BAB II KEBERADAAN LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEBERADAAN LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DI KABUPATEN DELI SERDANG"

Transkripsi

1 BAB II KEBERADAAN LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DI KABUPATEN DELI SERDANG A. Perkembangan LKS Bipartit di Indonesia Pasca Indonesia Merdeka Sampai Sekarang Diawal pemerintahan Republik Indonesia, pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 19 Agustutus 1945 menetapkan jumlah kementerian sebanyak 12 kementerian, belum ada kementerian perburuhan. Tugas dan fungsi yang menangani masalah perburuhan diletakkan pada kementerian sosial. Demikian juga dalam pelaksanaan, dibentuknya kabinet presidensil Soekarna Hatta yang dilantik tanggal 5 September 1945 dari sebanyak 12 kementerian dan 4 menteri negara, kementerian perburuhan tetap belum dibentuk dan hanya merupakan bagian dari kementerian sosial yaitu bagian perburuhan. 26 Dalam Maklumat Presiden Nomor 7 Tahun 1947 yang diumumkan pada tanggal 3 Juli 1947 tentang susunan kabinet ditetapkan S.K. Trimurti sebagai menteri perburuhan dan Mr. Wilopo sebagai menteri muda perburuhan. Namun demikian Menteri perbururuhan belum langsung dapat melaksanakan tugas dan fungsinya karena belum ditetapkan tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh kementerian perburuhan itu. Agar kementerian perburuhan yang baru, dapat segera melaksanakan tugasnya, maka pada tanggal 25 Juni 1947 dikeluarkanlah Penetapan Pemerintah 26 Sejarah Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, (Jakarta : Departemen Tenaga Kerja, 1993), hlm. 8.

2 Nomor 3 tentang Tugas Pokok yang harus dilaksanakan oleh kementerian perburuhan. Berdasarkan Penetapan Pemerintah tersebut, tugas pokok kementerian perburuhan adalah menyelenggarakan urusan-urusan mengenai : a. Perlindungan; b. Jaminan sosial; c. Perselisihan perburuhan; d. Organisasi perburuhan; e. Perwakilan perburuhan; f. Kerja antara; g. Pemberian pekerjaan dan sokongan pengangguran; h. Kewajiban kerja dan pengerahan tenaga; i. Pendidikan tenaga; j. Transmigrasi dan k. Urusan-urusan lainnya mengenai hubungan kerja dan penempatan tenaga. 27 Sejak periode awal kemerdekaan, seluruh tenaga dan pikiran rakyat Indonesia dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan maka hubungan industrial diwarnai oleh orientasi politik sampai pada masa demokrasi terpimpin. Tidak berapa lama setelah lahir pemerintahan orde baru maka lahirlah Undang-Undang No.14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. 27 Ibid. hlm

3 Dalam Bab V undang-undang ini diatur tentang hubungan ketenagakerjaan yang terdiri dari 5 (lima) pasal yaitu: a. Pasal 11 : (a) Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja. (b) Pembentukan perserikatan tenaga kerja dilakukan secara demokratis. b. Pasal 12 : Perserikatan tenaga kerja berhak mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi kerja. c. Pasal 13 : Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan. d. Pasal 14 : Norma peraturan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan perburuhan diatur dengan peraturan perundangan. e. Pasal 15 : pemerintah mengatur penyelenggaraan jaminan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya Undang-undang ini tidak menggunakan istilah buruh tetapi menggunakan istilah tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pada saat itu sistem hubungan yang berlaku di Indonesia didasarkan pada paham liberalisme dan tidak dapat menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha. Berdasarkan kondisi pada saat itu, maka Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi bekerja sama dengan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia dan Frederick Ebert Stiftung menyelenggarakan seminar nasional tentang hubungan perburuhan Pancasila sebagai wahana menuju ketenangan kerja dan stabilitas sosial ekonomi untuk pembangunan nasional di Jakarta pada

4 tanggal 4-7 Desember Seminar ini diikuti oleh 137 peserta yang terdiri dari unsur-unsur pengusaha, buruh, pemerintah dan universitas/cendekiawan dari pusat dan daerah-daerah wilayah Indonesia. Pembahasan secara intensif dalam sidang pleno maupun sidang kelompok tersebut, mengambil keputusan antara lain : 28 Bab II sarana-sarana daripada pelaksanaan hubungan perburuhan Pancasila a. Lembaga kerjasama tripartit dan bipartit; b. Perjanjian perburuhan (collective labour agreement); c. Lembaga peradilan perburuhan; d. Peraturan perundangan perburuhan; e. Pendidikan perburuhan; f. Beberapa masalah khusus. Hasil dari seminar pada tanggal 4-7 Desember 1974 membuahkan suatu konsensus nasional untuk mengembangkan suatu sistem hubungan perburuhan yang berdasarkan kepada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang disebut hubungan perburuhan Pancasila dan kemudian diganti menjadi hubungan industrial Pancasila (HIP) dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep 645/M/1985. Hubungan industrial dalam prosesnya memerlukan terjalinnya komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal-hal yang terkait dengan berbagai aspek dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Keberadaannya memang sangat penting mengingat secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap sendi-sendi 28 H. Soetrisno, Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia, (Jakarta : Ikatan Perantara Hubungan Industrial Indonesia ( IPHII ), 2007), hlm. 27.

5 kehidupan, baik secara sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan psikologi bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu dikembangkan dalam hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan hubungan industrial yang sehat, produktif dan kompetitif. Dengan demikian, Lembaga Kerjasama Bipartit tersebut merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan hubungan industrial disamping sarana lain seperti peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. 29 Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah disebutkan bahwa salah satu sarana hubungan industrial adalah Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dan kemudian di Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dipertegas lagi bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Hubungan antara pekerja dan pengusaha yang tidak seimbang dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan yang dapat menimbulkan kerugian di 29 Pedoman LKS Bipartit, Op. Cit., hlm. 1.

6 pihak pekerja dan pengusaha. Perntentangan dan perselisihan hubungan individual antara pekerja dan pengusaha di perusahaan juga dapat terjadi karena masalahmasalah hak pekerja tidak dipenuhi pengusaha sehingga merugikan pekerja dan keluarganya. Agar pertentangan kolektif dan individual antara pekerja dan pengusaha tidak berkepanjangan, timbul gagasan untuk membentuk wadah yang dapat meredam dan menyelesaikan pertentangan tersebut yaitu dengan membentuk wadah atau lembaga kerjasama. Wadah kerjasama antara pekerja dengan pengusaha berfungsi sebagai sarana 30 : a. Pelaksanaan demokrasi industrial dalam hubungan kerja. b. Partisipasi pekerja dalam kebijaksanaan perusahaan. c. Pendistribusian kekuasaan didalam perusahaan. Sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka keluarlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Seiring dengan perkembangan kondisi ketenagakerjaan saat ini, maka menteri tenaga kerja dan transmigrasi Republik Indonesia menyempurnakannnya lagi dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dengan Nomor PER.32/MEN/XII/2008 tanggal 30 Desember Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja dan Pengusaha, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2007), hlm. 79.

7 Kerjasama yang efektif di tempat kerja dapat dicapai melalui pendekatan antara pekerja/buruh dengan manajemen/pengusaha, yaitu bipartit. Bipartit ini dipakai untuk konsep yang menunjukkan adanya kerjasama di tempat kerja yang secara operasional diwujudkan dalam bentuk lembaga kerjasama. Dari jaman orde lama sampai dengan jaman orde baru, Lembaga Kerjasama Bipartit hanya sebagai anjuran artinya apabila tidak dilaksanakan oleh pengusaha tidak ada sanksi administratifnya. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terhadap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Bagi perusahaan yang tidak mematuhi Pasal 106 tersebut diberikan sanksi administratif pada Pasal 190 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berupa : a. Teguran; b. Peringatan tertulis; c. Pembatasan kegiatan; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pembatalan persetujuan; f. Pembatalan pendaftaran; g. Penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi; h. Pencabutan izin. Data dari Kementerian Tenaga Kerja RI tahun 2014 bahwa jumlah perusahaan yang terdaftar di Kementerian Tenaga kerja adalah sebanyak

8 perusahaan dengan jumlah pekerja/buruhsebanyak orang, sedangkan perusahaan yang memiliki LKS Bipartit adalah perusahaan. Berdasarkan dari data tersebut sangatlah sedikit perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit, padahal LKS Bipartit itu sangat perlu sebagai salah satu sarana komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha. B. Pembentukan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit yang Dikembangkan oleh International Labour Organisation (ILO) 1. Kebijakan ILO Terkait LKS Bipartit Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organisation (ILO) berdiri pada akhir Perang Dunia I yaitu pada tanggal 11 April 1919 berdasarkan Bab XIII Perjanjian Versailles bersamaaan dengan berlangsungnya Konferensi Liga Bangsa-Bangsa (League of Nation). Dalam perkembangannya, yaitu pada waktu Perang Dunia II mendekati masa akhir di tahun 1946, ILO menjadi badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ILO pada dasarnya dibentuk dengan tujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan sosial bagi masyarakat di seluruh dunia khususnya kaum pekerja sebagaimana dinyatakan dalam Mukadimah Konstitusi ILO. Didalam Mukadimah tersebut juga terkandung isi dari Deklarasi Philadelphia yaitu : a. Bahwa pekerja bukan barang dagangan; b. Bahwa kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat mengandung makna untuk mencapai kemajuan;

9 c. Bahwa semua manusia tanpa memandang ras, kepercayaan dan jenis kelamin berhak mencapai kehidupan yang layak baik secara materil maupun spiritual dalam suasana kebebasan dan pengakuan akan harga diri masing-masing, ketentraman ekonomi, dan kesamaan dalam memperoleh kesempatan; d. Bahwa memerangi kemiskinan memerlukan keberanian yang gigih bagi suatu bangsa melalui upaya internasional dimana wakil-wakil pekerja, pengusaha dan pemerintah memiliki status yang sama guna mengambil keputusan untuk meningkatkan kemakmuran/kesejahteraan; dan e. Bahwa kemiskinan dimanapun berada, merupakan bahaya bagi kemakmuran/kesejahteraan. Para pendiri ILO meyakini bahwa perdamaian abadi hanya mungkin tercipta bila didasarkan pada keadilan sosial. Menurut pandangan ILO, bilamana syarat-syarat kerja masih mencerminkan ketidakadilan, maka berbagai kegoncangan yang mengancam keserasian dan ketenteraman hidup akan terus terjadi. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan syarat-syarat dan norma kerja termasuk upaya mengatasi masalah pengangguran. Untuk melaksanakan gagasan tersebut, maka tugas utama ILO adalah merumuskan kebijaksanaan dan program internasional untuk menjamin terciptanya perlindungan hak-hak pekerja, memperluas lapangan pekerjaan, dan meningkatakan taraf hidup para pekerja dengan cara menyusun dan membuat standar ketenagakerjaan internasional (International Labour Standards) agar dapat dijadikan pedoman bagi negara anggota dalam membuat dan melaksanakan kebijakan

10 ketenagakerjaan, khusunya dalam membuat peraturan perundangan nasional di bidang ketenagakerjaan. 31 ILO dalam melaksanakan kegiatannya melakukan konvensi dan rekomendasi yang memuat berbagai bentuk ketentuan mengenai ketenagakerjaan yang diharapkan secara utuh diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO sehingga menjadi hukum positif yang berlaku di negara yang bersangkutan. Konvensi ILO yang berkaitan dengan LKS Bipartit adalah konvensi ILO No. 98 tahun 1949 mengenai hak berorganisasi dan berunding bersama dan konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun Selain itu adalah konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi dan konvensi ini juga telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden RI No. 83 tahun Adanya 2 konvensi ILO yang berkaitan dengan LKS Bipartit dan bagi setiap negara yang menjadi anggota ILO dan telah meratifikasi konvensi itu wajib melaporkan kepada Dirjen ILO sesuai ketentuan Pasal 22 konstitusi ILO tahun ILO sejak pendiriannya, selalu berusaha untuk melaksanakan bentuk-bentuk kerjasama di tempat kerja melalui dialog sosial, yang ditetapkan untuk mencakupkan semua jenis negosiasi, konsultasi atau sekedar bertukar informasi antara, atau di antara para wakil pemerintah, pengusaha, dan pekerja tentang masalah-masalah kepentingan bersama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan sosial. 31 Menumbuhkembangkan Kesadaran Melaksanakan Konvensi ILO yang Telah Diratifikasi, (Biro Humas dan KLN Departemen Tenaga Kerja, 2000), hlm. 2.

11 Berbagai konvensi dan rekomendasi ILO memuat standar-standar terkait dengan kerjasama bipartit tempat kerja adalah : 32 a. Konvensi kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berserikat, 1948 (No.87); b. Konvensi untuk berserikat dan perundingan bersama, 1949 (No.98); c. Rekomendasi di tingkat perusahaan, 152 (No.94); d. Rekomendasi konsultasi (industri dan tingkat nasional), 1960 (No.113); e. Rekomendasi komunikasi pada perusahaan, 1967 (No. 129); f. Rekomendasi pengujian keluhan, 1967 (No. 130). Perundingan bersama adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses negosiasi antara pekerja dan pengusaha serta perwakilan mereka sehubungan dengan setiap isu yang terkait dengan syarat-syarat kerja atau hal lain yang merupakan kepentingan bersama pekerja dan pengusaha. Pengaturan tentang pokokpokok yang tercakup dalam perundingan bersama, boleh saja diatur perundangundangan nasional. Bahkan bila pengaturan yang sempit dicantumkan dalam peraturan perundangan biasanya hal ini tidak membatasi pihak-pihak untuk menyetujui atau merundingkan cakupan isu yang lebih luas. 33 Di dalam instrumen ILO, perundingan bersama dianggap sebagai kegiatan atau proses mengarah pada dibuatnya suatu perjanjian bersama. Di dalam 32 Buku Panduan Kerjasama Pekerja-Manajemen 2 Manual Pelatihan, Proyek ILO/APINDO Mengenai Pembangunan Kapasitas dan Mempromosikan Hubungan Industrial yang Baik di Tingkat Perusahaan di Indonesia, (Jakarta : ILO, 2009), hlm Kesetaraan Gender Melalui Perundingan Bersama, Op. Cit., hlm. 5.

12 Rekomendasi No. 91 tahun 1952, perjanjian bersama didefenisikan sebagai semua perjanjian tertulis tentang kondisi kerja dan syarat-syarat hubungan kerja yang dibuat antara seorang pengusaha, suatu kelompok pengusaha atau satu atau lebih organisasi pengusaha di satu pihak, dan di pihak lain satu atau lebih organisasi wakil pekerja, atau bilamana organisasi tersebut tidak ada, para wakil pekerja yang dipilih sebagaimana mestinya dan diberi wewenang oleh mereka sesuai dengan undangundang peraturan nasional, dengan pengertian bahwa perjanjian bersama harus mengikat para penandatangan perjanjian tersebut. 34 Terjadi suatu perundingan bersama antara pekerja dengan pengusaha sudah merupakan adanya komunikasi yang lancar antara pekerja dengan pengusaha sehingga hal-hal berhubungan dengan syarat-syarat kerja, kondisi kerja dan norma kerja dapat dipahami kedua belah pihak. Perbedaan paham antara pekerja dan pengusaha tentang syarat-syarat kerja, kondisi kerja dan norma kerja yang menjadi pemicu perselisihan hubungan industrial. Kerjasama antara pengusaha dengan pekerja tidak hanya dalam menciptakan barang dan atau jasa akan tetapi harus juga menerima masukan-masukan dari pekerja untuk kemajuan perusahaan. Kerjasama pekerja manajemen, seperti halnya perundingan bersama, merupakan bagian dari yang biasa disebut sebagai demokrasi industrial atau partispasi pekerja dalam manajemen. Istilah demokrasi industrial atau partisipasi pekerja dalam manajemen berarti mendemokrasikan tempat kerja 34 Bernard Gernigon, Alberto Odero, Horacio Guido, Perundingan Bersama Standar ILO dan Prinsip-Prinsip Badan Pengawas, (Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2004), hlm. 9.

13 melalui pemberdayaan pekerja melalui partisipasi dalam proses pengambilan keputusan organisasi dalam suatu organisasi atas hal-hal yang disepakati oleh para pihak yang menguntungkan kedua belah pihak. Kerjasama pekerja-manajemen tidak bermaksud untuk menggantikan tapi melengkapi perundingan bersama. Kerjasama pekerja-manajemen didefenisikan sebagai suatu keadaan dari hubungan pekerja dan manajemen yang bekerja bahu membahu untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan cara yang bisa diterima oleh kedua belah pihak seperti melalui : a. Berbagi informasi; b. Diskusi; c. Konsultasi; d. Negoisasi; e. Bentuk dan prosedur lain yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kerjasama pekerja-manajemen biasanya dioperasikan melalui pembentukan lembaga bersama seperti Lembaga Pekerja Manajemen (Komite), Dewan Pekerja Manajemen (Komite), atau Forum Pekerja Manajemen. 35 Perundingan bersama adalah perumusan bersama yang demokratis di perusahaan antara pekerja dengan perusahaan yang selalu dianjurkan oleh ILO. Pada tahun 1946, ILO menjadi lembaga spesialis pertama di bawah PBB yang baru saja terbentuk. Saat peringatan hari jadinya yang ke 50 di tahun 1969, ILO menerima nobel perdamaian. Besarnya peningkatan jumlah negara yang bergabung dengan ILO 35 Buku Panduan Kerjasama Pekerja- Manajemen Manual Pelatihan, op.cit., hlm. 11.

14 selama beberapa dasawarsa setelah masa perang dunia ke II telah membawa banyak perubahan. Organisasi ini meluncurkan program-program bantuan teknis untuk meningkatkan keahlian dan memberikan bantuan kepada pemerintah, pekerja dan pengusaha di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Di negara-negara seperti Polandia, Cile, dan Afrika Selatan, bantuan ILO mengenai hakhak serikat pekerja berhasil membantu perjuangan mereka dalam memperoleh demokrasi dan kebebasan. Tahun penting lainnya untuk ILO adalah tahun 1998, dimana para delegasi yang menghadiri Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference) mengadopsi Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja. Prinsip dan hak ini adalah hak atas kebebasan berserikat dan perundingan bersama serta penghapusan pekerjaan untuk anak, kerja paksa dan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Jaminan atas prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja, berdasarkan deklarasi ini, merupakan hal penting karena jaminan ini memungkinkan masyarakat untuk menuntut secara bebas dan atas dasar kesetaraan peluang, bagian mereka yang adil atas kekayaan yang ikut mereka hasilkan dan untuk menggali potensi mereka sepenuhnya sebagai manusia. 36 ILO sangat memperhatikan hak-hak sipil dan politik karena tanpa ini, tidak mungkin ada pelaksanaan normal atas hak-hak serikat pekerja dan perlindungan terhadap pekerja. Pernyataan ini yang baru saja diingatkan kembali oleh Direktur Jenderal ILO dalam laporannya tahun 1992 kepada Konferensi Perburuhan 36 Sekilas Tentang ILO, (Jakarta : Kantor ILO, 2007), hlm. 3.

15 Internasional adalah ilustrasi dari kenyataan bahwa hampir seperdua dari semua keluhan yang disampaikan pada Komite Kebebasan Berserikat sejak berdirinya berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula, resolusi tentang hak-hak serikat pekerja dan hubungannya dengan kemerdekaan sipil yang disebut sebelumnya dan disajikan dalam lampiran V menekankan kenyataan bahwa hak-hak yang diberikan kepada organisasi pekerja dan organisasi pengusaha harus didasarkan pada pematuhan pada kemerdekaan sipil dan bahwa tanpa adanya kemerdekaan sipil ini akan menghapus semua arti konsep serikat pekerja. Konferensi Perburuhan Internasional secara eksplisit menyusun hak-hak mendasar yang diperlukan untuk melaksanakan kebebasan berserikat : 37 a. Hak atas kebebasan dan keamanan orang dan kebebasan dari penangkapan dan penahanan secara semena-mena. b. Kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat dan terutama kebebasan mempunyai pendapat dan tanpa campur tangan serta mencari, menerima dan membagikan informasi serta buah pikiran melalui media dan tanpa mengenal batas negara. c. Kebebasan berkumpul. d. Hak mendapatkan peradilan yang adil oleh pengadilan yang mandiri dan tidak memihak. e. Hak mendapatkan perlindungan atas kekayaan organisasi serikat pekerja. 37 Buku Petunjuk Pendidikan Pekerja,Kebebasan Berserikat dan Perlindungan TerhadapHak Berorganisasi dan Hak untuk Berunding Bersama (Jakarta : Organisasi Perburuhan Internasional, 1998), hlm. 5.

16 Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 mengatur kebebasan berserikat dan berorganisasi harus tunduk kepada hukum nasional negara anggota ILO tersebut sepanjang hukum nasional tersebut tidak melemahkan ketentuan-ketentuan yang dijamin oleh ILO sebagaimana pada pasal 8 Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 yang berbunyi sebagai berikut : 1. Dalam melaksanakan hak-haknya berdasarkan Konvensi ini para pekerja dan pengusaha serta organisasi mereka, sebagaimana halnya perseorangan atau organisasi perkumpulan lainnya, harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku. 2. Hukum nasional yang berlaku tidak boleh memperlemah atau diterapkan untuk memperlemah ketentuan-ketentuan yang dijamin dalam konvensi. Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun Kebijakan ILO yang Telah dan Belum Diratifikasi Indonesia Disadari bahwa manusia sebagai makhluk individu tidak dapat berdiri sendiri dan ada saling ketergantungan dengan manusia lainnya. Demikian pula halnya dengan suatu negara. Negara manapun di dunia tidak akan bisa melepaskan diri dari saling ketergantungan dengan negara lainnya. Indonesia sebagai negara berdaulat dalam hal ini menyadari bahwa untuk meningkatkan pembangunan nasional, khususnya pembangunan bidang ketenagakerjaan, Indonesia merasa perlu untuk turut serta berperan secara aktif meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan negara-negara lain. Dalam hal ini

17 ILO dianggap forum yang paling tepat bagi Indonesia untuk mewujudkan peran aktifnya di dunia internasional terutama dalam rangka turut serta meningkatkan perlindungan hak-hak pekerja. Maka pada tanggal 5 Mei 1950, DR. Mohamad Hatta, Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, menyampaikan surat resmi pemerintah Indonesia kepada Direktur Jenderal ILO yang isinya menyatakan keinginan Indonesia untuk menjadi anggota ILO yang kemudian pada tanggal 12 Juni 1950 Indonesia secara resmi didaftar menjadi anggota ILO. 38 Ratifikasi suatu konvensi mengandung makna bahwa hukum internasional diberlakukan menjadi hukum nasional (hukum positif) di negara yang bersangkutan. Setiap negara mempunyai kewajiban moral untuk meratifikasi konvensi dan menerapkan prinsip-prinsip rekomendasi dalam hukum positif di negara yang bersangkutan. Setiap negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi harus mempersiapkan perangkat/sarana hukum berupa peraturan perundangan nasional yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi. Dalam praktek pelaksanaannya, institusi yang berwenang di negara anggota yang bersangkutan harus melaksanakan kebijaksanaan atau kewajiban sebagaimana yang diamanatkan oleh konvensi. Meratifikasi suatu konvensi dapat dilaksanakan dalam bentuk ratifikasi dengan undang-undang dan atau keputusan presiden atau 38 Jaminuddin Marbun, Manfaat Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan Industrial bagi Pengusaha dan Pekerja, (Medan : USU Press, 2013), hlm. 7.

18 dengan perangkat hukum positif lain yang berlaku secara nasional di negara yang bersangkutan. Sebelum meratifikasi konvensi setiap negara perlu : 39 a. Mengidentifikasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan konvensi serta melihat kesesuaian dan ketidaksesuaian antara konvensi dan peraturan perundangan yang berlaku; b. Mengadakan konsultasi tripartit dan instansi terkait dengan pengharapan tercapainya suatu konsensus untuk menyempurnakan peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan konvensi; c. Mempersiapkan mekanisme pelaporan sesuai komitmen dengan pihak-pihak terkait baik insitusi pemerintah maupun swasta yang terkait. Suatu negara yang meratifikasi konvensi internasional, maka negara tersebut dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan konvensi. Negara tersebut secara sadar telah memberikan sebagian kedaulatannya kepada masyarakat internasional. Negara tersebut telah commited untuk melaksanakan ketentuanketentuan konvensi. Negara yang meratifikasi suatu konvensi juga mempunyai kewajiban untuk : a. Mempersiapkan peraturan perundang-undangan dan sarana yang menjamin pelaksanaan konvensi yang diratifikasi; b. Menyempurnakan peraturan perundangan yang ada yang dianggap belum sejalan atau bertentangan dengan konvensi; op.cit., hlm Menumbuhkembangkan Kesadaran Melaksanakan Konvensi ILO yang Telah Diratifikasi,

19 c. Memberikan sanksi atas pelanggaran konvensi; d. Menyampaikan penjelasan atas tuduhan (complaints) pihak lain baik dari dalam maupun dari luar negeri mengenai adanya penyimpangan pelaksanaan konvensi. Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sampai 31 Agustus 2015 adalah sebanyak 19 konvensi. Diantara konvensi yang telah diratifikasi Indonesia tersebut yang menyangkut hak asasi manusia adalah antara lain: 40 a. Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (diratifikasi Pemerintah Hindia Belanda tahun 1933 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Staatsblaad 261, 1933); b. Konvensi ILO No. 98 mengenai Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama (diratifikasi dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956); c. Konvensi ILO No. 100 mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Pekerja Lakilaki dan Wanita Untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (diratifikasi dengan Undang-Undang No.50 Tahun 1957); d. Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 83 Tahun 1998); e. Konvensi ILO No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa (diratifikasi dengan Undang-Undang No.19 Tahun 1999); 40 diakses pada tanggal 6 September

20 f. Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja (diratifikasi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999); g. Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (diratifikasi dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1999). Sedangkan untuk konvensi umum yang telah diratifikasi Indonesia antara lain : a. Konvensi ILO No.19 tentang Perlakuan yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (diratifikasi Pemerintah Belanda tahun 1927 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Staatblaads 53, 1929); b. Konvensi ILO No. 27 tentang Pemberian Tanda Berat Pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang Diangkut dengan Kapal (diratifikasi Pemerintah Belanda tahun 1933 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Staatblaads 117, 1933); c. Konvensi ILO No. 45 tentang Kerja Wanita Pada Segala Macam Tambang di Bawah Tanah.(diratifikasi Pemerintah Belanda tahun 1937 dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Staatblaads 219,1937); d. Konvensi ILO No. 106 tentang Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor (diratifikasi dengan Undang-Undang RI No.3 Tahun 1961); e. Konvensi ILO No. 120 tentang Ijin Higyene dalam Perniagaan dan Kantor- Kantor (diratifikasi dengan Undang-Undang RI No.3 Tahun 1999);

21 f. Konvensi ILO No. 144 tentang Konsultasi Tripartit untuk Meningkatkan Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1990); g. Konvensi ILO No. 69 tentang Sertifikasi bagi Juru Masak di Kapal (diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1992). Setiap negara yang meratifikasi suatu konvensi harus menyelaraskan hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan konvensi. Seluruh masyarakat di negara yang bersangkutan harus turut bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Dengan demikian, bilamana ketentuan-ketentuan konvensi ditingkat nasional dilaksankan dengan baik dan konsekuen maka hal ini akan membawa dampak yang positif dan manfaat yang besar bagi kepentingan pekerja dan dunia usaha yang pada akhirnya diyakini akan membawa hasil bagi kemakmuran bangsa dan negara. Sejak berdirinya ILO sampai sekarang telah mengeluarkan konvensi sebanyak 195 konvensi. 41 Negara anggota ILO juga diwajibkan mengirim laporan konvensi yang belum diratifikasi. Bilamana negara anggota tidak mendapatkan persetujuan untuk meratifikasi dari penguasa yang berwenang, maka negara anggota yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk memaksakan ratifikasi. Namum demikian, hal ini wajib dilaporkan kepada Dirjen ILO dalam jangka tertentu sesuai prosedur dan mekanisme jadwal pelaporan yang disusun ILO. Laporan negara anggota hendaknya menjelaskan keadaan hukum dan praktek perundang-undangan yang ada kaitannya dengan konvensi, antara lain sampai sejauh mana hukum dan praktek nasional tersebut 41 Ibid.

22 memberikan pengaruh terhadap ketentuan-ketentuan konvensi termasuk tindakantindakan administratif atau praktek-praktek lainnya serta kesukaran-kesukaran yang menghambat ratifikasi konvensi dimaksud. 42 Negara anggota ILO wajib membuat laporan tahunan konvensi yang sudah diratifikasi dan laporan harus memuat langkah-langkah yang telah diambil sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi dan laporan dibuat dalam format khusus sesuai ketentuan ILO. 43 Salinan seluruh mengenai pelaksanaan konvensi ini yang sudah diratifikasi harus disampaikan kepada perwakilan pengusaha dan pekerja. 44 C. Penerapan LKS Bipartit di Perusahaan (PTPN III Kebun Sei Putih) Setiap pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh selalu ingin berusaha meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan upah dan jaminan sosial. Namun harus disadari penyampaian aspirasi untuk diadakan perbaikan upah dan jaminan sosial tidaklah mudah, karena apabila salah menyampaikan aspirasi kepada pengusaha dapat menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Melihat perlunya kerjasama antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis serta produktivitas yang tinggi maka pemerintah pun selalu berusaha mengadakan pembinaan dan penyuluhan kepada pekerja/buruh dan pengusaha. Pemerintah berfungsi mengatur dan memberikan kemudahan supaya setiap kegiatan yang dilakukan oleh anggota mayarakat dapat berkembang maju dalam tata 42 Pasal 19 ayat 5e Konstitusi ILO Tahun Pasal 22 Konstitusi ILO 44 Pasal 23 ayat 2 Konstitusi ILO

23 hubungan yang tidak saling berbenturan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain. Demikian juga pemerintah selalu berusaha dan mengusahakan supaya setiap usaha-usaha ekonomis yang dilakukan masyarakat baik usaha kecil, menengah dan besar maupun usaha di sektor formal dan informal, dapat berkembang dan berhasil dengan baik. Bagi pemerintah, perusahaan dan usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat sangat penting karena beberapa alasan : Perusahaan merupakan sumber kesempatan kerja. Lapangan dan kesempatan kerja merupakan kebutuhan masyarakat. Tingkat pengangguran yang tinggi akan dapat menimbulkan keresahan sosial dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Kredibilitas suatu pemerintahan dapat juga diukur dari kemampuannya memperkecil tingkat pengangguran. 2. Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang. Dengan adanya sejumlah perusahaan yang berhasil baik, maka semakin banyak pekerja yang memperoleh penghasilan sehingga pendapatan nasional akan meningkat pula. 3. Perusahaan merupakan sumber pertumbuhan ekonomi, kemakmuran bangsa serta ketahanan nasional. Pendapatan nasional adalah akumulasi nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh perusahaan. 4. Perusahaan merupakan sumber devisa. Dalam globalisasi ekonomi, devisa merupakan suatu kebutuhan negara yang sangat penting. Hasil-hasil perusahaan yang digunakan di dalam negeri akan mengurangi jumlah impor serta menghemat 45 Payaman J. Simanjuntak, Masalah Hubungan Industrial di Indonesia, (Jakarta : Himpunan Pembina Sumber Daya Manusia Indonesia, 1992), hlm. 1-2.

24 penggunaan devisa. Apalagi bila hasil-hasil perusahaan diekspor, devisa akan bertambah. 5. Keuntungan perusahaan dan pendapatan karyawannya merupakan sumber utama pendapatan negara melalui sistem pajak. Semakin besar sisa hasil usaha atau keuntungan perusahaan, semakin besar potensi pembayar pajak perusahaan. Semakin besar pendapatan pekerja, semakin besar pula potensi pembayar pajak penghasilan. Untuk menunjang dan mendorong keberhasilan hubungan industrial yang harmonis dan sebagai salah satu sarana hubungan industrial sebagaimana disebutkan pada Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah Lembaga Kerjasama Bipartit. Hasil penelitian di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2014 terdapat 669 perusahaan yang terdaftar dan hanya 15 perusahaan yang memiliki Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagaimana dilihat dalam tabel 1. Berdasarkan hasil wawancara dari Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang mengatakan bahwa selama 3 tahun terakhir ini berdasarkan pengamatan dan pengawasan belum ditemukan keresahan di perusahaan yang mempunyai LKS Bipartit seperti pemogokan,

25 pemutusan hubungan kerja, yang artinya tidak ada satu pun pengaduan yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang 46. Hasil wawancara dengan pimpinan LKS Bipartit perusahaan PTPN III Kebun Sei Putih, ditemukan jawaban bahwa antara pengusaha dengan pekerja/buruh selalu ada komunikasi yang baik dan pertemuan diadakan 1 kali dalam 3 bulan sehingga pengusaha mendapat masukan-masukan dari pihak pekerja/buruh terhadap masalah hubungan kerja dan syarat-syarat kerja. Apabila ada keluhan-keluhan dari pekerja/buruh selalu dibicarakan dalam rapat LKS Bipartit. Dalam rapat LKS Bipartit ini tidak hanya dibicarakan masalah hubungan industrial tetapi juga masalah perkembangan perusahaan kedepan seperti memperluas jaringan perusahaan dan termasuk penambahan tenaga kerja.perselisihan hubungan industrial di PTPN III jarang terjadi karena komunikasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh lancar dan tidak terhambat akibat adanya LKS Bipartit yang setiap bulannya mengadakan pertemuan 47. Lembaga Kerjasama Bipartit di dalam keseluruhan kegiatan mempunyai wewenang memberikan : Bapak Mustamar, SH, MH, Kepala Bidang Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 2 Juli 2015 pukul wib. di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang 47 Bapak Simon Lumban Tobing, Pengurus LKS Bipartit PTPN III pada tanggal 15 September 2015 di Kantor PTPN III Kebun di Putih, Galang. 48 Buku Pedoman Pegawai Teknis Ditjen Binawas dalam Penyuluhan Hubungan Industrial Pancasila, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan, 1992)

26 1. Saran Saran disampaikan kepada masing-masing pihak (pengusaha dan pekerja) sebagai hasil yang dicapai oleh pengurus Lembaga Kerjasama Bipartit dalam sarasehan dimana saran tersebut tidak mengikat. Contoh : menyarankan kepada pengusaha untuk mendirikan : a. tempat ibadah; b. pakaian seragam; c. ruang makan; d. olah raga; e. perumahan pekerja dan lain sebagainya. Di samping itu kesepakatan dari pengurus Lembaga Kerjasama Bipartit yang mempunyai bobot urgensi untuk diperhatikan dapat disampaikan kepada pihak manajemen sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pemantapan pelaksanaannya. Contoh : meminta kepada direksi untuk melaksanakan program keselamatan kerja secara ketat. 2. Memorandum Hasil kesepakatan yang sudah pernah diajukan kepada kedua belah pihak dan atau ketentuan-ketentuan lain yang sudah disepakati masing-masing pihak tetapi belum dilaksanakan dapat disampaikan kembali kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

27 Dalam melakukan pemecahan masalah, Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit memiliki cara-cara sebagai berikut : Lembaga Kerjasama Bipartit sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antara unsur pekerja dan unsur pengusaha dalam perusahaan, perlu diberi kedudukan sebagai peran koordinasi bagi lembaga-lembaga lainnya dalam perusahaan seperti P3K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja), Unit Pengelola Keluarga Berencana Kesejahteraan Pekerja (KB Kesja), Koperasi Karyawan, Gugus Kendali Mutu dan sebagainya. 2. Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit perlu didukung oleh unsur pekerja yang berkualitas untuk melakukan tugas dan oleh sikap keterbukaan informasi dari unsur pengusaha mengenai kondisi perusahaannya. 3. Dalam hal di perusahaan belum ada serikat pekerja, Lembaga Kerjasama Bipartit perlu dilibatkan dalam penyusunan dan pembaharuan peraturan perusahaan. 4. Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit dari unsur pekerja harus riil dari pekerja yang terpilih dan mampu melaksanakan tugasnya. 5. Dari pihak pengusaha perlu ada keterbukaan informasi mengenai hal-hal yangdapat mempengaruhi pekerja untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, misalnya : a. prosedur kerja b. perubahan jadwal c. perubahan waktu (jam) kerja d. perubahan cara kerja 49 Ibid., hlm

28 e. kinerja f. perubahan kelompok kerja g. dan sebagainya. 6. Anggota Lembaga Kerjasama Bipartit harus benar-benar mengetahui kondisi perusahaan. Lembaga Kerjasama Bipartit tidak boleh menangani hal-hal yang menjadi kompetensi serikat pekerja, misalnya : a. mengurus syarat-syarat kerja dan perubahannya b. pembuatan/perundingan PKB dan pemantauan pelaksanaannya c. penanganan perselisihan hubungan industrial, dan sebagainya. Dalam jangka panjang perlu adanya upaya memantapkan komunikasi yang lebih baik antara pekerja dan pengusaha, dan sekaligus diarahkan agar dapat mengantisipasi hal-hal di masa mendatang. Disamping itu Lembaga Kerjasama Bipartit juga perlu dimantapkan sebagai forum koordinasi yaitu mengkoordinasikan lembaga-lembaga ketenagakerjaan yang ada dalam perusahaan agar terjalin hubungan antara lembaga yang satu dengan lembaga lainnya. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan fasilitas kesejahteraan, maka Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hubungannya dengan upaya menciptakan iklim kondusif ke arah terwujudnya penerapan prinsip-prinsip dasar paham Pancasila dalam hubungan industrial Pancasila (HIP), adalah mempunyai kedudukan yang sangat penting dan mendasar dalam implementasi HIP karena secara langsung dapat menyentuh kehidupan para pekerja di perusahaan. Untuk itu seyogianya penyelenggaraan fasilitas kesejahteraan pekerja ini perlu

29 ditumbuhkembangkan keberadaannya dibawah koordinasi Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit sebagai suatu lembaga khusus yang minimal sejajar dengan keberadaan lembaga lain yang ada di perusahaan. Perusahaan dengan jumlah pekerja kurang dari 50 (lima puluh) orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara perorangan dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja 50 (lima puluh) orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Oleh karena itu setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit). LKS Bipartit adalah suatu badan pada tingkat perusahaan atau unit produksi yang dibentuk oleh pekerja bersama-sama dengan pengusaha. Anggota LKS Bipartit ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian. LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. Tugas utamanya sebagai media penyerapan hubungan industrial dalam praktek kehidupan kerja untuk menciptakan ketenangan kerja dan usaha dan peningkatan partisipasi pekerja dalam penetapan tata kerja. Dengan tugas-tugas tersebut, jelas bahwa posisi LKS Bipartit tidak mengambil alih peran dan kedudukan lembaga lainnya, seperti peran Serikat Pekerja maupun peran pengusaha dalam pengelolaan badan usahanya. Hasil kerja LKS

30 Bipartit menjadi masukan bagi semua pihak dalam usaha untuk menciptakan ketenangan kerja dan usaha, peningkatan produktifitas dan kesejahteraan. 50 Kewajiban lain yang tak kalah pentingnya dari seorang pengusaha, adalah bertindak sebagai seorang pengusaha yang baik. Pengusaha yang baik wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam lingkungan perusahaannya 51. Ketentuan di atas mengandung pengertian yang sangat luas. Dalam hal melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan ini, berarti bahwa pengusaha harus berbuat dan bertindak sebijaksana mungkin. Apa yang harusnya berdasarkan ketentuan hukum harus dilakukan, dipenuhi dengan sebaik-baiknya dengan penuh ketaatan. Apa yang sepatutnya harus dicegah dan dihindari, dan tidak dilakukan. Kewajiban ini kemudian menjadi dasar bagi pengusaha untuk mengatur berbagai kebijakan dalam memotivasi pekerjanya, antara lain dilakukan dengan mengatur sistem pengupahan dan jenjang karir yang terencana guna mendorong produktivitas pekerja, mengadakan pendidikan dan latihan guna peningkatan wawasan, keahlian dan keterampilan pekerja untuk kemajuan perusahaan dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya. Ketentuan ini membuka peluang pula bagi semua praktek hubungan kerja yang tidak diatur dalam peraturan perundang- 50 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta : Sarana Bhakti Persada, 2005), hlm Pasal 1602 Y KUHPerdata

31 undangan ketenagakerjaan diatur melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). 52 Hubungan Industrial Pancasila dalam praktek sehari-hari diwujudkan melalui penerapan berbagai pengaturan dan kelembagaan seperti bipartit, tripartit, kesepakatan kerja bersama, penyelesaiaan perselisihan, dan peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan. Pengembangan lembaga bipartit sangat penting untuk menciptakan kesempatan berkomunikasi langsung antara pengusaha dan pekerja atau wakil pekerja. Dengan cara ini dapat dihindari adanya salah paham antara kedua belah pihak dan dapat ditingkatkan rasa saling menghormati. Melalui lembaga atau forum bipartit, pekerja atau wakilnya dapat diikutsertakan merumuskan kebijaksanaan dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam perusahaan. Masalah perusahaan tidak hanya mencakup kepentingan pengusaha dan pekerja saja, tetapi juga merupakan masalah pemerintah sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum. Oleh sebab itu telah dikembangkan pembentukan badan atau lembaga kerjasama tripartit sebagai forum bagi para pengusaha, wakil pekerja dan pemerintah yang mewakili kepentingan masyarakat, untuk membicarakan masalahmasalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan industri, peraturan perundangan, hubungan industrial, kondisi dan lingkungan kerja dan lain-lain. Hubungan industrial yang sehat harus terpelihara di dalam perusahaan melalui peraturan perusahaan atau penandatanganan kesepakatan kerja bersama antara serikat 52 Ibid., hlm

32 pekerja yang mewakili pekerja dan manajemen yang mewakili pengusaha. Peraturan perusahaan bagi perusahaan dimana belum ada unit SPSI, dan kesepakatan kerja bersama di perusahaan yang telah ada unit SPSI. Peraturan perusahaan ataupun PKB yang baik dan mencerminkan hubungan industrial Pancasila seharusnya terbentuk bukan dari persetujuan yang terpaksa antara pihak-pihak yang ingin mencapai tujuan yang berbeda tapi merupakan persetujuan yang menyatakan kehendak pengusaha dan pekerja untuk meningkatkan produktivitas dan kondisi kerja dalam perusahaan yang berarti akan meningkatkan kesejahteraan pengusaha dan pekerja. PKB atau peraturan perusahaan pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban pengusaha serta hak dan kewajiban pekerja. PKB atau peraturan perusahaan juga memuat ketentuan pokok mengenai pendayagunaan pekerja, tindakan disiplin serta petunjuk penyelesaian perselisihan bila terjadi perbedaan pendapat antara pengusaha dan karyawan. Dengan prinsip-prinsip hubungan pengusaha dan karyawan seperti itu maka akan dapat tercapai iklim dan suasana kerja yang stabil, damai dan tentram. Di samping itu, pengusaha juga berkewajiban meningkatkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan jaminan pekerjaan, serta peningkatan penghasilan dan penghidupan yang layak bagi karyawan yang bersangkutan, paling sedikit cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum Payaman J. Simanjuntak, op.cit., hlm

33 D. Penerapan LKS Bipartit di Filipina Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit di Filipina telah berkembang sejak tahun 1980 an melalui dukungan ILO yang dikenal dengan nama Labour Management Cooperation (LMC). Pengaturan Labour Management Cooperation (LMC) di Filipina adalah merupakan amanat dari Labor Code of the Philippines melalui Putusan Presiden No yang termuat dalam Book Five Labor Relation Title VII, Collective Bargaining and Administration of Agreement, Art. 255 Exclusive bargaining representation and worker s participation in policy and decision making. Article 255 undang-undang tersebut menyatakan 55 : Any provision of law to the contrary notwithstanding, workers shall have the right, subject to such rules and regulations as the Secretary of Labor and Employment may promulgate, to participate in policy and decision-making processes of the establishment where they are employed insofar as said processes will directly affect their rights, benefits and welfare. For this purpose, workers and employers may form labor-management councils: Provided, That the representatives of the workers in such labor-management councils shall be elected by at least the majority of all employees in said establishment. (As amended by Section 22, Republic Act No. 6715, March 21, 1989). Dapat diartikan bahwa dalam hal partisipasi dalam kebijakan dan dalam proses pengambilan keputusan di perusahaan yang secara langsung mempengaruhi hak-hak pekerja, mendatangkan keuntungan dan kesejahteraannya maka pekerja dan pengusaha dapat membentuk dewan buruh manajemen. Asalkan, Bahwa perwakilan dari pekerja di dewan buruh-manajemen tersebut akan dipilih oleh setidaknya sebagian dari seluruh karyawan dalam pembentukannya diakses pada tanggal 3 Nopember pukul wib 55 Art.255 Labor Code of the Philippines

34 Artikel 255 dalam Labor Code of Phlippines ini diamandemen dengan ditambahnya pengaturan mengenai dewan buruh manjemen yang terdapat dalam Republict Act 6715 Rule XII, Labour Management Council section 38, section 39 sebagai berikut : Section Creation of labor-management council. The department shall promote the formation of a labor-management council in organized establishments to enable the workers to participate in policy and decision-making processes in the establishment insofar as said processes will directly affect their rights, benefits and welfare, except those which are covered by collective bargaining agreements or are traditional areas of bargaining. The Department shall render, among others, the following services: 1. Conduct awareness campaigns on the need to establish labor-management councils; 2. Assist the parties, through the Department s field workers, in setting up labor-management structures, functions and procedures; 3. Provide process facilitators in labor-management council meetings upon request of the parties; and 4. Monitor the activities of labor-management councils as may be necessary. 5. In establishment where no legitimate labor organization exists, labormanagement committees may be formed voluntarily by workers and employers for the purpose of promoting industrial peace. The Department shall endeavor to enlighten and educate the workers and employers on their rights and responsibilities through labor education with emphasis on the policy thrusts of this Code. Section 39. Assistance by the Department. The Department, upon its own initiative or upon the request of both parties, may assist in the formulation and development of labor-management cooperation, programs and projects on productivity, occupational safety and health, improvement ofquality of work life, product quality improvement, and the like ENTING%20REPUBLIC%20ACT%20NO.% pdf dikases pada tanggal 3 Nopember pukul wib

35 Dapat dilihat bahwa dalam hal pembentukan dewan manajemen buruh (Labour Management Council) adalah tidak lepas dari bantuan pemerintah dalam hal ini departemen tenaga kerja. LMC tersebut harus didukung oleh pemerintah dengan cara mempromosikan pembentukannya dan kampanye kesadaran terhadap pentingnya LMC tersebut. Labour Management Cooperation (LMC) ini telah membuat programprogram kerjasama pekerja manajemen di tempat kerja 57.Kerjasama pekerja manajemen adalah hubungan dimana pekerja dan manajemen bekerja bahu membahu untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan maksud yang dapat diterima satu sama lain. Sebagai akibat dari proses berkelanjutan dari peningkatan rasa saling menghargai dan kepercayaan melalui: a. Berbagi informasi b. Diskusi c. Konsultasi d. Negosiasi 58 Sebagaimana skema yang ada dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada partisipasi pekerja yang tidak diatur oleh perjanjian kerja bersama. Mengapa pekerja dan manajemen perlu untuk bekerja sama? Penyebab utama adalah karena pekerja dan manajemen adalah rekan sosial yang berbagi kepentingan yang umum dalam kesuksesan dan perkembangan perusahaan dan ekonomi khususnya, (a) Untuk mempromosikan keterlibatan pekerja dalam proses pengambilan keputusan. 57 Direktorat Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan Industrial Ditjen PHI JSK, op.cit., hlm Department of Labor and Employment National Conciliation and Mediation Board, The Official Government Portal of the Republic of Philippines, diakses 6 September 2015.

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N0. 177 A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan organisasi perdamaian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Asikin (et.al), Zainal, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993.

DAFTAR PUSTAKA. Asikin (et.al), Zainal, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 25/1997, KETENAGAKERJAAN *10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177)

K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) K177 Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) 1 K177 - Konvensi Kerja Rumahan, 1996 (No. 177) 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UU No 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UNTUK

Lebih terperinci

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA 1 K 105 - Penghapusan Kerja Paksa 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958 R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958 2 R-111 Rekomendasi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR 1 K-106 Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA 1 K 138 - Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN II - 1 II - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM II-11 BAB II LANDASAN, ASAS DAN TUJUAN II-15 BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI 1 K 87 - Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA 1 K 100 - Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya 2 Pengantar

Lebih terperinci

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Labor and Industrial Relations

Labor and Industrial Relations Labor and Industrial Relations Modul ke: 13 Mahasiswa memahani mengenai : 1. Hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha 2. Membandingkan hubungan tenagakerja di Indonesia dan USA Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Lebih terperinci

K E P U T U S A N NOMOR : KEP-438/MEN/1992 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN SERIKAT PEKERJA DI PERUSAHAAN MENTERI TENAGA KERJA R.

K E P U T U S A N NOMOR : KEP-438/MEN/1992 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN SERIKAT PEKERJA DI PERUSAHAAN MENTERI TENAGA KERJA R. MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA K E P U T U S A N MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-438/MEN/1992 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN SERIKAT PEKERJA DI PERUSAHAAN MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka yang selama ini dikesampingkan oleh perusahaan. Wadah itu adalah

BAB I PENDAHULUAN. mereka yang selama ini dikesampingkan oleh perusahaan. Wadah itu adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh membutuhkan suatu wadah yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang selama ini dikesampingkan oleh perusahaan. Wadah itu adalah adanya pelaksanaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA, MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBL1K INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN

NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA 1 K-88 Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi

Lebih terperinci

K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH

K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH 1 K-45 Mengenai Kerja Wanita dalam Segala Macam Tambang Dibawah Tanah 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997

R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997 R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997 2 R-188 Rekomendasi Agen Penempatan kerja Swasta, 1997 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NO. 01 TH 1985

PERATURAN PEMERINTAH NO. 01 TH 1985 PERATURAN PEMERINTAH NO. 01 TH 1985 PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER-01/MEN/85 TENTANG PELAKSANAAN TATA CARA PEMBUATAN KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184)

R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) 1 R184 - Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) 2 R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) Rekomendasi mengenai Kerja Rumahan Adopsi: Jenewa, ILC

Lebih terperinci

USU Law Journal, Vol.5.No.1 (Januari 2017)

USU Law Journal, Vol.5.No.1 (Januari 2017) LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI KABUPATEN DELI SERDANG Rika Jamin Marbun Budiman Ginting, Pendastaren Tarigan, Agusmidah (rikajaminmarbun@yahoo.co.id)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

K98 BERLAKUNYA DASAR-DASAR DARI HAK UNTUK BERORGANISASI DAN UNTUK BERUNDING BERSAMA

K98 BERLAKUNYA DASAR-DASAR DARI HAK UNTUK BERORGANISASI DAN UNTUK BERUNDING BERSAMA K98 BERLAKUNYA DASAR-DASAR DARI HAK UNTUK BERORGANISASI DAN UNTUK BERUNDING BERSAMA 1 K 98 - Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama 2 Pengantar Organisasi Perburuhan

Lebih terperinci

K122 Konvensi mengenai Kebijakan di Bidang Penyediaan Lapangan Kerja

K122 Konvensi mengenai Kebijakan di Bidang Penyediaan Lapangan Kerja K122 Konvensi mengenai Kebijakan di Bidang Penyediaan Lapangan Kerja 1 K 122 - Konvensi mengenai Kebijakan di Bidang Penyediaan Lapangan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK 1 K 182 - Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak 2 Pengantar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 2 K-173 Konvensi Perlindungan Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha), 1992 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN U M U M

BAB I KETENTUAN U M U M UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG K E T E N A G A K E R J A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA LIGA HUKUM Vol.1 No. 1 JANUARI 2009 ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA Eko Wahyudi Fakultas Hukum UPN Veteran Jatim Abstrak Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan hal yang sangat

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL

K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL 1 K-69 Sertifikasi Bagi Juru Masak Di Kapal 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

R198 REKOMENDASI MENGENAI HUBUNGAN KERJA

R198 REKOMENDASI MENGENAI HUBUNGAN KERJA R198 REKOMENDASI MENGENAI HUBUNGAN KERJA 1 R-198 Rekomendasi Mengenai Hubungan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

COMPANY POLICY OF EMPLOYMENTS 2016

COMPANY POLICY OF EMPLOYMENTS 2016 COMPANY POLICY OF EMPLOYMENTS 2016 PEMENUHAN KONVENSI PERBURUHAN INTERNASIONAL Kami berkomitmen untuk mematuhi semua hukum dan peraturan terkait Ketenagakerjaan yang berlaku. Disamping itu praktek ketenagakerjaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2017

PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2017 WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN DENGAN

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN - 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA

K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA K29 KERJA PAKSA ATAU WAJIB KERJA 1 K 29 - Kerja Paksa atau Wajib Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan.

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

Terwujudnya Masyarakat Tenaga Kerja Kabupaten Bandung yang Mandiri, Produktif, Profesional dan Berdaya Saing

Terwujudnya Masyarakat Tenaga Kerja Kabupaten Bandung yang Mandiri, Produktif, Profesional dan Berdaya Saing BAB II PROGRAM KERJA 2.1 Visi dan Misi Dinas Tenaga Kerja merupakan instansi teknis yang melaksanakan salah satu urusan rumah tangga Daerah dibidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, dengan kewenangannya

Lebih terperinci

K27 PEMBERIAN TANDA BERAT PADA BARANG-BARANG BESAR YANG DIANGKUT DENGAN KAPAL

K27 PEMBERIAN TANDA BERAT PADA BARANG-BARANG BESAR YANG DIANGKUT DENGAN KAPAL K27 PEMBERIAN TANDA BERAT PADA BARANG-BARANG BESAR YANG DIANGKUT DENGAN KAPAL 1 K-27 Mengenai Pemberian Tanda Berat pada Barang-Barang Besar yang Diangkut dengan Kapal 2 Pengantar Organisasi Perburuhan

Lebih terperinci

BAB II RUANG LINGKUP INSTANSI

BAB II RUANG LINGKUP INSTANSI BAB II RUANG LINGKUP INSTANSI 2.1. Sejarah Dinas Tenaga Kerja Republik Indonesia Sejarah Dinas Tenaga Kerja tidak lepas dari perjuangan bangsa dan tatanan politik yang berkembang sejak Proklamasi 17 agustus

Lebih terperinci

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981 R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981 2 R-165 Rekomendasi Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional di laksanakan dalam

Lebih terperinci

K187. Tahun 2006 tentang Landasan Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

K187. Tahun 2006 tentang Landasan Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja K187 Tahun 2006 tentang Landasan Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 1 K187 - Tahun 2006 tentang Landasan Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ISBN 978-92-2-xxxxxx-x Cetakan Pertama, 2010

Lebih terperinci

K19 PERLAKUKAN YANG SAMA BAGI PEKERJA NASIONAL DAN ASING DALAM HAL TUNJANGAN KECELAKAAN KERJA

K19 PERLAKUKAN YANG SAMA BAGI PEKERJA NASIONAL DAN ASING DALAM HAL TUNJANGAN KECELAKAAN KERJA K19 PERLAKUKAN YANG SAMA BAGI PEKERJA NASIONAL DAN ASING DALAM HAL TUNJANGAN KECELAKAAN KERJA 1 K-19 Perlakukan Yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja 2 Pengantar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Pengertian Perjanjian kerja bersama Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya Undang-undang No.21 Tahun 2000. Istilah

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Komponen Kebutuhan Hidup Layak

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Komponen Kebutuhan Hidup Layak DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Komponen Kebutuhan Hidup Layak PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN

Lebih terperinci

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 ) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 ) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN MATA KULIAH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 ) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DOSEN : HASTORO WIDJAJANTO, SH. MH. SKS : 2 ( DUA ) TUJUAN : - MENGETAHUI HUBUNGAN ANTARA PEKERJA/BURUH DAN PEMILIK PERUSAHAAN

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

Dr. Alimatus Sahrah, M.Si, MM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

Dr. Alimatus Sahrah, M.Si, MM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA Dr. Alimatus Sahrah, M.Si, MM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA PENGERTIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

Lebih terperinci

R-166 REKOMENDASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

R-166 REKOMENDASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 R-166 REKOMENDASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 R-166 Rekomendasi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

DEFINISI DAN TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DEFINISI DAN TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUBUNGAN INDUSTRIAL DEFINISI DAN TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara semua pihak yang terkait dalam proses produksi suatu barang/jasa di suatu organisasi/perusahaan.

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA Hardijan Rusli ABSTRACT Internal Enterprise Regulations are outlined in the Minister of Manpower, Transmigration and Cooperatives Regulation No. Per.02/Men./1978

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu Serikat Pekerja / Serikat Buruh. Tujuan dibentuknya Serikat

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu Serikat Pekerja / Serikat Buruh. Tujuan dibentuknya Serikat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan buruh yang lemah membutuhkan suatu wadah supaya menjadi kuat. Wadah itu adalah adanya pelaksanaan hak berserikat dan berkumpul di dalam suatu Serikat

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN CALON TENAGA KERJA INDONESIA/ TENAGA KERJA INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 32/MEN/XII/2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

Lebih terperinci

K120 HYGIENE DALAM PERNIAGAAN DAN KANTOR-KANTOR

K120 HYGIENE DALAM PERNIAGAAN DAN KANTOR-KANTOR K120 HYGIENE DALAM PERNIAGAAN DAN KANTOR-KANTOR 1 K-120 Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 30 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing;

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing; LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 183 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci