadap bencana. Pemetaan lokasi geografis dan sarana infrastruktur yang tersedia dapat memberikan gambaran tentang kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap bencana. Hal lain yang juga sangat penting artinya adalah program pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penanganan Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 13

144 atau antisipasi terhadap ancaman bencana, serta penerapan early warning system. Semua faktor tersebut menentukan kerentanan masyarakat, opsi adaptasi dan memilih satu atau kombinasi dari opsi adaptasi yang paling diinginkan serta paling praktis untuk dilaksanakan dan paling efektif. 2. Adaptasi Terhadap Perubahan iklim Adaptasi dalam IPCCC (2007b) didefinisikan sebagai penyesuaian dari alam atau manusia terhadap kondisi iklim aktual atau terhadap prediksi kondisi iklim yang bakal terjadi serta dampak yang akan ditimbulkan. Adaptasi dapat berupa antisipatif atau reaktif, autonomus atau terencana, sektoral atau multisektoral. Sebagai contoh, adaptasi biologi adalah autonomous dan reaktif. Namun manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat melakukan berbagai macam tindakan terhadap perubahan sebagai upaya untuk beradaptasi. Mereka beradaptasi untuk mengurangi kerentanan atau meningkatkan ketahanan (resilience) guna mengantipasi perubahan-perubahan yang sudah diperkirakan bakal terjadi (adaptasi antisipatif) (Adger et al. 2007). Terkait dengan hutan, tidak ada cara universal yang dapat diterapkan untuk adaptasi hutan terhadap perubahan iklim. Pengelola hutan selayaknya fleksibel untuk menentukan bentuk adaptasi yang paling tepat pada kondisi setempat. Diperlukan pendekatan yang fleksibel dan sesuai dengan konteks yang ada serta tidak tergantung pada satu pilihan. Upaya adaptasi selayaknya menyediakan beberapa solusi teknis dengan mempertimbangkan kelembagaan di masyarakat. Strategi adaptasi banyak yang memfokuskan pada pengurangan kerentanan atau penguatan kemampuan untuk tetap bertahan terhadap efek perubahan iklim. Oleh karena itu kerentanan sangat erat kaitannya dengan adaptasi. Strategi adaptasi yang berorientasikan pada pengurangan kerentanan dapat meliputi (Adger et al.2007): 1. Altering exposure, antara lain dengan sistem pemberitahuan dini (early warning system) 2. Pengurangan sensitivitas pada sistem yang terkena dampak antara lain dengan penanaman tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan temperatur atau keterbatasan air, peningkatan kapasitas dam, atau pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap banjir pada daerahdaerah yang rentan banjir. 14 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

145 3. Peningkatan ketahanan atau kemampuan untuk meredam gangguan sosial dan sistem ekologi yang memungkinkan populasi untuk pulih kondisinya seperti sedia kala. Dengan demikian, kapasitas untuk beradaptasi merupakan fungsi dari berbagai elemen, termasuk kemampuan untuk memodifikasi eksposure (keterbukaan) terhadap resiko yang terkait dengan perubahan iklim, kemampuan untuk dapat pulih dari kehilangan yang diakibatkan perubahan iklim, dan kemampuan untuk mendapatkan berbagai kesempatan baru yang muncul dalam proses beradaptasi (Adger dan Vincent, 2005). Pilihan terhadap opsi adaptasi dan kombinasinya sangat tergantung pada kerentanannya, yang sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi sosial ekonomi dari rumah tangga dan masyarakat, lokasi tempat mereka tinggal, hubungan atau jaringan kerja dan akses mereka pada sumber daya dan penguasa. Smit et al (2001) dalam Locatelli (2008) menyatakan bahwa kapasitas adaptasi ditentukan oleh sumberdaya ekonomi (termasuk keuangan, manusia), teknologi, informasi dan keterampilan, infrastruktur; institusi (termasuk regulasi), dan kesetaraan, dimana keterbatasan pada salah satu dari elemen diatas dapat membatasi kapasitas adaptif secara umum. Hal tersebut memberikan banyak sekali opsi adaptasi. B. Metode Pengumpulan Data Data untuk kepentingan penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai metode. Metode dimaksud meliputi: 1. Desk study guna mendapatkan informasi tentang kondisi terkini dan mensinkronkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh instansi lain terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim. 2. Survey lapangan untuk mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif. 3. Wawancara, konsultasi, dan diskusi kelompok dengan responden maupun para pakar terkait dengan topik penelitian. C. Alat Analisis Penaksiran Kerentanan (Vulnerability) dalam penelitian ini akan memakai rumusan IPCC. Dinyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek: Exposure (E), Sensitivity (S) dan Adaptive Capacity (AC). Secara ringkas, rumusan tersebut dapat dituliskan sbb: V= f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity) 1. Exposure dimaksudkan sebagai derajat (seberapa jauh) suatu sistem secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Suhu dan curah hujan merupakan dua dari berbagai faktor dari iklim yang punya pengaruh Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 15

146 cukup signifikan terhadap kehidupan dan persebaran vegetasi hutan dan satwa. 2. Sensitivitas dimaksudkan sebagai derajat atau tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta besaran ekstrim. Dampak tersebut dapat merugikan ataupun menguntungkan. Efek-efek tersebut dapat secara langsung (seperti perubahan hasil panen karena perubahan iklim atau variabilitas temperatur) atau secara tidak-langsung (seperti kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan frekuensi banjir di pesisir sebagai akibat dari kenaikan muka air-laut) (McCarthy et al., 2001, p. 6). 3. Kapasitas adaptif (adaptive capacity) didefinisikan sebagai kemampuan satu sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan iklim atau menyesuaikan diri pada perubahan iklim (termasuk variabilitias iklim dan iklim ekstrim), mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari kondisi yang disediakan iklim yang berubah tersebut (McCarthy et al., 2001 dalam Locatelli et al. 2008). Kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim mempunyai cakupan cukup luas, meliputi sumber daya alam (hutan) dan para pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Dengan demikian, RPI ini meliputi aspek yang cukup luas dari fisiologi tanaman, sosial-ekonomi, kebijakan, manajemen, teknologi, dsb. Oleh karena itu, alat analisa dalam RPI meliputi berbagai macam sesuai dengan data dan tujuannya. Alat analisa dimaksud antara lain: 1. Analytic Hierarchy Process (AHP) 2. Simple Ranking 3. Simple Rating 4. Expert Panel Judgment 5. Fuzzy Logic 6. Rapid Hydrological Assessment 7. Analytic Network Process (ANP) 8. Participatory Method 9. Integrated assessment models (IAM) 10. Participatory Vulnerability Assessment 11. Adaptation assessment 12. Analisa biaya (untuk pengadaan, pembangunan, kehilangan pendapatan) 16 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

147 D. Lokasi Penelitian Penelitian RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim akan dilakukan pada ekosistem yang ekstrim atau rentan terhadap perubahan iklim, yang meliputi ekosistem pantai, savana, atau hutan dataran rendah dan ekosistem hutan pegunungan. Ekosistem hutan dataran rendah yang merupakan ekosistem antara hutan pantai dan hutan pegunungan penting artinya karena banyak pembangunan kehutanan berupa hutan tanaman dan penduduk tinggal pada ekosistem tersebut, dan ekosistem antara tersebut dimungkinkan akan menjadi ekosistem ekstrim. Secara tepat lokasi penelitian akan ditentukan kemudian, namun lokasi penelitian tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri sbb: 1. Pada lokasi tersebut terdapat hutan, masyarakat (yang penghidupannya tergantung pada sumber daya hutan), dan kalau dimungkinkan terdapat satwa 2. Beberapa lokasi penelitan terpilih aman dari perusakan karena akan dilakukan pengamatan berulang untuk mendapatkan data series Direncanakan penelitian ini akan dilakukan dalam satu lokasi yang misalnya dibatasi oleh satu Daerah Aliran Sungai. Disini akan dikaji berbagai aspek kerentanan baik hutan, tumbuhan, satwa, masyarakat, maupun kebijakannya. Dari penelitian terpadu dan terfokus pada satu lokasi ini diharapkan akan didapat gambaran menyeluruh dan utuh tentang kerentanan, bentuk adaptasi yang ada atau yang telah dilakukan terkait dengan social, ekonomi, dan lingkungan serta kebijakan yang ada. Pemberian opsi adaptasi serta saran kebijakan terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim akan lebih mudah dilakukan karena tersedianya berbagai hasil penelitian yang mendukung. VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya RPI Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim direncanakan untuk 5 tahun dari tahun 2010 hingga Penelitian ini akan melibatkan beberapa balai penelitian di Indonesia. Topik penelitian, balai pelaksana dan tahun dilaksanakan penelitian disajikan pada tabel 1. Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 17

148 Table 1. Kegiatan penelitian, instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Kode Program/ RPI/ Luaran/ Tahun Pelaksanaan Pelaksana Kegiatan PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM 18 RPI : Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim 18.1 Luaran 1 : Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim BPK Solo Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim BPK Samboja Analisis kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim BPK Solo BPK Kupang Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi Puslitsosek Luaran 2: Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, hutan dataran rendah, dan ekosistem hutan pegunungan serta sebaran alaminya BBPBPTH Yogyakarta Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies & uji provenans atau uji genetis BBPBPTH Yogyakarta Uji provenansi spesies teridentifikasi di lahan masyarakat BBPBPTH Yogyakarta Luaran 3 : Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim 18 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

149 Kode Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan Pelaksana Tahun Pelaksanaan Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah Puslitsosek Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan BPHPS Kuok BPK Manokwari Luaran 4: Basis kebijakan penaggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan Puslitsosek Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan Puslitsosek Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim Puslitsosek 150 TOTAL ANGGARAN IX. Organisasi Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan dengan koordinator RPI: Dr. Niken Sakuntaladewi dan akan melibatkan peneliti dari berbagai instansi lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kehutanan, seperti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta (BBPBPTH), BPK Manokwari, BPK Solo, BPHPS Kuok, dan outsourcing dari instansi terkait lain jika dibutuhkan. X. Daftar Pustaka Adger.W.N., Agrawala, S., Mirza, M.M.Q., Conde, C., O Brien, K., Pulhin, J., Pulwarty, R., Smit, B. and Takahashi, K Assessment of adaptation practices, options, constraints and capacity. In: Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 19

150 Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P Adger, Neil, Maria Brockhaus, Carol J. Pierce Colfer and Brent Sohnger Future Socio-Economic Impacts and Vulnerabilities dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Adger, W.N. dan Vincent, K Uncertainty in adaptive capacity. Comptes Rendus Geoscience, 337(4): Ayres, Matthew, David Karnosky and Ian Thompson. 2009a. Forest Responses and Vulnerabilities to Recent Climate Change dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Ayres, Matthew, David Karnosky, Seppo Kellomaki, Bastian Louman, Chin Ong, Gian-Kasper Plattner, Heru Santoso and Ian Thompson. 2009b. Future Environmental Impacts and Vulnerability dalam dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Bastiaan Louman Forest Ecosystem Services: A Conerstone for Human Well-Being dalam Adaptation of Forest and People to Climate Change. Pp Bradley St Clair, J and Howe, Gt Genetic maladaptation of coastal Douglas-fir seedlings to future climates. Global Change Biology, 13: Brockhaus, Maria dan Houria Djoudi Adaptation at the interface of forest ecosystem good and services and livestock production systems in Northern Mali. CIFOR Info Brief no Brooks, N., Adger, W.N. and Kelly P.M The determinants of vulnerability and adaptive capacity at the national level and the implications for adaptation. Global Environmental Change 15 (2): Diaz, S., Tilman, D., fargione, J., Chaopin, F.S., Dirzo, R., Kitzberger, T., Gemmill, B., Zobel, M., Vila, M., Mitchell, C., Wilby, A., Daily, G.C., Galetti, M., Laurance, W.F., Pretty, J., Naylor, R., Power, A. dan Harvell, D Biodiversity regulation of ecosystem services. Dalam: Hassan, R., Scoles, R. dan Ash, N. (eds.), Ecosystem and Human Well-Being: Current State and Trends. Millenium Ecosystem Assessment Volume I. Island Press, Washington, D.C. p RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

151 Fischlin, A., Midgley, G.F., Price, J.T., Leemans, R., Gopal, B., Velichko, A.A Ecosystems, their properties, goods and services. Dalam Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Inergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P Fischlin, Andreas, Peter Gluck, John Innes. Alan Lucier. John Parrotta, Heru Santoso, Ian Thomson, dan Anita Wreford Forest Ecosystem Services: A Cornerstone for Human Well-Being dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Fontaine, C., Dajoz, I., Meriguet, J. dan Loreau, M Functional diversity of plant pollinator interaction webs enhances the persistence of plant communities. PLoS Biology 4: Houghton, R.A Tropical deforestation as a source of green-house gas emission. IPPC. 2007a. Impact, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessement Report of the Environmental Panel on Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutifof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, UK. 973 p. IPCC. 2007b. Summary for policy makers. Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, U.K., p Locatelli,Bruno, Markku Kannined, Maria Brockhaus, Carol J.P. Colfer, Daniel Murdiyarso, dan Heru Santoso Facing an uncertain future. How forests and people can adapt to climate change. Forest Perspectives no. 5. CIFOR. Indonesia MEA (Millenium Ecosystem Assessment) Ecosystem and hutam wellbeing. Synthesis. Island Press, Washington D.C. 137p. Mendes, H Brazil faces forecast of heat and dust. Science and Development Network. (12 Desember 2008) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 21

152 Mettzger, M.J., Rounsevell, M.D.A., Acosta-Michlik, L., Leemans, R. and Schroter, D The vulnerability of ecosystem services to land use change. Agriculture Ecosystem and Environment 114: Nobre, C. dan Oyama, M A new climate-vegetation equilibrium state for Tropical South America. Geophysical Research Letters 30(23): Reid, H. and Huq, S Community-based adaptation. A Vital approach to the threat climate change poses to the poor. IIED Briefing paper. (dikutip Desember 12, 2008) 2 p. SCBD (Secretariat of the Convention on Biological Diversity) Interlinkages between biological diversity and climate change. Advice on the integration of biodiversity considerations into the implementation of the UNFCCC and its Kyoto protocol. CBD Technical Series no. 10. SBD, Montreal. 154 p. Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.) Adaptation of Forests and People to Climate Change A Global Assessment Report. IUFRO World Series Volume 22. IUFRO. Austria Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.) Making forest fit for climate change. A Global view of climate-change impacts on forests and people and options for adaptation. Policy Brief. Ministry for Foreign Affairs of Findland.International Union of Forest Research Organization. XI. Kerangka Kerja Logis TUJUAN : Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasi nya terhadap perubahan iklim Dihasilkannya : Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim Dokumen informasi mengenai tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasi nya terhadap perubahan iklim, yang dikemas dalam bentuk LHP, Publikasi, Policy Brief Tidak terjadi perubahan kebijakan/ peraturan terkait Dukungan dari pihak terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian 22 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

153 Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi SASARAN: Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap variasi musim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang Telah dilaksanakan penelitian dan diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan akibat perubahan iklim, strategi adaptasi serta modelling dampak dan modeling biaya perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat Sintesis hasil penelitian terkait dengan tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap PI Publikasi ilmiah minimal 5 buah Policy brief Tersedia SDM peneliti Dana tersedia tepat waktu Ada komitment instansi penelitian Tidak ada perubahan kebijakan mendasar tentang arah penelitian Ada kerjasama pemerintah pusat dan daerah Ada interest pemerintah pusat dan daerah thd adaptasi bioekologi dan sosekbud terhadap perubahan iklim Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 23

154 Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi LUARAN: 1. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya 2. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim 3. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim,dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang kerentanan hutan tropis, satwa hutan, jasa hutan (air), produktivitas hutan dan fenologi akibat perubahan iklim Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang identifikasi species pohon yang potensial untuk ekologi pantai, daerah kering, dan ekosistem pegunungan, koleksi materi genetik, dan uji provenans Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang kerentanan masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim, strategi adaptasi, dan rekomendasi terhadap pemerintah pusat dan daerah dalam pengarusutamaan adaptasi terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim Sintesis hasil tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya Laporan penelitian Publikasi Policy Brief Sintesis hasil tentang analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim Laporan penelitian Publikasi Policy Brief Sintesis hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim Laporan penelitian Publikasi Policy Brief 24 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

155 Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi 4. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang KEGIATAN: 1.1. Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim 1.2. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim 1.3. Analisis kerentanan jasa hutan air terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim 1.4. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang modelling ekosistem hutan, sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan biaya adaptasi akibat perubahan iklim Peneltian dapat menjawab tentang tingkat kerentanan vegetasi hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim. Penelitian dapat memberikan informasi tentang tingkat kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim Penelitian dapat memberikan informasi tentang Kerentanan jasa hutan (air) terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim Penelitian dapat memberikan informasi tentang dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi. Sintesis hasil atau rekomendasi kabijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang Publikasi Policy Brief Laporan penelitian Laporan kemajuan kegiatan (hasil survey) lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 25

156 Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi 1.1. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, hutan dataran rendah dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya 1.2. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenans atau uji genetis 1.3. Uji provenansi spesies teridentifikasi di lahan masyarakat 1.1. Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah 1.2. Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan 1.1. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan Penelitian dapat memberikan informasi tentang spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan daerah kering, dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya Penelitian dapat memberikan informasi tentang koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenance Penelitian dapat memberikan informasi tentang hasil uji provenansi spesies teridentifikasi Penelitian dapat memberikan informasi tentang Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah Penelitian dapat memberikan informasi tentang Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan Penelitian dapat memberikan informasi tentang modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Publikasi Laporan penelitian Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi 26 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

157 Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi 1.2. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan 1.3. Modelling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim Penelitian dapat memberikan informasi tentang modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan Penelitian dapat memberikan informasi tentang modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Laporan kemajuan kegiatan lapangan Hasil analisa data lapangan Laporan penelitian Publikasi Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 27

158 28 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

159 Penguatan Tatakelola Kehutanan Penguatan Tatakelola Kehutanan i

160 ii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

161 Lembar Pengesahan Penguatan Tatakelola Kehutanan iii

162 iv RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

163 Daftar Isi Lembar Pengesahan...iii Daftar Isi... v Daftar Gambar...vi Daftar Tabel...vii Daftar Singkatan... ix I. Abstrak...1 II. Latar Belakang...1 III. Rumusan Masalah... 3 IV. Hipotesis... 5 V. Tujuan dan Sasaran... 5 VI. Luaran... 6 VII. Ruang Lingkup... 7 VIII. Metode... 7 IX. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya X. Organisasi...18 XI. Daftar Pustaka...18 XII. Kerangka Kerja Logis Penguatan Tatakelola Kehutanan v

164 Daftar Gambar Gambar 1. Tiga Pilar Tatakelola Pemerintahan...10 vi RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

165 Daftar Tabel Table 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Penguatan Tatakelola Kehutanan vii

166 viii RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

167 Daftar Singkatan AHP B-C BBPD BPHPS BPK BUMN CIFOR DEPHUT DFID Ditjen HPH ICRAF IDS IIED IPB IUPHHK KPH LHP Litbanghut LSM PHKA RKT RLPS RPI RPTP SDH SWOT UI : Analytic Hierarchy Process : Benefit - Cost : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa : Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat : Balai Penelitian Kehutanan : Badan Usaha Milik Negara : Center for International Forestry Research : Departemen Kehutanan : Department for International Development : Direktorat Jenderal : Hak Pengusahaan Hutan : International Centre for Research in Agroforestry : Institute of Development Studies : International Institute for Environment and Development : Institut Pertanian Bogor : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu : Kesatuan Pemangkuan Hutan : Laporan Hasil Penelitian : Penelitian dan Pengembangan Kehutanan : Lembaga Swadaya Masyarakat : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam : Rencana Kerja Tahunan : Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial : Rencana Penelitian Integratif : Rencana Penelitian Tim Peneliti : Sumber Daya Hutan : Strength Weakness Opportunity Threat : Universitas Indonesia Penguatan Tatakelola Kehutanan ix

168 UGM UPT : Universitas Gajah Mada : Unit Pelaksana Teknis x RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

169 I. ABSTRAK Pengurusan hutan (forest administration) selama ini tanpa disadari telah mngabaikan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) karena desakan pembangunan ekonomi. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berhubungan dengan sumberdaya hutan dan kaitannya dengan kondisi sosial, maupun terhadap lingkungan hidup. Fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan supervisor dalam pengurusan hutan di satu pihak masih sangat lemah, namun di pihak lain dipandang cenderung berlebihan dan tidak efektif. Tata kelola kehutanan yang baik (Good Forest Governance) hanya bisa diwujudkan apabila para pembuat kebijakan (decision makers) dan pelaksana (executive) dalam pembangunan kehutanan mampu mengkaji forest governance yang telah dipengaruhi oleh dinamika sosial seperti kebijakan seperti desentralisasi. Beberapa tahun terakhir, para pihak terkait (stakeholders) telah banyak menyoroti forest governance dalam implementasinya. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Faktor pendorong lain munculnya isu ini adalah kosekuensi logis dari proses desentralisasi pemerintahan (otonomi) yang implementasinya masih berlangsung hingga saat ini. Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan serta keterampilan untuk mengidentifikasi skema-skema dan mekanisme tata kelola kehutanan yang baik dengan melakukan analisis terhadap: (1) kelembagaan kehutanan; (2) administrasi peredaran hasil hutan; (3) sistem rujukan dan penilaian tata kelola kehutanan yang baik. Beberapa metode dan pendekatan yang sesuai dengan topik yang akan dikaji akan digunakan sebagai alat analisis. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 5 tahun dan akan dicapai melalui tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap pemantapan, dan tahap kolaborasi. Kata Kunci : tata kelola, desentralisasi, kelembagaan, peredaran, hasil hutan II. Latar Belakang Hal yang terakhir misalnya ditunjukkan oleh aturan-aturan yang sangat restrictive bagi pihak pengelola di lapangan (unit manajemen) untuk mengimplementasikan manajemen hutan yang kondisi biofisik dan sosiokulturalnya sangat beragam. Demikian pula kebijakan pemerintah dianggap kaku dan kurang kondusif terhadap kondisi pasar yang dinamis. Namun di sisi lain muncul pernyataan bahwa banyak pemilik hak pengusahaan hutan dan manajer perusahaan yang kurang peduli akan aturan-aturan yang dibuat untuk menjamin kelestarian hutan. Dengan demikian diperlukan Penguatan Tatakelola Kehutanan 1

170 sebuah kajian komprehensif mengenai akar permasalahan pengelolaan hutan baik di sisi pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam kerangka kebijakan desentralisasi. Setelah lebih dari 30 tahun menjalani sistem pengelolaan hutan sentralistik, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas kepada Pemerintah Kabupaten di Indonesia dalam mengelola sumberdaya alam di daerahnya. Dengan adanya UU tersebut, daerah mempunyai hak untuk menetapkan kebijakan daerahnya sendiri secara otonom. Sementara itu, pemerintah tingkat provinsi pada prakteknya masih lebih banyak berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Pada tahun berikutnya, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun Semestinya PP ini dapat memperjelas pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Sayangnya, PP tersebut hanya mengatur kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten tidak dinyatakan secara jelas. Menyadari adanya beberapa kelemahan UU No 22 Tahun 1999, maka pemerintah kemudian merevisi UU tersebut menjadi UU No. 32 Tahun Dengan direvisinya UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, maka kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten setara, sehingga semua urusan pemerintahan (hak, kewajiban, kewenagan dan tanggung jawab) lintas kabupaten menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Meskipun oleh beberapa kalangan UU No 32 dipandang sebagai bentuk resentralisasi, namun bagi proponennya UU No 32 merupakan langkah penataan kembali hierarki hukum yang sebelumnya mengalami kesenjangan. Peraturan setingkat menteri yang sebelumnya tidak mendapat tempat dan menjadi salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, kembali mendapat tempat (sebagai acuan bagi peraturan daerah) sepanjang peraturan tersebut diamanatkan atau menjadi turunan dari suatu peraturan pemerintah (PP). Demikian pula UU No 32 melakukan penataan terhadap kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam urusan pemerintahan termasuk didalamnya bidang kehutanan. Konsekuensi dari perubahan-perubahan UU di sektor pemerintahan berimbas pada penyesuaian-penyesuaian kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor penentu arah tata kelola kehutanan yang menyangkut pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Berkaitan dengan hal 2 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

171 tersebut beberapa PP yang diturunkan dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pun mengalami beberapa kali penyesuaian, termasuk aturanaturan di bawahnya. Proses desentralisasi dalam tata kelola kehutanan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Proses ini baru direspons sebatas jargonjargon maupun wacana-wacana daripada langkah-langkah konkrit yang membuahkan hasil. Konflik atau ketidak harmonisan antara pemerintah pusat daerah serta meningkatnya peranan politik dalam pemerintahan cenderung mengorbankan dan menimbulkan tekanan-tekanan yang baru terhadap hutan (at the expense of forest resources). Kondisi open access kawasan hutan dewasa ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta pemegang ijin usaha akibat ketiga pihak dimasa lalu. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab tidak dapat dikendalikannya penebangan kayu, sumber kegagalan pelaksanaan rehabilitasi hutan maupun lahan, maupun lemahnya pelaksanaan perlindungan dan konservasi hutan (Kartodihardjo, 2006). Dalam sisi rantai suplai (supply chain) hutan, telah terjadi kemerosotan mulai dari penetapan kawasan, pemberian ijin pemanfaatan, pembuatan RKT hingga peredaran kayu bulat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merosotnya jumlah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang beroperasi maupun volume produksi kayu bulat dari IUPHHK/HPH di berbagai wilayah seperti di Sumatera. Penyebab utama adalah disamping oleh kemorosotan potensi hutan produksi juga lemahnya tata kelola hutan yang ada. Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) secara teoritis pada kawasan hutan negara sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dapat menutup kesenjangan pengelolaan hutan dewasa ini oleh karena itu memerlukan penelitian untuk pelaksanaannya. Peraturan pusat sering mengalami perubahan (berganti) atau tidak serta merta diikuti peraturan pelaksanaan (petunjuk teknis) kerapkali menyulitkan pemerintah daerah maupun pelaku ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan indikasi dari lemahnya tata kelola kehutanan di Indonesia yang memerlukan kajian mendalam mengenai akar permasalahan di balik gejala tersebut. III. Rumusan Masalah Beberapa sisi yang banyak disorot dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan antara lain adalah yang berhubungan dengan: (i) lemahnya kontrol pemerintah pusat dan daerah dan kurangnya sinergi keduanya Penguatan Tatakelola Kehutanan 3

172 sehingga merugikan negara maupun sumberdaya hutan; (ii) tidak ditegakkannya aturan dan hukum untuk keuntungan pihak-pihak tertentu; (iii) masih lemahnya kelembagaan (kurangnya efektivitas organisasi dan perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan) secara umum; (iv) lemahnya pengendalian pada sisi produksi dan peredaran hasilnya karena lemahnya integritas tata kelola kawasan; (v) belum adanya rujukan dan batasan kinerja yang jelas tentang performa tata kelola kehutanan yang baik. Dari kelima isu tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan beberapa akar masalah yang potensial untuk diteliti sebagai berikut: 1. Perumusan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan negara, masyarakat dan lingkungan; 2. Tidak terjadinya sinergi dan adanya konflik antar instansi dalam pengurusan sumberdaya hutan yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi; 3. Ketidakpastian hukum yang menimbulkan konflik kepentingan dan mengakibatkan tidak terurusnya sumberdaya hutan secara baik antara lain diindikasikan oleh belum terbangunnya unit-unit pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung; 4. Dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya, tidak terantisipasi dengan baik; 5. Kelemahan peraturan mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, kerugian pada penerimaan negara, pelaku ekonomi dan masyarakat; 6. Belum adanya kesepakatan tentang kriteria untuk acuan pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik; Dari keenam akar masalah tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh pada perubahan politik, ekonomi dan internasional dalam perumusan kebijakan di bidang kehutanan? Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan di bidang: (1) Penentuan kawasan hutan; (2) Land Tenure; (3) Perlindungan dan Pelestarian SDH; (4) Pemanfaatan hasil hutan; dan (5) Bagaimana pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang kehutanan? 2. Sampai sejauhmana keutuhan dan kekonsistenan peraturan yang dibuat sehingga dapat diikuti dan dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan? 3. Apakah terjadi tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi internal DEPHUT, antara DEPHUT dan instansi lain, serta antara instansi pusat dan daerah? Bagaimana strategi penyelesaian 4 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

173 permasalahan kekosongan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan konflik antar peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dengan bidang-bidang lainnya serta intra peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan? 4. Bagaimana struktur organisasi DEPHUT harus dibangun dan dikembangkan untuk menyesuaikan dengan permasalahan kehutanan dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik? 5. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam membangun kriteria operasional yang dapat dipergunakan untuk menilai tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance di lingkup Pemerintah Pusat dan daerah, dan perusahaan. IV. Hipotesis Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Konstelasi politik, perubahan ekonomi dan tekanan internasional berpengaruh pada pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang kehutanan 2. Implementasi desentralisasi urusan kehutanan khususnya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi masih mengalami berbagai hambatan 3. Tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi di bidang kehutanan merupakan salah satu masalah utama deforestasi dan degradasi hutan. 4. Pembangunan KPH masih berjalan lamban karena kelembagaan yang ada belum sesuai dengan kepentingan para pihak. 5. Struktur organisasi Departemen Kehutanan dan perumusan kebijakan saat ini masih belum mampu menangani persoalan kehutanan secara efektif dan akuntabel. 6. Sampai saat ini belum ada kriteria operasional untuk menilai tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance yang disesuaikan dengan kondisi politik, sosial budaya masyarakat, dan ekonomi V. Tujuan dan Sasaran Tujuan umum rencana penelitian integratif ini adalah: Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan. Tujuan tersebut Penguatan Tatakelola Kehutanan 5

174 dicapai melalui kajian-kajian terhadap status tata kelola kehutanan saat ini serta berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tata kelola kehutanan yang baik, serta bentuk-bentuk organisasi departemen serta skema, mekanisme pengambilan keputusan lingkup departemen. Tujuan RPI Tata Kelola Kehutanan secara khusus adalah: 1. Meningkatkan tatakelola dalam implementasi desentralisasi Hutan Lindung dan Produksi dengan mengkaji proses implemantasinya 2. Meningkatkan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan 3. Meningkatkan pembangunan KPH melalui perbaikan kelembagaan dan kebijakan KPH 4. Mengkaji sistem rujukan prinsip-prinsip good governance dan penilaian atas tata kelola kehutanan yang baik berdasarkan kesepakatan para pihak melalui pembentukan indikator kemajuan forest governance Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan 2. Tersedianya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan Dephut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH 3. Tersedianya rumusan indikator/ indeks kemajuan forest governance VI. Luaran 1. Rekomendasi kelembagaan dalam implementasi desentralisasi pada hutan lindung khususnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi 2. Rekomendasi peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi 3. Rekomendasi struktur organisasi Dephut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Dephut 4. Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH 5. Rumusan indikator (indeks) kemajuan forest governance Luaran tersebut akan dikemas dalam bentuk produk Laporan Hasil Penelitian, publikasi ilmiah dan policy brief. 6 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

175 VII. Ruang Lingkup Aspek-aspek penelitian yang dikaji adalah masalah-masalah yang researchable terkait dengan persoalan: (1) kelembagaan desentralisasi; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3) indikator tata kelola yang baik. Cakupan penelitian dibatasi pada beberapa isu: 1. Organisasi dan Perumusan kebijakan di sektor kehutanan 2. Pelaksanaan peraturan perundangan-undangan dalam desentralisasi di bidang kehutanan (hutan lindung dan produksi) 3. Peran dan tata hubungan kerja lembaga-lembaga di bidang kehutanan 4. Tata kelola kawasan melalui pembentukan unit manajemen 5. Insentif dan disinsentif pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik 6. Perumusan indikator tata kelola kehutanan yang baik Penelitian ini difokuskan pada pilar pemerintah, dari tiga pilar tata kelola kehutanan yaitu pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat. Namun demikian pilar kalangan bisnis dan masyarakat tetap dikaji secara terbatas. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan sumberdaya dan adanya asumsi bahwa pihak-pihak lain sudah banyak meneliti tentang tata kelola kehutanan dari aspek masyarakat dan kalangan bisnis. VIII. Metode A. Kerangka Teoritis Tata Kelola Kehutanan Tata Kelola (Pemerintahan) Kehutanan (forest governance) dapat didefinisikan sebagai seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam mengelola sumberdaya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan. Pada dasarnya prinsip-prinsip umum good governance dapat diterapkan di bidang kehutanan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) partisipatif (participatory); (2) orientasi kesepakatan (consensus oriented); (3) akuntabel (accountable); (4) transparan (transparent); (5) cepat tanggap (responsive); (6) efektif dan efisien (effective and efficient); (7) adil dan inklusif (equitable and inclusive); (8) mengikuti aturan hukum (follows the rule of law); dan (9) memiliki visi strategis (strategic vision). Hasil workshop parapihak Good Governance tahun 2007 menyimpulkan bahwa dari 9 prinsip tersebut, bagi Indonesia saat ini yang paling utama adalah 5 prinsip yaitu: partispatif, akuntabilitas, transparansi, keadilan didepan hukum, dan efektivitas pemerintahan. Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut perlu ada indikator yang dapat mengukur kemajuan tata kelola Penguatan Tatakelola Kehutanan 7

176 kehutanan (yang baik) berdasarkan persepsi para pihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan Indonesia, Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) harus menjamin keterlibatan para pihak secara bebas dengan tetap memandang hak dan kewajiban masing-masing yang dapat diketahui secara transparan dan akuntabel. Tata kelola pemerintahan yang baik juga harus menjamin kesetaraan, dalam pengertian bahwa pemberlakuan hukum adalah harus berimbang dan diperlakukan bagi setiap individu pada tataran yang sama dan harus mampu menjadi penengah berbagai macam kepentingan untuk mencapai tujuan terbaik bersama. Aturan hukum dalam tata pemerintahan yang baik harus tidak berpihak dan tidak berlaku secara khusus. Aturan hukum tidak hanya berlaku sepihak artinya hanya mengatur kewajiban bagi pihak ketiga dalam hal ini perusahaan (pelaku bisnis) dan atau kelompok masyarakat, namun juga haknya secara berimbang, misalnya kejelasan mengenai tata waktu proses, biaya yang harus dibayarkan atau gratis, peringkat penilaian secara wajar dan adil. Aturan hukum juga mengatur apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah sebagai pihak regulator dan pihak lain sebagai objek regulasi. IIED telah mengidentifikasi 5 sistem utama yang menunjang tata kelola pemerintahan yang baik, jika sistem-sistem tersebut mencakup atribut tata kelola yang baik (dalam kurung), yaitu: (1) Informasi (akses, jangkauan, mutu, transparansi); (2) Mekanisme partisipasi (keterwakilan, kesamaan peluang, akses); (3) Pendanaan (internalisasi eksternalitas, efisiensi biaya); (4) Keterampilan (kesamaan dan efisiensi dalam pengembangan modal sosial dan personal); dan (5) Manajemen perencanaan dan proses (penentuan prioritas, pengambilan keputusan, koordinasi dan akuntabilitas). Sejauh mana sebuah organisasi mampu mengadopsi beragam prinsip-prinsip di atas menunjukkan seberapa baik tatakelola organisasi tersebut yang pada akhirnya akan menjadi jaminan bagi keberhasilan program pembangunan dan pengembangan yang telah dirumuskan. Dalam satu sistem negara tiga pilar utama penyangga governance yang saling terkait dan tidak terpisahkan adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis dan elemen masyarakat yang membangun perwujudan suatu trilogi. Masing masing elemen dalam trilogi memiliki karakteristik tersendiri, namun dalam pencapaian perikehidupan ke depan yang lebih baik ketiganya harus bersinergi dan berinteraksi untuk menggapai tujuan yang sama. Ketiga pilar tersebut adalah: (1) Penyelenggara Negara; (2) Pelaku Bisnis; dan (3) Masyarakat. 8 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

177 Pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses dan hubungan yang memiliki kompleksitas tinggi antar warga negara dan kelompokkelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (mandat) dan menuntut hak dan kewajibannya dapat dilakukan secara adil dengan mencari solusi atas perbedaan-perbedaan yang timbul merupakan gambaran dari arti governance dari mandat yang diemban penyelenggara negara. Berdasarkan pengertian governance tersebut, ada tiga kelompok aspek pada pilar-pilar governance, yakni economic governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Ekonomi Tata Kelola Ekonomi), political governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Politik Tata Kelola Politik) dan administrative governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Administrasi Tata Kelola Administrasi). Penciptaan struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh suatu entitas bisnis untuk dapat memberikan jaminan keberlangsungan hidup perusahaan baik keberlangsungan ekonomi maupun finansial untuk jangka panjang, dengan tuntutan untuk tetap memperhatikan seluruh stakeholder yang terkait, yang memiliki arti adanya transparansi dalam menjalankan roda perusahaan dan adanya tanggungjawab sosial yang harus diemban melalui corporate social responsibility. Interaksi yang dibangun dalam bentuk struktur, sistem dan proses tersebut dipergunakan sebagai dasar mekanisme pengecekan dan perimbangan yang adil (checks and balances) atas kewenangan guna pengendalian dari peluang penyalahgunaan asset perusahaan dan pengelolaan yang tidak benar. Interaksi individu-individu dalam aspek sosial, ekonomi dan politik membuat kesatuan kemasan individu-individu tersebut menjadi suatu masyarakat yang memiliki satu kesatuan tujuan. Keberadaan masyarakat dalam wujud kelembagaan merupakan salah satu unsur yang turut mendukung keberhasilan tata pemerintahan yang baik. Kelembagaan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang bersinggungan dengan tiga elemen good governance, yakni politik, sosial dan ekonomi. Masyarakat dengan sendirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan (embedded) dari kegiatan-kegiatan dalam tiga pilar tata pemerintahan itu sendiri sehingga tidak saja merupakan unsur pelaku checks and balances namun juga memberikan kontribusi dan memperkuat keberadaan 2 (dua) pilar lainnya. Penguatan Tatakelola Kehutanan 9

178 PEMERINTAH PROGRAM PRIORITAS outcome TATA KELOLA EKONOMI, KEBIJAKAN DAN ADMINISTRASI outcome TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK CHECK AND BALANCE YANG KUAT MASYARAKAT CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY GOOD CORPORATE GOVERNANCE CHECK AND BALANCE YANG KUAT PELAKU BISNIS Gambar 1. Tiga Pilar Tatakelola Pemerintahan B. Kerangka Konseptual Penelitian Tata Kelola Kehutanan Penelitian ini didasarkan pada fenomena gejala kerusakan hutan dan inefisiensi serta ketidakefektifan pengurusan hutan saat ini sehingga memunculkan serangkaian persoalan-persoalan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dilihat dari empat aspek yaitu: (1) kelembagaan; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3) kriteria dan indikator tata kelola yang baik; dan (4) pengelolaan sumberdaya manusia kehutanan. Dari masing-masing aspek tersebut akan dianalisis berbagai persoalan dan faktor-faktor yang berpengaruh baik pada sisi pemerintah, pelaku bisnis maupun masyarakat. Aspek kelembagaan akan dipelajari dengan menggunakan analisis kelembagaan yang antara lain berupa hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan menyangkut peran para pihak dan pengaruh antara satu pihak dengan pihak yang lain. Indeks tata kelola kehutanan dikaji berdasarkan kriteria dan indikator tata kelola yang baik akan dikaji dengan menggunakan analisis sistem yang dimulai dari analisis faktor-faktor penentu hingga pengembangan seperangkat tolok ukur pencapaian tata kelola yang baik. C. Kerangka Pendekatan Penelitian Untuk melakukan riset kebijakan (policy research) maka perlu terlebih dahulu dipahami proses kebijakan (policy processes) khususnya: 10 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

179 Bagaimana perumusan kebijakan secara Tradisional vs Policy processes. Dalam hubungan ini uraian berikut diambil dari materi yang dipublikasikan oleh Institute of Development Studies (2006). Proses kebijakan merupakan hubungan antara ilmu pengetahuan, keahlian dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jejaring (network). 1. Kebijakan Dalam Pandangan Tradisional Model tradisional dari pembuatan kebijakan memandang proses ini bersifat linear dimana keputusan yang rasional diambil oleh otoritas yang berwenang dalam bidang kebijakan tertentu. Pendekatan ini memandang pembuatan kebijakan melalui sejumlah tahapan yang berakhir pada suatu keputusan. Pemahaman isyu atau permasahan kebijakan (agenda setting) Eksplorasi opsi opsi yang mungkin untuk memecahkan masalah Menimbang biaya dan manfaat setiap opsi Membuat pilihan yang rasional atas opsi terbaik (decision making) Implementasi kebijakan Evaluasi Dalam model ini, implementasi kebijakan dipandang sebagai aktivitas terpisah yang dimulai begitu kebijakan dibuat atau diputuskan. Dan implementasi kebijakan seharusnya menuju penyelesaian masalah awal yang dicoba dipecahkan. Model ini menganggap pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional, melalui tahapan logis dari proses, dan secara cermat mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang diinginkan, kesalahan tidak ditimpakan pada kebijakannya namun pada politik atau kegagalan manajemen dalam mengimplementasikannya karena kurangnya kemauan politik, manajemen yang lemah atau kekurangan sumberdaya. Penguatan Tatakelola Kehutanan 11

180 Model tradisional juga menganggap bahwa terdapat pemisahan yang jelas antara fakta (pendekatan kebijakan yang rasional yang didasarkan pada bukti-bukti, ilmu dan pengetahuan yang obyektif) dan tata nilai (value). Pembuatan kebijakan merupakan proses yang bersifat birokratis dan admistratif. Peranan ekspert dipandang kritis dalam proses membuat keputusan yang rasional, dan ekspertise ilmiah dianggap independen dan obyektif. Pemikiran yang berlaku adalah semacam kebijakan didasarkan bukti fakta (evidence-based policy); atau kebijakan yang berakar dari ilmu yang baik. Meskipun asumsi-asumsi yang digunakan diatas sulit dipenuhi (pervasive), namun model linear masih banyak digunakan dalam praktek. Namun, riset atas proses kebijakan menunjukkan bahwa pendekatan tradisional diatas merupakan refleksi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. 2. Apakah Policy processes? Menggeser fokus analisis ke kebijakan yang didasarkan pada proses berarti menggeser model kebijakan yang linear dan rasional (Pendekatan Tradisional) kepada proses yang kompleks dan rumit melalui mana kebijakan dipahami, diformulasikan dan diimplementasikan, dan sejumlah aktor yang terlibat. Proses kebijakan memiliki karakteristik berikut: 1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik sebagaimana sebagai suatu Analisis atau pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan bukanlah bersifat teknis, aktivitas rasional murni yang sering diperkirakan. 2. Pembuatan kebijakan bersifat incremental, kompleks dan rumit, bersifat iterative, dan sering didasarkan atas eksperimentasi, belajar dari kesalahan, dan mengambil tindakan koreksi. Sehingga, tidak ada hasil keputusan kebijakan tunggal yang optimal. 3. Selalu terdapat tumpang tindih dan agenda yang kompetitif; dimungkinkan tidak tercapai kesepakatan yang utuh diantara para pihak atas permasalahan kebijakan yang riil. 4. Keputusan tidak diskrit (tunggal berdiri sendiri); fakta dan nilai-nilai (values) saling terkait. Penilaian atas value memainkan peranan yang besar. 5. Implementasi kebijakan melibatkan diskresi dan negosiasi oleh pekerja ujung tombak (memberi staf lebih banyak ruang gerak untuk inovasi daripada yang seharusnya). 12 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

181 6. Ekspert teknis dan pembuat kebijakan saling mengkonstruksi kebijakan. Atau dengan perkataan lain, peneliti berkontribusi pada pembuatan kerangka (framing) isyu kebijakan dengan mendefinisikan bukti fakta (evidence) yang dapat dihasilkan dan signifikansinya terhadap kebijakan. 7. Proses-proses kebijakan sering mengandung suatu perspektif yang merupakan biaya bagi pihak yang lain dan seringkali perspektif si miskin dan pihak yang termarginalkan. Secara esensi, riset proses kebijakan mempertanyakan bagaimana permasalahan dan solusi kebijakan didefinisikan, oleh siapa, dan dengan dampak bagaimana? 3. Konsep dan Pendekatan Terdapat 3 (tiga) pendekatan utama untuk memahami pembuatan kebijakan. Satu menekankan pada politik ekonomi dan interaksi antara negara dan masyarakat sipil, dan kelompok kepentingan. Yang lain mengkaji sejarah dan praktek yang terkait dengan pergeseran diskursus, dan bagaimana hal ini membentuk dan membimbing masalah kebijakan dan rangkaian tindakan. Yang ketiga memberi penekanan kepada peran dan agen (atau kapasitas untuk membuat perubahan) dari individu aktor-aktor. IDS (2006) mengembangkan dan mengelaborasi kerangka sederhana yang mengkaitkan ketiga tema yang saling terkait tersebut: 1. Pengetahuan dan diskursus (bagaimana narasi kebijakan)? Bagaimana hal tersebut dibuat kerangkanya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan riset, dsb. 2. Aktor dan jejaring (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terkait?) 3. Politik dan kepentingan (apa yang mendasari dinamika kekuatan?) Pada tingkat tertentu, memahami policy process datang dari pemahaman ketiga unsur tersebut pada interseksi dari tiga perspektif yang tumpang tindih tersebut. Sehingga, untuk memahami mengapa kebijakan mengambil bentuk tertentu perlu memahami tidak saja pembentukan kerangka ilmiah dari isu naratif yang menjelaskan cerita kebijakan -, tetapi juga bagaimana posisi kebijakan menjadi terangkai kokoh dalam jejaring (aktor, pendanaan, professional dan hubungan lainnya, dan teristimewa institusi dan organisasi tertentu, dan dinamika kekuatan yang mengkungkungnya. Policy narrative. Cerita tentang perubahan kebijakan memiliki permulaan, pertengahan dan suatu akhir. Mereka menggambarkan Penguatan Tatakelola Kehutanan 13

182 kejadian-kejadian atau mendefinisikan dunia dalam cara tertentu, sehingga membentuk keputusan kebijakan. Policy narrative member baik diagnosa dan perangkat tindakan dan intervensi. Ia mendefinisikan masalah, menjelaskan bagaimana ia muncul ke permukaan, dan menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk menghindarkan bencana atau mencapai suatu akhir yang berhasil (happy ending), apa yang salah dan bagaimana hal tersebut diperbaiki. Ia mendapat validitas meskipun kenyataannya seringkali menyerdehanakan isyu dan proses yang kompleks. Simplifikasi cenderung memikat dalam hal menghindari kekaburan dan mendukung program aksi. Hal ini yang membuat narrative yang sederhana menarik bagi politisi atau manajer mengabaikan pihak yang lemah. Aktor dan Jejaring. Jejaring, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu atau institusi) dengan visi yang sama keyakinan yang serupa, codes of conduct, kesamaan pola perilaku adalah penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narrative melalui pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan atau cara informal. Proses negosiasi dan tawar menawar diantara kelompok kepentingan yang saling berkompetisi adalah penting (sentral) dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan dapat timbul dan tenggelam sebagai hasil dari perubahan dari efektivitas berbagai jejaring aktor-aktor yang terlibat (IDS, 2006). Politik dan Kepentingan. Politik membentuk proses kebijakan dalam beberapa cara : 1. Konteks politik terbentuk oleh kepentingan otoritas regim tertentu untuk tetap berkuasa. Kompetisi juga terjadi diantara kelompokkelompok dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan terkait dengan alokasi sumberdaya, atau keprihatinan masyarakat. 2. Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang menggunakan kekuatannya dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal ini mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga identifikasi alternatif, pembobotan opsi, pemilihan yang paling menguntungkan dan implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan berasal dari instansi pemerintah, pelaksana organisasi donor dan ekspert independen dibentuk dalam narrative tertentu. 3. Kebijakan dinyatakan sebagai obyektif, netral, bebas nilai, dan seringkali diberi kemasan secara hukum dan ilmiah, yang menekankan pada rasionalitas. Dengan cara ini, sifat politis dari kebijakan tersembunyi melalui penggunaan bahasa teknis, yang menekankan pada rasionalitas dan obyektivitas. 14 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

183 4. Birokrat tidaklah semata-mata pelaksana kebijakan; mereka juga memiliki agenda personal dan politik sendiri untuk bernegosiasi. Politik birokrat, misalnya seperti persaingan dalam kementrian-kementrian untuk memperoleh kendali atas arena kebijakan, merupakan hal yang relevan. 4. Ruang Kebijakan (Policy Space) Konsep policy space terkait dengan sampai tingkat mana pembuat kebijakan dibatasi dalam pembuatan kebijakan oleh kekuatan-kekuatan seperti pendapat jejaring aktor yang dominan atau naratif. Jika terdapat tekanan yang kuat untuk mengadopsi strategi tertentu, maka pembuat keputusan tidak memiliki ruang yang banyak untuk mempertimbangkan opsi-opsi yang lebih banyak. Dapat pula terjadi seorang individu memiliki kapasitas (leverage) yang sangat besar atas proses sehingga dapat memaksakan preferensinya dalam pembentukan pilihan kebijakan. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi: 1. Desk study dengan bahan referensi hasil-hasil penelitian yang telah ada dalam tata kelola dan desentralisasi yang berasal dari berbagai lembaga penelitian, universitas, dan lain-lain, serta produk-produk peraturan perundangan yang ada 2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif berupa pendapat pejabat kunci pada instansi terkait di pusat dan daerah (dinas kehutanan provinsi dan kabupaten/kota), BUMN dan HPH, serta masyarakat dan kalangan LSM, dalam rangka validasi (pengkayaan hasil desk study) 3. Wawancara dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas, serta pakar-pakar lain yang dianggap relevan. 4. Group atau focused group discussions dengan para pihak E. Metode Analisis Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian 8.2, beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis organisasi dan pengambilan keputusan dan lain-lain. Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Meskipun demikian pendekatan penelitian khususnya untuk Analisis kebijakan (policy analysis) secara umum mengikuti Penguatan Tatakelola Kehutanan 15

184 materi yang diuraikan pada Sub Bab 8.3. Berbagai instrumen analisis dalam bentuk metoda kuantitatif maupun kualitatif dapat dijumpai pada berbagai buku teks tentang pembuatan kebijakan, manajemen dan ekonomi. Secara ringkas dibawah ini beberapa metoda kuantitatif sebagai pengantar. 1. B/C ratio Analisis ini digunakan untuk membandingkan benefit-cost ratio dari masing-masing pilihan kebijakan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai B-C ratio yang tertinggi memiliki prioritas tinggi untuk dipilih. Analisis B-C ratio memiliki beberapa bentuk dan merupakan metoda yang paling banyak digunakan. 2. Analytic Hierarchie Process (AHP) Analisis ini digunakan untuk membandingkan alternatif-alternatif kebijakan dengan cara memberi bobot pada setiap alternatif kebijakan melalui pembandingan berpasangan. AHP dapat mengintegrasikan halhal yang bersifat intangible di benak pengambil keputusan melalui pembandingan berpasangan tersebut. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai bobot tertinggi memperoleh prioritas tertinggi untuk dipilih. 3. Analisis regressi (Multivariate) Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan faktor-faktor. Faktorfaktor mana yang paling berpengaruh atas suatu kejadian atau memberikan dampak yang besar perlu mendapat perhatian yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan. 4. Model-model Optimasi Analisis ini digunakan untuk memperoleh solusi kebijakan yang optimal dari banyak (jumlah tak terbatas) pilihan-pilihan kebijakan. Model ini mensyaratkan permasalahan dirumuskan secara matematis dimana terdapat fungsi obyektif dan kendala-kendala yang membatasi pilihan kebijakan. Model-model optimasi yang umum dipakai adalah Linear Programming dan Goal Programming. a. Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) Analisis ini digunakan untuk mendapatkan strategi kebijakan yang sesuai dengan melihat Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Ancaman yang dihadapi suatu organisasi pemerintahan atau perusahaan. 16 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

185 b. Analisis resiko Analisis ini digunakan untuk melihat peluang terjadinya hasil (outcome) yang merugikan dan konsekuensi kerusakan yang terjadi jika hasil tersebut benar-benar terjadi. Analisis ini merupakan suatu proses mengidentifikasi resiko-resiko untuk memperkirakan dampaknya serta peluang terjadinya. IX. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya Pada prinsipnya, Puslitsosek memiliki tugas menyusun Rencana Penelitian Integratif, sebagai koordinator penelitian-penelitian, pelaksana penelitian yang bersifat makro (nasional) atau lintas wilayah, dan pembuat sintesa hasil-hasil penelitian. Sedangkan Balai Besar dan BPK menyusun RPTP dan melaksanakan penelitian (mikro) sesuai dengan kondisi lokal yang berkembang dalam wilayah kerja masing-masing balai sesuai yang digariskan dalam RPI. Keterkaitan penelitian makro dengan mikro menjadi sangat penting untuk penelitian-penelitian desentralisasi dan KPH dari sudut stakeholders yang terlibat, demikian pula dalam penelitian indikator kemajuan tatakelola kehutanan. Oleh karena itu penelitian mikro di daerah menjadi sangat penting dalam pencapaian sasaran penelitian (rekomendasi kebijakan, indikator tata kelola dll). Table 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN/ ANGGARAN (juta Rupiah) Penguatan Tata Kelola Kehutanan 24.1 Luaran 1 : Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi Kajian Implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi PUSLITSOSEK Luaran 2 : Rumusan bentuk dan organisasi Dephut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi Analisis Peran UPT Lingkup Departemen Kehutanan Dalam Implementasi Desentralisasi Kehutanan PUSLITSOSEK 150 Penguatan Tatakelola Kehutanan 17

186 Kode RPI / LUARAN / KEGIATAN PELAKSANA TAHUN PELAKSANAAN/ ANGGARAN (juta Rupiah) Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat PUSLITSOSEK Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH PUSLITSOSEK BPK Manokwari Kajian Pengaruh Hak Atas Lahan (Land Tenure) dalam pembangunan KPH PUSLITSOSEK BPK Banjarbaru Luaran 4 : Indikator/indeks kemajuan forest governance Kajian Indikator Kemajuan Forest Governance PUSLITSOSEK Kajian Good Corporate Governance di Bidang Kehutanan PUSLITSOSEK TOTAL ANGGARAN X. Organisasi Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puslitsosek dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi terkait lainnya. XI. Daftar Pustaka Antara News, Indonesia Emitter Karbon Terbesar Ketiga Dunia 23/03/07 21:05 ( Diakses, 25 Maret Badan Planologi Kehutanan, Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun Departemen Kehutanan, Jakarta. Fisher, R.J Devolution and decentralization of forest management in Asia and the Pacific. ( Diakses 30 Maei Greenpeace, Indonesia layak peroleh Rekor Dunia sebagai Penghancur Hutan Tercepat. greenpeace.org/seasia/id/press/press- 18 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

187 releases/indonesia-layak-peroleh -rekor?mode=send. Diakses, 27 April Hari Sutanta, Indonesia duduki peringkat kedua setelah Brazil sebagai kawasan deforestasi terbesar di dunia ( aboutus /php). Institute of Development Studies Understanding Policy Processes. University of Sussex. Brighton BN1 9RE,UK. Kompas, Insentif Cegah Deforestasi. kompas-cetak/ 0703/29/humaniora/ htm. Diakses, 29 April Mayers, J. dan Bass, S Policy that works for forests and people. Policy that works series no. 7: Series Overview. International Institute for Environment and Development, London. Media Indonesia, Negara Rugi Rp 8,4 T Akibat Perusakan Hutan Dan Lingkungan. Mediaindonesia.com. Diakses, 25 April PP No. 6 Th 2007 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Diakses, 15 Mei Badan Litbang Kehutanan.2009.Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Rully, S, Pembalakan Liar dan Deforestasi kampanye/ hutan/jeda/070328_pmblkn_liar_cu/ Sutton, Rebecca The Policy Process: An Overview. Overseas Development Institute. Portland House.London. Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan Tatakelola Kehutanan di Indonesia Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan.2007.Agenda Riset Forest Governance Badan Litbang Kehutanan UU RI No. 32 Th 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. UU RI No. 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. Penguatan Tatakelola Kehutanan 19

188 World Bank, Forest and Forestry Home Page, available from web.worldbank.org/wbsite/external/topics/extard/extfo RESTS/0,,menuPK:985797~pagePK:149018~piPK:149093~theSite PK:985785,00.html, Last updated 13th September 2005, (Accessed 28/10/05). XII. Kerangka Kerja Logis NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI TUJUAN Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan. SASARAN a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan Dihasilkannya rekomendasi: Kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi Peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi Struktur organisasi Dephut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Dephut Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH Rumusan indikator kemajuan forest governance Telah dilaksanakan penelitian terkait dengan: Kelembagaan dan implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi; Dokumen mengenai rekomendasi implementasi desentralisasi sektor kehutanan dan arah perbaikan di masa mendatang dan organisasi Dephut serta skema pengambial kebijakan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi ilmiah, dan Policy brief Sintesis hasil penelitian terkait dengan desentralisasi sektor kehutanan Tidak terjadi perubahan signifikan terhadap UU serta UU dan peraturan pelaksanaan terkait lainnya Dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian Tersedia hasilhasil penelitian yang menjadi bahan sintesis 20 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

189 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI b. Tersediannya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan Dephut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH c. Rumusan indikator kemajuan forest governance LUARAN 1 Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi Telah dilakukannya penelitian terkait degan aspek-aspek: (1) bentuk organisasi dan perumusan kebijakan Dephut; (2) Peran UPT dalam desentralisasi; (3) Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); Telah dilakukannya penelitian terkait: (1) kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik; (2) Kajian good corporate governance Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi. LHP, Publikasi, dan Policy brief aspek-aspek: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi ; (2) bentuk dan skema perumusan kebijakan Dephut; (3) Peran UPT dalam desentralisasi kehutanan (4) pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) LHP, Publikasi dan Policy brief indikator tata kelola kehutanan yang baik Dilakukannya pembahasan tingkat pimpinan Badan Litbang atas hasil ringkasan kebijakan Dokumen sintesis tentang desentralisasi kehutanan Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief Tersedia hasil penelitian yang menjadi bahan rekomendasi kebijakan Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab Penguatan Tatakelola Kehutanan 21

190 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 2 Rumusan bentuk dan organisasi Dephut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi 3 Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 4 Indikator kemajuan forest governance KEGIATAN 1.1. Kajian implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan Pada : Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1)Kajian organisasi dan mekanisme perumusan kebijakan di pusat (Dephut), (2) Peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH; (2) Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH Dilaksanakan penelitian: (1) Kajian indikator kemajuan forest governance, (2) Kajian good corporate governance Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah arah implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi saat ini sudah benar dan faktor-faktor apa yang menghambat implementasi kewenangan Dokumen sintesis tentang organisasi Dephut Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief Dokumen sintesis tentang kelembagaan KPH Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief Dokumen sintesis tentang kriteria kemajuan forest governance Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian 22 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

191 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI Hutan Lindung Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Lindung kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah Hutan Produksi Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Produksi kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah; Bagaimana persepsi pelaku ekonomi tentang implementasi pemberian kewenangan kepada daerah 2.1 Analisis peran Unit-Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa efektif dan efisien keberadaan UPT Departemen Kehutanan dalam mendukung desentralisasi urusan kehutanan : Bagaimana meningkatkan efektifitas UPT dalam peningkatan kinerja Dephut dan masa depan Dephut Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Penguatan Tatakelola Kehutanan 23

192 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 2.2. Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat Analisis proses perumusan kebijakan atau perundangundangan di Departemen Kehutanan Analisis organisasi Departemen Kehutanan 3.1. Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH Penelitian berhasil menjawab pertanyaan bagaimana kelompokkelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan dan skema perumusan yang akuntabel : Proses dan mekanisme perumusan kebijakan yang mampu melahirkan kebijakan yang efektif dan akuntabel Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah struktur organisasi Departemen Kehutanan saat ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kehutanan dan seberapa jauh daya adaptasinya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Perbandingan dengan bentuk Holding dan Integratif Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang struktur dan susunan organisasi yang mengakomodir kepentingan pusat dan daerah serta aturan yang membagi kewenangan pusat dan daerah secara seimbang berdasarkan azas manfaat Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian 24 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

193 NARASI INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI 3.2.Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH 4.1. Kajian indikator kemajuan forest governance 4.2.Kajian Good Corporate Governance di bidang kehutanan Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang bagaimana hak atas lahan dalam pembangunan KPH. Bagaimana bentuk kelembagaan yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders atas pengelolaan KPH Penelitian berhasil mengidentifikasi kriteria dan indikator, dan indeks yang dapat dipakai mengukur kemajuan tatakelola kehutanan (Pemerintah pusat dan daerah serta pelaku ekonomi) secara operasional Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah saat ini perusahaan-perusahaan kehutanan telah melakukan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik dan indikator apa yang secara efektif dapat menilai kemajuan implementasi-nya ; identifikasi faktor yang berperan dalam tata kelola perusahaan yang baik. Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian Penguatan Tatakelola Kehutanan 25

194 26 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF

195 Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan i

KODEFIKASI RPI 1. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS

KODEFIKASI RPI 1. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS KODEFIKASI RPI 1 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS Lembar Pengesahan MANAJEMEN LANSKAP HUTAN BERBASIS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 663 Daftar Isi Lembar Pengesahan...663

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS

LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS Seminar Regional Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan dalam Perspektif Tata Ruang LANSKAP HUTAN BERBASIS DAS Niken Sakuntaladewi (n.sakuntaladewi@yahoo.com) Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kupang,

Lebih terperinci

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF 2015-2019 PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Bogor, 7 Agustus 2014 OUTLINE Visi dan Misi Rencana Kerja 2015 RPI Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Penanganan

Lebih terperinci

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang

Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang (Berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang) PENGATURAN Penataan ruang sebagai acuan pembangunan sektoral dan wilayah; Pendekatan sistem dilakukan dalam penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

FOREST LANDSCAPE RESTORATION FOREST LANDSCAPE RESTORATION Indonesia Disampaikan dalam Workshop di Wanagama, 7-8 Desember 2009 Forest Landscape Restoration? Istilah pertama kali dicetuskan pada tahun 2001 oleh para ahli forest landscape

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menyusun sebuah strategimanajemen yang berkelanjutan di wilayah perkotaan mandiri harus mengerti unsur-unsur yang ikut berperan di dalamnya. Untuk lebih memahaminya, unsur-unsur

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 2. Pengembangan Hutan Kota/ Lanskap Perkotaan

KODEFIKASI RPI 2. Pengembangan Hutan Kota/ Lanskap Perkotaan KODEFIKASI RPI 2 Pengembangan Hutan Kota/ Lanskap Perkotaan Lembar Pengesahan Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 691 Daftar Isi Lembar Pengesahan... 691 Daftar Isi...693 Daftar Gambar...694 Daftar

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan bagian penting di negara Indonesia. Menurut angka resmi luas kawasan hutan di Indonesia adalah sekitar 120 juta hektar yang tersebar pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN KAJIAN PERAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA Kajian Peran Faktor Demografi dalam Hubungannya Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN) BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA (2014 - KEDEPAN) Gambar 33. Saluran Listrik Yang Berada di dalam Kawasan Hutan 70 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara Foto : Johanes Wiharisno

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pembangunan dan pengembangan suatu kota berjalan sangat cepat, sehingga apabila proses ini tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan hidup dikhawatirkan akan

Lebih terperinci

Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem

Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem DAYA DUKUNG LINGKUNGAN JASA EKOSISTEM PADA TUTUPAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Daya Dukung

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

Perlindungan Terhadap Biodiversitas

Perlindungan Terhadap Biodiversitas Perlindungan Terhadap Biodiversitas Pendahuluan Oleh karena kehidupan di dunia tergantung kepada berfungsinya biosfer secara baik, maka tujuan utama konservasi dan perlindungan adalah menjaga biosfer dalam

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar

Lebih terperinci