PENGELOLAAN BERKELANJUTAN SUMBER DAYA GENETIK TERNAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN BERKELANJUTAN SUMBER DAYA GENETIK TERNAK"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN BERKELANJUTAN SUMBER DAYA GENETIK TERNAK BAMBANG SETIADI 1 dan KUSUMA DIWYANTO 2 1 Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221, Bogor Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor ABSTRAK Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan mengalami akselerasi, meningkat dengan laju yang semakin pesat. Artinya, prospek pasar produk peternakan cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam dua indikator kunci yakni: (1) kapasitas volume absorbsi pasar semakin besar; dan (2) harga pasar cenderung meningkat, setidaknya relatif terhadap produk tanaman pangan. Pada saat ini produksi ternak memberikan kontribusi antara 30 dan 40% dari nilai ekonomi global untuk pangan dan pertanian, dan sekitar 1.96 milyar manusia tergantung secara langsung atau paling tidak sebagian dari kehidupannya terhadap spesies ternak. Sementara itu kontribusi secara langsung terhadap produksi pangan adalah 19%. Dengan demikian kontribusi produksi ternak menjadi lebih kritis lagi. Sehingga, tersedianya sumber daya genetik ternak menjadi sangat penting. Diperkirakan kebutuhan daging di dunia akan meningkat dari 2-6 juta ton pada tahun 1990 menjadi juta ton pada tahun Pada negara-negara yang sedang berkembang dari tahun pertumbuhan total untuk daging sapi, babi, dan unggas masing-masing meningkat ; dan %. Sedangkan di negara-negara maju masing-masing meningkat 11-14; dan 30-31%. Sementara itu kebutuhan susu dinegara maju dan yang sedang berkembang masing-masing meningkat lebih dari 7% dan lebih dari 133%. Kepentingan ini telah mendorong petani dan pemulia ternak untuk menciptakan rumpun/galur baru ternak dengan mutu yang lebih baik dan dengan nilai nyata yang lebih tinggi. Tidak jarang rumpun/galur introduksi hasil pemuliaan akan menggeser rumpun/galur lama. Perkembangan pembuatan rumpun/galur/strain baru ini berlangsung terus menerus, sehingga rumpun/galur lama akan tergeser oleh rumpun/galur baru, dengan akibat makin menyusutnya keanekaragaman sumber daya genetik. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan keanekaragaman sumber daya genetik ternak diantaranya: (1) kurangnya kepedulian masyarakat dan perbedaan interpretasi perlunya mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetik ternak; (2) berkembangnya ilmu pemuliaan ternak; (3) kebijakan atau peraturan perundangan yang kurang mendukung untuk mempertahankan keanekagaragaman sumber daya genetik ternak; dan (4) alasan ekonomik. Pertimbangan pemuliaan yang mengutamakan standarisasi produk dan produktivitas jangan sampai terlalu jauh memperngaruhi keanekaragaman plasma nutfah. Dilain pihak karena alasan untuk mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah ternak lokal, ditanggapi dengan suatu aturan yang mewajibkan ternak impor untuk tujuan produksi harus di kastrasi. Demikian pula misalnya karena alasan pengendalian wabah penyakit menular pada ternak di suatu daerah harus dilaksanakan pemusnahan (stamping-out) seluruh ternak yang berada di daerah tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan sebaiknya merupakan alternatif terbaik menjaga kelestarian keanekaragaman SDGT. Diperlukan mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah pertanian dan memanfaatkannya untuk meningkatkan produktivitas, stabilitas, dan berkelanjutan, perlu secara aktif melaksanakan penelitian. Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berkelanjutan dimasa mendatang. Punahnya keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak sampai saat ini. Oleh karena itu merupakan tantangan untuk mengelola keragaman plasma nutfah yang ada, mempertahankan produktivitasnya, memenuhi permintaan yang meningkat sehubungan dengan semakin bertambahnya populasi penduduk. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa aktivitas manusia mengakibatkan erosi keragaman plasma nutfah ternak, misalnya mengganti rumpun ternak lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dengan rumpun ternak impor yang dianggap lebih produktif, tetapi membutuhkan input yang lebih tinggi. Dengan mempertahankan rumpun ternak lokal yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang penuh kendala, dengan sistem produksi yang cukup rendah biaya produksinya, yang umum didapat di negara-negara sedang berkembang, akan meningkatkan keamanan pangan jangka panjang secara global. Di samping itu melalui pengembangan rumpun ternak lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usahatani, karena pola pemeliharaannya masih bersifat low medium production input. Permasalahan dan dampak terkurasnya keanekaragaman sumber daya genetik telah sering di diskusikan pada 33

2 berbagai pertemuan para ahli, namun, hasil diskusi tidak selalu menghasilkan kesamaan persepsi untuk tindak lanjut penyusunan rancang tindak nyata. Beberapa ahli bahkan ada yang menyatakan bahwa keanekaragaman plasma nutfah sudah berlimpah dan resiko hilangnya plasma nutfah tersebut tidak merupakan masalah serius atau dengan mudah dapat diatasi dengan pemanfaatan teknologi mutakhir. Paradigma ini dapat bertolak belakang dengan beberapa petani yang tetap peduli mempertahankan keamekaragaman plasma nutfah pertanian untuk mencukupi kebutuhannya. Kepedulian sosial perlunya mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah menjadi kunci utama merubah persepsi yang apatis. Diperlukan sosialisasi pada berbagai forum dan stakeholders serta program pembelajaran sejak dini. Kata kunci: Pengelolaan, sumber daya genetik, introduksi pemuliaan, ternak, ekonomi PENDAHULUAN Perkiraan jumlah spesies dari makhluk hidup di bumi berkisar antara juta, bahkan diperkirakan mendekati 100 juta. Kurang dari 0,5 persen dari spesies ini adalah burung dan mamalia. Dari bagian kecil keragaman hayati, sekitar lebih dari 40 adalah jenis (spesies) ternak domestik. Dari 40 lebih spesies tersebut hanya 14 persen mempunyai kontribusi terhadap 82 persen kebutuhan pangan dan produksi pertanian. Lebih dari tahun yang lalu 14 spesies ternak telah didomestikasikan dan ber-evolusi sehingga menjadi rumpun (rumpun = breed) yang secara genetika unik dan berbeda, beradaptasi terhadap lingkungan dan komunitas setempat. Saat ini terdapat sekitar rumpun ternak domestik, dari spesies yang telah terdomestikasi, bersama dengan 80+ spesies kerabat liarnya, yang merupakan sumberdaya genetika ternak di bumi ini yang berperanan penting untuk pangan dan produksi pertanian. Sumberdaya genetik ternak atau plasma nutfah ternak telah mengalami evolusi lebih dari seribu tahun melalui proses seleksi alam (natural selection) sehingga membentuk dan memantapkan setiap spesies yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian. Lebih dari satu melinium telah terjadi interaksi antara lingkungan dan seleksi yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan perkembangan suatu rumpun atau bangsa yang berbeda. Keragaman plasma nutfah ternak (domestic animal diversity) adalah perbedaan genetik baik didalam ataupun antar semua rumpun dan spesies yang digunakan didalam pertanian. Sumber daya genetik (ternak) yang merupakan wujud keanekaragaman hayati, ialah material genetik, yaitu bahan dari binatang/ternak yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas). Kepentingan dan penggunaan sumberdaya ini untuk kepentingan manusia, mencakup informasi yang berkenaan dengan ekspresi genetik untuk menambahkan nilai pemanfaatannya. Nilai pemanfaatan ini terkandung di dalam sifat-sifat yang terdapat pada dan proses-proses yang berlangsung di dalam makhluk hidup. Berdasarkan kandungan ini, sumberdaya genetik mempunyai nilai manfaat, baik secara nyata maupun secara potensial. Sumberdaya genetik ternak ini digunakan sebagai bahan pangan, tenaga kerja, pakaian dan kebutuhan dasar manusia lainnya yang harus selalu tersedia. Oleh karena itu, pengelolaan, akses, dan penanganan selanjutnya harus menjadi kepedulian manusia. Untuk pemanfaatannya, sumber daya genetik ternak yang selanjutnya disingkat dengan SDGT, telah dikembangkan menjadi beraneka ragam material genetik dalam wujud berbagai macam rumpun (breed), galur dan atau strain ternak, baik rumpun/galur/strain lokal dan introduksi (modern), maupun kerabat liarnya. Pemanfaatan SDGT telah diterapkan secara langsung dan atau melalui proses pemuliaan. Selain langsung dimanfaatkan, SDGT dapat juga dijadikan cadangan kesesuaian genetik untuk menjadi penyangga terhadap lingkungan yang tidak bersahabat dan terhadap perubahan ekonomi. Kebutuhan manusia terhadap pangan terus menerus meningkat, sehingga tersedianya SDGT menjadi sangat penting. Kepentingan ini telah mendorong petani dan pemulia ternak untuk menciptakan rumpun/galur/strain baru ternak dengan mutu yang lebih baik dan dengan nilai nyata yang lebih tinggi. Disatu pihak, petani mengembangkan rumpun ternak secara tradisional dengan jangka waktu penggunaan yang relatif lebih lama, sehingga rumpun/galur yang dikembangkan selalu dilestarikan dan dirawat secara turun temurun menjadi ras temurun (landrace). Di pihak lain, 34

3 pemulia ternak selalu berusaha menciptakan rumpun/galur/strain baru ternak yang lebih produktif, dalam waktu yang relatif lebih singkat dengan menggunakan teknologi modern. Dalam upayanya ini, tidak jarang rumpun/galur/strain introduksi/modern hasil pemuliaan akan menggeser rumpun/galur lama. Perkembangan pembuatan rumpun/galur/strain baru ini berlangsung terus menerus, sehingga rumpun/galur/strain baru lama akan menjadi rumpun/galur/strain lama yang akan tergeser oleh rumpun/galur/strain yang lebih modern, dengan akibat makin menyusutnya keanekaragaman sumberdaya genetik. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap negara mempunyai ketergantungan pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya genetiknya. Oleh karena itu keaneka-ragaman SDGT yang sangat diperlukan untuk pemuliaan, dapat menjadi perselisihan apabila aksesnya tidak dikendalikan dengan cara diatur dan dikoordinasikan. Sejarah membuktikan bahwa siapapun yang menguasai sumberdaya genetik akan memegang kendali. Negara maju dan negara yang mempunyai keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mempunyai peluang yang lebih besar dalam memanfaatkan tersedianya SDGT. Kedudukan hukum dari sumber daya genetik ternak masih sangat lemah karena dinyatakan sebagai public domain, sehingga akses dapat dilakukan secara bebas. Tidak ada saluran hukum atau standar perlindungan terhadap sumber daya genetik. Menghadapi perkembangan yang demikian Indonesia sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi perlu memiliki kemampuan mengenai teknologi yang dapat mengolah kekayaan tersebut. Untuk itu perlu dibuka kesempatan/peluang kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara pemilik teknologi melalui kebijakan akses yang menguntungkan. Kebijakan tersebut juga harus mempertimbangkan munculnya berbagai peraturan baru yang mungkin akan muncul, mampu memperjelas lembaga mana dari negara yang memiliki kewenangan dan bertanggung jawab, dan yang paling utama kebijakan tersebut juga harus mampu melindungi keberadaan kekayaan keanekaragaman sumber daya genetik yang merupakan aset negara untuk masa depan. Kesadaran mengenai nilai penting sumberdaya genetik bagi kemanusiaan sudah mulai disadari sejak jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok tanam dan beternak, kegiatan pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah dimulai. Pemilihan jenis dan persilangan jenis yang semula dilakukan secara empiris, sebenarnya merupakan titik awal dari pengenalan sifatsifat unggul preferable dan sifat-sifat unneeded yang sebenarnya merupakan ekspresi fisiologis dari variabilitas genetis diantara ternak budidaya. Baru kemudian pada abad 18 sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal pengetahuan hibridisasi yang merupakan titik awal upaya manusia untuk menseleksi ekspresi genetis dari variabilitas gen didalam suatu tumbuhan secara sistematis. Mulai saat itulah nilai sumber daya genetik secara empiris dikenal. Terkait dengan masalah eksplorasi SDG ini maka muncul permasalahan mengenai pelestarian dan pemanfaatannya serta tata-cara perolehannya (akses). Mengingat bahwa keberadaan SDG yang dimaksud terkait dengan kedaulatan suatu negara dan/atau kepemilikan sumber daya (lahan, hutan, atau varietas tertentu) oleh masyarakat, baik perorangan atau komunal, maka permasalahan akses akan terkait juga dengan masalah hak kepemilikan atas sumber daya dan juga pembagian keuntungan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. Masalah akses terhadap sumber daya genetik mulai banyak dibicarakan semenjak disepakatinya Konvensi Keanekaragaman Hayati tahun Indonesia merupakan negara kedelapan yang menandatangani konvensi tersebut. Sebagai konsekuensi dari penandatanganan tersebut pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations on Convention Biological Diversity = UNCBD). CBD dalam pasal (1) telah menegaskan bahwa keuntungan hasil pendayagunaan sumber daya genetik harus dibagi secara adil dan merata kepada pemilik sumber daya tersebut. Kegiatan akses terhadap sumber daya genetik pada umumnya telah dilakukan melalui hubungan antar peneliti, antar institusi, maupun antar negara dan dipergunakan untuk keperluan penelitian serta untuk tujuan pemuliaan. Hal 35

4 tersebut berjalan dengan mudah tanpa melalui birokrasi yang menyusahkan. Akan tetapi hal tersebut sering kali disalah gunakan sehingga yang sering terjadi adalah terjadinya pengambilan SDG secara illegal. Berbagai materi genetik yang berasal dari sumber daya hayati Indonesia telah dikembangkan di luar negeri dengan tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia sebagai pemiliknya. Berkembangnya bioteknologi semakin memperparah kondisi tersebut. Melalui bioteknologi modern alih gen antar spesies apalagi antar famili yang sebelumnya dengan cara konvensional sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan, menjadi dapat dilakukan dengan tanpa batas. Hal tersebut menjadikan banyak pihak mencari sumber-sumber gen tidak hanya dari tanaman saja tetapi juga dari hewan, mikroba dan organisme lain. Minat kalangan industri khususnya dari negara maju terhadap SDG, yang terkait dengan pemanfaatannya semakin meningkat. Melalui teknologi rekayasa genetika telah banyak dihasilkan produk-produk industri yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pada dasarnya masyarakat tradisional kita dengan pengetahuannya telah mengembangkan pengetahuan yang terkait dengan pelestarian dan pemanfaatan SDGT. Keberadaan pengetahuan tradisional tersebut terancam dengan adanya peraturan TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tahun Melalui ketentuan TRIPs, negara-negara maju berusaha untuk membumikan paradigma paten yang telah menjadi budaya negara industri. Ketentuan tersebut menjamin hak kepemilikan terhadap produk, yang asalnya dari pengetahuan tradisional, yang dihasilkan melalui laboratorium negara industri. Sementara sistem pengetahuan masyarakat tradisional, inovasinya, maupun semua proses pemanfaatan sumber daya genetik melalui pengetahuan tradisional tersebut sama sekali tidak dihargai. Sistem inovasi masyarakat tradisional secara kolektif dan kumulatif secara definisi telah dikeluarkan dari ketentuan TRIPs. Terdapat kecenderungan terjadinya erosi keanekaragaman SDGT lokal akibat kalah bersaing dengan spesies ternak tertentu yang mempunyai produktivitas tinggi. Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversity di dunia, sebenarnya merupakan salah satu kekuatan tersendiri untuk mewujudkan ketahanan pangan yang lestari. Pilihan-pilihan IPTEK ke depan perlu diupayakan tanpa mengorbankan keanekaragaman SDGT, karena dengan melestarikannya kita dapat: (1) memilih jenis ternak yang beradaptasi terhadap timbulnya resiko penyakit yang tidak dapat diduga, (2) mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan seperti perubahan iklim; atau (3) mengembangkan IPTEK baru untuk mengatasi kebutuhan nutrisi yang semakin sulit. Kita wajib mempertahankan keanekaragaman SDGT melalui berbagai cara dan kebijakan untuk keberlanjutan ketahanan pangan dan kesejahteraan manusia generasi sekarang dan mendatang. PERANAN TERNAK DI DALAM SEKTOR PERTANIAN Berbagai macam kebutuhan manusia dapat dihasilkan oleh ternak. Dalam kebutuhan pangan khususnya protein, lebih dari 50% dari seluruh protein yang dikonsumsi oleh manusia berasal dari ternak dan ikan, yang mengandung asam amino esensial yang lengkap dibandingkan dengan bahan makanan yang berasal dari tanaman. Upaya peningkatan gizi masyarakat dan memenuhi kebutuhan pangan dari populasi manusia yang terus meningkat, kebutuhan akan pangan, dan hasil olahan hasil ternak akan meningkat terus. Pada saat ini produksi ternak memberikan kontribusi antara 30 dan 40% dari nilai ekonomi global untuk pangan dan pertanian, dan sekitar 1.96 milyard manusia tergantung secara langsung atau paling tidak sebagian dari kehidupannya terhadap spesies ternak. Sementara itu kontribusi secara langsung terhadap produksi pangan adalah 19 persen. Dengan demikian kontribusi produksi ternak menjadi lebih kritis lagi. BLACKBURN et al. (1998) berdasarkan data dari IFPRI tahun 1995, memproyeksikan kebutuhan daging akan meningkat dari 2-6 juta ton pada tahun 1990 menjadi juta ton pada tahun Pada negara-negara yang sedang berkembang dari tahun pertumbuhan total untuk daging sapi, daging babi, daging unggas masing-masing meningkat ; dan %. Sedangkan 36

5 di negara-negara maju masing-masing meningkat 11-14; dan 30-31%. Sementara itu kebutuhan susu dinegara maju dan yang sedang berkembang masing-masing meningkat lebih dari 7% dan lebih dari 133%. Di samping itu, ternak juga memberikan sebagian besar pupuk organik pada pertanian. Tanpa pupuk organik, tanah biasanya kurang produktif. Kotoran juga dapat dipakai sebagai bahan bakar atau sumber energi pada masyarakat tertentu. Ternak juga dipergunakan sebagai ternak kerja dalam pertanian, ataupun sebagai alat transportasi. Produk dari ternak seperti wool dan bulu juga dipergunakan untuk pakaian, serta kulit dipergunakan untuk bahan keperluan lainnya. Produk hasil ternak juga digunakan sebagai obat pada komunitas tertentu, serta mempunyai nilai budaya yang nyata. Pada saat ini dengan berkembangnya agro-tourisme di Asia, ternak sebagai bagian dari tradisi mempunyai nilai tambah yang penting pada agro-turisme di beberapa negara Asia Tenggara, misalnya domba tangkas di Jawa Barat, karapan sapi di Madura, dan bahkan merupakan sumber pendapatan yang nyata. Produksi ternak di pedesaan negara-negara yang sedang berkembang juga memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun. Di samping itu ternak juga merupakan tabungan keluarga untuk mendapatkan uang tunai, bank alami (natural bank), dan juga untuk menanggulangi resiko, misalnya saat kegagalan panen tanaman pangan dan kekeringan. Akhirnya kontribusi lain yang penting dari ternak adalah dalam sistem pertanian terpadu yang selalu lebih berkelanjutan dibandingkan dengan pertanian monokultur pada sebagian besar lingkungan produksi pertanian. Sumber daya genetik ternak, lingkungan dan komunitas Cakupan keanekaragaman SDGT dimulai dari perkembangbiakan, budidaya ternak (sampai kerabatnya yang masih liar), keanekaragaman pemasaran dan pasca panennya, sampai dalam bentuk pangan dan fungsi lain dari produk akhir. Keanekaragaman ini terdiri dari suatu rangkaian sistem berbagai tingkat seperti keanekaragaman antar spesies, dalam spesies, antar rumpun, dalam rumpun atau galur itu sendiri, keanekaragaman sub populasi, perbedaan kombinasi gen suatu individu, sampai keragaman allele dalam individual gen-gen. Keanekaragaman SDGT budidaya merupakan hasil dari aktivitas pertanian pada berbagai kondisi lingkungan, sistem produksi dan kultur/budaya. Terjadinya keanekaragaman SDGT merupakan hasil simbiosis antara manusia dan spesies/rumpun ternak yang dibudidayakan secara turun temurun sejak dahulu kala, dan dewasa ini; sudah dalam kondisi memerlukan perhatian serius. Keberadaan keanekaragaman SDGT justru memberikan peluang untuk berbagai kemungkinan memproduksi pangan, keberlanjutan kehidupan manusia pada berbagai ekosistem pertanian (ketersediaan tanah, iklim, air dan pangan) dan kultur pangan yang dikembangkannya. Masing-masing beradaptasi secara spesifik pada berbagai ragam lingkungan dimana manusia berada. Ketiadaan keanekaragaman SDGT dikarenakan tidak diproses, dijual, dikonsumsi, atau dimanfaatkan pada berbagai hal, sehingga keanekaragaman SDGT tidak dapat membantu mencukupi kebutuhan manusia, dan akhirnya mereka terancam punah. Keberadaan keanekaragaman SDGT sangat terkait dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat serta lingkungan yang membentuk lokasi alami. Punahnya SDGT dan implikasinya Dari sekitar rumpun ternak yang ada sekitar 100 tahun yang lalu, FAO mensinyalir terjadinya pemusnahan sekitar rumpun ternak atau rata-rata dua breed ternak musnah per minggu. Di Jerman, sebagai contoh, dari paling sedikit 35 sapi asli tinggal 5 breed yang masih ada. Kondisi yang tidak jauh berbeda, juga disinyalir terjadi di Indonesia. Beberapa strain ayam petelur dunia yang juga berkembang di Indonesia, kalau dirunut kembali berasal dari rumpun yang sama yakni Leghorn. Nampak bahwa hilangnya keanekaragaman terutama pada level internasional. Musibah dapat pula terjadi dengan pemanfaatan teknologi pemuliaan ternak yang salah arah yakni dengan penggunaan beberapa Top-Breeders ternak. Strategi ini walaupun cepat meningkatkan kualitas breed ternak, tetapi penggunaan secara meluas akan 37

6 berdampak dengan meningkatnya tekanan inbreeding yang akan menurunkan daya hidup, fertilitas dan keragaan produksinya. Pembangunan pertanian untuk tujuan peningkatan ketahanan pangan seirama dengan meningkatnya populasi penduduk, mutlak diperlukan pada masa-masa mendatang tanpa harus mengorbankan keanekaragaman yang telah ada. Kendala mempertahankan keanekaragaman SDGT Beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan keanekaragaman SDGT diantaranya: (1) kurangnya kepedulian masyarakat dan perbedaan interpretasi perlunya mempertahankan keanekaragaman SDGT; (2) berkembangnya ilmu pemuliaan ternak; (3) kebijakan dan atau peraturan perundangan yang kurang mendukung untuk mempertahankan keanekaragaman SDGT; dan (4) alasan ekonomik. Permasalahan dan dampak terkurasnya keanekaragaman SDG telah sering didiskusikan pada berbagai pertemuan para ahli, namun, hasil diskusi tidak selalu menghasilkan kesamaan persepsi untuk tindak lanjut penyusunan rancang tindak nyata. Beberapa ahli bahkan ada yang menyatakan bahwa keanekaragaman plasma nutfah sudah berlimpah dan resiko hilangnya plasma nutfah tersebut tidak merupakan masalah serius atau dengan mudah dapat diatasi dengan pemanfaatan teknologi mutakhir. Paradigma ini dapat bertolak belakang dengan beberapa petani yang tetap peduli mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah pertanian untuk mencukupi kebutuhannya. Kepedulian sosial perlunya mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah menjadi kunci utama merubah persepsi yang apatis. Diperlukan sosialisasi pada berbagai forum dan stakeholders serta program pembelajaran sejak dini. Berkembangnya pemanfaatan galur ternak unggul hasil teknologi tinggi/bioteknologi modern dalam skala sangat luas dan tidak terkontrol, dapat mendorong terkurasnya keanekaragaman plasma nutfah. Pada ternak, kemungkinan manipulasi genom masih jauh tertinggal dibanding pada tanaman. Menurut Global Biodiversity Assesment (HEYWOOD dan WATSON, 1995), sistem pertanian modern yang menerapkan teknik mutakhir dan monokulturisasi secara terus menerus telah mendatangkan dampak negatif terhadap agrobiodiversity, terutama dalam hal: (1) menyempitnya keragaman genetik tanaman/ ternak yang dibudidayakan; (2) menurunnya kualitas lingkungan setempat; (3) rusaknya ekosistem alami di kawasan tersebut, seperti lahan menjadi sakit dan terjadinya erosi. Oleh karena itu pemikiran untuk mengembangkan pertanian ramah lingkungan (ekoteknologi) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem agribisnis. Ketahanan pangan tidak harus diartikan dengan monokulturisasi produk pertanian/ pangan. Ketahanan pangan dapat dihasilkan dengan memanfaatkan SDG lokal melalui rekayasa dan inovasi teknologi. Keragaman pangan pada masing-masing ekosistem perlu dikembangkan lagi disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Pertimbangan pemuliaan yang mengutamakan standarisasi produk dan produktivitas jangan sampai terlalu jauh mempengaruhi keanekaragaman plasma nutfah. Dilain pihak karena alasan untuk mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah ternak lokal, ditanggapi dengan suatu aturan yang mewajibkan ternak impor untuk tujuan produksi harus di kastrasi. Demikian pula misalnya karena alasan pengendalian wabah penyakit menular pada ternak di suatu daerah harus dilaksanakan pemusnahan (stamping-out) seluruh ternak yang berada di daerah tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan sebaiknya merupakan alternatif terbaik menjaga kelestarian keanekaragaman SDGT. Diperlukannya untuk mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah pertanian dan memanfaatkannya bagi peningkatan produktivitas, stabilitas, dan berkelanjutan; perlu secara aktif melaksanakan penelitian. Dari program kerja CBD pada keaneka-ragaman plasma nutfah pertanian telah mengidentifikasi sejumlah area issues penelitian yang dianggap penting sebagai dasar penguatan ilmu pengetahuan antara lain: a. Pengembangan metode untuk mengukur perubahan keanekaragaman SDG 38

7 pertanian pada berbagai skala untuk komponen-komponen yang berbeda; b. Pencarian hubungan, interaksi dan kerjasama antar komponen keanekaragaman plasma nutfah pertanian, yaitu antar tanaman pangan, peternakan, tanaman kehutanan, biota tanah, dan elemen lainnya, termasuk komponen ekosistem alami atau yang dikelola ; c. Penemuan cara dimana keanekaragaman dapat membantu stabilitas, kelenturan dan produktivitas pada berbagai sistem produksi; d. Pengembangan cara untuk menyatakan bahwa keanekaragaman plasma nutfah pertanian dapat membantu daya adaptasi dan membantu mempertahankan produksi dan fungsi ekosistem pada kondisi lingkungan yang berfluktuasi (sustainagility); e. Pemahaman bagaimana keberlanjutan dan mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah pertanian dapat dikombinasikan dengan intensifikasi yang secara nyata bahwa pengembangan agrobiodiversity dapat mengentaskan kemiskinan petani di negara-negara sedang berkembang. PENGELOLAAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK Pengertian pengelolaan SDGT pada dasarnya adalah upaya-upaya yang diperlukan untuk tetap melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan (conservation and sustainable use) plasma nutfah untuk tujuan kesejahteraan manusia secara lestari. Kunci optimal dalam pengelolaan SDGT atau plasma nutfah ternak adalah perbedaan nilai genetika antar spesies, rumpun, kelompok dan individu sehingga memungkinkan bagi produsen untuk memilih gen-gen yang kemungkinan besar mencapai tujuan yang diinginkan pada lingkungan tertentu. Manipulasi gen-gen didalam suatu spesies dengan seleksi, persilangan atau kombinasinya, apabila ada keragaman genetika memungkinkan produsen mencapai tujuan yang diinginkan. Apabila tujuan berubah atau karena perubahan lingkungan, produsen atau pemulia harus mempunyai akses kembali terhadap keragaman genetik untuk menyesuaikan terjadinya perubahan tersebut. Adaptasi terhadap lingkungan melalui perbedaan genetika; mempertahankan keragaman genetika, dan mempelajari hubungannya dengan adaptasi adalah amat sangat penting, oleh karena mempunyai prioritas yang tinggi di dalam hubungannya dengan pengelolaan plasma nutfah ternak. Keragaman genetika mungkin akan hilang dengan penggantian rumpun dengan mengkonsentrasikan pada sifat atau karakter tertentu, atau dengan jalan seleksi yang disertai dengan silang dalam. Hal ini banyak terjadi pada ternak sapi dibandingkan dengan domba dan kambing, sehubungan dengan digunakan inseminasi buatan yang kurang terkontrol. Jalan pintas yang cepat untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah melalui introduksi ternak eksotik dari wilayah temperate dan melakukan persilangan yang tidak terarah, namun akibatnya adalah kehilangan gen-gen dari negara-negara yang sedang berkembang, dan hal ini sulit atau bahkan tidak akan dapat diganti. Dengan demikian nilai dari rumpun yang telah beradaptasi amat sangat berharga. Persilangan mungkin menguntungkan, tetapi menghilangkan rumpun asli atau lokal yang telah beradaptasi, apabila tidak disertai dengan evaluasi terhadap ternak persilangan yang dibandingkan dengan ternak lokal, pada lingkungan dimana persilangan tersebut akan dikembangkan. Langkah-langkah pengelolaan SDGT menurut TUMER (1981) adalah sebagai berikut: Dokumentasi: Langkah pertama pengelolaan sumberdaya genetik ternak adalah dokumentasi yang dimaksudkan untuk mengetahui informasi setiap rumpun. Dengan dokumentasi ini akan diketahui rumpun apa yang ada, bagaimana kinerja atau performansnya pada berbagai kondisi, dan berapa populasinya. Evaluasi: Langkah kedua adalah evaluasi, yang dimaksudkan perbandingan antara dua rumpun atau persilangan. Perbandingan ini akan valid apabila ternak yang dibandingkan harus contemporary dan dilakukan lingkungan dan waktu yang sama. Hal lain yang perlu ditekankan agar dalam evaluasi ini lebih berarti adalah adanya common reference breed, sehingga dapat dilakukan perbandingan silang 39

8 (cross-comparisons) antar percobaan. Hal ini dibutuhkan untuk membandingkan pada lingkungan dimana ternak tersebut akan dikembangkan, misalnya pada kondisi pedesaan, dan bukan pada kondisi stasiun percobaan. Performans yang diamati meliputi semua sifat-sifat penting, misalnya laju kelahiran, mortalitas, morbiditas serta produktivitasnya. Pengembangan rencana pemuliaan (Development of breeding plans): Dalam mengembangkan rencana pemuliaan tidak ada rencana umum yang dapat memenuhi segala macam keadaan. Akan tetapi pengetahuan tentang materi genetika yang ada, yang didasarkan pada hasil dokumentasi dan evaluasi serta struktur industri peternakan yang berlaku merupakan dasar yang penting. Konservasi: Konservasi mungkin dibutuhkan atau tidak, akan tetapi keputusan tergantung pada dokumentasi dan evaluasi. Tidak semua spesies ternak dapat dikonservasi, akan tetapi mempertahankan keragaman genetika, dan mempelajari mekanisme adaptasi sangat penting karena hal ini dibutuhkan pada masa mendatang dalam pembentukan rumpun baru ataupun strain baru. Lebih konkret, tujuan pengelolaan plasma nutfah antara lain untuk: 1. Melestarikan dan memanfaatkan kekayaan plasma nutfah secara optimal; 2. Memperkaya koleksi plasma nutfah dengan mendapatkan koleksi dari berbagai sumber termasuk koleksi asal internasional; 3. Melindungi kekayaan plasma nutfah asli Indonesia agar tidak dipatenkan dan dimanfaatkan oleh yang tidak berhak; 4. Menyediakan materi plasma nutfah, informasi dan edukasi tentang pentingnya plasma nutfah bagi masyarakat; 5. Membangkitkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan plasma nutfah; 6. Bertindak sebagai pangkalan untuk pembentukan gene bank nasional sumber daya genetik; 7. Menyusun kebijakan pengelolaan plasma nutfah nasional; 8. Menjamin keragaman plasma nutfah untuk mencegah setiap ancaman terhadap ketahanan pangan nasional, dan: 9. Mendukung serta mengkoordinasikan pengelolaan sumber daya genetik di dalam negeri dan bekerjasama dengan negara lain. Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan plasma nutfah yang optimal, belum ada suatu perangkat organisasi pengelolaan plasma nutfah nasional yang integratif, saling menunjang, hingga dapat menangani perplasmanutfahan nasional secara optimal. Pengeluaran, penerimaan, eksplorasi dan pertukaran plasma nutfah masih ditangani oleh banyak institusi secara masing-masing, tidak lewat satu pintu kebijaksanaan. Sistem pengelolaan plasma nutfah Ditinjau dari sudut pandang kesisteman, sistem pengelolaan plasma nutfah nasional terdiri atas enam subsistem, yakni: (1) Subsistem Perundangan dan Kelembagaan; (2) Subsistem Inventarisasi dan Eksplorasi; (3) Subsistem Konservasi; (4) Subsistem Evaluasi, Bioprocpecting dan Utilisasi; (5) Subsistem Rejuvenasi dan Reproduksi; dan (6) Subsistem Pelayanan dan Pertukaran Materi serta Dokumentasi Subsistem Perundang-undangan dan Kelembagaan.- Kebutuhan akan adanya Undang-undang tentang Pelestarian dan Pemanfaatan (berkelanjutan) Plasma Nutfah sudah sangat mendesak, untuk dapat melindungi, mengatur, dan memanfaatkan kekayaan plasma nutfah nasional secara optimal, adil dan jelas. Demikian pula kelembagaan atau institusi nasional yang bertugas khusus mengelola plasma nutfah mutlak diperlukan keberadaannya. Untuk mengantisipasi berbagai hal tersebut, Komisi Nasional Plasma Nutfah bekerjasama dengan berbagai stakeholders telah menyusun konsep RUU Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik (RUU-PPSDG) dan telah diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup (sebagai National Focal Point Konvensi Keanekaragaman Hayati) untuk proses selanjutnya. Dalam kaitannya untuk pengaturan produk rekayasa genetik (PRG), telah terbit Peraturan Pemerintah mengenai Keamanan Hayati Produk Rekayasa 40

9 Genetik dengan payung hukum UU Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety to the CBD. Khusus untuk SDGT baru saja terbit Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Ternak. Subsistem Inventarisasi dan Eksplorasi.- Inventarisasi dan eksplorasi kekayaan plasma nutfah alamiah yang terdapat pada habitat aslinya dan lahan pertanian tradisional (lekat lahan) sangat diperlukan, untuk menjawab berbagai pertanyaan, antara lain: (1) apa yang telah kita miliki dan seberapa banyak kekayaan plasma nutfah; (2) dimana saja dapat ditemukan dan bagaimana habitatnya; (3) bagaimana status keberadaannya; (4) siapa yang memelihara dan yang memiliki haknya; (5) seberapa besar ragam genetiknya; (6) adakah kerabat liar, land races, varietas primitif; dan (7) apa saja kegunaannya bagi masyarakat sekitar, dan lain-lain pertanyaan yang relevan. Registrasi perlu dilakukan dalam rangka inventarisasi, baik terhadap spesies yang tetap hidup di habitat aslinya (in situ conservation), maupun terhadap contoh spesies yang akan dikoleksikan secara ex situ. Subsistem Konservasi.- Subsistem konservasi merupakan kegiatan utama dan yang terbesar dalam sistem pengelolaan plasma nutfah antara lain dilakukan: Identifikasi, klasifikasi taksonomi, autentifikasi, karakterisasi, pemeliharaan pengujian daya tumbuh, penentuan golongan untuk penyimpanan jangka pendek, menengah dan panjang, pemasukan kedalam katalog atau pemberian nomor kode dan lain-lain. In situ conservation di alamiah yang merupakan habitat asli memerlukan penjagaan dan perlindungan. Demikian pula konservasi in situ sekunder berupa taman ternak termasuk kedalam kegiatan sub sistem konservasi. Subsistem Evaluasi, Bioprospecting dan Utilisasi.- Subsistem evaluasi, bioprospeksi dan utilisasi dilakukan oleh berbagai ahli, yang dapat menggali informasi, sifat dan kandungan gen yang dimiliki oleh setiap aksesi plasma nutfah beserta kemungkinan pemanafaatan sifat yang dimilikinya. Sub sistem ini memerlukan tenaga ahli terbanyak dari berbagai keahlian: genetika, sitogenetik, genetika molekuler, pemuliaan, phisiologi, pathologi, entomologi, nutrisi. Bio-medik, kosmetik, biologi dan lain-lain. Kegiatan bioprospeksi melakukan penelitian kandungan zat dan kegunaannya terhadap industri. Kegiatan utilisasi meneliti langsung dari aksesi plasma nutfah, pemanfaatan gen-gen yang dimilikinya sebagai donor dalam program pemuliaan. Kelompok pemuliaan secara tidak langsung harus masuk kedalam sub sistem ini. Hasil dari susb sistem ini harus didokumentasikan dalam katalog agar informasinya tersedia bagi masyarakat penggunanya. Subsistem Rejuvenasi dan Reproduksi.- Rejuvenasi bertujuan untuk memproduksi materi koleksi agar produktivitasnya tetap tinggi, dan pemeliharaan agar tidak punah. Dalam kegiatan ini komposisi genetik materi koleksi agar dijaga dan tidak mengalami perubahan. Reproduksi bertujuan untuk memperbanyak benih/bibit materi koleksi untuk keperluan penelitian, analisis dan pertukaran. Subsistem Pelayanan dan Pertukaran Materi serta Dokumentasi.- Subsistem ini menangani dan melayani informasi plasma nutfah dan permintaan materi koleksi. Menyiapkan, pengiriman, sertifikasi karantina, perjanjian tertulis dalam bentuk Material Transfer Agreement (MTA). Pengiriman atau pemberian materi dengan menggunakan MTA penting dilakukan untuk menjaga hasil turunan dari materi tersebut tidak dipatenkan negara lain, kalau dikomersialkan oleh penerima, royalti komersialnya mendapat bagian. PERTIMBANGAN KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TERNAK Berbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari yang dipenuhi oleh spesies ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya. Namun hanya sebagian kecil dari total keragaman genetika ternak dan kerabat liarnya, yakni sekitar 40 spesies, yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak global. Keragaman genetik didalam spesies ternak dan beberapa kerabat liarnya telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak. Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berkelanjutan dimasa mendatang. Punahnya keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti 41

10 meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak sampai saat ini. Oleh karena itu merupakan tantangan untuk mengelola keragaman plasma nutfah yang ada, mempertahankan produktivitasnya, memenuhi permintaan yang meningkat sehubungan dengan semakin bertambahnya populasi penduduk. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa aktivitas manusia mengakibatkan erosi keragaman plasma nutfah ternak, misalnya mengganti rumpun ternak lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dengan rumpun ternak impor yang dianggap lebih produktif, tetapi membutuhkan input yang lebih tinggi. Dengan mempertahankan rumpun ternak lokal yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang penuh kendala, dengan sistem produksi yang cukup rendah biaya produksinya, yang umum didapat di negaranegara sedang berkembang, akan meningkatkan keamanan pangan jangka panjang secara global. Di samping itu melalui pengembangan rumpun ternak lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usahatani, karena pola pemeliharaannya masih bersifat low - medium production input. Dari Global Data Bank for Farm Animal Genetic Resources yang dilaporkan oleh World Watch List for Domestic Animal Diversity (FAO dan UNEF, 2000) dilaporkan bahwa telah tercatat 6379 rumpun dari 30 spesies mamalia dan avian. Catatan populasi yang tercatat adalah atau 66% dari semua rumpun yang tercatat. Dari populasi tersebut 1335 rumpun, atau 32% diklasifikasikan sebagai rumpun yang mempunyai resiko untuk punah, atau diklasifikasikan critical atau endangered. Atau secara ringkas kriteria sederhana yang dipakai adalah jumlah ternak betina dewasa (breeding female) kurang dari 1000 ekor dan ternak jantan dewasa (breeding male) kurang dari 20 ekor. Sebagian besar dari rumpun yang mempunyai resiko untuk punah terdapat di negara-negara yang sedang berkembang. Tantangan untuk mencapai keamanan pangan akan lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya, dengan perkiraan di dunia sekarang terdapat satu orang kekurangan pangan dari enam orang yang hidup. Pada laju pertumbuhan penduduk sekarang, konsumsi pangan dan produk-produk pertanian harus dapat dipenuhi dari areal yang sama. Pada awal pertanian, satu orang menguasai 25 hektar, sekarang, kepadatan penduduk dunia menjadi 25 orang per hektar lahan dan mungkin orang per hektar pada beberapa wilayah padat penduduk. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa negara berkembang mengalami kekurangan pangan. Untuk menjamin kecukupan dan keamanan pangan di negara miskin tersebut, diperlukan upaya peningkatan produksi dan pengurangan keragaman suplai pangan dari tahun ke tahun. Memang, beberapa negara berkembang telah menunjukkan kemajuan peningkatan produksi pangan dan penekanan laju pertumbuhan penduduk; namun masih tetap diperlukan upaya untuk pemenuhan kecukupan keamanan pangan. Tidak disangkal lagi bahwa SDGT telah meyumbang kebutuhan pangan dan pertanian lebih dari tahun, yaitu menghasilkan daging, susu, telur, serat/kulit, pupuk organik, dan tenaga kerja ternak. SDGT juga membantu mengurangi resiko kegagalan peternak dalam usahatani dan memberikan lapangan kerja. Dari total keanekaragaman diantara SDGT telah membantu (baik langsung atau tidak langsung) daya hidup manusia melalui pemenuhan kebutuhan pangan dan pertanian sebesar 30%. Dari SDGT itu sendiri, keragaman genetik juga memungkinkan ternak beradaptasi terhadap serangan penyakit, parasit, keragaman lingkungan, dan beberapa faktor pembatas lainnya. Pada beberapa dekade terakhir, beberapa rumpun dari spesies ternak telah berhasil dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas satu atau dua sifat produksi pada kondisi yang terkontrol. Ternak-ternak tersebut menghasilkan lebih banyak daging, susu atau telur sepanjang mereka mendapat lingkungan (pakan, suhu, kontrol penyakit, tatalaksana) yang memadai. Dengan tingginya produktivitas rumpun ternak yang telah dikembangkan, menyebabkan rumpun/galur ternak tersebut di ekspor ke berbagai negara di dunia, dengan harapan akan cepat beradaptasi dan dapat dibudidayakan dengan lebih efisien. Namun, beberapa kenyataan menunjukkan bahwa rumpun ternak tersebut bukannya lebih efisien, karena memerlukan banyak tambahan pakan dan input-input produksi lain untuk tetap mempertahankan produktivitasnya. Bahkan tidak jarang, ternak impor tersebut tidak dapat 42

11 bereproduksi atau hidup sebaik rumpun ternak lokal yang sudah beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai hasilnya, siklus produktivitas selama hidup dari ternak impor tersebut, dan bahkan turunan silangnya dengan ternak lokal, ternyata lebih rendah dibanding produktivitas ternak lokal. Akibatnya justru kerugian yang diperoleh. Suatu Komisi Pengembangan Sumberdaya Ternak yang Berkelanjutan dari badan PBB (FAO), seperti tertera dalam agenda 21, menetapkan pentingnya untuk mendorong usaha pertanian dan pengembangan pedesaan yang berwawasan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan aspek pelestarian dan pemanfaatan SDGT yang berkelanjutan. Hasil pertemuan perwakilan negara-negara anggota PBB yang berkepentingan terhadap pelestraian keanekaragaman sumberdaya hayati (ternak) di FAO, menyerukan dikembangkannya suatu strategi Global tentang Tatalaksana SDGT, dan mendorong pengembangan inventarisasi ternak berdasarkan status populasi, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Komponen utama untuk pelaksanaan program pelestarian dan tatalaksana SDGT secara berkelanjutan adalah: (1) mekanisme antar pemerintahan untuk memastikan keterlibatan dan kontinuitas bantuan dan saran kebijakan dari pemerintah; (2) struktur perencanaan dan pelaksanaan, yang melengkapi jaringan kerja tingkat nasional, regional dan global; (3) program kerja teknis, bertujuan untuk membantu tatalaksana SDGT pada tingkat nasional; dan (4) monitoring dan evaluasi, yakni merupakan komponen untuk melengkapi data dasar dan informasi yang diperlukan sebagai panduan, dan pelaporan status keragaman SDGT dan membantu keberhasilan strategi global. Mekanisme antar pemerintahan cukup penting, untuk memastikan keterlibatan pemerintah dan stakeholder dalam pengembangan lebih lanjut, pelaksanan dan monitoring dari strategi global. Suatu Komisi Sumberdaya Genetik untuk Pangan dan Pertanian merupakan mekanisme antar pemerintahan untuk strategi global. Perwakilan FAO, membentuk Komisi untuk mengkoordinasi kebijakan secara sektoral dan antar sektoral yang berhubungan dengan pelestarian dan pemanfaatan pangan dan pertanian secara berkelanjutan. Pada tahun 1997 dibentuk suatu komisi yang diberi nama: Intergovernmental Technical Working Group on Animal Genetic Resources for Food and Agriculture yang membahas strategi global dan issues yang berhubungan dengan sumberdaya genetik, serta membuat rekomendasi untuk pengembangan dan pelaksanaan strategi global lebih lanjut. Salah satu komponen kunci strategi global adalah pra-sarana perencanaan dan pelaksanaan pada tingkat nasional. Paling tidak menyangkut lima elemen struktur yakni: Global Focal Point, Regional Focal Point, National Focal Point, mekanisme keterlibatan Donor dan Stakeholder, dan Domestic Animal Diversity Information System (DAD-IS). Suatu keberhasilan perencanaan tingkat nasional dam prasarana pelaksanaan tergantung pada aktivitas dan koordinasi komunikasi, penentuan skala prioritas, strategi pengembangan dan pelaksanaan, perencanaan proyek, dan pelaporan. Global Focal Point pada tingkat FAO bertugas pada perencanaan, pengembangan dan pelaksanaan seluruh strategi global; mengembangkan dan mempertahankan sistem informasi dan komunikasi; mempersiapkan pedoman; koordinasi antar regional; mempersiapkan dokumen pelaporan dan pertemuan; diskusi fasilitas kebijakan; identifikasi pelatihan; transfer pendidikan dan teknologi; mengembangkan program dan project proposal; dan memobilisasi sumber dana. Regional Focal Points memfasilitasi komunikasi regional; melengkapi panduan teknik dan kepemimpinan; koordinasi pelatihan, aktivitas penelitian dan perencanaan antar negara anggota; memprakarsai pengembangan kebijakan regional; membantu dalam prioritas proyek identifikasi; dan berinteraksi dengan perwakilan negara-negara anggota, donor dan lembaga penelitian dan organisasi non-pemerintah. Untuk wilayah Asia-Pasifik, Regional Focal Points berkedudukan di Bangkok. National Focal Points bertugas untuk memfasilitasi dan mengkoordinasikan semua kegiatan tingkat nasional, mengidentifikasi kebutuhan kapasitas, pengembangan project proposal, membantu kebijakan pengambangan dan pelaksanaan tingkat nasional, dan berinteraksi dengan beberapa stakeholder di negara tersebut, termasuk fokus nasional untuk 43

12 keanekaragaman biologik, dan bekerjasama dengan Regional Focal Point serta Global Focal Point. Pada tingkat nasional, masingmasing negara bertanggung jawab terhadap penentuan mekanisme keterlibatan stakeholder yang dimilikinya. Domestic Animal Diversity-Informastion System (DAD-IS) berfungsi sebagai makanisme kantor penerangan untuk strategi global. DAD-IS mudah di akses untuk informasi data global. DAD-IS dikembangkan oleh FAO untuk melengkapi negara-negara dengan informasi mutakhir dan alat komunikasi yang digunakan untuk memanfaatkannya. DAD-IS tersebut dilengkapi kapasitas untuk hubungan dengan peternak, ilmuwan dan pengguna lainnya untuk memastikan partisipasi secara efektif dalam strategi perencanaan dan aktivitas pengembangan dan pelaksanaan SDGT di negaranya. DAD-IS dilengkapi peralatan komunikasi dan informasi, yang memberikan informasi secara cepat dan relatif murah mengenai petunjuk pelaksanaan, laporan, dan dokumen pertemuan; dan dilengkapi mekanisme pertukaran informasi yang diperlukan melalui kerjasama dengan ilmuwan dan pengambil kebijakan. DAD-IS menjamin kepastian negara dalam penyimpanan dan komunikasi mengenai data dan informasi SDGT. Data dasar DAD-IS berdasarkan rumpun ternak, sebagai dasar sistem peringatan awal SDGT, memberikan kemungkinan untuk memproduksi daftar SDGT di dunia yang perlu diawasi, dan menyediakan data dan informasi yang dapat dimanfaatkan negara-negara untuk tujuan pemanfaatan SDGT secara efektif dan efisien. Persiapan rencana pengelolaan tingkat nasional untuk SDGT merupakan elemen kunci untuk pekerjaan program teknikal. Pengelolaan SDGT di suatu negara secara teknis sangat komplek, dan memerlukan partisipasi peternak dan pemulia, penentu kebijakan, ilmuwan, komunitas lokal dan tradisonal, dan berbagai perorangan. Persiapan rencana nasional akan membantu negara untuk: pemantapan petunjuk pengembangan ternak secara berkelanjutan untuk produksi pangan dan pertanian yang penting; mengkaji kebutuhan dan prioritas; meningkatkan kesadaran akan peran dan nilai SDGT, termasuk sumberdaya genetik yang dapat beradaptasi pada lingkungan lokal; perbaikan target dan meningkatkan keefektifan biaya aktivitas tatalaksana; dan untuk negara sedang berkembang, dapat mendapatkan bantuan dana dari negara maju. Pengertian tentang status SDGT di dunia (Understanding the State of the Worlds Animal Genetic Resources). Dengan diketahuinya kebutuhan kapasitas nasional, regional untuk menggunakan, mengembangkan dan mengkonservasi SDGT atau plasma nutfah ternak, ditambah dengan kemampuan untuk melaporkan status dan trend dari SDGT dan program yang membantu pengelolaannya, the Intergovernmental Technical Working Group on Animal Genetic Resources (ITWG AnGR) of FAO s Commissions on Genetic Resources for Food and Agriculture merekomendasikan pada pertemuannya yang pertama pada bulan September 1998, bahwa FAO mengkoordinasi perkembangannya dari tahun , laporan dari setiap negara tentang the State of the World Animal Genetic Resources (SoW- AnGR). Selanjutnya, rekomendasi tersebut disetujui oleh komisi dan ITWG-AnGR selanjutnya menyelesaikan petunjuk (guidelines) untuk membentuk atau mengembangkan Country Reports. SoW-AnGR akan mendorong berkembangnya strategi global. Tujuan dari SoW-AnGR adalah untuk menumbuhkan kapasitas nasional dan kerjasama internasional untuk mencapai intensifikasi sistem produksi ternak melalui penggunaan dan pengembangan yang bijaksana dari SDGT, dengan mempertimbangkan kendala dan kesempatan yang ditimbulkan oleh permintaan yang meningkat pada sub-sektor peternakan dan dengan perubahan iklim dan teknologi. Laporan SoW-AnGR yang pertama akan memberikan dasar atau fondasi untuk menempatkan prioritas dan program suatu negara, regional dan global serta mengembangkan kerjasama dan membantu didalam mempertahankan serta mendorong kontribusi SDGT terhadap pangan dan pertanian. Keluaran yang diharapkan dari proses SoW-AnGR adalah: Mengkaji kapasitas nasional dan regional mengelola sumberdaya genetik, dan memfasilitasi seting prioritas inter alia untuk pelatihan dan transfer teknologi dan bentuk lain dari capacitybuilding. 44

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati *

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 19 Januari 2016; disetujui: 26 Januari 2016 Indonesia merupakan negara yang kaya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 37/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 37/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 37/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Dalam upaya pemuliaan tanaman, tidak jarang varietas modern hasil pemuliaan akan menggeser varietas lama. Perkembangan pembuatan

Dalam upaya pemuliaan tanaman, tidak jarang varietas modern hasil pemuliaan akan menggeser varietas lama. Perkembangan pembuatan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE (PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang dan Tujuan

1.1. Latar Belakang dan Tujuan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE (PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK

Lebih terperinci

ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN

ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN Oleh DR (IPB) H. BOMER PASARIBU, SH,SE,MS.* SOSIALISASI UU NO 4 TH 2006 Tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pada

BAB I PENDAHULUAN. alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber Daya Alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pada umumnya, sumber daya alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP PLASMA NUTFAH OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP Sejak berakhirnya konvensi biodiversitas di Rio de Jenairo, Brasil, 1992, plasma nutfah atau sumber daya genetik tidak lagi merupakan kekayaan dunia di mana setiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembara Negara Republik

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembara Negara Republik 7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK Tim Peneliti : Dr. Bambang Sayaka PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE (PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

Deklarasi Interlaken Tentang Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT)

Deklarasi Interlaken Tentang Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) Deklarasi Interlaken Tentang Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) 1 Guna menghargai arti penting dan nilai sumber daya genetik ternak (SDGT) untuk pangan dan pertanian, khususnya sumbangan untuk keamanan

Lebih terperinci

STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA

STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA BAMBANG SETIADI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Bahwa kekuatan sumber daya genetik ternak tergantung pada derajat keanekaragaman

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN

PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN JL. RAGUNAN 29, PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN 2011 DAFTAR ISI Halaman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG AKSES PADA SUMBER DAYA GENETIK SPESIES LIAR DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN ATAS PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 35/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 35/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 35/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis menjadi salah satu faktor pendukung peternakan di Indonesia. Usaha peternakan yang berkembang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos Banteng Syn Bos sondaicus) yang didomestikasi. Menurut Meijer (1962) proses penjinakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

KebijakanKeanekaragamanHayati. FakultasPertaniandanPeternakan

KebijakanKeanekaragamanHayati. FakultasPertaniandanPeternakan KebijakanKeanekaragamanHayati Zulfahmi FakultasPertaniandanPeternakan Sebelum Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) Sumber daya hayati sebagai common heritage mankind Belum ada kesadaran akan pentingnya

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE (PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

2016, No pengetahuan dan teknologi tentang keanekaragaman hayati yang harus disosialisasikan kepada masyarakat, perlu membangun Museum Nasiona

2016, No pengetahuan dan teknologi tentang keanekaragaman hayati yang harus disosialisasikan kepada masyarakat, perlu membangun Museum Nasiona No.1421, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LIPI. Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG MUSEUM NASIONAL

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PAKAN REKAYASA GENETIK PERLU PRINSIP KEHATI-HATIAN

TEKNOLOGI PAKAN REKAYASA GENETIK PERLU PRINSIP KEHATI-HATIAN TEKNOLOGI PAKAN REKAYASA GENETIK PERLU PRINSIP KEHATI-HATIAN Produk rekayasa genetik pada saat ini sudah tersebar luas di berbagai negara, khususnya negara-negara maju dan di Indonesia pun sudah ada beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN INDONESIA: Studi Kasus Padi

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN INDONESIA: Studi Kasus Padi POLICY BRIEF VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN INDONESIA: Studi Kasus Padi Tim Peneliti: Ening Ariningsih Pantjar Simatupang Putu Wardana M. Suryadi Yonas Hangga Saputra PUSAT SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan komoditas pangan kedua setelah padi di Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan sebagai pakan ternak.

Lebih terperinci

TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE

TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN PEMBUKAAN Para Pihak, Yakin akan sifat khusus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

PENTINGNYA PLASMA NUTFAH DAN UPAYA PELESTARIANNYA Oleh : DIAN INDRA SARI, S.P. (Pengawas Benih Tanaman Ahli Pertama BBPPTP Surabaya)

PENTINGNYA PLASMA NUTFAH DAN UPAYA PELESTARIANNYA Oleh : DIAN INDRA SARI, S.P. (Pengawas Benih Tanaman Ahli Pertama BBPPTP Surabaya) PENTINGNYA PLASMA NUTFAH DAN UPAYA PELESTARIANNYA Oleh : DIAN INDRA SARI, S.P. (Pengawas Benih Tanaman Ahli Pertama BBPPTP Surabaya) I. PENDAHULUAN Plasma nutfah merupakan sumber daya alam keempat selain

Lebih terperinci

PEDOMAN PERJANJIAN PENGALIHAN MATERIAL(PPM) ATAU MATERIAL TRANSFER AGREEMENT (MTA)

PEDOMAN PERJANJIAN PENGALIHAN MATERIAL(PPM) ATAU MATERIAL TRANSFER AGREEMENT (MTA) PEDOMAN PERJANJIAN PENGALIHAN MATERIAL(PPM) ATAU MATERIAL TRANSFER AGREEMENT (MTA) DEPARTEMEN PERTANIAN Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008 PEDOMAN PERJANJIAN PENGALIHAN MATERIAL (PPM) ATAU

Lebih terperinci

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Penggolongan Keanekaragaman Hayati 1. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu sp, baik diantara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam mencapai

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

Terjemahan Naskah International Treaty on Plant GeneticResources for Food and Agriculture

Terjemahan Naskah International Treaty on Plant GeneticResources for Food and Agriculture TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY on PLANT GENETIC RESOURCES for FOOD and AGRICULTURE PERJANJIAN mengenai SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN untuk PANGAN dan PERTANIAN Para Pihak, PEMBUKAAN Yakin akan sifat khusus

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi beternak babi di Indonesia kebanyakan berasal dari negaranegara sub tropis yang sering kali membutuhkan biaya pemeliharaan yang tinggi. Teknologi beternak babi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijuluki sebagai negara agraris yang mengandalkan perekonomian sektor pertanian. Oleh

I. PENDAHULUAN. dijuluki sebagai negara agraris yang mengandalkan perekonomian sektor pertanian. Oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan limpahan sumber daya alam sehingga dijuluki sebagai negara agraris yang mengandalkan perekonomian sektor pertanian. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan sektor yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan. Kebutuhan masyarakat akan produk produk peternakan akan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Pembangunan Peternakan Provinsi Jawa Timur selama ini pada dasarnya memegang peranan penting dan strategis dalam membangun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Sapi Bali yang terdapat di Provinsi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) Sebagai suatu negara yang aktif dalam pergaulan dunia, Indonesia senantiasa dituntut untuk cepat tanggap

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.328, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Persyaratan. Mutu Benih. Bibit Ternak. Sumber Daya Genetik Hewan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/Permentan/OT.140/3/2012

Lebih terperinci

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Tradisi pertanian masyarakat Indonesia ------ integrasi tanaman dan ternak pertanian campuran

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal.  [20 Pebruari 2009] I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Pemanfaatan. Pelestarian. Hewan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

Lebih terperinci

KONSERVASI SDGT. Oleh : Setyo Utomo

KONSERVASI SDGT. Oleh : Setyo Utomo KONSERVASI SDGT Oleh : Setyo Utomo PEMULIAN TERNAK BAGIAN DARI KONSERVASI SDGT SECARA UMUM MAKSUD KONSERVASI ADALAH PENGGUNAAN SUMBERDAYA ALAM SEPERTI AIR, TANAH, TANAMAN, HEWAN/TERNAK, DAN MINERAL SECARA

Lebih terperinci

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian Menuju Bibit Ternak Berstandar SNI Jalan pintas program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) pada tahun 2014 dapat dicapai dengan melakukan pembatasan impor daging sapi dan sapi bakalan yang setara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

ARAH PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL DI INDONESIA

ARAH PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ARAH PENGEMBANGAN PEMBIBITAN AYAM LOKAL DI INDONESIA SAMARIYANTO Direktur Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan PENDAHULUAN Pengembangan sistem dan usaha perbenihan dan pembibitan ternak secara umum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1919, 2014 LIPI. Perjanjian. Pengalihan. Material. Pedoman PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERJANJIAN PENGALIHAN

Lebih terperinci

PERANAN IBSAP DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

PERANAN IBSAP DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PERANAN IBSAP DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Endah Murniningtyas Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAN PENETAPAN RUMPUN ATAU GALUR TERNAK TAHUN 2014

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAN PENETAPAN RUMPUN ATAU GALUR TERNAK TAHUN 2014 PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAN PENETAPAN RUMPUN ATAU GALUR TERNAK TAHUN 2014 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN A. KONDISI UMUM Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hewan sebagai karunia dan

Lebih terperinci

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, BUPATI MOJOKERTO PERATURAN BUPATI MOJOKERTO NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang PENDAHULUAN Latar Belakang Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang sering diterapkan di pedesaan terutama di daerah yang memiliki potensi memelihara ayam broiler. Pola kemitraan

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK PTP101 Dasar Produksi Ternak 3(2-3) Mata kuliah ini memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan, memahami tentang arti, fungsi jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan laju pertumbuhan penduduk.

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA PUBLIK

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA PUBLIK DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA PUBLIK JAKARTA 2015 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci