BAB II KAJIAN PUSTAKA. making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir, hasil dari perbuatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir, hasil dari perbuatan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Moral disengagement Menurut Desmita (2005: 198) pengambilan keputusan (decision making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir, hasil dari perbuatan itu disebut keputusan. Ketika seorang remaja melakukan suatu keputusan maka dapat diketahui perkembangan pemikirannya. Remaja adalah masa dimana terjadi peningkatan pengambilan keputusan untuk melakukan sebuah keputusan-keputusan dimasa depannya. Pengambilan keputusan remaja yang lebih tua akan lebih kompeten daripada yang lebih muda, sekaligus lebih kompeten dari pada anak-anak. Remaja yang lebih muda cenderung menghasilkan pilihan-pilihan, menguji situasi dari berbagai perspektif, mengantisipasi akibat dari keputusan-keputusan, dan mempertimbangkan kredibilitas sumber-sumber, akan tetapi jika dibandingkan dengan remaja yang lebih tua remaja yang lebih muda memiliki kemampuan yang kurang dalam keterampilan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang diambil oleh remaja meliputi faktor seperti hambatan waktu dan keterlibatan emosional. Perbuatan menyimpang seperti mabuk-mabukan kebut-bebutan di jalan dapat mengembangkan lebih banyak peluang bagi remaja untuk terlibat dalam permainan peran dan pemecahan masalah kelompok yang berkaitan dengan kondisi-kondisi semacam itu di sekolah. Tidak jarang seorang remaja terpaksa harus 12

2 13 mengambil keputusan yang salah karena dipengaruhi oleh orientasi masyarakat terhadap remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja pilihanpilihan yang memadai. Seorang remaja harus tetap diawasi terutama oleh orang tua karena jika keputusan yang diambil seorang remaja buruk maka perlu diberikan pengarahan dengan memberi suatu pilihan yang lebih baik untuk mereka pilih. Bandura (1986) dalam Detert, Trevino & Sweitzer (2008: 374), menegaskan bahwa orang-orang dapat membuat keputusan tidak etis karena proses regulasi diri moralnya tidak aktif pada saat terjadi penggunaan mekanisme kognitif yang berkaitan secara bersama-sama. Ketidakaktifan regulasi diri moral ini disebut moral disengagement. Bandura pada (1999) mengembangkan catatan tentang moral disengagement. Teori kognitif sosial menawarkan suatu perspektif dalam tingkahlaku manusia dimana individu berlatih mengontrol pikiran dan tingkahlaku mereka melalui proses regulasi diri, termasuk mengontrol diri dalam tindakannya dan mengontrol reaksi diri untuk melakukan sesuatu berdasarkan standar moral internal. Banyak orang mengembangkan standar personal dari tingkah laku moralnya, tindakan tersebut memperlihatkan adanya peran dari regulasi diri. Standar ini akan menuntun untuk bertingkah laku baik dan menghindari tingkah laku buruk karena individu menggunakan standar personal mereka untuk antisipasi, mengontrol dan menilai tindakan mereka sendiri. Regulasi diri ini berfungsi dan akan beroperasi jika diaktifkan.

3 14 Bandura mengemukakan bahwa regulasi moral dapat diaktifkan dan tidak diaktifkan sesuai keinginan. Moral disengagement adalah kunci proses ketidakaktifan, individu membebaskan dari sangsi diri dan juga rasa bersalah yang terjadi pada saat tingah lakunya melanggar standar internal, dan akhirnya mereka membuat keputusan yang tidak etis. Bandura (1986) menyatakan bahwa regulasi diri moral dapat tidak aktif dengan melalui 8 mekanisme yang saling berkaitan, berikut penjelasannya: 1. Justifikasi moral merupakan suatu proses dimana seorang individu melakukan tindakan moral kepada diri sendiri atau orang lain, namun proses tindakan tersebut tampak dibenarkan secara moral. Misalnya seseorang mencuri dengan alasan karna ingin menghidupi keluarganya. 2. Penghalusan istilah, seseorang menggunakan bahasa verbal atau ungkapan yang lebih halus agar terlihat baik. Misalnya seorang dokter tidak membunuh pasiennya tetapi menghilangkan penderitaan pasiennya. 3. Perbandingan yang menguntungkan, seseorang membandingkan pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga individu tersebut dapat membenarkan diri. Misalnya seseorang membandingkan antara pencuri kakao dengan kejahatan yang dilakukan oleh koruptor yang lebih besar. 4. Melemparkan tanggung jawab, perbuatan seorang individu yang tidak ingin disalahkan dari tanggung jawab karena ada seseorang yang lebih memiliki otoritas lebih tinggi. misalnya seorang siswa tidak melakukan

4 15 piket kelas menyalahkan ibunya yang tidak membangunkan sehingga kesiangan saat masuk kelas. 5. Mengaburkan tanggung jawab, seorang individu merasa bahwa kesalahan tidak hanya dilakukan oleh dirinya sendiri namun juga dilakukan oleh orang lain. misalnya seorang siswa tidak merasa bersalah saat melakukan tawuran karena dilakukan besama-sama dengan temannya. 6. Tidak menghargai atau sangat sedikit usaha untuk mengurangi akibat melukai orang lain. misalnya seorang ibu akan melakukan apapun demi anaknya dan tidak memikiran dirinya sendiri. 7. Selalu menyalahkan pihak lain tindakan seorang individu yang tidak ingin dirinya disalahkan sehingga selalu menyalahkan orang lain atas pelanggaran moral yang dilakukan. Misalnya seseorang melakukan tindakan pemerkosaan karena korbannya menggunakan pakaian dan berperilaku menggoda. 8. Dehumanisasi atau tidak bersikap manusiawi tindakan seseorang yang tidak manusiawi pada orang yang menjadi korban. Misalnya seorang anak yang berbadan besar mengejek, meminta uang pada orang yang lebih kecil, atau kakak kelas yang sering mengganggu adik kelasnya. Terdapat tiga mekanisme yaitu justifikasi moral, penghalusan istilah, perbandingan yang menguntungkan meliputi kesalahmengertian kognitif tentang tingkahlaku sebagai suatu cara untuk meningkatkan penerimaan moral. Mekanisme berikutnya adalah melemparkan tanggung jawab, mengaburkan atau memutar balikkan fakta efek dari tindakan yang

