BAB I PENDAHULUAN. Sistem tersebut sangat merugikan kaum perempuan. Di dalam novel TToWH ini,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Sistem tersebut sangat merugikan kaum perempuan. Di dalam novel TToWH ini,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 'I know it is; and I know there is truth and sense in what you say; but you need not fear me, for I not only should think it wrong to marry a man that was deficient in sense or in principle, but I should never be tempted to do it; for I could not like him, if he were ever so handsome and ever so charming in other respects; I should hate him despise him pity him anything but love him. My affections not only ought to be founded on approbation, but they will and must be so: for without approving I cannot love. It is needless to say I ought to be able to respect and honour the man I marry as well as love him, for I cannot love him without. So set your mind at rest (Bronte: P ).' The Tenant of Wildfell Hall menceritakan bentuk usaha seorang perempuan untuk keluar dari sistem sosial yang dianggap normal dalam masyarakat Inggris. Sistem tersebut sangat merugikan kaum perempuan. Di dalam novel TToWH ini, karakter utama perempuan, Helen, berusaha keluar dari sistem tersebut untuk mendapatkan kesataraan antara hak perempuan dan laki-laki. The Tenant of Wildfell Hall adalah novel kedua dan terakhir dari karya penulis Inggris, Anne Brontë. Novel ini diterbitkan pada tahun 1848 di bawah nama samaran Acton Bell. Mungkin yang paling mengejutkan dari novel Bronte ini adalah novel ini memiliki kesuksesan 1

2 fenomenal instan tapi setelah kematian Anne, novel ini dicegah untuk di re-publikasi. Novel ini juga telah dianggap sebagai novel klasik Sastra Inggris. Novel ini dibagi menjadi tiga volume. Pada bagian satu dari novel ini menceritakan tentang seorang janda, Helen Graham dan anaknya,arthur, yang baru tinggal di Wildfell Hall, disebuah rumah tua. Di Wildfell Hall, Helen berkenalan dengan Gilbert Markham, seorang petani muda yang cukup berada disana. Keduanya pun saling suka satu sama lain. Pada satu saat, Gilbert dilanda rasa cemburu karena dia mempercayai rumor yang berkembang bahwa Helen berpacaran dengan temannya Lawrence. Rumor ini sengaja diciptakan oleh Eliza sahabat Gilbert. Oleh sebab itu, satu kesempatan ketika Gilbert ketemu Lawrence diperjalanan, Gilbert memukul Lawrence dengan gagang cambuk, yang menyebabkan dia jatuh dari kudanya dan terluka. Dengan kejadian ini, Helen menolak untuk menikahi Gilbert, tetapi Helen memberi Gilbert buku hariannya dengan tujuan Gilbert tahu siapa Helen sebenarnya. Pada bagian kedua dari novel ini merupakan cerita yang ada di buku harian Helen. Buku harian tersebut menceritakan pernikahannya dengan Arthur Huntingdon. Arthur adalah laki-laki tampan, cerdas, egois, dan manja. Sebelum Helen yang dibesarkan paman dan bibinya menikah dengan Arthur, Helen sempat dijodohkan paman dan bibinya dengan seorang lelaki tua kaya yang patut jadi ayahnya. Helen menolak dan berusaha menyakinkan paman dan bibinya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memilih pasangan hidupnya. Helen berpendapat 2

3 bahwa dia harus mencintai dan menghormati seseorang yang akan menjadi suaminya bukan dijodohkan karena ketampanan dan kekayaan saja. Akhirnya dia menikah dengan seorang laki-laki pilihannya, Arthur. Dia berpikir dengan menikahi pria pilihannya sendiri akan membuat dia bahagia, tetapi kehidupan tidak semulus yang dia pikirkan. Arthur selalu menyakitinya dan dia selalu diperlakukan buruk. Helen ibarat bagai burung didalam sangkar yang tak mampu berbuat apa-apa. Arthur selalu mabuk-mabukan, berpesta pora dan selalu berpergian. Helen merasa kedudukan dia sebagai seorang istri tidak pernah dihargai dan juga pendapatnya tidak pernah didengar. Oleh karena itulah, dia mencoba untuk memperbaiki keadaan tersebut. Dia ingin diperlakukan selayaknya seorang istri atau manusia yang bisa memberikan pendapat pada suami. Seorang suami seharusnya peduli dengan perasaan istrinya, bukan mementingkan dirinya sendiri dengan mabukmabukan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Disamping itu, Arthur juga sangat sewenang-wenang sebagai suami dan Arthur juga punya hubungan khusus dengan perempuan lain, Lady Lowborough. Helen menyadari bahwa kalau dia berusaha untuk keluar dari sistem sosial yang sudah normal dalam masyarakat. Maka hal ini, akan sangat bertentangan dengan aturan yang ada dalam masyarakat. Aturan yang sangat berpegang teguh pada ajaran agama. Ajaran yang mengajarkan seorang istri harus tunduk pada suaminya. Baik agama Protestant dan agama Katolik menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada kedudukan laki-laki. Menurut ajaran-ajaran Marthin Luther dan John Calvin, walaupun pria dan 3

4 perempuan bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, perempuan tidak layak berpergian, perempuan harus tinggal dirumah dan mengatur rumah tangganya. Kitab Injil mengutip ucapan Santo Paulus: "and the head of every woman is man. Let your women be silent in the churches, for it is not permitted unto them to speak". Kitab injil juga mengutip ucapan Santo Petrus: "Ye wives, be in subjection to your own husbands," (para istri hendaknya tunduk kepada suaminya) (Djajanegara S, 2000: 2). Arthur juga dianggap memberikan contoh yang kurang baik bagi anaknya sehingga hal ini yang ingin Helen perbaiki. Menurutnya, tidak selamanya suami selalu benar dan istri harus menurut pada suami. Sebagai suami istri, mereka seharusnya saling bahu membahu dalam mengarungi rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Akhirnya karena tidak tahan dengan kondisi semua ini, Helen kabur dari rumah dengan melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan istri pada masa itu. Dengan kaburnya Helen tanpa seizin suaminya, berarti Helen telah melakukan hal yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada dalam masyarakat inggris waktu itu. Aturan yang tidak membolehkan seorang istri kabur tanpa seizin suaminya. Aturan yang juga tidak membolehkan seorang istri membanting pintu kamar didepan suaminya. Hal ini membuat gempar masyarakat Inggris pada waktu itu. Menurut mereka, Helen sudah melanggar aturan dan norma yang ada dalam masyarakat pada masa Victoria. Di bagian ketiga diceritakan Arthur sakit parah dan Helen terpaksa kembali kerumah suaminya dan akhirnya Arthur meninggal dan Helen menikah dengan Gilbert. 4

5 Dari novel ini, terlihat adanya kompetesi kekuasaan terhadap perebutan sesuatu yang dianggap normal. Disisi yang satu, menganggap bahwa sistem sosial yang telah dikonstruksi oleh norma-norma agama yang sudah ada dan juga nilai-nilai tradisional yang dicetuskan Ratu Victoria. Norma dan nilai-nilai yang mengharuskan perempuan tunduk, patuh, bersikap pasif, pasrah dan rajin mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara domestisitas benar (Djajanegara S, 2000: 5). Disisi yang lain dari novel ini, semua itu merupakan ideologi gender yang bias yang dipandang sangat merugikan kaum perempuan pada era Victoria. Oleh karena itu, dia berusaha melawan dan keluar dari sistem sosial yang dianggap normal tersebut. Atau dengan kata lain karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall berusaha mende-normalisasikan sistem kekuasaan yang ada dalam masyarakat terutama sistem patriarki. Sistem Patriarki, istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Sesuai dengan konsep Foucault tentang kekuasaan, menurutnya: "kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi (Foucault, 2002 : 144). 5

6 Pada uraian tersebut telah dijelaskan bahwa novel ini ditulis oleh Anne Bronte pada era Victoria. Pada era Victoria, perbedaan peranan antara perempuan dan lakilaki masih menjadi suatu hal yang sangat menguntungkan kaum laki-laki. Mereka masih beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki tugas yang berbedabeda. Laki-laki menurut ideal zamannya memiliki fisik yang lebih unggul, rasional dan mendominasi kegiatan sosial. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai subject yang pasif, emosional, dan spiritual. Pada masa ini, kedudukan perempuan diposisikan pada kelompok yang inferior, tidak hanya dijelaskan secara biologis saja tetapi juga tercatat dalam alkitab. Perempuan pada masa ini juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi serta harus taat beragama. Mereka diharapkan untuk dapat membangun suasana rumah tangga yang religius. Di Era ini juga perempuan di tuntut untuk menjadi perempuan ideal yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh masyarakat pada waktu itu. Perempuan sangat tergantung kepada ayah dan suami mereka. Mereka dituntut untuk bisa menjadi putri yang baik, istri yang patuh, dan menjadi ibu yang harus bisa merawat anak- anaknya. Gambaran perempuan yang seperti ini memperlihatkan bagaimana kuatnya sistem patriarki dalam komunitas sosial. Tidak jarang perempuan di era Victoria menjadi depresi karena tekanan-tekanan dan beban yang diberikan di setiap tahap kehidupan mereka. Apapun yang mereka lakukan harus sesuai yang kaum lelaki inginkan walaupun itu salah ( Abrams, 2001:1-5 & Viernes, 21 de enero de 2011). Situasi ini telah berjalan selama berabad-abad dengan posisi relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Artinya jika kaum perempuan sendiri tidak 6

7 menyadari bahwa posisinya berada dalam ketertindasan memang bisa dipahami karena struktur dan kultur patriarkhi yang ditanamkan sangat kuat, sekalipun hal ini sangat tragis. Disini terjadi kekuasaan khas ideologi gender yang bias, yakni menang dengan cara melenyapkan pihak lain. Keberadaan pihak lain dinisbikan karena dialah yang dianggap benar. Dalam situasi seperti itulah, bisa dipahami bagaimana pola relasi yang timpang telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang secara intensif terjadi terus menerus, sepanjang hari dalam praktek kehidupan keluarga. Dengan ayah sebagai posisi kepala keluarga maka ideologi gender seolah dikukuhkan. Akibat ideologi gender ini, membuat relasi perempuan dan laki-laki sulit untuk keluar dari stigma masyarakat. Perempuan pada akhirnya berada dalam posisi dengan subordinat dari dominasi laki-laki. Relasi perempuan dan laki-laki tampak sebagai sebuah relasi yang tidak adil, korup, manipulatif dan bersifat vertikal. Novel ini juga dibuat menjelang abad ke-19 dimana feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian. Pada awalnya, gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamenatalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah merdeka. Biasanya 7

8 mereka itu dari kalangan perempuan karir yang sukses, punya prestasi, punya background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara dengan laki-laki atau perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia (Gamble, 2004) Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi Revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap kaum-kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Women yang isinya dapat meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun , sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki. Mereka juga diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: Gender Inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah 8

9 gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotype, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. (Gamble, 2004) Maka dari itu Anne Bronte (17 Januari Mei 1849) adalah seorang novelis Inggris dan penyair, anggota termuda dari Brontë keluarga sastra. Putri seorang pendeta Irlandia yang miskin di Gereja Inggris, mencoba mengubah pandangan masyarakat Inggris pada waktu itu dengan mencoba menulis sebuah karya berjudul The Tenant of Wildfell Hall, dan dianggap sebagai salah satu novel yang pertama yang membawa ide tentang feminis, muncul pada tahun (debate.org, 2014) Disamping itu juga novel ini merupakan novel yang sangat fenomenal karena banyak dibicarakan dan membuat gempar seluruh Inggris masa Victoria karena ada bagian yang sangat berani dan sangat melanggar konvensi social, dan hukum Inggris seperti yang penulis baca disebuah artikel yang ditulis Mei Sinclair pada tahun Dari uraian diatas, membuat penulis untuk lebih dalam lagi menganalisa novel ini, karena novel ini tidak hanya membawa ide feminisme saja tapi dianggap juga novel klasik sastra inggris yang sangat fenomenal. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di latar belakang masalah diatas, terlihat jelas bahwa pada zaman Victoria terdapat nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang sangat kuat yang 9

10 mengharuskan perempuan harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan kaum lakilaki. Sehingga hal ini sangat merugikan kaum perempuan. Namun didalam novel karya Anne Bronte, ada karakter utama perempuan yang mencoba untuk keluar atau mendobrak sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa itu, sehingga penulis tertarik untuk menganalisa novel tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk-bentuk de-normalisasi kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan yang terjadi dalam novel The Tenant of Wildfell Hall? 2. Mengapa pengarang mencoba menjelaskan de-normalisasi kekuasaan lewat novel The Tenant of Wildfell Hall? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang direncanakan. Penelitian ini memiliki tujuan teoritis untuk mengungkapkan bentuk De-Normalisasi kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengungkapkan mengapa pengarang, Anne Bronte mencoba menjelaskan de-normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa Victoria. Sedangkan tujuan praktis dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini nantinya diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa, pengajar, peneliti dan pembaca tentang feminisme. 10

11 1.4 Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka, penulis mencoba mencari penelitian yang terdahulu yang menggangkat novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte, dan setelah penulis mencoba mencari penelitian terdahulu, penulis menemukan beberapa penelitian yang menggangkat novel ini sepanjang pengetahuan penulis diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, M.Rizal (2007) telah menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall, thesisnya berjudul Main Female Character Domination to Be Independent in Anne Bronte's The Tenant Of Wildfell Hall. Dalam analisanya menyatakan bahwa novel ini merupakan novel yang sangat penting dan bagus pada zaman Victoria dan yang layak mendapatkan perhatian khusus sebagai sebuah karya fiksi. Dalam analisisnya, M. Rizal menyatakan bahwa novel Anne Bronte ini mengandung ide-ide feminisme yang digambarkan dalam karakter Helen, Helen mewakili karakter perempuan dalam novel ini. Dia ingin menyampaikan pesan bahwa seharusnya ada kebebasan setiap perempuan untuk menentukan seorang laki-laki yang ingin dia nikahi. Dia menyatakan bahwa seharusnya tidak ada ikatan pernikahan (Wedlock) karena setiap orang-perempuan-mempunyai hak untuk memilih seseorang untuk dicintai dan mencintai. Kedua, Rebecca Lynn Lupold, University of Montana Missoula USA (2008) telah menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall dalam thesisnya berjudul Dwelling and The Woman Artist in Anne Bronte's The Tenant of Wildfell Hall. Dalam thesisnya, Lupold menggunakan teori Heidegger tentang konsep Dwelling untuk 11

12 menganalisa bagaimana lingkungan dan spaces rumah yang nyaman buat Helen untuk mengembangkan karir keartisannya sebagai pelukis di Wildfell Hall dan Grassdale, dan mampu menghidupi dia dan anaknya dari keartisannya. Serta menganalisa hubungannya dengan Albert yang mampu memberikan dwelling yang diinginkan, beda halnya dengan Arthur suaminya Helen. Lupold menganalisa novel ini per volume dari volume 1 sampai volume 3. Ketiga, Miftakhul Maarif (2010) dengan judul thesisnya Woman's struggle against Gender inequality in The Tenant of Wildfell Hall by Anne Bronte. Dalam thesisnya, Miftakhul Maarif menggunakan kritik sastra feminis untuk menganalisa karakter utama khususnya karakter perempuan dalam novel Anne Bronte. Analisanya mengambil pandangan tentang feminisme yang menghadirkan masalah perjuangan perempuan terhadap ketimpangan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Fokus utamanya pada posisi dan peranan karakter perempuan yang ditempatkan inferior atau di marginalkan oleh kaum laki-laki. Penelitian berikutnya dilakukan oleh peneliti dari University of Findlay, Nicole A. Diederich (2013) dengan judul penelitian The Art of Comparison: Remarriage in Anne Brontë's The Tenant of Wildfell Hall, dipenelitian ini, Diederich mengatakan bahwa novel ini merupakan novel yang membawa ide-ide tentang feminisme dan merupakan sebuah kritik terhadap hubungan kojugal yang sangat merugikan kaum perempuan pada zaman victoria. Perempuan zaman Victoria, ketika mereka diikat oleh sistem perkawinan mereka harus tunduk dan patuh kepada suami 12

13 mereka dan tugas mereka hanya mengurus rumah tangga, suami dan merawat anakanak mereka tanpa bisa memikirkan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Hukum perkawinan di abad ke-19, Inggris membatasi peluang perempuan untuk bercerai, untuk mempertahankan hak asuh anak, dan untuk menjaga semua properti mereka setelah menikah. Demikian halnya yang terjadi pada karakter utama perempuan pada novel karya Anne Bronte. Didalam novel ini, Helen sebagai seorang seniman khususnya pelukis ketika menikah dengan Arthur Huntingdon, semua urusan Helen sebagai seorang seniman dihambat oleh suaminya sendiri. Helen tidak bisa mengembangkan karir keartisan, dia hanya bisa melakukan urusan rumah tangganya sebagai seorang istri yang tunduk pada kemauan suaminya dan merawatnya. Hal ini berbeda dengan ketika Helen berhubungan dengan seorang pemuda di Wildfell Hall, Gilbert Markham. Gilbert sangat menghargai hubungan perkawinan dan menghargai seorang istrinya untuk mengembangkan karir dan kemampuannya sebagai seorang artis, pelukis dan Gilbert berusaha memberikan dukungan untuk Helen untuk mengembangkan kemampuannya dan Gilbert akhirnya menjadi suami kedua Helen ketika Arthur suami pertama Helen meninggal dan seluruh harta jatuh ketangan Helen dan Helen juga membawa anaknya dalam pelarian ke Wildfell Hall. Selanjutnya, penelitian akan novelnya karya Anne Bronte yang kedua ini dilakukan oleh Çağla Narter (2014) berjudul Anne Bronte's "The Tenant of Wildfell Hall": An Opposition To The Patriarchal Society of The 19th Century Britain. Pada jurnal ini Narter mengatakan bahwa novel ini dengan beraninya pengarang 13

14 melakukan sebuah protes bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dan pengarang begitu berani melakukan perlawanan terhadap sistem patriarkhi yang didominasi oleh kaum lelaki. The Tenant adalah sebuah karya seni yang sangat penting yang mengandung benih feminisme, Sastra Era Victorian oleh Anne Bronte yang menginterogasi peran gender, menolak tunduk pada dominasi lakilaki, dan pemodelan kekuatan seorang perempuan muda untuk membebaskan diri dari batas-batas yang menghubungkan kepada suaminya. Pertanyaan tentang peran gender yang bekerja melalui argumen antara Helen dan Gilbert dalam novel. Jadi dari kelima penelitian tersebut diatas, penulis ingin menggangkat tentang bagaimana karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte melakukan De-Normalisasikan sistem sosial yang sudah normal dari sistem patriakhi yang ada dalam masyarakat zaman victoria. Penulis menggunakan konsepnya Michel foucault tentang kekuasaan (normalisasi) yang belum pernah diterapkan dalam novel ini dan penelitian sebelomnya sepanjang pengetahuan penulis. 1.5 Landasan Teori Tidak dapat dipungkiri bahwa penciptaan karya sastra merupakan tiruan dari kenyataan yang ada dalam kehidupan. Hal ini juga ditegaskan oleh Teeuw bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (1990:11) sehingga sastra sebagai fiksi, 14

15 memungkinkan adanya fakta-fakta di dalamnya. Fakta- fakta social budaya inilah yang kemudian menjadi background seorang pengarang dalam proses kreatifnya. Demikian halnya Kleden (2004:8-9) mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan kebudayaan tempat karya itu dihasilkan, walaupun seorang pengarang telah dengan sengaja mengambil jarak dan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah yang menglingkupi. Oleh karena itulah, dalam telaah sastra, tentunya tidak dapat diabaikan peranan teori sastra, karena teori sastra memiliki sifat-sifat yang terdapat dalam teksteks sastra (Jan van Luxemburg, 1984:2). Sifat -sifat tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari analisis sastra baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Adanya penguasaaun teori sastra akan mengarahkan seorang penelaah sastra untuk lebih sistematik dalam menguraikan teks sastra yang dibacanya. Untuk mengerti, memahami, dan menilai teks sastra memang tidak hanya bergantung pada teori sastra. Persoalan-persoalan yang terdapat diluar teks seperti politik, agama, budaya, psikologi, ekonomi seringkali merupakan dasar bangunan karya sastra yang diciptakan pengarang. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa teks sastra sebenarnya merupakan karya yang amat kompleks, karena sastra juga merupakan refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada. Karena itu, mempelajari teks sastra secara sistematik, penelaah sastra tidak saja dituntut untuk menguasai teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu lainnya seperti 15

16 filsafat, sosiologi, psikologi, agama, politik, dan sebagainya (Fananie Zainuddin, 2002:2-3). Oleh karena itu, dalam landasan teori, penulis menggunakan teori Michel Foucault tentang kekuasaan seperti yang penulis singgung dalam latar belakang. Banyak konsep-konsep dari Foucault yang digunakan dalam dunia sastra. Yang pertama, konsep Foucault digunakan dalam New Historicism (NH). NH adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. NH ini digunakan pertama kali oleh Stephen Greenbatt dalam mendefiniskan kebudayaan dalam kajian NH, dan juga dalam pengantar edisi Jurnal Genre Aspek politis dan ideologis yang bermain dalam produk-produk budaya, tidak bias tidak terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tantanan masyarakat. Dalam hal ini, kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault (Budianto 2006:7). Kedua, Judith Butler dalam bukunya Gender Trouble, banyak menggunakan konsep relasi kuasa Foucault dalam memaparkan konsep Gendernya. In this paper I will critique JudithButler s recent views on gender, which I will argue, fail to be a convincing synthesis offreudian and Foucauldian views. In The Psychic Life of Power (1997a), Butler writesabout gender not only to deconstruct other modern theories of gender, subjectivity andthe self, but to present her own, arguably modernist, theory of gender based on anamalgam of Freud and Foucault (P.1). Kutipan penulis kutipan dari jurnal Ann Ferguson yang berjudul Butler, Subjectivity, Sex/Gender, and a Postmodern Theory of Gender. Jadi 16

17 dari dua uraian diatas, sangat beralasan kalau penulis menggunakan konsep Foucault dalam penelitian yang penulis angkat dalam tesis ini. Ulasan tentang kekuasaan seolah-olah tidak pernah absen dari diskusi dan perdebatan manusia sepanjang masa. Foucault adalah tokoh yang terkenal dalam feminisme, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Foucault adalah ia menjadikan ilmu pengetahuan dominasi yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian dipaksakan untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminisme dan ini erat kaitan dengan objek formal yang akan penulis teliti, yakni tentang de-normalisasi sistem kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novelnya The Tenant of Wildfell Hall. Jika berbicara mengenai kekuasaan merupakan satu hal menarik yang tidak pernah selesai dibahas. Hal ini telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dan terus berlangsung sampai zaman ini. Para filsuf klasik pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan. Kuasa adalah konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Baginya kuasa tidaklah represif dan negatif, kuasa lebih merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja dengan apa yang 17

18 disebutnya sebagai regulasi dan normalisasi. Pemikirannya mengenai kuasa, sering kali disebut sebagai kritik paling tajam terhadap Marxisme. Berbeda dengan Marx, Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik melainkan strategi. Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimana-mana, kuasa tidak selalu bekerja melalu penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Terakhir, kuasa tidaklah bersifat destruktif melainkan produktif. Konsep kekuasaan Foucault dipengaruhi oleh Nietzsche. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan untuk negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhi. Menurut Foucault kekuasaan adalah suatu dimensi dari relasi. Menurut pendapat Foucault, kehendak untuk kebenaran sama dengan kehendak untuk berkuasa. Peradaban Foucault melukiskan bagaimana kegilaan itu didefinisikan dari berbagai kelompok yang mendominan pada masa tertentu. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menguraikan konsep kekuasaan Michel Foucault berdasarkan beberapa karya utama yang ia tulis semasa hidupnya. Ada beberapa hal yang akan penulis tulis dalam mengkonsepkan tentang kekuasaan dari pemikiran Michel Foucault: Normalisasi, Konsep Kekuasaan, dan De-normalisasi Kekuasaan. Penulis juga akan menguraikan definisi dari ideologi. Karena di BAB III, penulis akan menguraikan analisa tentang ideologi pengarang. 18

19 1.5.1 Definisi Konsep Kekuasaan Kalau bicara tentang kekuasaan, banyak sekali orang-orang mendefinisikan kekuasaan itu seperti apa. Berikut ini, penulis mencoba memberikan pengertian tentang kekuasaan menurut beberapa para ahli. Weber (dalam Rafael, 2001:190) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain untuk berprilaku sesusai kehendaknya. Kekuasaan adalah salah satu jenis-jenis intreaksi sosial, namun jelas sekali adanya perbedaan-perbedaan penting diantara tipe-tipe kekuasaan yang dijalankan manusia. Menurut Weber (dalam Rafael, 2001:191) kekuasan akrab dengan istilah coercion, (paksaan). Kerap kali mereka atau seseorang menggunakan tipe kekuasaan yang memiliki pengaruh. Memperoleh pengaruh bisa didapat dari kekayaan, popularitas, daya tarik, pengetahuan, keyakinan, atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orangorang disekitar. Konsep kekuasaan merujuk kepada kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu (Budiardjo, 2000:35). Dengan demikan konsep kekuasaan itu sangat luas, karena setiap manusia pada hakikatnya merupakan subyek dan sekaligus sebagai obyek kekuasaan. Dalam konteks perilaku organisasi, John R. Schemerhorn et.al. mendefinisikan kekuasaan sebagai...kemampuan yang mampu membuat orang melakukan apa yang kita ingin atau kemampuan untuk membuat hal menjadi 19

20 kenyataan menurut cara yang kita inginkan (Schemerh orn,et all, 2002:173). Kekuasaan biasanya dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, di mana kepemimpinan merupakan mekanisme kunci dari kekuasaanguna memungkinkan suatu hal terjadi. Richard L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di dalam organisasi sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat dirasakan. Daft kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan potensial seseorang (atau departemen) untuk mempengaruhi orang (atau departemen) lain untuk menjalankan perintah atau melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak. Daft menyebut definisi lain dari kekuasaan yang lebih menekankan pemahaman bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk meraih tujuan atau hasil sebagaimana dikehendaki pemegang kekuasaan. Pencapaian hasil yang dikehendaki adalah dasar utama dari definisi kekuasaan. Definisi kekuasaan dari Daft sendiri adalah... the ability of one person or department in an organization to influence other people to bring about desired outcomes. Kekuasaan berpotensi untuk mempengaruhi orang lain dalam organisasi dengan sasaran memperoleh hasil yang dikehendaki para pemegang kekuasaan (Daft, 2010:497). Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Kuasa bukan milik seorang kepala negara, yang diperolehnya dari rakyat, dan bisa begitu saja ia delegasikan kepada mentri-mentrinya. Sehabis masa jabatannya, habis pula kuasa yang ada padanya. Kuasa dalam pandangan Foucault tidaklah demikian, baginya kuasa dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara 20

21 strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran (Bertens, K: 2001 P.354). Kuasa oleh karenanya menjadi sangat cair, setiap orang berpotensi memilikinya. Tidak hanya orang-orang dalam jabatan struktural, kuasa juga bekerja bahkan pada level terkecil. Oleh karenanya secara sekaligus kuasa tidak dapat dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia lebih merupakan relasi diantara subjek. Kuasa tidak berbentuk negara ataupun organisasi. Foucault lebih melihat kuasa sebagai efek, seperti halnya angin yang tidak tampak langsung, namun dapat dirasakan akibatnya. Jadi dari beberapa definisi kekuasaan diatas, penulis menilai bahwa kekuasaan yang didefinisikan tersebut lebih bersifat memaksakan suatu kehendak terhadap orang yang dikuasai. Atau dengan kata lain, bagaimana kemauan seseorang dapat di ikuti orang lain serta mempengaruhinya, sehingga penulis menilai definisi kekuasaan seperti itu bersifat sebagai suatu yang negative dan destruktif. Penulis lebih cendrung setuju dengan definisi kekuasaan menurut Foucault bahwa kuasa itu tersebar dimanamana, atau bersifat cair, berarti setiap orang hanya bisa mempraktekannya. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa kuasa yang terbesar, ditangan orang-orang yang memiliki modal yang lebih dari semua orang. Modal berupa kekayaan yang lebih banyak dan juga modal pengetahuan yang lebih luas sehingga mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan dalam memenuhi keinganan mereka. Disamping itu juga, Kritik Foucault terhadap kuasa dalam terminologi Marxis, tidak hanya pada bagimana kuasa bekerja. Akan tetapi juga pada penilaian 21

22 terhadap kuasa. Foucault tidak pernah menganggap kuasa sebagai sesuatu yang negatif dan destruktif, seperti yang selama ini diandaikan oleh para pemikir Marxis. Baginya kuasa bersifat produktif, kuasa selalu merangsang lahirnya pengetahuan baru. Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan. Aturan yang menabukan perempuan untuk berbicara mengenai sex, adalah salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari ekslusi terhadap perempuan yang berbicara sex secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan perempuan baikbaik. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi. Pembicaraan kuasa dalam pengertian Foucault, mau tidak mau akan menyeret pada apa yang disebut Foucault sebagai pengetahuan. Bagi Foucault, hubungan pengetahuan dengan kekuasaan selalu bersitegang, bersilangan, terkadang malah identik. Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah lebih jauh dari itu, baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran 22

23 akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu (Haryatmoko, 2003: 225). Foucault kemudian melanjutkan analisanya mengenai kuasa dengan mengatakan bahwasanya sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan. Apa yang dimaksud Foucault dengan tubuh dan kepatuhan sebagai sasaran kekuasaan dapat dilihat dalam bukunya Discipline and Punish. Dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Seperti yang ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi kuasa agama dan negara menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka mengatur populasi dan distribusi kekayaan. Kendati demikian, subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan. 23

24 1.5.2 Normalisasi Dalam jurnal research online yang berjudul Retooling the Corporate Brand: A Foucauldian perspective on Normalization and differentiation karya S. R. Leitch (2007: 8) menjelaskan bahwa "Normalization was a central theme within Foucault s work, much of which focused on the creation of institutions to accommodate those who were deemed abnormal and who therefore should be excluded from society. The insane, the criminal, the sexually deviant and the unhealthy, along with the asylums, prisons, legal systems and sanatoriums created to identify and isolate them from normal citizens, were all the subjects of major works by Foucault. He did not single these systems out because of their prominence within society but because of what he saw as their centrality to the relations of power underpinning society. He stated that: To put it very simply, psychiatric internment, the mental normalisation of individuals, and penal institutions have no doubt a fairly limited importance if one is only looking for their economic significance. On the other hand, they are undoubtedly essential to the general functioning of the wheels of power.'' Dari kutipan diatas, normalisasi merupakan suatu proses penciptaan ide-ide untuk menampung orang-orang yang dianggap tidak normal (abnormal) dalam masyarakat, seperti orang gila, penjahat dan orang yang menyimpang secara seksual dan tidak sehat kedalam sebuah wadah lembaga. Wadah yang merupakan hasil karya Foucault seperti rumah sakit, penjara, sistem hukum dan sanatorium, yang diciptakan untuk mengidentifikasi dan mengisolasi mereka dari warga biasa. Hal ini bukan 24

25 merupakan sistem kekuasaan tunggal, sistem karena keunggulan mereka dalam masyarakat sebagai hubungan pondasi kekuasaan dalam masyarakat dan juga dianggap penting untuk fungsi umum roda kekuasaan. Disamping itu juga S. R. Leitch menjelaskan Foucault melihat normalisasi sebagai proses yang tidak hanya bertugas untuk menandai mayoritas 'kami' dari minoritas 'mereka' tapi keberadaan mereka untuk mendukung hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Melalui karyanya tentang normalisasi, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling konstitutif. Ia menentang pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, pandangan yang melihat pengetahuan sebagai sumber daya yang langka yang diberikan kekuasaan pada orang-orang yang memilikinya. Sebaliknya, Foucault berpendapat bahwa "pelaksanaan kekuasaan terus-menerus menciptakan pengetahuan dan, sebaliknya, pengetahuan terus-menerus menyebabkan efek pada kekuasaan." Pengetahuan adalah yang menciptakan kekuasaan dan membuat kekuasaan untuk berkreasi seperti yang terlihat pada kutipan dibawah ini: Foucault saw normalization as a process that not only served to mark out the majority of us from the minority of them but which existed to support the power relations of society. Through his work on normalization, Foucault came to the view that power and knowledge were mutually constitutive. He challenged the accepted view that knowledge was power, a view which saw knowledge as a scarce resource that conferred power on those who possessed it. In contrast, Foucault argued that The exercise of power perpetually creates knowledge and, conversely, knowledge constantly induces effects of power. Knowledge was, then, both a creator of power and a creation of power. (Leitch. S. R, 2007: 9) 25

26 Dari kutipan diatas, dijelaskan Normalisasi mengacu pada proses-proses sosial melalui ide-ide dan tindakan yang terlihat sebagai "sesuatu yang normal" dan dijadikan sebagai granted atau 'yang bersifat alami' untuk mengontrol masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Konsep normalisasi ditemukan dalam karya Michel Foucault, terutama Discipline and Punish, dalam konteks disiplin kekuasaan. Foucault menggunakan istilah normalisasi untuk menciptakan sebuah norma yang ideal dari perilaku-misalnya seorang prajurit ideal harus berdiri tegap, memiliki perawakan gagah, berdada lebar, berperut ramping, dan selalu berjalan dengan langkah-langkah yang tegap. Dengan kata lain, Foucault menjelaskan bahwa normalisasi adalah salah satu dari sebuah strategi untuk mengerakkan kontrol sosial secara maksimum dengan kekuatan minimum, yang Foucault sebut dengan "disiplin kekuasaan". Daya Disiplin muncul selama abad ke-19, datang untuk digunakan secara luas di barak militer, rumah sakit, panti-panti, sekolah, pabrik, kantor, dan sebagainya. Oleh karenanya semua itu menjadi aspek penting dari struktur sosial dalam masyarakat modern Didalam bukunya Foucault tentang Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan yang diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat (1997:4) dijelaskan bahwa represi, sejak zaman klasik, merupakan dasar sesungguhnya yang menghubungkan dengan kekuasaan, pengetahuan, dan seksualitas, namun tidak semudah itu membebaskan diri darinya. Kita harus membayar mahal, dengan melanggar hukum, menanggalkan berbagai hal yang tabu, menggunakan kata-kata, membiarkan seksual tampil kembali 26

27 dalam kenyataan, dan terutama menyusun kembali ekonomi kekuasaan yang baru sama sekali, karena setiap letusan kebenaran terkait pada kondisi politik...maka konformisme Freud diserang. Psikoanalisis dituduh sebagai alat normalisasi. Jadi dari tiga uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa normalisasi mengandung arti sebuah proses melalui ide-ide atau tindakan yang normal dan abnormal yang berhubungan dengan kekuasaan yang bekerja lewat regulasi dan normalisasi. Lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan dan adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya berupa hukuman bahkan sampai pada kematian yang ditampung dalam suatu wadah lembaga. Kekuasaan tersebut juga tidak terlepas dari pengetahuan. Disisi lain, normalisasi merupakan hukuman disiplin dan hal ini berlawanan dengan hukuman pengadilan yang mengacu pada sejumlah badan hukum yang harus dihapal. Jadi norma muncul melalui disiplin-disiplin. Normalisasi menjadi perangkat kuasa seperti pemantauan. Kuasa normalisasi menghasilkan keserupaan tetapi normalisasi juga mengindividualisasikan individu dengan menciptakan jarak yang membatasi, menentukan tingkat, menentukan spesialisasi dan mengubah perbedaan menjadi berguna dengan membuat cocok yang satu terhadap yang lain. Dalam bentuk aturan norma berfungsi menampilkan seluruh bayangan perbedaan individual didalam sistem kesamaan formal.(foucault, 1997:98) 27

28 1.5.3 De-Normalisasi Kata De- penulis pinjam dari istilah de-institusional (lepas dari kelembagaan) dalam buku karya Foucault disiplin tubuh (1997: 115), sehingga pengertian De - normalisasi berarti lepas dari normalisasi. Kata normalisasi yang telah penulis jelaskan sebelumnya, mengandung pengertian yakni sebuah proses melalui ide-ide atau tindakan yang normal dan abnormal yang berhubungan dengan kekuasaan yang bekerja lewat regulasi dan normalisasi. Lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan dan adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya berupa hukuman. Kekuasaan tersebut juga tidak terlepas dari pengetahuan. Seperti yang telah penulis uraikan diatas bahwa Foucault menjelaskan kuasa dan pengetahuan saling berkaitan erat satu sama lain. Dia meninggalkan anggapan lama yang memandang bahwa pengetahuan hanya berkembang diluar wilayah kekuasaan. Menurut Foucault, antara kekuasaan dan pengetahuan justru terdapat relasi yang saling memperkembangkan. Tidak ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang didalamnya tidak mengandung relasi kuasa. (Foucault, 1997:30) Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini, penulis akan mengacu pada bentuk-bentuk usaha karakter utama perempuan dalam mendobrak sistem kekuasaan yang telah dianggap normal pada masa Victoria. Penulis juga akan menguraikan tujuan pengarang dalam menjelaskan de-normalisasi dari sistem kekuasaan tersebut dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte. 28

29 Penulis dalam ini menggunakan konsep normalisasi dan kekuasaan yang diusung oleh Foucault untuk memperoleh kebebasan dan jauh dari segala bentuk penindasan. Pada uraikan tersebut sudah dijelaskan bahwa dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Seperti yang ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi kuasa agama dan negara menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka mengatur populasi dan distribusi kekayaan. Namun, subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan. Didalam novel ini, Helen mencoba untuk melawan atau mendobrak sistem kekuasaan yang sangat kuat dan dianggap normal pada masa Victoria. Sistem yang menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada kekuasaan laki-laki. Karena Helen seorang pelukis maka secara tidak langsung dia memiliki relasi kuasa untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang mendominasi dirinya. Atau dengan kata lain, Helen melakukan De- Normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa itu. Helen mempunyai hak untuk diperlakukan selayaknya manusia dan menentukan nasibnya 29

30 untuk diperlakukan sama dengan laki-laki; dalam menentukan jodohnya, sebagai seorang istri yang ingin diperlakukan selayaknya seorang istri dan seorang ibu yang mempunyai hak yang sama dalam mendidik anaknya. Helen adalah seorang artis dalam hal ini pelukis yang otomatis punya pengetahuan untuk menentukan nasibnya sendiri dan berkuasa pada dirinya sendiri, namun tidak terlepas dari kodratnya sebagai perempuan Konsep Dan Pengertian Ideologi Arti Kata Ideologi Kata Ideologi berasal dari bahasa Yunani yakni idea dan logos, yang artinya gagasan atau ide dan ilmu atau pengetahuan. Sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu dan pengetahuan tentang gagasan atau ide manusia. Perlu diketahui bahwa defenisi ideologi sendiri sangat beragam dan nampaknya agak sulit untuk menentukan satu konsep tunggal. Akar kata ideology dapat dilacak dalam pemikiran tokoh klasik seperti Plato. Walaupun tidak secara implisit berbicara tentang ideologi, pemikiran Plato tentang dunia idea dapat disetarakan dengan konsep ideologi. Dunia idea merupakan sebuah gambaran tentang konsep ideal yang diingikan manusia dalam kehidupannya. Kerangka pemikiran Plato berangkat dari konsep tentang kebenaran sejati, yang masuk bersama pengetahuan melalui jiwa. Sedangkan badan merupakan sesuatu 30

31 yang bersifat fana, dan hancur bersama hancurnya materi, berbeda dengan idea atau pengetahuan ia bersifat abadi. Selanjutnya, istilah ideologi secara ilmiah, digunakan pertama kali oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Destutt de Tracy mengatakan bahwa ideologi adalah studi terhadap ide ide atau pemikiran tertentu. Sementara, Descartes mengatakan ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia ; inilah yang disebut dengan ideologi dalam pengertian. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan yang dirumuskan melalui proses berpikir untuk melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan manusia Pengertian Ideologi Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita-cita yang mereka inginkan. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati dan diresapi menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya. Secara etimologis (asal -usul bahasa) ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang mempelajari asal-usul ide. Ada pula yang menyatakan ideologi sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama ataupun politik. 31

32 Machiavelli menyebutkan ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Thomas Hobbes, mengatakan ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. Francis Bacon mendefisikan ideologi sebagai sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Karl Marx mengatakan ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Napoleon bahkan menyebutkan ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival rivalnya. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan yang dirumuskan melalui proses berpikir untuk melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan manusia. Tujuan utama dibalik ideologi adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran yang normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik, sehingga membuat konsep ideologi dapat dianggap menjadi inti politik. Secara implisit, setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. 32

33 Karl Marx mengartikan Ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup. Ramlan Surbakti mengemukakan ada dua pengertian Ideologi yaitu Ideologi secara fungsional dan Ideologi secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Ideologi secara fungsional ini digolongkan menjadi dua tipe, yaitu Ideologi yang doktriner dan Ideologi yang pragmatis. Ideologi yang doktriner bilamana ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi itu dirumuskan secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Sebagai contohnya adalah komunisme. Sedangkan Ideologi yang pragmatis, apabila ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan secara umum hanya prinsip-prinsipnya, dan Ideologi itu disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, system ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Di dalam feminisme, ideologi mengajarkan seseorang untuk menciptakan persamaan hak antara pria dan wanita dengan cara pemerataan dan kesetaraan gender. 33

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan BAB IV KESIMPULAN Secara formal, Era Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901 dibawah pimpinan Ratu Victoria. Era Victoria yang terkenal dengan Revolusi industri dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan. Seorang perempuan berlaku lemah lembut dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu sama lain, yakni sebagai media informasi, media pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

2015 PERANAN ALICE PAUL DALAM MEMPEROLEH HAK SUARA BAGI WANITA DI AMERIKA SERIKAT

2015 PERANAN ALICE PAUL DALAM MEMPEROLEH HAK SUARA BAGI WANITA DI AMERIKA SERIKAT BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi ini, yang berjudul Peranan Alice Paul Dalam MemperolehHak Suara Bagi Wanita Di Amerika Serikat. Kesimpulan ini merujuk pada jawaban

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui berbagai kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai lingkungan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya.

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

Para Filsuf [sebahagian kecil contoh] Oleh Benny Ridwan

Para Filsuf [sebahagian kecil contoh] Oleh Benny Ridwan Para Filsuf [sebahagian kecil contoh] Oleh Benny Ridwan 1 Socrates adalah filsuf Yunani. Ia sangat berpengaruh dan mengubah jalan pikiran filosofis barat melalui muridnya yang paling terkenal, Plato. Socrates

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian dari kehidupan masyarakat. Governess adalah sebuah profesi yang biasanya dikerjakan oleh wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, media massa sudah menjadi kebutuhan penting bagi khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media massa adalah perpanjangan alat indra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian terhadap perempuan dalam roman Au Bonheur des Dames karya Émile Zola yang diambil sebagai objek penelitian ini memiliki beberapa implikasi.

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA Disusun Oleh: Nama : Heruadhi Cahyono Nim : 11.02.7917 Dosen : Drs. Khalis Purwanto, MM STIMIK AMIKOM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreatif penulis yang berisi potret kehidupan manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dinikmati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan menjadi salah satu objek pembahasan yang menarik di dalam karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi ikon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan karya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Novel Surga Yang Tak Dirindukan adalah karya Asma Nadia. Penelitian ini memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia Kajian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Shuji dalam Olson (2006: 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang (Faruk, 2010: 44). Karya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang (Faruk, 2010: 44). Karya digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang (Faruk, 2010: 44). Karya sastra berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara nyata atau

Lebih terperinci

Matematika Pernikahan

Matematika Pernikahan Matematika Pernikahan Pernikahan adalah karunia terpenting yang diberikan kepada umat manusia selama seminggu masa Penciptaan. Setelah menciptakan dunia yang sempurna, dilengkapi dengan segala yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penulis melakukan telaah kepustakaan yang berhubungan dengan PDH dengan menelusuri penelitian sebelumnya. Telaah pustaka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini.

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini. BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak kandungnya ditengah-tengah masyarakat dianggap tidak lazim oleh mereka. Keretakan dalam hubungan rumah tangga sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang yang kemudian lahir sebuah karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat. Kehidupan sosial, kehidupan individu, hingga keadaan psikologi tokoh tergambar

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada dasarnya setiap orang memiliki suatu gambaran tentang keluarga dan keluarga harmonis. Keluarga merupakan sistem sosial dari hubungan utama, yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada BAB IV KESIMPULAN Mansfield Park dan Kalau Tak Untung merupakan novel yang mengandung unsur sosial historis yang kuat, terutama menyangkut kedudukan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dan posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BEBERAPA PENDEKATAN PENGKAJIAN SASTRA. Hartono, M. Hum. PBSI FBS UNY

BEBERAPA PENDEKATAN PENGKAJIAN SASTRA. Hartono, M. Hum. PBSI FBS UNY BEBERAPA PENDEKATAN PENGKAJIAN SASTRA Hartono, M. Hum. PBSI FBS UNY Mengapa Pendekatan Pengkajian Sastra selalu Berkembang? 2 1. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis. Kondisikondisi

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX BAB 4 KESIMPULAN Berdasarkan teori yang sudah dipaparkan dalam bab dua dan analisis yang telah dilakukan dalam bab tiga, maka kesimpulan dari skripsi yang berjudul Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada semua masyarakat (Chamamah-Soeratno dalam Jabrohim, 2003:9). Karya sastra merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki

BAB II LANDASAN TEORI. terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Feminisme 2.1.1 Sejarah feminisme Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang memiliki perkembangan

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan bahan acuan yang dipakai dalam penelitian sekaligus sumber ide untuk menggali pemikiran dan gagasan baru. Kajian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI Disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat Mencapai gelar Sarjana

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7

2.2 Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara...7 DAFTAR ISI COVER DAFTAR ISI...1 BAB 1 PENDAHULUAN...2 1.1 Latar Belakang Masalah...2 1.2 Rumusan Masalah...2 1.3 Tujuan Penulisan...3 BAB 2 PEMBAHASAN...4 2.1 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional Bangsa...4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

INTISARI BAB I PENDAHULUAN

INTISARI BAB I PENDAHULUAN INTISARI Novel teenlit menjadi fenomena menarik dalam perkembangan dunia fiksi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan semakin bertambahnya novel-novel teenlit yang beredar di pasaran. Tidak sedikit pula

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tentang perempuan pada saat ini masih menjadi perbincangan yang aktual dan tidak ada habisnya. Permasalahan berkaitan dengan perempuan seperti yang

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.1.1 Struktur Naskah Pertja Objek penelitian yang digunakan dalam kajian skripsi ini adalah naskah drama yang berjudul Pertja karya Benjon atau Benny Yohanes. Lakon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra hadir sebagai wujud nyata hasil imajinasi dari seorang penulis. Penciptaan suatu karya sastra bermula dari pengalaman batin pengarang yang dikontruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan

I. PENDAHULUAN. perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Membicarakan masalah perempuan tidak ada habisnya, sejak dulu wacana tentang perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan dalam televisi senantiasa hanya mempertentangkan antara wanita karir dan menjadi ibu-ibu rumah tangga. Dua posisi ini ada didalam lokasi yang berseberangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura.

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra adalah rekaan, sebagai terjemahan fiksi secara etimologis, fiksi berasal dari akar kata fingere (Latin) yang berarti berpurapura. Dalam novel baik pengarang

Lebih terperinci

RADIKALISME AGAMA (Suatu Pendekatan Sosiologi) Oleh: Abu Hapsin, Ph.D.

RADIKALISME AGAMA (Suatu Pendekatan Sosiologi) Oleh: Abu Hapsin, Ph.D. RADIKALISME AGAMA (Suatu Pendekatan Sosiologi) Oleh: Abu Hapsin, Ph.D. Ilmu Sosial: agama sebagai fakta sosial yang memiliki banyak dimensi. Antropologi: banyak prilaku keagamaan yang berasal dari proses

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran mental dari objek atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran mental dari objek atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah rancangan atau buram surat; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari

BAB I PENDAHULUAN. pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Karya sastra merupakan salah satu sarana untuk mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan. Sastra merupakan hasil cipta kreatif dari seorang pengarang, lahir melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang perjuangan seorang perempuan yang ingin memperjuangkan perempuan lain, agar mendapatkan haknya. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini banyak terjadi pergeseran peran atau kedudukan antara lakilaki dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi semata-mata

Lebih terperinci

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. POLITIK HUKUM BAB I TENTANG PERSPEKTIF POLITIK HUKUM OLEH: Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. Politik Hukum Secara filosofis, berbicara hukum, berarti berbicara tentang pengaturan keadilan, serta memastikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut akan senantiasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat lebih dari 200% (persen) dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebagian besar

Lebih terperinci

Suami & Istri Nikmati-lah Hubungan Anda

Suami & Istri Nikmati-lah Hubungan Anda Suami & Istri Nikmati-lah Hubungan Anda Eph 5:22-27 22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23 karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah

Lebih terperinci