KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT 7 RESORT SUMBAWA BARAT SOP PELAKSANAAN PENYELIDIKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT 7 RESORT SUMBAWA BARAT SOP PELAKSANAAN PENYELIDIKAN"

Transkripsi

1 KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PELAKSANAAN PENYELIDIKAN Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kegiatan penyelidikan dapat dilaksanakan antara lain: a) pengamatan; b) wawancara; c) pembuntutan; d) penyamaran; e) mengundang / memanggil seseorang secara lisan / tertulis tanpa paksaan / ancaman guna menghimpun keterangan; f) merekam pembicaraan terbuka / tanpa seijin yang berbicara; g) tindakan lain menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap perkara yang secara nyata telah cukup bukti pada saat Laporan Polisi dibuat, dapat dilakukan penyidikan secara Iangsung tanpa melalui proses penyelidikan (Dalam hal perkara tertangkap tangan). Kegiatan penyelidikan dapat dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan penyidikan. Penyidik membuat rencana kegiatan penyelidikan dan kebutuhan anggaran penyelidikan sesuai dengan hasil Gelar Perkara. Penyidik membuat administrasi penyelidikan yang memuat: a) surat Perintah Tugas; b) surat Perintah Penyelidikan; c) surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan yang memuat: Nama Tim Penyidik, Nomor Telepon (HP), dan alamat . Penyelidikan dilaksanakan dalam waktu: a) perkara Ringan dan Sedang, dalam waktu maksimal (empat belas) hari; b) Perkara Sulit dan Sangat Sulit, dalam waktu maksimal 0 (tiga puluh) hari. Pemanggilan dalam rangka penyelidikan dapat dilakukan dengan (dua) cara yakni secara lisan (langsung atau melalui telpon) atau secara tertulis. Pemanggilan secara lisan harus memperhatikan: a) disampaikan secara sopan; b) tidak boleh memaksakan kesediaan pihak yang di panggil; c) penentuan waktu dan tempat pelaksanaan pemanggilan, serta pemberian keterangan berdasarkan kesepakatan antara petugas dengan pihak yang dipanggil; d) tidak boleh ada paksaan atau ancaman kepada pihak yang dipanggil, sebelum melakukan pemanggilan secara lisan harus meminta ijin kepada atasan penyelidik / penyidik. 0 Pemanggilan secara tertulis dilakukan melalui surat undangan dengan memperhatikan: a) dibuat dalam bentuk surat biasa; b) mencantumkan nama dan alamat pihak yang diundang; c) penjelasan singkat perkara yang sedang diselidiki; d) maksud dan tujuan undangan; e) mencantumkan nama dan alamat yang mengundang; f) pencantuman tempat dan waktu pelaksanaan pemanggilan dan atau tempat pemeriksaan; g) pernyataan bahwa apabila pihak yang dipanggil tidak bisa hadir pada waktu tempat yang direncanakan, dapat menentukan alternatif tempat dan waktu pelaksanaannya; h) pernyataan bahwa pelaksanaan pemeriksaan tergantung kepada kesediaan pihak yang diundang tanpa disertai catatan sanksi apabila pihak yang diundang tidak bisa hadir atau diperiksa. Dalam melaksanakan penyelidikan, penyidik / penyelidik dilarang: a) melaksanakan tanpa alasan yang sah; b) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; c) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan diluar proses hukum atau secara sewenang-wenang untuk mendapatkan informasi atau keterangan; d) memberitakan atau memberitahukan rahasia penyelidikan kepada orang yang tidak berhak; e) melakukan penyelidikan untuk kepentingan pribadi secara melawan hukum; f) melaksanakan penyelidikan di luar wilayah hukum penugasannya, kecuali atas seijin atasan yang berwenang dan dilengkapi dengan surat perintah penyelidikan dan surat ijin jalan keluar wilayah hukum yang diberikan oleh atasan atau pejabat yang berwenang atau atas seijin pejabat di wilayah hukum dimana dilakukan penyelidikan. Penyidik / Penyelidik dalam melaksanakan tugas penyelidikan, bertanggung jawab kepada Atasan Penyidik dan diawasi oleh Perwira Pengawas Penyidik. Apabila waktu yang telah ditentukan sudah terlampaui, namun penyidik / penyelidik belum dapat menentukan adanya peristiwa pidana dan belum mendapatkan sekurang-kurangnya (dua) alat bukti, maka penyidik / penyelidik dapat meminta perpanjangan waktu penyelidikan kepada Perwira Pengawas Penyidik. Terhadap kegiatan penyelidikan diluar wilayah hukum, harus dilengkapi dengan Surat Perintah Penyelidikan dan Surat Ijin Jalan dan Atasan Penyidik. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP LAPORAN HASIL PENYELIDIKAN Penyidik dapat melakukan penyelidikan guna memastikan bahwa Laporan Polisi yang diterima / ditangani merupakan tindak pidana atau bukan serta memberikan saran untuk dapat atau tidaknya Laporan Polisi tersebut diteruskan ketahap penyidikan melalui mekanisme Gelar Perkara. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) sekurang-kurangnya berisi laporan tentang waktu, tempat, kegiatan, hasil penyelidikan, hambatan, pendapat dan Saran, kemudian ditandatangani oleh ketua tim penyelidik. LHP atas dasar Laporan Polisi dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan: a) tindakan penghentian penyelidikan dalam hal tidak ditemukan informasi atau bukti yang cukup bahwa perkara yang diselidiki bukan merupakan tindak pidana; b) tindakan penyelidikan tanjutan dalam hal masih diperlukannya informasi atau keterangan untuk menentukan bahwa perkara yang diselidiki merupakan tindak pidana atau bukan; c) peningkatan kegiatan menjadi penyidikan dalam hal hasil penyelidikan telah menemukan informasi atau keterangan yang cukup untuk menentukan bahwa perkara yang diselidiki merupakan tindak pidana. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) dilaporkan kepada atasan penyidik paling lambat (dua) hari setelah berakhirnya masa penyelidikan. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENERBITAN SPHP HASIL PENYELIDIKAN Hasil penyelidikan diinformasikan kepada pelapor melalui SPHP dengan ketentuan waktu: a) SPHP untuk perkara ringan / sedang selambat - lambatnya : hari; b) SPHP untuk perkara sulit / sangat sulit selambat-lambatnya : 0 hari. SPHP hasil penyelidikan berisi tentang: a) format SPHP Al, berisi pemberitahuan kepada pelapor terkait tentang waktu penyelidikan yang dibutuhkan penyelidik; b) format SPHP A, berisi pemberitahuan kepada pelapor bahwa perkara yang dilaporkannya tidak dapat ditingkatkan ketahap penyidikan. Penyidik mengirimkan kepada pelapor dan membuatkan bukti penerimaan SPHP Hasil Penyelidikan kepada pelapor. Hasil Penyelidikan didatakan melalui e-spp yang diisi oleh penyidik / penyelidik. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 0 SOP PERSIAPAN PENYIDIKAN Penyidik sebelum melaksanakan penyidikan, melakukan penelitian perkara bersama tim penyidik dan Kasat dalam rangka: a) menentukan kiasifikasi perkara yang ditangani; b) menyusun rencana kegiatan penyidikan; c) membuat rencana kebutuhan penyidikan; d) menetapkan target waktu penyelesaian penanganan perkara. Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap Laporan Polisi yang ditangani mempertimbangkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan sehingga penyidik bisa mendapatkan bahari keterangan secara maksimal untuk menentukan kegiatan penyidikan. Penyidik melaksanakan penyidikan sesuai tertib waktu berdasarkan kriteria: a) perkara mudah, dilaksanakan dalam waktu 0 hari;

2 b) perkara Sedang, dilaksanakan dalam waktu 0 hari; c) perkara Sulit, dilaksanakan dalam waktu 0 hari; d) perkara Sangat Sulit, dilaksanakan dalam waktu 0 hari. Dalam hal batas waktu penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik, maka Penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah setelah memperhatikan saran dan pertimbangan dan pengawas penyidik. Dalam hal diberikan perpanjangan waktu penyidikan, maka diterbitkan Surat Perintah dengan mencantumkan waktu perpanjangan. Data ini melaksanakan penelitian perkara dilakukan selambat Iambatnya (satu) hari setelah dimulainya penyidikan. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PROSES PENINGKATAN PENYELIDIKAN KE PENYIDIKAN Penyidik dalam melakukan giat lidik atas Laporan Polisi yang diterima harus melakukan mekanisme tahapan kegiatan penelitian, penyelidikan dan lidik yang statusnya bisa ditingkatkan menjadi sidik. Penyidik dalam melakukan penyidikan atas Laporan Polisi yang ditangani harus didukung dengan adanya keterangan keterangan dari para saksi yang telah dilakukan riksa dan disertai bukti pendukung yang ada hubungannya dengan perkara tersebut. Dalam penjalanan proses penyidikan, penyidik harus memberitahukan hasil perkembangan penyidikan yang dilakukan penyidik (SPHP Format A) kepada pelapor sehingga pelapor mengetahui perkembangan perkara yang dilaporkannya. Penyidik wajib mempersiapkan Tata Naskah yang berisi: a) laporan Polisi; b) laporan Hasil Penyelidikan; c) surat Perintah Penyidikan sesuai batas waktu berdasarkan kriteria bobot perkara; d) surat Pemberitahuan Dilaksanakannya Penyidikan; e) rencana Penyidikan; f) gambar Skema Pokok (Bulkonah Posisi Perkara); g) matriks untuk daftar kronologis penindakan. ) Penyidik wajib membuat rencana penyidikan meliputi: a) rencana kegiatan; b) rencana Kebutuhan; c) target pencapaian kegiatan; d) skala prioritas penindakan; e) target penyelesaian perkara. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PEMANGGILAN Pemanggilan terhadap saksi, ahli maupun tersangka merupakan bagian upaya paksa sehingga dapat dilakukan setelah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikirim ke JPU. Surat panggilan terhadap saksi, ahli maupun tersangka wajib di berikan tenggang waktu paling singkat (dua) hari setelah panggilan diterima oleh orang yang dipanggil, keluarga atau penesehat hukumnya dengan bukti penerimaan surat panggilan. Penyidik dapat melaksanakan pemanggilan untuk mendapatkan keterangan terhadap perkara yang diduga merupakan tindak pidana. Dalam hal tersangka yang diperkirakan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau menyulitkan penyidikan, dapat dilakukan penangkapan tanpa harus dilakukan pemanggilan terlebih dahulu. Surat panggilan terhadap tersangka dapat dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan atau gelar perkara untuk tentukan tersangka. Penyidik dapat melakukan pemanggilan dalam hal tersangka yang tidak dilakukan penahanan guna kepentingan pemeriksaan, dapat dilakukan pemanggilan paling banyak (tiga) kali. Dalam hal masih diperlukan pemeriksaan terhadap tersangka yang telah dipanggil (tiga) kali, maka harus mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang atau pejabat yang mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan. Dalam hal orang yang dipanggil tidak memenuhi panggilan, penyidik wajib memperhatikan alasan yang patut dan wajar dari orang yang dipanggil guna menentukan tindakan selanjutnya. Dalam hal tersangka atau saksi yang dipanggil tidak dapat hadir dengan memberikan alasan yang patut dan wajar untuk tidak memenuhi panggilan, penyidik dapat melakukan pemeriksaan di rumah atau di tempat dimana dia berada setelah mendapat persetujuan tertulis dari atasan penyidik dan setelah pelaksanaan pemeriksaan, penyidik wajib melaporkan kepada Perwira Pengawas Penyidik paling lambat (dua) hari. 0 Penyidik dapat melakukan pemanggilan terhadap Ahli, yaitu seseorang karena keahlian khusus yang dimilikinya, untuk membuat terang suatu perkara. Dalam hal saksi atau ahli bersedia hadir untuk memberikan keterangan tanpa surat panggilan, surat panggilan dapat dibuat dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi atau ahli, sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan. Surat panggilan baik saksi maupun tersangka dibuat oleh penyidik dan ditanda tangani oleh Kasat. Dalam hal tersangka atau saksi yang telah dipanggil (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar, dapat dibawa secara paksa oleh penyidik ke tempat pemeriksaan dengan surat perintah membawa. Surat Perintah Membawa ditandatangani oleh Direktur / Wakil Direktur Reserse, tembusannya wajib disampaikan kepada Atasan Langsung. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENCARIAN ORANG, PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam rangka penyidikan perkara sampai lebih dari (tiga) kali dan ternyata tidak jelas keberadaannya, dapat dicatat dalam DPO dan dibuatkan Surat Pencarian Orang. Pejabat yang berwenang menandatangani DPO adalah Dir Reskrim. Dalam hal tersangka dan/atau orang yang dicari sudah ditemukan atau tidak diperlukan lagi dalam penyidikan maka wajib dikeluarkan Pencabutan DPO. Pejabat yang berwenang menerbitkan pencabutan DPO adalah Dir Reskrim dan melaporkan kepadanya kepada Kapolda. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN Dalam hal tersangka yang tidak ditahan dan diperkirakan akan melarikan diri dan wilayah Indonesia, dapat dikenakan tindakan pencegahan. Dalam hal setiap orang yang berada di luar negeri dan diduga akan melakukan tindak pidana di Indonesia, dapat dikenakan tindakan penangkalan. Dalam keadaan mendesak atau mendadak, untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.

3 Pejabat yang berwenang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau penangkalan adalah Dir Reskrim atau Wadir Reskrim dan melaporkan kepada Kapolri paling lambat 0 (dua puluh) hari. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENANGKAPAN Penyidik dapat melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, ditentukan oleh sekurang - kurangnya adanya Laporan polisi ditambah (dua) jenis alat bukti, sebagai berikut: a) saksi; b) ahii; c) surat; d) petunjuk; Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan: a) tersangka telah dipanggil (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar; b) tersangka diperkirakan akan melarikan diri; c) tersangka diperkirakan akan mengulangi perbuatannya; d) tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti; e) tersangka diperkirakan akan mempersulit penyidikan; ) Penangkapan terhadap (satu) orang tersangka menggunakan surat perintah penangkapan yang identitasnya tercantum di dalamnya. Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang terdaftar dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan setiap pejabat berwenang wajib untuk membuat Sprin Penangkapannya. Pejabat yang berwenang menandatangani Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan adalah Dir Reskrim. Dalam melaksanakan penangkapan penyidik wajib mempertimbangkan halhal sebagai berikut: a) keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan bobot ancaman; b) senantiasa menghargai, menghormati hak-hak tersangka yang di tangkap; c) tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka, terhadap tersangka yang di tangkap di perlakukan sebagai orang yang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di Pengadilan; d) penyidik / petugas yang melakukan Penangkapan wajib untuk :. memberitahu / menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas polri;. menunjukkan Sprin Penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan;. memberitahukan alasan penangkapan;. menjelaskan tindak pidana yang di persangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan;. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu kepada orang tua atau wali anak yang di tangkap segera setelah penangkapan;. senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang di tangkap dan memberi tahu hak-hak tersangka berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum serta hak-hak lainnya sesuai yang diatur dalam KUHAP;. dalam hal orang yang di tangkap tidak memahami / tidak mengerti bahasa yang dipergunakan oleh petugas maka orang tersebut berhak mendapatkan seorang penerjemah tanpa di pungut biaya; Dalam hal orang asing di tangkap, penangkapan tersebut segera diberitahukan kepada kedutaan atau misi diplomatik negaranya. Dalam hal perempuan yang di tangkap petugas / penyidik wajib memperhatikan perlakuan khusus sebagai berikut: a) sedapat mungkin di tangkap dan di periksa oleh petugas perempuan / petugas yang berperspektif gender; b) diperiksa diruang pelayanan khusus; c) perlindungan hak privasi untuk tidak di publikasikan, mendapat perlakuan khusus, dipisahkan penempatannya dari ruang tersangka laki-laki; d) penerapan prosedur khusus untuk perlindungan sebagai perempuan; Penyidik / petugas wajib membuat Berita Acara (BA) Penangkapan yang berisi: a) nama dan identitas yang melakukan penangkapan; b) nama dan identitas yang di tangkap; c) tempat dan waktu penangkapan; d) alasan penangkapan dan/atau pasal yang disangkakan; e) tempat penahanan sementara selama dalam masa penangkapan; f ) menjaga keadaan kesehatan Tersangka yang ditangkap; 0 Penyidik / petugas yang melakukan penangkapan wajib : a) menyerahkan arsip Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka dan mengirimkan tembusannya kepada keluarganya. b) wajib memeriksakan kesehatan tersangka; c) terhadap tersangka dalam keadaan luka parah, penyidik wajib memberikan pertolongan kesehatan dan membuat Berita Acara tentang keadaan kesehatan Tersangka; d) dalam hal tertangkap tangan penyidik harus segera melaksanakan pemeriksaan paling lama x jam guna menentukan perlu tidaknya dilakukan penàhanan; Dalam hal tersangka yang ditangkap ternyata salah orangnya atau tidak cukup bukti, penyidik wajib membebaskan tersangka dengan membuat Sprin dan Berita Acara Pembebasan Penangkapan yang ditandatangani oleh Penyidik, Tersangka dan pihak lain yang menyaksikannya. SOP PENAHANAN penyidik dapat melakukan penahanan berdasarkan hukum dan menurut tata cara dalam peraturan perundang-undangan; penahanan pada dasarnya telah merampas kemerdekaan seseorang, maka harus tetap diberlakukan azas praduga tak bersalah sebelum ada keputusan hukum yang tetap; dalam rangka menghormati HAM tindakan penahanan harus memperhatikan standar sebagai berikut: a) setiap orang mempunyai hak kemerdekaan dan keamanan pribadi; b) tidak seorangpun dapat di tangkap / di tahan dengan sewenang-wenang; 0 c) tidak seorang pun boleh dirampas kemerdekaannya kecuali dengan alasan-alasan tertentu seperti yang ditentukan oleh hukum; Penyidik melakukan penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah penahanan. Sprin penahanan dikeluarkan setelah melalui mekanisme gelar perkara yang dilaksanakan oleh tim penyidik dan di laporkan kepada pejabat yang berwenang mengelurkan Surat Perintah Penahanan. Pejabat yang berwenang menandatangani Surat Perintah Penahanan adalah Dir Reskrim. Tembusan Surat Perintah Penahanan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, tembusannya wajib disampaikan ke keluarganya. Penyidik dapat melakukan penangguhan penahanan terhadap tersangka dengan dilengkapi Surat Perintah Penangguhan Penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Surat Perintah Penangguhan Penahanan dikeluarkan setelah melalui mekanisme gelar perkara secara internal di kesatuan fungsi untuk menentukan perlu / tidaknya dilakukan penangguhan penahanan terhadap tersangka. Penangguhan penahanan wajib dilaporkan kepada atasan pejabat yang berwenang menangguhkan penahanan. Penyidik dapat melakukan pengeluaran penahanan terhadap tersangka dengan pertimbangan sebagal berikut: a) masa penahanan tersangka sudah habis; b) tersangka akan dipindahkan ke rumah tahanan negara Iainnya; c) tersangka di tangguhkan penahanan; d) tersangka dibantarkan penahanan karena sakit; e) tersangka telah selesai dilakukan pemeriksaan; f) pengeluaran penahanan wajib dilengkapi dengan sprin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; g) pengeluaran penahanan wajib dibuatkan BA pengeluaran penahanan dengan substansi sekurang-kurangnya meliputi: () nama dan identitas tersangka yang di keluarkan dari tahanan; () tempat darimana tahanan dikeluarkan; () keadaan kesehatan tahanan yang dikeluarkan; () tanda tangan saksi dan pejabat yang mengelurkan penahanan; KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENGGELEDAHAN penggeledahan wajib dilengkapi dengan Surat Perintah Penggeledahan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang; penggeledahan rumah/alat angkutan serta tempat tertutup Iainnya hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan mendesak; pejabat yang berwenang menandatangani Surat Permintaan Izin Penggeledahan Rumah/Alat angkutan serta tempat tertutup Iainnya dan Surat Perintah Penggeledahan adalah Dir Reskrim dan melaporkan kepada Kapolda; dalam hal keadaan sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan Surat izin dari Ketua PN setempat terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penggeledahan dengan Surat Perintah yang ditandatangani oleh Perwira Pengawas Penyidik, wajib disaksikan oleh Ketua Lingkungan (RT/RW, Kepala Desa) atau tokoh masyarakat setempat. Setelah dilakukan penggeledahan, penyidik wajib membuat Berita Acara Penggeledahan dan melapor kepada Perwira Pengawas Penyidik serta mengirimkan Surat Pemberitahuan tentang pelaksanaan penggeledahan kepada Ketua PN setempat;

4 Data untuk melakukan tindakan penggeledahan terhadap orang, petugas wajib: a) memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan sopan; b) meminta maaf dan meminta kesediaan orang yang digeledah atas terganggunya hak privasi karena harus dilakukan pemeriksaan; c) menunjukkan Surat Perintah Tugas dan atau identitas petugas. d) melakukan pemeriksaan untuk mencari sasaran pemeriksaan yang diperlukan dengan cara yang teliti, sopan, etis dan simpatik; e) melakukan tindakan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik pemeriksaan untuk kepentingan tugas sesuai dengan batas kewenangannya; f) memperhatikan dan menghargai hak-hak orang yang digeledah; g) melaksanakan penggeledahan terhadap perempuan oleh petugas perempuan; h) melaksanakan pemeriksaan dalam waktu yang secukupnya; I) menyampaikan ucapan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan; Dalam melakukan penggeledahan orang, petugas dilarang: a) melakukan penggeledahan tanpa memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas; b) melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah; c) melakukan penggeledahan dengan cara yang tidak sopan dan melanggar etika; d) melakukan penggeledahan dengan cara yang menyimpang dari teknik dan taktik pemeriksaan, tindakan yang diluar batas kewenangannya; e) melecehkan dan/atau tidak menghargai hak-hak orang yang digeledah; f) memperlambat pelaksanaan penggeledahan sehingga merugikan yang digeledah; g) melakukan penggeledahan orang perempuan oleh petugas laki-laki di tempat terbuka dan melanggar etika; Dalam hal melakukan tindakan penggeledahan tempat/rumah petugas wajib: a) melengkapi administrasi penyidikan; b) memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan; c) memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan; d) menunjukkan surat perintah tugas dan atau kartu identitas petugas; e) melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang atau orang dengan cara yang teliti, sopan, etis dan simpatik serta harus didampingi oleh penghuni; f) melakukan tindakan penggeledahan sesuai dengan tehnik dan taktik pemeriksaan untuk kepentingan tugas sesuai dengan batas kewenangannya; g) menerapkan taktik penggeledahan untuk mendapatkan hasil seoptimal mungkin dengan cara sedikit mungkin menimbulkan kerugian atau gangguan terhadap pihak yang digeledah atau pihak lain; h) dalam hal petugas mendapatkan benda atau orang yang dicari, tindakan untuk menangani barang bukti wajib disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dan ketua lingkungan; I) menyampaikan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan;. j) membuat berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh petugas, pihak yang digeledah dan para saksi; Dalam hal melakukan penggeledahan tempat/rumah, petugas dilarang: a) tanpa dilengkapi administrasi penyidikan; b) tidak memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan; c) tanpa memberitahukan penghuni tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan tanpa alasan yang sah; d) melakukan penggeledahan dengan cara yang sewenang- wenang sehingga merusak barang atau merugikan pihak yang digeledah; e) melakukan tindakan yang menyimpang dari kepentingan tugas yang diluar batas kewenangannya; f) melakukan penggeledahan dengan cara yang berlebihan sehingga menimbulkan kerugian atau gangguan terhadap hak-hak yang digeledah; g) melakukan pengambilan benda tanpa disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari ketua lingkungan; h) melakukan pengambilan benda yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang tenjadi; i) bertindak arogan atau tidak menghargai harkat dan martabat orang yang digeledah; j) melakukan tindakan menjebak korban/tersangka untuk mendapatkan barang yang direkayasa menjadi barang bukti; k) tidak membuat berita acara setelah melakukan penggeledahan;. Kecuali dalam hal tertangkap tangan penyidik tidak diperkenankan memasuki: a) ruang dimana sedang berlangsung sidang DPRD; b) tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan/atau upacara keagamaan; c) ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan; d) dalam hal penggeledahan rumah dilakukan diluar daerah hukum penyidik, penggeledahan harus diketahui oleh ketua PN setempat dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan itu dilakukan; KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENYITAAN Penyidik dapat melakukan penyitaan dilengkapi dengan sprin sita yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Penyitaan terhadap benda yang tidak bergerak, surat maupun tulisan lainnya harus dilengkapi dengan ijin khusus dari ketua pengadilan setempat. Pejabat yang berwenang menandatangani sprin sita dan surat permintaan ijin khusus penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat adalah Dir Reskrim dan dilaporkan kepada Kapolda. Dalam hal melakukan penyitaan, penyidik wajib: a) melengkapi administrasi penyidikan; b) melakukan penyitaan terhadap benda yang ada hubungannya dengan perkara yang idlakukan penyidikan; c) memberitahu tujuan penyitaan kepada pemilik; d) menerapkan teknik dan taktik penyitaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e) merawat barang bukti yang disita sesuai dengan peraturan perundangundangan; f) menyimpan barang bukti dirumah penyimpanan benda sitaan Negara (Rupbasan); g) membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan tanda terima barang yang disita kepada yang menyerahkan /menguasai barang yang disita; h) dalam melakukan penyitaan barang bukti, petugas dilarang: () melakukan penyitaan tanpa dilengkapi administrasi penyidikan; () tidak memberitahu tujuan penyitaan; () melakukan penyitaan benda yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang dilakukan penyidikan; () melakukan penyitaan dengan cara yang bertentangan dengan hukum; () tidak menyerahkan tanda terima barang yang disita kepada yang berhak; () tidak membuat berita acara penyitaan setelah selesai melaksanakan penyitaan; () menelantarkan barang bukti yang disita atau tidak melakukan perawatan barang bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan; () mengambil, memiliki, menggunakan, dan menjual barang bukti secara melawan hak; SOP PENANGANAN BARANG BUKTI Barang bukti yang dapat disita merupakan benda yang diduga ada sangkut pautnya dengan perkara pidana yang sedang diselidiki/disidik dan dapat digunakan sebagai pendukung alat pembuktian di dalam proses persidangan. Jenis Barang bukti yang dapat disita antara lain: a) benda atau tagihan tersangka yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana atau sebagal hasil dari tindak pidana; b) benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan atau mempersiapkan tindak pidana; c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan; d) benda khusus yang dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e) benda lain (temasuk serat optik) yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Kelengkapanan administrasi penyimpanan dan penyerahan barang bukti. Penyidik / penyidik pembantu yang akan menitipkan barang bukti untuk disimpan dirumah penitipan benda sitaan (Rupbasan) harus menyertakan copy surat perintah penyitaan barang bukti dan berita acara penitipan barang bukti. Penyidik / penyidik pembantu yang meminjam barang bukti untuk proses penyidikan sementara waktu dari Rupbasan, harus menyertakan administrasi bon dari satuan kerja penyidik / penyidik pembantu dan berita acara pinjam pakai barang bukti. Penyidik / penyidik pembantu yang akan imengambil barang bukti dan diserahkan ke jaksa penuntut umum harus menyertakan administrasi bon dari satuan kerja penyidik / penyidik pembantu, copy surat pengiriman tersangka dan barang bukti, berita acara pengambilan barang bukti. Tata cara / proses pencatatan penerimaan barang bukti. a) penyidik / penyidik pembantu datang sendiri ke ruang penitipan barang bukti, dengan membawa persyaratan administrasi yang telah ditentukan; b) petugas melakukan penelitian terhadap administrasi yang menyertai barang bukti yang akan disimpan; c) petugas berkoordinasi dengan penyidik / penyidik pembantu yang menyerahkan, tentang jenis barang bukti yang akan disimpan untuk menentukan tata cara penyimpanan dan perawatan terhadap barang bukti dimaksud; d) catat dalam buku register barang bukti; e) masukkan barang bukti dalam kantong plastik, amplop atau karung dan beri kode penyimpanan yang menyebutkan ruang, nomor rak tempat penyimpanan barang bukti dimaksud; f) simpan barang bukti di tempat penyimpanan sesuai peruntukannya.

5 Barang bukti dikeluarkan dari ruang penyimpanan barang bukti, atas permintaan penyidik / penyidik pembantu, untuk selanjutnya diserahkan ke Jaksa penuntut umum, untuk dilelang atas ijin ketua pengadilan, untuk dimusnahkan atau diserahkan kembali kepada yang berhak, dengan Iangkah - tangkah sebagai berikut: a) penyidik menunjukkan tanda terima barang bukti kepada petugas; b) petugas mengambil barang bukti sesuai dengan permintaan penyidik / penyidik pembantu yang tertuang dalam nota bon pengambilan barang bukti, berita acara dan surat tanda terima; c) penyidik melakukan pengecekan terhadap barang bukti, apakah sesuai dengan permintaan; d) penyidik membuat berita acara pengambilan barang bukti yang ditandatangani o!eh penyidik dan petugas; e) petugas mencatat pengambilan barang bukti di buku register pengambilan barang bukti. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 0 SOP PEMERIKSAAN SAKSI / TERSANGKA Penyidik yang diberikan Laporan Polisi dari masing-masing Kanit wajib membuat ren lidik / ren sidik terhadap Laporan Polisi yang diterima sebagai data awal untuk menentukan pemanggilan, pemeriksaan terhadap saksi. Penyidik melakukan pemanggilan / pemeriksaan saksi berdasarkan ren lidik / ren sidik sesuai dengan pentahapan lidik / sidik. Pemeriksaan terhadap saksi, penyidik memperhatikan limit waktu pemanggilan, minimal (dua) hari dalam kota dan luar kota ± (tujuh) hari. Penyidik mencantumkan / menjelaskan dalam surat panggilan kapastiannya harus jelas. Pemeriksaan terhadap saksi, penyidik harus menjelaskan sebelum dilakukan pemeriksaan maksud dan tujuan pemeriksaan agar dimengerti oleh saksi. Penyidik dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap saksi harus transparan dengan menggunakan bahasa yang santun dan mudah dimengerti. 0 Penyidik dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap saksi harus menjelaskan permasalahan / posisi kasus, dan mencantumkan pasal-pasal yang disangkakan terhadap tersangka dalam BAP. Pemeriksaan terhadap saksi boleh didampingi penasihal hukum, pengacara, pendamping sesuai peraturan KUHAP. Selesai melaksanakan Pemeriksaan, BAP dibacakan kembali oleh penyidik dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan apabila terhadap saksi telah menyetujui atas BAP yang diberikan maka ditanda tangani oleh saksi yang diperiksa. Pemeriksaan terhadap tersangka dilaksanakan di kantor kesatuan penyidik sesuai yang dinyatakan dalam surat panggilan. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap saksi / tersangka, petugas dilarang: a) memeriksa saksi / tersangka sebelum didampingi (oleh Penasehal Hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa; b) menunda-nunda waktu pemeriksaan tanpa alasan yang sah, sehingga merugikan pihak saksi / tersangka; c) menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang diperiksa pada awai pemeriksaan; d) tidak menjelaskan status keperluan saksi / tersangka dan tujuan pemeriksaan; e) mengajukan pertanyaan yang sulit dipahami saksi / tersangka, atau dengan cara membentak-bentak, menakuti atau mengancam saksi / tersangka; f) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan pemeriksaan; g) melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak saksi / tersangka; h) melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan baik bersifat fisik atau psikis dengan maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi atau pengakuan; I) memaksa saksi / tersangka untuk memberikan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rahasia jabatannya; j) membujuk, mempengaruhi atau memperdaya pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan hak-hak saksi / tersangka; k) melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh penasehal hukum dan/atau tanpa alasan yang sah; I) tidak memberikan kesempatan kepada saksi / tersangka untuk istirahal, melaksanakan ibadah, makan dan keperluan pribadi lainnya tanpa alasan yang sah; m) memanipulasi hasil pemeriksaan dengan cara tidak mencatat sebagian keterangan atau mengubah keterangan yang diberikan saksi / tersangka yang menyimpang dari tujuan pemeriksaan; n) menolak saksi yang diajukan tersangka yang meringankan untuk diperiksa; o) menghalang-halangi penasehat hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi / tersangka yang diperiksa; p) melakukan pemeriksaan di tempat yang melanggar ketentuan hukum; q) tidak membacakan kembali hasil pemeriksaan kepada saksi / tersangka dengan bahasa yang mudah dimengerti, sebelum pemeriksaan diakhiri; r) melalaikan kewajiban tanpa tanda tangan saksi / tersangka yang menyaksikan jalannya pemeriksaan. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PEMERIKSAAN AHLI Pada tingkat pemeriksaan apabila diperlukannya keterangan ahil dalam penanganan kasus, maka penyidik bisa melakukan pemanglan terhadap ahli untuk dilakukan pemeriksaan sebagai ahli. Sebelum memanggil ahli, penyidik harus sudah dapat menentukan keterangan ahli yang ada kaitannya / hubungannya dengan perkara yang ditangani sehingga akan mendapatkan bukti materiil demi kesempurnaan berkas perkara (seperti ahli pidana dan ahli keperdataan). Sebelum pelaksanaan pemeriksaan terhadap ahil terlebih dahutu penyidik memberitahukan / menginformasikan permasalahan (perkara yang ditangani) sehingga tenaga ahli untuk mempersiapkan bahan keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik. Surat pemberitahuan (surat panggilan) sebelum melaksanakan pemeriksaan terlebih dahulu penyidik melaksanakan koordiriasi dengan ahli yang dipanggil guna keperluan: a) memberikan informasi tentang perkara yang sedang disidik; b) memberikan informasi tentang penjelasan yang diharapkan dapat diperoleh dari ahli; c) untuk menentukan waktu dan tempat pemeriksaan ahli. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP GELAR PERKARA Dalam hal melakukan penyidikan, penyidik dapat melakukan gelar perkara: a) gelar perkara biasa; b) gelar Perkara luar biasa. Tahapan gelar perkara biasa adalah sebagai berikut: a) awal penyidikan; b) pertengahan penyidikan; c) akhir penyidikan. Gelar perkara biasa dilaksanakan oleh tim penyidik atau pengemban fungsi analis di masing-masing kesatuan reserse yang dipimpin oleh perwira pengawas atau pejabat yang berwenang sesuai dengan jenis gelar yang dilaksanakan. Dalam hal sangat diperlukan penyelengaraan gelar perkara biasa dapat menghadirkan unsur-unsur terkait lainnya dari fungsi internal polri, unsur dari CJS, instansi terkait lainnya dan/atau pihak-pihak yang melapor dan yang dilaporkan sesuai dengan kebutuhan gelar perkara. Penyidik melaksanakan gelar perkara untuk kepentingan penyidikan yang dilaksanakan dalam awal penyidikan, pertengahan penyidikan, dan akhir penyidikan, gelar perkara intern dipimpin oleh kanit, kasat yang bertujuan untuk: a) meningkatkan tindakan lidik menjadi tindakan sidik; b) tentukan kriteria kesulitan sidik; c) rumuskan ren sidik; d) tentukan pasal-pasal yang diterapkan; e) tentukan skala prioritas penindakan dalam sidik; f) tentukan target penyidikan. Penyidik melaksanakan gelar perkara biasa pada tahap pertengahan penyidikan untuk: a) menentukan tersangka; b) pemantapan pasal-pasal yang dapat diterapkan; c) pembahasan dan pemecahan masalah penghambat penyidikan; d) pembahasan dan pemenuhan petunjuk JPU (P-); e) mengembangkan sasaran penyidikan; f) penanganan perkara yang terlantar; g) supervisi pencapaian target penyidikan; h) percepatan penyelesaian / penuntasan penyidikan; i) gelar perkara dipimpin oleh pejabat atasan perwira dan dapat dihadiri pengawas penyidikan Irwasda, Propaini, Bidkuini, CJS atau instansi terkait lainnya Gelar perkara biasa yang dilaksanakan oleh tim penyidik dan dipiinipin oleh pejabat atasan perwira pengawas penyidik dan dapat dihadiri oleh pengawas penyidikan, Itwasda, Propam, Bidkum, CJS dan atau instansi/pihak terkait lainnya yang bertujuan untuk:

6 a) penyempurnaan Berkas Perkara; b) pengembangan penyidikan; c) memutuskan perpanjangan penyidikan; d) melanjutkan kembali penyidikan yang telah dihentikan oleh penyidik; e) memutuskan untuk penyerahan berkas perkara kepada JPU. Penyidik melaksanakan gelar perkara luar biasa diselenggarakan dalam keadaan tertentu, mendesak untuk menghadapi keadaan darurat atau untuk mengatasi masalah yang memutuhkan koordiriasi intensif antara penyidik dan para pejabat terkait. Adapun gelar perkara luar biasa ini bertujuan untuk: a) menanggapi / mengkaji adanya keluhan dan Dumas dari pelapor, tersangka, keluarga tersangka, penasehat hukumnya maupun pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara yang di sidik; b) melakukan tindakan kepolisian terhadap seseorang yang mendapat perlakuan khusus menurut peraturan perundang undangan; c) menentukan langkah-langkah penyidikan terhadap perkara pidana yang luar biasa; d) memutuskan penghentian penyidikan; e) melakukan tindakan koreksi / evaluasi terhadap dugaan terjadiriya penyimpangan; dan/atau f) menentukan pemusnahan dan pelelangan barang sitaan. Perkara pidana luar biasa yang meliputi perkara: a) atensi Presiden / pejabat pemerintah; b) atensi pimpinan Poiri; c) perhatian publik secara luas; d) melibatkan tokoh formal / informal dan berdampak massal; e) berada pada hukum perdata dan hukum pidana; f) mencakup beberapa peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih; g) penanganannya mengakibatkan dampak nasional dibidang ideologi, politik, ekonoimi, sosial, budaya/agama dan keamanan;. h) penanganannya berkemungkinan reaksi massa. 0 Penyelenggaraan gelar perkara meliputi tiga tahapan yaitu: a) persiapan; b) pelaksanaan; c) kelanjutan hasil gelar perkara. Tahap persiapan gelar perkara meliputi: a) penyiapan bahan paparan gelar perkara oleh tim penyidik; b) penyiapan sarana dan prasarana gelar perkara; c) pengiriman surat undangan gelar perkara. Tahap pelaksanaan gelar perkara meliputi: a) pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar perkara; b) paparan tim penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan hasil penyidikan yang telah dilaksanakan; c) tangapan para peserta gelar perkara; d) diskusi permasalahan yang terkait dalam penyidikan perkara; e) kesimpulan gelar pekara. Tahap kelanjutan hasil gelar perkara meliputi: a) pembuatan laporan hasil gelar perkara; b) penyampaian laporan kepada pejabat yang berwenang; c) arahan dan disposisi pejabat yang berwenang; d) pelaksanaan hasil gelar oleh tim penyidik; e) pengecekan pelaksanaan hasil gelar oleh pewira pengawas penyidik. Keputusan hasil gelar pekara tahap awal penyidikan dilaporkan kepada pejabat yang membuat surat perintah penyidikan dan menjadi pedoman bagi penyidik untuk melanjutkan tindakan penanganan perkara. Keputusan hasil gelar perkara tahap pertengahan penyidikan dilaporkan kepada pejabat yang membuat surat perintah penyidikan dan harus dipedomani oleh tim penyidik untuk melanjutkan langkah-langkah penyidikan sesuai dengan hasil gelar. Keputusan hasil gelar perkara tahap akhir penyidikan dilaporkan kepada pejabat yang membuat surat perintah penyidikan dan harus ditaati oleh tim penyidik untuk menyelesaikan penyidikan sesuai dengan hasil gelar perkara. Dalam hal terjadi hambatan atau kendala dalam pelaksanaan keputusan hasil gelar perkara, penyidik melaporkan kepada pejabat yang berwenang melalui perwira pengawas penyidik. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENYUSUNAN BERKAS PERKARA Seluruh dokumen hasil pelaksanaan tindakan penyidikan wajib dikumpulkan di dalam Berkas Perkara sesuai dengan tata naskah yang telah ditentukan. Barang Bukti yang disita berupa dokumen tidak dibenarkan disimpan dalam Berkas Perkara, tetapi harus ditempat khusus penyimpanan barang bukti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Melakukan pengecekan terhadap lembar kelengkapan mindik yang meliputi: a) tanggal pembuatan setiap berita acara; b) penandatangan setiap surat & Berita Acara; c) paraf setiap lembar BAP tersangka / saksi / ahli; d) paraf tersangka / saksi / ahli apabila ada ralat / pembetulan; e) tanggal, nomor dan cap dinas setiap surat dan surat perintah. Meneliti lembar mindik yang merupakan isi Berkas Perkara. Melakukan pengecekan barang bukti sesuai Berita Acara penyitaan. Isi berkas perkara antara lain: sampul berkas perkara; daftar isi berkas perkara; resume; laporan polisi/laporan kejadian (PPNS); surat perintah penyidikan; berita acara pemeriksaan di TKP beserta kelengkapan; BAP saksi / ahli; berita acara konfrontasi BAP tersangka; berita acara rekontruksi; berita acara penolakan menanda tangani BAP (saksi / ahli / tersangka); surat kuasa penasehat hukum; surat perintah tugas; surat perintah penyidikan; surat pemberitahuan dimulainya penyidikan; surat panggilan; surat perintah membawa saksi / tersangka; berita acara membawa saksi / tersangka; surat perintah penggeledahan berita acara penggeledahan surat perintah penangkapan; berita acara penangkapan; surat perintah penahanan; berita acara penahanan; surat permintaan perpanjangan penahanan kepada Kepala Kejaksaan Negeri / Tinggi setempat; surat perpanjangan penahanan dari kepala kejaksaan / penuntut umum; surat perintah perpanjangan penahanan; berita acara perpanjangan penahanan; surat permintaan perpanjangan penahanan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat; surat permintaan perpanjangan penahanan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat; surat penetapan perpanjangan penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat; surat perintah perpanjangan penahanan; surat perintah penyitan; berita acara penyitaan; surat tanda terima penyitan; berita acara penyisihan benda sitaan / barang bukti; surat pemberitahuan pelaksanaan lelang benda sitaan / barang bukti kepada KPKLN; surat perintah lelang benda sitaan / barang bukti berita acara lelang benda sitaan / barang bukti surat permohonan ijin pemusnahan / perampasan benda sitaan / barang bukti surat penetapan ijin pemusnahan / perampasan benda sitaan / barang bukti berita acara ijin pemusnahan / perampasan benda sitaan / barang bukti surat permintaan ijin khusus penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri surat penetapan ijin khusus dari Ketua PN setempat; surat permintaan pemeriksaan oleh ahli; surat permintaan pemeriksaan mayat / luka / korban perkosaan; visum et reperturn mayat / luka / korban perkosaan; hasil pemeriksaan / uji laboratorium forensik polri; foto copy dokumen bukti; petikan surat keputusan pemidanaan terdahulu; surat ketetapan penghentian penyidikan; surat pemberitahuan penghentian penyidikan; daftar saksi; daftar tersangka; daftar barang bukti. Berkas Perkara untuk penyidikan yang telah diselesaikan, wajib disegel untuk menjamin keutuhan dan keaslian Berkas perkara. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENGIRIMAN BERKAS PERKARA

7 Berkas Perkara yang dinyatakan telah selesai dan telah diteliti oleh Perwira Pengawas Penyidik, wajib segera dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk menyerahkan Berkas Perkara kepada JPU (Jaksa Penuntut Umum). Pejabat yang berwenang menentukan dan menandatangani penyerahan Berkas Perkara adalah Dir Reskrim. Surat penyerahan Berkas Perkara wajib ditembuskan kepada Kapolda. Surat Pengantar Berkas perkara diserahkan oleh penyidik kepada JPU wajib dicatat dalam Expedisi. Dalam hal Berkas Perkara yang diserahkan kepada JPU yang dinyatakan belum Iengkap (P-), penyidik wajib segera melengkapi kekurangan Berkas Perkara sesuai dengan petunjuk JPU dalam waktu yang ditentukan dalam undang-undang dan apabila oleh penyidik telah dipenuhi maka berkas perkara dikirim kembali kepada JPU dengan surat pengantar pengiman Berkas Perkara. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENGIRIMAN TAHAP II Penyidik wajib menyerahkan / melimpahkan tersangka dan barang bukti setelah menerima surat pemberitahuan hasil penyidikan yang dinyatakan telah lengkap (P-) oleh JPU. Penyidik berkewajiban untuk segera menyerahkan / melimpahkan tanggungjawab tersangka dan barang bukti dengan mendasari surat dari JPU dengan waktu yang telah ditentukan. Penyidik membuat berita acara penyerahan tersangka. dan barang bukti yang disaksikan oleh petugas polri, JPU, dan yang menyaksikan penyerahan tersebut. Melaporkan kembali kepada petugas penyimpan barang bukti yang mana barang bukti tersebut telah diterima oleh JPU. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP PENGHENTIAN PENYIDIKAN Pertimbangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan perkara antara lain: a) tidak cukup bukti; b) perkaranya bukan perkara pidana; dan/atau c) demi hukum yang meliputi: () karena kadaluarsa; () perkaranya nebis in idem; () pengaduan dicabut bagi delik aduan; dan/atau () tersangka meninggal dunia. Pelaksanaan penghentian penyidikan oleh penyidik, dilakukan dalam bentuk: 0 a) penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP) oleh pejabat yang berwenang; b) pembuatan Berita Acara Penghentian Penyidikan yang dibuat oleh penyidik dan disahkan oleh Pengawas Penyidik; c) mengirim surat pemberitahuan penghentian penyidikan perkara oleh penyidik kepada tersangka / keluarganya dan JPU Pejabat yang berwenang menandatangani surat pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP) serendah rendahnya Dir Reskrim. Berita Acara Penghentian Penyidikan harus dibuat oleh penyidik paling lambat (dua) hari setelah diterbitkan SP. Keputusan penghentian Penyidikan hanya dapat dilaksanakan setelah melalui (dua) tahapan gelar perkara luar biasa yang dipimpin oleh pejabat yang berwenang serendah-rendahnya Dir Direskrim. Gelar perkara luar biasa tahap pertama untuk penghentian penyidikan dihadiri sekurang-kurangnya: a) penyidik dan pengawas; b) pejabat atasan perwira pengawas Penyidik atau pejabat yang membuat Surat Perintah Penyidikan; c) Itwasda; d) Bid Binkum; e) Bid Propam; f) Saksi AhIi; g) Dapat menghadirkan pihak Pelapor dan terlapor. Gelar Perkara luar biasa tahap kedua untuk Penghentian Penyidikan dihadiri sekurang-kurangnya: a) penyidik dan pengawas Penyidik; b) pejabat atasan Perwira Pengawas Penyidik atau pejabat yang membuat Surat Perintah Penyidikan; c) Itwasda; d) Bid Binkum; e) Bid Propam; f) pihak pelapor beserta penasehat hukumnya; g) pihak terlapor beserta penasehat hukumnya; h) pejabat JPU bila sangat diperlukan. Pelaksanaan gelar perkara luar biasa untuk penghentian Penyidikan perkara meliputi: a) pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar; b) paparan Tim Penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan hasil penyidikan yang telah dilaksanakan; c) tanggapan dan diskusi para peserta gelar perkara; d) kesimpulan hasil gelar perkara. Tahap kelanjutan hasil gelar perkara meliputi: a) pembuatan laporan hasil gelar perkara; b) penyampaian laporan kepada pejabat yang berwenang dengan melampirkan hasil notulen; c) arahan dan disposisi pejabat yang berwenang; d) pelaksanan hasil gelar oleh Tim Penyidik; e) pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan hasil gelar oleh Perwira Pengawas Penyidik. Hasil gelar perkara Penghentian penyidikan dilaporkan kepada pejabat atasan pimpinan gelar perkara untuk mendapatkan arahan dan keputusan tindak lanjut hasil gelar perkara. Dalam hal pejabat atasan pimpinan gelar perkara menyetujui untuk dilaksanakan penghentian penyidikan, penyidik wajib segera melaksanakan penghentian penyidikan. Dalam hal pejabat atasan pimpinan gelar perkara tidak menyetujui hasil keputusan gelar perkara maka atasan penyidik membuat sanggahan tertulis terhadap hasil gelar perkara diberi alasan yang cukup yang diajukan kepada pimpinan kesatuan atas. Pengawas penyidik kesatuan atas melakukan supervisi terhadap sanggahani hasil gelar. Administrasi Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP) yang diajukan kepada Dir Rekrim dengan ketentuan: a) melampirkan nota dinas tentang hasil gelar perkara; b) takah pendapat penyidik, kanit, kasat tentang penghentian penyidikan; c) surat Perintah Penghentian Penyidikan; d) surat Ketetapan Penghentian Penyidikan. Mengirimkan SPHP kepada pelapor tentang penghentian penyidikan yang dilakukan dengan memberikan pertimbangan pertimbangan dilakukannya penghentian penyidikan. Waktu pengiriman SPHP tentang penghentian penyidikan selambatlambatnya (tiga) hari setelah Surat Perintah Penghentian Penyidikan diterima oleh penyidik. Dalam hal perkara yang telah dihentikan penyidikan, dapat dilanjutkan proses penyidikan berdasarkan: a) keputusan pra peradilan yang menyatakan bahwa penghentian penyidikan tidak sah dan wajib melanjutkan penyidikan; b) diketemukannya bukti baru (novum) untuk pemenuhan unsure pasal yang dipersangkakan untuk selanjutnya diserahkan ke JPU; c) hasil gelar perkara luar biasa yang dihadiri dan diputuskan oleh pejabat yang berwenang untuk membatalkan keputusan penghentian penyidikan yang diduga terdapat kekeliruan, cacat hukum, atau terdapat penyimpangan. Gelar perkara luar biasa untuk melanjutkan penyidikan sekurang-kurangnya dihadiri oleh: a) penyidik dan perwira pengawas penyidik yang menghentikan penyidikan; b) pejabat yang mengelurkan keputusan penghentian penyidikan; c) atasan pejabat yang mengelurkan keputusan penghentian penyidikan atau yang mewakili; d) Itwasda; e) Bid binkum; f) Bid propam; g) pihak pelapor; h) pihak terlapor. Pejabat yang berwenang untuk melanjutkan proses penyidikan adalah Kapolda. KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SOP ADMINISTRASI STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR Penyelenggaraan administrasi penyidikan dalam aplikasi penjabaran Standar Operasional Prosedur (SOP) berpedoman pada ketentuan yang berlaku antara lain: a. Undang-undang No. tahun 00 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR LOMBOK TIMUR PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM RESERSE KRIMINAL POLRES LOMBOK TENGAH I. PENDAHULUAN 1. Umum a. UU. No.2 tahun 2002 tentang Pokok-pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENYUSUNAN BERKAS PERKARA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MATARAM Mataram, 01 Januari 2016

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENGGELEDAHAN SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MATARAM Mataram, 01 Januari 2016 STANDAR OPERASIONAL

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MATARAM Mataram, 01

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

Jl. Sultan Muhammad Salahudin Panda-Bima,

Jl. Sultan Muhammad Salahudin Panda-Bima, Jl. Sultan Muhammad Salahudin Panda-Bima, STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENYELIDIKAN dan PENYIDIKAN T. PIDANA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES BIMA I. PENDAHULUAN a. Tugas pokok Polri sesuai yang diamanatkan

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENANGANAN BARANG BUKTI SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MATARAM Mataram, 01 Januari 2015

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PEMERIKSAAN SAKSI / TERSANGKA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MATARAM Mataram, 01 Januari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA SATUAN RESERSE NARKOBA POLRES MATARAM Mataram, 02 Januari 2016

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERBAIKAN DR SETUM 13 AGUSTUS 2010 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N No.1490, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Pengelolaan Barang Bukti. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BARANG

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENANGANAN PERKARA PIDANA DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS KEPOLISIAN DAERAH KALIMANTAN TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS KEPOLISIAN DAERAH KALIMANTAN TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS KEPOLISIAN DAERAH KALIMANTAN TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR GELAR PERKARA DI LINGKUNGAN DITRESKRIMSUS POLDA KALTIM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan C. Penggeledahan Definisi Menurut M. Yahya Harahap, penggeledahan yaitu adanya seorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang, kemudian petugas memeriksa segala sudut rumah

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BUTON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.861, 2017 KEMEN-KP. Kode Etik PPNS Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 239/PMK.03/2014, 22 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.686, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPOLISIAN. Manajemen. Penyidikan. Tindak Pidana. PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 56 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 56 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 56 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN RUANG / /20..

SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN RUANG / /20.. LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PENATAAN RUANG SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 002/KOMNAS HAM/IX/2011 TENTANG PROSEDUR PELAKSANAAN PENYELIDIKAN PROYUSTISIA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta No.407, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENATR/BPN. PPNS. Penataan Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA. Oleh INDARTO BARESKRIM

PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA. Oleh INDARTO BARESKRIM PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA Oleh INDARTO BARESKRIM DASAR 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESORT MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK (UNIT PPA)

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA Dompu 2 Januari 2016 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan disusun dalam 9 (sembilan) bab

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENAHANAN SATUAN RESERSE NARKOBA POLRES MATARAM Mataram, 06 Januari 2016 STANDAR OPERASIONAL

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN OPERASIONAL PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.751, 2017 KEJAKSAAN. Benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Sita Eksekusi. Pelelangan atau Penjualan Langsung. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kedua, Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2 Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2.1 Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1035, 2017 OMBUDSMAN. Laporan. Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian. Pencabutan. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENERIMAAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL HSL RPT TGL 13 JULI 2009 PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI SALINAN BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR : 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2010 T E N T A N G PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci