BAB I PENDAHULUAN. terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. LATAR BELAKANG Diskriminasi gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan, namun polanya sangat mengejutkan. Tak ada satu kawasan pun di negara-negara berkembang berlaku kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi. Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap dan kendali atas sumber daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam hak bersuara politik. Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari ketidaksetaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan merugikan setiap orang (Bank Dunia, 2001:1). Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan masalah hak asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu perempuan saja, karena masalah dan kondisi sosial tersebut merupakan persyaratan dalam proses pembangunan masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan (Sadli dalam Ihromi, dkk., 2006:7). Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan semua orang (laki-laki dan perempuan) untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup (Bank Dunia, 2001:1). Anggapan yang menyatakan bahwa perempuan tidak pantas dan tidak perlu dilibatkan dalam kegiatan di sektor publik, harus diubah karena merugikan, menghambat, dan tidak 1

2 sesuai dengan semangat memanusiakan manusia serta program pemberdayaan perempuan yang menjadi kebijakan pemerintah selama ini (Sedarmayanti, 2004:145). Di Indonesia, masalah gender sudah sejak lama mendapat perhatian. Dimulai dari perjuangan Raden Ajeng Kartini pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk menikmati pendidikan sekolah. Selain disebabkan oleh jumlah institusi pendidikan yang masih sangat terbatas, kondisi tersebut juga dipicu oleh budaya saat itu, yang mengabaikan pentingnya bekal pendidikan bagi perempuan. Wafatnya pejuang hak kaum perempuan tersebut pun turut membuat pembicaraan ini kian lama semakin surut. Keadaan tersebut kemudian sedikit berubah ketika untuk pertama kalinya Kongres Perempuan diadakan pada tahun Perjuangan atas hak-hak kaum perempuan kembali dibicarakan. Ketika memasuki masa pemerintahan Orde Baru, ketidakadilan gender ini semakin terabaikan, meski Undang Undang No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang merupakan ratifikasi dari Convention on The Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) disahkan pada masa itu. Bahkan dianggap menjadi hal yang wajar, apabila laki-laki berada pada lingkungan publik, sementara perempuan diposisikan pada lingkungan domestik. Secara tegas, hal tersebut dicanangkan dalam Panca Dharma Wanita, yaitu (Suparno, 2005:37): 1. Wanita sebagai pendamping suami 2. Wanita sebagai penerus keturunan 3. Wanita sebagai pendidik anak 4. Wanita pencari nafkah 5. Wanita sebagai warga masyarakat Memasuki masa reformasi, masalah mengenai kepentingan perempuan yang kerap termarjinalkan ini kembali muncul ke permukaan. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden 2

3 (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pengarusutamaan gender ditetapkan menjadi salah satu strategi yang dapat membawa kaum perempuan untuk ikut mengambil bagian dalam pembangunan nasional. Ironisnya, kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid, ternyata dinilai tidak berhasil membantu kaumnya untuk menghadapi masalah-masalah seperti trafficking, kekerasan terhadap perempuan, dan partisipasi perempuan dalam politik (International Herald Tribune, diakses pada tanggal 19 Nopember 2007). Adanya seorang pemimpin yang datang dari kaum perempuan dalam bangsa ini, ternyata tidak membawa dampak yang besar terhadap kepentingan kaum tersebut yang sudah lama termarjinalkan. Hingga saat ini, ketika demokratisasi di era otonomi daerah diwarnai dengan maraknya proses legislasi yang menghasilkan berbagai undang-undang dan paraturan serta kebijakan publik, seperti peraturan pengarusutamaan gender dan kuota perempuan, ternyata tidak serta merta mengangkat posisi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam politik dan dalam proses pembuatan kebijakan publik (Formasi Indonesia, 15 Juni 2008). Seringkali peraturan-peraturan daerah tiba-tiba keluar namun akhirnya berdampak kepada perempuan yang menjadi sasaran (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, diakses pada tangga; 27 Nopember 2007). Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Jurnal Ekonomi Rakyat, diakses pada tanggal 15 Juni 2008). Sejalan dengan itu, pengarusutamaan gender yang dicanangkan oleh pemerintah seharusnya bisa menjadi strategi untuk pencapaian tujuan otonomi daerah tersebut. 3

4 Tujuan ditetapkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelasaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditetapkan karena memang kaum perempuan cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk membekali dirinya dengan sumber daya yang ada, yang akhirnya berujung pada kurangnya keterlibatan mereka pada masalah kebijakan dan program pembangunan nasional. Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan menjadi rentetan catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian, tahap implementasi tersebut pun menjadi tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa dipantau. Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara (Setdaprovsu) adalah salah satu unit sekretariat daerah Provinsi Sumatera Utara yang memiliki komitmen penuh dalam mensosialisasikan pengarusutamaan gender ini ke seluruh kalangan, terutama di kalangan para pembuat kebijakan. Meski pengarusutamaan gender telah diberlakukan secara nasional, tetapi kenyataan yang harus dihadapi saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Laporan Pembangunan Manusia /2008 yang dipublikasikan oleh UNDP, nilai GDI Indonesia, yaitu 0,721 harus diperbandingkan dengan nilai HDI-nya 0,728. Nilai GDI Indonesia adalah 99,1% dari nilai HDI-nya. Dari 156 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 79 negara 1 Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (human development index-hdi) yang mengartikan defenisi kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi), dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/ppp, penghasilan). Namun tidak memasukkan tingkat ketidakseimbangan gender dalam pencapaian-pencapaian tersebut. Indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender (gender-related development index/gdi), yang diperkenalkan dalam Laporan Pembangunan Manusia 1995, mengukur pencapaian dalam dimensi-dimensi yang sama dengan menggunakan indikator-indikator yang sama seperti HDI, tapi sekaligus menggambarkan ketidaksetaraan dalam pencapaian antara laki-laki dan perempuan. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut. 4

5 mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia (UNDP, 16 Pebruari 2008). Sedangkan menurut laporan yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa pada tahun 2005 Provinsi Sumatera Utara berada pada peringkat ke-18 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia (BKKBN, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Menurut hasil analisa peroleh suara perempuan dalam Pemilu Legislatif tahun 2004, ada sebanyak 9 (sembilan) provinsi tidak memiliki wakil perempuan sebagai anggota DPD, yang antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Padahal apabila dilihat dari urutan perolehan suara, di hampir 50% provinsi perempuan merupakan kandidat terpopuler pertama dan kedua. Artinya pemilih tidak alergi pada kandidat perempuan, dan perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk mendapatkan dukungan suara. (Kementerian Negeri Pemberdayaan Perempuan, diakses pada tanggal 06 Januari 2008). Masalah rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan yang penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dampak dari ketimpangan tata hubungan sosial laki-laki dan perempuan menimbulkan setidaknya 4 (empat) implikasi negatif, yakni: pertama, perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan memiliki kualitas rendah, sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya produktifitasnya rendah; kedua, posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor pembangunan politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan, hukum dan pertahanan keamanan; ketiga, di tengah masyarakat baik di lingkungan keluarga dan umum, muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan (violence), perdagangan orang (trafiking). Perempuan memiliki beban ganda (double burden), dimana ia terlibat dalam pekerjaan rumah tangga (domestik) dan di sektor publik juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga; 5

6 dan keempat, perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum perempuan (Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu, Penelitian Lapangan 2008). Menurut data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Utara mengenai rekapitulasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan Provinsi Sumatera Utara per September 2007, jumlah PNS pria jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah PNS wanita, yaitu sebanyak orang PNS pria berbanding orang PNS wanita. Dari data tersebut juga diperoleh bahwa jumlah wanita yang termasuk dalam pejabat Eselon I dan II hanya berjumlah 4 (empat) orang (Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara, Penelitian Lapangan 2008). Kesenjangan inilah yang menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian yang berjudul KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI SUMATERA UTARA. Penelitian ini akan menjabarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui variabelvariabel yang akan dikemukakan nantinya. I. 2. PERUMUSAN MASALAH Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin dikembangkan oleh penulis adalah sebagai berikut. Bagaimanakah kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara? 6

7 I. 3. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan serta hasilnya, dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut. I. 4. MANFAAT PENELITIAN Selain adanya tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini pun diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak. Hasil dari penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai berikut. a. Peneliti memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah dalam menganalisa permasalahan di lapangan. Selain itu, juga sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Internship di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU Medan. b. Peneliti akan memperoleh informasi mengenai gambaran kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara. c. Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu akan semakin termotivasi untuk mencapai visi dan misinya dalam mewujudkan pengarusutamaan gender. d. Sebagai sumbangan bagi kaum akademis secara umum, yang mampu menambah khasanah ilmiah dan kepustakaan baru dalam penelitian-penelitian ilmu sosial. e. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi Fakultas dan menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa/i di masa mendatang. 7

8 I. 5. KERANGKA TEORI I Implementasi Kebijakan Publik Dengan mengacu pada konsep kebijakan yang dikemukakan James Anderson bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan (Winarno, 2002:16), maka dapat diketahui bahwa kebijakan (dalam hal ini berarti kebijakan publik) timbul karena adanya suatu masalah yang berkaitan dengan publik. Adapun kata publik, menurut Thomas Dye, mengandung 3 (tiga) konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat dan umum (Abidin, 2004:22). Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Winarno, 2002:27). Tahap implementasi merupakan tahap yang penting. Namun bukan berarti tahap yang lainnya tidak berpengaruh. Ketiga tahap ini saling berkaitan. Suatu program kebijakan hanya akan mnejadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah (Winarno, 2002:29-30). Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas yang dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hail melalui aktivitas atau kegiatan program dari pemerintah (Tangkilisan, 2003:9). Dari beberapa pemahaman yang diungkapkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa impelementasi merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan 8

9 kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil sebagaimana diharapkan. Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan ini, Tangkilisan (2003:18) mengemukakan 3 (tiga) kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan; dan penerapan, yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya. Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu kebijakan. Berikut ini akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli dari berbagai literatur. a. Model Top-Down Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian (dalam Putra, 2003:86) ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top-down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up. Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hirarkhi dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Sedangkan untuk pendekatan bottom-up, mereka mencoba memprediksikan signifikansi hubungan antara para aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau area problem, dengan keterbatasan hirarkhi formal dalam kondisi hubungan dengan lingkungan di luar peraturan. Mereka melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi 9

10 dari 3 (tiga) variabel yang berhubungan dengan: (1) karateristik masalah; (2) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan operasional kebijakan; dan (3) faktor-faktor di luar peraturan. Namun demikian, tampaknya penekanannya masih sangat tergantung pada tipologi pelaksana, dan masih bersifat administrasi, dengan titik berat pada analisis hipotesis dan cara-cara untuk mencapai tujuan yang masih terpusat pada kompliansi dan kontrol yang koordinatif atau koordinasi. Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat singel atau penuh. Model ini mempunyai skor rendah pada buktibukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksana. Modelnya ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier. Maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari aktor lain. Gambar Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian Karakteristik Masalah 1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi 4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran 2. Teori kasual yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Diskresi pelaksana 6. Rekrutmen dari pejabat 7. Akses formal pelaksana organisasi Variabel Non-Peraturan 1. Kondisi sosio ekonomi dan 2. Perhatian pers thd. masalah kebijakan 3. Dukungan publik 4. Sikap dan sumber daya 5. Dukungan kewenangan 6. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana Proses Implementasi Keluaran Kebijakan dari Organisasi Pelaksana Kesesuaian keluaran kebijakan dengan kelompok sasaran Dampak aktual keluaran kebijakan Dampak yang diperkirakan Perbaikan Peraturan (Sumber: Putra, 2003:89) 10

11 b. Model Bottom-Up Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan, yaitu: (1) idealizede policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya; (2) target group, yaitu bagiian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan polapola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya; (3) implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakann; (4) environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar menawar antara formulator dan implementor kebijakan. Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka 11

12 peluang terjadinya transaksi melalui proses negosiasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group. Namun kemampuan badan atau unit pelaksana di saat kebijakan diimplementasikan masih diragukan kesiapan dan kemampuannya. Gambar Model Proses atau Alur Smith Policy Implementing Organization Target Group Making Policy Idealized Policy Tensions Process Environmental Factors Transactions (Sumber: Putra, 2003:92) Feedback Institutions c. Model Goggin Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat mengindentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya (Tangkilisan, 2003:20) 12

13 d. Model Grindle Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhioleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) Derajat perubahan yang diharapkan, (4) Letak pengambilan keputusan, (5) Pelaksanaan program, dan (6) Sumber daya yang dilibatkan. Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil suatu unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa, dan (3) kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan (Tangkilisan, 2003:20). e. Model Van Meter dan Van Horn Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103). 13

14 Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut (Winarno, 2002: ). 1) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang dipekerjakan dan kemajuan proyek-proyek pembangunan yang berhubungan. 2) Sumber-sumber kebijakan. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. 3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bahwa dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat 14

15 menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasiinterpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan. Dalam hubungan-hubungan antarorganisasi maupun antarpemerintah, dua tipe kegiatan pelaksanaan merupakan hal yang paling penting. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan jalan membantu pejabat-pejabat bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan kekuasaan koersif. 4) Karakteristik badan-badan pelaksana. Pembahasan mengenai karakteristik badan-badan pelaksana ini tidak bisa lepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badanbadan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata, dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. 15

16 Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: a) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan; b) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan prosesproses dalam badan-badan pelaksana; c) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggotaanggota legislatif dan eksekutif); d) Vitalitas suatu organisasi; e) Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi; f) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan. 5) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik Para peminat perbandingan politik negara dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusankeputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. Untuk tujuan ilustratif, Van Meter dan Van Horn mengusulkan agar kita memberi pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu dilaksanakan: 16

17 a) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana cukup mendukung implementasi yang berhasil? b) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan? c) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang berhubungan? d) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan? e) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada oposisi atau dukungan pengikut dari kebijakan? f) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk mendukung atau menentang kebijakan? 6) Kecenderungan pelaksana (implementors) Pada tahap ini pengalaman-pengalaman subyektifitas individu-individu memegan peran yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn kemudian mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu. Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuantujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan 17

18 persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan. Intensitas kecenderungan pelaksanan inilah yang akan mempengaruhi pencapaian implementasi. Adapun ikatan (linkage) antara keenam variabel tersebut di atas dengan pencapaian suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar Model Proses Impelementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Van Meter Ukuran-ukuran Dasar dan tujuan-tujuan Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Kebijaksanaan Kecenderungan pelaksanapelaksana Karakteristikkarakteristik dari badan-badan pelaksana Pencapaian Sumber-sumber Kondisi ekonomi, sosial dan politik (Sumber: Winarno, 2002:111) Keterangan Gambar (Winarno, 2002: ): Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para pelaksana hanya dapat dicapai apabila sumber-sumber yang tersedia cukup untuk mendukung kegiatan tersebut. 18

19 Pada sisi yang lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang tersedia, maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi. Hal sebaliknya juga dapat terjadi. Bila suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber pendukung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap program akan menurun. Dengan demikian, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa tersedianya sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan menimbulkan tuntutan untuk dapat berperan serta dan implementasi program yang berhasil. Faktor ini juga akan mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk berperan serta di dalam implementasi kebijakan. Akan tetapi apabila sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, kelompok kepentingan akan memilih jalan menentang kebijakan berdasarkan perbandingan nilai keuntungan yang didapat dengan biaya yang harus dibayar. Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu sendiri. Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh kepada kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan kelompok kepentingan dimobilisir untuk mendukung suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menerima tujuantujuan, ukuran-ukuran dasar, dan sarana-sarana kebijakan. Sebaliknya, bila masalahmasalah tidak berat dan kepentingan-kepentingan tidak terorganisir menentang suatu 19

20 program, maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih lanjut, kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana melaksanakan suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu. Akhirnya, variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung pada pemberian-pemberian pelayanan publik. Kondisi-kondisi lingkungan mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh terhadap implementasi program. Van Meter dan Van Horn mengemukakan adanya kemungkinan pengaruh yang interaktif antara komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana serta karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana. Kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut memberikan badan-badan tambahan vitalitas dan keahlian, yaitu memperbaiki kemampuan mereka dalam melaksanakan program-program. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjadi sumber dukungan politik yang mempermudah implementasi kebijakan secara efektif. Sementara itu, sifat kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut yang mencakup ketentuan bantuan teknis akan dipengaruhi oleh karakteristik badan pelaksana. Pusat perhatian di sini pada dasarnya adalah pada tingkat sejauh mana ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan ditransmisikan kepada para pelaksana dengan jelas, tepat, konsisten dan dalam cara yang tepat pada waktunya. Dari beberapa model implementasi kebijakan publik yang telah dijabarkan di atas, terdapat suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil dan dapat juga gagal. Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditinjau dari 3 (tiga) faktor, yaitu: Pertama, perspektif 20

21 kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan straet level burcancrats terhadap atas mereka. Kedua, keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. Ketiga, implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Sementara itu, Peters (dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor: 1) Informasi Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat, baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu. 2) Isi kebijakan Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurang yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. 3) Dukungan Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. 4) Pembagian potensi Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang. 21

22 I Kinerja Implementasi Kebijakan Publik Ketika kita mendengar kata kinerja, kebanyakan kaum awan akan berasumsi bahwa kata tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan proses manajemen yang identik dengan sebuah perusahaan. Sehari-harinya, kata kinerja memang sering disandingkan dengan istilah-istilah yang menyangkut kegiatan dalam sebuah perusahaan, seperti kinerja pegawai, kinerja keuangan, dan pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja sesuatu hal, kita selalu menggunakan kata mengukur. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi mengukur kinerja pegawai ataupun mengukur kinerja keuangan. Kata mengukur tersebut seakanakan menggambarkan bahwa untuk mengetahui kinerja tentang sesuatu, kita harus selalu mengukurnya dengan angka-angka. Asumsi tersebut terbentuk karena adanya kecenderungan-kecenderungan sehari-hari dalam kehidupan kita. Namun, pada dasarnya kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun, 2006:25). Dari pengertian tersebut di atas, dapat diambil beberapa pokok pemikiran yang penting, antara lain bahwa untuk mengetahui kinerja sesuatu, bukan hanya dengan mengukurnya, tetapi juga dengan menggambarkannya; dan kinerja tidak terbatas pada ruang lingkup manajemen perusahaan saja. Ketika kata kinerja ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan. Dari sini orang akan berasumsi lagi bahwa mengukur kinerja implementasi kebijakan publik, berarti kita telah memasuki tahap evaluasi kebijakan, dan bukan lagi tahap implementasinya. Karena seperti yang dikemukakan oleh James Anderson, bahwa tipe kedua dari tiga tipe evaluasi kebijakan yang dikemukakannya, 22

23 merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau programprogram tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan semestinya? Berapa biayanya? Siapa yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya? Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedu-prosedur secara sah diikuti? (Winarno, 2002: ). Padahal, sebelum sampai kepada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103). Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak menghasilkan dampak yang substansial. Studi mengenai implementasi suatu kebijakan memang sering diabaikan oleh ilmuwan politik dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, disebabkan oleh asumsi yang naif bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan mendekati hasil-hasil yang 23

24 diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Implementasi seakan-akan merupakan hal yang sederhana dan nampak tidak mencakup isu-isu besar. Kedua, pada tahun 1960-an di Amerika Serikat pertumbuhan Sistem Anggaran Belanja, Penyusunan Program dan Perencanaan (PPB) merupakan teknik analitik utama di dalam mengkaji kebijakan. Hal ini telah mendorong para analisis kebijakan untuk mengabaikan masalah-masalah implementasi kebijakan. PPB mengkonsentrasikan perhatian para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode-metode yang berbeda dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang dipilih. Mereka memusatkan perhatian utama pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di Washington D. C. dengan mengesampingkan eselon-eselon bawahan dari badan-badan yang bertanggung jawab bagi implementasi. Perhatian PPB dalam memperbaiki landasan bagi pembuat kebijakan tidak ditujukan kepada masalah-masalah dalam memerikan pelayanan kebijakan, tetapi PPB lebih menekankan sasaran program-program dan sarana-sarana alternatif dalam mencapai sasaran itu. Fokus seperti itu tidak membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap implementasi atau pelaksanaan program-program publik. Hal inilah yang diperkirakan menjadi salah satu sebab mengapa studi mengani implementasi kebijakan mendapatkan perhatian yang tidak begitu besar dari para ilmuwan politik. Ketiga, beberapa kesulitan seringkali ditemui dalam usaha mengkaji secara terinci proses implementasi kebijakan. Masalah-masalah implementasi adalah sangat kompleks dan para ahli seringkali dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan metodologi. Di samping itu, untuk melengkapi studi implementasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya. Akhirnya suatu analisis implementasi yang komprehensif memerlukan perhatian yang besar terhadap banyak tindakan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini akan berakibat pada kebutuhan alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar untuk melakukan studi implementasi kebijakan. Kesulitan-kesulitan inilah yang barangkali 24

25 menjadi penyebab rendahnya motivasi para ilmuwan politik untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. (Winarno, 2002: ). I Pengarusutamaan Gender Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya emansipasi di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu, tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD) (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan The Millenium Development Goals (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai 25

26 cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai dari proses pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral. Untuk pertama kalinya, pada Konferensi Wanita Sedunia Ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995, istilah Gender Mainstreaming tercantum di Beijing Platform of Action. Semua negara-negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan Gender Mainstreaming di negara dan tempat masing-masing (Departemen Hukum dan HAM, 27 Maret 2008). Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakankebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka Pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan 26

27 khusunya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata gender selalu diidentik dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya (Suara Karya, diakses pada tanggal 27 Maret 2008). Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi tersebut dikenal dengan istilah Gender Mainstreaming (GMS) atau Pengarustutamaan Gender (PUG). Strategi ini sangat penting sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, merupakan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan PUG, khususnya bagi jajaran pemerintahan. Melalui PUG ini, pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang. Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, 27

28 dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gendr, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu: a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki. b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak, baik pada perempuan maupun laki-laki. c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki. d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut. Untuk dapat lebih memahami tentang PUG, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa PUG dalam Kebijakan dan Program Sektoral adalah (Departemen Hukum dan HAM, diakses pada tanggal 27 Maret 2008): a. Memasukkan permasalasan gender dalam program pembangunan. Di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), implementasinya dapat dilakukan melalui praktek-praktek hukum di kalangan peradilan, maupun di luar peradilan yang responsif gender, b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan di bidang hukum dan HAM. c. Mengupayakan untuk memasukkan kerangka gender ke dalam desain, pelaksanaan rencana dan program sektoral, d. Mengakui adanya suatu arus utamaan dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber daya dilakukan melalui pencapaian tujuan pembangunan. 28

29 e. Mengubah arus utama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan di samping memadukan isu gender ke dalam arus utama. Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG ini, antara lain: pertama, membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; kedua, memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan ketiga, meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing. Sasaran utama dari PUG, seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber Daya Manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya. Seperti yang telah disinggung di latar belakang, secara umum, PUG dilaksanakan dengan mengadakan suatu analisa gender atau pun melalui upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah. Analisa gender dilaksanakan untuk mengindentifikasikan dan memahami ada tidak adanya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk pemecahan permasalahannya. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah tentang gender. Kegiatan analisa gender ini sendiri meliputi: a. Mengindentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan; 29

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau

BAB II KERANGKA TEORI. Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... DAFTAR TABEL Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan... 40 Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... 54 Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan...

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang

Lebih terperinci

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER 1. Tentang Lahirnya PUG Pengarusutamaan Gender PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Flatform For Action BPFA tahun yang menyatakan bahwa pemerintah dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga aspek yang penting diperhatikan untuk memberdayakan manusia menuju

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia, sepakat untuk mengadopsi deklarasi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pertumbuhan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI BULUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI BULUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN. BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI TENGAH,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA PELUNCURAN STRATEGI NASIONAL (STRANAS) PERCEPATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MELALUI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN - 1 - SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GAWI SABARATAAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH 1 BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0 Kebijakan Jender 1.0 The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 2015 1 Latar Belakang Jender dipahami sebagai pembedaan sifat, peran, dan posisi perempuan dan lakilaki yang dibentuk oleh masyarakat,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara melindungi dan menjamin

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN 1 PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARIMUN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH RESPONSIF GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah KATA PENGANTAR Pengarusutamaan Gender telah menjadi garis kebijakan pemerintah sejak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Instruksi tersebut menggariskan: seluruh departemen maupun lembaga

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional B A B I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Agar peran pemerintah bersama masyarakat semakin efektif dan efisien dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2015 TENTANG BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN MEKANISME PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

SKRIPSI PUTRI C. MARPAUNG diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar S-1

SKRIPSI PUTRI C. MARPAUNG diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar S-1 KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PUTRI C. MARPAUNG 040903036 diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Masalah kebijakan sebelumnya berkompetisi terlebih

Lebih terperinci

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH 1 BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SOPPENG,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER KOTA BOGOR Diundangkan dalam Berita Daerah

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbincang tentang persoalan pendidikan memang tidak ada habisnya. Semakin dibicarakan dan didialektikakan semakin tidak menemukan ujungnya. Bukan karena pendidikan

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam 10 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang dapat kita temukan, antara lain

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan kajian awal yang memberi pengantar tentang penelitian yang akan dilakukan, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009 Deputi Bidang Pemberdayaan Lembaga Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, yang dilihat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015 BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 29/E, 2011 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TORAJA UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. No.20, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01

Lebih terperinci

PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN. Ir. Suyatno, MKes

PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN. Ir. Suyatno, MKes PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN Ir. Suyatno, MKes Office : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Jl. Prof Sudarto, SH, Tembalang Semarang Selatan Contact : Hp. 08122815730, pin 2A031535

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PELATIHAN KESADARAN GENDER DI 4 KABUPATEN (PURWOREJO, WONOSOBO, PEMALANG DAN REMBANG)

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PELATIHAN KESADARAN GENDER DI 4 KABUPATEN (PURWOREJO, WONOSOBO, PEMALANG DAN REMBANG) KERANGKA ACUAN KEGIATAN PELATIHAN KESADARAN GENDER DI 4 KABUPATEN (PURWOREJO, WONOSOBO, PEMALANG DAN REMBANG) I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Sri Yuliani FISIP UNS

Sri Yuliani FISIP UNS Sri Yuliani FISIP UNS Model Implementasi Implementasi kebijakan atau program pada dasarnya secara sengaja dilaksanakan untuk meraih kinerja yang tinggi, dimana selama proses itu berlangsung dipengaruhi

Lebih terperinci

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Penduduk Indonesia 231 Juta 49,9% Perempuan Aset dan Potensi,

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu dalam penerimaan siswa,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 39 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PANDUAN TEKNIS PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam good governance menjamin berlangsungnya proses pembangunan yang partisipatoris dan berkesetaraan gender. Menurut

Lebih terperinci

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON -- WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000) INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000) TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan bahwa pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN RENCANA KERJA SATUAN KERJA PEMERINTAH DAERAH BERPERSPEKTIF GENDER KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN SALINAN Menimbang BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep penting yang harus dipahami dalam membahas kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (Jenis Kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap

Lebih terperinci

STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN OLEH: DEPUTI BIDANG PUG BIDANG POLITIK SOSIAL DAN HUKUM Disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten mempunyai peranan dan fungsi penting serta strategis dalam rangka melayani masyarakat Kabupaten Badung di bidang Peningkatan

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Wahyu

Lebih terperinci

Perempuan dan Industri Rumahan

Perempuan dan Industri Rumahan A B PEREMPUAN DAN INDUSTRI RUMAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN DALAM SISTEM EKONOMI RUMAH TANGGA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK C ...gender equality is critical to the development

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender. No.615, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta BUKU RENCANA BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG 8.1 PERAN SERTA MASYARAKAT Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan

Lebih terperinci

BAB KELIMA KESIMPULAN DAN SARAN. fakta yang menjawab pertanyaan penelitian yaitu:

BAB KELIMA KESIMPULAN DAN SARAN. fakta yang menjawab pertanyaan penelitian yaitu: BAB KELIMA KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Hasil penelitian pada studi kasus dari iklan lowongan kerja Kompas periode Desember 2011 sampai dengan Desember 2012, diperkuat dengan wawancara, dan telah

Lebih terperinci

Model Mazmanian dan Sabatier

Model Mazmanian dan Sabatier Kuliah 11 Model Mazmanian dan Sabatier 1 Model Mazmanian dan Sabatier Tiga variabel yg mempengaruhi implementasi kebijakan : 1.Karakteristik masalah; 2.Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA Oleh: Iklilah Muzayyanah DF., M.Si 1 (Dipresentasikan pada Workshop Pengarusutamaan Gender dan Anak di Perguruan Tinggi Agama Islam) Hotel T, 1 Oktober 2014 APA PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga Karya Tulis PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI Murbanto Sinaga DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci