KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SIGIT PURWANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SIGIT PURWANTO"

Transkripsi

1 KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SIGIT PURWANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Sigit Purwanto NIM P

4 RINGKASAN SIGIT PURWANTO. Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan ANDI GUNAWAN. Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan di Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK). Ekowisata diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam. Pengembangan ekowisata di TWABK harus sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya, untuk itu harus diketahui karakteristik dan potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi ODTWA TWABK; (2) menganalisis daya dukung TWABK untuk pengembangan ekowisata; (3) mengidentifikasi dan menganalisis stakeholder TWABK; dan (4) merumuskan strategi pengembangan ekowisata di TWABK. Analisis potensi obyek dan daya tarik wisata alam menggunakan pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) Dirjen PHKA Analisis daya dukung TWABK menggunakan kriteria daya dukung fisik (PCC), daya dukung riil (RCC) dan daya dukung efektif (ECC). Analisis stakeholder menggunakan Stakeholder Grid, dan strategi pengembangan ekowisata TWABK disusun menggunakan analisis SWOT. TWABK memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang layak untuk dikembangkan, namun memiliki beberapa hambatan dan kendala untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata. Obyek dan daya tarik wisataalam yang berpotensi untuk dikembangakan yaitu : (1) panorama alam Bukit Kelam; (2) jalan lingkar kelam; (3) jalur pendakian; (4) puncak Bukit Kelam; (5) daerah kaki Bukit Kelam; (6) lereng tebing Bukit Kelam; (7) wisata rohani Goa Maria; dan (8) wisata agro.daya dukung efektif (ECC) kawasan TWABK untuk ekowisata adalah sebesar 196 orang/hari, dengan faktor koreksi kelerengan, kepekaan erosi tanah, potensi lanskap, iklim, dan gangguan satwa liar (musim bertelur burung walet). Stakeholder TWABK terbagi dalam empat kategori, yaitu Key players, Context setters, Crowd, dan Subjects. Key players terdiri dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang dan masyarakat. Context setters terdiri dari LSM. Crowd terdiri dari swasta. Subjects terdiri dari pengunjung, akademisi dan perusahaan air minum isi ulang. Perumusan strategi pengembangan ekowisata TWABK menghasilkan 9 strategi, yaitu : (1) pemantapan kawasan; (2) penyusunan rencana pengelolaan; (3) pengembangan ekowisata sesuai potensi dan daya dukung kawasan; (4) publikasi dan promosi; (5) perlindungan dan pengamanan kawasan; (6) kolaborasi pengelolaan; (7) pendidikan lingkungan dan penyuluhan; (8) pembinaan masyarakat; dan (9) monitoring dan evaluasi dampak ekowisata. Kata kunci: daya dukung, strategi pengembangan, ekowisata

5 SUMMARY SIGIT PURWANTO. Study of Potency and Carrying Capacity of Bukit Kelam Natural Tourism Park for Ecotourism Development Strategy. Supervised by LAILAN SYAUFINA and ANDI GUNAWAN. Ecotourism is an activity that can be carried out in Bukit Kelam Natural Tourism Park (TWABK). It is believed that ecotourism can increase the community welfare and natural resources sustainability. Ecotourism development in TWABK need to be based on the function and carrying capacity of the area, so that it must be discovered the object potential and natural tourism attraction. The research aimed to: (1) identify and analyze the object potential and natural tourism attraction in TWABK; (2) analyze the carrying capacity of TWABK for ecotourism development, (3) identify and analyze the stakeholders of TWABK; and (4) formulate the strategies of ecotourism development in TWABK. Analysis of potential object and natural tourism attraction by using the guidlines of Area Operation Analysis objects and natural tourism attraction, published by Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation The criteria of physical carrying capacity (PCC), real carrying capacity (RCC) and efective carrying capacity (ECC) are used to analyze the carrying capacity of TWABK. Stakeholder Grid are used to analyze the stakeholders and the ecotourism development strategies of TWABK which formulated by using SWOT analysis. Some objects in TWABK are feasible for ecotourism development, but they have some barriers and obstacles to be developed as ecotourism destination. Objects and natural tourist attraction that have potential to be developed are: (1) Bukit Kelam landscape; (2) Kelam ring road;, (3) climbing transect; (4) hill peak; (5) foothills area; (6) hillside; (7) spiritual tourism of Maria cave; and (8) agro tourism. The ECC of TWABK area for ecotourism is 196 persons/day, taking into account the slope, soil erosion sensitivity, landscape potential, climate and wildlife disturbance (swallow birds spawn season) as a correction factor. Stakeholders of TWABK are divided into four categories, such as: key players (Ministry of Forestry, Ministry of Tourism and Creative Economy, Agency of Cultural and Tourism of Sintang District, Agency of Forestry and Plantation of Sintang District and the communities), context setters (NGOs), the crowd (private sectors) and the subjects (visitors, academics and refill water company). The ecotourism development strategy formulation of TWABK results 9 strategies, which are: (1) strengthening the area, (2) management plan formulation, (3) ecotourism development in accordancewith the potency and carrying capacity of the area, (4) publication and promotion, (5) protection area, (6) management collaboration, (7) environmental education and counseling, (8) community development, and (9) monitoring and evaluation of ecotourism impacts. Keyword: carrying capacity, development strategy, ecotourism

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SIGIT PURWANTO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Aris Munandar, MS

9 Judul Tesis : Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata Nama : Sigit Purwanto NIM : P Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Lailan Syaufina, MSc Ketua Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian : 26 Agustus 2014 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata telah berhasil diselesaikan. Terima kasih diucapkan kepada Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Bapak Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc selaku Komisi Pembimbing, Bapak Dr Ir Aris Munandar, MS selaku penguji, serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang dan jerih payahnya. Semoga karya yang jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan kebaikan dan manfaat bagi semua. Bogor, Agustus 2014 Sigit Purwanto

11 DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Kerangka Pemikiran 2 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Daerah Tujuan Wisata 4 Pengertian Ekowisata 7 Konsep Daya Dukung 10 Taman Wisata Alam 12 Pengembangan Ekowisata di Taman Wisata Alam 12 Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT 16 3 METODOLOGI 17 Lokasi dan Waktu Penelitian 17 Bahan dan Alat 18 Jenis Data yang Dikumpulkan 18 Metode Pengumpulan Data 19 Analisis Data 19 Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 Penilaian Potensi Taman Wisata Alam Bukit Kelam 23 Daya Dukung TWABK 39 Analisis Stakeholder TWABK 43 Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK 49 5 SIMPULAN DAN SARAN 57 Simpulan 57 Saran 57 DAFTAR PUSTAKA 58 RIWAYAT HIDUP 77 iii iii iii

12 iii DAFTAR TABEL 1 Jenis dan Sumber Data berdasarkan Tujuan Penelitian 18 2 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005) 20 3 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 2000) 22 4 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 2000) 22 5 Matriks SWOT (Rangkuti 2000) 22 6 Hasil Penilaian Kriteria Potensi ODTWA di Kawasan TWABK 23 7 Nilai Faktor Koreksi Variabel PCC 42 8 Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan TWABK 43 9 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder TWABK Evaluasi Faktor Internal (EFI) TWABK Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) TWABK Matriks SWOT Pengembangan Ekowisata TWABK 51 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran Penelitian 2 2 Peta Lokasi Penelitian (sumber : BKSDA Kalimantan Barat) 17 3 Matriks Pengaruh dan Kepentingan (Reed et al 2009) 21 4 Pemandangan Alam Bukit Kelam 25 5 Jalur Pendakian ke Puncak Bukit Kelam 27 6 Pemandangan dari Atas Puncak Bukit dan Pondok Jaga Goa Punjung 28 7 Peta Jalur Wisata di Daerah Kaki Bukit Kelam 29 8 Lereng Tebing Bukit Kelam (sumber foto: BKSDA Kalbar) 30 9 Stakeholder Grid TWABK Peta Topografi TWABK Peta Aksesibilitas TWABK Peta Tutupan Lahan TWABK Peta Lokasi Wisata TWABK 76 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kriteria Penilaian Daya Tarik Obyek Wisata Berdasarkan Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam, Dirjen PHKA, Perhitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung riil (RCC) dan daya dukung efektif (ECC) 70 3 Penilaian Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder TWABK 73 4 Matriks SWOT Pengembangan Ekowisata TWABK 74 5 Peta Tematik Kawasan TWABK 75

13 1 1 PENDAHULUAN Latar Balakang Pariwisata berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial (ekowisata) saat ini semakin luas dikenal sebagai salah satu daya tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam upaya konservasi hutan hujan tropika. Banyak daerah yang memiliki kondisi alam yang asli dan budaya lokal yang sangat potensial untuk kegiatan wisata telah rusak oleh karena ketidaktahuan dalam pemanfaatan, perencanaan dan pengelolaannya (Dit PP 2007). Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) sebagai kawasan konservasi yang secara administrasi termasuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat. Kawasan dengan luas 520 ha yang semula berstatus sebagai Hutan Lindung pada tahun 1992 telah dikukuhkan sebagai Taman Wisata Alam sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 594/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pengelolaan kawasan ini harus mengacu pada pengelolaan kawasan taman wisata alam, yaitu dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan rekreasi. Kawasan konservasi merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem kawasan konservasi di Indonesia terdiri atas (1) Kawasan Suaka Alam (KSA), terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa; (2) Kawasan Pelestarian Alam (KPA), terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya dan Taman Buru. Kondisi hutan khususnya di kawasan konservasi memiliki keunikan baik dari segi lanskap maupun keanekaragaman hayatinya. Aktivitas pariwisata di kawasan konservasi cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan kesadaran tentang konservasi alam. Peningkatan pariwisata sejalan dengan adanya peningkatan aktivitas wisata alam bebas antara lain berupa jalan santai di alam bebas/hiking, lintas alam/trekking ataupun bersepeda gunung. Meski bermanfaat bagi manusia, di sisi lain aktivitas ini dapat berdampak secara ekologi pada ekosistem hutan (Rosalino dan Grilo 2011). Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun juga kelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati sebagai obyek dan daya tarik wisata. Ekowisata mengutamakan upaya konservasi sumberdaya alam, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara baik, benar, bertanggung jawab serta berkelanjutan. Pengembangan ekowisata harus menggunakan kaidah-kaidah keberlanjutan yang dapat menciptakan peluang peningkatan ekonomi bagi masyarakat lokal dan memberikan perlindungan kawasan konservasi dan lindung, membuka ruang untuk memberikan penghormatan hak atas sumberdaya alam, baik bersifat perorangan maupun kelompok demi terciptanya keuntungan dan kesetaraan kepentingan sosial, ekonomi dan lingkungan.

14 2 Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) memiliki potensi ekowisata yang cukup tinggi, tetapi sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu, perumusan strategi pengembangan ekowisata di kawasan ini sangat penting untuk dilakukan bagi pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang dimiliki. Kerangka Pemikiran Daya tarik utama dari wisata alam adalah ketersediaan obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang bersumber dari keindahan dan keunikan obyek sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat setempat, baik berupa flora, fauna dan lanskap serta juga nilai tambah dari atraksi budaya yang ada. Semakin beragam ODTWA semakin menarik minat wisatawan karena produk yang ditawarkan beragam pula. Oleh karena itu dalam menganalisis suatu ODTWA di suatu kawasan terlebih dahulu dilakukan inventarisasi dari obyek-obyek yang ada. Pengelolaan TWA Bukit Kelam Konsep Ekowisata Faktor Supply, Faktor Demand dan Faktor Penunjang Potensi ODTWA Potensi pasar Amenitas dan Aksesibilitas Daya Dukung Daya dukung fisik Daya dukung riil Daya dukung efektif Stakeholder Peran, kepentingan dan pengaruh Analisis Strategi Pengembangan Ekowisata Sesuai Kondisi dan Daya Dukung Kawasan Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pengembangan wisata alam di kawasan konservasi dalam hal ini TWABK adalah menjaga kelestarian ekosistemnya. Untuk itu harus diketahui karakteristik dari obyek-obyek yang

15 3 terdapat di kawasan TWABK agar produk yang ditawarkan pada wisatawan sesuai dengan karakteristik (fungsi) kawasan dan daya dukungnya. Pengembangan wisata alam dengan konsep ekowisata diharapkan dapat mensinergikan kepentingan konservasi dan sosial ekonomi serta menjadikan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan pariwisata. Pada kawasan wisata alam dimana sumberdaya alam atau biodiversity merupakan basis utama wisata, keberlanjutan dan pelestarian alam merupakan hal yang sangat penting. Hal ini tidak bisa berjalan tanpa adanya dukungan dan peran serta masyarakat lokal. Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata. Pengembangan wisata alam juga menuntut koordinasi dan kerjasama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur stakeholders termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Agar kegiatan wisata alam di TWABK dapat berjalan secara optimal dengan memberikan manfaat dan nilai tambah serta meningkatkan kesadaran pentingnya pelestarian kawasan bagi masyarakat maka diperlukan pengelolaan yang sesuai dengan tujuan penetapan taman wisata alam. Pengembangan kawasan konservasi untuk tujuan ekowisata hendaknya melibatkan masyarakat sekitar, dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi obyek dan daya tarik wisata dalam kawasan melalui pengamatan langsung dan studi literatur; melakukan penilaian terhadap obyek dan daya tarik wisata, sarana dan prasarana, aksessibilitas, lingkungan dan masyarakat, dan potensi pasar; menghitung daya dukung kawasan; mengidentifikasi peran, kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan, dan penyusunan strategi pengembangan ekowisata. Pengembangan kawasan untuk kegiatan ekowisata merupakan salah satu alternatif dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, terlebih dalam pengelolaan kawasan TWABK. Perumusan Masalah Secara filosofis, suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk dapat memberikan 3 dimensi manfaat, yaitu : 1) Manfaat ekologis yang berarti mampu melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 2) Manfaat ekonomi yang berarti mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, dan 3) Manfaat sosial yang berarti mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi secara optimal (Widada 2008). Namun demikian keberadaan TWABK saat ini sering dianggap sebagai sumber masalah atau konflik antar berbagai pihak. Munculnya konflik tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang terhadap TWABK yang kaya akan potensi sumber daya alam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gangguan terhadap kawasan dan konflik dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian kawasan. Untuk menyelaraskan antara fungsi dan potensi sumberdaya alam yang terdapat di kawasan TWABK dengan aktivitas manusia dan pembangunan, perlu dirancang strategi pengelolaan dan pengembangan kawasan TWABK dengan memperhatikan fungsi dan manfaat kelestariannya serta kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Pengelola kawasan konservasi dituntut kemampuannya mengangkat keunikan dan kekhasan kawasan dan mengemasnya dalam suatu

16 4 produk yang selaras dengan kecenderungan pasar tanpa mengabaikan fungsi perlindungan kawasan. Pengelola juga dituntut untuk mampu mengembangkan suatu pariwisata kawasan yang memberikan kebanggaan masyarakat setempat akan nilai-nilai alam yang dimiliki, kesempatan ikut memperoleh manfaat dan meraih kesejahteraan dan peningkatan mutu hidupnya melalui pariwisata (Sekartjakrarini 2009). Ekowisata menjadi sangat penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal untuk turut aktif dalam pengembangan ekowisata. Pilihan kebijakan pengelolaan kolaborasi, pemerintah dan masyarakat merupakan ragam pengelolaan yang diambil berdasarkan keadaan spesifik lokal, mensikronkan kepentingan pemerintah dan masyarakat, meminimalkan resistensi dan memaksimalkan sinergitas pemangku kepentingan diharapkan dapat diimplementasikan dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana kondisi obyek dan daya tarik wisata alam yang ada di TWABK? 2. Bagaimana daya dukung TWABK untuk pengembangan ekowisata? 3. Bagaimana pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap pengembangan ekowisata TWABK? 4. Bagaimana strategi pengembangan ekowisata TWABK? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi ODTWA di TWABK. 2. Menganalisis daya dukung TWABK untuk pengembangan ekowisata. 3. Menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap pengembangan ekowisata TWABK. 4. Merumuskan strategi pengembangan ekowisata TWABK. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberi masukan dan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan Taman Wisata Alam Bukit Kelam, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pemikiran tentang konsep pengembangan kawasan ekowisata yang berkelanjutan. 2 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Tujuan Wisata Suwena dan Widyatmaja (2010) menuliskan daerah tujuan wisata (DTW) merupakan tempat dimana segala kegiatan pariwisata bisa dilakukan dengan tersedianya segala fasilitas dan atraksi untuk wisatawan. Dalam mendukung daerah tujuan wisata, perlu ada unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna wisatawan bisa tenang, aman, dan nyaman berkunjung. Semua ini sangat penting

17 dalam meningkatkan pelayanan bagi wisatawan sehingga wisatawan bisa lebih lama tinggal di daerah yang dikunjungi. Adapun unsur pokok tersebut antara lain : 1. Obyek dan daya tarik wisata 2. Prasarana wisata 3. Sarana wisata 4. Tatalaksana/infrastruktur 5. Masyarakat/lingkungan Daerah tujuan wisata juga menempati bagian ruang wilayah yang sangat luas, mencakup dari satu wilayah administrasi pemerintahan, memiliki sejumlah daya tarik wisata yang menarik, mampu menawarkan beragam kegiatan pariwisata yang unik, memiliki akses yang tinggi dengan daerah tujuan wisata yang lain sehingga membentuk jaringan DTW. Daerah tujuan wisata yang ideal harus memiliki daya tarik wisata, mempunyai cukup fasilitas, menawarkan atraksi/wisata, menyediakan sesuatu yang dapat dibeli (Suwena dan Widyatmaja 2010). Gunn (1988) dalam Warpani dan Warpani (2007) menyebutkan bahwa definisi Daya Tarik Wisata adalah sesuatu yang ada di lokasi destinasi atau/tujuan pariwisata yang tidak hanya menawarkan/menyediakan sesuatu bagi wisatawan untuk dilihat dan dilakukan, tetapi menjadi magnet penarik seseorang untuk melakukan perjalanan. Ciri utama daya tarik wisata adalah tidak dapat dipindahkan dan untuk menikmatinya wisatawan harus datang ke tempat tersebut. Daya tarik wisata yang juga disebut obyek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Menurut Suwena dan Widyatmaja (2010), umumnya daya tarik suatu obyek wisata berdasarkan pada : 1. Adanya sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih. 2. Adanya aksessibilitas yang tinggi untuk mengunjunginya. 3. Adanya ciri khusus/prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir. 4. Obyek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam pegunungan, sungai, dll. 5. Obyek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara adat, bangunan bersejarah dan lain-lain. Wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata (DTW) memerlukan berbagai kebutuhan dan pelayanan mulai dari keberangkatan sampai kembali ke tempat tinggalnya. Aktivitas pariwisata sangat terkait dengan kehidupan sehari-hari. Sama seperti yang kita lakukan setiap hari. Wisatawan juga butuh makan dan minum, tempat menginap, serta alat transportasi yang membawanya pergi dari suatu tempat ke tempat lainnya (Suwena dan Widyatmaja 2010). Cooper et al. (1993) dalam Suwena dan Widyatmaja (2010) menyebutkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan pelayanan tersebut, daerah tujuan wisata harus didukung oleh keempat komponen utama atau yang dikenal dengan istilah 4A yaitu : a) Atraksi (atraction); b) Amenitas; c) Aksessibilitas; d) Pelayanan Tambahan (ancillary services). Uraian dari masing-masing komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut : 5

18 6 Atraksi (atraction) Ada banyak alasan mengapa orang berwisata ke suatu daerah. Beberapa yang paling umum adalah untuk melihat keseharian penduduk setempat, menikmati keindahan alam, menyaksikan budaya yang unik, atau mempelajari sejarah budaya daerah tersebut. Intinya, wisatawan datang untuk menikmati halhal yang tidak dapat mereka temukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Atraksi di sebut juga obyek dan daya tarik wisata, merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan (Suwena dan Widyatmaja 2010). Modal kepariwisataan mengandung potensi untuk dikembangkan menjadi atraksi wisata, sedangkan atraksi wisata itu sudah tentu harus komplementer dengan motif perjalanan wisata. Oleh karena itu untuk menemukan potensi kepariwisataan di suatu daerah orang harus berpedoman pada apa yang dicari wisatawan. Terdapat tiga modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan, yaitu : 1. Natural resources (alami) 2. Atraksi budaya 3. Atraksi buatan Amenitas Suwena dan Widyatmaja (2010) menjelaskan, secara umum pengertian amenitas adalah segala macam prasarana dan sarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. Sarana dan prasarana yang dimaksud seperti : 1. Akomodasi (penginapan) adalah tempat di mana wisatawan bermalam untuk sementara di suatu daerah wisata. 2. Usaha makanan dan minuman merupakan salah satu komponen pendukung penting. Wisatawan akan kesulitan apabila tidak menemukan fasilitas ini pada daerah yang dikunjungi. 3. Transportasi dan Infrastruktur. Wisatawan memerlukan alat transportasi baik itu transportasi udara, laut dan darat untuk mencapai daerah wisata yang menjadi tujuannya. Prasarana (infrastruktur) yaitu semua hasil konstruksi fisik, baik yang di atas maupun di bawah tanah, yang diperlukan sebagai pembangunan. Sedangkan sarana (suprastruktur) adalah pemanfaatan prasarana dengan membangun apa saja yang sifatnya khusus (khusus hotel, khusus perdagangan, khusus lapangan golf. Dengan menggunakan prasarana yang cocok dibangunlah sarana-sarana pariwisata seperti hotel, atraksi wisata, marina, gedung pertunjukkan, dsb. Adapun prasarana yang diperlukan untuk pembangunan saranasarana pariwisata ialah jalan, persediaan air, tenaga listrik, tempat pembuangan sampah, bandara, pelabuhan, telepon, dll. Prasarana pariwisata merupakan fasilitas yang memungkinkan proses kegiatan pariwisata berjalan dengan lancar sehingga dapat memudahkan setiap orang yang terlibat dalam kegiatan berwisata. Aksessibilitas Jalan masuk atau pintu masuk utama ke daerah tujuan wisata merupakan akses penting dalam kegiatan pariwisata. Bandara, pelabuhan, terminal dan segala macam jasa transportasi lainnya menjadi akses penting dalam pariwisata. Di sisi lain akses ini diidentikkan dengan transferabilitas yaitu kemudahan untuk

19 7 bergerak dari daerah satu ke daerah lainnya. Tanpa adanya kemudahan transferabilitas tidak akan ada pariwisata. Adapun faktor-faktor yang memungkinkan transferabilitas ialah : 1. Konektivitas antar daerah yang satu dengan daerah yang lain. Konektivitas atau hubungan antar daerah itu ada kaitannya dengan determinan perjalanan wisata yaitu komplementaris antara motif perjalanan dengan atraksi wisata. 2. Tidak adanya penghalang yang merintangi adanya transferabilitas antar daerah 3. Tersedianya sarana angkutan antar daerah. Pelayanan tambahan Pelayanan tambahan atau sering disebut juga pelengkap yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dari suatu daerah tujuan wisata, baik untuk wisatawan maupun pelaku pariwisata (Suwena dan Widyatmaja 2010). Pelayanan yang disediakan termasuk : pemasaran, pembangunan fisik (jalan raya, rel kereta, air minum, istrik, telepon, dll) serta mengakomodir segala macam aktivitas dan dengan peraturan perundang-undangan baik di obyek wisata maupun di jalan raya. Suantoro (1997) dalam Suwena dan Widyatmaja (2010) menerangkan bahwa pembangunan obyek wisata harus dirancang dengan bersumber pada potensi daya tarik yang dimiliki obyek tersebut denga mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai kelayakan, yaitu : 1. Kelayakan finansial Studi kelayakan ini, menyangkut perhitungan secara komersial dari pembengunan obyek wisata tersebut. Perkiraan untung rugi sudah harus diperkirakan dari awal. 2. Kelayakan sosial ekonomi regional Studi kelayakan ini dilakukan untuk melihat apakah investasi yang ditanamkan untuk membangun suatu obyek wisata juga akan memiliki dampak soasial ekonomi regional serta menciptakan lapangan pekerjaan/kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan devisa dan lainlain. 3. Kelayakan teknis Pembangunan obyek wisata harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada. 4. Kelayakan Lingkungan Analisis dampak lingkungan dapat dipergunakan sebagai acuan kegiatan pembangunan suatu obyek wisata. Pembangunan obyek wisata bukanlah untuk merusak lingkungan, tetapi sekedar memanfaatkan sumber daya alam untuk kebaikan manusia dan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Pengertian Ekowisata Kata Wisata (tourism) pertama kali muncul dalam Oxford English Dictionary tahun 1811, yang mendeskripsikan atau menerangkan tentang perjalanan untuk mengisi waktu luang. Awalnya perjalanan atau wisata sering berkaitan dengan perjalanan ibadah, eksplorasi, ekspedisi ilmu pengetahuan, studi

20 8 antropologi dan budaya, serta keinginan untuk melihat bentang alam yang indah (Hakim 2004). Pariwisata alam pada hakekatnya mempunyai pengertian suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat (Fandeli dan Mukhlison 2000). Atas dasar pengertian itu, bentuk pariwisata alam pada dasarnya merupakan gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Australian Department of Tourism (Black 1999 dalam Fandeli dan Mukhlison 2000) mendefinisikan pariwisata alam adalah wisata yang berbasis pada alam dan mengikutsertakan aspek pendidikan, interpretasi terhadap lingkungan alami, budaya dalam masyarakat dengan obyek lingkungan yang lestari dan ekologis. Definisi ini memberikan penjelasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti wisata lainnya tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourist atau special interest tourist dengan banyak obyek dan daya tarik wisata alam. Definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh organisasi The International Ecotourism Society (1990) yaitu suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh pencinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga (Fandeli 2002). Ekowisata didefinisikan sebagai suatu jenis pariwisata yang kegiatannya semata-mata menikmati aktifitas yang berkaitan dengan lingkungan alam dengan segala bentuk kehidupan dalam kondisi apa adanya dan kecenderungan sebagai ajang atau sarana lingkungan bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan proyek ekowisata (Yoeti 2000). Fandeli (2002) menjelaskan ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Selanjutnya Fandeli (2002) menjelaskan bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Ekowisata sangat tepat dan berdaya guna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekowisata di areal yang masih alami serta pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya. Fennell (2002), mendefinisikan ekowisata sebagi bentuk wisata berbasiskan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan fokus utama pengalaman dan pengetahuan dari alam, etika dalam mengelola alam yang berdampak negatif rendah, tidak konsumtif, berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal. Memperhatikan kekhasan kawasan alami, berkontribusi terhadap konservasi dan kawasan. Hidayat et al. dalam Siburian (2006) menyebutkan ekowisata adalah suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan serta kelestarian, sehingga dapat meningkatkan

21 kualitas hubungan antar manusia, kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Pengertian ini mengandung arti bahwa ekowisata selain memberi manfaat bagi masyarakat yang berwisata, juga bermanfaat bagi masyarakat lokal yang juga harus memberi kontribusi langsung bagi kegiatan konservasi lingkungan. Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Damanik dan Weber 2006). Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni ekowisata sebagai produk, sebagai pasar dan sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Sedangkan dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga mencerminkan dua prinsip lainnya yakni prinsip edukasi dan prinsip wisata. Prinsip edukasi bahwa pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang menjadi milik kepedulian, tanggung jawab dan komitmen pelestarian terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Sedangkan prinsip wisata bahwa pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan. Istilah ekowisata yang telah dikenal luas di Indonesia dipahami sebagai : suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata berbasis (a) pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan dan pelestarian; (b) berintikan partisipasi aktif masyarakat; (c) dengan penyajian produk bermuatan pendidikan, pembelajaran dan rekreasi; (d) berdampak negatif minimal; (e) memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, yang diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya (Sekartjakrarini 2009). Menurut Gunn (1994), suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tumbuhan langka atau satwa langka. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan (rural) dan perkotaan (urban), keadaan di kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang lebih tenang dan alami, sedangkan daerah perkotaan menyediakan atraksi yang lebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumber daya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumber daya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata. Bentuk-bentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal berikut : 1. Kepemilikian atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat dikelompokkan ke tiga sektor yaitu badan pemerintah, organisasi nirlaba, 9

22 10 dan perusahaan komersial. 2. Sumber daya, yaitu : alam atau budaya. 3. Perjalanan wisata/ lama tinggal. 4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan atau di luar ruangan. 5. Wisata utama/wisata penunjang 6. Daya dukung tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu : intensif, semi intensif dan ekstensif. Kegiatan utama ekowisata tertumpu pada usaha-usaha pelestarian sumber daya alam dan budaya sebagai obyek wisata yang dapat dijadikan sumber ekonomi yang berkelanjutan, dikelola secara adil dan bijaksana bagi bangsa dan negara. Ekowisata seharusnya menjadi filosofi dasar bagi pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan (Soedarto 1999). Memperhatikan ciri-ciri ekowisata sebagaimana dari berbagai forum diskusi dan kajian di Indonesia serta pemahaman pariwisata berkelanjutan yang digariskan oleh WTO, ekowisata Indonesia dipahami sebagai suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata berbasis lingkungan alam dan budaya masyarakat setempat dengan azas pemanfaatan dan penyelenggaraan yang diarahkan pada : 1. Perlindungan sumber-sumber alam dan budaya untuk mempertahankan kelangsungan ekologi lingkungan dan kelestarian budaya masyarakat setempat. 2. Pengelolaan penyelenggaraan kegiatan dengan dampak negatif sekecil mungkin. 3. Keikutsertaan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagai bagian dari upaya menyadarkan, memampukan, memartabatkan dan memandirikan rakyat menuju peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup, dengan bertumpu pada kegiatan usaha masayarakat itu sendiri, dan peningkatan keahlian profesi. 4. Pengembangan dan penyajian daya tarik wisata dalam bentuk programprogram penafsiran lingkungan alam dan budaya setempat dengan muatan pembelajaran dan rekreasi (Sekartjakrarini 2009). Konsep Daya Dukung Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah menyebutkan bahwa penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang

23 11 bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai. Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam suatu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungsi lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan evaluasi sumberdaya lahan, dimana suatu lahan yang memilki hambatan tinggi akan sesuai untuk menjadi kawasan lindungdan sebaliknya menjadi kawasan budidaya (Rustiadi et al 2011). Bahar (2004) menyebutkan bahwa pendugaan nilai daya dukung suatu kawasan, apakah akan digunakan untuk areal rekreasi, lahan pertanian, areal pemukiman, dan lainnya ditentukan oleh tiga aspek utama, yaitu : 1. Kepekaan sumberdaya alam dan site productivity, yang terkait dengan karakteristik biofisiknya yang antara lain meliputi : kualitas udara, tanah, air, stabilitas ekosistem dan erosi tanah. 2. Bentuk, cara dan laju penggunaan serta tingkat apresiasi dari pemakai sumberdaya alam dan liingkungan. Misalnya perilaku dan tingkat vandalisme pemakai, citra dan persepsinya terhadap suatu area. 3. Bentuk pengelolaan (fisik dan non fisik), bertujuan jelas dan berjangka panjang. Hal ini terkait erat dengan kapasitas sistem infrastruktur atau fasilitas yang antara lain meliputi jalan raya, persediaan air, pengolahan limbah, pengolahan sampah padat, dsb. Menurut Soemarwoto (2004), daya dukung lingkungan obyek wisata alam adalah kemampuan obyek wisata alam untuk dapat menampung jumlah wisatawan pada luas dan satuan waktu tertentu. Daya dukung wisata juga merupakan daya dukung biogeofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya dari suatu lokasi atau tapak wisata dalam menunjang kegiatan pariwisata tanpa menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan kepuasan wisatawan dalam menikmati lokasi dan tapak wisata. Faktor geobiofisik di lokasi wisata alam mempengaruhi kuat rapuhnya suatu ekosistem terhadap daya dukung wisata alam. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah besar, karena tidak cepat rusak kalau pun rusak, dapat pulih dengan cepat. Menurut Purnomo (2013), daya dukung wisata merupakan batas dimana kehadiran wisatawan dan fasilitas pendukungnya tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan fisik atau kehidupan masyarakat. Konsep daya dukung merupakan sebuah konsep yang mudah untuk dimengerti akan tetapi sangat sulit untuk dapat dihitung sehingga tidak terdapat standar baku untuk menghitung nilai daya dukung tersebut. Konsep tersebut juga sangat bervariasi terhadap waktu, iklim dan karakteristik dilakukannya wisata seperti pesisir, kawasan lindung, rural, gunung, kawasan sejarah. Terdapat beberapa komponen untuk dapat mengukur daya dukung wisata diantaranya : 1. Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan. Komponen ini sangat tergantung pada kapasitas dari sumberdaya, sistem dan kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan ekologis lahan, iklim seperti pengaruh frekuensi dan curah hujan. 2. Daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan penggunaannya secara ekologi termasuk di dalamnya flora dan fauna,

24 12 habitat alamiah dan bentang alam. 3. Daya dukung sosial budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan sebagai contoh : keragaman budaya dan kebiasaan penduduk. Cifuentes (1992) telah mengembangkan penghitungan kapasitas daya dukung dari suatu kawasan konservasi. Penerapan kapasitas daya dukung ini dapat digunakan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat diterima secara optimal/efektif tanpa mengakibatkan kerusakan pada kawasan konservasi. Taman Wisata Alam UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan kawasan konservasi sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut UU No. 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Wisata Alam adalah kawasan konservasi yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Pasal 31 dari UU No. 5 menyebutkan bahwa dalam taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan wisata alam. Pasal 34 menyebutkan pula bahwa pengelolaan taman wisata alam dilaksanakan oleh pemerintah. MacKinnon et al. (1990), menjelaskan bahwa kawasan yang dilindungi seperti taman wisata alam, dapat memberikan kontribusi yang banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan. Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar bagi banyak negara tropika, mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal. Pengembangan Ekowisata di Taman Wisata Alam Dephut (2007), menjelaskan bahwa pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktifitas sumber daya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat, dan pihak swasta di dalam suatu sistem tata ruang wilayah. Strategi pengembangan ODTWA meliputi : 1. Aspek Perencanaan Pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan, dan sistem informasi ODTWA. 2. Aspek Kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM dan PP yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi. 3. Aspek Sarana dan Prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu (1) alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2) sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan

25 sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal. 4. Aspek Pengelolaan, yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan potensi ODTWA secara lestari. 5. Aspek Pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. 6. Aspek Pemasaran dengan mempergunakan teknologi tinggi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri. 7. Aspek Peran Serta Masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 8. Aspek Penelitian dan Pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, dan sosial ekonomi dari ODTWA. Diharapkan nantinya mampu menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA. Ditjen PKKH (2001), menyebutkan bahwa pengelolaan suatu obyek wisata di taman wisata alam merupakan bagian dari strategi perlindungan alam. Dengan demikian, pengelolaan yang akan diterapkan harus sejalan dengan tujuan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Perencanaan merupakan tahap awal dari pengembangan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Antisipasi dan regulasi dari perubahan yang akan terjadi dalam suatu sistem yang akan dikembangkan, dirancang atau disusun dalam perencanaan. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pengembangan dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi setiap pelakunya. Proses perencanaan diharapkan terpadu, melibatkan semua pihak dan mengacu kepada rencana pengembangan lokal, regional dan nasional. Adapun kriteria yang perlu diperhatikan pada tahap perencanaan ini meliputi: 1. Rencana pengembangan ekowisata harus mengacu pada rencana pengelolaan kawasan. 2. Memperhatikan kondisi ekologi/lingkungan. 3. Memperhatikan daya tarik, keunikan alam dan prospek pemasaran daya tarik tersebut. 4. Memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi. 5. Tata Ruang. 6. Melakukan analisis potensi dan hambatan yang meliputi analisis terhadap potensi sumberdaya dan keunikan alam, analisis usaha, analisis dampak lingkungan, analisis ekonomi (cost & benefit), analisis sosial dan analisis pemanfaatan ruang. 7. Menyusun Action Plan/Rancang Tindak Terintegrasi atas dasar analisis yang telah dilakukan. 8. Melakukan Public Hearing/Konsultasi Publik terhadap rencana yang akan dikembangkan. Dephut (2007), menyebutkan dalam rangka menemukenali dan mengembangkan ODTWA perlu segera dilaksanakan inventarisasi terhadap potensi nasional ODTWA secara bertahap sesuai prioritas dengan memperhatikan nilai keunggulan saing dan keunggulan banding, kekhasan obyek, kebijaksanaan 13

26 14 pengembangan serta ketersediaan dana dan tenaga. Kebijakan pengembangan hutan untuk pariwisata alam yang berlandaskan UU No.5 tahun 1990 dan PP No. 18 dan No.13 tahun 1994 adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam harus melibatkan masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi. 2. Pengusahaan pariwisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat. 3. Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan pada sebagian kecil areal blok pemanfaatan dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian. 4. Pengusahaan pariwisata alam harus melaporkan semua aktivitasnya secara berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian dan pembinaan. 5. Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka penusahaan pariwisata alam harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri khas atau identitas etnis setempat. Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecologically friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (Community based). The Ecotourism Society (Eplerwood 1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu : 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya. Pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi Lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat langsung dilakukan di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan kualitas kawasan pelestarian alam. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengemabangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5. Penghasilan masyarakat Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6. Menjaga Keharmonisan.

27 Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonis dengan alam akan merusak produk ekowisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonversi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7. Daya Dukung Lingkungan Pada umumnya lingkungan akan mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8. Peluang Penghasilan pada promosi yang besar terhadap negara Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa belanja wisatawan didorong sebesar-besarnyadinikmati oleh negara atau pemerintah daerah setempat. Keberhasilan pengelolaan banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masayarakat sekitarnya. Di tempat di mana kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang posistif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari pengembangan yang membahayakan (MacKinnon et al. 1990). Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem dan menjadi salah satu stakeholder kunci di samping unsur pemerintah, tim ahli dan swasta. Inisiatif untuk mencapai tujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan harus menjadi dasar bagi pengembangan ekowisata (Sulthoni 2000). Ada tiga alasan utama mengikutsertakan masyarakat dalam pengembangan pariwisata, yaitu : alasan moral, ekonomi dan lingkungan. Pemanfaatan nilai dan jasa lingkungan yang tersedia, keunikan seni dan budaya masyarakat sebagai obyek dan daya tarik wisata harus dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat yang dapat dirasakan secara langsung disamping ikut menunjang pengembangan wilayah dan pelestarian lingkungan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat secara langsung akan menumbuhkan motivasi untuk tujuan konservasi sumber daya alam, seni dan budayanya (Sulthoni 2000). Pengembangan ekowisata semestinya tidak semata dipandang sebagai sebuah aktifitas pembangunan biasa saja. Ekowisata semestinya dikembangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan demikian ekowisata akan menjadi piranti demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Pengembangan kepariwisataan alam khususnya ekowisata perlu direncanakan dengan pendekatan partisipatif. Participation Planning ini mendasarkan pada keinginan masyarakat dengan pilihan-pilihan dari berbagai alternatif yang menguntungkan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan harus diteruskan pada tahapan pelaksanaan, dan pada tahapan selanjutnya. Apabila dalam pengembangan ekowisata dapat dilaksanakan seperti ini maka kesejahteraan masyarakat setempat dapat ditingkatkan dan lingkungan dapat dipertahankan kualitasnya (Fandeli 2002). 15

28 16 Pembangunan pariwisata yang berhasil adalah pembangunan pariwisata yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, sosial maupun budaya kepada masyarakat setempat. Dalam pembangunan pariwisata berbasis komunitas, masyarakat lokal dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan usaha seperti menjual makanan dan minuman serta cinderamata, yang hasilnya dapat membantu mereka memperoleh pemasukan tambahan. Perputaran keuntungan ekonomi ini dapat meningkatkan multiplier effect di dalam masyarakat tersebut sehingga perekonomian lokal dapat semakin berkembang. Pada jangkauan yang lebih luas hal ini dapat memotivasi masyarakat di kawasan tersebut untuk tetap melestarikan aset wisata yang mereka miliki. Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan program atau alokasi sumberdaya yang dapat menentukan apakah sebuah organisasi itu, apa yang dikerjakan dan mengapa organisasi melakukan itu. Dengan demikian strategi merupakan perpanjangan dari misi membentuk jembatan antara sebuah organisasi dengan lingkungannya (Bryson 1999). Tahapan pembuatan strategi merupakan tahapan yang paling menantang sekaligus menarik dalam proses manajemen strategi. Inti dasar tahap ini adalah menghubungkan organisasi dengan lingkungannya dan merupakan strategi yang paling sesuai dengan misi organisasi (Tangkilian 2004). Proses pembuatan strategi terdiri dari 4 (empat) elemen yaitu: 1. Identifikasi masalah strategik yang dihadapi organisasi. 2. Pengembangan alternatif strategi yang ada 3. Evaluasi dari alternatif 4. Penentuan pemilihan strategi baik dari berbagai alternatif yang tersedia Berdasarkan uraian di atas, maka proses perencanaan strategi sudah barang tentu membutuhkan kerangka kerja gabungan dari berbagai tingkat manajer dengan harapan bahwa masing-masing dari mereka dapat mengemukakan apa yang menjadi masalahnya, sehingga dapat ditentukan strategi pemecahan yang tepat dan memiliki implikasi luas dan berjangka panjang. Perencanaan strategis bertujuan agar lembaga atau organisasi dapat melihat secara objektif kondisikondisi internal dan eksternal sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Analisis SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mungkin terjadi dalam mencapai tujuan dari suatu proyek kegiatan organisasi dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal yang mempengaruhi pola strategi organisasi dalam mencapai tujuan (Rangkuti 2000). Terdapat beberapa metodologi dalam penyusunan SWOT, yaitu: 1. Mengidentifikasi existing strategy yang telah ada dalam institusi sebelumnya. Strategi ini bisa jadi bukan merupakan strategi yang disusun berdasarkan kebutuhan institusi menghadapi gejala eksternal yang ada melainkan merupakan strategi turunan yang telah ada sejak alam dipegang oleh institusi.

29 17 2. Mengidentifikasi perubahan lingkungan yang dihadapi institusi dan masih mungkin terjadi di masa mendatang. 3. Membuat cross tabulation antara strategi yang ada pada saat ini dengan perubahan lingkungan yang ada. 4. Menentukan kategorisasi kekuatan dan kelemahan berdasarkan penilaian apakah strategi yang ada saat ini masih sesuai dengan perubahan lingkungan dimasa mendatang. SWOT merupakan instrumen sederhana dalam menentukan strategi untuk mencapai tujuan. SWOT membantu memberikan arah tujuan secara realistis dan fokus pada bagian tertentu. Analisis SWOT dimulai dengan memperhitungkan setiap aspek yang dimiliki objek penelitian (kawasan TWABK). Aspek tersebut berupa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. SWOT seringkali digunakan untuk melengkapi analisis stakeholder (Start dan Hovland 2004). Fungsi analisis SWOT adalah mendapatkan informasi yang bersumber dari analisis situasi. Berdasarkan analisis tersebut kemudian dipisahkan ke dalam faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terpenting dalam organisasi (Ferrel dan Hartline 2005). 3 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) di Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalbar, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat (Gambar 2.) Penelitian dilakukan pada periode bulan Januari 2014 sampai dengan Agustus Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (sumber: BKSDA Kalimantan Barat)

30 18 Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain petapeta tematik kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (Lampiran 5), GPS (Global Positioning System) receiver, kamera, tally sheet, teropong binokuler, kuisioner wawancara, digital voice recorder, komputer dan perangkat lunak pendukungnya. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian ditunjukkan pada Tabel 1. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan seluruh data hasil pengamatan di lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan meliputi seluruh informasi pendukung yang berhubungan dengan penelitian. Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian Variabel yang Diukur Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data Output yang Diharapkan Mengidentifikasi dan menganalisis potensi ODTWA. Potensi ODTWA, Amenitas dan aksessibilitas Data primer dari daerah penelitian dan responden Data sekunder dari instansi terkait Observasi lapang dan wawancara dengan panduan kuisioner serta studi literatur Analisis Daerah Operasi ODTWA Rekomendasi ODTWA untuk ekowisata. Menganalisis daya dukung kawasan untuk ekowisata PCC, RCC dan ECC Data primer dan data sekunder dari lokasi penelitian. Observasi lapang dan studi literatur Analisis daya dukung Kondisi daya dukung TWABK untuk ekowisata Menganalisis kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengembangan ekowisata Kepentingan dan pengaruh stakeholder Data primer diperoleh dari daerah penelitian dan responden Observasi lapang, wawancara dengan panduan kuisioner, wawancara mendalam secara purposive sampling. Analisis Stakeholder Grid Kategori stakeholder Merumuskan strategi pengembangan ekowisata Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan ekowisata Data primer diperoleh dari daerah penelitian dan responden. Wawancara dengan panduan kuisioner dan wawancara mendalam Analisis SWOT Rumusan strategi pengembangan ekowisata.

31 19 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapang, kuesioner, wawancara mendalam dan studi literatur yang berkaitan dengan TWABK. Responden penelitian diambil dari para stakeholder yang berperan dalam pengelolaan TWABK. Responden terdiri dari instansi pemerintah (Kementerian Kehutanan dalam hal ini BKSDA Kalimantan Barat 2 orang; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 1 orang; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sintang 1 orang; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang 3 orang; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sintang 1 orang); masyarakat 50 orang; swasta 5 orang; LSM 3 orang; akademisi 2 orang; dan pengunjung 50 orang. Pengambilan data responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Analisis Data Analisis Penilaian Potensi Obyek dan Daya tarik Wisata Alam Analisis Daerah Operasi - Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO- ODTWA) merupakan suatu kegiatan analisis terhadap suatu obyek wisata alam dengan menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan untuk mendapatkan penilaian dapat atau tidaknya suatu obyek dikembangkan menjadi obyek wisata. Hasil rekapitulasi penilaian dapat mengindikasikan unsur-unsur dan sub unsur yang tidak mendapat nilai maksimal dan perlu ditingkatkan, meskipun lokasi daya tarik wisata yang bersangkutan memperoleh nilai tertinggi di antara lokasi-lokasi daya tarik wisata lainnya yang dinilai secara bersamaan, sehingga akan diperoleh rekomendasi berupa upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pengelolaan obyek dan daya tarik wisata selanjutnya. Analisis potensi obyek daya tarik wisata alam menggunakan sistem nilai skoring dan pembobotan berdasarkan pedoman analisis ADO-ODTWA yang ditetapkan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun Analisis Daya Dukung Analisis daya dukung berdasarkan kriteria dan indikator yang berhubungan dengan penerapan konsep ekowisata dengan perhitungan sebagai berikut : 1. Daya Dukung Fisik/Physical Carrying Capacity (PCC) adalah jumlah maksimum pengunjung secara fisik tercukupi oleh ruang yang disediakan pada waktu tertentu. Untuk menghitung PCC digunakan rumus yang dimodifikasi Fandeli dan Muhammad (2009) sebagai berikut : PCC = A x 1/B x Rf Dimana : A = Luas areal yang digunakan untuk wisata B = Luas areal yang dibutuhkan seorang wisatawan untuk berwisata dengan tetap memperoleh kepuasan Rf = Faktor rotasi 2. Daya Dukung Riil/Real Carrying Capacity (RCC) adalah jumlah pengunjung maksimum yang diperkenankan berkunjung ke obyek dengan faktor koreksi (Cf) yang diambil dari karakteristik obyek yang diterapkan pada PCC. Faktor

32 20 koreksi diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik, lingkungan, ekologi dan manajemen. RCC dihitung dengan rumus sebagai berikut : RCC = PCC x (100-Cf 1 /100) x (100-Cf 2 /100) x... x (100-Cf n /100) Adapun untuk menghitung faktor koreksi (Cf) : faktor koreksi diperoleh dengan mempertimbangkan variabel yang diperoleh berdasarkan data lapangan yaitu : kelerengan, kepekaan tanah terhadap erosi, potensi lanskap, iklim (curah hujan) dan gangguan terhadap musim kawin satwa liar Burung Walet (Collocalia fuciphagus). Kemudian dihitung faktor koreksinya dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Cf = Mi/Mt x 100% Dimana : Mi = Batas besaran variabel. Mt = Batas variabel total. 3. Daya Dukung Efektif/Efective Carrying Capacity (ECC) adalah jumlah kunjungan maksimum dimana obyek tetap lestari pada tingkat manajemen yang tersedia. Kapasitas manajemen merupakan penjumlahan dari semua kondisi pada kawasan perlindungan yang dapat difungsikan secara obyektif dan sesuai dengan tujuan dari pengelolaan kawasan, Fandeli dan Mukhlison (2000). Kapasitas manajemen dibatasi oleh kriteria : sistem pengelolaan, jumlah staf pengelola dengan perhitungan sebagai berikut : ECC = RCC x faktor koreksi (MC) MC (Management Capacity) adalah jumlah petugas pengelola kawasan. MC = Rn/Rt x 100% Dimana : Rn adalah sumberdaya yang aktif di lokasi Rt adalah jumlah sumberdaya tetap pengelola Analisis pengaruh dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan TWABK Analisis stakeholder dilakukan untuk mengungkapkan kepentingan dan pengaruh stakeholder, untuk memahami sinergi dan konflik antara stakeholder dalam pengelolaan TWABK. Reed et al. (2009) menyatakan analisis stakeholder dilakukan dengan: 1) melakukan identifikasi stakeholder dan kepentingannya; 2) mengelompokkan dan mengkategorikan stakeholder; dan 3) menyelidiki hubungan antara stakeholder. Tabel 2 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005) Kriteria Skor Kepentingan Stakeholder Ketergantungan sangat tinggi pada sumberdaya 5 Ketergantungan tinggi pada sumberdaya 4 Cukup bergantung pada sumberdaya 3 Ketergantungan kecil terhadap sumberdaya 2 Tidak tergantung pada sumberdaya 1 Pengaruh Stakeholder Respon sangat berpengaruh terhadap stakeholder lain 5 Respon berpengaruh terhadap stakeholder lain 4 Respon cukup berpengaruh terhadap stakeholder lain 3 Respon kurang berpengaruh terhadap stakeholder lain 2 Respon tidak berpengaruh terhadap stakeholder lain 1

33 21 Analisis stakeholder dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan TWABK. Penetapan skoring menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder disajikan pada Tabel 2. Selanjutnya tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dianalisis dengan menggunakan stakeholder grid dengan bantuan Microsoft Excel (Gambar 3). Untuk menentukan angka pada setiap indikatornya, kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat. Posisi kuadran dapat menggambarkan ilustrasi posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholder terkait dengan pengelolaan TWABK K Tinggi Subjects Key players E P Kuadran I Kuadran II E N T I N G Crowd Context setters A N Kuadran III Kuadran IV Rendah Rendah PENGARUH Tinggi Gambar 3 Matriks Pengaruh dan Kepentingan (Reed et al. 2009) Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Analisis lingkungan merupakan pemahaman mendalam terhadap faktor internal dan eksternal TWABK. Analisis tersebut mencakup segala hal mengenai kondisi lingkungan internal dan eksternal yang terjadi di sekitarnya. Faktor internal dan eksternal adalah faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan atau berpengaruh terhadap pengembangan ekowisata TWABK. Identifikasi seluruh faktor tersebut kemudian dianalisis sehingga diketahui kondisi terkini kawasan TWABK dalam memanfaatkan sisi positif dan negatif yang dimilikinya. Matrik evaluasi faktor internal (EFI) dan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal TWABK. Rangkuti (2000) menyebutkan bahwa penyusunan matriks tersebut dimulai dengan menentukan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal(peluang dan ancaman). Faktor-faktor tersebut diberi bobot dengan skala (tidak penting sampai paling penting). Masing-masing bobot total faktor internal dan faktor eksternal bernilai 1.0. Pada kolom 3 diberikan rating untuk semua faktor dengan skala 1-4 berdasarkan pengaruhnya tersebut terhadap

34 22 TWABK. Variabel kekuatan dan peluang bersifat positif sehingga nilai 1 berarti kekuatan atau peluang yang dimiliki rendah dan nilai 4 berarti kekuatan atau peluang tinggi. Skala variabel kelemahan dan ancaman bersifat negatif sehingga diberikan nilai sebaliknya. Hasil identifikasi ditampilkan seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 2000) Faktor Internal Bobot Rating Kekuatan 1 2 Kelemahan 1 2 Total 1,0 Skor (Bobot x Rating) Tabel 4 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 2000) Faktor Eksternal Bobot Rating Peluang 1 2 Ancaman 1 2 Total 1,0 Skor (Bobot x Rating) Formulasi Strategi Tahap formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatifalternatif strategi yang mungkin dapat diambil dalam pengembangan ekowisata TWABK, dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2000). Analisis SWOT dikerjakan dengan mengidentifikasi setiap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki TWABK. Tahap ini dilakukan dengan membuat matrik SWOT seperti Tabel 5. Matrik SWOT adalah pencocokan kondisi internal dan eksternal TWABK. Berdasarkan matrik SWOT dapat diperoleh empat strategi pengelolaan, diantaranya strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT. Tabel 5 Matriks SWOT (Rangkuti 2000) Faktor Eksternal Kekuatan (Strength) Faktor Internal Kelemahan (Weakness) Peluang (Opportunity) Ancaman (Threat) Strategi SO Strategi ST Strategi WO Strategi WT

35 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Potensi Taman Wisata Alam Bukit Kelam Penilaian potensi ODTWA kawasan TWABK menggunakan pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003, untuk mengetahui kondisi ODTWA dan menentukan skala prioritas pengembangan kawasan TWABK. Kriteria yang dipakai sebagai dasar penilaian potensi kawasan TWABK (Lampiran 1) meliputi: daya tarik obyek wisata darat, potensi pasar, kadar hubungan/aksesibilitas, kondisi sekitar kawasan, pengelolaan dan pelayanan, iklim, akomodasi, sarana dan prasarana penunjang, ketersediaan air bersih, hubungan dengan obyek wisata di sekitarnya, keamanan, daya dukung kawasan, pengaturan pengunjung, pemasaran, dan pangsa pasar. Hasil klasifikasi penilaian potensi ODTWA kawasan TWABK disajikan pada Tabel 6, yang merupakan indeks dari hasil penilaian tiap-tiap kriteria tersebut di atas. Tabel 6 Hasil Penilaian Kriteria Potensi ODTWA di Kawasan TWABK Kriteria Nilai Maksimal Potensi ODTWA Nilai Potensi ODTWA Indeks Nilai Potensi (%) Klasifikasi Potensi ODTWA Daya tarik obyek wisata darat Tinggi Potensi pasar Rendah Kadar hubungan/ Aksesibilitas Rendah Kondisi sekitar kawasan Sedang Pengelolaan dan pelayanan Tinggi Iklim Sedang Akomodasi Rendah Sarana dan prasarana penunjang Tinggi Ketersediaan air bersih Tinggi Hubungan dengan obyek wisata di Tinggi sekitarnya Keamanan Tinggi Daya dukung kawasan Tinggi Pengaturan pengunjung Rendah Pemasaran Tinggi Pangsa Pasar Sedang 5780 Sedang Berdasarkan hasil penilaian kriteria diketahui bahwa kawasan TWABK memiliki klasifikasi sedang, yang mengindikasikan bahwa kawasan ini memiliki potensi dan layak untuk dikembangkan, namun memiliki beberapa hambatan dan kendala untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata. Kawasan TWABK dapat dikembangkan dengan persyaratan tertentu yang memerlukan perhatian dan pembenahan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian ADO-ODTWA. Penilaian kuantitatif secara cepat memberikan gambaran awal dalam pengambilan keputusan pengembangan kawasan TWABK. Beberapa kriteria yang memiliki nilai rendah seperti potensi pasar, kadar hubungan/aksesibilitas, akomodasi, dan pengaturan pengunjung memerlukan perhatian lebih lanjut dan menjadi prioritas jika kawasan TWABK dikembangkan menjadi destinasi ekowisata.

36 24 Pariwisata tidak dapat dibangun dan dikembangkan tanpa memahami hubungan antara produk pariwisata dengan pasar. Hubungan antara pasar dan produk pariwisata akan menjadi rumit karena pariwisata merupakan suatu sistem yang kompleks dan tidak terlepas dari pengaruh faktor luar (seperti finansial, tenaga kerja, kewiraswastaan, masyarakat, persaingan, kebijakan pemerintah, sumberdaya alam dan budaya, dan kepemimpinan) yang sepenuhnya di luar kendali sistem. Di antara faktor luar yang paling berpengaruh adalah sumberdaya alam dan budaya. Pelaku usaha pariwisata yang lebih berorientasi kepada ekonomi, seringkali mengabaikan landasan utama pengembangan pariwisata adalah sumberdaya tersebut. Keberadaan sumberdaya alam dan budaya adalah pull factors yang menyebabkan wisatawan berkunjung ke suatu destinasi. Keberhasilan pengembangan pariwisata suatu daerah juga menuntut keterlibatan pelaku semua sektor, baik pemerintah, swasta dan masyarakat, serta pemahaman mereka terhadap unsur-unsur penyusun sistem pariwisata yang meliputi atraksi, transportasi, akomodasi, fasilitas layanan lainnya, kelembagaan dan promosi (Dit PP 2007). Keberhasilan pengusahaan ODTWA sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah sumber daya alam atau lingkungan, sumber daya manusia dan sumber daya buatan (fisik dan budaya) sebagai elemen dasar produk wisata. Ketiga faktor ini mesti menjadi perhatian utama dari segenap pihak untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan dalam suatu pengembangan ekowisata. Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam Ada banyak alasan mengapa orang berwisata ke suatu daerah. Beberapa yang paling umum adalah untuk melihat keseharian penduduk setempat, menikmati keindahan alam, menyaksikan budaya yang unik, atau mempelajari sejarah budaya daerah tersebut. Intinya, wisatawan datang untuk menikmati halhal yang tidak dapat mereka temukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Atraksi di sebut juga obyek dan daya tarik wisata, merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan (Suwena dan Widyatmaja 2010). Obyek dan daya tarik wisata alam merupakan komponen sistem kepariwisataan yang terpenting, menjadi motivator utama perjalanan wisata dan inti dari produk wisata di kawasan TWABK. Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (Gunawan et al. 2000). Obyek dan daya tarik wisata merupakan pertimbangan pertama dalam melakukan perjalanan. Tanpa keberadaan obyek dan daya tarik wisata tidak akan ditemui pelayanan penunjang kepariwisataan lainnya (Spillane 1985). Berdasarkan hasil inventarisasi, kawasan TWABK memiliki beberapa potensi ODTWA yang dapat dikembangkan dan ditawarkan sebagai destinasi ekowisata, diantaranya adalah : 1. Panorama alam Bukit Kelam Panorama alam Bukit Kelam merupakan daya tarik utama bagi wisatawan karena keunikannya. Bukit Kelam dengan ketinggian ± 900 mdpl dapat terlihat dengan jelas dari pusat kota Sintang meskipun berjarak cukup jauh ± 18 km. Apabila dilihat dari dekat Bukit Kelam nampak seperti sebongkah batu besar yang dikelilingi hutan lebat pada bagian kaki bukit dan

37 25 puncaknya dengan bagian lereng berupa dinding batu yang curam dan terjal, sangat kontras sekali dengan pemandangan di sekitarnya berupa sawah dan perkebunan sawit yang mengelilingi bukit (Gambar 4). Tersingkapnya hutan pada bagian lereng bukit akibat kebakaran hutan yang terjadi pada tahun Kegiatan ekowisata yang dapat dikembangkan berupa bina cinta alam, fotografi, jogging, sepeda santai mengelilingi Bukit Kelam melalui jalan lingkar kelam dengan suguhan keindahan alam dan suasana kehidupan tradisional masyarakat setempat. Keberadaan Bukit Kelam sebagai land mark kota Sintang menyimpan cerita tersendiri di masyarakat. Menurut cerita masyarakat Bukit Kelam konon terkait dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Gambar 4 Pemandangan Alam Bukit Kelam 2. Jalan lingkar kelam Jalan lingkar kelam adalah jalan kabupaten berupa jalan beraspal yang lebarnya ± 6 meter, mengelilingi Bukit Kelam melewati perkampungan penduduk. Jika melintasi sepanjang jalan ini, pengunjung dapat melihat dengan jelas Bukit Kelam dari segala arah. Selain itu pada bagian sebelah timur Bukit Kelam pengunjung disuguhi pemandangan Bukit Luid dan Bukit Rentap yang berjarak ± 3 km dari Bukit Kelam, sehingga pemandangan di sekitar jalan lingkar kelam semakin menarik. Pengunjung dapat melihat langsung kehidupan masyarakat Dayak setempat yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya, serta kearifan dalam mengelola alam dan lingkungannya. Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat Dayak di sekitar TWABK seperti nilai religius, filosofis, estetis dan nilai solidaritas kebersamaan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat. Nilai religius memberikan pengaruh yang cukup mendasar terutama dalam mengatur

38 26 hubungan manusia dengan alam semesta, hubungan manusia dengan Penciptanya, hubungan manusia dengan sesamanya. Hampir seluruh sistem sosial dan karya-karya masyarakat Dayak tidak terlepas dari pengaruh nilai religius. Perwujudan nilai religius tidak hilang meskipun saat ini masyarakat Dayak telah memeluk salah satu agama (Armayadi 2008). 3. Jalur pendakian Jalur pendakian (Gambar 5) dimulai dari pintu gerbang TWABK pada ketinggian 60 mdpl hingga ± 900 mdpl pada bagian puncak bukit. Pendakian dapat dilakukan oleh wisatawan/pengunjung kategori usia produktif yang menyukai tantangan. Pendakian biasanya memakan waktu 4-5 jam mulai dari kaki bukit hingga ke puncaknya. Jalur pendakian sebagian melewati jalan rabat beton, jalan setapak, jalan rintisan dan pada beberapa bagian jalur yang terjal harus melewati tangga besi vertikal yang berjumlah 4 titik. Kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan pada jalur pendakian berupa penelitian flora fauna, fotografi, hiking, mountaineering, sunset camping dan bina cinta alam. Pemandangan alam di sepanjang jalur pendakian menyuguhkan pemandangan yang sangat menarik pada bagian Barat dan Selatan kawasan TWABK. Mulai ketinggian mdpl dibagian kaki bukit, pendaki disuguhi ekosistem hutan hujan tropika basah dataran rendah yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Spesies pepohonan relatif banyak, tinggi pohon utama antara m, cabang-cabang pohon tinggi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi). Sebagian besar vegetasi hutan di kaki bukit tumbuh di antara batu-batu dan terdapat di lereng kaki gunung. Jika beruntung pendaki akan menjumpai satwa monyet (Macaca sp), tupai, dan berbagai jenis burung. Pada ketinggian 194 m dpl di sebelah kiri jalur pendakian, pendaki dapat menjumpai Goa Kelelawar. Goa ini dihuni oleh kelelawar species besar dan tak terhitung jumlahnya sehingga pada lantai goa dipenuhi kotoran kelelawar dengan bau yang khas. Bagian luar goa ditumbuhi pepohonan besar dan sangat nyaman untuk bersantai sambil menikmati pemandangan alam sekitar. Pendaki sering menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk beristirahat. Selanjutnya pada jalur pendakian di ketinggian mdpl pendaki akan melewati medan yang cukup sulit berupa tebing dan lereng yang terjal bahkan curam, sehingga pada beberapa bagian harus menaiki tangga besi vertikal yang menempel di dinding bukit agar dapat mencapai tempat yang lebih tinggi. Pada bagian ini vegetasi sangat berbeda dengan bagian kaki bukit. Hal ini disebabkan lereng bukit merupakan singkapan batuan yang telanjang dan terjal, sehingga sebagian besar tidak ditumbuhi pohon. Tumbuhan yang ditemukan adalah vegetasi dapat beradaptasi dengan tempat tumbuh dengan kelerengan yang terjal dengan segala keterbatasan sifat fisik sebagai penunjang pertumbuhan tanaman. Lebih ke bagian atas bukit pada ketinggian mdpl, pendaki akan menjumpai tipe ekosistem yang berbeda dengan tipe ekosistem di bagian kaki bukit. Vegetasi yang banyak ditemui pada bagian atas bukit termasuk dalam famili Myrtaceae dan Casuarinaceae, serta berbagai jenis anggrek alam dan Nephentes sp. Vegetasi dipengaruhi oleh beberapa pembatas fisik antara lain: kedalaman tanah yang dangkal dan tiupan angin yang kencang terus menerus serta intensitas sinar matahari yang tinggi. Akibat dari kondisi fisik ini vegetasi

39 27 sebagian besar tumbuh kecil (batang dan daun berukuran kecil) dan tidak tinggi. Gambar 5 Jalur Pendakian ke Puncak Bukit Kelam 4. Puncak Bukit Kelam Dari puncak Bukit Kelam yang mempunyai ketinggian ± 900 mdpl, pendaki disuguhi pemandangan alam berupa Sungai Kapuas, Sungai Melawi, Kota Sintang, perkebunan kelapa sawit, persawahan, pemandangan sunset dan sunrise (Gambar 6). Bagian puncak bukit relatif landai, sehingga pendaki dapat melakukan penjelajahan hutan dan bermalam di puncak. Pada bagian selatan puncak bukit pendaki dapat menjumpai Goa Punjung, yaitu goa sarang burung walet yang berbentuk vertikal, goa tersebut dijaga dan dikelola oleh penduduk lokal. Bagi mereka yang gemar wisata minat khusus dapat memasuki goa walet dengan dipandu oleh penjaga goa dari masyarakat lokal. Meskipun penjaga goa tersebut bukan penyedia jasa pemanduan, akan tetapi penjaga goa siap memandu pendaki yang hendak memasuki dan menjelajah goa, sepanjang dapat mematuhi aturan atau ketentuan dari penjaga goa walet. Pada bagian puncak lainnya di ketinggian 927 mdpl pendaki dapat menjumpai landasan/helipad yang dapat digunakan untuk camping ground saat bermalam di puncak. Di lokasi ini dapat ditemukan vegetasi dari famili Myrtaceae dan Casuarinaceae serta berbagai jenis anggrek alam dan jenis tumbuhan langka seperti Rafflesia sp dan Nephentes sp. Salah satu keunikan kawasan TWABK dan tidak dimiliki oleh kawasan lain di dunia adalah sebagai habitat tumbuhan Kantong Semar jenis Nepenthes clipeata yang merupakan tumbuhan endemik di kawasan TWABK (BKSDA 2007). Kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan pada puncak Bukit Kelam berupa penelitian flora fauna, penelitian etnobotani, mountaineering, berkemah (camping), penjelajahan hutan, caving dan paralayang.

40 28 Gambar 6 Pemandangan dari Atas Puncak Bukit dan Pondok Jaga Goa Punjung 5. Daerah kaki Bukit Kelam Salah satu lokasi tujuan wisata pada bagian kaki bukit adalah Air terjun Pancur Payung. Air terjun ini merupakan salah satu destinasi yang sangat diminati oleh pengunjung. Umumnya pengunjung yang datang ke TWABK selalu mampir ke Air Terjun yang memiliki ketinggian sekitar ±70 meter. Lokasi air terjun relatif mudah dijangkau melewati jalan/tangga rabat beton, berada di daerah kaki bukit dengan topografi yang relatif landai pada ketinggian ± 100 mdpl. Debit air terjun sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pada musim penghujan debit air terjun cukup besar sehingga mampu mengisi kolam-kolam penampung air dibagian bawah yang digunakan pengunjung untuk mandi dan berenang membasahi tubuh. Apabila musim kemarau maka debit air yang turun menjadi kecil dan hanya melewati dinding batu. Kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan di sekitar air terjun pada daerah kaki bukit, diantaranya treking, bina cinta alam, pengamatan satwa, penelitian flora, camping, dan pertunjukan seni/budaya. Untuk keperluan itu pihak pengelola dalam hal ini pemerintah daerah telah menyediakan beberapa fasilitas diantaranya jalur/trek wisata penjelajahan hutan, shelter/pendopo yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk duduk santai beristirahat sambil menikmati udara sejuk Bukit Kelam, camping ground (bumi perkemahan) untuk kegiatan berkemah dan bina cinta alam, pentas rakyat dan tribun untuk pertunjukan seni dan budaya masyarakat setempat. Fasilitas pendukung lainnya diantaranya taman bermain bagi anak-anak, wahana air/kolam renang, kios penjualan cinderamata/kerajinan masyarakat, musholla, gedung serba guna, pusat informasi, gazebo, toilet, lapangan tenis, pos jaga, pintu gerbang masuk, tempat parkir dan tempat penjualan karcis. Peta jalur wisata dan fasilitas pendukung seperti terlihat pada Gambar 7.

41 29 Gambar 7 Peta Jalur Wisata di Daerah Kaki Bukit Kelam Sebelum dibangun kios-kios, masyarakat membangun sendiri warungwarung penjualan makanan dan minuman yang tersebar di sepanjang jalur/trek wisata dengan alasan agar lebih dekat dan mudah dijangkau oleh pengunjung. Bangunan warung tanpa ijin ini digunakan pada waktu hari-hari libur dimana banyak pengunjung yang dating, saat sepi pengunjung pondok ini ditinggalkan para pemiliknya dalam keadaan tidak terawat dan kotor. Keberadaan warungwarung tersebut dirasakan menggangu keindahan, kenyamanan, dan terkesan kumuh. Pada tahun 2011 pemerintah daerah dengan melibatkan pihak desa dan kecamatan telah melakukan penertiban terhadap bangunan warung, kemudian pedagang direlokasi ke kios-kios yang telah dibangun pemerintah daerah, terpusat di dekat pintu masuk kawasan. 6. Lereng tebing Bukit Kelam Bentang alam TWABK yang berupa bukit batu berpotensi untuk dikembangkan untuk kegiatan wisata minat khusus pada bagian lereng/tebingnya. Tebing vertikal yang menjulang setinggi ± 650 m (Gambar 8) dapat dikembangkan sebagai lokasi kegiatan wisata panjat tebing (climbing), rappeling dan penelitian flora fauna. Vegetasi yang tumbuh di bagian lereng bukit berbeda dengan vegetasi yang tumbuh pada bagian kaki bukit. Vegetasi dominan merupakan tumbuhan perintis (pioneer) hasil suksesi akibat kejadian kebakaran hutan yang terjadi pada tahun Kebakaran hutan menyebabkan hilangnya tumbuhan dan lapisan tanah serta tersingkapnya batuan di bagian lereng bukit. Pengunjung yang berminat melakukan kegiatan panjat tebing wajib membawa sendiri perlengkapan utuk melakukan kegiatan yang menantang dan berbahaya ini. Berdasarkan informasi yang diterima, dulunya masyarakat sekitar kawasan memanjat dan menuruni tebing dengan menggunakan bahan

42 30 dan peralatan sederhana seperti rotan dan kayu untuk memanen sarang walet yang letaknya di tebing. Gambar 8 Lereng Tebing Bukit Kelam (sumber foto: BKSDA Kalbar) 7. Wisata rohani Goa Maria Selain menyuguhkan keunikan dan keindahan alam, TWABK juga menjadi destinasi wisata rohani. Pada bagian Timur kawasan terdapat Goa Maria, tempat bersemayam patung suci Bunda Maria serta berbagai fasilitas peribadatan. Obyek wisata rohani Goa Maria dilengkapi dengan rumah retret yang diberi nama Tumenggung Tukung dan berdiri dilahan seluas 5,6 hektar. Wisatawan/pengunjung yang mengunjungi Goa Maria umumnya umat Katolik yang berasal dari beberapa kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Tujuan kunjungan biasanya adalah untuk berdoa baik secara pribadi maupun kelompok. Pada hakekatnya kawasan Wisata Rohani dimanfaatkan sebagai tempat ziarah, berdoa dengan khusyuk, dan untuk melaksanakan retret (pembinaan rohani). Oleh karena itu, biasanya kawasan wisata ini ramai dikunjungi pada hari besar seperti Natal, Paskah dan selama bulan Maria. Setelah mengunjungi Goa Maria, biasanya mereka meneruskan perjalanan ke sebelah barat kawasan, menuju Air terjun Pancur Payung yang letaknya di lereng bukit bagian Barat. 8. Wisata agro Kawasan TWABK berpotensi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata agro. Wisata agro yang dapat dikembangkan di kawasan ini berupa kebun milik masyarakat dengan tanaman endemik kawasan diantaranya durian, langsat, mangga, pisang, jengkol dan juga durian. Akan tetapi untuk saat ini wisata agro hanya bersifat musiman karena belum mendapat sentuhan teknologi budidaya perkebunan yang bisa menghasilkan buah-buahan

43 31 sepanjang musim. Pengunjung dapat melihat langsung aktivitas masyarakat di saat musim buah, sebagai contoh saat musim buah durian penduduk desa secara bergantian berjaga dibawah pohon untuk menunggu buah durian yang jatuh karena sudah masak di pohon. Buah-buah yang didapat kemudian dibersihkan dari kotoran daun dan tanah yang menempel untuk kemudian dijajakan di pinggir jalan lingkar kelam kepada calon pembeli. Penduduk di sekitar Bukit Kelam yang kebunnya masuk ke dalam kawasan TWABK sengaja memilih menanam tanaman tahunan dengan umur tanaman yang lama, untuk menghindari larangan perladangan berpindah dari pihak pengelola yang dapat membahayakan kawasan. Kondisi ODTWA yang memenuhi kriteria dan baku merupakan jaminan bagi terpenuhinya kebutuhan wisatawan. Hal ini yang selalu harus diusahakan dan diciptakan dalam mengelola suatu ODTWA. Selain itu, suatu ODTWA yang baik hendaknya tidak hanya mampu menahan wisatawan agar lama tinggal menjadi meningkat, melainkan harus mampu menjadi penangkap wisatawan sehingga mampu memberikan dampak positif bagi pengelolaan suatu ODTWA. Ekowisata bukan dikategorikan sebagai wisata petualangan, tetapi merupakan wisata yang tidak murah, memberikan pengalaman lebih, berwawasan ekologi dan berkelanjutan. Potensi Daya Tarik Obyek Wisata Darat Penilaian terhadap potensi daya tarik obyek wisata darat kawasan TWABK tergolong tinggi (Tabel 6). Unsur yang digunakan dalam penilaian kriteria potensi daya tarik obyek wisata darat kawasan TWABK yaitu keindahan alam, keunikan sumberdaya alam, banyaknya jenis sumberdaya alam yang menonjol, keutuhan sumberdaya alam, kepekaan sumberdaya alam, jenis kegiatan wisata alam, kebersihan dan keamanan kawasan. Keindahan alam kawasan TWABK yang nampak seperti sebongkah batu besar di tengah hutan rawa gambut, dengan vegetasi alami di bagian kaki bukit dan bagian puncaknya memberi kesan tersendiri. Pemandangan sepanjang perjalanan mengitari Bukit Kelam melalui jalan lingkarnya pengunjung seolah-olah memotret kawasan TWABK secara utuh. Terlebih lagi pada saat berada di puncak bukit, rasa lelah saat mendaki akan terbayar dengan berbagai pemandangan yang disajikan dari puncak bukit, sungguh pengalaman yang berkesan dan sulit dilupakan bagi pengunjung. Keberadaan air terjun, goa kelelawar dan sarang walet, tipe ekosistem yang berbeda pada bagian kaki bukit, lereng bukit dan puncak bukit, habitat flora langka endemik Bukit Kelam seperti Nepenthes clipeata menjadikan kawasan TWABK unik dan menarik untuk dikunjungi. Hal ini masih dilengkapi lagi dengan adanya wisata rohani dan pentas rakyat yang menampilkan adat/istiadat budaya masyarakat setempat yang secara rutin diselenggarakan, semua itu merupakan point of interest dan modal dalam pengembangan produk ekowisata. Beberapa jenis kegiatan ekowisata yang dapat dilaksanakan di kawasan TWABK diantaranya : a. Treking, dapat dilakukan oleh pengunjung dengan menyusuri jalur wisata dibagian kaki dan puncak bukit menjelajahi 2 tipe ekosistem yang berbeda. b. Pendakian (hiking dan mountenering), merupakan dua kegiatan ekowisata di TWABK yang menawarkan kesempatan tak terbatas untuk tantangan, kesenangan dan kegembiraan. Hiking dapat dilakukan dengan menyusuri

44 32 jalur pendakian yang terdapat di sisi barat kawasan TWABK oleh pengunjung untuk segala tingkatan usia dan kebugaran. Di sepanjang jalur pendakian terdapat beberapa lokasi untuk mengamati keindahan alam Bukit Kelam dan sekitarnya dari ketinggian tertentu. Sedangkan mountenering dapat dilakukan dengan menyusuri jalur pendakian ataupun dengan membuka jalan baru menuju puncak bukit. Tentunya hal ini memerlukan persiapan yang matang baik dari segi kesiapan fisik, kesiapan pengetahuan, keterampilan dan peralatan mengingat medan yang cukup terjal dan sulit. c. Camping, kegiatan ini akan ramai dilakukan pengunjung pada musimmusim tertentu, misalnya saat libur panjang sekolah. Beberapa lokasi menarik untuk camping yaitu di bumi perkemahan yang terletak di kaki bukit, camping sunset pada ketinggian ± 600 m dpl, dan di bagian puncak Bukit Kelam. d. Pendidikan dan penelitian, TWABK merupakan salah satu laboratorium alam yang dapat dikembangkan untuk kegiatan pendidikan bina cinta alam, pendidikan dan pelatihan SAR, penelitian flora fauna, penelitian goa, penelitian etnobotani, penelitian jasa lingkungan, penelitian kerusakan alam tentang suksesi hutan pasca kebakaran, penelitian sosial budaya, serta pendidikan dan pengembangan sumber daya masyarakat sekitar TWABK. Kegiatan penelitian akan menyediakan data dasar yang dapat dipergunakan oleh pihak pengelola dalam pengembangan ekowisata di masa mendatang. e. Religius, kawasan Wisata Rohani Goa Maria dimanfaatkan sebagai tempat ziarah, berdoa dengan khusyuk, dan untuk melaksanakan retret (pembinaan rohani), biasanya kawasan wisata ini ramai dikunjungi pada hari besar seperti Natal, Paskah. f. Bersepeda santai, dapat dilakukan dengan menyusuri jalan lingkar kelam. Sambil menikmati kesejukan udara dan keindahan alam, wisatawan dapat memotret kehidupan masyarakat di sekitar kawasan TWABK terutama kearifan tradisional dalam mengelola alam dan lingkungannya. g. Caving dan susur goa, kegiatan yang cukup menantang ini dapat dilakukan di Goa Punjung yang terletak di puncak bukit dan Goa Besar yang terletak di bagian tengah kaki bukit. Mengingat kedua goa ini tempat bersarang burung walet dan dijaga dan dikelola oleh masyarakat setempat, maka kegiatan caving dan susur goa hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dan dengan jumlah pengunjung yang terbatas agar tidak menggangu siklus kehidupan burung walet di dalam goa. Pengunjung wajib didampingi oleh penjaga sarang walet terutama di lokasi Goa Punjung karena bentuk Goa yang vertikal. h. Rock climbing dan rappeling, Bukit Kelam pada semua bagian sisi lereng merupakan tantangan tersendiri bagi penghobi kegiatan rock climbing dan rappeling. Pendataan lokasi untuk kedua kegiatan ini dapat dijadikan jalur alternatif bagi pendakian ke puncak bukit. i. Paralayang, berpotensi untuk dikembangkan di TWABK terutama pada puncak bukit. Kondisi saat ini beberapa potensi kawasan TWABK yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata dapat menjadi ancaman ketika

45 33 pengelolaannya tidak memenuhi kaidah konservasi. Prinsip pengembangan objek wisata alam dalam garis besar mengikuti kaidah-kaidah yang sudah baku secara International yaitu untuk mengurangi resiko penanaman modal, mencegah perusakan maupun pencemaran lingkungan, memuaskan pengunjung dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat agar dapat meningkatkan kesejahteraannya secara optimal. Hal ini mengandung makna bahwa pengelolaan ODTW harus memiliki tiga prinsip dasar, yaitu : a) secara ekologis harus sustainable, b) secara ekonomis harus, viable dan c) secara sosial harus acceptable. Ketiga prinsip ini haruslah dilihat secara utuh sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Disamping prinsip-prinsip tersebut juga perlu diperhatikan bahwa suatu pengelolaan objek wisata akan berhasil apabila produk yang ditawarkan memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan serta mempunyai pasar yang potensial. Potensi Pasar Daerah Kalimantan Barat memiliki kondisi geografis dengan ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Potensi pasar untuk TWABK tergolong rendah (Tabel 6), hal ini disebabkan kepadatan penduduk Provinsi Kalimantan Barat hanya ± 36 jiwa/km 2. Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah km² (7.53% luas Indonesia) dengan jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2013 berjumlah jiwa atau 1.85% penduduk Indonesia (Pemprov Kalbar 2014). Dimasa mendatang peningkatan pendapatan perkapita, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan tingkat kejenuhan penduduk yang tinggi akan mendorong perilaku masyarakat untuk berwisata, sehingga tingkat kebutuhan masyarakat Kalimantan Barat dan Sintang khususnya untuk berwisata akan meningkat dan diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan ke kawasan TWABK. Kadar Hubungan/Aksesibilitas Penilaian terhadap kadar hubungan/aksesibilitas tergolong rendah (Tabel 6). Hal ini disebabkan jarak yang teramat jauh dari ibukota propinsi, memerlukan waktu tempuh ± 10 jam melalui jalan darat yang sebagian rusak kondisinya. Akan tetapi dimasa mendatang aksesibilitas menuju kawasan TWABK dapat ditingkatkan dengan telah dibangunnya bandara baru yang dapat didarati pesawat berbadan besar di Kabupaten Sintang. Hal ini dapat mempersingkat waktu tempuh dan menarik lebih banyak pengunjung ke kawasan TWABK. Pemgangunan bandara baru merupakan salah satu persiapan yang diprogramkan oleh pemerintah Kabupaten Sintang yang diwacanakan akan membentuk provinsi baru Kapuas Raya di kawasan timur Kalimantan Barat, dengan Sintang sebagai ibukota provinsinya. Dengan adanya bandara baru maka Kabupaten sintang diharapkan menjadi salah satu pintu gerbang udara internasional maupun domestik, yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi kawasan timur Kalimantan Barat. Dengan demikian diharapkan kedepannya akan semakin menarik minat wisatawan dan meningkatkan jumlah kunjungan ke kawasan TWABK. Hal ini didukung dengan

46 34 kondisi jalan yang baik dan jarak tempuh yang relatif singkat yaitu ± 20km atau 30 menit saja dari Kota Sintang ke kawasan TWABK. Jalan masuk atau pintu masuk utama ke daerah tujuan wisata merupakan access penting dalam kegiatan wisata. Bandara, pelabuhan, terminal dan segala macam jasa transportasi lainnya menjadi access penting dalam pariwisata. Di sisi lain access ini diidentikkan dengan transferabilitas yaitu kemudahan untuk bergerak dari daerah satu ke daerah lainnya. Tanpa adanya kemudahan transferabilitas tidak akan ada pariwisata. Adapun faktor-faktor yang memungkinkan transferabilitas ialah : 1. Konektivitas antar daerah yang satu dengan daerah yang lain. Konektivitas atau hubungan antar daerah itu ada kaitannya dengan determinan perjalanan wisata yaitu komplementaris antara motif perjalanan dengan atraksi wisata. 2. Tidak adanya penghalang yang merintangi adanya transferabilitas antar daerah 3. Tersedianya sarana angkutan antar daerah. Kondisi Sekitar Kawasan Penilaian terahadap unsur dan sub unsur kondisi sekitar kawasan TWABK tergolong sedang (Tabel 6). Melalui wawancara terhadap masyarakat sekitar kawasan TWABK, diketahui bahwa pada umumnya masyarakat mendukung upaya pengembangan TWABK sebagai kawasan wisata. Masyarakat sekitar kawasan yang sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani sawah, dan berkebun dengan tingkat pendidikan sebagian besar lulusan Sekolah Dasar (SD), mengharapkan pengembangan TWABK akan membuka kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Selama ini tingkat kunjungan bersifat musiman, ramai pada musim liburan sekolah, hari raya idul fitri dan idul adha, paskah dan natal serta pergantian tahun. Saat kunjungan ramai masyarakat banyak terlibat dalam penyediaan jasa pemandu, pengelolaan parkir, warung makan dan minum, pentas hiburan rakyat dan toko souvenir. Keberhasilan pengelolaan banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masayarakat sekitarnya. Di tempat di mana kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang posistif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari pengembangan yang membahayakan (MacKinnon et al. 1990). Pengelolaan dan Pelayanan Kiat manajemen kepuasan mengajarkan pada pengelola ODTWA bahwa bisnis jasa harus memperhatikan produk, pelayanan, pelanggan dan kebutuhannnya sehingga mereka mendapat kepuasan dari layanan yang diberikan oleh ODTWA yang dikunjunginya. Saat ini terjadi dualisme pengelolaan di kawasan TWABK, hal ini disebabkan belum jelasnya status kawasan Bukit Kelam. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.594/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Kelam, di Kabupaten Daerah Tingkat II Sintang, Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Seluas ± 520 (Lima Ratus Dua Puluh) Hektar,

47 35 menjadi Hutan Wisata/Taman Wisata Alam maka Bukit Kelam statusnya merupakan kawasan konservasi berupa Taman Wisata Alam. Sedangkan apabila berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.405/Kpts-II/1999 tanggal 14 Juni 1999, kawasan hutan Gunung Kelam seluas 1121 hektar dengan fungsi Hutan Lindung. Kondisi saat ini, pihak yang lebih banyak berperan dalam pengelolaan Bukit Kelam adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang (Disbudpar) sebagai kepanjangan tangan dari Pemda Sintang. Hal ini disebabkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang menempatkan pembangunan bidang pariwisata pada prioritas ketiga pembangunan dan menjadikan Bukit Kelam sebagai ikon pariwisata Kabupaten Sintang. Sementara itu pihak Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat mengambil peran dalam pengaman kawasan TWABK dari ancaman kebakaran hutan, perambahan dan penyerobotan lahan serta perburuan dengan menempatkan beberapa petugasnya di kawasan TWABK. Kondisi pengelolaan dan pelayanan saat ini tergolong tinggi (Tabel 6) berdasarkan unsur dan sub unsur yang dinilai yaitu pengelolaan, kemampuan berbahasa dan pelayanan pengunjung. Pengelolaan obyek dan pelayanan pengunjung merupakan hal yang perlu terus ditingkatkan, karena berpengaruh langsung dengan kepuasan pengunjung dan pelestarian obyek itu sendiri. Selain itu dalam implementasinya perlu ditunjang oleh tenaga profesional di bidang pariwisata alam, mampu berbahasa dan berkomunikasi dengan baik serta memberi pelayanan terhadap pengunjung. Jumlah petugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang yang berada di kawasan TWABK saat ini berjumlah 7 (tujuh) orang. Mereka merupakan tenaga honorer yang direkrut dari penduduk setempat untuk mengelola karcis masuk, parkir, menjaga kebersihan dan keamanan. Selain petugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang yang berada di TWABK ada juga petugas dari Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalimantan Barat yang berjumlah 3 orang yang bertugas memonitor kejadian kebakaran hutan di kawasan TWABK dan sekitarnya. Kemampuan berbahasa petugas yang berada di lapangan terbatas pada bahasa daerah setempat dan Bahasa Indonesia. Namun demikian pelayanan terhadap pengunjung dinilai baik dari segi keramahan, kesiapan, kesanggupan dan kemampuan komunikasi. Kedepannya diperlukan peningkatan kapasitas petugas lapangan yang bersentuhan langsung dengan pelayanan pengunjung dengan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pelayanan. Iklim Matzarakis (2006) menyatakan bahwa iklim dan cuaca adalah faktor yang mempengaruhi permintaan wisata, seperti dalam hal pilihan tujuan atau jenis kegiatan yang akan dilakukan wisatawan. Cuaca cerah, banyaknya cahaya matahari, kecepatan angin, udara sejuk, kering, panas dan sebagainya mempengaruhi terhadap pelaksanaan wisata baik wisata darat maupun laut. Kondisi iklim di kawasan TWABK tergolong sedang (Tabel 6), disebabkan kawasan TWABK memiliki suhu udara yang tinggi mencapai 35 0 C pada saat musim kemarau dan bisa belangsung selama 5 bulan sepanjang tahun. Iklim yang baik akan mengundang pengunjung ke kawasan TWABK. Menurut Damanik dan Weber (2006), kebutuhan untuk berwisata sangat terkait dengan masalah iklim dan kondisi lingkungan hidup di tempat tinggal. Iklim yang khas dapat menjadi daya tarik utama bagi suatu destinasi wisata. Iklim merupakan

48 36 faktor penarik bagi wisatawan yang ingin berelaksasi pada tempat yang memiliki iklim lebih nyaman dibanding tempat tinggalnya. Pengunjung kebanyakan adalah mereka yang tinggal di iklim cenderung panas atau di kawasan yang tingkat polusi tanah, air, udara dan suara sangat tinggi, akan mencari tempat yang beriklim sejuk dan tingkat pencemaran yang minimal untuk tujuan berwisatanya seperti TWABK. Akomodasi Akomodasi merupakan salah satu kriteria yang diperlukan dalam kegiatan wisata, khususnya pengunjung dari tempat yang cukup jauh, namun kurang dimanfaatkan oleh pengunjung yang berasal dari kota-kota sekitar kawasan TWABK. Penilaian terhadap kondisi terkini akomodasi terkait wisata di TWABK tergolong rendah (Tabel 6), hal ini disebabkan belum ada satu pun akomodasi yang dapat digunakan oleh wisatawan di sekitar TWABK sampai radius 15 km. Keberadaan hotel, penginapan, dan losmen masih terpusat di Kota Sintang yang jaraknya ± km dari TWABK. Sarana dan Prasarana Penunjang Sarana dan prasarana pariwisata merupakan fasilitas yang memungkinkan proses kegiatan pariwisata berjalan dengan lancar sehingga dapat memudahkan setiap orang yang terlibat dalam kegiatan berwisata. Menurut Sekartjakrarini (2009), bagi para eco-tourist dalam mencari pengalaman berwisata yang sejati, keterbatasan sarana dan prasarana pelayanan umumnya tidak terlalu dipersoalkan. Kecenderungan ini membuka peluang bagi daerah yang saat ini masih terisolasi untuk mengembangan pariwisata di wilayahnya. Hasil penilaian terhadap sarana dan prasarana penunjang kegiatan wisata di TWABK tergolong tinggi (Tabel 6). Akan tetapi terdapat beberapa sarana dan prasarana yang perlu pembenahan dan evaluasi lebih lanjut keberadaan dan ketersediaannya untuk menunjang wisata di TWABK. Keberadaan kolam renang dan wahana air di dalam kawasan, dimana airnya bersumber dari kawasan diharapkan tidak menggangu siklus dan tata air di dalam kawasan terutama di saat musim kemarau, karena masyarakat sekitar menggunakan air dari dalam kawasan untuk memenuhi MCK dan bercocok tanam. Untuk dapat mencapai TWABK dari ibukota kabupaten yang berjarak ± km pengunjung harus melewati jalan darat berupa jalan provinsi ± 15 km dan jalan kabupaten (jalan lingkar kelam) ± 3 km. Kondisi jalan provinsi saat ini baik sedangkan untuk jalan kabupaten terdapat beberapa lokasi yang perlu diperbaiki dengan pengerasan dan pengaspalan. Mengingat jalan sebagai urat nadi pembangunan sudah selayaknya menjadi prioritas diperbaiki untuk menunjang pariwisata dan aktivitas pembangunan lainnya. Sarana angkutan umum dari dan menuju lokasi dirasakan masih kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pengunjung pada umumnya menggunakan kendaraan pribadi mengingat terbatasnya angkutan umum yang beroperasi melayani trayek dari dan menuju lokasi. Keberadaan kios cenderamata yang terpusat di dekat pintu gerbang untuk merelokasi warung/gubuk liar milik masyarakat yang terkesan kumuh dan tersebar di dalam kawasan, dirasakan oleh masyarakat menjadi kurang bermanfaat. Kios yang dibangun oleh Disbudpar ukurannya terlalu kecil, tidak dapat menampung barang dagangan dan kurang representatif untuk terjadinya transaksi. Areal parkir kurang luas untuk menampung kendaraan terutama disaat musim ramai pengunjung. Agar

49 37 pengunjung mendapat kesan yang baik dan ingin mengulang kembali datang ke TWABK beberapa sarana dan prasarana penunjang tersebut perlu diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. Ketersediaan Air Bersih Ketersediaan air bersih merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam suatu pengembangan ODTWA, baik untuk pengelolaan maupun pelayanan.penilaian ketersediaan air bersih untuk kawasan TWABK tergolong tinggi (Tabel 6). Air yang masih alami langsung dari sumbernya, tersedia cukup banyak sepanjang tahun bahkan disaat musim kemarau, dapat langsung dikonsumsi tanpa perlakuan terlebih dahulu dan dapat dialirkan dengan mudah karena jaraknya yang tidak terlalu jauh. Air alami yang dialirkan langsung dari kawasan TWABK digunakan oleh beberapa pengusaha air minum isi ulang di Sintang sebagai bahan bakunya, dengan mengangkutnya menggunakan truk tangki. Jasa lingkungan berupa penyedia air bersih untuk penduduk di sekitar kawasan dan di Kota Sintang menjadikan kawasan TWABK bernilai tinggi dan sepatutnya dipelihara serta dilestarikan fungsinya sebagai kawasan konservasi dan dikelola dengan kaidah-kaidah konservasi. Hubungan dengan Obyek Wisata di Sekitarnya TWABK merupakan satu-satunya kawasan wisata berupa bukit batu dengan segala keunikannya di Kabupaten Sintang. Obyek wisata sejenis dalam radius 50 km tidak ditemukan yang menyerupai TWABK. Untuk obyek wisata yang tidak sejenis dalam radius 50 km terinventarisir sejumlah obyek wisata diantaranya berupa obyek wisata alam dan obyek wisata budaya/sejarah. Obyek wisata alam terdiri dari 2 lokasi yaitu : 1. Danau Jemelek berupa danau alami di Kec. Sintang 2. Hutan Wisata Baning berupa hutan rawa gambut di Kec. Sintang. Sedangkan obyek wisata budaya/sejarah terdiri dari 6 lokasi, diantaranya : 1. Museum Kapuas Raya 2. Rumah Betang Ensaid Panjang 3. Galery Tirta Dharma 4. Galery Motor Bandong 5. Keraton Al-Muqarramah dan Masjid Jami 6. Peninggalan Benda Cagar Budaya/Situs sebanyak 16 situs. Hasil penilaian hubungan dengan obyek wisata di sekitar kawasan TWABK tergolong tinggi (Tabel 6). Pengembangan TWABK perlu memperhatikan keberadaan obyek wisata lain yang sejenis/tidak sejenis di sekitarnya sampai radius 50 km, agar dapat dikemas sebagai suatu paket wisata sehingga saling menunjang kunjungan. Di sisi lain keberadaan obyek wisata lainnya yang sejenis/tidak sejenis merupakan saingan bagi TWABK. Keberhasilan pengembangan TWABK sebagai obyek wisata ditentukan pula oleh persaingan antar obyek wisata sejenis. Keamanan Hasil penilaian terhadap unsur dan sub unsur keamanan, kawasan TWABK tergolong tinggi (Tabel 6). Kawasan TWABK cenderung aman dari binatang pengganggu, jarang gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan bebas

50 38 dari kepercayaan yang mengganggu. Keamanan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam mendukung pengembangan ODTWA untuk kegiatan ekowisata. Keamanan berkaitan dengan kenyamanan pengunjung dan kelestarian kawasan TWABK. Betapapun tinggi nilai ODTWA, tetapi apabila kondisi keamanan tidak terjamin, maka wisatawan tidak akan tertarik untuk mengunjungi kawasan TWABK. Kondisi terkini yang berhasil diamati, kawasan TWABK rawan akan terjadinya kebakaran hutan oleh faktor ketidaksengajaan terutama pada saat musim kemarau panjang. Penebangan liar sudah jarang terjadi akibat sosialisasi aturan perundangan dan larangan yang dilakukan oleh pihak BKSDA Kalimantan Barat dan jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang. Perambahan ke dalam kawasan biasanya untuk keperluan pemukiman dan perkebunan. Hal ini disebabkan penduduk setempat menganggap bahwa kawasan TWABK masih bagian dari tanah mereka yang diwariskan secara turun temurun. Namun demikian sudah tidak terjadi lagi aktifitas perladangan berpindah akibat kesadaran penduduk akan dampak dan bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap kawasan TWABK. Penduduk telah mengganti tanaman di lokasi yang dulunya dijadikan ladang yang termasuk dalam kawasan TWABK dengan tanaman kebun yang produktif dan usianya panjang seperti tanaman durian, rambutan, langsat, mangga dan jengkol. Pengaturan Pengunjung Pengaturan pengunjung akan berdampak positif apabila dilakukan dengan baik terhadap kenyamanan, keserasian maupun aktifitas pengunjung. Hasil penilaian terhadap unsur dan sub unsur pengaturan pengunjung, kawasan TWABK tergolong rendah (Tabel 6). Hal ini dikarenakan tingkat kunjungan masih rendah sehingga belum diperlukan pengaturan pengunjung, Lain halnya apabila pada musim liburan dan even tertentu, untuk mensiasati jumlah pengunjung yang ramai maka pengelola kawasan akan melakukan pengaturan dengan melakukan pemusatan kegiatan pengunjung di lokasi yang terpisah dengann lokasi wisata seperti di area pentas rakyat yang dilengkapi dengan tribun penonton yang mampu menampung banyak pengunjung, di bumi perkemahan dan juga gedung serbaguna yang dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan. Sejauh ini di TWABK belum ada pengaturan pembatasan jumlah pengunjung, distribusi pengunjung dan lama tinggal kunjungan. Pemasaran Dalam pengelolaan pariwisata alam, kegiatan pemasaran perlu dilakukan karena sangat terkait dengan jumlah kunjungan. Hasil penilaian terhadap sub unsur pemasaran, kawasan TWABK tergolong tinggi (Tabel 6). Kondisi saat ini TWABK memiliki ODTWA yang bervariasi, pemberlakuan tarif masuk dengan harga yang masih terjangkau meskipun diberlakukan perbedaan tarif masuk untuk hari-hari biasa Rp ,-/orang dan saat musim liburan Rp ,-/orang. Kegiatan promosi telah banyak dilakukan baik oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Barat dan juga beberapa komunitas peduli wisata di Sintang melalui kegiatan pameran, penyebaran leaflet, promosi di surat kabar, dan promosi di jejaring sosial melalui internet.

51 39 Pangsa Pasar Hasil penilaian terhadap unsur pangsa pasar (asal pengunjung, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian), kawasan TWABK tergolong sedang (Tabel 6). Asal pengunjung mayoritas berasal dari Kabupaten Sintang, tingkat pendidikan pengunjung mayoritas setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan mata pencaharian sebagai mayoritas adalah karyawan swasta dan pegawai negeri. Pariwisata tidak dapat dibangun dan dikembangkan tanpa memahami hubungan antara produk pariwisata dengan pasar. Unsur-unsur pembentuk produk pariwisata, seperti: aksesibilitas, akomodasi, lingkungan, masyarakat, kelembagaan dan yang lainnya, selayaknya disesuaikan dengan permintaan pasar, yang dalam konteks pariwisata adalah mereka yang mempunyai keinginan dan kemampuan untuk melakukan perjalanan wisata. Syarat kecukupan ini menuntut pengelola kawasan TWABK memahami sifat-sifat pasar pariwisata, seperti asal, minat, tujuan dan kemampuan melakukan perjalanan, serta menemukenalinya untuk memudahkan merencanakan pengembangan kawasan TWABK untuk kegiatan ekowisata. Daya Dukung TWABK Cifuentes (1992) telah mengembangkan penghitungan kapasitas daya dukung dari suatu kawasan konservasi. Penerapan kapasitas daya dukung ini dapat digunakan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat diterima secara optimal/efektif tanpa mengakibatkan kerusakan pada kawasan konservasi. Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan, terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, dan pada saat dan ruang yang sama, juga pengguna atau masyarakat pemakai sumberdaya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan/atau tidak dirugikan. Konsep yang digunakan untuk mengetahui daya dukung kawasan TWABK untuk ekowisata adalah daya dukung fisik/physical carrying capacity (PCC), daya dukung riil/real carrying capacity (RCC) dan daya dukung efektif/efective carrying capacity (ECC). Pendekatan ECC ini memperhitungkan RCC sebagai PCC yang dipengaruhi oleh variabel ekosistem yaitu variabel biotik dan variabel abiotik. Kedua variabel tersebut merupakan faktor koreksi dari PCC. Faktor koreksi akan menjadi faktor pembatas bagi daya dukung efektif. Daya Dukung Fisik (PCC) Daya dukung fisik (PCC) merupakan jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik tercukupi oleh ruang yang disediakan pada waktu tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan di kawasan TWABK, untuk mengetahui daya dukung fisik kawasan TWABK diasumsikan bahwa : 1. Kawasan TWABK merupakan kawasan konservasi dengan status Taman Wisata Alam sesuai SK Menhut No. 594/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992 dengan luas kawasan ± 520 Ha. Kawasan TWABK memiliki beberapa potensi ODTWA yang khas dan unik dan dapat dikembangkan untuk ekowisata.

52 40 2. Luasan kawasan TWABK yang akan direncanakan sebagai blok pemanfaatan adalah 25 % dari luas kawasan yaitu 130 Ha. Sedangkan luasan kawasan TWABK yang diproyeksikan dapat digunakan oleh pengunjung adalah 10 % dari luas blok pemanfaatan yaitu 13 Ha 3. Menurut Fandeli dan Muhammad (2009), kebutuhan ruang pengunjung untuk berwisata adalah.seluas 60 m Rerata waktu yang dihabiskan untuk satu siklus kunjungan adalah 2 jam. 5. Kawasan dibuka dari jam ( ± 8 jam per hari). 6. Untuk menuju obyek tidak dibutuhkan jarak antar setiap kelompok dan jumlah pengunjung dalam kelompok tidak diperhitungkan. Daya dukung fisik kawasan TWABK dihitung dengan rumus (Fandeli dan Muhammad, 2009) : Hasil perhitungan PCC di atas menunjukkan bahwa kawasan TWABK secara fisik pada blok rencana pemanfaatannya mampu menampung sejumlah 8667 orang setiap harinya. Daya Dukung Riil (RCC) RCC merupakan jumlah pengunjung maksimum yang diperkenankan berkunjung ke kawasan TWABK dengan faktor koreksi (Cf) yang diambil dari karakteristik obyek yg diterapkan pada PCC yaitu potensi lanskap, kepekaan erosi tanah, kelerengan, iklim dan gangguan musim bertelur Burung Walet. Variabel tersebut dipilih sebagai faktor koreksi karena dapat mempengaruhi kelestarian ekosistem di areal wisata yang dikunjungi dan mempengaruhi kepuasan pengunjung. Variabel tersebut merupakan faktor pembatas terhadap keberlangsungan interaksi antara wisatawan dan ekosistem di kawasan TWABK. a. Faktor koreksi kelerengan Kondisi kelerengan turut mempengaruhi jumlah kunjungan yang diperkenankan ke dalam kawasan TWABK. Faktor kelerengan diketahui berdasarkan klasifikasi kelas kelerengan. Kelas kelerengan pada lokasi obyek wisata kawasan TWABK diperbandingkan dengan klasifikasi kelas lereng menurut SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980, untuk mendapatkan nilai faktor koreksi kelerengan (indeks tingkat kelerengan) pada blok pemanfaatan kawasan TWABK. Dari perhitungan diketahui bahwa faktor koreksi untuk kelerengan di TWABK adalah (Lampiran 2). b. Faktor koreksi kepekaan erosi tanah Faktor koreksi tingkat kepekaan erosi tanah dinilai berdasarkan jenis tanah sebagaimana pada Lampiran 2 sesuai SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980. Susunan jenis tanah kawasan TWABK berdasarkan Peta Tanah Eksplorasi Kabupaten Sintang tahun 2000 dengan skala 1 : adalah jenis podsolik merah kuning dengan batuan induk bahan endapan. Keadaan hara miskin, permeabilitas lambat hingga baik dan peka terhadap erosi dan merupakan tanah mineral (BKSDA 2007). Jenis tanah kawasan TWABK

53 41 termasuk klasifikasi jenis tanah peka terhadap erosi, sehingga nilai faktor koreksi kepekaan erosi tanah di kawasan TWABK adalah 0.60 (Lampiran 2). c. Faktor koreksi potensi lanskap Menurut Fandeli dan Muhammad (2009), faktor lanskap penting untuk menjadi salah satu faktor koreksi penentuan daya dukung kawasan, disebabkan berkaitan dengan ruang fisik yang tersedia dalam penentuan daya dukung. Dalam pengembangan suatu kawasan wisata alam yang melebihi daya dukung akan menyebabkan terganggunya unsur-unsur lanskap pada kawasan tersebut. Indeks potensi lanskap TWABK menurut Bureau of Land Management dalam Fandelli dan Muhammad (2009), seperti pada Lampiran 2 yaitu sebesar Kawasan TWABK memiliki bentang lahan bukit dengan ketinggian ± 900 mdpl berupa singkapan batuan raksasa dengan dinding yang terjal. Tipe vegetasinya berbeda sesuai dengan ketinggian tempat, pemandangan di sekitar obyek dan jalur pendakian menyuguhkan pengalaman yang berkesan dan menarik. Akan tetapi pembangunan beberapa fasilitas wisata seperti wahana air/kolam renang untuk menambah variasi wisata tanpa kajian mendalam kesesuaiannya dengan fungsi kawasan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah terutama dalam hal penggunaan sumberdaya air di dalam kawasan TWABK. d. Faktor koreksi iklim Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TWABK termasuk ke dalam tipe iklim A (sangat basah) dengan nilai Q sebesar 2.3 %, curah hujan rata-rata per tahun adalah mm dengan rerata harian mm dan temperatur rata-rata 20ºC hingga 30ºC. Curah hujan terjadi tidak merata setiap bulannya namun tidak ditemukan bulan-bulan kering secara nyata (BKSDA 2007). Kabupaten Sintang dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan Kabupaten Sintang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu sebesar %. Menurut Stasiun Meteorologi Susilo Sintang, intensitas curah hujan yang cukup tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai dengan kelembaban udara yang cukup tinggi. e. Faktor koreksi gangguan satwa liar burung walet (Collocalia fuciphagus) Salah satu potensi wisata alam di TWABK adalah adanya 3 buah goa, yaitu Goa Kelelawar di ketinggian ± 197 m dpl, Goa Punjung di ketinggian ± 850 mdpl di bagian puncak bukit dan Goa Besar di ketinggian ± 100 mdpl. Dua diantaranya yaitu Goa Punjung dan Goa Besar dihuni oleh satwa liar Burung Walet (Collocalia fuciphagus). Penduduk setempat sudah sejak lama memanfaatkan Burung Walet yang menghuni goa untuk dipanen dan diambil sarangnya hingga saat ini. Pemanenan sarang walet oleh penduduk setempat dilakukan secara bergiliran dan memakai sistem kelompok. Sesuai kesepakatan diantara mereka pengelolaan sarang walet dengan kaidah konservasi yaitu pemanenan dilakukan setiap 4 bulan sekali dan 4 bulan kemudian tidak dilakukan pemanenan. Jadi dalam 2 tahun hanya dilakukan 3 kali pemanenan, dengan siklus bulan 1 4 tahun ke-1 panen; bulan 5-8 tidak panen; bulan 9 12 panen; bulan 1 4 tahun ke-2 tidak panen; bulan 5 8 panen; bulan 9 12 tidak panen; begitu seterusnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian burung walet yang terdapat di dalam goa. Dalam penelitian ini siklus pemanfaatan sarang walet oleh masyarakat

54 42 menjadi faktor koreksi gangguan satwa liar di kawasan TWABK. Faktor koreksi terhadap siklus panen sarang walet adalah 12/24 = 0.5. Tabel 7 Nilai Faktor Koreksi Variabel PCC No Variabel Faktor Koreksi Nilai Faktor Koreksi (Cf) x100% 1. Kelerengan Kepekaan erosi tanah Potensi lanskap Iklim 2,3 5. Gangguan satwa liar (musim bertelur) 50 Berdasarkan penilaian yang dilakukan terhadap beberapa variabel PCC maka didapatkan nilai faktor koreksi untuk masing-masing variabel, disajikan pada Tabel 7. Selanjutnya nilai faktor koreksi digunakan untuk menghitung daya dukung riil (RCC) kawasan TWABK sebagai berikut : RCC = PCC x x x x x RCC = 8667 x x x x x RCC = 8667 x x x x x RCC = 218 orang/hari Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jumlah pengunjung maksimum yang diperkenankan berkunjung ke kawasan TWABK dengan faktor koreksi (Cf) potensi lanskap, kepekaan erosi tanah, kelerengan, iklim dan gangguan musim bertelur Burung Walet adalah sebesar 218 orang/hari. Daya Dukung Efektif (ECC) Pendekatan daya dukung efektif (ECC) kawasan TWABK memperhitungkan daya dukung riil (RCC) sebagai daya dukung fisik yang dipengaruhi oleh variabel ekosistem yaitu variabel biotik (gangguan musim bertelur Burung Walet) dan variabel abiotik (kelerengan, kepekaan erosi tanah, potensi lanskap dan iklim). Kedua variabel tersebut merupakan faktor koreksi dari daya dukung fisik kawasan TWABK. Faktor koreksi akan menjadi faktor pembatas bagi daya dukung efektif kawasan TWABK. Daya dukung efektif merupakan jumlah kunjungan maksimal dimana obyek tetap lestari pada tingkat manajemen yang tersedia. Kapasitas manajemen merupakan penjumlahan dari semua kondisi pada kawasan perlindungan yang dapat difungsikan secara obyektif dan sesuai dengan tujuan dari pengelolaan kawasan, Fandeli dan Mukhlison (2000). Kapasitas manajemen dibatasi oleh kriteria : sistem pengelolaan dan jumlah staf pengelola. Dari wawancara dengan petugas diketahui bahwa petugas pengelola kawasan TWABK berjumlah 7 orang tenaga honorer Disbudpar Sintang yang bertugas mengelola tiket masuk, mengelola parkir, menjaga keamanan, menjaga kebersihan kawasan TWABK.

55 43 Penjadwalan yang diatur oleh koordinator petugas adalah petugas hadir setiap hari Senin Jumat bergiliran ada 6 orang dan 1 orang libur, sedangkan pada hari Sabtu Minggu 7 orang petugas hadir tanpa ada yang libur. Perhitungan daya dukung efektif (ECC) kawasan TWABK pada blok yang diproyeksikan sebagai rencana blok pemanfaatan sebagaimana pada Lampiran 2, diperoleh nilai 196 orang / hari. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas daya dukung efektif kawasan TWABK pada tingkat manajemen saat ini belum terlampaui dibandingkan dengan rata-rata jumlah pengunjung harian pada tahun 2013 yaitu sebesar 34 orang/hari. Dengan demikian TWABK dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata dengan manajemen pengelolaan yang lebih baik, agar jumlah kunjungan meningkat, kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dapat terwujud dan kawasan tetap lestari. Konsep daya dukung merupakan prasyarat minimal dalam perencanaan dan pengembangan konsep ekowisata di TWABK. Kondisi ini berkaitan dengan aturan dan pengertian wisata alam terbatas yang dapat dilakukan pada kawasan konservasi. Dimana wisata terbatas juga sangat tergantung dengan kapasitas daya dukung untuk dapat memberikan nilai maksimal terhadap peningkatan ekonomi dan partisipasi masyarakat sekitar kawasan dengan tetap mempertahankan nilai perlindungan dan pelestarian serta menekan dampak negatif yang ditimbulkan. Analisis Stakeholder TWABK Analisis stakeholder diawali dengan mengidentifikasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan TWABK, mulai dari penentu kebijakan, pelaksana kegiatan, maupun para pihak lain sebagai pendukung. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa stakeholder TWABK terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat LSM), akademisi, dan swasta (Tabel 8). Stakeholder adalah gambaran kepentingan individu, kelompok, dan institusi terhadap sumberdaya alam. Selain itu, stakeholder juga dapat diartikan sebagai penerima dampak positif atau negatif dari suatu kegiatan pengelolaan TWABK. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan TWABK didasarkan atas pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berhubungan dengan kapasitas, kewenangan, dan minat. Adanya perbedaan pengaruh dan kepentingan berdampak pada perbedaan peran masing-masing stakeholder dalam kegiatan pengelolaan TWABK. Pengaruh merupakan kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi proses pengelolaan TWABK dan kemampuannya mempengaruhi stakeholder lain. Kepentingan dapat diartikan sebagai ketergantungan stakeholder terhadap sumberdaya atau ketertarikan untuk terlibat dalam pengelolaan TWABK. Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder TWABK ditunjukkan dalam skor. Semakin tinggi pengaruh dan kepentingannya maka nilai skornya semakin besar, demikian sebaliknya (Tabel 9). Race dan Millar (2006) menjelaskan bahwa dalam analisis stakeholder akan dilakukan identifikasi stakeholder beserta perannya dalam suatu kegiatan. Analisis tersebut berguna untuk mengetahui kategori stakeholder. Kategori tersebut dikelompokkan menurut kepentingan dan pengaruh tiap stakeholder dalam suatu kegiatan. Selanjutnya, analisis stakeholder dapat digunakan untuk mendefinisikan hubungan antar stakeholder dalam proses kegiatan.

56 44 Tabel 8 Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan TWABK Stakeholder Peran dalam pengelolaan TWABK Kepentingan terhadap TWABK Pemerintah Pusat Kementerian Kehutanan (termasuk BKSDA Kalbar) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Daerah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang Swasta Pengusaha air minum kemasan Swasta lain Regulasi dan koordinasi dalam pengelolaan kawasan Menyusun rencana pengelolaan kawasan Perlindungan, pengamanan dan evaluasi fungsi kawasan Regulasi, koordinasi dan promosi Pengelola kawasan TWABK Perlindungan dan pengamanan kawasan serta, pembinaan masyarakat. Membuka peluang usaha jasa lingkungan Investor sarana dan prasarana penunjang Mempertahankan kawasan konservasi sesuai fungsinya. Pengembangan wisata daerah Melestarikan dan mengoptimalkan fungsi kawasan Mempertahankan keutuhan dan kelestarian kawasan Memanfaatkan jasa lingkungan Bisnis jasa wisata LSM Mediator dan katalisator Citra positif organisasi Masyarakat Penerima dampak TWABK Sumber mata pencaharian, memperoleh jasa lingkungan Akademisi Peneliti Laboratorium alam dan pengembangan ilmu pengetahuan Pengunjung Promosi dan konsumen Memanfaatkan jasa lingkungan Tabel 9 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder TWABK Stakeholder Skor Pengaruh Skor Kepentingan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sintang 5 5 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sintang 4 4 Kementerian Kehutanan 5 4 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 3 3 Masyarakat sekitar TWABK 3 5 Swasta/Perusahaan Air Minum Kemasan 2 5 Swasta lain 2 2 LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) 4 2 Akademisi 2 3 Pengunjung 2 3 Nilai skor pengaruh dan kepentingan stakeholder kemudian dipetakan ke dalam Stakeholder Grid (Gambar 9). Posisi kuadran dalam stakeholder grid menggambarkan posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholder terkait dengan pengelolaan Taman Wisata Alam Bukit Kelam yaitu sebagai : Subjects, Key players, Crowd, dan Context setters.

57 45 Kepentingan Swasta/Pengusaha Masyarakat Dinas Air Minum Kemasan (2,5) (3,5) sekitar TWABK (5,5) Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kehutanan Sintang dan Perkebunan (4,4) (5,4) Kementerian Subjects Key Player Kehutanan Akademisi (2,3) (3,3) Kementerian Pengunjung Pariwisata dan (2,2) (4,2) Swasta lain LSM 1 Crowd Context Setters Pengaruh Gambar 9 Stakeholder Grid TWABK Key players Key players adalah kelompok stakeholder yang merupakan motor penggerak dan pelopor dalam suatu kegiatan. Key players dapat diartikan sebagai pemeran utama atau pelaku dalam suatu kegiatan. Tanpa kelompok ini, kegiatan tidak bisa berjalan. TWABK memiliki key player yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Instansi pusat yang terlibat sebagai pemeran utama dalam pengelolaan TWABK adalah Kementerian Kehutanan (Kemenhut) termasuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat (BKSDA Kalbar) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sedangkan instansi daerah yang terlibat sebagai pemeran utama adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Sintang dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Sintang. Keempat instansi ini menjadi penting karena peran dan fungsinya dalam pengelolaan TWABK. Kemenhut adalah instansi tertinggi yang bertanggung jawab dan berwenang dalam kegiatan pengelolaan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Kemenhut sebagai perpanjangan tangan pemerintah memiliki kewenangan dalam mengeluarkan standar kebijakan mengenai pengelolaan hutan termasuk hutan dengan status hutan lindung maupun kawasan konservasi. Ketidakjelasan status kawasan TWABK dengan dikeluarkannya dua produk hukum tentang status Bukit Kelam yaitu Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.594/Kpts-II/1992 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.405/Kpts-II/1999 menjadi domain Kementerian Kehutanan untuk penyelesaiannya agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan pengelolaan.

58 46 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P. 40/MenhutII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, menyebutkan bahwa Kemenhut mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kehutanan. Fungsi Kemenhut terkait dengan pengelolaan TWABK adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kehutanan serta pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kemenhut di daerah. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merupakan kementerian yang bertugas menyelenggarakan urusan di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif dalam pemerintahan untuk membantu Presiden. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No. PM.07/HK.001/MPEK/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjelaskan tugas dan fungsi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terkait pengelolaan TWABK adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif serta pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di daerah. Stakeholder lain yang termasuk dalam kuadran key players adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang (Disbudpar Sintang) dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang (Dishutbun Sintang), keduanya mempunyai peran vital dalam pengelolaan TWABK. Sebagaimana termuat di dalam Peraturan Bupati Sintang Nomor 41 Tahun 2008, tanggal 1 September 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang dikatakan bahwa tugas pokok Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang adalah melaksanakan sebagian kewenangan otonomi di bidang kebudayaan, pariwisata dan museum. Sedangkan fungsinya terkait pengelolaan TWABK adalah perumusan kebijakan teknis di bidang kebudayaan, pariwisata dan museum; pelaksanaan pembangunan dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata (ODTW); pemberian pertimbangan teknis perijinan dan pengawasan usaha obyek wisata, perhotelan, rumah makan, bar, restoran, usaha gelanggang permainan, bioskop serta kegiatan dan sarana hiburan lainnya; dan pelaksanaan pengembangan kebudayaan daerah. Tugas pokok Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang berdasarkan Perda Kabupaten Sintang No. 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sintang yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Sintang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Mengenai Susunan Organisasi dan tata kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang, adalah melaksanakan sebagian kewenangan otonomi daerah di bidang kehutanan dan perkebunan. Sedangkan fungsi yang terkait dengan TWABK adalah perumusan kebijakan teknis di bidang kehutanan dan perkebunan. Masyarakat di sekitar TWABK masuk dalam kategori Key player. Masyarakat sekitar adalah kelompok masyarakat sebagaimana umumnya. Mereka tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan kawasan. Respon dan tindakan masyarakat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pengelolaan TWABK. Perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap kawasan TWABK memberi dampak negatif bagi kawasan. Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan TWABK menimbulkan beberapa permasalahan, diantaranya : perambahan kawasan untuk pemukiman dan perkebunan masih terjadi hingga saat ini, karena mereka beranggapan bahwa

59 47 kawasan TWABK merupakan hak mereka yang diwariskan secara turun temurun; tindakan perburuan tumbuhan dan satwa liar endemik terkadang dilakukan oleh masyarakat seperti berburu monyet untuk dikonsumsi dagingnya, burung dan kantong semar yang memiliki nilai jual tinggi. Context Setters Kelompok context setters dalam Stakeholder Grid merupakan stakeholder dengan pengaruh tinggi namun memiliki kepentingan kecil terhadap sumberdaya kawasan. Stakeholder Grid memetakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke dalam kelompok ini. LSM adalah lembaga non pemerintahan yang ikut andil dalam pengelolaan TWABK. Beberapa LSM yang berpartisipasi dalam pengelolaan TWABK di antaranya adalah WWF Indonesia dan Kompas (Komunitas Pariwisata Sintang). LSM tidak berkepentingan terhadap sumberdaya TWABK. Kepentingan mereka adalah misi lingkungan. LSM bidang lingkungan cenderung jeli melihat kekurangan yang ada dalam pengelolaan kawasan untuk dikritisi. Kekritisan mereka tidak terbatas, mengingat posisinya sebagai pihak luar dalam pengelolaan kawasan. Pengaruh dan kepentingan LSM tidak bisa diabaikan. Pada kondisi ini pengelola TWABK diharapkan mampu merangkul LSM agar menjadi salah satu komponen yang dapat diandalkan dan berpartisipasi aktif dalam pengelolaan kawasan. Pengabaian terhadap potensi pengaruh dan kepentingan mereka dapat menjadi ganjalan serius bagi pengelolaan kawasan. LSM dapat berperan sebagai mediator, katalisator, dan pengawas. Mediator berarti bahwa LSM berposisi sebagai penengah di antara stakeholder TWABK. LSM dapat memfasilitasi kegiatan pengelolaan yang diharapkan mampu mengakomodasi semua pihak terkait. Katalisator berarti bahwa LSM mampu memberikan dorongan bagi percepatan tujuan kegiatan. Peran ketiga adalah sebagai pengawas kegiatan. LSM dapat berpartisipasi dalam kegiatan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan TWABK. Pengawasan dapat dilakukan pada semua tahap kegiatan mulai dari dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, maupun pasca kegiatan. Context setters merupakan kelompok stakeholder yang unik. Context setters dapat memposisikan dirinya menjadi key players. Pada prakteknya, kelompok ini bisa memberikan dampak positif atau negatif bagi kegiatan. LSM memungkinkan untuk memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat (key players). Pada posisi ini, LSM dapat berperan sebagai kelompok masyarakat tertindas akibat terkena dampak negatif pengelolaan kawasan. Langkah yang kontra produktif terhadap kegiatan sangat mungkin ditempuh. Namun demikian, potensi yang sama juga dapat ditunjukkan oleh LSM dalam bentuk langkah positif untuk mendukung kegiatan pengelolaan TWABK. Crowd Crowd adalah kelompok stakeholder dengan pengaruh dan kepentingan yang kecil terhadap TWABK. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai stakeholder yang berkontribusi dalam kegiatan namun tidak benar-benar terlibat. Crowd adalah stakeholder yang berposisi sebagai pengamat. Kondisi ini menempatkan crowd sebagai kelompok yang kehadirannya tidak terlalu berkontribusi dalam pengelolaan TWABK. Sebaliknya, ketidakhadirannya juga tidak berpengaruh

60 48 besar terhadap TWABK. Pada pelaksanaannya, crowd terlihat seperti pihak di luar sistem yang sedikit sekali berperan dan terlibat dalam kegiatan. Kehilangan kelompok ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap sistem. Stakeholder grid menempatkan swasta selain perusahaan air minum isi ulang ke dalam kelompok crowd. Subject Subject adalah kelompok stakeholder dengan kepentingan tinggi namun memiliki pengaruh yang rendah. Subject sangat bergantung pada key players. Subject dapat memberikan peran penting apabila mendapat dukungan key players. Pengunjung, perusahaan air minum isi ulang dan akademisi termasuk dalam kelompok subject dalam stakeholder grid. Kepentingan akademisi terhadap TWABK adalah sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan pengembangan keilmuan. TWABK dengan segala potensi di dalamnya sangat menarik untuk diteliti. Hasil penelitian diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan bahan rujukan menyangkut pengelolaan TWABK. Lain halnya dengan akademisi, pengunjung dan perusahaan air minum isi ulang mempunyai kepentingan untuk tetap dapat memanfaatkan jasa lingkungan dari dalam kawasan TWABK, hanya saja perusahaan air minum isi ulang berorientasi profit sedangkan pengunjung lebih kepada kepuasan berwisata. Stakeholder ini mempunyai potensi besar untuk diberdayakan, namun pada prakteknya seringkali diabaikan. Oleh karena itu dukungan dari key players menjadikan kelompok ini dapat memberikan peran maksimal dalam pengelolaan TWABK. Peran masing-masing stakeholder dalam pengelolaan TWABK bukan merupakan hal yang statis. Peran stakeholder bersifat dinamis sehingga dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan fenomena sosial yang terjadi. Perubahan posisi stakeholder dalam kuadran stakeholder grid sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan pengaruhnya. Pengaruh merupakan hal yang berkenaan dengan otoritas stakeholder dalam suatu kegiatan. Bergesernya otoritas suatu lembaga/instansi dapat mempengaruhi pergeseran posisi stakeholder. Hal lain yang memungkinkan merubah peran stakeholder adalah kepentingan. Kepentingan mampu merubah peran stakeholder dari yang kurang penting menjadi penting atau sebaliknya. Perubahan otoritas dimungkinkan karena hal tersebut tergantung pada kebijakan yang berlaku. Pada kasus TWABK, apabila terjadi perubahan kebijakan bahwa pengelolaan TWABK beralih ke instansi lain (misalnya terjadi perubahan status dari kawasan lindung menjadi kawasan konservasi TWA) maka secara otomatis akan menggeser otoritas Disbudpar Sintang dalam pengelolaan kawasan dan beralih ke BKSDA Kalbar. Kondisi yang demikian akan merubah posisi dan peran Disbudpar Sintang dalam stakeholder grid pengelolaan TWABK. Perubahan kepentingan dapat dimisalkan apabila terdapat swasta yang tertarik menjadi investor/pengelola/pemanfaat jasa lingkungan wisata alam di TWABK. Saat ini, swasta dikategorikan crowd sehingga perannya tidak begitu penting dalam pengelolaan TWABK. Apabila skenario tersebut terwujud, maka akan terjadi pergeseran peran dalam pengelolaan TWABK, yang bersangkutan menjadi kategori lain sesuai dengan kepentingan dan pengaruhnya.

61 49 Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK Rangkuti (2000) menekankan pentingnya analisis lingkungan eksternal berupa peluang dan ancaman sebelum strategi diterapkan. Masalah strategis yang akan dimonitor harus ditentukan karena mungkin dapat mempengaruhi organisasi di masa datang. Faktor internal juga perlu dianalisis agar diketahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Manajemen puncak perlu menganalisis hubungan antara fungsi manajemen organisasi dengan mempelajari struktur, budaya, dan sumberdaya yang dimiliki sebuah organisasi. Strategi merupakan respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Analisis lingkungan merupakan pemahaman mendalam terhadap faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) TWABK. Analisis tersebut mencakup segala hal mengenai data-data internal dan kondisi lingkungan eksternal yang terjadi di sekitarnya. Faktor internal dan eksternal adalah faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan atau berpengaruh terhadap pengembangan ekowisata di TWABK. Identifikasi seluruh faktor tersebut kemudian dianalisis sehingga diketahui kondisi terkini kawasan TWABK dalam memanfaatkan sisi positif dan negatif yang dimilikinya. Analisis dilakukan dengan melakukan pembobotan, penentuan rating, dan penentuan skor (bobot x rating) masing-masing faktor internal dan eksternal TWABK. Tabel 10 menampilkan hasil evaluasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dalam pengembangan ekowisata TWABK. Tabel 10 Evaluasi Faktor Internal (EFI) TWABK Faktor Internal Bobot Rating Kekuatan Memiliki potensi ODTWA yang layak untuk dikembangkan untuk kegiatan ekowisata Daya dukung kawasan belum terlampaui untuk pengembangan ekowisata Sarana dan prasarana penunjang cukup memadai Kelemahan Ketidakjelasan status dan pengelola kawasan Belum memiliki dokumen perencanaan sesuai dengan status kawasan Skor (Bobot x Rating) 0,20 4 0,8 0,15 4 0,6 0,1 3 0,3 0,2 1 0,2 0,1 1 0,1 Belum ada blok pengelolaan 0,05 1 0,05 Belum tersedianya data potensi 0,05 1 0,05 kawasan secara menyeluruh Belum terjalin kemitraan dalam 0,05 1 0,05 pengelolaan Keterbatasan SDM pengelola. 0,05 1 0,05 Keterbatasan dana dan anggaran 0,05 1 0,05 Total 1,0 2,25

62 50 Sementara itu, hasil evaluasi terhadap faktor eksternal (peluang dan ancaman) dalam pengembangan ekowisata TWABK disajikan pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) TWABK Faktor Eksternal Bobot Rating Peluang Dukungan para pihak dalam pengembangan TWABK Skor (Bobot x Rating) 0,2 4 0,8 Ikon pariwisata Kab. Sintang 0,15 4 0,6 Berada di wilayah Heart of Borneo 0,05 3 0,15 Pembangunan bandara baru 0,05 2 0,1 Penerbangan rutin Sintang - 0,05 2 0,1 Pontianak PP, 2 x sehari Letaknya strategis 0,05 2 0,1 Ancaman Kebakaran dan perambahan hutan, perburuan, serta penambangan batu. 0,2 1 0,2 Potensi konflik pemanfaatan ruang 0,1 1 0,1 Ketergantungan masyarakat 0,1 1 0,1 terhadap kawasan Sampah dan vandalisme 0,05 2 0,1 Total 1,0 2,35 Nilai EFI sebesar 2,25 mengindikasikan bahwa pengelolaan TWABK hingga saat ini belum optimal atas berbagai kekuatan yang dimiliikinya, TWABK masih dalam kondisi yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kelemahan yang dimilikinya. Kelemahan-kelemahan TWABK masih dominan dalam menentukan kondisi terkini kawasan. Belum mantapnya kawasan (ketidakjelasan status dan pengelola kawasan, belum ada blok pengelolaan, dan dokumen perencanaan sesuai status), belum tersedianya data potensi secara menyeluruh, keterbatasan dana dan anggaran, keterbatasan SDM pengelola, serta belum terjalinnya kemitraan sangat mempengaruhi kondisi kawasan. Kejelasan status dan pengelola kawasan merupakan hal mendasar yang menjadi prasyarat mutlak dalam pengelolaan suatu kawasan harus terpenuhi sebelum dilakukan pengembangan. Kejelasan status memberikan dampak pada hak TWABK untuk dikelola sesuai dengan fungsinya. Kejelasan pengelola memberikan kepastian adanya penanggung jawab kawasan. Nilai EFE 2,35 mengindikasikan bahwa TWABK belum memperoleh manfaat optimal dari peluang dan masih sangat rentan terhadap ancaman yang dihadapinya. TWABK masih lemah dalam menghadapi dinamika lingkungan eksternal. Dampak kebakaran dan perambahan hutan, perburuan, penambangan batu, sampah dan vandalisme sangat mempengaruhi kondisi terkini kawasan. Selain itu ketergantungan masyarakat terhadap kawasan dan potensi konflik pemanfaatan ruang semakin melemahkan pengaruh peluang untuk dapat dimanfaatkan dengan baik dalam pengelolaan TWABK. Lingkungan internal TWABK mendapat tantangan besar untuk dapat memperoleh berbagai manfaat dari kekuatan yang dimilikinya. Di sisi lain, TWABK diharapkan senantiasa mampu mengatasi berbagai kelemahan yang

63 51 dipunyainya. Pada lingkungan eksternal, TWABK dituntut agar mampu memanfaatkan semua potensi peluang dan mampu mengatasi semua ancaman. Formulasi Strategi Rangkuti (2000) menyebutkan bahwa perencanaan strategis (formulasi strategis) adalah proses analitis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa analisis lingkungan organisasi sangat dibutuhkan. Formulasi strategis bertujuan untuk menyusun strategi sesuai dengan kebijakan organisasi. Formulasi strategi harus dilakukan agar mampu menyelesaikan masalah baik saat ini maupun yang diprediksi akan terjadi di masa datang. Rangkuti (2000) lebih lanjut menjelaskan bahwa analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan faktor internal. Analisis ini berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi sehingga dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu Strategi StrengthOpportunities (Strategi SO), Strategi Strength-Treaths (Strategi ST), Strategi Weakness-Opportunities (Strategi WO), dan Strategi Weakness- Treaths (Strategi WT), seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Pada analisis SWOT, kombinasi antara kekuatan-peluang, kekuatan-ancaman, kelemahan-peluang dan kelemahan-ancaman digunakan untuk melengkapi ketidaksempurnaan kondisi internal dan eksternal dalam bentuk pernyataan alternatif strategi pengembangan ekowisata di TWABK. Tabel 12 Matrik SWOT Pengembangan Ekowisata TWABK Faktor Eksternal Peluang (Opportunity) Ancaman (Threat) Faktor Internal Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness) Strategi SO : Strategi WO : 1. Pengembangan ekowisata 1. Pemantapan kawasan sesuai potensi ODTWA 2. Penyusunan rencana dan daya dukung kawasan pengelolaan 2. Publikasi dan Promosi 3. Kolaborasi pengelolaan Strategi ST : 1. Perlindungan dan pengamanan kawasan 2. Pendidikan lingkungan dan penyuluhan 3. Monitoring dan evaluasi dampak ekowisata Strategi WT : 1. Pembinaan masyarakat sekitar kawasan Pemantapan Kawasan TWABK Dalam penetapan statusnya, TWABK mengalami beberapa kali perubahan status, semula kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam berstatus sebagai hutan lindung, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 155/Kpts- II/1990 tanggal 10 April 1990 tentang Penunjukan kawasan kompleks Gunung Kelam yang terdiri dari Bukit Luit, Bukit Rentap dan Bukit Kelam itu sendiri dengan luas Ha sebagai Kawasan Hutan dengan fungsi Hutan Lindung. Pada tahun 1992, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

64 52 549/Kpts-II/1992 tertanggal 9 Juni 1992 kawasan Hutan Lindung Bukit Kelam ditunjuk dan dirubah fungsinya menjadi kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam dengan luas 520 Ha. Selanjutnya pada tahun 1999, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.405/Kpts-II/1999 tanggal 14 Juni 1999 menyatakan bahwa kawasan Hutan Gunung Kelam seluas Ha dengan fungsi hutan lindung. Terbitnya dua produk hukum yang berbeda ini menyebabkan tidak ada kejelasan status kawasan Bukit Kelam dan berimbas juga pada ketidakjelasan pihak pengelola. Menjadi hal yang penting dan perlu diprioritaskan kejelasan status kawasan agar tidak ada dualisme dan tumpang tindih hak pengelolaan. Berkaitan dengan pengelolaan ekowisata di kawasan konservasi, tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah konservasi, peningkatan ekonomi dan kepuasan pengunjung. Dengan demikian perlu disusun rencana pengelolaan dengann memperhatikan aspek pengelolaan berdasarkan blok pengelolaan. Menurut MacKinnon et al. (1993) untuk tujuan pemenfaatan kawasan yang dilindungi/konservasi akan dibagi dalam beberapa blok pengelolaan yang berbeda, penetapan blok pada kawasan konservasi penting dalam pengelolaan. Dengan adanya pembagian blok, pengelolaan akan lebih efektif dan efisien dalam menjaga fungsi dan kelestarian kawasan. Sesuai dengan prinsip pengelolaan dan mencapai tujuan pengelolaan maka kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam perlu ditata ke dalam blok pengelolaan, yaitu : blok perlindungan dan blok pemanfaatan yang masing-masing disesuaikan dengan kondisi dan potensinya. Di dalam blok perlindungan dapat dilakukan kegiatan monitoring sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan wisata terbatas. Untuk itu di dalam blok ini dapat dibangun sarana dan prasarana untuk kegiatan yang dimaksud. Namun demikian di dalam blok perlindungan tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat merubah bentang alam. Sedangkan di dalam blok pemanfaatan dapat dilakukan pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam. Di dalam blok pemanfaatan juga dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis sepanjang untuk menunjang kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, restrocking dan budidaya oleh masyarakat setempat. Untuk menunjang kegiatan di dalam blok pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam yang dalam pembangunannya memperhatikan gaya arsitekstur daerah setempat. Namun demikian blok pemanfaatan tidak dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan yang bersifat merubah bentang alam. Pembagian blok ini dan penetapannya harus melalui kajian yang mendalam dengan memperhatikan bentang alam dan ekosistemnya. Untuk itu diperlukan pengkajian khusus yang melibatkan kegiatan inventarisasi untuk mengetahui penyebaran flora fauna dan potensi ODTWA. Pengembangan Ekowisata Sesuai Potensi ODTWA dan Daya Dukung Kebutuhan untuk pengembangan wisata alam di kawasan konservasi perlu direncanakan dengan memperhatikan keterbatasan daya dukung areal wisata alam di satu sisi dan tingginya kepentingan ekonomi di sisi lain. Eksploitasi berlebihan dapat berdampak pada menurunnya respon kepuasan berwisata dan menurunnya kelestarian ekosistem kawasan konservasi. Upaya untuk mewujudkan

65 53 pembangunan pariwisata alam berkelanjutan di kawasan konservasi akan cenderung bergerak ke aspek ekonomi dibandingkan ke aspek ekologi. Besarnya potensi ODTWA dan belum terlampauinya daya dukung menjadikan TWABK layak dikembangkan untuk ekowisata. Ekowisata sangat mengandalkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi ODTWA sangat menentukan keberlanjutan TWABK. Pihak pengelola dituntut untuk mampu mengembangkan produk ekowisata yang khas dan unik dan mengemasnya dalam suatu produk yang selaras dengan kecenderungan pasar tanpa mengabaikan fungsi perlindungan kawasan. Daya dukung merupakan faktor pembatas dalam pengembangan produk ekowisata, jika daya dukung TWABK terlampaui, maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya. Pengembangan ekowisata semestinya tidak semata dipandang sebagai sebuah aktifitas pembangunan biasa saja. Ekowisata semestinya dikembangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan demikian ekowisata akan menjadi piranti demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Penyusunan Rencana Pengelolaan TWABK Didasarkan pada beragamnya fungsi kawasan dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing dan total cakupan areal yang relatif luas, dalam mengelola kawasan konservasi diperlukan adanya suatu rencana pengelolaan yang jelas, bersifat komprehensif, dan dapat mengakomodasi setiap kemungkinan pengembangannya. Rencana pengelolaan ini diperlukan, baik oleh pengelola maupun pihak lain yang berminat mengembangkan segala aspek yang terkandung dalam kawasan konservasi. Rencana pengelolaan TWABK dapat terdiri dari 3 yaitu rencana pengelolaan jangka panjang; rencana pengelolaan jangka menengah; dan rencana pengelolaan jangka pendek. Rencana pengelolaan jangka pendek dibutuhkan sebagai landasan untuk menyusun rencana pengelolaan jangka menengah dan pendek. Selain itu, dengan adanya rencana pengeloaan jangka panjang maka diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, baik bagi pihak pengelola maupun para stakeholder, yang memiliki perhatian dan rencana-rencana kegiatan untuk berkarya di dalam kawasan TWABK. Kejelasan status kawasan akan menentukan penyusunan rencana pengelolaan TWABK terutama pengembangan ekowisata. Penyusunan rencana pengelolaan dilaksanakan dengan melibatkan stakeholder terutama masyarakat di sekitar kawasan melalui konsultasi publik dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Proses perencanaan diharapkan terpadu, melibatkan semua pihak dan mengacu kepada rencana pengembangan lokal, regional dan nasional. Kolaborasi Pengelolaan TWABK Konsep dan program pengembangan ekowisata pada dasarnya menuntut adanya kerja sama dan pelibatan antara pihak-pihak yang berkepentingan meliputi berbagai keahlian mulai dari perencanaan sampai ke implementasi. Sementara

66 54 pengembangan ekowisata TWABK membutuhkan kerja sama yang lebih sinergi, adatif antara pemangku kawasan pelestarian alam dan masyarakat sekitar serta pihak swasta, maka ekowisata diyakini mampu menjadi alat konservasi. Peranan badan usaha pemerintah sangat penting dalam membina, mengawasi, dan mengarahkan usaha-usaha dibidang kepariwisataan, khususnya ekowisata. Pemerintah mesti melaksanakan fungi kontrol agar pembangunan suatu ODTWA tidak justru merugikan masyarakat setempat. Pemerintah juga harus tetap mengakomodir keinginan masyarakat melalui kordinasi yang terarah. Kebijakan pengelolaan kolaboratif dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan kolaboratif mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat, yang selain bersifat partisipatif juga mengandung maksud adanya pembagian peran, manfaat dan tanggung jawab. Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan nantinya adalah : 1. Implementasi kegiatan dalam pelaksanaan pengelolaan kolaboratif KSA dan KPA yang meliputi : a. Proses persiapan kemitraan para pihak pemangku kepentingan b. Hubungan antar para pihak (agar konsisten dengan penyebutan sebelumnya, yaitu masyarakat atau para pihak sudah termasuk pemerintah dan pemerintah daerah) dengan pemerintah dan pemerintahan daerah, antara para pihak, antar pemerintah dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan KSA dan KPA dan hubungan para pihak dengan KSA dan KPA. c. Pembagian peran dan tanggung jawab para pihak dalam melakukan inisiasi pengembangan rencana dan kesepakatan bersama serta pelaksanaan rencana dan kesepakatan tersebut. 2. Arah peraturan pengelolaan kolaboratif adalah untuk mencapai kondisi-kondisi pengelolaan KSA dan KPA sebagai berikut : a. Pengelolaan yang efektif dengan mendayagunakan pengetahuan, kemampuan sumber daya dan keunggulan komparatif dari berbagai pihak kepentingan yang hanya melalui pengelolaan kolaboratif hal tersebut dapat terpenuhi b. Terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam, karena publik adalah pembayar pembangunan konservasi dan pembangunan, sehingga amat wajar kalau suara aspirasinya dapat diperhitungkan dalam proses pengembilan keputusan pengelolaan sumber daya alam c. Terpenuhinya keinginan para pihak kepentingan untuk mengakhiri konflik tanpa adanya pihak yang dikalahkan (win-win solution) dan keinginan para pihak merubah perilaku yang semula merusak sumber daya alam Pelaksanaan Pengelolaan Kolaboratif dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : 1. Persiapan para pihak dimaksudkan untuk melakukan penilaian kebutuhan dan kelayakan 2. Pengembangan dan pelaksanaan rencana dan kesepakatan bersama para pihak 3. Pelaksanaan rencana dan kesepakatan bersama para pihak 4. Pengembangan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif

67 55 Obyek yang akan diatur adalah masyarakat dan para pihak yang akan melaksanakan pengelolaan kolaboratif di KSA dan KPA. Kegiatan interaksi masyarakat dan para pihak yang terlibat dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif di KSA dan KPA yang meliputi penataan kawasan, pemanfatan kawasan penelitian dan pengembangan, dan perlindungan dan pengamanan potensi kawasan. Jenis Kegiatan di KSA dan KPA yang menjadi sasaran kegiatan pengelolaan kolaboratif adalah : 1. Penataan Kawasan 2. Pemanfaatan kawasan 3. Penelitian dan pengembangan 4. Perlindungan dan Pengamanan Potensi Kawasan 5. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam rangka mendukung pengelolaan KSA dan KPA 6. Pembangunan Sarana dan Prasarana dalam rangka menunjang pelaksanaan kolaborasi 7. Pembinaan Partisipasi Masyarakat Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Perlindungan dan pengamanan kawasan merupakan upaya untuk melindungi dan mengamankan kawasan TWABK dari gangguan manusia maupun gangguan lainnya, seperti kebakaran hutan, perburuan liar, penebangan liar, perambahan kawasan, penambangan batu, hama dan penyakit, dan lain-lain. Kegiatan pengamanan tidak hanya dilakukan terhadap kawasan hutan, tetapi dilakukan juga terhadap pengunjung agar mereka merasa aman, nyaman dan peduli terhadap upaya konservasi alam. Kegiatan perlindungan dan pengamanan pada dasarnya dilaksanakan melalui upaya pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum. Pembinaan Masyarakat Sekitar Kawasan Masyarakat yang berada disekitar kawasan TWABK telah lama menyatu dan bergantung pada sumber daya alam yang terdapat dalam kawasan. Ketergantungan ini tidak dapat dirubah begitu saja (dalam arti dipindahkan atau enklave). Perhatian khusus yang akan diberikan guna mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan yaitu dengan mengadakan suatu program yang dapat mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik itu berupa pelatihan dan pendidikan ataupun berupa bantuan lainnya. Untuk mencapai tujuan pengelolaan perlu adanya keikutsertaan masyarakat setempat dalam sistem pengelolaan. Masyarakat disekitar kawaan mengetahui banyak tentang kawasan ini dan secara tradisionil telah menikmati hasil hutan untuk menunjang keperluan hidup mereka sehingga kawasan hutan merupakan bagian dari kehidupan mereka. Untuk itu kepentingan masyarakat setempat perlu diakomodir atau dicari alternatif pengganti sehingga tidak timbul konflik kepentingan antara kepentingan pengelolaan dengan kebutuhan masyarakat setempat, sebagai contoh yaitu dengan pembentukan desa wisata Pendidikan Lingkungan dan Penyuluhan Pendidikan lingkungan dan penyuluhan bertujuan untuk menyadartahukan dan menumbuhkembangakan kesadaran masyarakat sekitar kawasan tentang

68 56 konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sikap dan perilaku masyarakat yang belum sadar lingkungan dapat membawa dampak negatif. Sikap dan perilaku masyarakat adalah buah dari kebiasaan yang telah dilakukan dalam periode waktu lama sehingga dianggap sebagai hal lumrah. Kebiasaan negatif akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Pendidikan lingkungan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan dalam usaha memperbaiki sikap dan perilaku. Secara spesifik, pendidikan lingkungan adalah solusi. Pendidikan lingkungan harus dilakukan sedini mungkin. Masukan positif berupa kesadaran lingkungan akan menjadi modal untuk perubahan besar dalam masyarakat. Masyarakat dengan kebiasaan tertentu (negatif) akan sulit untuk beralih pada kebiasaan baru (positif). Merubah kebiasaan berarti merubah pemahaman dan wawasan. Perubahan membutuhkan waktu yang lama dan kerja keras Perubahan lingkungan tidak bisa dilakukan serta merta, butuh proses yang panjang, keterlibatan semua pihak, dan keseriusan dalam melakukannya. Merubah pemahaman lingkungan dapat dilakukan melalui penyuluhan terhadap masyarakat. Penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan dan dengan frekuensi tinggi. Monitoring dan Evaluasi Dampak Kegiatan Wisata Suatu hal penting bagi pengelola TWABK adalah mengevaluasi berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan yang sudah dilaksanakan terutama terkait wisata. Monitoring dan evaluasi di dalam kawasan TWABK akan berhubungan dengan timbulnya dampak negatif atas pemanfaatan TWABK sesuai dengan fungsinya. Monitoring dan evaluasi akan terdiri dari tiga komponen, yaitu kondisi fisik;keadaan biologi di dalam kawasan dan kondisi sosial masyarakat. Monitoring kondisi fisik berkenaan dengan pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang pengelolaan TWABK, seperti misalnya pembangunan sarana dan prasarana wisata. Monitoring dalam arti pencegahan timbulnya hal-hal negatif yang berkenaan dengan kegiatan ini perlu dilakukan, sementara itu evaluasi terhadap keberadaan sarana maupun prasarana akan dilakukan secara terus menerus sehingga dampak-dampak yang tidak diinginkan dapat dicegah dengan cepat. Monitoring dan evaluasi kondisi biologis dimaksud untuk memberi perlindungan pada keanekaragaman jenis baik flora maupun fauna yang merupakan aset dan kekayaan TWABK. Inventarisasi secara berkala terutama terhadap jenis-jenis tumbuhan dan satwa langka, dilindungi undang-undang dan khas TWABK akan dilakukan secara rutin dan kontinyu. Dengan demikian naik turunnya jumlah populasi tumbuhan dan satwa tersebut dapat diketahui secara pasti dan tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan dapat dilaksanakan secara terarah dan pasti. Monitoring dan evaluasi kondisi sosial masyarakat dilakukan untuk mengetahui dampak pengelolaan kawasan terhadap tingkat kertergantungan masyarakat terhadap kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kegiatan dan program pengelolaan TWABK tidak hanya berdampak pada kelestarian kawasan namun juga terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.

69 57 Publikasi dan Promosi TWABK Publikasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membuat berita berkaitan dengan pengelolaan TWABK. Promosi diartikan sebagai kegiatan atau cara untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan bahan publikasi TWABK kepada khalayak ramai. Publikasi dan promosi adalah memperkenalkan kegiatan, produk, atau jasa kepada masyarakat. Publikasi dan promosi berperan penting dalam menciptakan citra positif masyarakat terhadap suatu kegiatan, produk, dan jasa lingkungan TWABK. Pemilihan teknik, media, dan komunikator publikasi dan promosi menjadi kunci sukses dalam pengenalan TWABK kepada publik. Keberhasilan publikasi dan promosi dapat dilihat dari peningkatan kunjungan masyarakat ke TWABK; antusiasme partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TWABK, dan meningkatnya minat stakeholder terhadap TWABK. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. TWABK memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang layak untuk dikembangkan, namun memiliki beberapa hambatan dan kendala untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata. ODTWA yang berpotensi untuk dikembangakan yaitu : (1) panorama alam Bukit Kelam; (2) jalan lingkar kelam; (3) jalur pendakian; (4) puncak Bukit Kelam; (5) daerah kaki Bukit Kelam; (6) lereng tebing Bukit Kelam; (7) wisata rohani Goa Maria; dan (8) wisata agro. 2. Daya dukung efektif (ECC) kawasan TWABK untuk ekowisata adalah sebesar 196 orang/hari. 3. Stakeholder TWABK terbagi dalam empat kategori, yaitu (1) Key players terdiri dari terdiri dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang dan masyarakat; (2) Context setters terdiri dari LSM; (3) Crowd terdiri dari swasta; (4) Subjects terdiri dari pengunjung, akademisi dan perusahaan air minum isi ulang. 4. Perumusan strategi pengembangan ekowisata di TWABK menghasilkan 9 strategi, yaitu : (1) pemantapan kawasan; (2) penyusunan rencana pengelolaan; (3) pengembangan ekowisata sesuai potensi dan daya dukung kawasan; (4) publikasi dan promosi; (5) perlindungan dan pengamanan kawasan; (6) kolaborasi pengelolaan; (7) pendidikan lingkungan dan penyuluhan; (8) pembinaan masyarakat; dan (9) monitoring dan evaluasi dampak ekowisata. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai strategi yang menjadi prioritas dalam pengelolaan TWABK terutama setelah status, fungsi dan pengelola kawasan jelas.

70 58 2. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai kondisi dinamis kawasan terkait penyelenggaraan kegiatan wisata agar tujuan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Abbas R Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman Nasional Gunung Rinjani [Disertasi]. Bogor (ID). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Armayadi D Nilai-Nilai Budaya dan Pengalaman Masyarakat Dayak dalam Membangun Perdamaian di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. PRCF Indonesia didukung oleh CRS Indonesia. Kalimantan Barat. Bahar A Kajian Kesesuian dan Daya Dukung Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata di Gugus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bryson MJ Strategic Planning Guide for Public and Non-Profit Organization: Guide to Strengthening a Sustaining Organizational Achievement. Jossey Bass Publisher. San Fransisco. [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Laporan Identifikasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam TWA Bukit Kelam Kabupaten Sintang. Kalimantan Barat (ID): Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Barat. Cifuentes M Determinacion de Capacidad de Carga Truistica en Areas Protegidas. Publicacion Patrocinada Por el Fondo Mundial para la Naturaleza-WWF. Serie Tecnica Informe Tecnico No Centro Agronomico Tropical de Investigacion Y Ensenanza CATIE, Programa de Manejo Integrado de Recursos Naturales. Turrialba, Costa Rica. Damanik J, Weber FH Perencanaan Ekowisata : dari teori ke aplikasi. Yogyakarta: CV. Andi Offset. [Dephut] Departemen Kehutanan Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta (ID) : Departemen Kehutanan Republik Indonesia. [Dephut] Departemen Kehutanan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID) : Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Kemungkinan Meningkatkan Ekowisata. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. [Internet]. [diunduh 2014 Januari 23]. Tersedia pada : [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam. Bogor (ID) : Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. [Ditjen PKKH] Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kriteria

71 Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional dalam rangka Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. [Internet]. [diunduh 2014 Januari 23]. Tersedia pada : [Dit PP] Direktorat Produk Pariwisata Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata. Jakarta (ID) : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Eplerwood M Succesful Ecotourism Business. The Right Approach. World Ecotourism Conference Kota Kinibalu Sabah. Fandeli C, dan Mukhlison Pengusahaan Ekowisata. Pustaka Pelajar kerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fandeli C Perencanaan Kepariwisataan Alam. (Cetakan I). (Persero) Perhutani dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fandeli C, Muhammad Prinsip-Prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Fennell DA Ecoturism An Introduction. Routledge Taylor and Francis Group. London and New York. Ferrel OC, Hartline Marketing Management Strategies. [Internet]. [diunduh 2014 Januari 23]. Tersedia pada : Gunawan MP, Lubis SM, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup : Proyek Agenda 21 Sektoral, United Nation Development Program (UNDP); Indonesia Agenda Pariwisata Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Proyek Agenda 21 Sektoral. Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan UNDP. Gunn C.A Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Tylor & Francis Ltd. London. Hakim L Dasar-Dasar Ekowisata. Bayumedia Publishing. Malang. Jatim. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Matzarakis A Tourism and Hospitality Planning and Development. Weather-and Climate-Related Information for Tourism. Vol. 3. No. 2: 101. [Pemprov Kalbar] Biro Kependudukan dan Catatan Sipil Statistik Penduduk. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 11]. Tersedia pada : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Periwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 59

72 60 Purnomo H Kajian Potensi dan Daya Dukung Ekowisata di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu Jawa Timur. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Race D, Millar J Training Manual: Sosial and community dimensions of ACIAR Projects [Internet]. [diunduh 2014 April 22]. Tersedia pada : Rangkuti F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morrs J, Prell C, Quinn CH, Stringer LC Who s in and Why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management. Rosalino, Luis M and Grilo, Clara What drives visitors to Protected Areas in Portugal : accessibilities, human pressure or natural resources? Journal of Tourism and Sustainability 1 (1) : Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor. Sekartjakrarini S Kriteria dan Indikator Ekowisata Indonesia. IdeA. Bogor. Siburian R Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser bagian Bukit Lawang Berbasis Ekowisata. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. VIII No.I/2006. Hal Jakarta. Spillane, James J Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius Soedarto G Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yayasan Kalpataru Bahari Yayasan Kehati. Bekasi. Soemarwoto O Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi ke- 10. Penerbit Djambatan. Jakarta. Start D, Hovland I Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers. Research and Policy in Development Programme - Overseas Development Institute. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 26] Tersedia pada : Sulhtoni A Pengembangan Ekowisata dalam Kawasan Konservasi dalam pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suwena K. I. dan Widyatmaja Ngr Gst I Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Udayana University Press Bali. Tangkilian HG Manajemen Modern untuk sektor Publik : Strategic Total Quality Management Balance Scorecard Scenario Planning. Balairung & Co. Jakarta. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Warpani PS, dan Warpani PI Pariwisata Dalam Tata Ruang Wilayah. ITB Bandung. Widada Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efektif Melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi yang Sejahtera. Ditjen PHKA - JICA. Jakarta.

73 Yoeti Ecotourisme Pariwisata Berwawasan Lingkungan. PT. Pertja. Jakarta 61

74 62 Lampiran 1 Kriteria Penilaian Daya Tarik Obyek Wisata Berdasarkan Pedoman ADO-ODTWA, Dirjen PHKA, I. Penilaian Daya Tarik Obyek Wisata Darat Bobot : 6 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI Keindahan Alam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Pandangan lepas di dalam obyek b. Variasi pandangan di dalam obyek c. Pandangan lepas menuju obyek d. Keserasian warna dan bangunan dalam obyek e. Pandangan/kondisi lingkungan obyek Keunikan sumber daya alam : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Sumber air panas b. Gua c. Air terjun d. Flora fauna e. Adat istiadat / budaya Banyaknya jenis sumberdaya alam yang menonjol: Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala alam Keutuhan sumber daya alam : Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 Tidak Ada a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Ekosistem Kepekaan SDA : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Goelogi/Batuan b. Flora c. Fauna d. Erosi e. Ekosistem Jenis kegiatan/aktivitas wisata alam : > Ada 1 a. Trecking b. Mendaki c. Rafting d. Camping e. Pendidikan f. Religius g. Hiking h. Canoing i. Memancing Kebersihan lokasi (tidak ada pengaruh) dari : Ada 7 a. Alam b. Industri c. Jalan ramai (kebisingan kendaraan bermotor) d. Pemukiman penduduk e. Sampah f. Binatang (pengganggu) g. Corat-coret (vandalisme) Keamanan kawasan : Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Penebangan liar dan perambahan b. Kebakaran c. Gangguan terhadap flora / fauna d. Masuknya flora / fauna e. Eksotik Jumlah Nilai

75 63 II. Penilaian Potensi Pasar No UNSUR/SUB UNSUR NILAI 1. Jumlah Penduduk / Propinsi (x 1000) > Bobot : < Kepadatan penduduk/km 2 < > Tingkat kebutuhan wisata Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Tingkat pendapatan perkapita tinggi b.tingkat kesejahteraan baik c. Tingkat kejenuhan penduduk tinggi d.kesempatan ada e. Perilaku berwisata Jumlah Nilai III. Penilaian Kadar Hubungan/Aksesibilitas Bobot : 5 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI 1. Kondisi jalan darat dari ibukota Baik Cukup Sedang Buruk propinsi < 75 kilometer kilometer kilometer >225 kilometer Pintu gerbang udara Jarak dalam Km internasional/domestik s/d >600 Jayapura/ Pekanbaru/ Ambon/ Kupang - Medan/ Manado Denpasar Jakarta Waktu tempuh dari ibukota propinsi Waktu tempuh (dalam jam) > Frekuensi kendaraan umum dari pusat informasi ke obyek (buah/hari) > < Jumlah Nilai 250

76 64 IV. Penilaian Kondisi Sekitar Kawasan Bobot 5 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI 1 Tata ruang wilayah Ada dan Ada tapi tidak Dalam proses Tidak ada obyek sesuai sesuai penyusunan Tingkat pengangguran >15% 10-15% 5-9% < 5% Mata pencaharian penduduk Sebagian besar buruh 4 Ruang gerak pengunjung (ha) 5 Pendidikan Sebagian besar lulusan SLTA ke atas Sebagian besar pedagang dan pengrajin Petani/ nelayan Pemilik lahan/ kapal/pegawai > < Sebagian Sebagian besar lulusan besar lulusan SLTP SD Sebagian besar tidak lulus SD Tingkat kesuburan Tidak subur/ tanah kritis Sedang Subur Sangat subur Sumber daya alam Tidak Kurang Sangat Potensial potensial potensial potensial Tanggapan masyarakat Sangat Cukup Kurang Mendukung terhadap mendukung mendukung mendukung pengembangan OWA Jumlah Nilai 900 V. Penilaian Pengelolaan dan Pelayanan Bobot 4 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI 1 Pengelolaan Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Perencanaan Obyek b. Pengorganisasian c. Pelaksanaan/operasional d. Pengendalian pemanfaatan Kemampuan berbahasa Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Daerah setempat b. Indonesia c. Inggris d. Asing lainnya Pelayanan pengunjung Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Keramahan b. Kesiapan c. Kesanggupan d. Kemampuan komunikasi Jumlah Nilai 300

77 65 VI. Penilaian Iklim UNSUR/SUB No UNSUR 1 Pengaruh iklim terhadap lama waktu kunjungan 2 Suhu udara pada musim kemarau ( 0 C) 3 Jumlah bulan kering rata-rata per tahun NILAI Bobot bln 7-9 bln 4-6 bln 2-3 bln < 2 bln / / / >30 / < bln 7 bln 6 bln 5 bln 4 bln Kelembaban ratarata per tahun >65% 60-65% 59-55% 54-45% <45% Jumlah Nilai 320 VII. Penilaian Akomodasi Bobot 3 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI 1 Jumlah kamar (buah) > a/d Jumlah Nilai 30 Keterangan : Akomodasi dalam radius 15 km dari obyek VIII. Penilaian Sarana dan Prasarana Penunjang Bobot 3 MACAM No UNSUR / SUB UNSUR > 4 macam 3 macam 2 macam 1 macam Tidak ada NILAI 1 Sarana a. Akomodasi b. Rumah makan/minum c. Sarana wisata tirta d. Sarana wisata budaya e. Sarana angkutan umum f. Kios cenderamata Prasarana a. Jalan b. Jembatan c. Areal parkir d. Jaringan listrik e. Jaringan air minum f. Jaringan telepon g. Jaringan drainase/ saluran h. Sistem pembuangan limbah i. Dermaga / pelabuhan j. Helipad Jumlah Nilai

78 66 IX. Penilaian Ketersediaan Air Bersih Bobot 6 No UNSUR NILAI 1 Volume Banyak Cukup banyak Sedikit Sangat sedikit Jarak lokasi air 0-1 km 1,1 2 km 2,1 4 km > 4 km bersih terhadap lokasi obyek Dapat tidaknya air Sangat mudah Mudah Agak Sukar Sukar dialirkan ke obyek Kelayakan dikonsumsi Dapat langsung dikonsumsi Perlu perlakuan sederhana Perlakuan dengan bahan Tidak layak kimia Ketersediaan Sepanjang 6-9 bulan 3-6 bulan < 3 bulan tahun Jumlah Nilai 840 X. Penilaian Hubungan dengan Obyek Wisata di Sekitarnya No Jarak (km) Obyek wisata Jumlah Obyek Wisata NILAI Bobot 1 Jumlah 1 s/d 50 Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis XI. Penilaian Keamanan Bobot 5 No UNSUR / SUB UNSUR NILAI 1 Keamanan pengunjung Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Tidak ada binatang penggangu b. Tidak ada situs berbahaya dan tanah labil c. Jarang gangguan Kamtibmas d. Bebas kepercayaan (mengganggu) Kebakaran (berdasarkan Tidak Alam penyebab disengaja Disengaja Lain-lain 3 Penebangan liar (untuk keperluan) 4 Perambahan (penggunanan lahan Sendiri Kepentingan umum diperjualbelikan Perdagan gan besar liar Perladangan Perladangan Perkebunan berpindah menetap Jumlah Nilai 500 Pemukim an

79 67 XII. Penilaian Daya Dukung Kawasan Bobot 3 No UNSUR/SUB UNSUR NILAI 1 Jumlah pengunjung < > 200 (orang/hari/ha) Kepekaan tanah terhadap Tidak peka Kurang peka Peka Sangat peka erosi Kemiringan lahan (%) > Jenis kegiatan Penelitian Rekreasi alam Berkemah Mendaki gunung Luas unit zona > < 50 pemanfaatan (ha) Jumlah Nilai 345 XIII. Penilaian Pengaturan Pengunjung Bobot 3 No UNSUR / SUB UNSUR NILAI Kenyamanan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Pembatasan pengunjung b. Distribusi pengunjung c. Pemusatan kegiatan pengunjung d. Lama tinggal kunjungan e. Musim kunjungan Jumlah Nilai 30 XIV. Pemasaran Bobot 4 No UNSUR / SUB UNSUR NILAI Bauran pemasaran Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1 a. Tarif/harga terjangkau b. Produk wisata (ODTWA) bervariasi c. Sarana penyampaian informasi d. Promosi Jumlah Nilai 120 XV. Pangsa Pasar No UNSUR NILAI 1 Asal Pengunjung (mayoritas) Wisman Wisnus (luar kabupaten) Wisnus (dalam kabupaten) Bobot 3 Wisnus (masyarakat lokal) Tingkat pendidikan Perguruan (mayoritas) Tinggi SLTA SLTP SD Mata pencaharian Pengusaha Pegawai swasta/ Petani/ nelayan Buruh (wiraswasta) Pegawai negeri Jumlah Nilai 210

80 68 Total Nilai = Jumlah Nilai I + II + III + IV + V + VI + VII + VIII + IX + X + XI + XII + XIII + XIV + XV = = 5780 Hasil penilaian terhadap unsur dan sub unsur tiap-tiap kriteria ODTWA di kawasan TWABK kemudian diklasifikasikan tingkat kelayakannya untuk pengembangan potensi ODTWA. Pengklasifikasian tingkat kelayakan potensi ODTWA di kawasan TWABK menggunakan perhitungan sebagai berikut : Banyaknya klasifikasi = 3 (tiga), yaitu : 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Nilai maksimal dan nilai minimal kriteria penilaian ODTWA di kawasan TWABK No Kriteria Penilaian Nilai Minimal Maksimal Interval Nilai 1 Daya tarik ODTWA berbentuk darat 2 Potensi pasar Kadar hubungan / aksesibilitas Kondisi sekitar kawasan Pengelolaan dan pelayanan ,33 6 Iklim Akomodasi Sarana dan prasarana penunjang Ketersediaan air bersih Hubungan dengan obyek wisata di ,33 sekitarnya 11 Keamanan ,67 12 Daya dukung kawasan Pengaturan pengunjung Pemasaran ,33 15 Pangsa pasar ,67 Nilai interval yang didapat untuk tiap-tiap kriteria kemudian digunakan untuk klasifikasi kriteria potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) di Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) sesuai nilai interval tiap-tiap kriteria. Klasifikasi dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu rendah, sedang dan tinggi, seperti terlihat di bawah ini :

81 69 Klasifikasi penilaian kriteria potensi ODTWA di kawasan TWABK No Kriteria Penilaian Klasifikasi Rendah Sedang Tinggi 1 Daya tarik ODTWA berbentuk darat 2 Potensi pasar Kadar hubungan/ aksesibilitas Kondisi sekitar kawasan Pengelolaan dan pelayanan ,33 173,34-266,67 266, Iklim Akomodasi Sarana dan prasarana penunjang Ketersediaan air bersih Hubungan dengan obyek wisata 0-33,33 33,34-66,67 66, di sekitarnya 11 Keamanan ,67 366,68-483,33 483, Daya dukung kawasan Pengaturan pengunjung Pemasaran 20-53,33 53,34-86,67 86, Pangsa pasar Jumlah , , , , Klasifikasi hasil penilaian kriteria potensi ODTWA di kawasan TWABK No Kriteria Penilaian Nilai Klasifikasi 1 Daya tarik ODTWA berbentuk darat 1290 Tinggi 2 Potensi pasar 365 Rendah 3 Kadar hubungan/ aksesibilitas 250 Rendah 4 Kondisi sekitar kawasan 900 Sedang 5 Pengelolaan dan pelayanan 300 Tinggi 6 Iklim 320 Sedang 7 Akomodasi 30 Rendah 8 Sarana dan prasarana penunjang 180 Tinggi 9 Ketersediaan air bersih 840 Tinggi 10 Hubungan dengan obyek wisata di 100 Tinggi sekitarnya 11 Keamanan 500 Tinggi 12 Daya dukung kawasan 345 Tinggi 13 Pengaturan pengunjung 30 Rendah 14 Pemasaran 120 Tinggi 15 Pangsa pasar 210 Sedang Jumlah 5780 Sedang

82 70 Lampiran 2 Perhitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung riil (RCC) dan daya dukung efektif (ECC). 1. Daya Dukung Fisik (PCC) Untuk menghitung PCC TWABK, asumsi dasar yang digunakan berdasarkan hasil pengamatan di kawasan TWABK yaitu Kawasan TWABK merupakan kawasan konservasi dengan satatus TWA sesuai SK Menhut No. 594/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992 dengan luas kawasan ± 520 Ha. Kawasan TWABK memiliki beberapa potensi ODTWA yang khas dan unik dan dapat dikembangkan untuk ekowisata. Luasan kawasan TWABK yang akan direncanakan sebagai blok pemanfaatan adalah 25 % dari luas kawasan yaitu 130 Ha. Sedangkan luasan kawasan TWABK yang diproyeksikan dapat digunakan oleh pengunjung adalah 10 % dari luas blok pemanfaatan yaitu 13 Ha Menurut Fandeli dan Muhammad (2009), kebutuhan ruang pengunjung untuk berwisata adalah.seluas 60 m 2. Rerata waktu yang dihabiskan untuk satu siklus kunjungan adalah 2 jam. Kawasan dibuka dari jam ( ± 8 jam per hari). Untuk menuju obyek tidak dibutuhkan jarak antar setiap kelompok dan jumlah pengunjung dalam kelompok tidak diperhitungkan. Daya dukung fisik kawasan TWABK dihitung dengan rumus (Fandeli dan Muhammad, 2009) : Dimana : A = m 2 B = 60 m 2 1/B = 1/60 m 2 = 0,0167 Rf = Jam bukatwabk : rata-rata waktu satu kali kunjungan 2. Daya Dukung Riil Nilai faktor koreksi kelerengan kawasan TWABK. Kelas Lereng Kelerengan (%) Luas Area (%) Tingkat Kelerengan Nilai Faktor koreksi kelerengan ,4 Datar 20 3, ,6 Landai 40 14, ,1 Agak Curam ,6 Curam 80 10,8 5 > 40 21,3 Sangat curam ,3 Jumlah 56,88 Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/UM/11/1980 Sumber data : BKSDA Kalbar

83 71 Nilai faktor koreksi kepekaan erosi tanah kawasan TWABK. Kelas Tanah Klasifikasi Jenis Tanah Kepekaan Erosi Tanah Nilai Faktor Koreksi Kepekaan Erosi Tanah 1 Alluvial, tanah glei, panasol, hidromorf kelabu, lateria air tanah. Tidak peka 15 2 Latosol Agak peka 30 3 Brown forest soil, non calcic Kurang peka Andosol,lateritk, gromosol, podsolik Peka 60 5 Regosol, litosol, organosol, renzina. Sangat peka 75 Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/UM/11/1980. Sumber data : BKSDA Kalbar Nilai faktor koreksi potensi lanskap kawasan TWABK Unsur Lanskap Kriteria Skor Nilai Bentuk lahan Bukit rendah dan berombak; bukit di kaki gunung atau dasar lembah bukan ciri-ciri lansekap yang menarik. 1 Ngarai lereng yang curam,kerucut gunung api atau pola-pola erosi yang menarik atau variasi ukuran dan bentuk lahan atau 3 ciri-ciri detil yang dominan. 5 Relief vertikal yang tinggi yang ditujukan adanya puncak mencolok; singkapan batuan raksasa atau variasi permukaan yang menakjubkan; formasi-formasi yang mudah tererosi atau 5 ciri dominan yang sangat mencolok. Vegetasi Sedikit atau tidak ada perbedaan vegetasi. 1 Beberapa jenis vegetasi tetapi hanya 1-2 jenis yang dominan. 3 5 Sebuah variasi dan tipe vegetasi yang ditunjukkan dengan pola, 5 tekstur dan bentuk yang menarik. Warna Variasi warna yang halus dan kontras.umumnya bersifat mati. 1 Terdapat jenis-jenis warna.ada pertentangan dari tanah,batu dan 3 vegetasi tetapi bukan pemandangan yang dominan. 3 Kombinasi warna yang beragam jenis atau pertentangan yang indah dan warna tanah, batu, vegetasi air dan lain-lain. 5 Pemandangan Pemandangan di dekatnya sedikit tidak berpengaruh terhadap kualitas pemandangan. 0 Pemandangan di dekatnya cukup berpengaruh terhadap kualitas pemandangan. 3 5 Pemandangan di dekatnya sangat berpengaruh terhadap kualitas pemandangan. 5 Kekhasan Mempunyai latar belakang yang menarik tetapi hampir sama dengan keadaan umum dalam suatu daerah. 1 Khas meskipun hampir sama dengan daerah tertentu. 3 5 Suatu area yang khas/ berbeda dengan obyek lainnya sehingga menimbulkan kesan. 5 Modifikasi Modifikasi menambahkan variasi tetapi sangat bertentangan dengan alam dan menimbulkan ketidak harmonisan. - 4 Modifikasi menambah sedikit atau sama sekali keragaman 0 pemandangan. -4 Pembangunan sarana-sarana seperti instalasi/ listrik, saluran air, rumah memberikan modifikasi yang mampu menambah 2 keragaman visual; tidak ada modifikasi. Jumlah Indeks potensi lanskap 0,70 Sumber : Bureau and Land Management dalam Fandeli dan Muhammad (2009)

84 72 3. Daya Dukung Efektif (ECC) ECC = RCC x faktor koreksi (MC) MC = x 100% Dimana : MC (Management Capacity) adalah jumlah petugas pengelola kawasan. Rn adalah sumberdaya yang aktif di lokasi Rt adalah jumlah sumberdaya tetap pengelola Dari wawancara dengan petugas dikethui bahwa petugas pengelola kawasan TWABK berjumlah 6 orang tenaga honorer. Penjadwalan yang diatur oleh koordinator petugas adalah petugas hadir setiap hari Senin Jumat bergiliran ada 5 orang dan 1 orang libur, sedangkan pada hari Sabtu Minggu 6 orang petugas hadir tanpa ada yang libur.faktor koreksi MC untuk kawasan TWABK : MC = x 100% = x 100% = x 100 % = x 100 % = 0,89796 x 100 % = 89,796 % ECC = RCC x faktor koreksi (MC) = 218 x 0,89796 = 196 orang / hari

85 73 Lampiran 3 Penilaian Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder TWABK Penilaian Pengaruh Stakeholder TWABK Pertanyaan Bagaimana keterlibatan anda/lembaga dalam pengelolaan TWABK? Apa peran anda/lembaga terkait pengambilan keputusan dalam pengelolaan TWABK? Apa tugas pokok dan fungsi anda/lembaga terkait TWABK? Bagaimana pengaruh anda/lembaga terhadap TWABK dan lembaga lain? Bagaimana hubungan anda/lembaga terhadap lembaga lain? Total Nilai Keterangan : 1. Rendah 2. Kurang 3. Cukup 4. Tinggi 5. Sangat tinggi Jawaban Nilai Penilaian Kepentingan Stakeholder TWABK Pertanyaan Apakah TWABK penting bagi anda/lembaga? Bagaimana TWABK harus dikelola? Apa manfaat langsung keberadaan TWABK bagi anda/lembaga? Apa manfaat tidak langsung keberadaan TWABK bagi anda/lembaga? Apa yang melatarbelakangi anda/lembaga terlibat dalam pengelolaan TWABK? Total Nilai Keterangan : 1. Rendah 2. Kurang 3. Cukup 4. Tinggi 5. Sangat tinggi Jawaban Nilai

86 74 Lampiran 4 Matrik SWOT pengembangan ekowisata TWABK Matriks SWOT Faktor Eksternal Peluang (Opportunity) Dukungan para pihak dalam pengembangan TWABK. Ikon pariwisata Kab. Sintang. Berada di wilayah Heart of Borneo. Letaknya strategis Pembangunan bandara baru. Penerbangan rutin Sintang - Pontianak PP, 2x sehari. Ancaman (Threat) Kebakaran dan perambahan hutan, perburuan,serta penambangan batu. Ketergantungan masyarakat terhadap SDA kawasan. Potensi konflik pemanfaatan ruang. Sampah dan vandalisme. Kekuatan (Strength) Memiliki potensi ODTWA yang layak untuk dikembangkan untuk kegiatan ekowisata.. Daya dukung kawasan belum terlampaui untuk pengembangan ekowisata.. Sarana dan prasarana penunjang cukup memadai. Strategi SO : 1. Pengembangan Ekowisata berdasarkan potensi ODTWA dan daya dukung kawasan 2. Publikasi dan Promosi TWABK Strategi ST : 1. Perlindungan dan pengamanan kawasan 2. Pendidikan lingkungan dan penyuluhan 3. Monitoring dan evaluasi dampak kegiatan wisata Faktor Internal Kelemahan (Weakness) Ketidakjelasan status dan pengelola. Belum memiliki dokumen perencanaan sesuai dengan status kawasan. Belum tersedianya data potensi kawasan secara menyeluruh. Belum ada blok pengelolaan. Keterbatasan SDM pengelola. Belum terjalin kemitraan dalam pengelolaan. Keterbatasan dana dan anggaran. Strategi WO : 1. Pemantapan kawasan TWABK 2. Penyusunan Rencana pengelolaan TWABK 3. Kolaborasi pengelolaan TWABK Strategi WT : 1. Pembinaan masyarakat sekitar kawasan

87 75 Lampiran 5 Peta Tematik Kawasan TWABK Gambar 10 Peta Topografi TWABK Gambar 11 Peta Aksesibilitas TWABK

88 76 Gambar 12 Peta Tutupan Lahan TWABK Gambar 13 Peta Lokasi Wisata TWABK

KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA

KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 4 No. 2 (Desember 2014): 119-125 KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA Study of Potential

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Bulu merupakan hutan pendidikan dan latihan (hutan diklat) yang dikelola oleh Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Lebih terperinci

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *)

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *) Ekowisata, ekoturisme, ecotourism Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Danau Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun

BAB I PENDAHULUAN. kekayaaan sumber daya dan keanekaragaman hayati berupa jenis-jenis satwa maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba dengan luas areal 13.490 hektar merupakan salah satu kawasan konservasi darat di Bengkulu yang memiliki kekayaaan sumber daya dan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Saat ini ekowisata diartikan secara beragam, diantaranya oleh Fennell (2003), mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk wisata berbasiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepariwisataan meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusahaan, objek dan daya tarik wisata serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan kepariwisataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah 1 Pengelolaan Taman Hutan Raya (TAHURA) Pengertian TAHURA Taman Hutan Raya adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Untuk tujuan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA

OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki karakteristik kekayaan hayati yang khas dan tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia. Keanekaragaman jenis flora dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21 perhatian terhadap pariwisata sudah sangat meluas, hal ini terjadi karena pariwisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara-negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

Revitalisasi Pengembangan Obyek Wisata Air Panas Cipari

Revitalisasi Pengembangan Obyek Wisata Air Panas Cipari Revitalisasi Pengembangan Obyek Wisata Air Panas Cipari Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah yang memiliki keanegaraman hayati yang tinggi berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di daratan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata, wisata dan wisata alam Pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain yang bukan tempat tinggalnya dan menetap sementara waktu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

Oleh : ERINA WULANSARI [ ] MATA KULIAH TUGAS AKHIR [PW 09-1333] PENELITIAN TUGAS AKHIR Oleh : ERINA WULANSARI [3607100008] PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya

TINJAUAN PUSTAKA. bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ekowisata adalah perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami ataupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan kekayaan alam. Era globalisasi ini ada dua hal yang dianggap signifikan

BAB I PENDAHULUAN. dan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan kekayaan alam. Era globalisasi ini ada dua hal yang dianggap signifikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata prospek yang cerah di negara negara sedang berkembang 1 dan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan kekayaan alam dan keanekaragaman

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dusun Srowolan adalah salah satu Dusun di Desa Purwobinangun, UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Dusun Srowolan adalah salah satu Dusun di Desa Purwobinangun, UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dusun Srowolan adalah salah satu Dusun di Desa Purwobinangun, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dusun ini terletak 20 km di sebelah utara pusat Propinsi Kota Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR Oleh : MUKHAMAD LEO L2D 004 336 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

BAB II KAJIAN TEORI. mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Pariwisata Menurut Suyitno (2001) dalam Tamang (2012) mendefinisikan pariwisata sebagai berikut : a. Bersifat sementara, bahwa dalam jangka waktu pendek pelaku wisata akan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Konservasi Hutan merupakan sumber daya alam yang memberikan berbagai manfaat bagi kesejahteraan manusia baik manfaat yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2013 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2013 2028 Menimbang : a.

Lebih terperinci

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap.

Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap. Strategi Pengembangan Pariwisata ( Ekowisata maupun Wisata Bahari) di Kabupaten Cilacap. Bersyukurlah, tanah kelahiran kita Cilacap Bercahaya dianugerahi wilayah dengan alam yang terbentang luas yang kaya

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, Menimbang : a. bahwa kondisi wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara

Lebih terperinci