I. PENDAHULUAN. banyak dipelajari sejak salah satu strain anggotanya diisolasi pertamakali oleh

Transkripsi

1 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Streptococcus pneumoniae merupakan spesies bakteri yang telah banyak dipelajari sejak salah satu strain anggotanya diisolasi pertamakali oleh Louis Pasteur pada tahun 1881 dari saliva pasien rabies (Örtqvist et al., 2005). Sumber ini juga menyatakan bahwa bakteri dengan nama lain yaitu pneumococcus merupakan penyebab invasive pneumococcal disesase (IPD) yang bersifat endemik di seluruh dunia. Menurut Frankel et al. (1996), penyakit yang muncul akibat IPD antara lain bacterial meningitis, sinusitis, acute otitis media (OMA), upper respiratory tract infection (URTI) dan bakteremia atau infeksi pada darah. Dalam publikasi AlonsoDeVelasco et al. (1995), dikatakan bahwa S. pneumoniae merupakan penyebab utama kematian balita di negara berkembang akibat pneumonia. Berdasarkan penelitian Adetifa et al. (2012), angka kematian yang tercatat di dunia selama ini yakni 1,6 juta dari 8,8 juta kematian per tahun pada balita, dengan 50% kasus kejadian di sub-sahara, Afrika. Persentase penderita anak-anak balita tersebut amat bervariasi, dengan angka 44-90% di Papua New Guinea, Fiji, Indonesia, Venezuela dan Gambia. Dengan demikian, bakteri tersebut digolongkan dalam kategori berbahaya (Lynch & Zanel, 2010). Menurut Kaijalainen (2006), pneumococcus sebenarnya merupakan anggota mikrobiota normal yang mengkolonisasi saluran nasofaring manusia beberapa saat setelah kelahiran, dan dapat bersifat menguntungkan dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri lain yang bersifat patogenik. Meskipun

2 2 demikian, kolonisasi ini merupakan reservoir pneumococcus yang nantinya dapat menyebabkan infeksi (Mitchell & Mitchell, 2010). Infeksi pneumococcus khususnya menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun, orang dewasa di atas usia 60 tahun, pengidap penyakit kronis, dan orang yang mengalami penurunan sistem imun, baik anak-anak maupun orang dewasa (McAllister, 2010). Selanjutnya Janoff et al. (1992) menyatakan bahwa kelompok orang dengan sistem imun lemah yang sangat rentan terhadap invasi pneumococcus adalah penderita yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV). Berdasarkan sebuah studi di Afrika Selatan (Madhi et al., 2000), anak-anak yang terinfeksi HIV beresiko kali lebih besar untuk terserang IPD dibandingkan anak-anak yang tidak terinfeksi HIV. Selain itu, penelitian Gilks et al. (1996), menunjukkan bahwa S. pneumoniae lebih merupakan penyebab utama infeksi pada sejumlah pekerja seks di Nairobi, Kenya, dibandingkan dengan bakteri lain seperti Mycobacterium tuberculosis atau non-typhi Salmonellae. Menurut Rodriguez-Barradas et al. (1996), kerentanan pada pasien terinfeksi HIV ini disebabkan karena mereka tidak memiliki kekebalan selular (cell-mediated immunity) dan kekebalan humoral (humoral immunity) sehingga ko-infeksi oleh bakteri berkapsul seperti pneumococcus dapat berakibat pada morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, studi mengenai infeksi pneumococcus ini akan memberikan manfaat lebih apabila dilakukan pada penderita HIV dan AIDS. Infeksi pneumococcus pada anak-anak dan dewasa dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Menurut Jansen et al. (2009), salah satu faktor penting yang mempengaruhi epidemiologi IPD adalah distribusi serotipe. Sampai saat ini

3 3 telah ditemukan lebih dari 91 serotipe yang diidentifikasi berdasarkan perbedaan karakter antigenic polisakarida kapsula, namun hanya ± 15 serotipe di antaranya yang merupakan penyebab utama kasus-kasus IPD di seluruh dunia, di antaranya serotipe 3, 6B, 9N, 16F, 18C, 19F, 19A dan 23A (Iraurgui et al., 2010). Selanjutnya menurut Harboe et al. (2010), faktor-faktor lainnya yang berperanpenting dalam epidemiologi IPD adalah usia, etnik, daya tahan tubuh, vaksinasi, konsumsi antibiotik, faktor sosial-ekonomi, dan letak geografis. Oleh karenanya, epidemiologi pneumococcus ini sangat kompleks dan dinamis, yang juga disebabkan karena bakteri ini terus berevolusi secara konstan dan memiliki perbedaan karakter imunologis yang tinggi pada tiap serotipenya. Selama beberapa tahun terakhir, resistensi antibiotik pada S. pneumoniae di seluruh dunia telah meningkat secara drastis (Felmingham et al., 2002). Resistensi terhadap antibiotik turunan beta-laktam pertamakali ditemukan di Australia pada tahun 1967, New Guinea pada tahun 1974, Afrika Selatan (1977) dan Spanyol (1979) sedangkan sebagian besar strain menunjukkan resistensi terhadap lebih dari satu macam antibiotik dan tergolong dalam serotipe 6A, 6B, 19A, 19F, dan 23F (Fenoll et al., 2009). Pada akhir tahun 1980 dan 1990an, resistensi terhadap antibiotik pada S. pneumoniae telah merambah sampai ke Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Selain itu juga ditemukan sejumlah besar penderita pneumonia yang disebabkan oleh nonvaccine serotype (Linares et al., 2010). Berdasarkan penelitian Liu et al. (2013), salah satu strain anggota S. pneumoniae yang diisolasi dari pasien balita pengidap IPD di Cina menunjukkan angka resistensi sebesar 100% terhadap erythromycin

4 4 dan sulphamethoxazole-trimethoprim. Resistensi terhadap antibiotik ini merupakan masalah besar dalam penanggulangan IPD terutama untuk strain yang bersifat multidrug-resistant sehingga studi mengenai pneumococcus banyak difokuskan pada sifat resistensi ini. Penelitian mengenai isolat klinis strain S. pneumoniae yang resisten terhadap berbagai macam antibiotik ini telah mengarahkan para peneliti untuk memasuki area molecular typing dan molecular epidemiology. Menurut van Belkum et al. (2002), teknik yang digunakan umumnya didasarkan atas fraksinasi ukuran berbagai macam fragmen DNA, seperti Amplified Fragment Length Polymorphism analysis (AFLP) dan Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE). Metode tersebut memiliki sensitivitas yang tinggi dalam membedakan isolat bakteri dan mampu mengkarakterisasi sejumlah besar isolat dengan biaya relatif rendah (Maiden et al., 1998). Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah isolat yang harus diteliti pada lokasi dan waktu penyampelan yang berbeda-beda, standardisasi metode antara satu laboratorium dengan laboratorium lainnya sulit dilakukan sehingga menghasilkan database yang tidak konsisten (Enright & Spratt, 1998). Oleh sebab itu, telah dikembangkan beberapa metode yang didasarkan atas sekuens DNA agar dapat diperoleh kondisi yang relevan dalam mengkonstruksi database euntuk aplikasi epidemiologis, salah satunya adalah Multilocus Sequence Typing (MLST) (Spratt, 2012). Metode ini didasarkan atas variasi sekuens pada sejumlah housekeeping genes, yang umumnya berjumlah 7 gen (Sullivan et al., 2005). MLST merupakan metode yang kuat dan tangguh karena urutan DNA pada housekeeping gene merupakan karakter yang jelas dan

5 5 cukup konsisten sehingga data yang dihasilkan oleh laboratorium yang berbedabeda dapat dibandingkan dengan mudah berdasarkan database yang dapat diakses secara online (Boers et al., 2012). Dengan demikian, isolat-isolat yang diperoleh dapat dikelompokkan berdasarkan sequence type-nya, apakah termasuk dalam isolat yang telah diketahui sebelumnya atau termasuk dalam novel isolate. Pada tahun 2002, Indonesia merupakan negara dengan penderita pneumonia terbesar ke-6 di dunia, namun data epidemiologis pneumococcus di Indonesia masih sangat minim (Soewignjo et al., 2001). Data epidimiologis meliputi persentase kolonisasi, keanekaragaman serotipe, dan resistensi terhadap antibiotik. Oleh sebab itu, masih sangat diperlukan penelitian mengenai epidemiologi S. pneumoniae dari berbagai daerah di Indonesia dengan kelompok usia yang berbeda dan kelompok yang mempunyai resiko tinggi terkena IPD, seperti pasien penderita HIV. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana keanekaragaman serotipe S. pneumoniae pada pasien anakanak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta? 2. Bagaimana sifat resistensi terhadap antibiotik S. pneumoniae pada pasien anak-anak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta?

6 6 3. Bagaimana profil alelik S. pneumoniae yang bersifat multidrug-resistant pada pasien anak-anak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta, apabila ditinjau secara molekular dengan menggunakan metode MLST? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui keanekaragaman serotipe S. pneumoniae pada pasien anakanak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta. 2. Menganalisis sifat resistensi terhadap antibiotik S. pneumoniae pada pasien anak-anak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta. 3. Menentukan profil alelik S. pneumoniae yang bersifat multidrug-resistant pada pasien anak-anak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta, apabila ditinjau secara molekular dengan menggunakan metode MLST. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman serotipe S. pneumoniae pada pasien anak-anak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta, sehingga dapat meningkatkan efektivitas produksi vaksin yang sesuai dengan kondisi populasi Indonesia. 2. Memberikan informasi mengenai resistensi terhadap antibiotik S. pneumoniae sehingga dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi penanganan pasien IPD di Indonesia agar lebih tepat.

7 7 3. Menambah input database mengenai sequence type S. pneumoniae yang banyak dijumpai pada pasien anak-anak dan dewasa yang terinfeksi HIV di Jakarta sehingga turut menyumbangkan informasi untuk perkembangan epidemiologi populasi dan keanekaragaman bakteri S. pneumoniae di Indonesia.