5 16 merugikan. Untuk dehumanisasi dan menyalahkan orang dapat terlepas dari sangsi moral dengan mengurangi identifikasi pada tujuan tindakan yang merugikan (Kurtinez & Gewirtz, 1991 : 71-93). 2. Orientasi Moral Menurut Soeparno (1992: 5) moral adalah ajaran atau prinsip dasar tentang nilai baik dan buruk atas perbuatan dan perilaku dalam kehidupan manusia di dalam lingkungan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Moral mengandung makna integritas pribadi manusia yaitu harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang menjadi khalifah di muka bumi. Menurut al-ghazali sebagaimana dikutip Muchson & Samsuri (2013: 1) mengemukakan bahwa pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dalam diri yang dilakukan secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Dari beberapa tinjauan diatas dapat disimpulkan, moral adalah prinsip dasar tentang baik dan buruk sebagai manusia yang menjadi watak atau tabiat yang menetap kuat dalam jiwa. Moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi setiap orang, terutama remaja, moral merupakan sebuah pedoman untuk menemukan identitas diri seorang remaja, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi seorang remaja. Moralitas menurut Pratiwi (2005) yaitu sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Yang berarti pula sikap dan perbuatan baik

6 17 yang betul-betul tanpa pamrih. Moralitas menurut mahasiswa dalam penelitian Quinn, Houts & Graesser (1994); Shaffer, (1994a) sebagaimana dikutip dalam Shaffer,( 2009: 532) menyebutkan sebagai kapasitas untuk : 1) membedakan antara salah dan benar; 2) tindakan yang berbeda dan 3) pengalaman bangga dalam tindakan baik dan rasa bersalah ada saat bertindak di luar norma standar. Menurut Frakena (Harris, 1976: 32) hal (cakupan) moralitas adalah penalaran (pertimbangan) berdasar aturan, prinsip, idealisasi yang menyatakan tindakan sebagai benar, salah, baik, buruk yang memiliki pengaruh pada perasaan, interes, idealisasi terhadap orang lain atau pengalaman tertentu, misalnya sebagai tukang masak, pemain bulu tangkis atau penceramah, melainkan baik buruknya sebagai manusia (Suseno, 1987:19). Moralitas menurut Syamsu Yusuf (2009: 132) merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral seperti a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatan bermoral jika perilaku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Moralitas adalah orang yang bertindak berdasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu. Moral dianggap dekat dengan kata etika (Bertens, 1993:4-5), karena etimologi antara etika dan moral sama, yaitu berarti adat kebiasaan, hanya etika berasal dari bahas Yunani bentuk tunggal ethos, dan bentuk jamak ta

7 18 etha. Sedangkan moral berasal dari bahasa latin bentuk tunggal mos, bentuk jamaknya mores. Selanjutnya etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Bertens menegaskan bahwa moral berarti nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Persamaan antara etika dan moral dalam arti bahwa keduanya merupakan nilai-nilai norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral didefinisikan oleh ahli-ahli ilmu sosial (Barstein & Lamb, 1992: ) yaitu : 1. Morality as respect for social rules Moral dalam hal ini diartikan sebagai penghargaan terhadap aturanaturan sosial, yang dalam hal ini dikemukakan oleh Piaget, sedang bagi Durkheim, nilai-nilai moral ada dalam masyarakat, sehingga aturan sosial dalam hal ini menjadi instrumen utama untuk komunikasi moral dalam dan antar generasi. 2. Morality as a justice Hal ini ada pada teori Kohlberg, yang mendefinisikan moral sebagai struktur keadilan, dimana akhir dari semua tindakan moral, petunjuk dan sangsi harus menjamin keadilan bagi individu. Konsep moral sebagai

8 19 justice berarti menekankan kondisi manusia seperti kesetaraan, kebebasan, timbal balik dan menghargai kehidupan. Kebenaran bagi semua orang bersifat universal. Moral merupakan prioritas melebihi berbagai kumpulan norma sosial, aturan atau konvensi. 3. Morality as a care Pemikiran ini dikenakan ada pemikir feminis, seperti Gilligan, Chodorow, yang menyatakan bahwa ada asosiasi empiris antara perkembangan perempuan dan orientasi kepedulian. Ada cara-cara yang berbeda pada remaja perempuan dan remaja laki-laki tentang pengertian diri. Remaja perempuan membangun identitas awal mereka berkaitan dengan diri sendiri dan ibunya (biasanya sebagai pengasuh pertama), sementara remaja laki-laki mengidentifikasi diri mereka dengan memisahkan diri dari jenis kelamin yang berlawanan, yaitu ibu. Dalam prosesnya, remaja perempuan berorientasi menuju hubungan dan kepedulian, sedang reaja laki-laki berorientasi menuju pemisahan, hakhak individu dan butuh melindungi hak-hak melakukan aturan-aturan dan undang-undang. Moral seorang daam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Seorang anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari keluarga atau orang tuanya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral menurut Syamsu Yusuf (2009:133) a) konsisten dalam mendidik anak, tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu harus juga dilarang apabila dilakukan kembali

9 20 pada waktu lain b) sikap orang tua dalam keluarga, sebaiknya orang tua memiliki sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah, dan konsisten dalam mendidik anaknya c) penghayatan dan pengamalan agama yang dianut, orang tua menjadi panutan seorang anak untuk menciptakan iklim religious dalam keluarga dengan cara membimbing tentang nilai-nilai agama kepada anak agar mengalami perkembangan moral yang baik d) sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma, orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi anaknya. Jika lingkungan memberikan pengaruh, ajaran dan contoh yang baik bagi seorang anak maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik. a. Perkembangan Penalaran Moral Menurut John W. Santrock perkembangan moral (2011: 5) adalah perkembangan yang melibatkan pikiran, perasaan, dan perilaku mengenai aturan-aturan dan penemuan tentang apa yang harus dilakukan ornag dalam interaksi mereka dengan orang lain. Desmita (2005: 206) moral erat kaitannya dengan hubungan interpersonal namun sejak lama telah menjadi wilayah pembahasan dalam filsafat. Lawrence Kohlberg menempatkan moral sebagai fenomena kognitif dalam kajian psikologi. Menurut Kohlberg yang disebut dengan moral adalah bagian dari penalaran (reasoning) sehingga ia pun menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain didasarkan

10 21 atas prinsi equality yang artinya orang lain sama derajatnya dengan diri, sehingga antara diri sendiri dengan orang lain dapat dipertukarkan, ini disebut dengan prinsip reciprocity. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral dalam dirinya namun didalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk di kembangkan, berinteraksi dengan orang lain seorang anak akan belajar memahami tentang perilaku mana yang patut di tiru, boleh dilakukan dan dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. b. Orientasi Moral Kepedulian Teori Kohlberg tentang perkembangan moral cukup banyak mendapat kritikan, antara lain dari Gilligan, yang pernah menjadi asisten Kohlberg. Kritikannya terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori Kohlberg tidak memadai untuk menggambarkan moral dari remaja perempuan dan perempuan. Perempuan yang diukur dengan alat ukur Kohlberg skornya lebih rendah dari laki-laki. Studi Haan, Smith & Block, (1968) Holstein, (1976) sebagaimana dikutip dalam Kusdwiratri (1982) ditemukan bahwa pada tahap 3 proporsi wanita lebih besar daripada laki-laki. Ciri-ciri tahap 3 adalah mengutamakan antar individu, berlaku baik dan mengutamakan harapan orang lain. ciri tahap 3 sesuai dengan ciri-ciri peran perempuan sebagai ibu rumah tangga/istri. Perempuan sampai usia remaja tengah atau akhir sama dengan atau lebih cepat perkembangan moralnya dari laki-laki, namun tuntutan peran perempuan menyebabkan menetapnya penalaran moral perempuan seolah berhenti pada tahap 3, sedangkan pada

11 22 laki-laki berkembang terus. Gilligan berdasarkan temuannya tersebut kemudian menyimpulkan, bahwa: a) enam tahap dari Kohlberg diperoleh dari studi selama 20 tahun dengan subjek anak laki-laki saja; b) perempuan tidak termasuk yang dipelajari; c) ilmu sosial pada waktu penelitian tersebut (tahun 1970-an) tidak membedakan laki-laki dan perempuan. kontroversi terhadap teori Kohlberg dicetuskan oleh Gilligan dengan menyebut teori perkembangan moral Kohlberg bila diterapkan pada perempuan bisa adanya. Gilligan memulai studi dan mempertanyakan kembali tentang perkembangan perempuan karena kurangnya perhatian terutama riset dibidang psikologi terhadap perempuan dan remaja perempuan. Gilligan menemukan suatu perasaan mendalam dari kesakitan dan keputusan yang melingkupi yang tidak berkaitan dengan apa yang ingin mereka kemukakan. Gilligan menemukan juga ada beberapa elemen kunci dalam mempelajari perempuan dan perasaannya: 1) Perempuan dan remaja perempuan merasakan suatu rasa mendalam tentang keterpisahan, kekurangan perhatian. 2) Tidak ada persesuaian antara kehidupan perempuan dengan kultur Western 3) Pertanyaan perempuan adalah mengapa mereka berada berbalik dengan yang lain atau malah hilang diantara yang lain secara individual.

12 23 4) Ada polarisasi antara suara internal dengan kemampuan untuk berbicara secara verbal. 5) Perempuan merasakan bahwa suara dari dalam dirinya tidak dapat dibawa ke dalam hubungan-hubungan dengan orang lain. 6) Perempuan juga merasakan bahwa pikiran-pikiran mereka kurang dibanding yang lain dan akan menjadi buruk bila diekspresikan kepada orang lain. Berdasarkan penelitiannya, Gilligan menemukan bahwa perempuan lebih menekanan aspek relasi (hubungan) dibandingkan laki-laki. Dari temuan inilah Gilligan membuat kerangka kerja tentang suara yang berbeda, hal ini juga mengubah perbindangan dalam moral. Gilligan mengemukakan metafora suara yang ada dalam orientasi dan teori ini sebagai: a) sesuatu yang kongkrit dan khusus, b) menuju keharmonisan tanpa memaksakan persamaan, c) bukan kompetitif atau serangan, namun kerjasama, d) kombinasi antara emosi dan isi hati, e) suara ini mungkin dapat direntangkan dalam perbendaharaaan kata yang luas yang tidak bersifat benar salah, e) suara ini dapat berbeda dengan tidak mengesampingan yang lain (Lecture 19, 1999). Penalaran moral dibatasi dengan...dua perspektif yang mengorganisasikan pikiran dengan cara-cara berbeda: Pada laki-laki, definisi moral ada dalam istilah keadilan (justice), sedangkan perempuan, mendefinisikan moral bukan dalam istilah, hak, namun lebih banyak pada

13 24 istilah tanggung jawab (responsibility) dan kepedulian (care) Gilligan (1998). Dari dua yang berbeda tersebut, maka disimpulkan : a. Ada perbedaan kerangka kerja dan pemecahan persoalan pada laki-laki dan perempuan; b. Suara perempuan berkaitan dengan koneksi, kedamaian, kepedulian dan tanggung jawab, suara laki-laki berkaitan dengan kesetaraan, hubungan timbal balik, keadilan dan kebenaran; c. Dua suara model ini berbeda cara dalam memandang dunia; d. Perbedaan dua suara dalam gender ini tidak berarti bahwa satu suara lebih superior dari suara yang lain (Nelson, dalam Gilligan 1999). Penelitian Gilligan dalam penalaran moral mencakup pertanyaan bagaimana orang menetapkan masalah moral dan pengalamanpengalaman apa yang dapat ditetapkan sebagai suatu persoalan konflik moral dalam kehidupan mereka. Gilligan yakin bahwa masalah moral bagi perempuan muncul dari adanya konflik tanggung jawab bukannya membandingkan mana yang benar. Pemecahan masalah moral menimbulkan pernyataan bahwa pikiran perempuan lebih bersifat kontekstual dan naratif, bukannya bersifat abstrak dan formal. Konsepsi moralitas yang berpusat pada pemahaman tentang tanggung jawab dan keterkaitan, sama halnya dengan konsep moralitas yang berdasarkan pemahaman hak-hak dan aturan. Alasan penting tentang gagalnya

14 25 perempuan dalam sistem pengukuran Kohlberg mungkin karena bebedanya laki-laki dan perempuan dalam mengkonstruksi masalah moral (Serena 1999). Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam perkembangan moral karena perempuan mengidentifikasikan dirinya melalui koneksi (hubungan) dan takut akan pemisahan (separation), sementara laki-laki mengidentifikasikan diri melalui pemisahan dan takut akan hubungan. Perempuan lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain yang dapat menjadi kelemahan. Perempuan melihat moralitas dalam istilah kepedulian, tanggung jawab dan hubungan, sedangkan laki-laki melihat moralitas dalam hak-hak mereka tanpa mengganggu hak orang lain. perempuan tidak hanya menetapkan dirinya dekat dengan hubungan kemanusiaan namun juga menilai dirinya memiliki kemampuan untuk peduli. Peduli berarti aktifitas hubungan, memperhatikan dan bertanggung jawab atas kebutuhan, mempedulikan dunia dengan cara berhubungan sehingga tak satupun tertinggal sendirian. Kematangan moral bagi perempuan adalah kemampuan untuk menyeimbangkan kepeduliannya pada orang lain dan kepeduliannya pada diri sendiri. Peremuan menjelaskan moralitas moralitas sebagi suatu ketegangan konstan antara menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan sekaligus sebagai suatu keseluruhan entitas diri dan mereka melihat kemampuan untuk hidup dengan ketegangan merupakan suatu sumber karakter dan kekuatan moral. Berdasarkan hal-hal tersebut, Gilligan mengemukakan

15 26 urutan perkembangan moral yang beorientasi kepedulian sebagai berikut (Gilligan, 1997: 112) Tabel 1. Tingkat Perkembangan Moral ber Orientasi Kepedulian 1 Tingkat 1 Orientasi of Individual Survival ( memfokuskan ada apa yang terbaik bagi dirinya) 2 Transisi 1 Dari selfishness ke respnsibility 3 Tingat 2 Goodness as Self Sacrifice (memfokuskan konsekuensikan tindakan pada kebutuhan orang lain) 4 Transisi 2 Dari goodness ke truth 5 Tingkat 3 Morality of Nonviolence ( memfokuskan pada perintah/keputusan tentang apakah hal yang dilakukan membahayakan atau tidak membahayakan orang lain, termasuk diri sendiri). Pada tingkat pertama, perhatian awal mengenai kepedulian pada diri sendiri untuk menjamin kelangsungan hidup diikuti oleh tahap peralihan, pada tingkat ini ada penilaian egois. Pada tahap transisi 1 ada suatu pemahaman mengenai hubungan antara diri sendiri dan orang lain yang diungkapkan dengan kosep tanggung jawab ( Gilligan, 1997: 112). Pada tingkat kedua, kebaikan moral disamakan dengan kepedulian pada orang lain. namun dalam tahap ini dapat tercipta suatu ketidakseimbangan yang melahirkan peralihan kedua. Pada tingkat berpusat pada dinamika relasi dan menghapus ketegangan antara egoisme dan tanggung jawab melalui suatu pemahaman baru tentang hubungan timbal balik antara orang lain dan diri sendiri. Kepedulian menjadi prinsip penilaian moral yang dipilih sendiri. Prinsip ini tetap bersifat psikologis dalam kaitan dengan relasi dan sikap tanggap, namun menjadi prinsip

16 27 universal dalam mengutuk setiap sikap yang menindas dan merugikan orang lain (Gilligan, 1997: 113). Penelitian Anna vonder Lippe dan Eva S. Skoe (1999, Makalah Ringkasan Penelitian) diperoleh hasil pada penelitiannya tentang etik kepedulian, etik keadilan dan perkembangan ego pada 168 orang di Norwegia yang berusia tahun (80 perempuan dan 83 laki-laki), bahwa etik kepedulian berkaitan sangat signifikan dengan perkembangan ego daripada etik keadilan pada perempuan saja, sehingga kepedulian secara jelas berkaitan dengan ego dan perkembangan moral pada perempuan. Lippe dan Skoe (1999) menggunakan alat ukur The Ethic of Care Interview (ECI) untuk mengukur tingkatan moral berdasar kepedulian berdasarkan kepedulian berdasarkan teori Gilligan; The Defining Issues Test (DIT) dari Rest (1979) untuk mengukur moral berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg. Laki-laki dan perempuan tedapat perbedaan orientasi (penalaran) moral (Gilligan,1997). Menurut Gilligan, remaja perempuan lebih banyak berada di tahap yang lebih rendah perkembangan moralnya dibandingkan laki-laki. Gilligan pernah mengkritik teori Kohlberg bahwa teori Kohlberg tidak memadai untuk menggambarkan moral remaja perempuan. Kematangan moral perempuan adalah kemampuan untuk menyeimbangkan kepeduliannya kepada orang lain dan diri sendiri. Gilligan mengemukakan urutan perkembangan moral yang berorientasi kepedulian sebagai berikut ; tingkat 1 yaitu orientation of individual

17 28 survival (memfokuskan pada apa yang terbaik bagi dirinya), tingkat 2 yaitu goodness as self sacrifince (memfokuskan konsekuensi tindakan pada kebutuhan orang lain, serta tingkat 3 yang merupakan morality of nonviolence (memfokuskan pada perintah atau keputusan tentang apakah yang dilakukan membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain (Gilligan, 1997: 113). Menurut Gilligan teori tingkat perkembangan moral Kohlbergh tidak memadai untuk menggambarkan moral remaja perempuan. Perempuan yang diukur dengan alat ukur Kohlbergh skornya lebih rendah dari laki-laki, dan hanya akan berhenti pada tahap ketiga yaitu goodboy/goodgirl. Jika di paralelkan dengan teori orientasi moral Gilligan, khususnya remaja perempuan berada di tahap dua yaitu berkorban demi orang lain. Hal tersebut berimplikasi bagi Gilligan, bahwa perempuan memiliki suara lain yang tidak pernah atau jarang di dengarkan laki-laki. Gilligan membedakan orientasi moral laki-laki sebagai orientasi pada keadilan (justice) yang berbeda dengan orientasi perempuan sebagai orientasi pada kepedulian dan tanggung jawab (care & responsible). (Gilligan, 1997). Menurut Sugihartono (2007:35) istilah jenis kelamin dan gender sering dipertukarkan dan dianggap sama. Jenis kelamin menunjuk pada perbedaan biologis dari laki-laki dan perempuan, sedangkan gender merupakan aspek psikososial dari laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender termasuk dalam peran, tingkah laku, kecenderungan, sifat, dan

18 29 atribut yang lain menjelaskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul dari apa yang diajarkan. Menurut Ickes, Gesn, & Graham sebagaimana dikutip Taufik (2012 : 119) penelitian mereka tentang hubungan gender dan akulturasi empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akulturasi empati perempuan lebih baik daripada laki-laki, tetapi ini hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Mereka membuat catatan bahwa akulturasi empati perempuan lebih tinggi ketika partisipan sadar bahwa empati mereka sedang diukur atau ketika stereotip gender ditonjolkan, yaitu akurasi empati partisipan perempuan lebih tinggi terhadap target empati berjenis kelamin perempuan. Temuan-temuan itu berimplikasi kepada motivasi, dan tidak menunjukkan akurasi yang lebih tinggi bilamana target empati berbeda jenis kelamin dari dirinya. Desmita (2005: 77) jenis kelamin anak yang ditentukan pada saat pembuahan secara langsung tau pun tidak langsung akan mempengaruhi pola perilaku dan pola kepribadian sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Menurut Desmita ada tiga alasan mengapa jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya, pertama setiap tahunnya anak-anak mengalami peningkatan tekanan-tekanan budaya dari para orang tua, guru, kelompok teman sebaya dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelamin mereka. Anak-anak yang belajar berjalan berperilaku sesuai dengan apa yang dianggap wajar bagi jenis

19 30 kelamin mereka akan menerima dukungan sosial, sebaliknya jika mereka gagal menyesuaikan diri maka akan di kritik dan bahkan dapat dikucilkan oleh masyarakat. Kedua, pengalaman belajar ditentukan oleh jenis kelamin individu, disekolah, dirumah dan didalam kelompok bermain anak-anak belajar apa yang dianggap pantas dilakukan sesuai dengan jenis kelamin mereka. Jika anak laki-laki belajar memainkan permainan perempuan maka akan disebut banci jika anak perempuan suka dengan permainan anak laki-laki disebut dengan tomboy. Ketiga, sikap orang tua dan anggota keluarga penting lainnya terhadap individu sehubungan dengan jenis kelamin yang disukai menunjukkan bahwa anggapan tradisional yang lebih menyukai anak laki-laki sebagai anak pertama. Kuatnya pemilihan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap orang tua yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku mereka terhadap anak dan hubungan mereka dengan anak. B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Eta Lia Purwanti dan Muhari pada tahun 2013 dengan judul Hubungan antara Tingkat Penalaran Moral pada Remaja dengan Perilaku Seks Pranikah di Kost AD. Penelitian ini dilakukan pada 30 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penalaran moral pada remaja denga perilaku seks pranikah, yang artinya semakin tinggi tingkat penalaran moral pada remaja maka semakin rendah perilaku seks pranikahnya, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat penalaran moralnya maka semakin tinggi perilaku

20 31 seks pranikahnya., penelitian ini menggunakan metode teknik analisis korelasi product moment. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu terletak pada variabel dan instrument penelitian. Peneliti menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan ex post facto. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode analisis korelasi product moment, dan meneliti tentang penalaran moral remaja. 2. Penelitian oleh Patria Anggara Nur pada tahun 2009 dengan judul Hubungan antara Pemakaina Bahasa Karma Locus of Control dengan Penalaran Moral pada Penutur Bahasa Brama. Penelitian ini dilaksanakan di kalurahan Baluwartim pasar kliwon Surakarta. Subjek penelitian pada 90 orang menggunakan teknik analisis regresi ganda, dari hasil penelitian ini terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara pemakainan bahasa karma dengan penalaran moral. Perbedaan penelitian ini adalah pada metode indikator dan subjek, peneliti menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan ex post facto dan subjek penelitian pada siswa SMA se- Kabupaten Sleman. 3. Penelitian oleh Qudsyi Hazhira & Gusniarti Uly pada tahun 2007 dengan judul Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Penalaran Moral pada Anak Usia Akhir. Subjek penelitian ini adalah 94 siswa SD kelas V pada sekolah dasar negeri Perumnas Condong Catur. Metode yang digunakan adalah korelasi product moment hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran

21 32 moral pada anak usia akhir, yaitu jika semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga maka semakin tinggi pula tingkat penalaran moral pada anak usia akhir namun sebaliknya jika semakin rendah tingkat keberfungsian anak pada usia akhir. Perbedaan penelitian ini adalah pada subjek, indikator dan metode penelitian, peneliti menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan ex post facto dan subjek penelitian adalah siswa SMA se- Kabupaten Sleman. C. Kerangka Berpikir Setiap orang dapat mengambil keputusan, terutama dalam persoalanpersoalan yang berkaitan dengan moral (dilema moral), dalam hal ini regulasi diri moral yang tidak aktif (moral disengagement) dapat memfasilitasi pengambilan keputusan yang tidak etis. Moral disengagement terbentuk dengan dukungan aspek-aspek atau faktor-faktor personal yang berasal dari pikiran (kognisi) moral, serta reaksi diri afektif dan faktor lingkungan yang semuanya saling berinteraksi dengan tindakan moral seseorang. Orientasi moral adalah salah satu dari aspek kognisi moral. Orientasi moral adalah suatu konsep tentang kerangka atau perspektif yang berbeda untuk menyusun atau memahami domain moral. Moral disengagement merupakan salah satu aspek yang memfasilitasi terjadinya tindakan moral yang buruk oleh seseorang. Orientasi moral kepedulian oleh Gilligan merupakan sebuah kritikan terhadap Kohlberg, bahwa teori dari Kohlberg tidak memadai untuk menggambarkan moral remaja perempuan dan perempuan, ketika perempuan diukur dengan alat ukur Kohlberg skornya lebih rendah dari laki-laki. Dari

22 33 penelitian terdahulu diperoleh hasil adanya hubungan yang positif antara orientasi moral kepedulian dengan tindakan moral, moral disengagement dapat memfasilitasi pengambilan keputusan atau terjadinya tindakan khususnya tindakan moral yang buruk, maka diduga orientasi moral kepedulian memiliki hubungan dengan moral disengagement. Orientasi moral kepedulian merupakan aspek yang terkait dengan moral disengagement, jika seseorang memiliki orientasi kepedulian maka moral disengagement akan rendah, sebaliknya jika orientasi kepedulian moral seseorang rendah atau buruk maka moral disengagement akan tinggi. Siswa umumnya berada dalam usia remaja, setiap siswa diharapkan dapat menjadi warga negara yang baik yang memiliki civic skill (keterampilan), civic knowledge (pengetahuan), civic disposition (sikap). Memiliki karakter yang baik di dalam dirinya agar dapat menjadi good citizen (warga negara yang baik), sehingga negara Indonesia tidak mengalami krisis moral karena banyaknya remaja yang melakukan tindakan buruk. Rendahnya moral disengagement dapat menjadikan siswa bersikap lebih etis dalam berperilaku. Secara garis besar dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut. Gambar 1. Skema Penelitian Orientasi Mortal Kepedulian Moral disengagement Tindakan moral yang buruk

23 34 D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berfikir yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut, Ada hubungan yang negatif antara orientasi moral kepedulian terhadap moral disengagement pada siswa SMA Se-Kabupaten Sleman.

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berideologi Pancasila dan memiliki nilai-nilai budaya yang luhur. Pancasila mengandung 5 pokok nilai yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di Indonesia terjadi beberapa permasalahan dalam berbagai bidang. Beberapa kasus terjadi di bidang hukum, politik dan tata pemerintahan. Dalam ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia sekolah Menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja yang berkisar antara 12-15 tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan bahwa secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Hurlock (1980:10) mengemukakan

Lebih terperinci

MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI

MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL DAN PENALARAN MORAL PADA ANAK USIA DINI MORALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN SOSIAL Menurut perspektif pengembangan kognitif, teori kedewasaan dan pengalaman sosial menjurus kepada

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA (I)

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA (I) PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA (I) Modul ke: 08 Udjiani Fakultas EKONOMI DAN BISNIS A. Pengertian Etika B. Etika Pancasila Hatiningrum, SH.,M Si Program Studi Manajemen A. Pengertian Etika. Pengertian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan moral disengagement pada siswa SMA se Kabupaten Sleman. Data yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan moral disengagement pada siswa SMA se Kabupaten Sleman. Data yang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pertimbangan moral dengan moral disengagement pada siswa SMA se Kabupaten Sleman. Data yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa.pada masa remaja terjadi pertumbuhan untuk mencapai kematangan yang mencakup

Lebih terperinci

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA oleh: Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

ETIKA ADMINISTRASI HENDRA WIJAYANTO

ETIKA ADMINISTRASI HENDRA WIJAYANTO ETIKA ADMINISTRASI HENDRA WIJAYANTO Beberapa Definisi Etika, dari bahasa Yunani ethos, artinya: kebiasaan atau watak Moral, dari bahasa Latin mos (jamak: mores), artinya: cara hidup atau kebiasaan /adat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah adalah sebagai lembaga pendidikan mempunyai kebijakan tertentu yang dituangkan dalam bentuk aturan. Salah satunya adalah aturan sekolah yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA. Henry Anggoro Djohan

BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA. Henry Anggoro Djohan BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA Henry Anggoro Djohan Pengertian Etika Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk tentang hak dan kewajiban moral Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak Nilai mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Kemampuan yang harus dikembangkan bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena

Lebih terperinci

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN LATAR BELAKANG Lerner dan Hultsch (1983) menyatakan bahwa istilah perkembangan sering diperdebatkan dalam sains. Walaupun demikian, terdapat konsensus bahwa yang

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan investasi yang berharga bagi peradaban umat manusia, pada saat yang bersamaan pendidikan dan penalaran moral juga merupakan pilar yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Kehidupan remaja sangat menarik untuk diperbincangkan. Remaja merupakan generasi penerus serta calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Persepsi Persepsi menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer adalah pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

ETIKA DAN MORAL dalam Pembelajaran

ETIKA DAN MORAL dalam Pembelajaran ETIKA DAN MORAL dalam Pembelajaran Oleh: Dr. Marzuki PUSAT PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENGEMBANGAN KULTUR LPPMP - UNY 12/05/2015 1 RIWAYAT PENDIDIKAN BIODATA SINGKAT S1 dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN AFEKTIF

PERKEMBANGAN AFEKTIF PERKEMBANGAN AFEKTIF PTIK PENGERTIAN AFEKTIF Afektif menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang

Lebih terperinci

PANCASILA. Pancasila Sebagai Sistem Etika. Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Manajemen

PANCASILA. Pancasila Sebagai Sistem Etika. Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Manajemen PANCASILA Modul ke: Pancasila Sebagai Sistem Etika Fakultas Ekonomi dan Bisnis Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id 1. Pengertian Etika Istilah etika sering pula

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

Pengertian etika = moralitas

Pengertian etika = moralitas Pengertian etika Meet-1 Creat By.Hariyatno.SE,Mmsi 1. Pengertian Etika Etika berasal dari dari kata Yunani Ethos (jamak ta etha), berarti adat istiadat Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA

PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: 07Fakultas EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Sistem Etika (1) Gunawan Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Pengertian Etika Etika adalah kajian ilmiah terkait dengan etiket

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA

PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas Ekonomi Bisnis Ari Sulistyanto, S. Sos., M. I. Kom Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Bagia Isi A. Pengertian Etika B. Aliran-aliran

Lebih terperinci

Pengertian Etika. Nur Hidayat TIP FTP UB 2/18/2012

Pengertian Etika. Nur Hidayat  TIP FTP UB 2/18/2012 Nur Hidayat http://nurhidayat.lecture.ub.ac.id TIP FTP UB Pengertian Etika Berasal dari Yunani -> ethos artinya karakter, watak kesusilaan atau adat. Fungsi etika: Sebagai subjek : Untuk menilai apakah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Etika Keraf (1998) dalam Bakri dan Hasnawati (2015) menyebutkan bahwa ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi. a. Etika Deontologi

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS DAN PROFESI PPAK

ETIKA BISNIS DAN PROFESI PPAK ETIKA BISNIS DAN PROFESI 1 PPAK Pengertian Etika Etika bisa berarti sama atau berbeda dengan moralitas. Pengertian 1: Etika = moralitas Etika berasal dari kata Yunani Ethos (jamak: ta etha) yang berarti

Lebih terperinci

Etika Dan Filsafat Komunikasi

Etika Dan Filsafat Komunikasi MODUL PERKULIAHAN Etika Dan Filsafat Komunikasi PokokBahasan : Etika & Moral Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Fakultas Ilmu Periklanan MK 85009 Komunikasi (Marcomm) 04 Abstract Komunikasi

Lebih terperinci

KODE ETIK PSIKOLOGI. Etika dan Moral, Kode Etik Psikologi, Psikolog dan ilmuwan psikologi, Layanan Psikologi, Etika dalam Eksperimen Psikologi

KODE ETIK PSIKOLOGI. Etika dan Moral, Kode Etik Psikologi, Psikolog dan ilmuwan psikologi, Layanan Psikologi, Etika dalam Eksperimen Psikologi Modul ke: KODE ETIK PSIKOLOGI Etika dan Moral, Kode Etik Psikologi, Psikolog dan ilmuwan psikologi, Layanan Psikologi, Etika dalam Eksperimen Psikologi Fakultas PSIKOLOGI Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia remaja merupakan dunia yang penuh dengan perubahan. Berbagai aktivitas menjadi bagian dari penjelasan usianya yang terus bertambah, tentu saja karena remaja yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman selalu berubah setiap waktu, keadaan tidak pernah menetap pada suatu titik, tetapi selalu berubah.kehidupan manusia yang juga selalu berubah dari tradisional menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak dan masa ke dewasa, dimulai dari pubertas yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Remaja 2.1.1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescare (kata menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Remaja adalah suatu masa yang dianggap

Lebih terperinci

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi Pertemuan 1 Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi 1.1. Norma Norma (dalam sosiologi) adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui

Lebih terperinci

PANCASILA. Sebagai Sistem Etika. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik

PANCASILA. Sebagai Sistem Etika. Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK. H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Modul ke: Fakultas Teknik Modul ke: PANCASILA Sebagai Sistem Etika Disampaikan pada perkuliahan Pancasila kelas PKK Fakultas Teknik H. U. Adil Samadani, SS., SHI.,, MH. Program Studi Teknik Industri www.mercubuana.ac.id Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia dalam kehidupannya. Kemajuan zaman memiliki nilai yang positif dalam kehidupan manusia, dimana pada

Lebih terperinci

ETIKA PROFESI Mia Fitriawati, M.Kom.

ETIKA PROFESI Mia Fitriawati, M.Kom. ETIKA PROFESI Mia Fitriawati, M.Kom. Seorang professional membutuhkan elaborasi dari keterampilan, wawasan, pengetahuan serta wajib mengetahui, memahami dan mengamalkan etika profesi (professional ethics).

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA

PENDIDIKAN PANCASILA PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: Materi Ini Memuat : Fakultas Fikom Wahyudi Pramono, S.Ag. M.Si Program Studi Humas 2 Indikator Mampu melakukan kajian dengan proses kajian pemanfaatan literatur yang dapat

Lebih terperinci

Komunikasi dan Etika Profesi

Komunikasi dan Etika Profesi Komunikasi dan Etika Profesi Modul ke: Pendahuluan Fakultas Ilmu Komputer Puji Catur Siswipraptini, ST, MTI 08976757065 pujicatur@yahoo.com Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id Penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan sepanjang rentang kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan dan harapan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dalam masa peralihan ini akan terjadi perubahan-perubahan pada diri remaja seperti fisik, kepribadian,

Lebih terperinci

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penelitian Sekolah merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat. Sekolah sebagai organisasi

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga dengan Pemahaman Moral pada Remaja. Sry Ayu Rejeki Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga dengan Pemahaman Moral pada Remaja. Sry Ayu Rejeki Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma JURNAL PSIKOLOGI Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga dengan Pemahaman Moral pada Remaja Sry Ayu Rejeki Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAKSI Masa remaja merupakan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan negatif antara. pertimbangan moral dengan moral disengagement pada siswa SMA se-

BAB V PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan negatif antara. pertimbangan moral dengan moral disengagement pada siswa SMA se- BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan negatif antara pertimbangan moral dengan moral disengagement

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah. Kebudayaan Indonesia seringkali disebut sebagai bagian dari budaya timur, dimana kebudayaan tersebut menjungjung

Lebih terperinci

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya perilaku seksual pranikah di kalangan generasi muda mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral

Lebih terperinci

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA STIKOM DINAMIKA BANGSA MUKADIMAH Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Dinamika Bangsa didirikan untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemandirian 2.1.1. Pengertian Kemandirian Menurut Masrun, dkk (1986), kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas

Lebih terperinci

HERU SASONGKO, S.FARM.,APT.

HERU SASONGKO, S.FARM.,APT. HERU SASONGKO, S.FARM.,APT. PROFESI FARMASI DI MASYARAKAT 4/1/2013 2 SWOT ANALYSIS KEKUATAN : KECENDERUNGAN MAYORITAS WANITA BASIC KNOWLEDGE YANG DAPAT DIANDALKAN REGULASI YANG MENYANGKUT PROFESI FARMASI

Lebih terperinci

PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM

PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM Disusun oleh : NURMA YUSNITA,AMK NIM SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARATU PRODI S1 KEPERAWATAN 2017 Jalan Kaswari Nomor 10 A-D Sukajadi Pekanbaru Telp/Fax (0761)24586

Lebih terperinci

BAB I Tinjauan Umum Etika

BAB I Tinjauan Umum Etika BAB I Tinjauan Umum Etika Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pembahasan mengenai: Pengertian etika Hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gaya kehidupan anak-anak remaja sekarang ini banyak mengalami perubahan. Perubahan itu meliputi cara berpikir, tata cara bertingkah laku, bergaul dan berbagai

Lebih terperinci

PANCASILA sebagai SISTEM ETIKA. Modul ke: 09TEKNIK. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur

PANCASILA sebagai SISTEM ETIKA. Modul ke: 09TEKNIK. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur Modul ke: PANCASILA sebagai SISTEM ETIKA Fakultas 09TEKNIK Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur Pokok Bahasan Pendahuluan A. Pengertian Etika B. Aliran-aliran Etika 1) Etika Deontologi 2)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin besarnya kebutuhan akan tenaga kerja profesional di bidangnya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai

Lebih terperinci

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pembahasan mengenai: Pengertian etika Hubungan etika dengan moral Hubungan

Lebih terperinci

Makna Pancasila Sebagai Sistem Etika

Makna Pancasila Sebagai Sistem Etika Modul ke: Makna Pancasila Sebagai Sistem Etika Fakultas TEKNIK Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur www.mercubuana.ac.id Makna Pancasila Sebagai Sistem Etika Dan Karakter Bangsa Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tahun jumlah mahasiswa di Indonesia cenderung meningkat. Latief (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

E T I K A E T I K A E T I K A E T I K A E T I K A 8/19/2010. Oleh : PRINSIP ETIKA MORAL DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEBIDANAN

E T I K A E T I K A E T I K A E T I K A E T I K A 8/19/2010. Oleh : PRINSIP ETIKA MORAL DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEBIDANAN PRINSIP ETIKA MORAL DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEBIDANAN Oleh : Lestari Puji Astuti, S. SiT Istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno ethos mempunyai arti kebiasaan kebiasaan tingkah laku manusia;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional harus mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagi tuntutan peran yang multidimensional.

Lebih terperinci

Inhumanities, mengembangkan catatan tentang moral disengagement ini

Inhumanities, mengembangkan catatan tentang moral disengagement ini BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teori 1. Moral Disengagement Menurut Bandura (Detert & Trevino, 2008: 374) menegaskan bahwa orang orang dapat membuat keputusan tidak etis karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak kriminal. Setiap harinya pada berbagai stasiun televisi dapat disaksikan tayangantayangan

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, dan dapat menjadi landasan teoritis untuk mendukung penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

PENGERTIAN DAN PERANAN ETIKA PROFESI

PENGERTIAN DAN PERANAN ETIKA PROFESI PENGERTIAN DAN PERANAN ETIKA PROFESI Pertemuan 1 Defri Kurniawan Pengertian Etika Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci