KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013"

Transkripsi

1 KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013 (The Habit Of Washing Raskin And The Residual Bleach (Chlorine) In The Village Of East Sidorame In Sub-District Of Medan Perjuangan In The City Of Medan In 2013 ) Adelina Irmayani 1, Zulhaida Lubis 2, Fitri Ardiani 2 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT The estimated, there are chlorine used in the Raskin which received by people in the village of East Sidorame because has a white color, not much grain is broken, and it has little sting smell. The aim of this study is to describe the habit of washing Raskin and the residual chlorine in Raskin in the village of East Sidorame. This is the descriptive survey study, with Raskin and the poor family who receive it as a sample. Measurement of chlorine is using argentometry method. The sample is taken with systematic random sampling for 84 families who getting and consuming the Raskin. Base on the laboratory test show that the chlorine found in the Raskin. It has 17,70% chlorine before washing. After the first wash of rice, there was chlorine content decreased to 14,16%, the second wash decreased to 10,18%, the third wash to 5,75%, and the fourth wash, chlorine content decreased to 3,98%. Almost the people wash the rice by stirring the rice and draining water at same time while washing the rice. 38,55% of them washing the rice once. 31,33% of them washing the rice twice. Almost of them washing rice once or twice, but there is still chlorine in great enough quantities if compared washing Raskin to four times. Suggested for Bulog to attention to the quality of rice which distributed to people in terms of food security in rice. Recommended to people to washing Raskin to fourth wash or more to reduce residual chlorine. Keyword : Raskin, Chlorin, Washing Raskin PENDAHULUAN Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan penduduk daerah tropik lainnya. Selain rakyat di wilayah ini sudah begitu mahir dalam teknologi bercocok tanam padi, teknik pengolahan dan pemasakan terhadap beras juga sangat mudah. Tingkat daya beli, pengetahuan mengolah dan menyajikan yang telah dikuasai oleh masyarakat Indonesia sangat sesuai dengan beras sebagai bahan makanan pokok (Sediaoetama, 2009). Beras mengandung nilai gizi yang cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6,8 gr, dan kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0,8 mg. Vitamin yang utama pada beras adalah tiamin, riboflavin, niasin, dan piridoksin (Astawan, 2004). Di zaman seperti sekarang ini, banyak berbagai macam makanan di Indonesia yang sudah mengandung zat kimia tambahan yang berbahaya bagi kesehatan. Kasus beras dicampur pemutih ini sudah ada sejak tahun Balai Pengawasan Obat dan Makanan Kota Tangerang menemukan pedagang menjual beras ini dengan bebas. Untuk membuat beras terlihat lebih putih, biasanya beras dicampur dengan klorin. Balai Pengawasan Obat dan Makanan Kota Tangerang menemukan kadar klorin seberat 0,05 ppm dalam beras curah yang diperdagangkan di pasar Tradisional, Tangerang (Lukman, 2010). Klorin merupakan bahan kimia yang biasanya digunakan sebagai pemutih pakaian. Sekarang klorin tidak hanya digunakan sebagai bahan pemutih pakaian saja, tetapi juga telah digunakan sebagai bahan 1

2 pemutih/pengilat beras agar beras yang berkualitas rendah dapat telihat lebih putih. Dampak dari beras yang mengandung klorin tidak terjadi sekarang, melainkan bahaya kesehatannya akan muncul 15 hingga 20 tahun mendatang, khususnya jika beras tersebut dikonsumsi secara terus menerus. Zat klorin yang ada dalam beras akan menggerus usus pada lambung (korosit). Akibatnya, lambung akan rawan terhadap penyakit maag. Dalam jangka panjang, klorin akan mengakibatkan penyakit kanker hati dan ginjal. Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), pemerintah telah mengembangkan program subsidi/bantuan pangan berupa beras untuk meningkatkan akses pangan rumah tangga miskin yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Mengingat beras adalah bahan pangan pokok yang paling banyak dikonsumsi, maka prioritas utama pemerintah adalah untuk menjamin masyarakat agar dapat mengakses beras dalam jumlah yang mencukupi melalui program subsidi pangan untuk rumah tangga miskin. Beras yang diterima oleh rumah tangga miskin tersebut disebut dengan istilah raskin. Melalui program ini pemerintah mendistribusikan beras dengan harga bersubsidi sehingga masyarakat miskin yang daya belinya sangat terbatas bisa mendapatkan bahan pangan pokok yaitu beras. Berdasarkan survei pendahuluan, dari segi fisik raskin yang diterima warga memiliki tampilan yang bagus, yaitu putih bersih dan bentuk berasnya masih bagus dan utuh. Namun, dari segi aroma, raskin tidak memiliki aroma seperti beras lain. Raskin baunya sedikit menyengat. Air cucian raskin tidak keruh dan kotor ketika dicuci sehingga masyarakat merasa tidak perlu mencuci beras berulang kali karena airnya tidak kotor. Hal ini berbeda ketika kita mencuci beras pada umumnya. Raskin ini pun lebih tahan lama disimpan dan tidak memiliki kutu beras apabila disimpan dalam waktu yang lama. Apabila raskin dimasak dengan jumlah air yang biasa, nasi yang dihasilkan akan keras. Oleh karena itu, pada saat pengolahan warga membutuhkan air yang lebih banyak untuk memasak raskin ini daripada beras biasa. Setelah dimasak menjadi nasi, apabila dibiarkan nasinya akan menjadi keras. Dari segi rasa, raskin ini juga kurang enak apabila dikonsumsi. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat apakah terdapat zat pemutih dalam raskin yang diterima masyarakat dan residu zat pemutih setelah dilakukan pencucian serta kebiasaan masyarakat dalam melakukan pencucian raskin. Sehingga dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai beras berpemutih dan penanganannya serta bagaimana pencucian beras yang sebaiknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kebiasaan pencucian raskin dan residu zat pemutih (klorin) di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan survei yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui kebiasaan pencucian raskin di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. Setelah dilakukan survei, akan dilanjutkan dengan melihat kandungan dan residu klorin pada raskin. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang menerima raskin. Sampel dalam penelitian ini yaitu raskin dan keluarga yang memperoleh raskin. Pengambilan sampel terhadap keluarga diperoleh dengan teknik systematic random sampling. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dan dilakukan analisa terhadap data yang diperoleh yang akan disajikan dalam bentuk narasi dengan menggunakan analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi responden beradasarkan kondisi raskin yang diterima di Kelurahan Sidorame Timur adalah bahwa seluruh responden sebanyak 84 orang (100%) menerima raskin dalam kondisi beras yang bagus, warnanya putih bersih, butirannya masih utuh dan tidak banyak yang patah. Raskin memiliki bau yang sedikit menyengat. Selain itu, raskin yang diterima juga tidak berkutu. Dapat terlihat bahwa kondisi fisik tersebut memiliki ciri-ciri seperti beras yang mengandung klorin. 2

3 Beras yang baik adalah beras yang berwarna putih kecoklatan atau agak kekuningan. Namun, banyak masyarakat menganggap bahwa beras yang baik adalah beras yang berwarna putih bersih. Padahal beras yang berwarna putih bersih sudah banyak kehilangan zat gizi akibat proses penggilingan dan penyosohan. Selain itu, beras yang berwarna putih bersih mengkilap, perlu diwaspadai adanya kandungan zat pemutih. Adapun ciri-ciri beras yang mengandung pemutih yaitu warnanya putih bersih, mengkilap, tercium bau bahan kimia, dan jika beras dicuci, air cuciannya agak putih bersih. Pendapat keluarga mengenai rasa nasi dari raskin yang paling banyak adalah berpendapat bahwa rasanya tidak enak yaitu sebanyak 72 orang (85,71%) dan yang berpendapat bahwa rasanya enak ada sebanyak 12 orang (14,29%). Ibu dalam memasak nasi sehari-hari ada yang memasak untuk sekali makan langsung habis dan ada juga yang memasak nasi 2 kali dalam sehari (pagi dan sore). Ibu yang memasak nasi untuk sekali makan saja (langsung habis) ada sebanyak 69 orang (82,14%). Sedangkan 15 orang (17,86%) memasak nasi di saat pagi dan sore hari. Ratarata nasi yang mereka masak hanya dapat bertahan sekitar 10 jam. Selain itu, ibu juga mengatakan bahwa jika nasi dibiarkan dalam waktu yang lama maka nasinya akan menjadi keras, itulah sebabnya mengapa banyak ibuibu yang hanya memasak nasinya untuk sekali makan saja (langsung habis). Responden yang mencampur raskin dengan bahan lain dalam memasak nasi ada sebanyak 60 orang (71,43%) responden yang tidak mencampur raskin dengan bahan makanan lain saat memasak. Sedangkan responden yang mencampur raskin dengan beras lain saat memasak adalah sebanyak 23 orang (95,83%). Raskin memiliki rasa yang tidak enak jika dibandingkan dengan beras yang dijual di pasar. Nasi yang dihasilkan dari raskin, setelah dimasak akan menghasilkan nasi yang keras. Masyarakat merasa nasi yang keras ini menjadikan rasa nasi menjadi tidak enak. Raskin memiliki tekstur yang keras yang menjadikan masyarakat ketika memasak raskin menambahkan air yang lebih banyak jika dibandingkan dengan memasak beras yang dijual di pasar. Dalam memasak raskin, masyarakat memilih manambahkan bahan pangan lain ketika memasak raskin untuk mengurangi rasa raskin yang kurang enak akibat tekstur yang keras. Bahan yang dapat ditambahkan sebenarnya cukup beragam seperti beras ketan, ubi, agar-agar, ataupun beras lain yang dibeli di pasar. Namun, masyarakat lebih memilih mencampurkan beras lain ataupun beras ketan ke dalam raskin ketika memasak raskin. Dengan perbandingan raskin lebih banyak dibandingkan bahan yang dicampurkan. Masyarakat juga banyak yang memasak nasi untuk sekali makan saja karena apabila nasi dibiarkan dalam waktu yang lama, nasi akan menjadi keras. Sehingga mereka hanya memasak nasi ketika akan makan saja agar nasi tidak menjadi keras. Nasi yang diolah dari beras organik dapat tahan selama 24 jam tanpa dimasukan ke dalam pemanas nasi elektrik. Sebaliknya, nasi non-organik hanya tahan disimpan selama 12 jam. 24 jam adalah batas maksimum lama penghangatan nasi dengan magic com untuk menjamin nasi yang dikonsumsi selalu masih memiliki kandungan gizi yang memadai, relatif segar, tidak menyebabkan bau tak sedap, serta tentunya hemat energi listrik (Parnata, 2010). Pemeriksaan klorin dilakukan pada beras miskin. Diperoleh klorin positif dari sampel beras miskin yang diperiksa. Kemudian sampel beras miskin juga diperiksa pada sampel beras yang belum dicuci dan pada sampel beras yang dicuci. Adapun hasil pemeriksaan kuantitatif klorin pada beras dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Klorin Pada Beras Miskin yang Belum Dicuci dan Residu Klorin Pada Pencucian Beras Pertama Sampai dengan Pencucian Beras Keempat No. Sampel Kadar Klorin (%) 1. Beras yang belum dicuci 17,70 2. Pencucian beras pertama 14,16 3. Pencucian beras kedua 10,18 4. Pencucian beras ketiga 5,75 5. Pencucian beras keempat 3,98 3

4 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kandungan klorin pada beras miskin sebesar 17,70%. Sedangkan pada proses pencucian pertama pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 14,16%. Pada proses pencucian kedua pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 10,18%. Pada proses pencucian yang ketiga pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 5,75%. Pada proses pencucian yang keempat pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 3,98%. Dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kandungan klorin pada setiap kali proses pencucian terhadap beras dan kandungan klorin terendah terdapat pada proses pencucian yang keempat. Kandungan klorin pada raskin mengalami penurunan setelah dilakukan pencucian terhadap raskin. Hal ini terbukti semakin banyaknya pencucian yang dilakukan semakin banyak juga klorin yang terlarut dengan air pencucian beras. Hal ini sesuai dengan sifat klorin yang dapat larut dengan mudah dalam air. Klorin merupakan bahan pemutih yang biasa digunakan sebagai pemutih pakaian ataupun pemutih kertas. Klorin juga digunakan sebagai desinfektan pada pengolahan air minum. Klorin yang digunakan adalah gas klor (Cl 2 ) atau kalsium hipoklorit (Ca(OCl) 2 ). Klorin ini pun digunakan pada beras untuk membuat beras terlihat lebih putih dan bersih. Pada kain, cara kerja bahan pemutih yaitu bahan pemutih bereaksi (mengoksidasi) dengan kotoran sehingga kotoran tidak tampak lagi (kain terlihat lebih bersih). Selain dengan kotoran, bahan pemutih juga akan bereaksi dengan zat warna (pada kain berwarna). Bahan pemutih pakaian umumnya mengandung senyawa klorin yang dapat merusak serat kain dan warna pakaian. Selain itu, senyawa klorin juga dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Mengingat sifat bahan pemutih di atas, dituntut kehati-hatian pada penggunaan bahan pemutih (Dian, 2013). Klorin yang digunakan untuk memutihkan pakaian biasanya dapat merusak pakaian apabila penggunaannya berlebihan. Apalagi apabila klorin digunakan ke dalam bahan pangan, tentunya akan sangat membahayakan kesehatan. Bahaya kesehatan yang terjadi apabila klorin masuk ke dalam tubuh manusia memang tidak terjadi dalam waktu singkat tetapi dalam jangka waktu panjang. Dampak dari kandungan klorin pada beras sangatlah berbahaya bagi kesehatan tubuh. Dampaknya memang tidak terjadi sekarang. Bahaya kesehatan akan muncul 15 sampai 20 tahun mendatang, khususnya apabila beras tersebut dikonsumsi secara terusmenerus. Bahaya yang ditimbulkan antara lain dapat menyebabkan terganggunya sistem saraf dan ginjal. Gangguan kesehatan lainnya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi beras yang mengandung klorin dalam jangka panjang adalah gangguan usus, ginjal dan hati. Klorin merupakan bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan, ditinjau dari segi manapun penggunaan zat pemutih apabila dicampurkan terhadap beras, sangat tidak dibenarkan karena dampaknya yang begitu besar bagi kesehatan manusia. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, menyatakan bahwa klorin dilarang digunakan pada beras. Klorin tidak tercatat sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam kelompok pemutih dan pematang tepung. Berdasarkan cara mencuci raskin, hampir seluruh responden atau sebanyak 83 responden (98,81%) mencuci raskin dengan cara mengaduk-aduk beras ketika dicuci dengan menggunakan wadah panci ataupun wadah rice cooker. Sedangkan 1 orang responden (1,19%) mencuci raskin dengan menggunakan wadah saringan dengan cara mengalirkan air sambil di aduk-aduk. Pada umumnya kebiasaan ibu rumah tangga, beras akan dicuci terlebih dahulu sebelum dimasak. Cara mencucinya pun bervariasi. Ada yang mencuci dengan mengosok-gosok berasnya, ada yang mengaduk-aduk secara ringan saja, dan ada pula hanya membiarkan saja sampai kotoran pada beras naik sendiri. Kebanyakan para ibu mencuci beras sampai warna airnya bening. Dari segi gizi, sudah pasti banyak kandungan gizi yang hilang dengan proses pencucian beras, terutama vitamin yang larut dalam air. Beras mengandung nilai gizi yang cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6,8 gr, dan 4

5 kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0,8 mg. Vitamin yang utama pada beras adalah tiamin, riboflavin, niasin, dan piridoksin (Astawan, 2004) Tiamin (vitamin B1) yang merupakan vitamin yang utama pada beras merupakan salah satu kelompok dari vitamin B yang merupakam salah satu dari vitamin larut air. Tiamin yang terdapat pada kulit ari beras dapat juga hilang ketika proses penggilingan dan proses penyosohan padi. Padahal pada bagian kulit ari tersebut banyak terdapat tiamin (vitamin B1). Proses penyosohan beras pecah kulit menghasilkan beras giling, dedak dan bekatul. Sebagian protein, lemak, vitamin dan mineral akan terbawa dalam dedak, sehingga kadar komponen-komponen tersebut dalam beras giling menurun. Beras giling yang diperoleh berwarna putih karena telah terpisah dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Bagian dedak padi sekitar 5-7 persen dari berat beras pecah kulit. Makin tinggi derajat penyosohan dilakukan makin putih warna beras giling yang dihasilkan, namun makin miskin zat-zat gizi (Sediaoetama, 2009). Masyarakat seringkali melakukan penggilingan padi sampai tahap paling sempurna. Masyarakat menganggap makin putih beras maka kualitasnya makin baik (rasanya lebih enak). Padahal beras yang digiling sampai menjadi putih (giling sempurna), akan kehilangan vitamin B1 didalamnya (Moehyi, 1992). Pada beras giling sudah banyak zat-zat gizi yang hilang akibat proses penggilingan dan penyosohan. Oleh sebab itu, aktivitas mencuci beras diharapkan agar tidak semakin banyak kandungan vitamin B yang hilang yaitu dengan tidak mengaduk-aduk secara kuat ketika mencuci beras. Selain itu, tiamin juga dapat hilang karena proses pencucian beras sebelum dimasak. Oleh karena itu, cara pencucian beras perlu diperhatikan agar kandungan gizi seperti tiamin tidak banyak hilang. Berdasarkan hasil penelitian diatas masyarakat masih mencuci beras dengan cara mengaduk-aduk beras ketika dicuci. Hal ini tentu saja membuat semakin banyak vitamin yang larut dalam air pencucian. Apabila beras sudah terlihat bersih sebaiknya ketika mencuci beras, tidak perlu diaduk-aduk kuat. Cukup diaduk ringan saja atau dibiarkan saja sampai kotoran pada beras naik ke permukaan air. Selain itu, banyaknya proses penggantian air cucian beras juga dapat menghilangkan kandungan gizi pada beras terutama vitamin yang larut dalam air. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh bahwa frekuensi responden dalam penggantian air cucian raskin dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Distribusi Berdasarkan Frekuensi Penggantian Air Cucian di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan 2013 No. Frekuensi Jumlah % 1. 1 kali 32 38, kali 26 31, kali 15 18, kali 10 12,05 Jumlah ,00 Berdasarkan frekuensi penggantian air cucian, diperoleh bahwa sebesar 38,55% masyarakat mengganti air cucian beras ketika akan memasak adalah sebanyak 1 kali. Sebesar 31,33% masyarakat mengganti air cucian beras adalah sebanyak 2 kali. Sebesar 18,07% masyarakat mengganti air cucian beras adalah sebanyak 3 kali. Sedangkan 12,05% masyarakat mengganti air cucian beras ketika akan memasak adalah sebanyak 4 kali. Jika dilihat dari segi gizi, proses penggantian air cucian yang dilakukan masyarakat sudah cukup baik terlihat dari banyaknya masyarakat yang mencuci beras hanya dengan mengganti air cucian sebanyak 1 atau 2 kali saja. Beras adalah salah satu bahan makanan pokok yang dapat diolah menjadi nasi yang mengandung vitamin B1 yang bentuk murninya adalah tiamin hidroklorida. Faktorfaktor yang mempengaruhi hilangnya tiamin hidroklorida dalam jumlah besar selama proses pengolahan diantarannya: pengeringan, larut dalam pencucian, jumlah air yang digunakan selama pemasakan, waktu pemasakan, penyimpanan, adanya alkali, ph, dan suhu (Nasution, 1991). Pada waktu membeli beras di pasar dianjurkan untuk membeli beras yang bersih. Jika beras itu ternyata kurang bersih juga, 5

6 cukup mencucinya sekali saja. Itupun dengan cara menuangkan cukup air lalu menggoyanggoyang wadah beras itu, kemudian ditiriskan airnya. Sebaiknya jangan mengaduk-aduk beras dengan kedua tangan, karena hanya akan membuang segenap zat-zat gizi yang sangat diperlukan tubuh (Sitorus, 2009). Dengan pencucian yang berlebihan (digosok dengan kuat), vitamin B1 pada beras akan larut dan hilang bersama air pencuci. Dianjurkan, pencucian beras sebaiknya hanya untuk menghilangkan benda-benda asing yang terikut seperti sisa bekatul dan debu, bukan menggosoknya hingga nutrisi pada lapisan kulit ari larut dan hilang bersama air pencuci (Khomsan, 2009). Mencuci yang baik adalah beras diletakkan dalam wadah kemudian diberi air bersih, lalu diaduk dengan ringan saja, agar kotoran yang lebih ringan dari air akan terapung dan dapat dibuang bersama air pencuci itu. Mencuci cukup satu kali saja, tidak perlu diulang-ulang sampai air pencucinya menjadi bening (Sediaoetama, 2009). Namun, hasil penelitian juga membuktikan bahwa pada beras miskin terdapat kandungan klorin. Dimana, kandungan klorin tidak diperbolehkan pada beras. Klorin memiliki sifat larut dalam air. Sehingga apabila klorin terdapat pada beras, maka cara yang terbaik untuk mengurangi kadar klorin pada beras tersebut adalah dengan melakukan pencucian yang berulang-ulang pada beras. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa semakin banyak dicuci, kandungan klorin juga semakin berkurang. Kebiasaan masyarakat yang mencuci beras hanya 1 atau 2 kali saja, masih meninggalkan klorin yang banyak pada beras. Sedangkan pada masyarakat yang mencuci sampai 4 kali telah mengurangi banyak klorin dari sebelum beras dicuci. Tetapi kebiasaan mencuci beras sampai 4 kali juga tidak baik dari segi kandungan gizinya. Karena sudah pasti banyak juga zat gizi yang hilang bersama air cucian. Dengan kebiasaan masyarakat yang mencuci beras dengan mengganti air cucian 1 atau 2 kali masih menyisakan klorin yang banyak pada beras. Sedangkan masyarakat yang mencuci beras sampai 4 kali pun juga masih menyisakan klorin pada beras meskipun jumlahnya sudah berkurang. Dengan mencuci beras sampai 4 kali pun yang sebenarnya tidak umum untuk dilakukan, masih sangat berisiko untuk menimbulkan bahaya kesehatan, mengingat klorin memang tidak diperbolehkan pada beras. Klorin yang terdapat pada beras, apabila dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan vitamin B, C dan E dalam tubuh. Hal ini menyebabkan vitamin B, C, dan E yang masuk ke dalam tubuh menjadi tidak bermanfaat karena telah dirusak. Dalam jangka 20 tahun, klorin dapat menimbulkan kerusakan pada usus. Apabila akibat dari klorin tersebut sudah menyebabkan kerusakan pada usus, maka akan menghambat penyerapan nutrisi-nutrisi yang masuk ke dalam tubuh. Zat klorin yang terdapat pada beras apabila masuk ke tubuh akan menggerus usus dan lambung (korosit). Akibatnya lambung akan rawan terhadap penyakit maag. Apabila terjadi kerusakan pada dinding lambung dan usus, maka proses pencernaan makanan juga akan terjadi gangguan. Dengan tergerusnya dinding usus akibat klorin, maka akan mengakibatkan dinding usus akan semakin menipis dan bisa berlubang. Hal ini tentunya akan menggangu penyerapan nutrisinutrisi makanan yang masuk ke dalam tubuh. KESIMPULAN 1. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap raskin diperoleh bahwa di dalam raskin terdapat zat pemutih (klorin). 2. Kandungan klorin pada raskin sebelum pencucian sebesar 17,70%. Kandungan klorin pada pencucian pertama diperoleh sebesar 14,16%. Pada pencucian kedua terjadi penurunan menjadi 10,18%. Pada pencucian ketiga pun terjadi penurunan klorin menjadi 5,75%. Begitu pula pada pencucian keempat, kandungan klorin menurun menjadi 3,98%. Kandungan klorin berkurang seiring dengan semakin banyaknya pencucian. Namun, sampai pencucian yang keempat kali pun, klorin masih tetap ada pada beras. 3. Sebagian besar masyarakat mencuci beras dengan cara mengaduk-aduk beras sambil mengalirkan air sehingga terjadi banyak 6

7 zat-zat gizi yang hilang bersama air cucian terutama vitamin yang larut dalam air. 4. Berdasarkan frekuensi pencucian raskin, umumnya masyarakat mencuci beras 1 sampai 2 kali tetapi hal ini masih meninggalkan klorin yang cukup besar pada beras jika dibandingkan dengan yang mencuci raskin sampai 4 kali. Meskipun mencuci beras sampai 4 kali masih tetap memiliki risiko akan bahaya kesehatan, namun setidaknya kandungan klorinnya sudah berkurang banyak jika dibandingkan dengan beras sebelum dicuci. SARAN 1. Bagi Bulog agar memperhatikan lagi kualitas beras yang didistribusikan kepada masyarakat bukan hanya dari segi fisik saja tetapi kandungan-kandungan lain yang berbahaya yang terdapat pada beras. 2. Bagi masyarakat sebaiknya mencuci raskin sebanyak 4 kali atau lebih untuk mengurangi residu klorin yang terdapat pada beras, meskipun akan banyak membuang zat gizinya, terutama zat gizi yang larut dalam air misalnya vitamin B1. Namun, vitamin B1 masih bisa diperoleh dari makanan lain. Moehyi, S Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Penerbit Bharata. Jakarta. Nasoetion, A. H dan Karyadi, D Vitamin. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Parnata, A.S Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. Penerbit Agro Media Pustaka. Jakarta. Sediaoetama, A.D Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II.Cetakan Keempat. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta. Sitorus, R Makanan Sehat dan Bergizi. Penerbit CV Yrama Widya. Bandung DAFTAR PUSTAKA Astawan, M Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Cetakan I. Penerbit Tiga Serangkai. Solo. Dewan Ketahanan Pangan Indonesia Tahan Pangan dan Gizi Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur. Dian N.F Kimia SMP Kelas VII, VIII, dan IX. Penerbit Cabe Rawit. Yogyakarta. Khomsan, A Rahasia Sehat dengan Makanan Berkhasiat. Penerbit PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Lukman, A Mengenali Beras Berpemutih. Diakses 11 Agustus 2012; ws/xml/2010/02/13/ /mengen ali. Beras.Berpemutih/trackback. 7

8 KARAKTERISTIK BAYI PENDERITA GASTROENTERITIS YANG DIRAWAT INAP DI RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN TAHUN Rivando Fernandus 1 ; Sori Muda Sarumpaet 2 ; Hiswani 2. 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Abstract Gastroenteritis disease remains a major cause of morbidity and mortality of children in the world, especially in developing countries, including Indonesia. Based on the results of the morbidity and mortality survey conducted Sub gastroenteritis in 2010, the death rate from gastroenteritis Cause Specific Death Rate by 23 about 100 thousand inhabitants and in infants Age Specific Death Rate by 75 about 100 thousand babies. While in the hospital Puri Husada Tembilahan, the overall proportion of infant gastroenteritis cases by 42.01% and the Case Fatality Rate by 3.12%. Has done research that aims to identify the characteristics of infants hospitalized patients with gastroenteritis in hospitals Puri Husada Tembilahan years , a descriptive case series design, using secondary data. The population is all infants hospitalized patients with gastroenteritis in as many as 229 people, and a sample of 146 people were taken by simple random sampling. From the research found most babies with gastroenteritis at the age of < 6 months (87,7%), males (56,8%), self-employed parents work (69,2%), good nutrition status (64,4%), the main complaint vomiting (89,0%), the degree of mild dehydration (64,4%), complications (14,4%),management of intravenous fluid administrations/infusion (51,4%), the average treatment time 3,43 during the day and go home in a state of recovery (70,5%). Statistical test results obtained no significant difference in the proportion of state while returning by complications (X 2 = 5,882 ; p = 0,053). There is no significant difference in the average long care by age (F = 2,678 ; p = 0,104), there was no significant difference in the average treatment time is based on the degree of dehydrations (F = 2,555 ; p = 0,081). To the hospital is recomended to improve the quality of service and complete the notes on the state of the card baby height measurement, the level of mother s education and employment. Keywords: gastroenteritis, infant characteristics Pendahuluan Gastroenteritis hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia, dan semua kelompok usia bisa terinfeksi gastroenteritis. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun gastroenteritis merupakan penyebab kematian nomor tiga pada bayi baik di dunia maupun di Asia Tenggara dengan Proportional Mortality Ratio (PMR) 17-18%. Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 menunjukkan, derajat kesehatan Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Singapura, dimana Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBA) di Malaysia sudah mencapai 8 per kelahiran hidup, sementara AKB di Singapura sudah mencapai 3 per kelahiran hidup dan AKBA mencapai 4 per kelahiran hidup dan yang tertinggi dicapai oleh Myanmar, yaitu 104 kematian per kelahiran hidup sedangkan di Indonesia 36 kematian per kelahiran hidup. Kajian ARSN (Asian Rotavirus Surveillance Networks) kedua pada tahun 2001 dilakukan di beberapa negara di Asia (Cina, Taiwan, Hongkong, Vietnam, Myanmar, Thailand dan Indonesia) terdapat bahwa infeksi rotavirus 1

9 sebesar 45% kejadian gastroenteritis di Asia. Hongkong merupakan daerah dengan prevalensi rotavirus terendah (28%) sedangkan prevalensi tertinggi di Vietnam (59%). Infeksi Rotavirus merupakan salah satu penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi berat pada bayi dan balita di seluruh dunia. Sebuah studi analisis yang dilakukan oleh Parashar pada tahun (2009), menunjukkan bahwa infeksi rotavirus dapat menyebabkan 114 juta episode gastroenteritis, 24 juta kunjungan rawat jalan, 2,4 juta kunjungan rawat inap dan kematian bayi dan balita pada tahun Diperkirakan proporsi kematian akibat gastroenteritis rotavirus terjadi pada negara berkembang sebesar 82%, terutama di Asia dan Afrika. Indonesia juga menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan dan masih meningkatnya beberapa penyakit menular disamping penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif dan munculnya penyakit baru. Sampai saat ini penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi di Indonesia adalah gastroenteritis atau juga sering disebut diare. 5 Kegiatan penanggulangan penyakit gastroenteritis di Indonesia sudah dimulai sejak tahun Peningkatan pemberantasan yang berdasarkan kenyataan pelaksanaan di lapangan serta selaras dengan resolusi World Health Assembly tahun 1978 yang mengharapkan bahwa setiap negaranegara anggota WHO dapat mengembangkan pemberantasan penyakit gastroenteritis sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya dapat ditekan seminimal mungkin. Hasil Survei morbiditas dan mortalitas yang dilakukan Subdit Gastroenteritis pada tahun 2010 menunjukkan angka kematian akibat gastroenteritis (Cause Spesific Death Rate) sebesar 23 per 100 ribu penduduk dan pada bayi Age Spesific Death Rate (ASDR) sebesar 75 per 100 ribu bayi. Selama tahun 2010 sebanyak 41 kabupaten 16 propinsi melaporkan terjadi KLB gastroenteritis dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52% dari kasus yang dilaporkan. Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa derajat kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup bermakna. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat antara lain ditunjukkan oleh semakin meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu dan meningkatnya status gizi masyarakat disamping menurunnya angka kematian bayi dan balita dimana berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 didapatkan Angka Kematian Bayi (AKB) yang relatif tinggi di Indonesia yaitu sebesar 46 per kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKBA) sebesar 58 per kelahiran hidup, Sementara berdasarkan hasil SDKI 2002/2003 AKB dan AKBA sudah mengalami penurunan menjadi 35 per kelahiran hidup dan 46 per kelahiran hidup. Di Provinsi Riau terjadi peningkatan kasus gastroenteritis dan diare di rumah sakit setiap tahunnya. Berdasarkan data profil kesehatan propinsi Riau yang dihimpun pada tahun 2009 dan tahun 2010 menunjukkan bahwa banyaknya angka kesakitan gastroenteritis tahun 2009 sebesar kasus dengan proporsi penderita pada bayi sebesar 42% dan tahun 2010 angka kesakitan gastroenteritis sebesar kasus, dengan proporsi penderita pada bayi sebesar 56,03%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten/ Kota Tembilahan tahun 2012 angka kejadian gastroenteritis pada bayi cukup tinggi. Dilaporkan dari 25 puskesmas, terdapat kasus dengan proporsi gastroenteritis pada bayi sebesar 66,34%. Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan merupakan salah satu rumah sakit yang menyediakan ruang rawat inap untuk bayi dan anak-anak. Dari tahun 2011 sampai dengan 2012, gastroenteritis menempati urutan pertama berdasarkan data 10 besar morbiditas pasien rawat inap sentinel. Tahun 2010 dilaporkan terdapat 318 kasus gastroenteritis dengan proporsi pada bayi 2

10 sebesar 40,82%, dan mengalami peningkatan pada tahun dilaporkan terdapat 545 kasus gastroenteritis dengan proporsi bayi sebesar 42,01% sebanyak 229 orang. Sedangkan mortalitas gastroenteritis menempati urutan kelima berdasarkan data 10 penyakit terbesar yang mengakibatkan kematian dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 3,12%. Oleh karena itu perlu diketahui karakteristik bayi penderita gastroenteritis yang dirawat inap di RSUD Puri Husada Tembilahan. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik bayi penderita gastroenteritis yang dirawat inap di RSUD Puri Husada Tembilahan. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan umur. b. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan jenis kelamin. c. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan pekerjaan orang tua. d. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan status gizi waktu masuk rumah sakit. e. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keluhan utama. f. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan derajat dehidrasi. g. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenterituiis berdasarkan komplikasi penyakit. h. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan penatalaksanaan. i. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata bayi penderita gastroenteritis. j. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keadaan sewaktu pulang. k. Untuk mengetahui proporsi umur berdasarkan derajat dehidrasi. l. Untuk mengetahui proporsi status gizi berdasarkan derajat dehidrasi. m. Untuk mengetahui proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan status gizi. n. Untuk mengetahui proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan derajat dehidrasi. o. Untuk mengetahui proporsi komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang. p. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan umur. q. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan status gizi. r. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat dehidrasi. s. Untuk mengetahui derajat dehidrasi berdasarkan dengan penatalaksanaan. Manfaat Penelitian a. Sebagai bahan masukan kepada rumah sakit terhadap peningkatan pelayanan dan penatalaksanaan terhadap bayi penderita gastroenteritis. b. Untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang gastroenteritis. c. Sebagai bahan referensi di perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Metode Penelitian Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diambil dari kartu status pasien yang ada di bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian Case Series. Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan melayani penderitia gastroenteritis rawat inap. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data 3

11 bayi penderita gastroenteritis yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan Tahun yaitu sebanyak 229 orang. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 146 bayi yang penderita gastroenteritis. Teknik pengambilan sampel yaitu dilakukan dengan menggunakan cara Simple Random Sampling. Sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan undian. Pertama-tama semua nomor identitas kartu status dicatat di atas kertas kecil, Kemudian kertas tersebut diambil secara acak sebanyak 146 kali. Nomor identitas kartu status yang terambil dipilih sebagai sampel. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan komputer. Kemudian data dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Chi-square dan Anova. Selanjutnya hasil disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, diagram pie dan diagram bar. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.1. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Umur yang di Rawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan tahun NO Umur (bulan) f Proporsi (%) 1 < ,7 2 > ,3 Jumlah Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa umur bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah < 6 bulan sebanyak 128 orang (87,7%), dan umur > 6 bulan sebanyak 18 orang (12,3%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini : 4 Tabel 4.2. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Jenis Kelamin yang di Rawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun NO Jenis Kelamin f Proporsi (%) 1 Laki laki 83 56,8 2 Perempuan 63 43,2 Jumlah Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin bayi penderita gastroenteritis terbanyak adalah laki-laki sebanyak 83 orang (56,8%), dan perempuan sebanyak 63 orang (43,2%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan pekerjaan orang tua dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.3. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Pekerjaan Orang tua yang dirawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun NO Pekerjaan Orang f Proporsi tua (%) 1 TNI / POLRI 3 2,1 2 PNS 18 12,3 3 Pegawai Swasta 21 14,3 4 Wiraswasta ,2 5 Tidak Bekerja 3 2,1 Jumlah Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa pekerjaan orang tua bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah wiraswasta sebanyak 101 orang (69,2%), pegawai swasta sebanyak 21 orang (14,3%), PNS sebanyak 18 orang (12,3%), TNI/POLRI dan tidak bekerja masing-masing sebanyak 3 orang (2,1%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.4. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Status Gizi yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembi lahan Tahun NO Status Gizi f Proporsi (%) 1 Baik 94 64,4 2 Buruk 52 35,6 Jumlah

12 Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa status gizi bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah status gizi baik yaitu sebanyak 94 orang (64,4%), dan status gizi buruk sebanyak 52 orang (35,6%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.5. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Keluhan Utama yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun NO Keluhan Proporsi f Utama (%) 1 Muntah ,0 2 Demam 16 11,0 Jumlah Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa keluhan utama penderita gastroenteritis terbanyak adalah muntah yaitu sebanyak 130 orang (89,0%), dan demam sebanyak 16 orang (11,0%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan derajat dehidrasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.6. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Derajat Dehidrasi yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun NO Derajat f Proporsi (%) dehidrasi 1 Ringan 94 64,4 2 Sedang 41 28,1 3 Berat 11 7,5 Jumlah Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa derajat dehidrasi penderita gastroenteritis terbanyak adalah dehidrasi ringan yaitu sebanyak 94 orang (64,4%), dehidrasi sedang sebanyak 41 orang (28,1%), dan dehidrasi berat sebanyak 11 orang (7,5%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan komplikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.7. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Komplikasi yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembi lahan Tahun NO Komplikasi f Proporsi (%) 1 Ada 21 14,4 2 Tidak ada ,6 Jumlah Berdasarkan tabel 4.7 di atas dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami komplikasi adalah sebanyak 21 orang (14,4%), dan yang tidak mengalami komplikasi sebanyak 125 orang (85,6%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan penatalaksanaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.8. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Penatalaksanaan yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun NO Penatalaksanaan f Proporsi (%) 1 Pemberian cairan oralit 2 Pemberian cairan intravena/infus 3 Pemberian obat antibiotik 56 38, , ,2 Jumlah Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa penatalaksanaan bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah pemberian cairan intravena/infus yaitu sebanyak 75 orang (51,4%), pemberian cairan oralit sebanyak 56 orang (38,4%), dan pemberian obat antibiotik sebanyak 15 orang (10,2%). Lama rawatan rata-rata bayi penderita gastroenteritis dapat dilihat pada tabel di bawah ini : 5

13 Tabel 4.9. Lama Rawatan Rata-rata Bayi Penderita Gastroenteritis yang Dirawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun Lama rawatan (hari) Rata rata 3,43 95% Confidence 3,11-3,75 Interval Standar Deviasi 1,975 Coefisien of 57,58 Variation Minimum 1 Maksimum 14 Berdasarkan tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata hari bayi penderita gastroenteritis adalah 3,43 hari dengan 95% Confidence Interval 3,11-3,75 hari, standar deviasi 1,975 hari, dan nilai koefisien variasi sebesar 57,58% menunjukkan bahwa lama rawatan bayi penderita gastroenteritis bervariasi dengan lama rawatan minimum 1 hari dan lama rawatan maksimum 14 hari. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun NO Keadaan f Proporsi (%) Sewaktu Pulang 1 Sembuh ,5 2 PAPS 36 24,7 3 Meninggal 7 4,8 Jumlah Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa keadaan sewaktu pulang bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah sembuh yaitu sebanyak 103 orang (70,5%), PAPS sebanyak 36 orang (24,7%), dan meninggal sebanyak 7 orang (4,8%). Distribusi proporsi umur berdasarkan derajat dehidrasi menunjukkan bahwa penderita gastroenteritis dengan dehidrasi ringan terbanyak adalah umur < 6 bulan dengan proporsi sebesar 87,2%. Sedangkan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi sedang terbanyak adalah pada umur < 6 bulan dengan proporsi sebesar 87,8%. 6 Dan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi berat terbanyak adalah pada umur < 6 bulan sebesar 90%. Distribusi Proporsi Status Gizi Berdasarkan Derajat Dehidrasi menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis dengan dehidrasi ringan terbanyak memiliki status gizi baik dengan proporsi sebesar 62,8%. Sedangkan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi sedang terbanyak memiliki status gizi baik dengan proporsi sebesar 68,3%. Dan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi berat terbanyak memiliki status gizi baik dengan proporsi sebesar 36,4%. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Status Gizi menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis yang memiliki status gizi baik, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 71,3%, dan meninggal sebesar 3% (CFR = 3%). Sedangkan bayi yang memiliki status gizi buruk, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 36%, dan meninggal sebesar 4% (CFR = 4%). Status gizi sangat mempengaruhi kejadian gastroenteritis. Pada anak yang kurang gizi karena pemberian makan yang kurang, episode gastroenteritis lebih berat dan berakhir lebih lama. Resiko meninggal akibat gastroenteritis sangat meningkat bila anak sudah mengalami kurang gizi. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Derajat Dehidrasi menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami dehidrasi ringan, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 64,9%, dan meninggal sebesar 1,1% (CFR = 1,1%). Sementara penderita yang mengalami dehidrasi sedang, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh sebesar 87,8%, dan meninggal sebesar 2,4% (CFR = 2,4%).Sedangkan penderita yang mengalami dehidrasi berat, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 54,5%, dan meninggal sebesar 45,5% (CFR = 45,5%). Kehilangan air lebih banyak dari pada pemasukan air merupakan penyebab

14 terjadinya kematian pada penderita gastroenteritis. Sehingga dapat diasumsikan bahwa anak yang mengalami dehidrasi berat memiliki kemungkinan pulang dalam keadaan meninggal. Distribusi Proporsi komplikasi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami komplikasi, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 85,7%, dan meninggal sebesar 9,5% (CFR = 9,5%). Sementara penderita yang tidak mengalami komplikasi, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 68%, dan meninggal sebesar 4% (CFR = 4%). Analisa menggunakan Chi-square diperoleh hasil p = 0,053 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara keadaan sewktu pulang berdasarkan komplikasi. Tingginya resiko meninggal pada anak yang mengalami komplikasi, dapat dikaitkan bahwa anak yang mengalami komplikasi akan memperburuk kondisi kesehatannya, sehingga kemungkinan untuk meninggal cukup tinggi. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Umur dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang berumur > 6 bulan, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,53 hari dengan SD = 1,638 hari. Sedangkan penderita yang berumur < 6 bulan, lama rawatan rata-ratanya adalah 2,72 hari dengan SD = 2,004 hari. Hasil uji statistik dengan Anova nilai p = 0,104 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan umur. Artinya lama rawatan rata-rata penderita gastroenteritis tidak berbeda secara bermakna pada umur < 6 bulan dan > 6 bulan. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Status Gizi bayi penderita gastroenteritis yang memiliki status gizi baik, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,21 hari dengan SD = 1,795 hari. Sedangkan bayi yang memiliki status gizi buruk, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,83 hari dengan SD = 2,229 hari. Hasil uji statistik dengan Anova nilai p = 0,072 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan status gizi. Artinya lama rawatan rata-rata penderita gastroenteritis tidak berbeda secara bermakna pada bayi yang berstatus gizi baik maupun buruk. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh memiliki cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit gastroenteritis. Semakin buruk keadaan gizi anak, akan semakin sering dan semakin berat terjadi gastroenteritis. Sehingga dapat dikatakan bahwa bayi yang mempunyai status gizi baik, lama rawatannya berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan bayi yang mempunyai gizi buruk. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Derajat Dehidrasi dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami dehidrasi ringan, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,16 hari dengan SD = 1,953. Sedangkan bayi yang mengalami dehidrasi sedang, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,93 hari dengan SD = 1,738 hari, dan bayi yang mengalami dehidrasi berat, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,91 hari dengan SD=2,663 hari. Hasil uji statistik dengan Anova nilai p = 0,081 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat dehidrasi. Bayi dengan status gizi baik, bila menderita gastroenteritis maka turgor kulit dapat bertahan cukup baik walaupun terjadi dehidrasi. Bila rehidrasi berhasil dicapai maka dapat diberi pengobatan pemeliharaan. Pada penderita yang mengalami dehidrasi ringan, pemeliharaan terhadap cairan dan nutrisi dapat dilakukan di rumah. Sedangkan penderita yang lebih parah memerlukan pengawasan yang berkelanjutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, penderita dengan dehidrasi ringan dapat dengan cepat mencapai rehidrasi dibandingkan dengan penderita yang mengalami dehidrasi berat, yang membutuhkan perawatan yang lama di rumah sakit. Distribusi Proporsi Derajat Dehidrasi Berdasarkan Penatalaksanaan dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang telah mendapat penatalaksanaan pemberian cairan oralit 7

15 terbanyak adalah dehidrasi ringan dengan proporsi sebesar 66,1% dan yang terendah dengan status dehidrasi berat sebesar 5,4%. Sedangkan penderita gastroenteritis yang mendapat pemberian cairan intravena/infus terbanyak adalah dehidrasi ringan dengan proporsi sebesar 60% dan terendah dengan status dehidrasi berat sebesar 9,3%. Dan penderita gastroenteritis yang mendapat pemberian obat antibiotik terbanyak adalah dehidrasi ringan dengan proporsi sebesar 80% dan yang terendah adalah dehidrasi berat sebesar 6,7%. Kesimpulan dan Saran 1. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan umur yang tertinggi adalah umur < 6 bulan yaitu sebesar 87,7% (128 orang). 2. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan jenis kelamin yang tertinggi adalah laki-laki yaitu sebesar 56,8% (83 orang). 3. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan pekerjaan orang tua yang tertinggi adalah wiraswasta yaitu sebesar 69,2% (101 orang). 4. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan status gizi yang tertinggi adalah status gizi baik yaitu sebesar 64,4% (94 orang). 5. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keluhan utama yang tertinggi adalah muntah yaitu sebesar 89,0% (130 orang). 6. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan derajat dehidrasi yang tertinggi adalah dehidrasi ringan yaitu sebesar 64,4% (94 orang). 7. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis yang mengalami komplikasi yaitu sebesar 14,4% (21 orang). 8. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan penatalaksanaan yang tertinggi adalah pemberian cairan intravena/infus yaitu sebesar 51,4% (75 orang). 9. Lama rawatan rata-rata bayi penderita gastroenteritis adalah 3,43 hari, SD =1,975 hari dan Coefisiens of Variation sebesar 57,58%. 10.Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang tertinggi adalah pulang dalam keadaan sembuh yaitu sebesar 70,5% (103 orang). 11.Analisa statistik dengan menggunakan Chisquare diperoleh hasil tidak ada perbedaan yang bermakna antara komplikasi dengan keadaan sewaktu pulang (p = 0,053). 12.Analisa menggunakan Anova diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan umur (p = 0,104). 13.Analisa menggunakan Anova diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan status gizi (p = 0,072). 14.Analisa menggunakan Anova diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat dehidrasi (p = 0,081). Saran 1. Kepada pihak rumah sakit disarankan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan sehingga angka kematian bayi akibat gastroenteritis dapat ditekan seminimal mungkin. 2. Kepada bagian rekam medis disarankan untuk melengkapi pencatatan kartu status berupa tinggi badan bayi, pendidikan dan pekerjaan ibu. 3. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan, disarankan kepada pihak rumah sakit untuk lebih meningkatkan lagi kinerja petugas kesehatan dan aktif lagi dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai gastroenteritis. 8

16 Daftar Pustaka 1. WHO., The World Health Report html Akses. Akses 18 Desember Depkes RI., Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat Jakarta 3. Dinas Kesehatan Propinsi Riau., Profil Kesehatan Propinsi Riau tahun Dinas Kesehatan Kota Tembilahan., Profil Kesehatan Kota Tembilahan tahun Sunoto., Gastroenteritis Masalah dan Penatalaksanaannya, IDI Jakarta 6. Irwanto, dkk., Ilmu Penyakit Anak; Diagnosa dan Penatalaksanaan, Salemba, Medika, Jakarta 7. RSUD Puri Husada Tembilahan., Profil RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun Erlan., Penatalaksanaan dan pencegahan gastroenteritis. EGC, Jakarta 9. Suratmaja S., Muntah pada bayi dan anak dalam kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta 10. Anwar A., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gastroenteritis Pada Bayi dan Balita. Buletin Penelitian Kesehatan 11. Halim A., Penatalaksanaan dan Pencegahan Gastroenteritis dan Diare Akut. EGC, Jakarta 12. Depkes RI., Angka Kejadian Gastroenteritis Masih Tinggi. Akses 21 Desember Notoatmojo S., Metodologi Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta 14. Jellife., Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Bumi Aksara, jakarta 15. Schwartz W., Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta 9

17 KARAKTERISTIK PENDERITA STROKE HAEMORAGIK YANG DIRAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Berman 1, Hiswani 2, Makmur 2 1 Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU 2 Staf Pengajar FKM USU Abstract Stroke was a disorder of blood circulation in the brain due to blocked or rupture of blood vessels. Stroke was divided into two parts based on the pathological namely, ischemic and hemorrhagic stroke. Of entire the number of cases of stroke, 80% had ischemic stroke and 20% of stroke hemorrhagic. Stroke was the main cause of death in Indonesia with a proportion of 14.4%. To determine the characteristics of stroke hemorrhagic patients hospitalized, conducted research at RSUP H. Adam Malik Medan with case series design. Population and the sample was 111 people in 2012 which recorded in hospital medical records. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-square test and ANOVA. Proportion based on the highest sociodemographic in the age group years 48.6%, men 51.4%, muslim 63.1%, high school / equal 41.4%, 96.4% married status, housewife 41, 4%, and 77.5% outside the city of Medan. Proportion based on the highest treatment status, 73% decreased consciousness, hemiparesis dextra 53.2%, hypertension 78.4%, intracerebral hemorrhage 83.8%, 43.7% cerebral hemifer, 99.1% of conservative measures, long maintainability average 6.37 days, insurance 82.9%, and 64.9% died. There was no significant difference between the average treatment time with the main complaints (p = 0.161), location of the paralysis (p = 0.81), and the site of bleeding (p = 0.085). There was a significant difference between the average treatment time of patients with CT-Scan results (0.024) and the condition while returning (p = 0.000). Patients who have a history of hypertension to perform the routine control and a healthy lifestyle. Medical treatment and maintainability for patients was done intensively to reduce mortality rate. For the medical records department of RSUP H. Adam Malik Medan to complete patient data recording such as ethnicity and location of bleeding. Keywords: Characteristics of Patient, Stroke Hemorrhagic, RSUP H. Adam Malik Pendahuluan Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan kematian jaringan otak hingga menimbulkan kelumpuhan dan kematian. 1 Stroke diklasifikasikan menjadi 2 jenis yang dikategorikan berdasarkan keadaan patologis yaitu stroke iskemik dan stroke haemoragik. Dari seluruh kasus penderita stroke hampir 80% pasien menderita stroke iskemik (non haemoragik) dan 20% menderita stroke haemoragik. 2 Di negara-negara maju, stroke merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Di samping itu, penyakit stroke menjadi penyebab cacat badan terbesar dari seluruh penyakit, sehingga dapat menurunkan angka produktifitas kerja dan SDM. 3 Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2008 jumlah kematian didunia sebanyak 57 juta jiwa dan 6,17 juta jiwa meninggal dunia akibat stroke dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 10,8%. 4 Berdasarkan data National Heart, Lung, and Blood Institute tahun 2008, penyakit stroke menjadi penyebab kematian terbesar ke empat di Amerika Serikat dengan jumlah orang dengan angka proporsi sebesar 5,4%. 5

18 Dari hasil penelitian Misbach didapatkan jumlah penderita stroke hemoragik di tujuh negara ASEAN yang mengambil sampel data ASNA tahun 1996 ada sebesar orang (29,8%) 6. Berdasarkan hasil penelitian Basri di RS Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 2001 diperoleh persentase jumlah penderita stroke haemoragik sebesar 25,2% dan stroke iskemik sebesar 74,8%. 7 Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama pada semua kelompok umur adalah stroke dengan proporsi sebesar 15,4%. 8 Prevalensi penderita stroke di Indonesia sebesar 8,3 per penduduk pada tahun Berdasarkan Profil Kesehatan Nasional (2008) jumlah penderita stroke rawat inap yang dikategorikan menjadi stroke tanpa perdarahan/infark ada sebanyak orang, penyakit serebrovaskuler lainnya orang, infark serebral 1.070, dan perdarahan intrakranial Case Fatality Rate penyakit stroke tertinggi yang dirawat inap dirumah sakit adalah perdarahan intrakranial sebesar 34,46% diikuti stroke tanpa perdarahan/infark sebesar 16,09%, penyakit serebrovaskuler lainnya 15,38%, dan infark serebral 11,2%. 8 Jumlah penderita stroke di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2010 sebanyak orang stroke dimana proporsi penderita stroke haemoragik sebanyak 346 orang (34,3%) 9. Penelitian Napitupulu di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun diperoleh jumlah penderita stroke sebanyak orang dengan jumlah penderita stroke haemoragik sebanyak 408 orang (23,75%). 10 Penelitian yang dilakukan oleh Batubara (2012) di RSUP H Adam tahun 2011 diperoleh jumlah kematian akibat stroke ada sebanyak 88 orang. Tipe stroke yang paling banyak menyebabkan kematian pada penderita stroke adalah stroke hemoragik sebesar 87,5%. 11 Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di RSUP H Adam Malik Medan diketahui bahwa penderita stroke haemoragik yang dirawat inap pada tahun 2012 ada sebanyak 111 orang. Stroke haemoragik merupakan pecahnya dinding pembuluh darah di otak sehingga terjadi perdarahan. 12 Sroke haemoragik dibagi menjadi 3 bagian yaitu Perdarahan Intraserebral (PIS), Perdarahan Subarachnoid (PSA), dan Perdarahan Subdural (PSD). 13 Penyakit stroke haemoragik diakibatkan beberapa faktor resiko yaitu tidak dapat dikontrol (usia, jenis kelamin, ras/suku, riwayat keluaraga) dan dapat dikontrol (hipertensi, DM, merokok dll). 14 Kejadian stroke lebih sering terjadi pada usia tua, karena semakin berkurangnya elastisitas pembuluh darah, menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita stroke dibandingkan perempuan. 15,16 Faktor resiko penyebab terjadinya penyakit stroke haemoragik yang paling besar adalah hipertensi, terjadi karena peningkatan tekanan darah yang mendadak sedemikian rupa sehingga pembuluh darah pecah (karena tidak tahan menerima tekanan yang tinggi). 12 Gejala stroke haemoragik yang dapat nampak pada awal serangan seperti, kesadaran menurun, lemah lengan/tungkai nyeri kepala yang hebat dan mual-muntah. Diagnosa stroke haemoragik dilakukan melalui pemeriksaan CT-Scan. Berdasarkan hasil CT-Scan dapat diketahui bagian perdarahan (PIS, PSA, dan PSD), letak kelumpuhan, dan lokasi perdarahan (hemisfer serebri, basal ganglia, batang otak dll). 1,17 Perumusan masalah Belum diketahui karakteristik penderita stroke haemoragik yang dirawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun Tujuan penelitian Untuk mengetahui karakteristik penderita stroke haemoragik yang dirawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sosiodemografi antara lain umur dan jenis kelamin, suku, agama, pendidikan terakhir, status perkawinan, pekerjaan dan asal daerah. b. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keluhan utama saat pertama datang berobat.

19 c. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan letak kelumpuhan. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan faktor resiko. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan hasil CT- Scan. f. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan lokasi perdarahan. g. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan tindakan medis. h. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik. i. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sumber biaya. j. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keadaan sewaktu pulang k. Mengetahui perbedaan tindakan medis berdasarkan hasil CT-Scan. l. Mengetahui perbedaan letak kelumpuhan berdasarkan hasil CT-Scan. m. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan hasil CT-Scan n. Mengetahui perbedaan keadaan sewaktu pulang berdasarkan hasil CT-Scan o. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan keluhan utama saat masuk pertama kali datang berobat. p. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan letak kelumpuhan. q. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan lokasi perdarahan. r. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan pengetahuan serta wawasan penulis tentang penyakit stroke haemoragik. b. Sebagai bahan masukan untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang penyakit stroke haemoragik. c. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan mengenai karakteristik penderita stroke haemoragik sehinggga dapat membantu dalam merumuskan kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan stroke haemoragik. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Februari sampai Juli Populasi penelitian adalah semua data penderita stroke haemoragik rawat inap yang tercatat di rekam medis rumah sakit tahun 2012 yang berjumlah 111 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data unuvariat dianalisis secara deskriptif dan data bivariat dianalisis dengan chi-square test dan anova. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi penderita stroke haemoragik rawat inap dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Umur (Tahun) < Distribusi Proporsi Umur Ber-dasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan f % f % , , , , ,9 Total 57 51, ,6 Dari tabel 1. dapat diketahui bahwa umur <45 tahun berdasarkan jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki yaitu 9%. Umur tahun tertinggi adalah laki-laki yaitu 25,2%. Umur 60 tahun tertinggi adalah perempuan yaitu 18,9%. Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke, kejadian stroke lebih sering terjadi pada usia tua karena semakin berkurangnya elastisitas pembuluh darah 15. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penderita stroke haemoragik yang paling muda adalah umur 17 tahun. Penderita berjenis kelamin laki-laki dengan faktor risiko akibat konsumsi alkohol dan narkoba berlebih, mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS), hemiparesis sinistra, tindakan medis

20 yang dilakukan konservatif, biaya sendiri dan pasien tersebut meninggal dunia setelah dirawat selama 1 hari. Penderita stroke haemoragik paling tua berumur 83 tahun berjenis kelamin laki-laki memiliki faktor risiko hipertensi, mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS), paraparesis, lokasi perdarahan hemifer serebri, tindakan medis yang dilakukan konservatif, biaya asuransi dan pasien tersebut meninggal dunia setelah dirawat selama 2 hari. Kejadian stroke haemoragik lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penelitian yang dilakukan di 28 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita stroke dibandingkan dengan perempuan. 16 Tabel 2. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sosiodemografi Sosiodemografi f % Agama Islam Katolik Kristen Protestan Hindu ,1 3,6 32,4 0,9 Jumlah Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD/Sederajat SLTP/Sederajat SLTA/Sederajat Akademi/Perguruan Tinggi ,4 24,3 27,0 41,4 1,8 Jumlah Status Perkawinan Tidak Kawin Kawin ,6 96,4 Jumlah Pekerjaan Tidak bekerja PNS/POLRI/TNI/Pensiunan Pegawai Swasta Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Petani Lain-lain ,7 8,1 0,9 34,2 41,4 11,7 0,9 Jumlah Tempat Tinggal Kota Medan Luat Kota Medan ,5 77,5 Jumlah Pada tabel 2. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan agama yang tertinggi adalah agama Islam yaitu 63,1% dan yang terendah adalah Hindu yaitu 0,9%, berdasarkan tingkat pendidikan yang tertinggi adalah berpendidikan SLTA/Sederajat yaitu 41,4% dan terendah adalah Akademi/Perguruan Tinggi yaitu 1,8%, berdasarkan status perkawinan yang bersatatus kawin sebanyak 96,4% dan tidak kawin sebanyak 3,6%. Berdasarkan pekerjaan yang paling tinggi adalah Ibu Rumah Tangga yaitu 41,4% dan yang paling rendah adalah lain-lain (pengrajin kayu) yaitu 0,9%. Berdasarkan tempat tinggal yang tertinggi adalah yang bertempat tinggal di Luar Kota Medan yaitu 77,5% dan yang terendah adalah yang bertempat tinggal di Kota Medan sebanyak 22,5%. Tabel 3. Distribusi Proporsi Berdasarkan Keluhan Utama Keluhan Utama f % 3 2,7 Nyeri kepala mendadak, mual, muntah Kesadaran menurun Lemah lengan dan tungkai kiri Lemah lengan dan tungkai kanan Lebih dari satu keluahan utama ,2 6,3 1,8 Jumlah Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa proporsi penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama yang tinggi adalah kesadaran menurun sebesar 73% dan terendah adalah lebih dari satu keluhan utama 1,8%. Kesadaran menurun (somnolen) terjadi akibat adanya edema serebral, perubahan terjadi dalam otak dan batang otak diakibatkan karena terdesak sehingga kesadaran secara berangsur-angsur terus menurun. Edema serebral merupakan kondisi dimana terjadi akumulasi cairan di intraseluler dan ekstraseluler otak akibat perdarahan 18,19 Tabel 4. Hemiparesis dextra Hemiparesis sinistra Paraparesis Distribusi Proporsi Berdasarkan Letak Kelumpuhan Letak Kelumpuhan f % 59 53, ,3 5 4,5 Jumlah Pada tabel 4. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan letak kelumpuhan tertinggi adalah hemiparesis dextra yaitu 53,2% dan terendah paraparesis yaitu 4,5%.

21 Tabel 5. Distribusi Proporsi Berdasarkan Faktor Risiko Faktor Risiko f % 6 5, ,4 5 4,5 1 0,9 1 0,9 1 0,9 1 0,9 9 8,1 Diabetes Melitus Hipertensi Pernah Stroke Penyakit Jantung Aneurisma Operasi Tumor Otak Konsumsi Narkoba/Alkohol Lebih dari satu faktor resiko Jumlah Berdasarkan abel 5. dapat diketahui bahwa proporsi faktor resiko penderita stroke haemoragik yang tertinggi adalah hipertensi 78,4% dan yang terendah adalah penyakit jantung, aneurysma, operasi tumor otak, dan konsumsi alkohol/narkoba. Hipertensi merupakan faktor resiko yang sangat mempengaruhi kejadian stroke haemoragik, sekitar 3-4 kali lebih besar kejadian stroke terjadi pada penderita dengan hipertensi dibandingkan non-hipertensi. 20 Konsumsi alkohol berat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke. Alkohol dapat menggangu peredaran darak otak, meningkatkan tekanan darah, mengganggu metabolisme hidratarang dan lemak dalam tubuh, dan menggangu pembekuan darah 18 Penderita stroke haemoragik dengan faktor risiko aneurisma berumur 18 tahun berjenis kelamin laki-laki, mengalami Perdarahan Subarachnoid (PSA), paraparesis, tindakan medis yang dilakukan operatif, sumber biaya asuransi dan pulang atas permintaan sendiri setelah dirawat selama 30 hari. Perdarahan subarachnoid sering dikaitkan dengan pecahnya suatu aneurisma dan sering menyerang penderita yang masih muda. 20,21 Tabel 6. Distribusi Proporsi Berdasarkan Hasil CT-Scan Hasil CT-Scan f % 93 83, ,7 5 4,5 Perdarahan Intraserebral (PIS) Perdarahan Subaracnoid (PSA) Perdarahan Subdural (PSD) Jumlah Berdasarkan tabel 6. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik yang tertinggi berdasarkan hasil CT-Scan yaitu mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS) 83,8% dan terendah Perdarahan Subdural (PSD) 4,5%. Penderita stroke haemoragik paling tinggi terjadi pada intraserebral dimana perdarahan awal berasal dari pembuluh darah parenkim otak yang bukan disebakan oleh trauma. Perdarahan Intraserebral 60%-70% disebabkan oleh hipertensi hal ini sejalan dengan faktor resiko kejadian stroke haemoragik paling tinggi disebabkan oleh hipertensi. 14 Tabel 7. Hemiparesis Dextra Hemiparesisi Sinistra Paraparesis Distribusi Proporsi Berdasarkan Letak Kelumpuhan Letak Kelumpuhan f % 59 53, ,3 5 4,5 Jumlah Pada tabel 7. dapat diketahui bahwa proporsi letak kelumpuhan penderita stroke haemoragik tertinggi pada hemiparesis dextra 53,2% dan terendah adalah paraparesis 4,5%. Hemparesis (hemiplagia) merupakan kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan tungkai berikut wajah pada salah satu sisi tubuh. Kelumpuhan tersebut biasanya disebabkan oleh lesi vaskular unilateral di kapsula interna atau kortes motorik. Lesi yang mendasari hemiparesis adalah lesi vaskuler yang diakibatkan terjadi penyumbatan atau perdarahan suatu arteri serebral. (19,22) Tabel 8. Distribusi Proporsi Berdasarkan Lokasi Perdarahan Lokasi Perdarahan f % Tercatat Tidak tercatat ,2 56,8 Jumlah Tabel 9. Distribusi Proporsi Berdasarkan Lokasi Perdarahan Tercatat Lokasi Perdarahan f % 21 43, ,7 2 4,2 2 4,2 3 6,2 Hemisfer Serebri Basal Ganglia Batang Otak Serebelum Perdarahan Subarachnoid Jumlah Pada tabel 9. dapat diketahui bahwa proporsi lokasi perdarahan penderita stroke haemoragik tertinggi dijumpai pada hemifer serebri 43,7% dan terendah adalah batang otak dan serebelum. 4,2%.

22 Lokasi perdarahan tertinggi terdapat pada hemisfer serebri. Pada Perdarahan Intraserebaral (PIS) lokasi perdarahan terjadi di hemifer serebri 80% dan batang otak serta serebelum 20%. 14 Tabel 10. Distribusi Proporsi Berdasarkan Tindakan Medis Tindakan Medis f % Tindakan Konservatif ,1 Tindakan Operatif 1 0,9 Jumlah Pada tabel 10. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan tindakan medis lebih tinggi pada tindakan konservatif yaitu 99,1% dan terendah tindakan operatif yaitu 0,9%. Lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik rawat inap dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 11. Lama Rawatan Rata-rata Penderita Lama Rawatan Rata-rata (Hari) N 111 Mean 6,37 SD (Standar Deviasi) 7,739 95% CI 4,91-7,83 Minimum 1 Maksimum 56 Pada tabel 11. dapat diketahui bahwa lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik rawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012 adalah 6,37 hari (7 hari). Lama rawatan paling singkat 1 hari sedangkan paling lama 56 hari. Tabel 12. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sumber Biaya Sumber Biaya f % Biaya Sendiri 19 17,1 Asuransi 92 82,9 Jumlah Berdasarkan tabel 12. dapat dilketahui proporsi penderita stroke haemoragik yang dirawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012 berdasarkan sumber biaya yang tertinggi adalah asuransi yaitu 82,9% dan yang terendah adalah biaya sendiri yaitu 17,1%. Tabel 13. Distribusi Proporsi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Keadaan Sewaktu Pulang f % Pulang berobat jalan (PBJ) 27 24,3 Pulang atas permintaan sendiri 12 10,8 (PAPS) 72 64,9 Meninggal Jumlah Berdasarkan tabel 13. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik tertinggi adalah meninggal dunia 64,9% dan terendah adalah PAPS 10,8%. Case Fatality Rate (CFR) penderita stroke haemoragik yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 sebesar 64,9%. Hal ini disebabkan karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pusat rujukan kesehtan regional untuk wilayah Sumatera Bagian Utara dan bagian Tengah, pasien yang dirujuk pada umumnya sudah dalam keadaan parah. Sehingga tindakan medis yang dilakukan tidak menolong untuk menyelamatkan jiwa penderita. Tabel 14. Hasil CT- Scan PIS PSA PSD Tindakan Medis Berdasarkan Hasil CT-Scan Tindakan Medis Tindakan Konservatif Tindakan Operatif Total f % f % f % ,3 1 7, Pada tabel 14. dapat diketahui bahwa dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PIS, dilakukan tindakan konservatif 100% dan tindakan operatif 0%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PSA, dilakukan tindakan konservatif 92,3% dan tindakan operatif 7,7%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PSD, dilakukan tindakan konservatif 100% dan tindakan operatif 0%. Analisis statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 4 sel (66,7%) expected count nya lebih dari 5.

23 Tabel 15. Letak Kelumpuhan Berdasarkan Hasil CT-Scan Tabel 17. Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Hasil CT-Scan Hasil CT- Scan PIS PSA PSD Letak Kelumpuhan Hemiparesis Hemiparesis Total Paraparesis Dextra Sinistra f % f % f % f % 49 52, ,0 4 4, ,5 7 53,8 1 7, Pada tabel 15. dapat diketahui bahwa dari seluruh penderita stroke haemoragik dengan PIS, yang hemiparesis dextra 52,7%, hemiparesis sinistra 43,0% dan paraperesis 4,3%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik dengan PSA, yang hemiparesis sinistra 38,5%, hemipareisis sinistra 53,8% dan paraparesis 7,7%. Dari seluruk penderita stroke haemoragik dengan PSD, hemiparesis dextra 100%, hemiparesis sinistra dan paraparesis 0%. Analisis statistik dengan uji chi square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (55,6%) expected count nya kurang dari 5. Hasil CT- Scan PIS PSA PSD Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal Total f % f % f % f % 26, , , ,4 2 15,4 9 69, Pada tabel 17. dapat diketahui bahwa dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PIS, pulang berobat jalan 26,9%, pulang atas permintaan sendiri 10,7% dan meninggal 62,4%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PSA, pulang beronbat jalan 15,4%, pulang atas permintaan sendiri 15,4% dan meninggal 69,2%. Untuk penderita stroke haemoragik yang mengalami PSD, pulang berobat jalan dan pulang atas permintaan sendiri 0% dan meninggal 100%. Analisis statistik dengan uji chi square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (55,6%) expected count nya kurang dari 5 Tabel 16. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Hasil CT-Scan Tabel 18. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang PIS PSA PSD Hasil CT-Scan Lama Rawatan Rata-rata f x SD 93 5,73 5, ,77 15,93 5 4,40 4,82 Pada tabel 16 dapat diketahui bahwa lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik yang mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah 5,73 hari, lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik yang mengalami Perdarahan Subarachnoid (PSA) adalah 11,77 hari, dan lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik yang mengalami Perdarahan Subdural (PSD) adalah 4,4 hari. Hasil analisis satatistik dengan uji Anova diperoleh p(=0,024)<0,05 berarti secara statistik ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan hasil CT- Scan. Keluhan Utama Nyeri kepala, mual, dan muntah Kesadaran menurun Lemah lengan tungai kiri Lemah lengan dan tungkai kanan Lebih dari satu keluhan utama Lama Rawatan Rata-rata f x SD 3 11,33 16, ,28 8, ,39 5, ,43 4, ,5 3,53 Berdasarkan tabel 18. dapat dilihat bahwa terdapat 3 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa nyeri kepala mendadak, mula dan muntah dengan lama rawatan rata-rata 11,33. Terdapat 81 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa kesadaran menurun dengan lama rawatan rata-rata 5,28. Terdapat 18 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa lemah lengan dan tungkai kiri dengan lama rawatan rata-rata 8,39. Terdapat 7 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa lemah lengan dan tungkai kanan dengan lama rawatan rata-rata 10,43. Terdapat 2 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa nyeri kepala mendadak, mula dan muntah dengan lama rawatan rata-rata 10,5.

24 Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,161 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keluhan utama saat masuk rumah sakit Tabel 19. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Letak Kelumpuhan Letak Kelumpuhan Hemiparesis Dextra Hemiparesis Sinistra Paraparesis Lama Rawatan Ratarata f x SD ,97 6,72 7,80 6,93 8,81 12,41 Berdasarkan tabel 19. dapat dilihat bahwa terdapat 59 orang penderita stroke haemoragik dengan hemiparesis dextra lama rawatan rata-rata 5,97. Terdapat 47 orang penderita stroke haemoragik dengan hemiparesis sinistra lama rawatan rata-rata 6,72. Terdapat 5 orang penderita stroke haemoragik dengan paraparesis lama rawatan rata-rata 7,80. Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,81 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna yang antara lama rawatan berdasarkan letak kelumpuhan. Tabel 20. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Lokasi Perdarahan Lokasi Perdarahan Hemifer Serebri Basal Ganglia Batang Otak Serebelum Perdarahan Subarachnoid Lama Rawatan Ratarata f x SD ,43 11,95 1.,00 8,50 15,67 6,47 11,61 0 0,12 2,88 Berdasarkan tabel 20. dapat dilihat bahwa terdapat 21 orang penderita stroke haemoragik dengan lokasi perdarahan di hemifer serebri dengan lama rawatan ratarata 5,43. Terdapat 20 orang penderita stroke haemoragik dengan lokasi perdarahan di basal ganglia dengan lama rawatan rata-rata 11,95. Terdapat 2 orang penderita stroke haemoragik dengal lokasi perdarahan di batang otak dengan lama rawatan rata-rata 1,00. Terdapat 2 orang penderita stroke haemoragik dengal lokasi perdarahan di serebelum dengan lama rawatan rata-rata 8,50. Terdapat 3 orang penderita stroke haemoragik dengal lokasi perdarahan di batang otak dengan lama rawatan rata-rata 15,67. Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,085 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna yang antara lama rawatan berdasarkan lokasi perdarahan. Tabel 21. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal Lama Rawatan Ratarata f x SD ,44 10,42 3,42 4,82 16,49 4,05 Berdasarkan tabel 21. dapat dilihat bahwa terdapat 27 orang penderita stroke haemoragik dengan pulang berobat jalan dengan lama rawatan rata-rata 12,44. Terdapat 12 orang penderita stroke haemoragik dengan perdarahn atas permintaan sendiri dengan lama rawatan ratarata 10,42. Terdapat 72 orang penderita stroke haemoragik meninggal dengan lama rawatan rata-rata 3,42. Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) artinya ada perbedaan yang bermakna yang antara lama rawatan berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sosiodemografi yang tertinggi yaitu pada kelompok umur tahun 48,6%, jenis kelamin laki-laki 51,4%, agama Islam 63,1%, tingkat pendidikan SLTA/Sederajat 41,4%, status kawin 96,4%, pekerjaan Ibu Rumah Tangga 41,4%, dan tempat tinggal luar Kota Medan 77,5%. b. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keluhan utama saat pertama kali masuk rumah sakit yang tertinggi yaitu kesadaran menurun 73%. c. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan faktor risiko yang tertinggi yaitu hipertensi 78,4%. d. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan hasil CT-Scan yang tertinggi

25 yaitu letak kelumpuhan hemiparesis dextra 53,2%., Perdarahan Intraserebral (PIS) 83,8%, dan lokasi perdarahan pada hemifer serebri 43,7% e. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan tindakan medis yang terbesar yaitu tindakan konservatif 99,1%. f. Lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik adalah 6,37 (6 hari) g. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sumber biaya yang terbesar yaitu asuransi 82,9%. h. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang tertinggi yaitu meninggal 64,9%. i. Analisis statistik dengan uji chi square tidak memenuhi syarat dilakukan untuk tindakan medis berdasarkan hasil CT- Scan, letak kelumpuhan berdasarkan hasil CT-Scan, dan keadaan sewaktu pulang berdasarkan hasil CT Scan karena terdapat sel yang expected count nya kurang dari 5 j. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan keluahan utama (p=0,161), letak kelumpuhan (p=0,81), dan lokasi perdarahan (p=0,085). Ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan ratarata penderita dengan hasil CT-Scan (0,024) dan keadaan sewaktu pulang (p=0,000). 2. Saran a. Bagi penderita rawat inap yang memiliki riwayat hipertensi untuk melakukan kontrol rutin serta menerapkan pola hidup sehat untuk mencegah stroke dan serangan stroke berikutnya. b. Tindakan medis dan perawatan dilakukan secara intensif bagi penderita stroke haemoragik untuk menekan angka kematian. c. Bagi pihak rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan untuk melengkapai pencatatan data penderita seperti lokasi perdarahan (catt: 56,8% tidak tercatat) dan suku. Daftar Pustaka 1. Ginsberg, L, Lecture Notes Neurologi. Erlangga, Jakarta 2. Tarwoto dkk, Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. CV Sagung Seto, Jakarta 3. Timmreck T, Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi Kedua. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 4. World Health Organization, The Top 10 Causes of Death. ctsheets/fs310/en/index.html (Diakses 28 April 2013) 5. Susan, BS, Morbidity and mortality: 2012 chartbook on cardiovascular, lung, and blood disease. 6. Misbach, J, Pattern of hospitalized stroke patients in ASEAN countries an ASNA stroke epidemiological study. Jurnal ASEAN Neurology Association (ASNA). 7. Basri, H dan Raymon A A, Predictors of in hospital mortality after an acute ischaemic stroke. Jurnal Neurol J Southeast Asia 2003; 8 : Depkes RI, Profil Kesehatan Indonesia Jakarta. 9. Adientya, G dan Fitria H, Stress Pada Kejadian Stroke. Jurnal FK UNDIP 10. Napitupulu, R, Karakteristik Penderita Stroke Haemoragik yang diwarat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun Skripsi FKM USU 11. Batubara, R N, Penyebab Mortalitas pada Pasien Stroke Fase Akut di RSUP HAM Medan Januari-Desember Jurnal FK USU. 12. Yayasan Stroke Indonesia. Sekilas Tentang Stroke. Jakarta 13. Bustan, MN, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.

26 14. Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 15. Japardi, I, Perdarahan Dalam Otak. FK USU, Medan 16. Lumbantobing, SM Stroke. Balai Penerbit, FKUI Jakarta. 17. Harsono, Capita Selekta Neurologi Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 18. Thomas, D.J, Stroke dan Pencegahannya. Arcan, Jakarta 19. Sidharta, P, Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat, Jakarta. 20. Bornstein, M N, Stroke: Practical Guide for Clinicians. Karger, Basel-Swiss 21. Price, S A dkk, Patofisiologi. Buku Kedokteran EGC, Jakarta Dariyo, A, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Grasindo, Jakarta 22. Mardjono, M dan Priguna S, Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta

27 KARAKTERISTIK PENDERITA FRAKTUR PADA LANSIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN Cindy Natasia 1, Hiswani 2, Jemadi 2 1 Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU 2 Staf Pengajar Epidemiologi FKM USU Abstract Fracture, by definition is a condition where discontinuity occur on bone tissue that basically involves direct/indirect trauma. (World Health Organization) WHO reported 200 million people older than 40 years old on 2012 experienced osteoporosis induced fracture. Elder fracture patient that hospitalized in Santa Elisabeth Medan Hospital on reaches 107 patient. To understand characteristics of elder patients with fracture that hospitalized at Santa Elisabeth Hospital on , a descriptive study with case-series design have been conducted. Population is sample of study contained 107 data (total sampling). Data were collected from medical record and analyzed using chi-square and t-test. Proportion of patients with fractures by highest sociodemographic found in years old (55.1%), female (52.3%), Batak ethnicity (74.8%), Protestant (59.8%), has academic degree (43.9%), housewives (25.2%), married (93.5%), from Medan (59.8%), traffic accident (57,9%), closed fracture (86.0%), on pelvic region (29.9%), treated by operation (63.6%), 7 days length of hospitalization, and recover/outpatient (83.2%). No difference between age in proportion to location of fracture (p=0.110). There was difference between age in proportion to cause of fracture (p=0.000). There was difference between gender in proportion to the cause of fracture (p=0.030). No difference between gender in proportion to type of fracture (p=0.112). There was difference between medical treatment in proportion to type of fracture (p=0.045). No difference between causes of fracture in proportion to location of fracture (p=0.131). No significant difference between average length of hospitalization to type of fracture (p=0.830). No significant difference between average length of hospitalization to medical treatment (p=0.069). Early prevention should be done by high risk group of osteoporosis. Higher awareness and avoiding fall risk factors should be done by patients in order to prevent future fractures. Santa Elisabeth Hospital is suggested to add fracture complications and type of fragments in medical record. Keywords: Fractures, Elderly, Characteristics Pendahuluan Penyakit tidak menular adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Salah satu penyakit tidak menular adalah penyakit muskuloskeletal atau penyakit yang menyerang tulang dan jaringan otot. (1) Fraktur adalah kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Pada kelompok usia lanjut kejadian fraktur paling banyak disebabkan oleh osteoporosis dan peristiwa terjatuh. (2) Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikro arsitektur jaringan tulang yang menyebabkan menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah. (3)

28 Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, 200 juta penduduk di seluruh dunia berusia di atas 40 tahun menderita osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur. (4) Hasil penelitian Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2005 menunjukkan angka prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%, yang berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko untuk menderita osteoporosis. (5) Fraktur panggul merupakan fraktur yang paling banyak terjadi pada lansia dan paling sering menyebabkan kecacatan. Menurut Word Health Organization (WHO) pada tahun 2000 proporsi fraktur panggul dari seluruh kasus fraktur osteoporosis di dunia pada lansia diatas 50 tahun adalah 31%. (6) Di USA dan Eropa pada tahun 2002 insidens terjadinya fraktur panggul pada wanita adalah dua kali lebih besar daripada pria. (7) Di Indonesia, insidens fraktur panggul termasuk dalam kategori rendah yaitu <200 per penduduk wanita dan <100 per penduduk pria. (8) Peristiwa terjatuh dapat didefinisikan sebagai perubahan posisi tiba-tiba dan tidak disengaja yang menyebabkan seseorang mendarat pada objek dibawahnya, baik pada (9) benda, pada lantai atau pada tanah. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2007, satu dari tiga lansia diatas usia 60 tahun mengalami peristiwa terjatuh setiap tahunnya yang disebabkan oleh kondisi lingkungan. (10) Berdasarkan data WHO, insidens terjatuh pada lansia berusia 65 tahun sebesar 28-35% setiap tahunnya dan mengalami kenaikan menjadi 32-42% pada kelompok usia diatas 70 tahun. Fall Fatality Rate pada lansia diatas 65 tahun di Amerika Serikat sebesar 36,8 per penduduk, sementara di Finlandia sebesar 49,2 per penduduk. (11) Di India pada tahun 2003, prevalensi wanita penderita fraktur karena terjatuh pada lansia diatas usia 60 tahun yaitu 26,4% dan (12) pada pria yaitu 16%. Sementara itu di Moroko insidens rate pada lansia wania diatas usia 60 tahun adalah 52 per penduduk dan pada pria adalah 43,7 per (10) penduduk. Di Indonesia, dari seluruh peristiwa terjatuh yang terjadi pada tahun 2007, orang mengalami fraktur dengan proporsi 3,8%. (1) Penelitian Roby menyatakan di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2009 tercatat 24 kasus fraktur pada lansia berumur 49 tahun ke atas dengan proporsi 21,1%. (13) Sementara itu menurut penelitian Dian tahun 2010 di Rumah Sakit Haji Medan tercatat 110 kasus fraktur pada lansia berumur lebih dari 55 tahun pada tahun (14) Dari hasil survei pendahuluan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan terdapat 107 penderita fraktur pada lansia yang rawat inap pada tahun dengan rincian 46 penderita pada tahun 2011 dan 61 penderita pada tahun Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui karakteristik penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan sosiodemografi antara lain : umur dan jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tempat tinggal. b. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penyebab terjadinya fraktur. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan jenis fraktur. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan letak fraktur. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penatalaksanaan medis. f. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan lama rawatan rata-rata.

29 g. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan keadaan sewaktu pulang. h. Mengetahui proporsi umur penderita fraktur pada lansia berdasarkan letak fraktur. i. Mengetahui proporsi umur penderita fraktur pada lansia berdasarkan penyebab fraktur j. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur pada lansia. k. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur pada lansia. l. Mengetahui proporsi jenis fraktur berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia. m. Mengetahui proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur pada lansia. n. Mengetahui proporsi penyebab fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada lansia. o. Mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis fraktur pada lansia. p. Mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan mengenai karakteristik penderita fraktur pada lansia rawat inap tahun b. Sebagai sumber informasi atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan fraktur. c. Sebagai sarana untuk menambah wawasan, pengetahuan dan penerapan ilmu bagi penulis selama perkuliahan dan sebagai syarat kelulusan serta memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan dilakukan pada bulan Februari Agustus 2013 Populasi penelitian ini adalah semua data penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun sebanyak 107 penderita. Populasi merupakan sampel (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tercatat pada kartu status penderita fraktur pada lansia rawat inap yang berasal dari rekam medik Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun Cara pengumpulan data adalah dengan mencatat semua variabel yang akan diteliti kemudian dilakukan tabulasi data. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chisquare dan t-test. Hasil dan Pembahasan Deskriptif Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan sosiodemografi pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 1. Umur (Tahun) Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah f % f % f % 35 32, , ,1 9 8, , ,2 7 6, , ,7 Total 51 47, , Berdasarkan umur, proporsi umur terbesar adalah kelompok umur tahun yaitu 55,1% (pria 32,7% dan wanita 22,4%). Sex ratio antara pria dengan wanita adalah 1:1,12 artinya penderita fraktur pada lansia lebih banyak terjadi pada jenis kelamin wanita. Sebagian besar kejadian fraktur pada penderita yang berusia 45 tahun atau lebih disebabkan oleh osteoporosis. Pada kelompok lansia, kejadian fraktur lebih banyak terjadi pada wanita karena perubahan hormon yang terjadi pada saat menopause. (15) Selain itu, fraktur dapat juga terjadi karena peristiwa trauma, sehingga proporsi penderita fraktur berdasarkan umur tidak

30 menunjukkan resiko pada kelompok umur tertentu, tetapi hanya menunjukkan jumlah penderita fraktur terbanyak terdapat pada kelompok umur tahun, sesuai dengan komposisi jumlah penduduk lansia di Indonesia, dimana jumlah penduduk lansia yang terbanyak terdapat pada kelompok umur tahun. (11) Tabel 2. Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Suku, Agama,Pendidikan,Pekerjaan, Status Perkawinan, Tempat Tinggal Karakteristik 1. Suku/Etnis Batak Jawa Nias Melayu Minang Tionghoa India Belanda 2. Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Hindu Budha 3. Pendidikan Tidak Tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Akademi/Sarjana Tidak Tercatat Jumlah f (%) ,8 6,5 3,7 1, ,5 2,8 0,9 Total , ,1 59,8 20,6 1,9 5,6 Total , ,9 8,4 7,5 27,2 43,9 12,1 Total ,0 4. Pekerjaan PNS/TNI Karyawan Swasta Wiraswasta Petani Biarawan/Biarawati/Pdt Ibu Rumah Tangga Pensiunan ,8 9,3 19,7 8,4 5,6 25,2 14,0 Total ,0 5. Status Perkawinan Kawin Tidak Kawin 6. Tempat Tinggal Kota Medan Luar Kota Medan ,5 7 6,5 Total , , ,2 Total ,0 Berdasarkan tabel diatas, proporsi terbesar adalah penderita bersuku Batak 74,8% (80 orang), beragama Kristen Protestan 59,8% (64 orang), pendidikan akademi / sarjana 43,9% (47 orang), pekerjaan ibu rumah tangga 25,2% (27 orang), berstatus kawin 93,5% (100 orang), dan berasal dari kota Medan 59,8% (64 orang). Dalam hal ini bukan berarti suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tempat tinggal memiliki keterkaitan dengan kejadian fraktur pada lansia tetapi hanya menunjukkan jumlah kunjungan mayoritas penderita fraktur ke Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun Pendidikan adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya memilih untuk mencari pelayanan kesehatan yang berkualitas agar memperoleh pengobatan yang lebih baik. (16) Penderita yang berasal dari luar kota medan berasal dari berbagai daerah yaitu Lubuk Pakam, Langkat, Brastagi, Kisaran, Siantar, Samosir, Sibolga, Tebing Tinggi, Rantau Prapat, Tapanuli, Nias, Aceh, dan Riau.

31 Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan penyebab pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 3. Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Penyebab Fraktur Penyebab Jumlah Fraktur f (%) KLL Terjatuh Terbentur ,9 35,6 6,5 Total ,0 Berdasarkan penyebab fraktur, proporsi terbesar penderita fraktur adalah karena kecelakaan lalu lintas yaitu 57,9% (62 orang). Hal ini disebabkan karena sebagian besar penderita fraktur berada pada kelompok usia produktif yaitu di bawah 65 tahun, dimana kejadian terbanyak kecelakaan lalu (17) lintas berada pada kelompok usia ini. Peristiwa terjatuh terjadi di rumah, di panti jompo, dan saat beraktivitas. Sedangkan peristiwa terbentur meliputi kejadian terbentur besi, tertimpa pohon, terkena lemparan batu, dan cedera olahraga. Selain karena lingkungan, peristiwa terjatuh yang terjadi pada lansia juga dapat disebabkan oleh kelemahan fisik, penurunan penglihatan, penurunan pendengaran, dan penurunan refleks karena proses penuaan. (18) Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan jenis fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 4. Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Jenis Fraktur Jenis Fraktur Jumlah f (%) Tertutup Terbuka ,0 14,0 Total ,0 Berdasarkan jenis fraktur, proporsi penderita fraktur tertutup lebih besar yaitu 86,0% (92 orang), dibandingkan fraktur terbuka. Fraktur tertutup banyak ditemukan pada lansia karena pada umumnya fraktur terjadi disebabkan oleh massa tulang yang rendah sehingga tulang menjadi rapuh dan rentan mengalami fraktur walaupun hanya mengalami trauma ringan. (19) Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan letak fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 5. Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Letak Fraktur Letak Fraktur Jumlah f (%) Kepala Eks. Atas T. Belakang Panggul Eks. Bawah ,0 25,2 2,8 29,9 28,1 Total ,0 Berdasarkan letak fraktur, proporsi terbesar penderita fraktur adalah pada panggul yaitu 29,9% (32 orang). Fraktur panggul adalah fraktur yang paling sering terjadi pada lansia dan memiliki dampak paling serius karena lebih sering menyebabkan kecacatan dibandingkan fraktur tulang lainnya dan membutuhkan biaya yang besar karena proses penyembuhan yang berlangsung lama. (6) Fraktur yang terjadi pada kepala terdiri dari fraktur nasal, fraktur zygomatikum, dan fraktur maksilofasial. Fraktur yang terjadi pada bagian ekstremitas atas terdiri dari fraktur klavikula, fraktur humerus, fraktur radius, fraktur antebrachii, fraktur colles dan fraktur metakarpal. Sedangkan fraktur yang terjadi pada bagian ekstremitas bawah terdiri dari fraktur femur, fraktur patella, fraktur tibia, fraktur fibula, fraktur cruris, dan fraktur metatarsal.

32 Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 6. Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Tindakan Medis Penatalaksanaan Jumlah Medis f (%) Operasi Tanpa Operasi ,6 36,4 Total ,0 Berdasarkan penatalaksanaan medis, proporsi penderita fraktur yang ditangani dengan operasi lebih besar yaitu 63,6% (68 orang), dibandingkan dengan yang tanpa operasi. Sebagian besar kasus fraktur pada lansia memerlukan tindakan operasi atau pembedahan karena penyatuan tulang berlangsung lebih lama, khususnya pada lansia yang mengalami fraktur patologik, dimana keadaan tulang lebih rapuh dan dapat patah kembali apabila tidak diimobilisasi dengan baik, sehingga diperlukan fiksasi internal untuk mempertahankan posisi tulang sehingga tulang dapat menyatu dengan sempurna. (20) Lama rawatan rata-rata penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 7. Lama Rawatan Rata-Rata Lama Rawatan Rata-Rata Mean 7,33 Standar Deviasi (SD) 7,59 95% Confidence Interval (CI) 5,87-8,78 Minimum 1 Maksimum 45 Lama rawatan rata-rata penderita fraktur adalah 7,33 hari (7 hari) dengan standar deviasi sebesar 7,59. Lama rawatan paling singkat adalah 1 hari sedangkan yang paling lama adalah 45 hari. Terdapat 17 orang penderita dengan lama rawatan rata-rata 12 hari. Hal ini terjadi karena mayoritas penderita yang mengalami fraktur karena peristiwa trauma disebabkan oleh kejadian kecelakaan lalu lintas. Pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas mengalami cedera yang serius dan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pemulihan pasca kecelakaan. Selain itu usia yang sudah lanjut juga mempengaruhi lama penyembuhan pasien. (21) Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 8. Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Keadaan Sewaktu Jumlah Pulang f (%) Sembuh / PBJ PAPS Meninggal ,2 15,9 0,9 Total ,0 Berdasarkan keadaan sewaktu pulang proporsi terbesar penderita fraktur adalah pulang sembuh/pulang berobat jalan yaitu 83,2% (89 orang). Proses penyembuhan fraktur pada lansia memerlukan masa penyembuhan yang lama sehingga perawatan pada umumnya dilanjutkan dirumah dengan tetap melakukan kontrol secara rutin (pulang berobat jalan) dan fisioterapi di rumah sakit. (22) Penderita fraktur yang pulang atas permintaan sendiri pada umumnya disebabkan oleh masalah biaya. Terdapat 1 orang wanita penderita fraktur panggul yang meninggal karena gagal ginjal. Penderita yang mengalami fraktur panggul pada umumnya mengalami kesakitan yang hebat sehingga dalam penatalaksanaan, obat anti nyeri biasanya diberikan kepada (23) pasien. Pemberian obat-obatan pada penderita penyakit ginjal membuat kondisi

33 pasien semakin parah sehingga dapat menyebabkan kematian. (24) Analisa Statistik Distribusi proporsi umur berdasarkan letak fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 9. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Letak Fraktur Letak Fraktur Umur (Tahun) Jumlah < f % f % f % R.Aks 13 72,2 5 27, R.Apen 46 51, , X 2 =2,553 df=1 p=0,110 Proporsi terbesar penderita fraktur pada rangka aksial dan rangka apendikular adalah pada kelompok umur < 60 tahun dengan proporsi masing-masing yaitu 72,2% (13 orang) dan 51,7% (46 orang). Menurut World Health Organization (WHO) lokasi yang paling sering mengalami fraktur pada pada penderita usia lanjut adalah patah tulang panggul, patah tulang vertebrata, dan patah tulang pergelangan tangan. (25) Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara umur berdasarkan letak fraktur. Distribusi proporsi umur berdasarkan penyebab fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 10. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Sebab Fraktur Umur (Tahun) Penyebab Jumlah < Fraktur f % f % f % Peristiwa 51 69, , Trauma Peristiwa Patologis 8 23, , X 2 =20,132 df=1 p=0,000 Proporsi penderita fraktur karena peristiwa trauma lebih besar pada kelompok umur < 60 tahun yaitu 69,9% (51 orang). Sedangkan proporsi penderita fraktur karena peristiwa patologis lebih besar pada kelompok umur 60 tahun yaitu 76,5% (26 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p<0,05, yang berarti ada perbedaan proporsi antara umur berdasarkan penyebab fraktur. Usia di bawah 60 tahun termasuk ke dalam kelompok usia produktif yang memiliki tingkat mobilitas paling tinggi, sehingga kejadian fraktur karena peristiwa trauma paling sering terjadi pada orang-orang di kelompok usia ini. (17) Sedangkan pada kelompok usia 60 tahun ke atas, kejadian fraktur karena peristiwa patologis lebih sering terjadi kerena berkurangnya massa tulang yang disebabkan oleh proses degeneratif seiring dengan pertambahan usia. (26) Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 11. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Sebab Fraktur Jenis Kelamin Penyebab Jumlah Pria Wanita Fraktur f % f % f % Peristiwa 40 54, , ,0 Trauma Peristiwa Patologis 11 32, , ,0 X 2 =4,683 df=1 p=0,030 Proporsi penderita fraktur karena peristiwa trauma lebih besar pada jenis kelamin pria yaitu 54,8% (40 orang). Sedangkan proporsi penderita fraktur karena peristiwa patologis lebih besar pada jenis kelamin wanita yaitu 67,6% (23 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p<0,05, yang berarti ada perbedaan proporsi antara jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur.

34 Fraktur patologik lebih sering terjadi pada wanita lansia. Salah satu fungsi hormon estrogen adalah menjaga keseimbangan aktivitas sel pembentukan tulang. Perubahan hormon menyebabkan keseimbangan aktivitas sel osteoklastik dan sel osteoblastik terganggu yang menyebabkan resorpsi tulang bekerja lebih cepat daripada formasi tulang, apabila hal demikian terjadi secara terus menerus, terjadi penurunan massa tulang atau osteoporosis. (25) Sementara itu pada pria lansia, proses perapuhan tulang juga terjadi namun tidak berlangsung dengan cepat seperti wanita. Massa tulang pria berkurang sekitar 1% per tahun dari berat tulang mulai usia 70 tahun. Fraktur karena peristiwa trauma lebih banyak terjadi pada pria disebabkan oleh aktivitas yang lebih tinggi daripada wanita sehingga kemungkinan pria mengalami fraktur karena peristiwa trauma lebih besar daripada wanita. (27) Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 12. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Jenis Fraktur Jenis Kelamin Jenis Jumlah Pria Wanita Fraktur f % f % f % Tertutup 41 44, , Terbuka 10 66,7 5 33, X 2 =2,525 df=1 p=0,112 Proporsi penderita fraktur tertutup lebih besar pada jenis kelamin wanita yaitu 55,4% (51 orang). Sedangkan proporsi penderita fraktur terbuka lebih besar pada jenis kelamin pria yaitu 66,7% (10 orang). Fraktur tertutup dan terbuka dapat terjadi pada siapa saja tanpa dipengaruhi jenis kelamin. Jenis fraktur tergantung pada berat ringannya trauma yang diterima tulang. Fraktur terbuka dapat terjadi apabila penderita mendapatkan trauma dengan energi yang besar seperti pada kejadian kecelakaan. (28) Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur. Distribusi proporsi jenis fraktur berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 13. Distribusi Proporsi Jenis Fraktur Berdasarkan Tindakan Medis Jenis Fraktur P. Jumlah Tertutup Terbuka Medis f % f % f % Operasi 55 80, , ,0 Tanpa 37 94,9 2 5, ,0 Operasi X 2 =4,024 df=1 p=0,045 Proporsi terbesar penderita fraktur berdasarkan tindakan operasi maupun tanpa operasi adalah pada jenis fraktur tertutup dengan proporsi masing-masing 80,9% (55 orang) dan 94,9% (37 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p<0,05, yang berarti ada perbedaan proporsi antara penatalaksanaan medis berdasarkan jenis fraktur. Penatalaksanaan fraktur dengan operasi pada umunya dilakukan pada fraktur tertutup yang tidak dapat ditangani dengan reduksi tertutup karena kesulitan mengendalikan dan mempertahankan posisi fragmen tulang pada tempatnya. Pada kasus fraktur terbuka, operasi debridemen agar peredaran darah dapat berjalan dengan lancar pada lokasi terjadinya fraktur. (29) Pada penatalaksanaan operasi yang dilakukan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, plat dan skrup digunakan. Sedangkan penatalaksanaan tanpa operasi dilakukan dengan menggunakan gips pada bagian tubuh yang mengalami fraktur. Distribusi proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah.

35 Tabel 14. Distribusi Proporsi Penyebab Fraktur Berdasarkan Letak Fraktur Penyebab Fraktur Letak Peristiwa Peristiwa Jumlah Fraktur Trauma Patologis f % f % f % Rangka 15 83,3 3 16, Aksial Rangka Apendikular 58 66, , X 2 =2,279 df=1 p=0,131 Proporsi terbesar penderita fraktur pada rangka aksial dan apendikular disebabkan karena peristiwa trauma dengan proporsi masing-masing sebesar 83,3% (15 orang) dan 66,2% (58 orang). Letak fraktur yang termasuk pada rangka aksial adalah fraktur yang terjadi pada bagian kepala dan tulang belakang, sedangkan yang termasuk pada rangka apendikular adalah fraktur yang terjadi pada bagian ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan panggul. (30) Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur. Distribusi proporsi penyebab fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 15. Distribusi Proporsi Penyebab Fraktur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penyebab Fraktur Keadaan Sewaktu Peristiwa Peristiwa Jumlah Pulang Trauma Patologis f % f % f % Sembuh/PBJ 61 60, , PAPS 12 70,6 5 29, Meninggal Proporsi terbesar penderita fraktur yang pulang sembuh/pulang berobat jalan (PBJ) dan pulang atas permintaan sendiri (PAPS) disebabkan karena peristiwa trauma dengan proporsi masing-masing 60,7% (61 orang) dan 70,6% (12 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, terdapat 2 sel (33,3%) memiliki expected count kurang dari 5 sehingga analisa dengan menggunakan uji ini tidak dapat dilakukan. Lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 16. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Jenis Fraktur Jenis Lama Rawatan Rata-Rata Fraktur f X SD Tertutup 92 7,39 7,9 Terbuka 15 6,93 5,51 t=0,216 df=105 p=0,830 Lama rawatan rata-rata penderita fraktur tertutup pada lansia adalah 7,39 hari (7 hari) dan lama rawatan rata-rata penderita fraktur terbuka pada lansia adalah 6,93 hari (7 hari). Berdasarkan hasil uji t-test, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama hari rawatan rata-rata penderita fraktur tertutup dengan penderita fraktur terbuka. Lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 17. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan P. Medis Penatalaksanaan Medis Lama Rawatan Rata- Rata f X SD Operasi 68 8,34 7,12 Tanpa Operasi 39 5,56 8,13 t=1,840 df=105 p=0,069 Lama rawatan rata-rata penderita fraktur dengan operasi adalah 8,34 hari (8 hari) dan lama rawatan rata-rata penderita fraktur tanpa operasi adalah 5,56 hari (6 hari).

36 Berdasarkan hasil uji t-test, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama hari rawatan rata-rata penderita yang ditangani dengan tindakan operasi dan penderita yang tidak ditangani dengan tindakan operasi. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan sosiodemografi terbesar pada umur tahun (55,1%), jenis kelamin wanita (52,3%), suku Batak (74,8%), agama Kristen Protestan (59,8%), pendidikan Akademi/Sarjana (43,9%), pekerjaan ibu rumah tangga (25,2%), berstatus kawin (93,5%), dan berasal dari kota medan (59,8%). b. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penyebab fraktur terbesar karena kecelakaan lalu lintas (57,9%). c. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan jenis fraktur terbesar pada jenis fraktur tertutup (86,0%). d. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan letak fraktur terbesar pada bagian panggul (29,9%). e. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penatalaksanaan medis terbesar pada penatalaksanaan operasi (63,6%). f. Lama rawatan rata-rata penderita fraktur pada lansia adalah 7,33 hari (7 hari). g. Proporsi terbesar penderita fraktur pada lansia berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah pulang sembuh/pulang berobat jalan (83,2%). h. Tidak ada perbedaan proporsi umur berdasarkan letak fraktur (p=0,110). i. Ada perbedaan proporsi umur berdasarkan penyebab fraktur (p=0,000). j. Ada perbedaan proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur (p=0,030). k. Tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur (p=0,112). l. Ada perbedaan proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan jenis fraktur (p=0,045). m. Tidak ada perbedaan proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur (p=0,131). n. Tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis fraktur (p=0,830). o. Tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,069). 2. Saran a. Kepada kelompok yang berisiko osteoporosis khususnya wanita, agar melakukan pencegahan sejak dini seperti berolahraga secara teratur dan konsumsi vitamin dan mineral yang cukup untuk meminimalkan risiko terjadinya fraktur. b. Kepada penderita yang sudah pernah mengalami fraktur, terutama fraktur patologik, diharapkan agar menghindari faktor risiko terjatuh dan lebih berhatihati saat beraktivitas agar tidak terjadi trauma yang dapat menyebabkan fraktur berulang. c. Kepada pihak rumah sakit diharapkan untuk menambahkan data komplikasi fraktur dan bentuk patahan fraktur pada kartu status pasien. Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan RI, PTM Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia. pada tanggal 20 Februari Nantulya, V.M. dan M.R. Reich, The Neglected Epidemic : Road Traffic Injuries in Developing Countries. BMJ. 3. World Health Organization (WHO), Assessment of Fracture Risk and Its Application to Screening for Osteoporosis. Geneva. 4. World Health Organization (WHO), Osteoporosis. Diakses tanggal 20 Mei Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Osteoporosis. 6. Lane, N.E., Osteoporosis. Edisi 2. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 7. Cummings, S.R., Epidemiology and Outcomes Osteoporotic Fractures. Lange Medical Books. 8. Kanis, J.A., A Systematic Review of Hip Fracture Incidence and

37 Probability Fracture Worldwide. IOF. 9. Feder, G, Guidelines for Prevention of Falls in People Over 65. BMJ 10. World Health Organization (WHO), A WHO Global Report on Falls Among Older Persons 11. World Health Organization (WHO), WHO Global Report on Falls Prevention in Older Age. Geneva. 12. Krishnaswamy, B, Falls in Older People. Madras Medical College. Chennai. 13. Novelandi, Roby, Karakteristik Penderita Fraktur Rawat Inap di RSUP Dr. Pirngadi Medan. Skripsi FKM USU. Medan. 14. Sari, D. M, Karakteristik Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun Skripsi FKM USU. Medan 15. Reeves,C.J.,2001. Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 16. MacKian, S., Health Seeking Behaviour:Problems,Prospect. Health Development. Manchester. 17.Riyadina,W, Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat Kecelakaan di Indonesia. Pusat Litbang Biomedis dan Farmasi, Balitbang Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 18. National Institutes of Health, Preventing Falls and Related Fractures. Diakses Tanggal 20 Mei Boufous, Soufiane, The Epidemiology of Hospitaled Wrist Fractures in Older People. Elsevier New South Wales. 20. Apley, A.G. dan Louis Salomon, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi 7. Widya Medika. Jakarta. 21. Nugroho, W, Perawatan Lanjut Usia. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta 22. Boedhi, Darmojo, Buku Ajar Geriarti (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 23. World Health Organization (WHO), Assessment of Osteoporosis At The Primary Health Care Level. 24. Underwood, J.C.E., General and Systematic Pathology. Churchill Livingstone. London. 25. World Health Organization (WHO), Prevention and Management of Osteoporosis. Geneva. 26. SIGN, Management Osteoporosis. Tanggal 20 Mei Health Service Executive, Strategy to Prevent Falls and Fractures in Ireland's Ageing Population. Report of The National Steering Group on The Prevention of Falls in Older People and The Prevention and Management Osteoporosis Through Life 28.Paton,D.F.,1988.Fractures Orthopaedics. Churchill Livingstone Elsevier. New York. 29.Maheshwari,J.,2002.Essential Orthopaedi. Edisi 3.Metha Publisher. New Delhi. 30. Sloane, E, Anatomi dan Fisiologi. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

38 KARAKTERISTIK ANAK YANG MENDERITA LEUKEMIA AKUT RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Sulastriana 1, Sori Muda 2, Jemadi 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, psulastriana@yahoo.com Abstract Acute leukemia (AL) is a disease indicated by abnormal accumulation of leukocytes, malignant and excessive amounts, cause death if not treated. The number of children who suffer AL at RSUP H. Adam Malik Medan in was 174 people. To determine the characteristics of children who suffer AL at RSUP H. Adam Malik Medan in , it has conducted a descriptive study with case series design. Population is all data of children who suffer AL at RSUP H. Adam Malik Medan in , as many as 174 people. Data sample is children who suffer LA at RSUP H. Adam Malik Medan in ( total sampling ). Data Source is data obtained from the card status of children who suffer AL recorded in medical records and analyzed statistically using Chi -square test and t-test, it was presented in tabular form distribution proportion, line charts, pie charts, and narrative. The results showed a decrease trend line according to the equation Y = 100,5-3.8 x. The largest proportion of children suffering from acute leukemia is 0-4 years of age (36.8%), male gender (52.9%), Islam (66.1%), residence outside the city of Medan (77.6% ), pale complaints (43.7%), type of leukemia ALL (78.2%), chemotherapy (57.3%), outpatient home (71.3%), average length of stay (8.5 days), and free medical treatment (46.0%). There was no significant differences between age by type AL (p = 0.998), there was no significant difference gender between the type of AL (p = 0.688) and there was no significant difference the average treatment time between the type of AL( p=0,188). To RSUP H. Adam Malik Medan was expected to complete the recording such as ethnicity, family history, and add time AL was diagnosed. To the families of children who suffered AL were expected to take the patient to follow the treatment prodecure until finished. And the public was expected to avoid or protect themselves from exposure pesticides, chemical substances, and radiation that constantly. Keywords: Acute Leukemia, Characteristics of children Pendahuluan Indonesia sebagai negara berkembang mengalami transisi epidemiologi. Kanker merupakan penyebab kematian ke-lima setelah penyakit kardiovaskuler, infeksi, pernapasan dan percernaan. 1 Hasil Riset kesehatan Dasar (2007) menyatakan bahwa prevalensi kanker di Indonesia adalah 430 per penduduk. 2 Di negara Indonesia terdapat kira-kira kasus kanker per tahun dan 650 kasus kanker anak per tahun ditemukan di Jakarta yang sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu. 3 Salah satu jenis kanker adalah leukemia yang ditandai dengan proliferasi selsel darah putih yang abnormal. Menurut WHO (2002) leukemia terjadi hampir di seluruh dunia. Registrasi kanker telah mencatat sekitar kasus baru per tahun (CFR 76%). Dari kasus baru kanker, 1

39 2 Leukemia Mielositik Akut (LMA) sekitar 2,5%, sementara Leukemia Limfositik Akut (LMA) adalah sekitar 1,3%. Leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada anak dibawah umur 15 tahun. Estimasi kasus baru penyakit leukemia di Amerika Serikat pada tahun 2013 yaitu kasus dan kematian akibat leukemia sebesar kasus. 4,5 Leukemia Akut (LA) merupakan salah satu jenis leukemia dan merupakan leukemia dengan perjalanan klinis yang cepat. Pada populasi anak, umumnya jenis leukemia yang terjadi adalah LA yang terdiri dari Leukemia Limfositik Akut (LLA) dan Leukemia Mielositik Akut (LMA). LLA lima kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan LMA. 4,6 LA pada anak mencapai 97% dari semua leukemia, LLA 82% dan LMA 18%. 7 Di Australia, incidence rate LLA pada anak tahun 2008 adalah 12,2 per anak, tahun 2009 adalah 13 per anak sedangkan LMA incidence rate pada tahun 2008 adalah 2,4 per anak dan tahun 2009 adalah 2 per anak. 8 Di India kanker anak yang paling umum adalah leukemia, 60-85% merupakan LLA. 9 Pada tahun ditemukan 120 anak penderita LLA di RSU Pirngadi Medan. Dari 120 anak yang menderita LLA terdapat 21 penderita yang meninggal (CFR 17,5%). 10 Di RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada tahun terdapat 524 kasus leukemia. Dari jumlah tersebut 430 kasus (82%) didiagnosis sebagai LLA, 52 kasus (10%) sebagai LMA, dan 8% Leukemia Mielositik Kronis (LMK). 11 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSK Dharmais tahun kasus LLA sebanyak 34 kasus dan LMA 10 kasus. 12 Pada tahun di Departemen Kesehatan Anak FKUI/RSCM telah dirawat pasien baru LLA sebanyak 198 kasus. 13 Upaya untuk menangani masalah penyakit kanker telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah melalui Depkes RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia) dan juga lembaga non pemerintah baik Yayasan Peduli Penyakit Kanker maupun organisasi profesi tetapi upaya tersebut masih dilakukan dengan sporadis dan belum menyeluruh. Oleh sebab itu, permasalahan penyakit kanker masih belum dapat tertangani dengan optimal. 2 Bardasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan terdapat data Leukemia Akut pada anak sebesar 174 kasus yaitu 84 kasus pada tahun 2011 dan 90 kasus pada tahun Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui proporsi anak yang menderita LA rawat inap berdasarkan data tahun b. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sosiodemografi yaitu umur, jenis kelamin, suku, agama, dan tempat tinggal. c. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keluhan. d. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan riwayat penyakit keluarga. e. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis Leukemia Akut. f. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis penatalaksanaan medis. g. Mengetahui lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA. h. Mengetahui lama rata-rata anak menderita LA. i. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang. j. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya. k. Mengetahui distribusi proporsi umur anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA. 2

40 3 l. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin anak yang menderita LA berdasarkan LA. m. Mengetahui distribusi proporsi jenis penatalaksanaan medis anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang. n. Mengetahui distribusi proporsi jenis penatalaksanaan medis anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya. o. Mengetahui distribusi proporsi jenis LA pada anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang. p. Mengetahui lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA. Manfaat penelitian ini adalah: a. Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian bagi peneliti. b. Memberikan informasi dan masukan mengenai anak yang menderita LA rawat inap bagi RSUP H. Adam Malik Medan dalam upaya peningkatan pelayanannya. c. Sebagai masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti atau melanjutkan penelitian sejenis. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian bersifat deskriptif dengan desain case series. Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dengan pertimbangan bahwa di RSUP H. Adam Malik Medan tersedia data anak yang menderita LA dan penelitian karakteristik anak yang menderita LA belum pernah dilakukan tahun Populasi penelitian ini adalah semua data anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun yang tercatat dalam kartu status sebanyak 174 penderita. Sampel adalah data anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun dan besar sampel sama dengan populasi (total sampling) Hasil dan Pembahasan Proporsi Anak yang Menderita LA Berdasarkan Data Lima Tahun Tabel 1 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Tahun f % , , , ,7 Total ,0 Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa data anak yang menderita LA pada tahun 2008 tidak tersedia di RSUP H. Adam Malik Medan. Pada tahun 2009 terdapat 101 anak yang menderita LA (27,8%), tahun 2010 terdapat 89 anak yang menderita LA (24,4%), tahun 2011 terdapat 84 anak yang menderita LA (23,1%), dan tahun 2012 terdapat 90 anak yang menderita LA (24,7%). Dari persamaan y = 100,5 3,8x maka dapat diprediksikan pada tahun 2013 jumlah anak yang mendeita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan adalah y = 100,5 3,8(5) yaitu 82 kasus, tahun 2014 y = 100,5-3,8(6) yaitu 78 kasus dan tahun 2024 adalah y = 100,5-3,8(16) yaitu 39,7 atau 40 kasus. Sehingga diprediksikan setiap tahunnya terjadi penurunan jumlah kasus anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Tabel 2 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Sosiodemografi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Sosiodemografi f % Umur 0-4 tahun 5-9 tahun tahun ,8 33,9 29,3 Total ,0 3

41 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik 92 52, , , ,1 32,2 1,7 Total ,0 Tempat tinggal Kota Medan Luar kota medan 39 22, ,6 Total ,0 Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun yang terbesar berdasarkan sosiodemografi (umur 0-4 tahun 36,8%, jenis kelamin laki-laki 52,9%, agama Islam 66,1%, tempat tinggal luar kota Medan 77,6%). Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan suku tidak tercatat pada kartu status. Leukemia Akut menyerang anak-anak dari semua golongan umur. Pada LLA, puncak usia timbulnya penyakit adalah antara umur 3 dan 4 tahun sedangkan pada anak LMA tidak tampak usia puncak. 9 Besarnya kejadian LA pada kelompok umur 0-4 tahun dikaitkan dengan jenis LLA yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan LMA. 2 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gholami (2011) di West Azerbaijan Province terdapat anak yang menderita LA 56 (43,0%) kelompok umur 0-4 tahun, 45 (34,6%) kelompok umur 5-9 tahun dan 29 (22,3%) kelompok umur tahun. 15 Leukemia Akut lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 1,4 : Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gholami (2011) di West Azerbaijan Province terdapat anak yang menderita LA berdasarkan jenis kelamin, 72 (55,4%) lakilaki dan 58 (44,6%) perempuan. 15 Besarnya proporsi penderita beragama Islam bukan berarti bahwa agama Islam lebih berisiko untuk menderita LA, namun hanya menunjukan anak yang menderita LA yang datang berobat di RSUP H. Adam Malik 4 Medan tahun yang paling banyak adalah agama Islam. Besarnya proporsi penderita luar kota Medan diasumsikan karena RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit rujukan dari Provinsi Sumatera Utara, NAD, Riau, dan Sumatera Barat sehingga memungkinkan jumlah anak yang menderita LA yang berobat di rumah sakit ini lebih banyak dari luar kota Medan. Tabel 3 4 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Keluhan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Keluhan f % Pucat 76 43,7 Demam 73 42,0 Perdarahan 35 20,1 Lemas 18 10,3 Pembesaran 15 8,6 kelenjar limfa Nyeri tulang/sendi 13 7,5 Berdasarkan tabel 3. di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keluhan terbesar adalah pucat dengan proporsi 43,7% (76 orang) dan terkecil adalah nyeri tulang/sendi dengan proporsi 7,5% (13 orang) Gejala yang ditimbulkan LA adalah pucat, panas/demam, perdarahan, adanya rasa lelah, nyeri tulang dan pembesaran kelenjar limfa. Produksi sel darah merah yang berkurang menyebabkan oksigen dalam tubuh berkurang akibatnya penderita terlihat pucat dan mudah lelah. Anak yang menderita LA akan lebih mudah untuk terkena infeksi karena sel darah putihnya tidak berfungsi normal. Akibatnya tubuh anak tersebut mudah terkena infeksi virus ataupun bakteri sehingga menimbulkan keluhan demam. Perdarahan terjadi akibat produksi sel darah putih meningkat dan sel darah lain menurun mengakibatkan anemia, trombositopenia, leukopenia. Trombositopenia mengakibatkan mudahnya perdarahan berupa ekimosis, petekia, perdarahan gusi dan sebagainya. 17,18 Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan riwayat penyakit keluarga tidak dapat didistribusikan karena data tidak tersedia pada kartu status.

42 5 Tabel 4 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Jenis leukemia f % akut Leukemia ,2 limfositik akut(lla) Leukemia 38 21,8 mielositik akut (LMA) Total ,0 Berdasarkan tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA yang lebih besar adalah LLA dengan proporsi 78,2% (136 orang) sedangkan LMA proporsi 21,8% (38 orang). Pada populasi anak, umumnya jenis leukemia yang terjadi adalah LLA dan LMA. Kasus LLA (82%) lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dengan LMA (18%). LMA bisa menyerang segala usia, tetapi paling sering terjadi pada umur dewasa. 7 Tingginya proporsi LLA karena sampel pada penelitian ini adalah anak yang menderita LA. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Chandrayani (2009) di RSK Dharmais dari tahun terdapat 34 (77%) anak yang menderita LLA dan 10 (23%) anak yang menderita LMA. 12 Tabel 5 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Penatalaksanaan medis f % Kemoterapi 86 57,3 Transfusi darah 24 16,0 Kemoterapi dan 40 26,7 transfusi darah Total ,0 Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan penatalaksanaan medis terbesar adalah kemoterapi dengan proporsi 57,3% (86 orang) dan terkecil transfusi darah dengan proporsi 16,0% (24 orang). Dari 174 anak yang menderita LA pada tahun di RSUP H. Adam Malik Medan terdapat 150 penderita yang mengikuti penatalaksanaan medis seperti kemoterapi, transfusi darah dan kemoterapi + transfusi darah. Penatalaksanaan medis untuk anak yang menderita LA berbeda-beda tergantung pada jenis LA dan kondisi penderita. Kemoterapi merupakan tindakan yang dilakukan pada pasien LA untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia dan transfusi darah merupakan terapi suportif untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan sel-sel leukemia itu sendiri seperti perdarahan. 19 Tabel 6 Distribusi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Lama Rawatan Rata-rata di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Lama rawatan rata-rata Mean SD(standar deviasi) 95% Confidence Interval Coefficient of Variation Minimum Maksimum 8,5 6,6 7,5-9,5 77,6%, 1 29 Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA adalah 8,5 hari (9 hari), SD (Standar Deviasi) 6,6 hari, Coefficient of Variation 77,6% > 10%, artinya lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA bervariasi, lama rawatan minimum adalah 1 hari dan lama rawatan maksimum adalah 29 hari. Penderita dengan lama rawatan 1 hari sebanyak 5 kasus, dimana 4 kasus diantaranya pulang berobat jalan karena menjalani kemoterapi, 2 kasus didiagnosis LLA berumur 6 dan 7 tahun, 2 kasus LMA berumur 2 dan 9 tahun. Dari 5 kasus terdapat 1 kasus meninggal dengan umur 4 tahun, keluhan (pucat, perdarahan, nyeri tulang/ sendi), didiagnosis LLA, berasal dari luar Medan, dan sumber biaya sendiri. Anak yang menderita LA dengan lama rawatan 29 hari merupakan anak yang 5

43 6 menderita LA berusia 11 tahun, pasien berkunjung ke RSUP H. Adam Malik Medan untuk pertama kali, sehingga memungkinkan lama rawatan lama karena penetapan diagnosis membutuhkan waktu yang tidak cepat, pasien datang dengan keluhan demam dan didiagnosis menderita LLA. Penderita menjalani kemoterapi, dengan sumber biaya SKTM dan pulang dengan status berobat jalan. Distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan lama rata-rata menderita LA tidak tercatat pada kartu status. Tabel 7 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Keadaan f % sewaktu pulang PBJ ,3 PAPS 22 12,6 Meninggal 24 13,8 Sembuh 4 2,3 Total ,0 Berdasarkan tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang terbesar adalah pulang berobat jalan (PBJ) dengan proporsi 71,3% (124 orang) dan keadaan sewaktu pulang terkecil adalah sembuh dengan proporsi 2,3% (4 0rang). CFR anak yang menderita LLA adalah 19/136 x 100% =13,9% dan CFR anak yang menderita LMA adalah 5/38 x 100% = 13,1%. Pada pasien LLA lebih dari 2/3 pasien yang diobati akan berada dalam kondisi remisi kompit selama 5 tahun dan kebanyakan kasus akan sembuh sedangkan LMA merupakan suatu kelompok penyakit yang heterogen yang memberikan prognosis yang buruk. 14 Tabel 8 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun i Sumber biaya f % Umum/biaya 21 12,1 sendiri Askes 27 15,5 Jamkesmas 80 46,0 SKTM 40 23,0 JPKMS 3 1,7 JKA 3 1,7 Total ,0 Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya terbesar adalah jamkesmas dengan proporsi 46,0% (80 orang), sumber biaya terkecil adalah JPKMS dan JKA masing-masing dengan proporsi 1,7% (3 orang). Hal ini terjadi karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pemerintah yang melayani pasien peserta Jamkesmas. Dapat diasumsikan anak yang menderita LA yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan adalah masyarakat menengah ke bawah. Tingginya kejadian LA pada masyarakat menengah ke bawah diasumsikan karena adanya paparan zat-zat kimia yang cukup lama seperti paparan pestisida di daerah pedesaan yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPKMS) merupakan sumber biaya yang hanya dimiliki oleh penderita yang tinggal di kota Medan sehingga proporsi JPKMS merupakan yang terendah 1,7% (3 orang). Sama halnya dengan JKA yang hanya dimiliki penderita yang berasal dari provinsi NAD. Proporsi JKA sebesar 1,7% (3 orang), rendahnya proporsi JKA disebabkan karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit rujukan dari provinsi NAD. 6

44 Jenis LA LLA LMA Analisa Statistik Tabel 9 Distribusi Proporsi Umur Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Umur Total 0-4 tahun 5-9 tahun tahun f % f % f % f % 50 36, , , , , , , ,0 Berdasarkan tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita LA dengan jenis LLA terbesar pada umur 0-4 tahun dengan proporsi 36,8% (50 orang) dan terendah umur tahun dengan proporsi 29,4% (40 orang). Anak yang menderita LA dengan jenis LMA lebih besar pada umur 0-4 tahun yaitu 14 orang (36,8%) dan yang lebih kecil pada umur tahun dengan proporsi 28,9% (11 orang). Hasil uji Chi-square diperoleh p = 0,998 (p > 0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur berdasarkan jenis LA. Tabel 10 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Jenis LA LLA LMA Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total f % f % f % 73 53, , , , , ,0 Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita LA dengan jenis LLA lebih besar terjadi pada laki-laki dengan proporsi 53,7% (73 orang) dan lebih kecil terjadi pada perempuan dengan proporsi 46,3% (63 orang). Anak yang menderita LA dengan jenis LMA pada laki-laki dan permpuan masing-masing proporsinya 50,0% (19 orang). Hasil uji Chi-square diperoleh p = 0,688 (p > 0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis LA dengan jenis kelamin. Tabel 11 Distribusi Proporsi Jenis Penatalaksanaan Medis Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Keadaan Sewaktu Pulang Penatalaksanaan Medis Kemoterapi Transfusi Darah Kemoterapi +Transfusi Darah Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa dari 101 orang anak yang pulang berobat jalan (PBJ) sebanyak 65,3% (66 orang) kemoterapi, 12,9% (13 orang) transfusi darah dan 21,8% (22 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Dari 21 orang anak yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) sebanyak 57,2% (12 orang) kemoterapi, 19,0% (4 orang) transfusi darah dan 23,8% (5 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Dari 24 orang anak yang meninggal sebanyak 29,2% (7 orang) kemoterapi, 29,2% (7 orang) transfusi darah dan 41,6% (10 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Dari 4 orang anak yang menderita LA yang pulang dengan keadaan sembuh sebanyak 25,0% (1 orang) kemoterapi, 75,0% (3 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (41,7%) yang mempunyai expected count < 5. 7 Total f % f % f % f % PBJ 66 65, , , ,0 PAPS 12 57,2 4 19,0 5 23, ,0 Meningg al 7 29,2 7 29, , ,0 Sembuh 1 25,0 0 0,0 3 75, ,0 7

45 8 Sumber Biaya Biaya Sendiri Biaya Tidak Sendiri Tabel 12 Distribusi Proporsi Jenis Penatalaksanaan Medis pada Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Penatalaksanaan Medis Total Kemotera pi Transfusi Darah Kemotera pi +Transfus i Darah f % f % f % f % 5 45,5 4 36,4 2 18, , , , , ,0 Berdasarkan tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa dari 11 anak yang menderita LA yang berobat dengan biaya sendiri 45,5% (5 orang) menjalani kemoterapi, 36,4% (4 orang) diberi transfusi darah dan 18,1% (2 orang) menjalani kemoterapi dan diberi transfusi darah. Dari 139 anak yang menderita LA yang berobat dengan biaya yang tidak sendiri 58,3% (81 orang) menjalani kemoterapi, 14,4% (20 orang) diberi transfusi darah dan 27,3% (38 orang) menjalani kemoterapi dan diberi transfusi darah. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang mempunyai expected count < 5. Tabel 13 Keadaan Sewaktu Pulang Distribusi Proporsi Jenis LA pada Anak Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Jenis LA LLA LMA Total f % f % f % PBJ 96 96, , ,0 PAPS 20 90,9 2 9, ,0 Meningg 19 79,2 5 20, ,0 al Sembuh 1 25,0 3 75, ,0 Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa dari 113 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang yaitu pulang berobat jalan (PBJ) 96,9% (96 orang) dengan jenis LLA, 27,1% (28 orang) dengan jenis LMA. Dari 22 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang yaitu pulang atas permintaan sendiri (PAPS) 90,9% (20 orang) dengan jenis LLA, 9,1% (2 orang) dengan jenis LMA. Dari 24 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang yaitu meninggal 79,2% (19 orang) dengan jenis LLA, 20,8% (5 orang) dengan jenis LMA. Dari 4 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang sembuh 25,0% (1 orang) jenis LLA dan 75,0% (4 orang) sembuh jenis LMA. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (37,5%) yang mempunyai expected count < 5. Tabel 14 Distribusi Lama Rawatan Ratarata Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Jenis LA Medan Tahun Lama Rawatan Ratarata f mean SD LLA 136 8,5 6,8 LMA 38 8,4 6,0 t = 1,744 p= 0,188 df= 172 Berdasarkan tabel 14 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita LA dengan jenis LA, LLA sebanyak 136 orang dengan lama rawatan rata-rata 8,5 hari, LMA sebanyak 38 orang dengan lama rawatan ratarata 8,4 hari. Berdasarkan statistik uji t diperoleh p = 0,188 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis LA Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi tertinggi anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan data tahun adalah pada tahun 2009 yaitu 27,8%. Kecenderungan kunjungan anak yang menderita LA berdasarkan data tahun menunjukkan penurunan dengan persamaan garis y = 100,5-3,8x 8

46 9 b. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur 0-4 tahun 36,8%, jenis kelamin laki-laki (52,9%), agama Islam 66,1%, luar kota Medan 77,6%. c. Proporsi keluhan anak yang menderita LA tertinggi yaitu pucat 43,7%. d. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA adalah LLA 78,2%. e. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis penatalaksanaan medis tertinggi adalah kemoterapi 57,3%. f. Lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA adalah 8,5 hari (9 hari) g. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan 71,3%. h. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya tertinggi adalah Jamkesmas 46,0%. i. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur berdasarkan jenis LA (p =0,998), jenis kelamin berdasarkan jenis LA (p=0,688), dan lama rawatan rata-rata dengan jenis LA (p=0,188). 2. Saran a. Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan diharapkan untuk melengkapi pencatatan pada kartu status, seperti suku, riwayat penyakit keluarga, serta menambahkan pencatatan tentang waktu didiagnosis LA. b. Kepada keluarga anak yang menderita LA diharapkan untuk membawa penderita mengikuti prosedur pengobatan sampai selesai. c. Kepada masyarakat diharapkan untuk menghindari atau melindungi diri dari paparan pestisida, zat-zat kimia maupun radiasi yang terpapar secara terus-menerus. Daftar Pustaka 1. Kepmenkes RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Kanker. Jakarta 2. Depkes RI, Obesitas dan Kurang Aktivitas Fisik Menyumbang 30 Kanker Diakses pada tanggal 27 maret Yayasan Onkologi Anak Indonesia, Kanker pada Anak di Indonesia. Jakarta 4. National Cancer Institute, ctsheet/sites- Types/childhood Diakses pada tanggal 21 maret Hadi N., dkk, A Case ControlStudy Acute Leukemia Risk Factors in Adults, Shiraz, Iran. S hiraz E-Medical Journal. Volume 9, No. 1, January Bakta, M., Hematologi Klinik Ringkas. EGC. Jakarta Depkes RI, Profil Kesehatan Indonesia Jakarta 7. Permono, B. dan IDG. U., Leukemia Akut. Dalam: Hematologi Onkologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta 8. Australasian Assosiation of Cancer Registries, Acute Lymphoblastic Leukemia for Australia. Diakses pada tanggal 27 maret Indian Jurnal of Cancer, Epidemiologi of childhood Cancer in India. Diakses 05 april Arifin, Z., Pola Leukemia Limfoblastik Akut di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RS Dr. Pirngadi Medan. Jurnal FK USU. Medan 11. IM., Widiaskara, dkk., Luaran Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Wangaya. 9

47 10 Denpasar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga RS. Dr. Soetomo. Surabaya. 12. S.,chandrayani, Gambaran Distribusi Distribusi Frekuensi Leukemia di RSK Dharmais dari Tahun Skripsi FKM UI. Depok 13. Tjitra, S.T., dkk., Prognosis Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Obes. Departemen Kesehatan Anak, RS Dr.Cipto Mangunkusumo, FK UI. Jakarta 14. Pui, H.P dan William M.C., Leukemia. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph (Rudolph s Pediatrics). EGC. Jakarta 15. Gholami, A.,et al., Parental Risk Factor of Childhood Acute Leukemia: A Case Control Study. Journal of Research in Health Sciences. Iran 16. Irani, P., Leukemia Limfoblastik Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Internal Publising. Jakarta 17. Kurnianda, J., Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Internal Publising. Jakarta 18. Buku Kuliah Kesehatan Anak, Diterbitkan Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta 19. Thomson, A.D dan Cotton, R.E., Catatan Kuliah Patologi. EGC. Jakarta 10

48 KARAKTERISTIK PENDERITA HIPERTENSI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDIKALANG TAHUN Ria Arihta Ujung 1, Rasmaliah 2, Jemadi 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, rheeaa91@yahoo.co.id Abstract Hypertyension is one of the degenerative disease a public health problem and important risk factor to arise many ailment of vital organ and bring a weakness of physical, blemish and mortality. Hypertension often called as silent killer because often appears without symptoms, while the blood pressure out of normal. Health Research Association (Riskesdas) Balitbangkes in 2007 showed the prevalence of hypertension nationally reached 31,7%. According to Rasmaliah and friends research in 2004 in work area of Puskesmas Pekan Labuhan, Medan Labuhan, incidens rate of hypertension for people who above 26 years old is 26,4% and patiens of yipertension more in years old reached 30,8%. To know the charecteristics of patiens who are hospitalized at General Hospital of Sidikalang, descriptive study has been done by using case series design and continued with the statistical analysis. The samples were 213 data of patients. From the record data, the result obtained by the higest proportion of female patiens in the age group >60 years (30,0%), Protestant (72,8%), house wives (30,8%), in Dairi (85,9%), second degree of hypertension (79,3%), without comorbidity (56,8%), dyspepsia (54,3%), stroke (53,8), average length of stay 3,45 days, askes (48,4), medically discharged and becoming out patients (81,7). There is no significant difference between ages with the degree of hypertension (p=0,600). There is no significant difference between sexes with the degree of hypertension (p=0,087). There is no significant difference between jobs with the degree of hypertension (p=0,716). There is a difference significant between average length of stay with the degree of hypertension (p=0,000). To General Hospital of Sidikalang that complement education data recording hospitalized patiens. Give a health promotion to communities to should be empowered, through education in order to contribute active to the prevention and contol of hypertension. To hipertensive patients for his blood pressure checked regurally and maintain a diet and a healthy life style. Keywords : hypertension, patient characteristics, General Hospital of Sidikalang Pendahuluan Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah terjadinya transisi epidemiologi, yaitu perubahan yang kompleks dalam pola penyakit dan kesakitan yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi penyakit noninfeksi (penyakit tidak menular) dibandingkan dengan penyakit infeksi (penyakit menular). 1 Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Proporsi angka kematian penyakit tidak menular meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun Penyakit tidak menular sebagai penyebab kematian teritinggi diantaranya seperti stroke, disusul dengan hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Dan kematian akibat PTM juga terjadi di perkotaan maupun pedesaan. 3 1

49 Hipertensi adalah salah satu Penyakit Tidak Menular dengan prevalensi 31,7% secara nasional, serta merupakan faktor risiko yang amat penting bagi timbulnya berbagai gangguan organ-organ vital tubuh dengan akibat kelemahan fisik, cacat maupun kematian. 4 Hipertensi sering dikatakan sebagai pembunuh diam-diam (silent killer). Hipertensi umumnya terjadi tanpa gejala (asimptomatis). Sebagian penderitanya tidak merasakan gejala apapun, walau tekanan darahnya telah jauh diatas normal. Keadaan seperti ini dapat berlangsung bertahun-tahun sampai akhirnya penderita jatuh ke dalam kondisi yang lebih parah atau terjadi komplikasi, seperti jantung, ginjal, dan stroke. Komplikasi inilah yang pada akhirnya banyak berujung pada kematian. 5 Survei faktor risiko penyakit kardiovaskuler oleh WHO tahun 2006 menunjukkan di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin dengan tekanan darah 160/90 mmhg pada pria tahun 1988 proporsinya 13,6%, tahun 1993 proporsinya 16,5%, dan tahun 2000 proporsinya 22,0%, sedangkan pada wanita prevalensi tahun 1988 mencapai 16%, tahun 1993 proporsinya 17%, dan tahun 2000 proporsinya 22,7%. 13 Menurut Indonesian Society of Hypertension tahun 2007, secara umum prevalensi hipertensi di Indonesia pada orang dewasa berumur lebih dari 50 tahun adalah antara 15%-20%. 6 Berdasarkan penelitian Sukresna Wibowo (2009) di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekan Baru pada tahun 2004 didapat proporsi penderita hipertensi rawat inap 8,92% (265 orang dari pasien penyakit dalam), tahun 2005 proporsinya 5,96% (229 orang dari pasien penyakit dalam), tahun 2006 proporsinya 5,31% (186 orang dari pasien penyakit dalam), tahun 2007 proporsinya 4,79% (171 orang dari pasien penyakit dalam), tahun 2008 proporsinya 6,85% (265 orang dari pasien penyakit dalam). 7 Dari data rumah sakit, di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan jumlah kasus penderita hipertensi pada tahun 1999 sebanyak 122 kasus dengan proporsi 0,8% dan tahun 2000 meningkat menjadi 215 kasus dengan proporsi 1,5%. 8 Menurut penelitian yang dilakukan Rasmaliah, dkk tahun 2004 di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan diketahui bahwa angka kejadian hipertensi pada masyarakat di atas usia 26 tahun adalah 26,4% dan penderita hipertensi lebih banyak pada kelompok umur tahun yaitu 30,8%. 9 Berdasarkan data yang diperoleh dari survei pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang, didapatkan kasus hipertensi yang di rawat inap dari tahun yaitu sebanyak 482 orang. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya karakteristik penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui karakteristik penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan sosiodemografi yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. b. Mengetahui distribusi proporsi hipertensi berdasarkan derajat hipertensi. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit penyerta. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan penyakit penyerta. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi f. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita hipertensi. g. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan sumber biaya. h. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan keadaaan sewaktu pulang. 2

50 i. Mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan derajat hipertensi j. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan derajat hipertensi. k. Mengetahui distribusi proporsi pekerjaan berdasarkan derajat hipertensi. l. Mengetahui distribusi lama rawatan ratarata berdasarkan derajat hipertensi. m. Mengetahui distribusi derajat hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit agar dapat meningkatkan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat. b. Sebagai bahan informasi bagi penelitian lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian tersebut. c. Sebagai sarana bagi penulis untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai hipertensi dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan case series. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang. Penelitian dilakukan pada bulan Februari Agustus Populasi penelitian ini adalah data seluruh penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun yaitu 482 orang yang terdaftar pada bagian rekam medis. Sampel penelitian ini adalah sebagian dari populasi. Besar sampel dihitung berdasarkan teknik sampling yaitu n = t 2 p q d 2 1 t 2 p q 1+ ( - 1) N d 2 N = Jumlah populasi n = Besar sampel minimal 3 d = Penyimpangan terhadap populasi (0,05) t= Tingkat kepercayaan (95% = 1,96) p = proporsi (0,5) q = 1 proporsi Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui sampel sebanyak 213 data penderita. Data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang diperoleh dari kartu status sampel penderita hipertensi yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun Semua kartu status sampel tersebut dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan jenis variabel yang diteliti. Data analisa dengan menggunakan Chi Square dan T-test. Hasil dan Pembahasan Sosiodemografi Umur dan Jenis Kelamin Distribusi proporsi penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sidikalang tahun berdasarkan sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan tempat tinggal, dapat dilihat pada tabel 1 : Tabel 1. Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Umur Jenis Kelamin Jumlah (tahun) Laki-laki Perempuan f % f % f % ,2 9 4,2 20 9, , , , , , ,0 > , , ,8 Total 92 43, , Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa kelompok umur 40 tahun berdasarkan jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki sebesar 5,2%. Umur tertinggi adalah perempuan sebesar 11,8%, umur tertinggi adalah laki-laki sebesar 12,2%, dan umur >60 tahun tertinggi adalah perempuan sebesar 30,0%.

51 Hal ini menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi sering terjadi pada orang berusia >60 tahun karena tekanan darah secara alami cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan dikarenakan penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan data sosiodemografi agama, pekerjaan dan tempat tinggal yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Data Sosiodemografi Agama, Pekerjaan dan Tempat Tinggal yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Sosiodemografi f % Agama Islam 55 25,8 Kristen Protestan ,8 Katolik 3 1,4 Total Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil 39 18,3 Pensiunan 23 10,8 Wiraswasta 23 10,8 Petani 51 24,0 Ibu Rumah Tangga 65 30,5 Tidak bekerja 12 5,6 Total Tempat Tinggal Kabupaten Dairi ,9 Luar Kabupaten Dairi 30 14,1 Total Pada tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkam agama yang terbesar adalah Kristen Protestan yaitu sebesar 72,8 % (155 orang), diikuti dengan agama Islam sebesar 25,8 % (55 orang). Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan pekerjaan yang terbesar adalah petani sebesar 41,3 % (88 orang) dan terendah adalah tidak bekerja sebesar 5,6% (12 orang). Berdasarkan tempat tinggal yang terbesar berada di dalam Kabupaten Dairi yaitu sebesar 85,9 % (183 orang) dan yang terendah di Luar Kabupaten Dairi sebesar 14,1 % (30 orang). Agama bukan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit hipertensi karena penyakit hipertensi dapat diderita oleh semua pemeluk agama. Penderita yang tidak bekerja sebanyak 12 orang merupakan penderita dengan usia diatas 75 tahun dimana secara fisik sudah tidak dapat produktif bekerja. Berdasarkan tempat tinggal menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Sidikalang berasal dari dalam Kabupaten Dairi. Distribusi Proporsi penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Derajat Hipertensi f % Hipertensi Derajat ,7 Hipertensi Derajat ,3 Total Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi derajat hipertensi penderita hipertensi teringgi adalah hipertensi derajat 2 sebesar 79,3% (169 orang) dan terendah adalah hipertensi derajat 1 sebesar 20,7% (44 orang). Artinya kondisi pasien membutuhkan pertolongan medis. Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit penyerta yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : 4

52 Tabel 4 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Status Penyakit Penyerta yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Status Penyakit f % Penyerta Ada 92 43,2 Tidak ada ,8 Total Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit pernyerta adalah tidak ada penyakit penyerta yaitu sebesar 56,8% dan yang memiliki penyakit penyerta sebesar 43,2%. Meskipun sebagian besar penderita tidak memiliki penyakit penyerta namun penderita tetap perlu dirawat untuk mengontrol tekanan darah agar kembali normal dan mencegah terjadinya komplikasi. Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Tekanan darah kita secara alami berfluktuasi sepanjang hari. 10 Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan jenis penyakit penyerta yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Penyakit Penyerta yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Jenis Penyakit f % Penyerta Dyspepsia 50 54,3 Diabetes Melitus 16 17,4 TB paru 7 7,6 Lebih dari satu 19 20,7 Total Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkan penyakit pernyerta terbanyak adalah dyspepsia sebesar 54,3% dan yang terendah adalah TB Paru sebesar 7,6%. Hipertensi adalah suatu keadaan patologis yang bersifat menetap, maka obat antihipertensi wajib dikonsumsi setiap hari dan seumur hidup, bukan hanya bila sedang timbul gejala. 13 Hal ini merupakan suatu pemicu timbulnya penyakit dyspepsia. Konsumsi obat antihipertensi yang rutin memicu timbulnya gangguan pencernaan, pada penderita hipertensi. Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 6 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Komplikasi Stroke Gagal jantung Gagal ginjal f % 7 53,8 5 38,5 1 7,7 Total Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi terbanyak adalah stroke sebesar 53,8% dan yang terendah adalah gagal ginjal sebesar 7,7%. Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi. stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak menjadi berkurang. 6 Lama rawatan rata-rata penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : 5

53 Tabel 7 Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Lama Rawatan yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Lama rawatan rata-rata Mean SD(standar deviasi) 95% Confidence Interval Minimum Maksimum 3,45 2,802 3,07-3, Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata pederita hipertensi adalah 3,45 hari. Lama rawatan tersingkat adalah 1 hari dan terlama adalah 26 hari. Lama rawatan rata-rata penderita hipertensi adalah 3,45 hari. Standar Deviasi (SD) = 2,802 dengan koefisien of varian >10% artinya bahwa hari rawatan penderita hipertensi bervariasi dengan lama rawatan paling singkat 1 hari dan paling lama adalah 26 hari. Penderita dengan lama rawatan terbesar yaitu 26 hari, dikarenakan mengalami komplikasi yaitu gagal ginjal. Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan sumber biaya yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 8 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Sumber Biaya yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Sumber Biaya f % Askes Jamkesmas Umum , , ,3 Total Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa sumber biaya penderita hipertensi yang terbanyak adalah menggunakan ASKES yaitu sebesar 48,4 % (103 orang). Sementara yang menggunakan Jamkesmas sebesar 25,3 % (54 orang) dan umum sebesar 26,3 % (56 orang). Hal ini dapat dikaitkan dengan proporsi penderita hipertensi berdasarkan pekerjaan yang terbesar adalah Ibu Rumah Tangga (30,5%), dimana pekerjaan suami dari IRT tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil. 6 Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 9 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Keadaan sewaktu pulang PBJ PAPS Meninggal f % , ,0 5 2,3 Total Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa distribusi penderita hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang terbesar adalah pulang berobat jalan yaitu sebesar 81,7 % (174 orang), diikuti oleh pulang atas permintaan sendiri sebesar 16% (34 orang) dan penderita yang meninggal sebesar 2,3 % (5 orang). Penderita pulang berobat jalan dikarenakan oleh keadaan tekanan darah penderita telah normal dan dokter telah memperbolehkan pulang berobat jalan. Penderita yang pulang atas permintaan sendiri kemungkinan dikarenakan ingin mendapat perawatan yang lebih baik di rumah sakit lainnya atau keinginan untuk dirawat di rumah. Penderita yang meninggal sebanyak 5 orang, yaitu dengan jenis kelamin 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Penderita meninggal dengan komplikasi stroke sebanyak 3 orang dan dengan penyakit penyerta diabetes melitus sebanyak 2 orang. Analisa Statistik Umur Berdasarkan Derajat Hipertensi Distribusi proporsi umur penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

54 Tabel 10 Distribusi Proporsi Umur Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Derajat Hipertensi Umur (tahun) 50 >50 Total f % f % f % Derajat 11 25, , Hipertensi 1 Derajat Hipertensi , , Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita dengan derajat hipertensi 1 tertinggi adalah umur >50 tahun sebesar 75%. Dengan derajat hipertensi 2 adalah umur >50 tahun sebesar 71%. Analisa uji statistik dengan uji chisquare diperoleh p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur dengan derajat hipertensi. Dengan kata lain setiap kelompok umur memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi, baik hipertensi derajat 1 maupun hipertensi derajat 2. Menurut kajian pengamatan prospektif pada beberapa kelompok orang, selalu menunjukkan adanya hubungan yang positif antara umur dan tekanan darah. Tekanan Darah Sistolik cenderung meningkat secara progresif dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa untuk mencapai nilai rata-rata 140 mmhg pada usia 70 hingga 80 tahun. Tekanan Darah Diastolik juga cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, tetapi dengan laju lebih rendah dari Tekanan Darah Sistolik, dan nilai rata-rata cenderung tetap datar atau turun setelah usia 50-an tahun. Ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi dan peningkatan Tekanan Darah Sistolik menjadi hal yang biasa dengan bertambahnya umur. 14 Distribusi proporsi umur penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 11 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Derajat Hipertensi Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan f % f % F % Derajat Hipertensi , , Derajat Hipertensi , , Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin penderita dengan derajat hipertensi 1 tertinggi adalah umur >50 tahun sebesar 68,2%. Dengan derajat hipertensi 2 adalah umur >50 tahun sebesar53,8%. Analisa uji statistik dengan uji chisquare diperoleh p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan derajat hipertensi. Dengan kata lain baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi, baik hipertensi derajat 1 maupun hipertensi derajat 2. Tingginya penyakit hipertensi pada perempuan diakibatkan beberapa faktor seperti pengaruh faktor hormonal yaitu berkurangnya hormon estrogen pada perempuan yang telah mengalami menopause sehingga memicu meningkatnya tekanan darah dan dipengaruhi oleh faktor psikologis dan adanya perubahan dalam diri wanita tersebut. Selain itu juga dikarenakan karena perempuan lebih tanggap dalam memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan. Peningkatan stress juga dapat dihubungkan dengan kejadian tekanan darah tinggi yang diakibatkan oleh diantaranya tuntutan pekerjaan, hidup dan lingkungan kriminal yang tinggi, kehilangan pekerjaan dan pengalaman yang mengancam nyawa terpapar ke stress bisa menaikkan tekanan darah dan hipertensi dini cenderung menjadi reaktif. Aktivasi berulang susunan saraf simpati oleh stress dapat memulai tangga hemodinamik yang menimbulkan hipertensi menetap. 15 Selain itu dapat dilihat bahwa 7

55 perempuan lebih cepat untuk memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan dibandingkan laki-laki. Distribusi proporsi pekerjaan penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 12 Distribusi Proporsi Pekerjaan Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Derajat Hipertensi Derajat Hipertensi 1 Derajat Hipertensi 2 Pekerjaan Total Bekerja Tidak bekerja f % f % f % 41 93,2 3 6, ,7 9 5, Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa proporsi pekerjaan penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi 1 tertinggi adalah bekerja sebesar 93,2% dan derajat hipertensi 2 adalah bekerja sebesar 94,7%. Uji chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat 1 sel (25%) yang expected count-nya kurang dari 5. Dengan demikian dilanjutkan menggunakan uji exact fisher. Hasil analisis dengan menggunakan exact fisher diperoleh nilai p=0,716. Karena nilai p>0,05, artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara pekerjaan dengan derajat hipertensi. Dengan kata lain setiap pekerjaan memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi, baik hipertensi derajat 1 maupun hipertensi derajat 2. Tekanan darah lebih tinggi dapat dihubungkan dengan peningkatan stress, yang timbul dari tuntutan pekerjaan, hidup dan lingkungan kriminal yang tinggi, kehilangan pekerjaan dan pengalaman yang mengancam nyawa terpapar ke stress bisa menaikkan tekanan darah dan hipertensi dini cenderung menjadi reaktif. Aktivasi berulang susunan saraf simpati oleh stress dapat memulai tangga hemodinamik yang menimbulkan hipertensi menetap. 15 hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 13 Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Derajat Lama Rawatan Rata-rata Hipertensi f Mean SD Derajat 44 1,61 0,618 Hipertensi 1 Derajat 169 3,92 2,950 Hipertensi 2 Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa sdari 213 orang penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun , penderita hipertensi derajat 1 sebanyak 44 orang yang memiliki rata-rata lama rawatan 1,61 hari dengan SD=0,618 dan hipertensi derajat 2 sebanyak 169 orang yang memiliki rata-rata lama rawatan 3,92 hari dengan SD=2,950. Berdasarkan uji statistik t-test diperoleh p<0,05 artinya ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan derajat hipertensi. Hal ini dapat dihubungkan dengan banyaknya penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang menderita hipertensi derajat 2. Selain itu lamanya rawatan rata-rata pada hipertensi derajat 2 tinggi dikarenakan penderita hipertensi derajat 2 telah mengalami komplikasi atau disertai dengan penyakit penyerta sehingga membutuhkan pertolongan dan perawatan dari tenaga medis secara intens, sehingga berpengaruh dengan lama rawatan rata-rata penderita. Distribusi proporsi pekerjaan penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Distribusi lama rawatan rata-rata penderita hipertensi berdasarkan derajat 8

56 Tabel 14 Distribusi Proporsi Derajat Hipertensi Penderita Hipertensi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal Derajat Hipertensi Total Derajat Hipertensi 1 Derajat Hipertensi 2 f % f % f % ,8 32,4 4, ,2 67,6 6, Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa derajat hipertensi penderita hipertensi berdasarkan kondisi sewaktu pulang pada pulang berobat jalan yang tertinggi adalah derajat hipertensi 2 sebesar 82,2%, pulang atas permintaan sendiri yang tertinggi adalah derajat hipertensi 2 sebesar 67,6%, dan meninggal tertinggi adalah derajat hipertensi 2 sebesar 6,0%. Analisa uji statistik dengan uji chisquare tidak dapat dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang expected count-nya kurang dari 5. Penderita hipertensi pulang berobat jalan dikarenakan tekanan darah penderita telah kembali normal setelah mendapat pertolongan dan perawatan dari tenaga medis, dan dokter telah memperbolehkan penderita untuk pulang berobat jalan. Penderita yang Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) pada hipertensi derajat 1 sebesar 32,4% dan pada hipertensi derajat 2 sebesar 67,6%. Penderita hipertensi yang pulang atas permintaan sendiri kemungkinan disebabkan karena ingin mendapat perawatan yang lebih baik di rumah sakit lain atau keinginan untuk dirawat di rumah. Penderita yang meninggal pada hipertensi derajat 1 sebesar 4,0% dan pada hipertensi derajat 2 sebesar 6,0%. Artinya semakin tinggi derajat hipertensi kemungkinan peluang pasien meninggal lebih besar dibandingkan jika pasien menderita hipertensi yang ringan. Penderita yang meninggal sebanyak 5 orang, yaitu dengan jenis kelamin 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Penderita meninggal dengan 9 komplikasi stroke sebanyak 3 orang dan dengan penyakit penyerta diabetes melitus sebanyak 2 orang. Secara umum, penderita yang meninggal dengan hipertensi derajat 1 sebanyak 2 orang dan hipertensi derajat 2 sebanyak 3 orang. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan sosiodemografi adalah kelompok umur >60 tahun yaitu 48,8%, jenis kelamin perempuan yaitu 56,8%, agama Kristen Protestan yaitu 72,8%, pekerjaan ibu rumah tangga yaitu 30,5%, dan tinggal di Kabupaten Dairi yaitu 85,9%. b. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi adalah hipertensi derajat 2 sebesar 79,3%. c. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit penyerta adalah tidak ada penyakit penyerta sebesar 56,8%. d. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan jenis penyakit penyerta adalah Dyspepsia sebesar 54,3%. e. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi adalah stroke sebesar 53,8%. f. Lama rawatan rata-rata penderita hipertensi adalah 3 hari. g. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan sumber biaya adalah menggunakan askes sebesar 48,4%. h. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah Pulang Berobat Jalan (PBJ) sebesar 81,7%. i. Tidak ada perbedaan bermakna antara umur dengan derajat hipertensi (p=0,600). j. Tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin dengan derajat hipertensi (p=0,087). k. Tidak ada perbedaan bermakna antara pekerjaan dengan derajat hipertensi (p=0,716). l. Ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan derajat hipertensi (p=0,000)

57 2. Saran a. Kepada Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang agar melengkapi pencatatan data pendidikan pasien yang dirawat inap. b. Memberikan penyuluhan kepada penderita oleh petugas kesehatan agar dapat berperan aktif dalam program pencegahan dan pengendalian hipertensi. c. Kepada penderita hipertensi agar rutin memeriksakan tekanan darahnya dan menjaga pola makan dan gaya hidup sehat. Daftar pustaka 1. Bustan, M.N., Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2. Depkes RI., Rencana Program Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Tahun , Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PP&PL, Direktorat Pengendalian PTM, 2010, Jakarta. 3. Depkes RI, Penyakit Tidak Menular (PTM) Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. ess-release/1637-penyakit-tidak menular-ptm-penyebab-kematianterbanyak-di-indonesia.html, diakses 21 Januari 2013, WIB 4. Depkes RI, Masalah Hipertensi di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. erita/press-release/1909-masalah hipertensi-di-indonesia.html, diakses 20 Januari 2013, WIB 5. Hartono, B., Hipertensi The Silent Killer. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. ad/news_pdf/news_-dr._drs.- Bambang_Hartono,_SE26.pdf, diakses 20 Januari 2013, WIB 6. Indonesian Society of Hypertension tahun ml?id=34, diakses 15 Februari 2013, WIB 7. Wibowo, S, Karakteristik Penderita Hipertensi Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekan Baru Tahun , Skripsi FKM USU. Medan. 8. Ningsih, E. W, Karakteristik Penderita Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun Skripsi Mahasiswa FKM USU. Medan 9. Rasmaliah, dkk Gambaran Epidemiologi Penyakit Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan Propinsi Sumatera Utara. FKM USU. Medan. Info Kesehatan Masyarakat Vol.IX No.2, diakses 10 April 2013, WIB 10. Gray, H.H., dkk, Lecture Notes : Kardiologi Edisi Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta 11. Obat Antihipertensi : Ketergantungan atau Kebutuhan? a-artikel/obat-antihipertensi-- ketergantungan-atau-kebutuhan- #.UefQd9JHKlt 12. Corwin, E., J Patofisiologi. EGC. Jakarta 13. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi, Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 14. Laporan Komisi Pakar WHO, Pengendalian Hipertensi. ITB. Bandung 15. Kaplan, N.M, dkk Pencegahan Penyakit Jantung Koroner : Penatalaksanaan Praktis Dari Faktor-Faktor Risiko. EGC. Jakarta. 10

58 KARAKTERISTIK BAYI YANG MENDERITA PENYAKIT HIRCSHSPRUNG DI RSUP H. ADAM MALIK KOTA MEDAN TAHUN Siska Verawati 1, Sori Muda 2, Hiswani 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, Abstract Hirschsprung disease is a cause of lower intestinal obstruction most commonly in neonates (0-28 days), the incidence 1:5000 live births. Hirschsprung disease is more common in males than females with a ratio of 4:1. The mortality rate for Hirschsprung disease ranged from 1-10%. To determine the characteristics of baby suffering from Hirschsprung disease, conducted a research at RSUP H. Adam Malik Medan with case series design. Population and sample was 110 patients in and recorded in hospital medical records. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-square, Mann-Whitney, Kruskal Wallis test. Based on sosiodemographic, the highest population is in the age group of 0-28 days (60,0%), male (72,7%%), and came from out of Medan area (85,5%), and referall from Public Hospital District/City (51,8%). Based on the treatment, abdominal distension (56,4%), clinical presentation of abdominal distension, difficult to defecate, delayed passage of meconium (44,5%), test of barium enema (44,6%), medical management of no surgical (59,1%), no complications (80,0%), Jamkesmas (42,7%), the average length of stay 14 days, outpatient control (43,6%). There is a significant differentiation of proportion between age based on medical management (p=0,000), average length of stay based on medical management (p=0,000), medical management based on condition when go home (p=0,000), and average length of stay based on condition when go home (p=0,000). There is no significant differentiation of proportion between age based on sex, complications based on medical management, and average length of stay based on complications. Prognosis of Hirschsprung disease depends on early diagnosed ang surgery approach so that the parents should be given the understanding of the best medical treatment for this disease. Key words : Hirschsprung disease, characterictics of baby, RSUP H. Adam Malik Medan Pendahuluan Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Anak terutama bayi baru lahir merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat karena masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB). Angka kematian bayi dapat menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak saat ini. 1 WHO (2010) memperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh kematian bayi di dunia disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Eropa, sekitar 25% kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. 2 Di Asia Tenggara kejadian kelainan kongenital mencapai 5% dari jumlah bayi yang lahir, sementara di Indonesia prevalansi kelainan kongenital mencapai 5 per kelahiran hidup. 3 Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat salah satu penyebab kematian bayi adalah kelainan kongenital pada usia 0-6 hari sebesar 1% dan pada usia 7-28 hari sebesar 19%. 4 1

59 Menurut Departemen kesehatan RI, kelainan kongenital adalah kelainan yang terlihat pada saat lahir, bukan akibat proses persalinan. 5 Sekitar 3% bayi baru lahir mempunyai kelainan kongenital. Meskipun angka ini termasuk rendah, akan tetapi kelainan ini dapat mengakibatkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi. Angka kejadian kelainan kongenital akan menjadi 4-5% bila bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun. 6,7 Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapat sel ganglion parasimpatik pada pleksus Auerbach di usus besar (kolon). Keadaan yang abnormal tersebut dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal. 8 Penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Herald Hirschsprung pada tahun Hirschsprung mengemukakan dua kasus obstipasi sejak lahir yang dianggapnya disebabkan oleh dilatasi kolon. Sampai pada tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschsprung belum diketahui dengan jelas. Penyebab sindrom tersebut dapat diketahui dengan jelas setelah Robertson dan Kernohan (1938), serta Tiffin, Chandler, dan Feber (1940) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh karena adanya gangguan peristaltik usus dengan defisiensi ganglion usus pada usus bagian distal. 9,10 Insidens penyakit Hirschsprung di dunia adalah 1 : kelahiran hidup. Di Amerika dan Afrika dilaporkan penyakit Hirschsprung terjadi pada satu kasus setiap kelahiran hidup. 9 Di Eropa Utara, insidens penyakit ini adalah 1,5 dari kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8 per kelahiran hidup. 11 Angka kematian penyakit Hirschsprung berkisar antara 1-10%. Penelitian Pini dkk. tahun di Genoa, Italia mencatat ada 8 dari 313 penderita penyakit Hirschsprung yang meninggal (CFR= 2,56%). 12 Penyakit Hirschsprung yang tidak segera ditangani atau diobati dapat menyebab-kan kematian sebesar 80% terutama akibat terjadinya enterokolitis dan perforasi usus. Penanganan penyakit Hirschsprung yang dilakukan lebih dini efektif menurunkan kejadian enterokolitis menjadi 30%. 13 Hasil penelitian Sarioqlu dkk. tahun di Ankara, Turki menunjukkan bahwa ada 302 orang yang menderita penyakit Hirschsprung. 14 Kartono mencatat ada sekitar pasien dengan penyakit Hirschsprung yang di rawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta setiap tahunnya. 9 Sementara di RS Dr. Sardjito Yogyakarta oleh Rohadi dicatat ratarata terdapat 50 pasien menderita penyakit Hirschsprung setiap tahunnya. 15 Irwan (2003) mencatat ada 163 kasus penyakit Hirschsprung dari enam provinsi yang diteliti yaitu Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu pada Januari 1997 sampai dengan Desember Perumusan Masalah Belum diketahuinya karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik tahun Tujuan Penelitian Untuk mengetahui karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik tahun Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui karakteristik bayi menderita penyakit Hirschsprung beradasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, daerah asal, dan asal rujukan) b. Mengetahui karakteristik bayi menderita penyakit Hircshprung berdasarkan status rawatan (keluhan utama,gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis, komplikasi, sumber biaya, lama rawatan rata-rata, dan keadaan sewaktu pulang) c. Mengetahui distribusi proporsi umur bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan jenis kelamin. d. Mengetahui distribusi proporsi umur bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis. e. Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan rata-rata bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis. f. Mengetahui distribusi proporsi komplikasi pada bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis. 2

60 g. Mengetahui lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan komplikasi. h. Mengetahui distribusi proporsi penatalaksanaan medis pada bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang. i. Mengetahui distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan komplikasi. j. Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : a. Sebagai masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Kota Medan dalam upaya meningkatkan pelayanannya, khususnya pada penanggulangan bayi yang menderita penyakit Hirschsprung. b. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dan untuk menambah wawasan dan penerapan ilmu yang telah didapat selama mengikuti perkuliahan di FKM USU Medan. c. Sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti selanjutnya. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini berlokasi di RSUP H. Adam Malik Kota Medan. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret 2013 sampai dengan September Populasi penelitian adalah seluruh data bayi yang menderita penyakit Hirschsprung yang tercatat di rekam medik RSUP H. Adam Malik Kota Medan tahun sebanyak 110 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisa dengan uji Chi-Square,Mann-Whitney, dan uji Kruskal-Wallis. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi karakteristik bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan sosiodemografi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Distribusi Proporsi Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Sosiodemografi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Sosiodemografi f % Umur (Tahun) 0-28 hari 66 60,0 >28 hari-1 tahun 44 40,0 Jumlah ,0 Jenis Kelamin Laki-laki 80 72,7 Perempuan 30 27,3 Jumlah ,0 Daerah Asal Kota Medan 16 14,5 Luar Kota Medan 94 85,5 Jumlah ,0 Asal rujukan Rumah Sakit Umum 57 51,8 Kabupaten/Kota Rumah Sakit Swasta 28 25,5 Kabupaten/Kota Dokter Praktik Umum dan 5 4,5 Spesialis Langsung/Tidak Dirujuk 20 18,2 Jumlah ,0 Dari tabel 1.dapat dilihat bahwa proporsi umur bayi lebih besar adalah pada kelompok umur 0-28 hari 60,0% sedangkan pada kelompok umur >28 hari-1 tahun sebesar 40,0%. Penyakit Hirschsprung merupakan penyebab terbanyak obstruksi kolon pada neonatal (0-28 hari). 17 Proporsi jenis kelamin lebih besar adalah laki-laki yaitu sebesar 72,7% sedangkan perempuan sebesar 27,3%. Penyakit Hirschsprung terjadi empat kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. 18 Proporsi daerah asal lebih besar adalah luar Kota Medan 85,5% sedangkan Kota Medan 14,5%. Banyaknya penderita yang berasal dari luar Kota Medan kemungkinan disebabkan fungsi RSUP H. Adam Malik Medan sebagai pusat rujukan kesehatan untuk wilayah Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darusssalam, Sumatera Barat, dan Riau. Proporsi asal rujukan tertinggi adalah rumah sakit kabupaten/kota 51,8% dan terendah dokter praktik umum dan spesialis 4,5%. Asal rujukan Rumah Sakit Umum Kabupaten/Kota merupakan asal rujukan tertinggi kemungkinan disebabkan karena 3

61 masyarakat berasumsi rumah sakit umum menerima lebih banyak jenis pembayaran yang akan memudahkan pasien dalam hal biaya. Distribusi proporsi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan status rawatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Distribusi Proporsi Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Status Rawatan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Status Rawatan f % Keluhan Utama Perut kembung 12 10,9 Perut membesar Sulit/tidak bisa BAB Muntah ,4 22,7 10,0 Jumlah ,0 Gambaran klinis Distensi abdomen, tidak/sulit BAB, keterlambatan mekonium Distensi abdomen, tidak/sulit BAB, muntah Distensi abdomen, keterlambatan mekonium, BAB Distensi abdomen, BAB, muntah Distensi abdomen, muntah, keterlambatan mekonium 49 44, ,4 4 3, ,6 10,9 Jumlah ,0 Pemeriksaan Penunjang Melakukan pemeriksaan 94 85,5 penunjang Tidak melakukan pemeriksaan 16 14,5 penunjang Jumlah ,0 Jenis Pemeriksaan Penunjang Foto polos abdomen 16 17,0 Enema barium 21 22,3 Patologi anatomi 1 1,1 Foto polos abdomen + enema barium Enema barium + retensi barium Enema barium + patologi anatomi Foto polos abdomen + enema barium + retensi barium Enema barium + retensi ,1 17,0 2,1 20,2 1,1 barium + patologi anatomi Jumlah ,0 Penatalaksanaan Medis Tidak diterapi 65 59,1 Bedah 45 40,9 Jumlah ,0 Komplikasi 4 Ada komplikasi 22 20,0 Tidak ada komplikasi 88 80,0 Jumlah ,0 Ada Komplikasi Sepsis 17 77,3 Stenosis 2 9,1 Enterokolitis 3 13,6 Jumlah ,0 Sumber Biaya Biaya sendiri ASKES ,5 2,7 Jamkesmas 47 42,7 JPKMS 8 7,3 Jampersal JKA SKTM ,5 1,8 24,5 Jumlah ,0 Keadaan Sewaktu Pulang Pulang Berobat Jalan (PBJ) 53 48,2 Pulang Atas Permintaan 33 30,0 Sendiri (PAPS) Meninggal 24 21,8 Jumlah ,0 Dari tabel 2.dapat dilihat bahwa proporsi keluhan utama tertinggi adalah perut membesar 56,4% dan terendah muntah 10,0%. Penyakit Hirschsprung terjadi akibat kegagalan sel-sel neuroblas bermigrasi ke dinding usus sehingga menyebabkan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatis otonom pada pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik(auerbach). Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna dapat mengakibatkan peristaltik abnormal pada kolon (usus besar) sehingga proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon yang dapat membuat perut bayi membesar. 9,10 Proporsi gambaran klinis tertinggi adalah distensi abdomen, tidak/sulit BAB, keterlambatan mekonium 44,5% dan terendah distensi abdomen, keterlambatan mekonium, BAB 3,6%. Bayi secara normal akan mengeluarkan mekonium (feses pertama bayi yang baru lahir) dalam usia jam pertama. Namun, pada bayi dengan penyakit Hirschsprung hal ini tidak terjadi karena tidak adanya sel-sel ganglion pada usus yang berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi pada usus. Hal ini pulalah yang menyebabkan bayi dengan penyakit Hirschsprung kerap mengalami konstipasi atau sulit bahkan tidak dapat BAB (Buang Air Besar). Motilitas yang abnormal pada usus membuat feses tertahan di dalam

62 kolon tanpa dapat dilakukan evakuasi feses secara spontan. Kegagalan mengeluarkan feses tersebut juga mengakibatkan terjadinya dilatasi proksimal dan distensi abdomen (perut membesar). 19,20 Proporsi bayi melakukan pemeriksasaan penunjang lebih besar adalah yang melakukan pemeriksaan penunjang 85,5% sedangkan yang tidak melakukan pemeriksaan penunjang 14,5%. Proporsi jenis pemeriksaan penunjang tertinggi adalah pemeriksaan radiologi (enema barium) 22,3% dan terendah pemeriksaan patologi anatomi 1,1%. Pemeriksaan foto polos abdomen dan enema barium merupakan pemeriksaan diagnotik terpenting untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung secara dini pada penderita penyakit Hirschsprung. 9 Pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan standart dalam menegakkan penyakit Hirschsprung. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah jam barium dibiarkan membaur dengan feces. 15 Proporsi penatalaksanaan medis lebih besar yaitu bayi yang tidak diterapi 59,1% dibandingkan bedah 40,9%. Tindakan yang dilakukan pada bayi tidak diterapi berupa pemberian obat-obatan seperti antibiotik dan pemasangan infus untuk mencegah terjadinya komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. 9,21 Proporsi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung lebih besar tidak mengalami komplikasi 80,0% sedangkan ada komplikasi 20,0%. Komplikasi yang dialami diantaranya 17 orang mengalami sepsis (77,3%), 2 orang stenosis (9,1%), dan 3 orang enterokolitis (13,6%). Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus ke mukosa, submukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. 9 Proporsi sumber biaya tertinggi yaitu jamkesmas 42,7% dan terendah JKA 1,8%. Berdasarkan hasil penelitian Golberg di Baltimore City and County, dikatakan bahwa tidak ada ditemukan hubungan antara kejadian penyakit Hirschsprung dengan kondisi sosialekonomi keluarga. 22 Proporsi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah PBJ (Pulang Berobat Jalan) 48,2% dan terendah meninggal 21,8%. CFR (Case Fatality Rate) bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Medan tahun adalah 21,8%. Tingginya angka kematian bayi akibat penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik kemungkinan disebabkan karena terlambatnya penanganan atau pengobatan yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena mayoritas bayi adalah pasien rujukan dari luar Kota Medan. Kondisi bayi yang datang ke RSUP H. Adam Malik sudah dalam keadaan buruk seperti pucat, daya hisap lemah, mengalami dehidrasi, demam, dan sesak nafas. Lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit Hirschsprung dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Lama Rawatan Rata-rata Bayi Menderita Penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Lama Rawatan Rata-rata (hari) Mean 13,56 Standard deviation 11,90 95% CI 11,31 15,81 Min 1 Max 62 Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita adalah 13,56 hari (14 hari) dengan Standard Deviasi (SD) 11,90 hari. Lama rawatan paling singkat adalah 1 hari dan paling lama adalah 62 hari. Berdasarkan 95% Confidence Interval diperoleh lama rawatan rata-rata 11,31 15,81 hari. Analisa Statistik Proporsi umur bayi berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 5

63 Tabel 4. Jenis Kelamin Distribusi Proporsi Umur Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Umur Bayi 0-28 hari >28hari- 1 tahun Jumlah f % f % f % Laki-laki 46 57, , ,0 Perempuan 20 66, , ,0 p=0,382 Dari tabel 4. dapat dilihat bahwa dari 80 bayi berjenis kelamin laki-laki terdapat 46 orang (57,5%) berumur 0-28 hari dan 34 orang (42,5%) >28 hari-1 tahun. Dari 30 bayi berjenis kelamin perempuan terdapat 20 orang (66,7%) berumur 0-28 hari dan 10 orang (33,3%) >28 hari- 1 tahun. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur bayi berdasarkan jenis kelamin. Distribusi umur bayi berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Distribusi Proporsi Umur Bayi Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Penatalak sanaan Medis Tidak diterapi Umur Bayi 0-28 hari >28hari- 1 tahun Jumlah f % f % f % 52 80, , ,0 Bedah 14 31, , ,0 p=0,000 Dari tabel 5. dapat dilihat bahwa dari 65 bayi yang tidak diterapi, terdapat 52 orang (80,0%) berumur 0-28 hari dan 13 orang (20,0%) >28 hari- 1 tahun. Dari 45 bayi yang dibedah, terdapat 14 orang (31,1%) berumur 0-28 hari dan 31 orang (68,9%) >28 hari-1 tahun. Hasil analisis statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p<0,05 yang artinya ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur bayi berdasarkan penatalaksanaan medis. Penatalaksanaan medis khusus untuk penyakit Hirschsprung ditentukan oleh dokter yang menangani bayi tersebut berdasarkan besarnya masalah yang terjadi, umur dari bayi, kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta toleransi terhadap obat-obatan tertentu. 23 Haricharan dkk. mengatakan bahwa bahwa 6 tindakan bedah biasanya dilakukan pada saat umur bayi 3 bulan 1 tahun. 24 Distribusi lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 6. Lama Rawatan Rata-rata Bayi Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Penatalaksanaan Medis Lama Rawatan Ratarata f Mean SD Tidak diterapi 65 8,02 8,247 Bedah 45 21,58 11,879 p=0,000 Dari tabel 6. dapat dilihat bahwa terdapat 65 bayi yang tidak diterapi dengan lama rawatan rata-rata 8,02 (8 hari) dan SD= 8,247. Terdapat 45 bayi yang dibedah dengan lama rawatan rata-rata 21,58 (22 hari) dan SD=11,879. Hasil uji Mann-Whitney diperoleh nilai p<0,05. Hal ini berarti ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis. Penatalaksanaan medis bedah memiliki lama rawatan rata-rata yang lebih lama kemungkinan disebabkan karena persiapanpersiapan yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah seperti proses administrasi, terapi medis untuk menunjang kondisi tubuh bayi, serta konseling dengan orang tua bayi mengenai segala kemungkinan yang akan terjadi pada tindak pembedahan. Distribusi komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 7. Distribusi Proporsi Komplikasi Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Penata laksanaan Medis Tidak diterapi Ada Kompli kasi Komplikasi Tidak ada komplikasi Jumlah f % f % f % 16 24, , ,0 Bedah 6 13, , ,0 p=0,146 Dari tabel 7. dapat dilihat bahwa dari 65 bayi yang tidak diterapi, terdapat 16 orang (24,6%) yang mengalami komplikasi dan 49 orang (75,4%) tidak mengalami komplikasi. Dari 45 bayi yang dibedah, terdapat 6 orang

64 (13,3%) mengalami komplikasi dan 39 orang (86,7%) tidak mengalami komplikasi. Hasil analisis statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis. Distribusi proporsi lama rawatan ratarata berdasarkan komplikasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 8. Lama Rawatan Rata-rata Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Komplikasi Lama Rawatan Ratarata f Mean SD Ada komplikasi 22 15,05 15,990 Tidak ada komplikasi 88 13,19 10,734 p=0,946 Dari tabel 8.dapat dilihat bahwa terdapat 22 bayi yang mengalami komplikasi dengan lama rawatan rata-rata 15,05 hari (15 hari) dan SD=15,990. Terdapat 88 bayi yang tidak mengalami komplikasi dengan lama rawatan rata-rata 13,19 hari (13 hari) dan SD=10,734. Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p>0,05, hal ini berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi. Distribusi proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 9. Distribusi Proporsi Penatalaksanaan Medis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Keadaan Sewaktu Pulang Penatalaksanaan Medis Tidak Bedah diterapi Jumlah f % f % f % PBJ 16 30, , ,0 PAPS 27 81,8 6 18, ,0 Meninggal 22 91,7 2 8, ,0 p=0,000 Dari table 9. dapat dilihat bahwa dari 53 bayi yang pulang berobat jalan (PBJ), terdapat 16 orang (30,2%) yang tidak diterapi dan 37 orang (69,8%) dibedah. Dari 33 bayi yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS), terdapat 27 orang (81,8%) yang tidak diterapi dan 6 orang (18,2%) dibedah. Dari 24 bayi yang meninggal, terdapat 22 orang (91,7%) yang tidak diterapi dan 2 orang (8,3%) yang dibedah. Hasil analisis statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p<0,05 yang artinya ada perbedaan proporsi yang bermakna antara penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Keberhasilan pengobatan bayi dengan penyakit Hirschsprung tergantung diagnosis dan pengobatan dini. Penyakit Hirschsprung dapat ditangani dengan melakukan operasi/ tindak bedah. Secara umum, 90% pasien yang menderita penyakit Hirschsprung memiliki prognosis yang baik apabila mendapat tindak pembedahan. 25 CFR berdasarkan penatalaksanaan medis lebih besar pada bayi yang tidak diterapi 33,8% sedangkan bayi yang dibedah 4,4%. Bayi yang meninggal karena tidak diterapi tetapi tidak mengalami komplikasi ada 10 orang (CFR=20,4%). Namun, tidak ada satu orang bayi pun yang meninggal setelah mendapat tindak pembedahan serta tidak mengalami komplikasi. Bayi yang meninggal karena tidak diterapi serta mengalami komplikasi ada 12 orang (CFR=75,0%). Sedangkan bayi yang meninggal setelah mendapat tindakan bedah karena mengalami komplikasi ada 2 orang (CFR=33,3%). Distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan komplikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 10. Komplikasi Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Keadaan Sewaktu Pulang Mening PBJ PAPS gal Jumlah f % f % f % f % Sepsis 1 5,9 3 17, , ,0 Stenosis 2 100,0 0 0,0 0 0, ,0 Enterokolitis 1 33,3 1 33,3 1 33, ,0 Dari tabel 10. dapat dilihat bahwa 17 bayi yang mengalami sepsis, terdapat 1 orang (5,9%) yang pulang berobat jalan (PBJ), 3 orang (17,6) pulang atas permintaan sendiri (PAPS), dan 13 orang (76,5) yang meninggal. Dari 2 orang bayi yang mengalami stenosis, semuanya (100,0%) PBJ. Dari 3 bayi yang 7

65 mengalami enterokolitis, terdapat 1 orang (33,3%) PBJ, 1 orang PAPS (33,3%), dan 1 orang (33,3%) yang meninggal. CFR berdasarkan komplikasi lebih besar pada bayi yang mengalami komplikasi 63,6% sedangkan bayi tidak mengalami komplikasi 11,4%. CFR bayi dengan komplikasi sepsis adalah 76,5%, stenosis 0%, dan enterokolitis 33,3%. Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 8 sel (88,9%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5. Distribusi proporsi lama rawatan ratarata berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 11. Lama Rawatan Rata-rata Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun Keadaan Sewaktu Pulang Lama Rawatan Rata-rata f Mean SD PBJ 53 17,89 10,606 PAPS 33 8,82 6,807 Meninggal 24 10,54 16,376 χ2= 28,081 df= 2 p=0,000 Dari tabel 10. dapat dilihat bahwa terdapat 53 bayi yang pulang berobat jalan (PBJ) dengan lama rawatan rata-rata 17,89 hari (18 hari) dan SD=10,606. Terdapat 33 bayi yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) dengan lama rawatan rata-rata 8,82 hari (9 hari) dan SD=6,807. Terdapat 24 bayi yang meninggal dengan lama rawatan rata-rata 10,54 (11 hari). Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diperoleh nilai p<0,05 artinya ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Bayi yang PBJ merupakan bayi yang tetap dirawat di rumah sakit sampai dokter yang merawat bayi tersebut menyatakan bahwa kondisi bayi sudah cukup baik untuk dilakukan perawatan di rumah. Sedangkan bayi yang pulang atas permintaan sendiri memiliki lama rawatan rata-rata tersingkat karena orang tua lebih memilih untuk merawat anaknya sendiri atau mencari pengobatan di luar RSUP H. Adam Malik. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Berdasarkan sosiodemografi, proporsi tertinggi pada kelompok umur 0-28 hari 60,0%, jenis kelamin laki-laki 72,7%, daerah asal luar Kota Medan 85,5%, dan asal rujukan Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota/Kabupaten 51,8%. b. Berdasarkan status rawatan tertinggi yaitu keluhan utama perut membesar 56,4%, gambaran klinis berupa distensi abdomen, tidak/sulit BAB, keterlambatan mekonium 44,5%, melakukan pemeriksaan penunjang 85,5%, pemeriksaan enema barium 44,6%, penatalaksanaan medis non-bedah 59,1%, tidak ada komplikasi 80,0%, sumber biaya jamkesmas 42,7%, PBJ 48,2%. c. Lama rawatan rata-rata penderita adalah 13,56 hari (14 hari) dengan 95% CI diperoleh lama rawatan rata-rata 11,31-15,81, SD=11,90 hari dengan rawatan paling singkat 1 hari dan paling lama 62 hari. d. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara proporsi umur bayi berdasarkan jenis kelamin (p=0,382). e. Terdapat perbedaan yang bermakna antara proporsi umur bayi berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,000). f. Terdapat perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis (8,02 : 21,58 ; p=0,000). g. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,146). h. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara lama rawatan berdasarkan komplikasi (15,05 : 13,19 ; p=0,946) i. Terdapat perbedaan proporsi bermakna antara penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,000) j. Analisa statistik dengan menggunakan uji chi-square untuk melihat proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan komplikasi tidak dapat dilakukan karena terdapat sel dengan expected count < 5. k. Terdapat perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang (17,89 :8,82 :10,54; p=0,000) 8

66 2. Saran a. Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan untuk meningkatkan pelayanan dan manajemen khususnya untuk pelayanan medis bagi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung sehingga dapat mengurangi tingginya angka kematian. b. Diharapkan kepada dokter dan perawat di RSUP H. Adam Malik Medan agar memberikan pemahaman kepada keluarga dengan bayi yang menderita penyakit Hirschsprung tentang gejala, tanda, serta penanganan penyakit tersebut agar dapat mengurangi jumlah bayi yang pulang atas permintaan sendiri dan mencegah terjadinya komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. c. Konseling genetik dapat diberikan kepada pasangan yang memiliki riwayat anak yang menderita penyakit Hirschsprung Daftar Pustaka 1. Alimul, A.A.,2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Salemba Medika. Jakarta 2. WHO Birth Defect. Geneva. apps.who.int/gb /ebwha / pdf_files/ WHA 63/ A63 10-en. pdf. Diakses pada tanggal 2 April WHO Preventionand Control of Birth Defectsin South-East Asia Region. India /PDS_DOCS/B4941.pdf. Diakses pada tanggal 02 April Wijaya, A.M.,2012. Kondisi Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKBAL) Angka Kematian Ibu (AKI), dan Penyebabnya di Indonesia. www. info dok terku.com. Diakses pada tanggal 02 April Depkes RI Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal. Jakarta 6. Markum, A. H., Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 9 7. Effendi, S.H. dan Indrasanto, E Buku Ajar Neonatologi. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia 8. Milla,P.J.,2006.Penyakit Hirschsprung dan Neuropati Lain. Dalam : Buku Pediatri Rudolph Volume 2. Edisi 20. EGC. Jakarta 9. Kartono,D.,2010.Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto. Jakarta 10. Behrman, R. E. dan William T. S., Penyakit Hirschsprung. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Cetakan Ketiga. EGC. Jakarta 11. Parisi, M. A Hirschsprung Disease Overview. National Institutes of Health. Maryland. www. ncbi. nlm. nih. gov/ books/nbk1439/# hirschsprung-ov.ref.parisi Diakses pada tanggal 21 April Pini, P.A. dan dkk., Hirschsprung's disease:what about mortality?pediatr SurgInt.2011May;27(5):473-8.Doi: /s Diakses pada tanggal 14 Juni Greene, E Hirschsprung Disease :A Personal Perspective. www spri nger.com/cda/content/.../cda.../ c1.pdf. Diakses pada tanggal 21 April Sarioqlu, A. dkk Clinical risk factors of Hirschsprung-associated enterocolitis. Turk J Pediatr.1997 Jan- Mar;39(1):81-9. Diakses pada tanggal 14 Juni Kedokteran UGM Megacolon Congenital/Hirschsprung Disease /04/27/megacolon-congenitalhirschprung-disease/. Diakses pada tanggal 20 Maret Irwan, B Pengamatan Fungsi Anorektal pada Penderita Penyakit

67 Hirschsprung Pasca Operasi Pull- Through. Tesis Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 17. Schwartz,M.W., Clinical Handbook of Pediatric. EGC. Jakarta 25. Sani R., Hirschsprung Disease (Megacolon Congenital). sanirachman.blogspot.com/2009/10/ hirschprung-disease-megacolon. html. Diakses tanggal 23 Februari John Hopkins Medicine Hirschsprung Inheritance. kinsmedicine.org/geneticmedicine/cli nical_resources/hirschsprung/inherit ance.html. Diakses pada tanggal 20 Agustus American Pediatric Surgical Association Hirschsprung s Diseases. http: // Diakses pada tanggal 20 Agustus The Hirschsprung s & Motility Disorders Support Network (HMDSN) Hirschsprung s Diseases. literature/hmdsn%20hirschsprungs %20Booklet%20single.pdf. Diakses pada tanggal 15 Juni Nasir, A. A, dkk., Hirschsprung s Disease: 8 years Experience in a Nigerian Teaching Hospital. J Indian Assoc Pediatr Surg/Apr-Jun 2007/ Vol 12 / Issue 2. Diakses pada tanggal 21 Agustus Goldberg, E. L.,1984. An Epidemiological Study of Hirschsprung's Disease. Diakses pada tanggal 25 Agustus Lucile Packard Children s Hospital Hirschsprung s Disease. lpch.org/diseasehealthinfo/healthli brary/digest/hirschpr.html.diakses pada tanggal 25 Agustus Haricharan, R.N.dkk.,2008. Hirschsprung Disease. Journals/Paeds/HirschsprungSurg.Pdf Diakses tanggal 25 Agustus

68 PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP LANJUT USIA YANG TINGGAL DI PANTI JOMPO DENGAN YANG TINGGAL DI RUMAH DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2013 Siti Fatimah Siregar 1, Abdul Jalil Amri Arma 2, Ria Masniari Lubis 2 1 Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Advances in science and technology have an impact on improving the quality of life of the elderly and life expectancy, along with this, the number of elderly population has also increased. Efforts to improve the quality of life of the elderly in Indonesia could be through home care and aging institution services. The purpose of this study is determine differences in the quality of life (physical, psychological, social and environment domain) of the elderly who live in aging institution and staying at home. Study sample consisted of 38 elderly who lives in aging institution Warga Mas Titian Ridho Ilahi in Batang Angkola Tapanuli Selatan and 38 elderly who stay at home in district of Batang Angkola Pintupadang I Tapanuli Selatan. The statistical test used was the Mann Whitney test. Obtained no difference in physical quality (p=0,085) and environmental quality (0,0157) of elderly people living at aging institution and staying at home, there is a statistically significant difference in the quality of the psychology (p=0,029) and quality of social (p=0,032) of elderly people living at aging institution and staying at home, overall, there are differences in their quality between the elderly living at aging institution and staying at home (p = 0.027). Based on the results of this study are advised to continue to improve the services of psychology in the form of increased productivity, provide information to the elderly and access to health services, especially in the elderly living at aging institution. Keywords : quality of life, the elderly, aging institution

69 PENDAHULUAN Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama di bidang kedokteran, seperti penemuan antibiotika yang mampu melenyapkan berbagai penyakit infeksi, sehingga berhasil menurunkan angka kematian bayi dan anak, dan memperlambat kematian, perbaikan gizi dan sanitasi menyebabkan kualitas lansia dan umur harapan hidup meningkat. Akibatnya, jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah banyak (Nugroho, 2008). Ketika seseorang sudah mencapai usia tua dimana tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak bantuan dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kualitas hidup lansia terus menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia. Penurunan kapasitas mental, perubahan peran sosial, dementia (kepikunan), juga depresi yang sering diderita oleh lansia ikut memperburuk kondisi mereka. Belum lagi berbagai penyakit degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka memerlukan perhatian ekstra dari orang disekelilingnya. Merawat lansia tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan fisik saja namun juga pada faktor psikologis dan sosiologis (Raudhah, 2012). World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) membagi kualitas hidup dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, lingkungan dan spiritual, agama atau kepercayaan seseorang. Sedangkan World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF membagi kualitas hidup dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Panti jompo merupakan suatu institusi hunian bersama dari para lansia yang secara fisik/kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi (Darmodjo, 1999). Menurut Demartoto (2007) yang dikutip oleh Setyoadi dkk (2011) pelayanan lansia meliputi pelayanan yang berbasiskan pada keluarga, masyarakat dan lembaga. Pelayanan berbasis keluarga dan masyarakat cenderung sulit dipisahkan, sehingga terdapat pengelompokan secara umum terhadap lansia, yaitu lansia dengan pelayanan panti dan lansia dengan pelayanan komunitas (non panti). World Population Data Sheet yang dilansir Population Reference Bureau (PRB) memperkirakan bahwa penduduk lansia di dunia yang berusia 65 tahun ke atas pada tahun 2012 mencapai 8% dari 7 milyar penduduk dunia atau berjumlah sekitar 564 juta jiwa. Sebanyak 53% dari seluruh penduduk lansia dunia itu berada di Asia (BkkbN, 2012). Di Indonesia berdasarkan data statistik Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2005 jumlah pendduduk sebanyak orang dengan penduduk lansianya sebanyak orang. Sementara pada tahun 2010 berdasarkan data sensus penduduk yang diselenggarakan BPS penduduk diseluruh wilayah Indonesia sebanyak orang dengan jumlah lansia sebanyak orang (BPS, 2010). Di Kabupaten Tapanuli Selatan tercatat jumlah penduduk sebanyak orang dengan jumlah lansia sebanyak orang dimana laki-

70 laki sebanyak orang dan perempuan sebanyak orang (BPS, 2010). Kecamatan Batang Angkola salah satu dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas 473,03 km 2 terdapat 6 kelurahan terdiri dari Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak orang, laki-laki sebanyak orang dan perempuan sebanyak orang (Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2012). Di kecamatan ini ada lansia yang tinggal bersama keluarga di komunitas (desa/kelurahan) dan ada juga lansia yang tinggal di panti jompo. Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi adalah panti jompo yang ada di Kecamatan Batang Angkola. Lokasinya mudah dijangkau dan tidak sulit terletak di pinggir jalan lintas Sumatera, tepatnya di Jln. Mandailing Natal Km. 13 Desa Huta Holbung Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. Jumlah lansia yang ada di Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi sebanyak 38 orang, terdiri dari 36 orang lansia wanita dan 2 orang lansia laki-laki. Di Panti Jompo ini pengurus menerima lanjut usia dengan usia 60 tahun ke atas, dengan kondisi fisik yang baik, tidak dalam kondisi sakit berat (misalnya penyakit jantung). Pengakuan lansia pada saat survei awal menuturkan banyak perubahan yang terjadi pada mereka setelah tinggal di panti jompo, seperti status kesehatannya secara fisik, interaksi social dan lingkungannya, psikologisnya dan status keagamaannya. Usia termuda adalah 60 tahun dan usia tertua adalah 88 tahun. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah di Kabupaten Tapanuli Selatan tahun Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas kesehatan fisik lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas psikologis lansia yang tinggal dipanti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas sosial lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Adapun manfaat penelitian ini adalah diketahuinya domain kualitas hidup lansia yang mana (fisik, psikologi, sosial, dan lingkungan) yang rendah score nya sehingga masih perlu ditingkatkan pelayanannya dan sebagai bahan masukan bagi panti jompo dan pemerintah setempat tentang kualitas hidup lansia jika di lihat dari keempat domain tersebut dan sebagai bahan informasi bagi penelitian selanjutnya tentang kualitas hidup lansia. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah descriptive analytic comparative dengan pendekatan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas fisik, kualitas psikologi, kualitas sosial, dan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.

71 Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh lansia yang tinggal di panti jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi Kabupaten Tapanuli Selatan sebanyak 38 orang dan yang tinggal di komunitas yaitu seluruh lansia yang ada di kelurahan Pintupadang I Kecamatan Batang Angkola sebanyak 65 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner dengan berpedoman kepada tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Pada bagian pertama dari instrumen penelitian berisi karakteristik lansia yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan sebelumnya, status perkawinan dan masalah kesehatan yang dialami. Instrumen kedua berisi kuesioner kualitas hidup dari World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL) BREF yang terdiri dari 26 pertanyaan. Untuk menilai (WHOQOL) BREF, maka ada empat domain yang digabungkan yaitu domain fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan. Semua pertanyaan berdasarkan pada skala Likert lima poin (1-5) yang fokus pada intensitas, kapasitas, frekuensi dan evaluasi. Skala respon intensitas mengacu kepada tingkatan dimana status atau situasi yang dialami individu. Skala respon kapasitas mengacu pada kapasitas perasaan, situasi atau tingkah laku. Skala respon frekuensi mengacu pada angka, frekuensi, atau kecepatan dari situasi atau tingkah laku. Skala respon evaluasi mengacu pada taksiran situasi dari situasi, kapasitas atau tingkah laku. Hasil ukur dari tiap variabel kualitas hidup apabila hasil total score dari kuesioner tinggi maka kualitas hidupnya tinggi sedangkan apabila hasil total score dari kuesioner rendah. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur No Umur Panti Rumah n (%) n (%) tahun 2 5, , tahun 6 15, , tahun 14 36, , tahun 9 23, , tahun 3 7, , tahun 4 10,53 2 5, tahun ,63 Jumlah , ,0 Responden di panti jompo yang paling banyak terdapat pada kelompok umur tahun (36,84%) dan responden yang tinggal di rumah paling banyak terdapat pada kelompok umur tahun (34,21%). Tabel 2. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Panti Rumah n (%) n (%) 1. Perempuan 36 94, ,7 2. Laki-laki 2 5,3 2 5,3 Jumlah , ,0 Responden laki-laki yang di panti sebanyak 2 orang (5,3%) dan

72 perempuan 36 orang (94,7), sedangkan responden yang tinggal di rumah terdapat 2 orang laki-laki (5,3%) dan 36 orang (94,7%) perempuan. Tabel 3. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Suku No Suku Panti Rumah n (%) n (%) 1. Batak 36 94, ,4 2. Jawa ,6 3. Minang 1 2, Melayu 1 2, dll Jumlah , ,0 Responden yang tinggal di panti terdapat 36 orang (94,7%) suku Batak, 1 orang (2,6%) suku Minang dan 1 orang (2,6%) suku melayu. Responden yang tinggal di rumah terdapat 37 orang (97,4%) suku Batak dan 1 orang (2,6%) suku Jawa. Tabel 4. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Sebelumnya terdapat 12 orang (31,6%) sebagai Petani, 21 orang (55,3%) tidak bekerja, 2 orang (5,3%) sebagai Buruh/Karyawan, 2 orang (5,3%) sebagai PNS dan 1 orang (2,6%) Peg.Swasta. Tabel 5. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Perkawinan N o Perkawina n Panti Rumah n (%) n (%) 1. Janda 35 92, ,3 2. Duda 2 5,3 2 5,3 3. Menikah 1 2,6 7 18,4 Jumlah , ,0 Responden yang tinggal di panti paling banyak Janda 35 orang (92,1%) dan duda 1 orang (5,3%), sedangkan responden yang tinggal di rumah janda sebanyak 29 orang (76,3%), duda sebanyak 2 orang (5,3%) dan yang menikah sebanyak 7 orang (18,4%). Tabel 6. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Masalah Kesehatan N o Pekerjaan Panti Rumah n (%) n (%) N o Masalah Kesehatan Panti Rumah n (%) n (%) 1. Petani 30 78, ,6 2. Tidak 5 13, ,3 Bekerja 3. Buruh/kary 3 7,9 2 5,3 awan 4. PNS ,3 5. Peg. Swasta ,6 Jumlah , ,0 Responden di panti terdapat 30 orang (78,9%) yang pekerjaan sebelumnya Petani, 5 orang (13,2%) tidak bekerja dan 3 orang (7,9%) sebagai buruh/karyawan, sedangkan responden yang tinggal dirumah 1. Rematik 16 42, ,7 2. Hipertensi 11 28, ,8 3. Gangguan Penglihatan 4. Gangguan Pendengara n 5. Diabetes Melitus 6 15,8 3 7,9 4 10,5 2 5,3 1 2,6 2 5,3 Jumlah , ,0 Responden yang tinggal di panti sebanyak 16 orang (42,1%) Rematik, 11 orang (28,9%) yang masalah kesehatannya Hipertensi, gangguan penglihatan sebanyak 6 orang (15,8%),

73 gangguan pendengaran sebanyak 4 orang (10,5%) dan Diabetes Mellitus sebanyak 1 orang (2,6%), sedangkan responden yang tinggal di rumah terdapat 17 orang (44,7%) Rematik, 14 orang (36,8%) Hipertensi, 3 orang (7,9%) gangguan penglihatan, 2 orang (5,3%) gangguan pendengaran dan 2 orang (5,3%) Diabetes Mellitus. Tabel 7. Hasil Uji Mann Whitney Kualitas Hidup Lansia No Variabel Panti Rumah p 1. Kualitas hidup n mean rank n mean rank 38 32, ,09 0,027 Dilakukan uji Mann Whitney untuk melihat apakah ada perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kualitas hidup lansia di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti p = 0,027. Artinya terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Tabel 8. Hasil Uji Mann Whitney Berdasarkan Domain Fisik, Domain Psikologis, Domain Sosial dan Domain Lingkungan Lansia N o Variabel Panti Rumah p n mean rank n mean rank 1. Fisik 38 34, ,80 0, Psikologi 38 33, ,95 0, Sosial 38 33, ,82 0, Lingkunga n 38 34, ,03 0,157 Berdasarkan Kesehatan Fisik Dari tabel didapatkan kualitas fisik lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,085. Artinya tidak terdapat perbedaan kualitas fisik yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Berdasarkan Psikologis Dari tabel didapatkan kualitas psikologis lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,029. Artinya terdapat perbedaan kualitas psikologis lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Berdasarkan Sosial Dari tabel didapatkan kualitas sosial lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,032. Artinya terdapat perbedaan kualitas sosial lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Berdasarkan Lingkungan Dari tabel didapatkan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,157. Artinya tidak terdapat perbedaan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Ke empat domain (fisik, psikologis, sosial dan lingkungan) sangat memengaruhi kualitas hidup lansia. Setyoadi (2010) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di komunitas dan panti.

74 Cahyawati (2009) menyatakan bahwa rata-rata skor makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi daripada rata-rata makna hidup lansia yang tinggal di panti wredha, artinya makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi dari lansia yang tinggal di panti wredha. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Fisik Setyoadi (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesehatan fisik yang dialami lansia ynag tinggal di panti dengan yang tinggal di rumah. Jenis pelayanan yang berbeda pada kedua kelompok responden tersebut tidak memberikan dampak yang jelas terhadap perbedaan kualitas kesehatan fisik lansia yang tinggal di panti dan yang tinggal di rumah. Kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan fisik lansia yang tinggal di rumah seperti posyandu lansia yang diadakan sekali sebulan oleh petugas puskesmas dan menggunakan pelayanan Rumah Sakit jika di perlukan, tidak menutup kemungkinan bagi lansia yang tinggal di panti jompo karena pemeriksaan kesehatan oleh petugas kesehatan pada lansia yang tinggal di panti dilakukan secara rutin sekali sebulan dan sewaktu-waktu jika diperlukan. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Psikologis. Berdasarkan hasil dari setiap poin pertanyaan pada domain psikologis, terdapat perbedaan antara kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di panti dengan yang tinggal di rumah. Psikologis lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada psikologis lansia yang tinggal di panti Lansia yang tinggal di rumah merasa hidupnya lebih berarti dan merasa aman karena mereka masih bisa berkumpul dengan keluarganya dan tetap menjadi bagian dari masyarakat. Dalam penelitian ini diperoleh adanya perbedaan kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di panti. Lansia yang tinggal di rumah masih bisa tetap aktif di dalam masyarakat dan tetap bisa beriteraksi dengan masyarakatmembuat dirinya lebih berarti dan lebih menikmati hidupnya. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Sosial. Terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain sosial pada lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Sesuai penelitian Elvinia (2006) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan hubungan sosial pada janda atau duda yang tinggal bersama keluarga dengan yang tinggal di panti wredha. Persamaan hubungan sosial antara kedua kelompok lansia tersebut dikarenakan oleh masing-masing tempat tinggal memberikan dukungan yang cukup kuat bagi lansia, baik dari keluarga sendiri aupun dari teman sebaya mereka. Lansia yang tinggal di panti lebih sering mendapat dukungan dari teman sebaya, selain itu mereka

75 juga mendapat kunjungan dari keluarganya. Sedangkan lansia ynag tinggal di rumah memiliki kedekatan yang baik dengan keluarga dimana keluarga merupakan sumber dukungan emosional mereka. Dukungan sosial yang di dapat oleh lansia dari berbagai pihak itu akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di Panti dengan yang tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Lingkungan Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah berdasarkan domain lingkungan. Lansia yang tinggal di rumah memiliki rata-rata skor domain lingkungan ynag lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hal ini dapat dikaitkan dengan perbedaan pekerjaan lansia yang tinggal di panti dan yang tinggal di rumah yang akan berpengaruh terhadap perekonomian lansia. Lansia yang tinggal di rumah masih bisa bekerja untuk menghidupi kebutuhannya atau bahkan hanya kesenangannya saja. KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kualitas hidup lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas hidup lansia yang tinggal di panti. 2. Kualitas fisik lansia yang tinggal di panti tidak berbeda dengan kualitas fisik lansia yang tinggal di rumah. 3. Kualitas psikologi lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas psikologi lansia yang tinggal di panti. 4. Kualitas sosial lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas psikologi lansia yang tinggal di panti. 5. Kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti tidak berbeda dengan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di rumah. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, penulis mengajukan beberapa saran yaitu: 1. Bagi Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi Meningkatkan informasi dan pengetahuan lansia mengenai proses penuaan yang telah dialaminya dan menggalakkan perilaku sehat bagi lansia dengan memberikan penyuluhan kesehatan. Meningkatkan produktifitas lansia di panti seperti memberikan keterampilan pada lansia, membuat warung yang dikelola oleh lansia dengan bantuan yayasan panti. Dengan demikian diharapkan kualitas hidup lansia yang lebih baik dapat tercapai. 2. Bagi Lurah Kelurahan Pintupadang I Terus meningkatkan aspek lingkungan seperti keamanan dan kenyamanan lansia di tempat tinggalnya, membuat kelompokkelompok lansia yang memungkinkan lansia selalu memperoleh informasi baik informasi tentang kesehatan, pengajian dan kemalangan di kelurahan pintupadang I atau bahkan juga di daerah lain.

76 Meningkatkan akses lansia terhadap pelayanan kesehatan dengan cara membuat kelompok arisan hasil panen padi di kelurahan pintupadang I guna pemenuhan kebutuhan dana kesehatan lansia itu sendiri. Dengan demikian diharapkan kualitas hidup lansia yang lebih baik dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, Tapanuli selatan Dalam Angka 2011, Kabupaten Tapanuli Selatan. BkkbN, Asia Belajar Memberdayakan Lansia, npers.aspx?siaranpersid=15, diakses pada tanggal 1 Agustus diakses pada tanggal 1 September Nugroho, W Keperawatan Gerontik, EGC, Jakarta. Raudhah, I Kualitas Hidup Lansia di Graha Residen Senior Karya Kasih Medan Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Keperawatan USU, Medan. Setyoadi. dkk Perbedaan tingkat kualitas hidup lansia di komunitas dan panti, ejournal.umm.ac.id/index.php/keper awatan/article/viewfile/621/641- umm-scentific-journal.pdf, diakses pada tanggal 10 September Cahyawati, R. dkk Perbedaan Makna Hidup Lansia Yang Tinggal Di Panti Werdha Dengan Yang Tinggal Bersama Keluarga, tories/jadwal-kuliah/naskahpublikasi pdf, diakses pada tanggal 6 Juni Darmojo, B dan Martono Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Elvinia Quality of Life pada Lanjut Usia studi perbandingan pada janda atau duda lansia antara yang tinggal di rumah bersama keluarga dengan yang tinggal di panti werdha, x?tabid=61&src=k&id=124555,

77 FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PREEKLAMPSIA PADA KEHAMILAN DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN TAHUN Afni Sucita Resmi 1, Asfriyati 2, Ria Masniari Lubis 2 1 Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2 Staff Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, ABSTRACT Preeclampsia is an illness marked with existing hypertension, proteinuria and edema as emerged long as inception or up to 48 hours post partum. This disorder shall take place on tri-semester III in inception. Preeclampsia is constitute one of causes to death of maternal in pregnancy beside blooding and infection. This study adopted an analytical descriptive method with a case control study which research aimed to determine factors correlating with the preeclampsia in Muhammadiyah Sumatera Utara general hospital for The sample in case group are the pregnant maternal that has been diagnosed preeclampsia noted on medical record file and the sample on control group are those maternal in pregnancy that not be diagnosed with preeclampsia noted on medical record file. From the result of analysis with chi-square test has been obtained variable correlating with preeclampsia such as age (p=0.015), inception age (p-0.001), and variable not correlated such as Bad Obstetric History (BOH) (p=0.623), parity (p=0.076). From the result of analysis with multivariant the most dominant variable is inception age. The pregnant maternal is encouraged to have examination regularly to the public health service aimed to detect early the condition of his health in order to prevent any preeclampsia and to those paramedical is highly recommended provide counseling to those pregnant maternal to enrich their knowledge about preeclampsia disorder so that the mortality on maternal and mortality upon babies shall decrease down. Keywords: Preeclampsia, age, Bad Obstetric History, parity. PENDAHULUAN Diperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau lebih kurang perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan (Sarjito, 2009). Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. AKI juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan milenium ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko 1

78 jumlah kematian ibu. Tinggi rendahnya AKI di suatu wilayah dijadikan sebagai indikator yang menggambarkan besarnya masalah kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan dan sumber daya di suatu wilayah (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan milenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus (Haryono 2011). United Nations International Children s Emergency Found (UNICEF) (2012) menyatakan bahwa setiap tahun hampir wanita meninggal karena masalah kehamilan dan persalinan. Target penurunan AKI secara nasional adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 jiwa per kelahiran hidup Angka kematian ibu di Indonesia menurut survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 mencapai 307 dari kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2007 jumlahnya menurun menjadi 228 per kelahiran hidup. Pemerintah khususnya Kementrian Kesehatan (Kemenkes) masih dituntut bekerja keras menurunkannya hingga tercapai target Millennium Development Goal (MDG) 5, menurunkan AKI menjadi 102 dari pada tahun Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/ eklampsi 24 %, infeksi 11 %, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 % dan lain lain 11 % (WHO, 2007). Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan indikator kesehatan yang paling utama yang digunakan untuk menggambarkan baik atau tidaknya fasilitas kesehatan dalam pelayanan kesehatan. Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007 menyebutkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228/ Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 34/1.000 KH, sedangkan target Millenium Development Goals (MDGs), AKI sebanyak 102/ KH, dan AKB sebanyak 23/1.000 KH pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2011). Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab kedua setelah perdarahan sebagai penyebab langsung yang spesifik terhadap kematian maternal (Kelly, 2007). Pada sisi lain insiden dari eklampsia pada negara berkembang sekitar 1 kasus per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700 kehamilan. Pada negara Afrika seperti Afrika Selatan, Mesir, Tanzania dan Etiopia bervariasai sekitar 1,8% sampai dengan 7,1%. Di Nigeria prevalensinya sekitar 2% sampai dengan 16,7% (Osungbade, 2011). Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 angka kematian ibu adalah 228/ kelahiran hidup, yang disebabkan oleh perdarahan 28%, preeklampsia/eklampsia 24% dan infeksi 11%. Di Sumatera Utara, dilaporkan kasus preeklampsia terjadi sebanyak kasus dari kehamilan selama tahun 2010, sedangkan di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dilaporkan angka kematian ibu penderita preeklampsia tahun adalah 3,45%, pada tahun sebanyak 2,1%, dan pada tahun adalah 4,65% (Dinkes Sumut, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Dollar, 2008) dengan 2

79 judul penelitian Hubungan Karakteristik Ibu Hamil Dengan Kejadian Preeklampsia di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun bahwa adanya hubungan paritas terhadap terjadinya preeklampsia pada kehamilan, dimana proporsi paritas 1 pada kelompok yang tidak preeklampsia yaitu (0,32) dengan nilai OR sebesar (2,13). Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada bulan maret di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan terdapat penderita preeklampsia sebanyak 109 kasus selama periode tahun 2011 s/d Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas, maka selanjutnya peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah semakin meningkatnya kejadian preeklampsia pada kehamilan sehingga peneliti ingin meneliti Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU.Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Penelitian ini mempunyai tujuan khusus untuk mengetahui hubungan umur ibu, usia kehamilan, BOH dan paritas dengan terjadinya preeklampsia pada kehamilan di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Manfaat dari penelitian ini adalah Sebagai bahan masukan dan informasi bagi RSU.Muhammadiyah dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan untuk dapat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Menambah studi kepustakaan tentang faktor yang berhubungan dengan preeklampsia pada kehamilan sehingga dapat dijadikan masukkan dalam penelitian selanjutnya. Untuk peningkatan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam menganalisa tentang faktor yang berhubungan dengan preeklampsia pada kehamilan, serta sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan kasus kontrol (Case Control Study). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang kehamilannya didiagnosis preeklampsia berjumlah 109 orang dan yang tidak didiagnosis preeklampsia yang berjumlah 865 orang dan tercatat pada berkas rekam medis RSU.Muhammdiyah Sumut Medan periode tahun 2011 s/d tahun Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol, dimana yang menjadi sampel kelompok kasus penelitian ini adalah data ibu hamil yang didiagnosis preeklampsia yang tercatat pada berkas rekam medis dan sampel kelompok kontrol penelitian ini adalah ibu yang tidak didiagnosis preeklampsia yang tercatat pada berkas rekam medis. Besar sampel pada kelompok kasus dan kelompok kontrol diperoleh dengan rumus (Lemeshow, 1997): { Z n= α 1 2 2P (1 P) + Z β ( P P) P(1 P) + P(1 P)}

80 Besarnya sampel ditentukan dengan memperkirakan proporsi populasi terpapar dengan menggunakan rumus : P 1 ( OR P2 = ( OR ) P 2 + )(1 P 2) P 1 (2,13)0, 32 = ( 2,13) (1 0,32) P 1 = 0,50 Hasil perhitungan didapat P 1 = 0,50 dengan interval kepercayaan 95% (α=0,05) pada kekuatan penelitian 80%, maka besar sampel: n = 91,6 n = 92 Dari perhitungan diatas dapat diketahui jumlah sampel minimal sebanyak 92 orang ibu hamil, karena jumlah kasus preeklampsia yang ditemukan oleh peneliti pada saat survei awal sebanyak 109 orang, maka besar sampel dalam penelitian ini adalah 109 orang dimana seluruh jumlah kasus dijadikan sampel. Maka dengan perbandingan 1:1 dalam penelitian ini adalah 109 orang ibu hamil untuk sampel kasus dan 109 orang ibu hamil untuk sampel kontrol. Untuk pengambilan sampel kontrol dilakukan dengan cara Sistematic Random Sampling. Hasil analisis data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase. Adapun analisis data meliputi tahapan: Analisis Univariat Untuk menggambarkan (mendeskripsikan) masing-masing variabel independent dan variabel dependen dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi Analisis Bivariat Untuk melihat hubungan masing-masing variabel independen dengan variabel dependen, menggunakan uji chi square (X 2 ). Selain itu dilakukan juga perhitungan Odd Rasio (OR) untuk melihat estimasi risiko terjadinya outcome, sebagai pengaruh adanya variabel independen. Yang dimaksud OR adalah suatu perbandingan pajanan diantara kelompok kasus terhadap pajanan pada kelompok kontrol. Perubahan satu unit variabel independen akan menyebabkan perubahan nilai OR pada variabel dependen. Estiamasi confidence interval (CI) untuk OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis Mulivariat Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik yakni untuk mengetahui hubungan variabel independent secara bersamaan antara satu variabel dependent sehingga diperoleh persamaan regresi logistik sebagai berikut : yi = Ln 1 = β + β X + + β X i j 1 P 1 p = ( β 0+ β1x βixj) 1+ e e = Bilangan natural (2,176) β = 0,1,2,,n adalah parameter model regresi logistik β = 0,1,2,,n adalah parameter bebas yang diperhatikan HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Pada Kelompok Kasus dan Kontrol di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Umur Kasus Kontrol Jumlah % Jumlah Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ibu hamil yang memeriksakan 4

81 kehamilannya di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun terbanyak berada pada kelompok umur tahun yaitu sebanyak 75 orang. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Usia Kehamilan Pada Kelompok Kasus dan Kontrol di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Usia Kasus Kontrol Jumlah % Kehamilan Jumlah Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa usia kehamilan ibu yang memeriksakan kehamilannya di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun terbanyak pada kelompok usia kehamilan minggu yaitu 182 orang (83.5%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Bad Obstetric History (BOH) Pada Kelompok kasus dan kontrol di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun BOH Kasus Kontrol Jumlah % Memiliki ,3 Tidak ,7 Memiliki Jumlah Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada Bad Obstetric History (BOH) ibu yang memeriksakan kehamilannya terbanyak pada kelompok tidak memiliki BOH yaitu sebanyak 200 orang (91.7%). RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Paritas Kasus Kontrol Jumlah % Jumlah Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa paritas ibu yang memeriksakan kehamilannya terbanyak banyak pada paritas 0 yaitu sebanyak 95 orang (43.6%). Analisis bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen yang meliputi faktor umur, usia kehamilan, Bad Obstetric History (BOH) dan paritas dengan variabel dependen yaitu kejadian preeklampsia yang menggunakan uji chi-square dengan α = Dikatakan ada hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p < 0,05. Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan uji chi-square dapat dilihat dengan hasil sebagai berikut: Hubungan Umur dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan umur ibu dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 5. Tabel 5. Hubungan Umur dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Tabel 4. Distribusi Frekuensi Paritas Pada Kelompok Kasus dan kontrol di Dari Tabel 5 menunjukkan hasil analisis hubungan antara umur ibu dengan 5

82 kejadian preeklampsia pada kelompok umur <20 tahun dan >35 tahun ditemukan sebanyak 32 orang (65.3%) mengalami preeklampsia dan pada kelompok umur tahun 77 orang (45.6%) diantaranya tidak mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan kejadian preeklampsia (p = 0.015, OR = 2.249). Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 6. Tabel 6. Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Dari Tabel 6 menunjukkan hasil analisis hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia yang memiliki usia >37 minggu ditemukan sebanyak 95 orang (82.6%) mengalami preeklampsia dan pada minggu sebanyak 14 orang (13.6%) mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chisquare menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia (p = 0.001, OR = ). Hasil uji statistik dengan chisquare menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia (p = 0.001, OR = ). Hubungan Bad Obstetric History (BOH) dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan Bad Obstetric History (BOH) dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 7. Tabel 7. Hubungan Bad Obstetric History (BOH) dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun Dari tabel 7 dapat menunjukkan hasil analisis hubungan antara Bad Obstetric History (BOH) dengan kejadian preeklampsia yang memiliki Bad Obstetric History (BOH) ditemukan sebanyak 10 orang (55.6%) mengalami preeklampsia dan sebanyak 99 orang (49.5%) yang tidak memiliki Bad Obstetric History (BOH) mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chisquare menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Bad Obstetric History dengan kejadian preeklampsia (p = 0.632, OR = 1.275). Hubungan Paritas dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan paritas dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 8. Tabel 8 Hubungan Paritas dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah 6

KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013

KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013 KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013 (The Habit Of Washing Raskin And The Residual Bleach (Chlorine) In

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAYI PENDERITA GASTROENTERITIS YANG DIRAWAT INAP DI RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN TAHUN

KARAKTERISTIK BAYI PENDERITA GASTROENTERITIS YANG DIRAWAT INAP DI RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN TAHUN KARAKTERISTIK BAYI PENDERITA GASTROENTERITIS YANG DIRAWAT INAP DI RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN TAHUN 2011-2012 Rivando Fernandus 1 ; Sori Muda Sarumpaet 2 ; Hiswani 2. 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 17-18%. 1

BAB I PENDAHULUAN. Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 17-18%. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gastroenteritis hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO tahun 2001 dalam buku karangan Haryadi, beras merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO tahun 2001 dalam buku karangan Haryadi, beras merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan primernya, dan salah satu kebutuhan primer tersebut adalah makanan. Salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak umur bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, terutama penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2011). Gangguan kesehatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Karakteristik Umum Responden, Perilaku Mencuci Tangan, Diare, Balita

ABSTRAK. Kata Kunci: Karakteristik Umum Responden, Perilaku Mencuci Tangan, Diare, Balita ABSTRAK GAMBARAN PERILAKU MENCUCI TANGAN PADAPENDERITA DIARE DI DESA KINTAMANI KABUPATEN BANGLI BALI TAHUN 2015 Steven Awyono Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Diare masih merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan, Orang Tua, Balita, Zinc

Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan, Orang Tua, Balita, Zinc ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TERHADAP PENGGUNAAN TABLET ZINC PADA BALITA PENDERITA DIARE DI PUSKESMAS S.PARMAN BANJARMASIN Chairunnisa 1 ; Noor Aisyah 2 ; Soraya 3 Diare merupakan salah satu masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KLORIN SECARA KUALITATIF PADA BERAS MEREK X

IDENTIFIKASI KLORIN SECARA KUALITATIF PADA BERAS MEREK X IDENTIFIKASI KLORIN SECARA KUALITATIF PADA BERAS MEREK X Irsalina Raudina Rusy, Latifah Elmiawati, Kusuma Tiara Mega Program Studi DIII Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Magelang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mortalitas dari penyakit diare masih tergolong tinggi. Secara global, tahunnya, dan diare setiap tahunnya diare membunuh sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. mortalitas dari penyakit diare masih tergolong tinggi. Secara global, tahunnya, dan diare setiap tahunnya diare membunuh sekitar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diare merupakan salah satu penyakit infeksi pada saluran pencernaan yang sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sampai saat ini diare masih menjadi masalah kesehatan di dunia sebagai penyebab mortalitas dan morbiditas. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2013

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa

BAB 1 PENDAHULUAN. negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan nasional yang menimbulkan perubahan dari suatu negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa kecenderungan baru dalam

Lebih terperinci

JURNAL LABORATORIUM KHATULISTIWA

JURNAL LABORATORIUM KHATULISTIWA JURNAL LABORATORIUM KHATULISTIWA e-issn : 2597-9531 p-issn : 2597-9523 JLK 1 (1) (2017) PENGARUH JUMLAH PENCUCIAN BERAS DENGAN KADAR KLORIN Indah Purwaningsih dan Supriyanto Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Angka Kematian Balita (AKABA/AKBAL). Angka kematian bayi dan balita

BAB I PENDAHULUAN. dan Angka Kematian Balita (AKABA/AKBAL). Angka kematian bayi dan balita 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangsungan Hidup anak ditunjukkan dengan Angka Kematian bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA/AKBAL). Angka kematian bayi dan balita Indonesia adalah tertinggi

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN GIZI BURUK MELALUI ANALISIS SIKAP DAN KEBIASAAN IBU DALAM PENGATURAN MAKANAN KELUARGA

PENANGGULANGAN GIZI BURUK MELALUI ANALISIS SIKAP DAN KEBIASAAN IBU DALAM PENGATURAN MAKANAN KELUARGA Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 84-89 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(1): 84-89 PENANGGULANGAN GIZI BURUK MELALUI ANALISIS SIKAP DAN KEBIASAAN IBU DALAM PENGATURAN MAKANAN KELUARGA (Preventing

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI. Nurlia Savitri

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI. Nurlia Savitri FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI (Studi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya Tahun 2014 ) Nurlia Savitri e-mail : savitri.nurlia@gmail.com Program Studi

Lebih terperinci

BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT

BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT KARYA ILMIAH BISNIS BEKATUL KAYA MANFAAT MATA KULIAH LINGKUNGAN BISNIS Nama : Asmorojati Kridatmaja NIM : 10.11.3641 Kelas : SI-TI 2B SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

PERBEDAAN BIAYA PERAWATAN DIARE DENGAN PENANGANAN

PERBEDAAN BIAYA PERAWATAN DIARE DENGAN PENANGANAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN BIAYA PERAWATAN DIARE DENGAN PENANGANAN RASIONAL DAN TIDAK RASIONAL PADA BALITA SEBELUM DIBAWA KE FASILITAS KESEHATAN Di Poli Anak RSUD Dr. Hardjono Ponorogo Oleh: RIZKA DWIRAHMA

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PENANGANAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PENANGANAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP PENANGANAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN Gusti Ridha Ahda Putri 1 ; Amaliyah Wahyuni 2 ; Rina Feteriyani 3 Menurut WHO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak seluruh dunia, yang menyebabkan 1 miliyar kejadian sakit dan 3-5 juta kematian setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga Negara Indonesia, termasuk anak-anak. Setiap orang tua mengharapkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sehat dan

Lebih terperinci

ANALISIS KLORIN PADA BERAS YANG BEREDAR DI PASAR KOTA MANADO

ANALISIS KLORIN PADA BERAS YANG BEREDAR DI PASAR KOTA MANADO ANALISIS KLORIN PADA BERAS YANG BEREDAR DI PASAR KOTA MANADO Ivone Y. Wongkar 1), Jemmy Abidjulu 1), dan Frenly Wehantouw 1) 1) Program Studi Farmasi FMIPA UNSRAT Manado, 95115 ABSTRACT Rice is a staple

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional Indonesia bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduknya memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduknya memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan serta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai dengan penduduknya

Lebih terperinci

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: 2460-657X Perbedaan Faktor Lingkungan, Perilaku Ibu dan Faktor Sosiodemografi Pasien Diare Anak di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Al Islam Bandung pada Peserta BPJS dan

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS PASIEN GASTROENTERITIS DEWASA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN PERIODE JUNI DESEMBER 2013 OLEH :

GAMBARAN KLINIS PASIEN GASTROENTERITIS DEWASA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN PERIODE JUNI DESEMBER 2013 OLEH : GAMBARAN KLINIS PASIEN GASTROENTERITIS DEWASA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN PERIODE JUNI 2013 - DESEMBER 2013 OLEH : LUSIA A TARIGAN 110100243 NIM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tidak menular (noncommunicable diseases)seperti penyakit jantung,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tidak menular (noncommunicable diseases)seperti penyakit jantung, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya arus globalisasi di segala bidang berupa perkembangan teknologi dan industri telah banyak membuat perubahan pada pola hidup masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak setiap orang dan investasi untuk keberhasilan pembangunan suatu negara. 1 Oleh karena itu, dilaksanakan pembangunan kesehatan yang diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir di seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK IBU YANG MELAHIRKAN BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RS SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN SKRIPSI

KARAKTERISTIK IBU YANG MELAHIRKAN BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RS SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN SKRIPSI KARAKTERISTIK IBU YANG MELAHIRKAN BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RS SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2009-2013 SKRIPSI OLEH RIRIN GULTOM NIM. 081000049 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. saat menghadapi berbagai ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti kesakitan. dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. saat menghadapi berbagai ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti kesakitan. dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai upaya pembangunan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi dan anak. Bayi menjadi fokus dalam setiap program kesehatan karena

Lebih terperinci

diantaranya telah meninggal dunia dengan Case Fatality Rate (CFR) 26,8%. Penyakit

diantaranya telah meninggal dunia dengan Case Fatality Rate (CFR) 26,8%. Penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal melalui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup manusia dan derajat kesehatan masyarakat dalam aspek pencegahan,

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup manusia dan derajat kesehatan masyarakat dalam aspek pencegahan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional Indonesia bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, utamanya penyakit infeksi (Notoatmodjo S, 2004). Salah satu penyakit infeksi pada balita adalah diare.

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado **Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado **Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAILANG KECAMATAN BUNAKEN KOTA MANADO TAHUN 2014 Merry M. Senduk*, Ricky C. Sondakh*,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok penyakit-penyakit non infeksi yang sekarang terjadi di negara-negara maju

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok penyakit-penyakit non infeksi yang sekarang terjadi di negara-negara maju BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi lebih dan masalah gizi kurang merupakan masalah yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Obesitas merupakan sinyal pertama dari munculnya kelompok penyakit-penyakit

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RSUD RANTAU PRAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN SKRIPSI

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RSUD RANTAU PRAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN SKRIPSI KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RSUD RANTAU PRAPAT KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN 2006-2009 SKRIPSI Oleh : ELIZABETH LOLOAN PANGGABEAN NIM. 061000033 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau dapat pula bercampur lendir dan darah/lendir saja (Ngastiyah, 2005). Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. atau dapat pula bercampur lendir dan darah/lendir saja (Ngastiyah, 2005). Pada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diare merupakan keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA DM RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE 1 JANUARI 2009 s.d. 31 DESEMBER Oleh: RONY SIBUEA

KARAKTERISTIK PENDERITA DM RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE 1 JANUARI 2009 s.d. 31 DESEMBER Oleh: RONY SIBUEA KARAKTERISTIK PENDERITA DM RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE 1 JANUARI 2009 s.d. 31 DESEMBER 2009 Oleh: RONY SIBUEA 070100171 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat 20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola menu empat sehat lima sempurna adalah pola menu seimbang yang bila disusun dengan baik mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pola menu ini diperkenalkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a natural state or in a manufactured or preparedform, which are part of human diet. Artinya adalah

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INSIDENSI DIARE PADA BALITA DI RSU SARASWATI CIKAMPEK PERIODE BULAN JULI 2008

ABSTRAK GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INSIDENSI DIARE PADA BALITA DI RSU SARASWATI CIKAMPEK PERIODE BULAN JULI 2008 ABSTRAK GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INSIDENSI DIARE PADA BALITA DI RSU SARASWATI CIKAMPEK PERIODE BULAN JULI 2008 Ivone. 2008.Pembimbing I : July Ivone, dr., MS. Pembimbing II : Meilinah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan dapat pula menyebababkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan akan mungkin dicapai pada suatu saat yang sesuai dengan kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Visi pembangunan kesehatan yaitu hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat diantaranya memiliki kemampuan hidup sehat, memiliki kemampuan untuk

Lebih terperinci

Jurnal Care Vol. 4, No.3, Tahun 2016

Jurnal Care Vol. 4, No.3, Tahun 2016 30 KETERKAITAN KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP) DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA USIA (1-5 TAHUN) Nurwijayanti Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKES Surya Mitra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekatul tidak banyak dikenal di masyarakat perkotaan, khususnya anak muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per kelahiran hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per kelahiran hidup. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka Kematian Bayi (AKB) menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini berada jauh dari yang

Lebih terperinci

JUMAKiA Vol 3. No 1 Agustus 2106 ISSN

JUMAKiA Vol 3. No 1 Agustus 2106 ISSN HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TUMBUH KEMBANG BALITA USIA 3-5 TAHUN DI TK PERMATA HATI TAHUN 2015 Sun Aidah Andin Ajeng Rahmawati Dosen Program Studi DIII Kebidanan STIKes Insan Cendekia Husada Bojonegoro

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makan, berkurangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makan, berkurangnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengaruh globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi, dan industri telah banyak menbawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan. Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare Depkes RI 2011).

I. PENDAHULUAN. Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan. Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare Depkes RI 2011). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah masyarakat di Indonesia. Angka kesakitan 200-400 kejadian diare diantara 1000 penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. buang air besar (Dewi, 2011). Penatalaksaan diare sebenarnya dapat. dilakukan di rumah tangga bertujuan untuk mencegah dehidrasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. buang air besar (Dewi, 2011). Penatalaksaan diare sebenarnya dapat. dilakukan di rumah tangga bertujuan untuk mencegah dehidrasi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi yang masih perlu diwaspadai menyerang balita adalah diare atau gastroenteritis. Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak normal dan berbentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA

INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA Ruli Yanti ¹; Amaliyah Wahyuni, S.Si, Apt ²; drg. Rika Ratna Puspita³

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah epidemiologi bermula dengan penanganan masalah penyakit menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi permasalahan kesehatan baik dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak dibawah lima tahun atau balita adalah anak berada pada rentang usia nol sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang sangat

Lebih terperinci

UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS

UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS Acceptability test and nutrient compositon of rice with the addition of pumpkin and sweet corn Hadiah Kurnia Putri

Lebih terperinci

ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013

ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013 ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013 SKRIPSI Oleh : SERLI NIM. 111021024 FAKULTAS KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan 2010 bahwa kejadian diare pada bayi terus meningkat dan

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan 2010 bahwa kejadian diare pada bayi terus meningkat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2000 sampai dengan 2010 bahwa kejadian diare pada bayi terus meningkat dan menempati kisaran ke dua sebagai

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN Diza Fathamira Hamzah Staff Pengajar Program Studi Farmasi

Lebih terperinci

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG Dwi Novrianda Fakultas Keperawatan Universitas Andalas e-mail: dwinov_82@yahoo.co.id

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan cross sectional survey karena pengambilan data dilakukan pada satu waktu dan tidak berkelanjutan (Hidayat 2007). Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

PROFIL PENDERITA DIARE PADA ANAK BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN Oleh : AHMAD SYAFIQ AKMAL BIN ISHAK

PROFIL PENDERITA DIARE PADA ANAK BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN Oleh : AHMAD SYAFIQ AKMAL BIN ISHAK PROFIL PENDERITA DIARE PADA ANAK BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2009 Oleh : AHMAD SYAFIQ AKMAL BIN ISHAK 070100463 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BUKIT BARISAN MEDAN TAHUN 2010-2013 Sri Rezeki 1, Sori Muda 2, Rasmaliah 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan

Lebih terperinci

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA PASIEN ANAK DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI HINGGA DESEMBER 2009 KARYA TULIS ILMIAH.

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA PASIEN ANAK DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI HINGGA DESEMBER 2009 KARYA TULIS ILMIAH. PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA PASIEN ANAK DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI HINGGA DESEMBER 2009 KARYA TULIS ILMIAH Oleh : FATHIRAH AINA BT. ZUBIR NIM : 070100405 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN OLEH NOURMA Y LUMBAN GAOL

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN OLEH NOURMA Y LUMBAN GAOL SKRIPSI KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2007 2008 OLEH NOURMA Y LUMBAN GAOL 051000106 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diare merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak balita

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diare merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak balita Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak balita (WHO, 2013 & 2016). Sebanyak 760 ribu balita meninggal karena diare di tiap tahunnya (WHO, 2013).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di Negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan

Lebih terperinci

Keywords: Characteristics, Malaria Parasites Positive, RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

Keywords: Characteristics, Malaria Parasites Positive, RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSUD DR. M. YUNUS KOTA BENGKULU TAHUN 2012 Dwi Putri 1, Sori Muda 2, Hiswani 2 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL RAWAT INAP DI RS HAJI MEDAN TAHUN 2009 SKRIPSI. Oleh : JULIANTI AISYAH NIM

KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL RAWAT INAP DI RS HAJI MEDAN TAHUN 2009 SKRIPSI. Oleh : JULIANTI AISYAH NIM KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL GINJAL RAWAT INAP DI RS HAJI MEDAN TAHUN 2009 SKRIPSI Oleh : JULIANTI AISYAH NIM. 061000134 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE Evan Anggalimanto, 2015 Pembimbing 1 : Dani, dr., M.Kes Pembimbing 2 : dr Rokihyati.Sp.P.D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Sekitar anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Sekitar anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi vitamin A diperkirakan mempengaruhi jutaan anak di seluruh dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap tahun karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja (Manalu, Marsaulina,

BAB I PENDAHULUAN. disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja (Manalu, Marsaulina, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) (2009) diare adalah suatu keadaan buang air besar (BAB) dengan konsistensi lembek hingga cair dengan frekuensi lebih dari tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru

BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi Indonesia Sehat 2015 adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare Merry Tyas Anggraini 1, Dian Aviyanti 1, Djarum Mareta Saputri 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. ABSTRAK Latar Belakang : Perilaku hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO (World Health Organization) mendefinisikan Diare merupakan

BAB I PENDAHULUAN. WHO (World Health Organization) mendefinisikan Diare merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (World Health Organization) mendefinisikan Diare merupakan penyakit dimana buang air besar dalam bentuk cair sebanyak 3 kali sehari atau lebih dari normal, terkadang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat

Lebih terperinci

PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE

PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE PENELITIAN PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE Andreas A.N*, Titi Astuti**, Siti Fatonah** Diare adalah frekuensi dan likuiditas buang air besar (BAB) yang abnormal, ditandai dengan

Lebih terperinci

Eskalila Suryati 1 ; Asfriyati 2 ; Maya Fitria 2 ABSTRACT

Eskalila Suryati 1 ; Asfriyati 2 ; Maya Fitria 2 ABSTRACT HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU HAMIL DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI TETANUS TOKSOID DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAGA KECAMATAN LEMBAH SORIK MARAPI KABUPATEN MANDAILING NATAL TAHUN 2015 Eskalila Suryati

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi kurang banyak dihubungkan dengan penyakit-penyakit infeksi, maka masalah gizi lebih dianggap

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. Analisis Deskriptif Angka Kematian Balita di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Tahun 2012

ARTIKEL ILMIAH. Analisis Deskriptif Angka Kematian Balita di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Tahun 2012 ARTIKEL ILMIAH Analisis Deskriptif Angka Kematian Balita di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Tahun 2012 KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dimploma III

Lebih terperinci

Anisia Mikaela Maubere ( ); Pembimbing Utama: Dr. dr. Felix Kasim, M.Kes ABSTRAK

Anisia Mikaela Maubere ( ); Pembimbing Utama: Dr. dr. Felix Kasim, M.Kes ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU IBU YANG MEMILIKI BALITA USIA 12-59 BULAN TERHADAP KEJADIAN GIZI BURUK DI DESA GOLO WUA KECAMATAN WAE RI I KABUPATEN MANGGARAI TAHUN 2010 Anisia Mikaela Maubere

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSD KOLONEL ABUNDJANI BANGKO KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI TAHUN 2009

KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSD KOLONEL ABUNDJANI BANGKO KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI TAHUN 2009 KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DENGAN PARASIT POSITIF YANG DIRAWAT INAP DI RSD KOLONEL ABUNDJANI BANGKO KABUPATEN MERANGIN PROVINSI JAMBI TAHUN 2009 SKRIPSI Oleh : VERARICA SILALAHI NIM. 061000152 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada beban Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 1. Masalah penyakit menular masih merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia salah satunya di lihat dari angka kematian dan kesakitan balita. Masa balita merupakan kelompok yang rawan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan serius bagi negara, disebabkan insidennya semakin meningkat. Penyakit ini termasuk salah satu jenis penyakit tidak menular

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diperhatikan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diperhatikan untuk 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diperhatikan untuk kemajuan suatu bangsa selain pendidikan dan ekonomi sekaligus merupakan investasi sumber daya manusia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil terhadap perubahan fertilitas, gaya hidup, dan sosial ekonomi yang memacu semakin

Lebih terperinci