BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Fantasy Proneness (Kerentanan Berfantasi)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Fantasy Proneness (Kerentanan Berfantasi)"

Transkripsi

1

2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fantasy Proneness (Kerentanan Berfantasi) Definisi Fantasy Ahmadi (2009) mengatakan bahwa fantasy (fantasi/khayalan) adalah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan baru. Melalui fantasi, manusia dapat melepaskan diri dari keadaan yang dihadapi dan menjangkau kedepan, masuk kedalam keadaan yang akan mendatang. Ahmadi juga mengatakan bahwa kemampuan fantasi manusia dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: (1) Secara disadari, yaitu ketika individu benar-benar menyadari akan fantasinya. Contohnya ialah ketika seorang pemahat yang sedang memahat arca atas dasar daya fantasi yang dimilikinya. (2) Secara tidak disadari, yaitu ketika individu tidak secara sadar telah dituntut oleh fantasinya. Fantasi seperti ini merupakan fantasi yang sering dijumpai pada anak-anak. Contohnya ialah ketika seorang anak memberikan berita yang tidak sesuai dengan keadaan senyatanya, sekalipun ia tidak memiliki maksud untuk berbohong. Dalam hal ini anak tersebut tanpa disadari tertuntut oleh fantasinya. Menurut Ahmadi (2009), fantasi lebih bersifat subjektif apabila dibandingkan dengan kemampuan jiwa yang lainnya. Dalam orang berfantasi, bayangan-bayangan atau tanggapan-tanggapan yang telah ada dalam diri seseorang memegang peranan yang sangat penting. Bayangan yang ditimbulkan karena fantasi disebut sebagai bayangan fantasi. Bayangan fantasi berbeda dengan bayangan pengamatan, dimana bayangan pengamatan merupakan hasil dari pengamatan, sedangkan bayangan fantasi merupakan hasil dari fantasi. 7

3 Definisi Fantasy Proneness Wilson dan Barber (dalam Fromm dan Nash, 1992) mengatakan bahwa fantasy proneness ialah kerentanan individu untuk berfantasi, dimana ia menghabiskan banyak waktunya dalam dunia yang ia buat sendiri, yaitu dunia dalam gambaran, khayalan, dan fantasi. Wilson dan Barber (dalam Krippner & Powers, 1997) mendeskripsikan penemuannya akan sekelompok individu yang memiliki istilah fantasy addicts, fantasy-prone personalities dan fantasizers. Individu dengan fantasy proneness memiliki keterlibatan yang sifatnya mendalam dan memakan waktu yang panjang didalam fantasi dan imajinasi. Wilson dan Barber (dalam Nash & Barnier, 2009) juga mengatakan bahwa individu yang dideskripsikan memiliki fantasy proneness yang tinggi terkadang bingung antara fantasi dan kenyataan Pengembangan Fantasy Proneness Wilson dan Barber (dalam Regis, 2013) mengidentifikasikan dua hal yang memiliki kontribusi dalam mengembangkan fantasy proneness didalam diri seseorang, yaitu: (1) Dorongan untuk berfantasi yang berasal dari orang dewasa terdekat. Hal ini memiliki makna bahwa pada umumnya orang dewasa terdekat dapat membacakan dongeng atau cerita yang bergaya dramatis terhadap anak-anak, memuji (praise) anak apabila ia memiliki keyakinan akan hal tersebut, atau memperlakukan mainan anak-anak selayaknya sebuah benda yang bernyawa. (2) Fantasi dilakukan sebagai cara untuk melarikan diri dari permasalahan. Hal ini dapat dilihat ketika terdapat masalah-masalah dimana individu diasingkan dari lingkungan, perasaan kesendirian, dan keadaan lingkungan sekitar yang keras serta bersifat keras (abusive). Keadaan dalam tipe kedua ini termasuk didalamnya insiden penghukuman fisik, pengabaian dari orangtua, dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak stabil.

4 `` Karakteristik Fantasy Proneness Berdasarkan Wilson dan Barber (1983), seseorang dapat dikatakan memiliki fantasy proneness apabila memiliki 6 dari 14 karakteristik yang ada, yaitu: (1) Fantasi Yang Berlanjut Dan Bersifat Jelas Ketika seorang anak sudah tumbuh menjadi dewasa, keberlanjutan dan kejelasan dari fantasinya belum tentu berkurang secara signifikan. Dari umur yang sangat muda sampai ke masa dewasa, individu pada umumnya akan menghabiskan banyak waktunya untuk berfantasi. Ia memiliki sudut pandang bahwa angan-angan dan fantasi adalah pusat dari kegiatan didalam hidupnya. Dan pada kenyataannya, beberapa individu dapat mengatakan bahwa ia hidup didalam fantasinya tersebut. Masing-masing individu memiliki kehidupan fantasi yang dirahasiakan, yang biasanya tidak diungkapkan kepada siapa-siapa. Dapat dikatakan bahwa disebuah tempat didalam masa transisi individu dari kanak-kanak ke masa dewasa, mereka telah menjadi closet fantasizers. Fantasi individu yang bersifat jelas dan berkelanjutan telah menjadi rahasianya yang dijaga dengan baik, dan pada umumnya pasangan, anak, atau teman dekat dari individu tersebut pun tidak sadar akan hal itu. (2) Intensitas Halusinasi Dalam Fantasi Individu dengan fantasy-prone menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berfantasi, dan mempertimbangkan bahwa fantasi merupakan hal yang sangat penting didalam hidupnya. Individu yang diberi label fantasizers ini biasanya mengalami fantasi yang terasa sangat nyata (bagaikan halusinasi). Individu seperti ini dapat membayangkan fantasinya baik dengan mata yang terbuka ataupun tertutup. Individu membayangkan aroma yang ia cium, suara yang ia dengar, apa yang ia sentuh, seperti stimulus itu benar-benar ada pada saat itu. Apabila yang ia rasakan itu merupakan hasil dari memorinya, hal ini juga berarti bahwa ia memiliki intensitas halusinasi, karena ketika ia mengingat akan sebuah kejadian, ia juga cenderung untuk melihat, mendengar, dan merasakan lagi seperti apa yang ia rasakan didalam memorinya. Karakteristik ini dapat dipahami dengan baik dengan membandingkan pengalaman seseorang yang mengalami vivid

5 10 dreams (mimpi yang jelas). Dimana orang tersebut akan terlibat sangat dalam didalam mimpinya, selayaknya seseorang benar-benar merasakan bahwa fantasinya itu seperti hal yang nyata. Banyak dari individu dengan fantasy-prone menggunakan hal ini sebagai alat untuk mengatasi masalah. Misalnya, individu yang merasa bosan, menderita, atau terjebak dalam situasi hidupnya cenderung untuk melarikan diri ke angan-angan atau fantasinya. Akan tetapi, sebuah fantasi dapat mengganggu apabila tingkatannya tinggi, contohnya ketika seseorang sedang menyetir, kemudian ia membayangkan ada sosok didepannya, dan sebagainya. Individu dengan fantasi seperti ini mengakui bahwa untuk mencegah fantasinya yang berlebihan, ia mengontrolnya dengan cara konsentrasi atau membuat dirinya sadar penuh akan lingkungan dan apa yang ia pikirkan. (3) Berlaku Sebagai Sosok Tertentu/Orang Lain Karakteristik yang juga sama-sama dimiliki oleh individu dengan fantasy-prone ialah bahwa dirinya memiliki kecenderungan untuk berlaku atau menganggap seakan diri mereka adalah sosok tertentu (seseorang yang bukan dirinya). Ketika ia menganggap dirinya seperti itu, ia akan sangat meresapi karakter yang ia mainkan dan terkadang cenderung lupa atau tidak sadar akan bagaimana identitas dirinya yang sebenarnya. Kebanyakan individu dengan karakteristik ini akan merahasiakan permainan peran tersebut, seperti halnya karakteristik dari fantasy proneness yang lainnya. Tetapi, ada pula yang menceritakannya pada orang lain. Sebagai contohnya, seorang wanita yang memiliki karakteristik fantasy-prone menceritakan hal ini kepada suaminya, dimana ia mengatakan bahwa ia terkadang seakan seperti Lady Godiva, seorang gypsy, wanita karir yang professional, anak remaja, atau peran yang lainnya. Namun, terdapat pula individu yang lebih suka menceritakan hal ini justru dengan orang asing yang tidak dikenal. (4) Daya Sensoris (Panca Indera) Yang Terasa Jelas Semenjak Kanak-kanak Karakteristik lain yang mengesankan dari individu yang memiliki fantasy-prone adalah intensitas dan kedalaman daya sensoris yang ada didalam dirinya semenjak masa kanak-kanak. Melalui penelitiannya, Wilson

6 `` 11 dan Barber (1983) menemukan bahwa individu dengan karakteristik fantasyprone sudah sangat sadar dengan apa yang ditangkap oleh panca inderanya dari sewaktu kecil. Hal tersebut karena individu merasa bahwa apa yang ditangkapnya itu terasa menyenangkan dan dapat dinikmati. Individu dapat merasakan kejadian-kejadian yang spesial yang terjadi dimasa lalunya yang dapat meningkatkan stimulus sensorisnya. Misalnya, ketika individu berada di taman kanak-kanak, ia merasakan hangatnya sinar matahari ketika ia bermain diluar, segarnya bau rerumputan dan bunga-bunga, dan keindahan akan hal-hal tersebut. Individu dengan karakteristik seperti ini menyadari betapa ia menikmati bagaimana merasakan, mencium, dan mendengar hal-hal tersebut, dimana hal ini adalah yang menyenangkan dan ia ingin sekali untuk selalu mengingat pengalaman tersebut. Contoh lain ialah seorang individu yang menceritakan pengalamannya ketika ia berumur 4 tahun, dimana ia mengingat betapa terkesannya kedua orangtuanya saat mereka melihat gambar seorang pemain sepatu luncur es (ice skater). Namun, meskipun individu merasa sadar bahwa karakteristik ini ada didalam dirinya, tetapi ada kemungkinan ia tidak mengakui hal ini ketika ia dewasa, dimana hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu karena (1) individu akan tetap merasa fokus dan mengingat lebih jelas akan daya sensorisnya sebagai orang dewasa, dan (2) individu yang menolak atau tidak mengakui mengenai kejelasan daya sensorisnya pada masa kanak-kanak sudah tidak merasakannya lagi dimasa kini (masa dewasanya). (5) Daya Ingat Personal Yang Jelas Melalui penelitian yang dilakukan oleh Wilson dan Barber (1983), ia mendapati bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara kemampuan untuk berfantasi melalui intensitas halusinasi yang tinggi dengan kemampuan untuk mengingat kembali dengan jelas pengalaman yang terjadi didalam hidup individu. Hal ini dapat dikatakan sebagai recall in a hallucinatory way (mengingat dengan halusinasi). Daya ingat ini muncul seakan kembali ke pengalaman yang sebelumnya, dimana ketika individu ditanyakan mengenai pengalaman dimasa lalunya, ia bukan hanya sekedar mengingat, tapi juga kembali merasakan emosi yang ia rasakan didalam situasi yang terjadi saat itu, selayaknya ia membawa masa lalu nya ke ruang waktu dan tempat

7 12 dimasa kini. Tetapi ketika mengingat memori tersebut, individu menyadari bahwa ia tetap dimasa sekarang, dan hanya mengingat kembali pengalaman yang ada dimasa lalu. Selain itu, ketika individu berusaha mengingat masa kehidupan awalnya, ia seperti mengalami kembali pikiran-pikirannya, emosi, dan perasaannya diwaktu tersebut. (6) Efek Fisik Yang Terkait Dengan Jelasnya Fantasi Dan Daya Ingat Karakteristik lain yang ada dalam individu dengan fantasy-prone adalah bahwa fantasi serta memorinya yang bersifat jelas berhubungan dengan apa yang ia rasakan dalam fisiknya. Seperti dalam penelitiannya, Wilson dan Barber (1983) mendapati bahwa individu merasakan badannya kurang sehat ketika menonton televisi yang menayangkan kekerasan. Individu tersebut tidak membiarkan dirinya berfantasi tentang hal yang melibatkan kekerasan karena dampak yang dirasakan akan sama, yaitu dampak efek fisik yang menjadi kurang sehat. Pengalaman lain dengan karakteristik ini ialah bahwa individu cenderung untuk merasakan sensasi dingin ketika ia membayangkan suatu hal yang dingin, ataupun sebaliknya ia merasakan sensasi panas ketika ia membayangkan panas. Dalam penelitiannya, Wilson dan Barber (1983) mengungkapkan bahwa beberapa individu dengan fantasy-prone melaporkan bahwa mereka menjadi sakit atau memiliki gejala dari suatu penyakit yang berhubungan dengan apa yang sedang ia pikirkan, dia fantasikan, atau berkaitan dengan ingatan yang ia miliki. Banyak dari individu seperti ini yang mengalami pengalaman seperti menjadi sakit ketika ia diberitahu (dengan informasi yang salah) bahwa ia telah memakan makanan yang diracuni, atau kejadian dimana individu merasa tidak nyaman atau gatal ketika mereka percaya (dengan informasi yang salah) bahwa ia telah terkontaminasi oleh kutu. Sebuah contoh lain dari karakteristik ini ialah suatu kejadian dimana seorang individu yang jatuh pingsan ketika ia dipaksa untuk memutuskan suatu hal yang tidak memungkinkan, dan diketahui bahwa hal ini berhubungan dengan pengalaman dimana ketika dulu keputusan apapun yang ia buat akan semakin membawa kedalam perceraian orangtuanya. Wilson dan Barber (1983) mengungkapkan contoh menarik lainnya mengenai false pregnancy (pseudocyesis), dimana ketika individu percaya bahwa ia hamil, ia akan

8 `` 13 merasakan gejala-gejala yang dirasakan oleh orang yang hamil. Gejala-gejala tersebut termasuk didalamnya amenorrhea (berhentinya menstruasi), perubahan payudaranya, pembesaran abdominal, morning sickness, ngidam, dan perpindahan fetal (janin). Ketika individu berniat untuk melakukan aborsi, diketahui bahwa tidak ada sama sekali fetus didalam dirinya. Dan pengecekan melalui tes kehamilan menunjukkan hasil yang negatif juga. (7) Pengalaman Telepati, Prekognisi, atau Cenayang Wilson dan Barber (1983) mengatakan bahwa beberapa individu dengan fantasy-prone cenderung untuk melihat dirinya sebagai cenayang atau seseorang yang memiliki sensitivitas. Hasil dari penelitiannya juga menunjukkan bahwa beberapa subjek melaporkan pengalaman-pengalaman telepati atau prekognisi. Individu juga dapat memiliki pengalaman dimana ia mengetahui apa yang akan terjadi disebuah momen spesifik pada kehidupan orang-orang tertentu. Disuatu kondisi, individu dapat mengakui bahwa ia seringkali dapat mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh temannya ketika mereka sedang berjauhan. Individu pun juga dapat mengatakan bahwa ia seringkali merasakan bahwa temannya akan mengabarinya (meneleponnya), dan kemudian hal tersebut terjadi beberapa saat kemudian. Beberapa dari individu dengan fantasy-prone dapat mengatakan bahwa ini merupakan pengalaman kemampuan prekognisinya. (8) Pengalaman Out-of-the-Body (Keluar Dari Tubuh) Seorang individu dengan fantasy-prone mengungkapkan pengalamannya saat ia merasa keluar dari tubuh (out-of-the-body experiences). Melalui penelitiannya, Wilson dan Barber (1983) mendapatkan deskripsi bahwa pengalaman keluar dari tubuh adalah ketika diri individu merasa ringan (weightless) dengan adanya sensasi mengambang (floating sensation). Sensasi mengambang tersebut diikuti perasaan bahwa ada yang memegangnya keatas, seperti menyatu dengan udara. Disela-sela pengalaman tersebut, individu mendapati perasaan bahwa ia bisa terus mengambang dengan cepat karena tidak ada yang mencegahnya, seperti ia merupakan bagian dari ruang angkasa, bukan sekedar benda asing disana. Indvidu yang merasakan pengalaman keluar dari tubuh ini menjelaskan bahwa diawal

9 14 pengalaman keluar dari tubuh, ia dapat menengok kebelakang dan melihat tubuhnya apabila ia mau, tetapi biasanya ia tidak terlalu peduli terhadap hal tersebut. Individu ini biasanya akan tetap pada keadaannya dan merasakan bahwa dirinya menjadi bagian dari ruang angkasa. Menjelaskan lebih detail lagi, individu mengatakan bahwa ia tercengang ketika menyaksikan film mengenai perjalanan ke ruang angkasa, hal ini dikarenakan apa yang ia lihat selama pengalaman keluar dari tubuhnya atau perjalanan astral (astral travel) nya itu menyerupai dengan apa yang ada di film tersebut. Walaupun terdapat individu yang mengalami pengalaman keluar dari tubuh ketika dirinya sedang berfantasi atau meditasi, individu yang lainnya menyatakan bahwa ia mengalami hal ini ketika ia sedang bermimpi. Misalnya, terdapat subjek fantasy proneness yang menyatakan bahwa ia yakin memiliki pengalaman keluar dari tubuh atau pengalaman astralnya ketika ia bermimpi, dimana ia berjalan ketempat-tempat lain atau ke sebuah waktu yang berbeda sedangkan tubuh fisiknya sedang terbaring tidur. Beberapa subjek dalam penelitian Wilson dan Barber (1983) juga melaporkan pengalaman keluar dari tubuh ketika ia berada disituasi tertentu. Dilaporkan bahwa seorang individu dengan fantasy-prone memiliki pengalaman keluar dari tubuhnya ketika ia mengkonsumsi LSD (Lysergic Acid Diethylamide), individu lainnya mengalami hal itu ketika ia sedang berada di sensory isolation tank, terdapat pula individu yang melaporkan bahwa ia mengalami pengalaman keluar dari tubuh yang tidak terlupakan ketika ia sedang sakit parah sewaktu ia kecil, dan juga individu dengan pengalaman keluar dari tubuh yang merasakan hal tersebut ketika ia mengalami near death experiences. (9) Dorongan Otomatis Untuk Menulis Didalam penelitian yang dilakukan Wilson dan Barber (1983), ditemukan bahwa subjek yang fantasy-prone memiliki perasaan bahwa terdapat sosok atau subjek tertentu yang membuat mereka menulis sebuah puisi, lagu, atau pesan. Individu yang mengalami hal ini meyakini bahwa tulisannya itu datang dari sebuah roh atau sosok yang memiliki kemampuan melibihi diri dia untuk membimbingnya. Terkadang pesan yang ditulis tersebut merupakan instruksi mengenai apa yang mereka harus lakukan

10 `` 15 disekolah atau saat bekerja, atau pada waktu tertentu, pesan tersebut berisi sebuah dorongan, pujian, atau ide filosofis. (10) Penglihatan Keagamaan Wilson dan Barber (1983) memberikan hasil penelitian bahwa enam subjek dari kelompok fantasy-prone dalam kelompok perbandingan memiliki daya penglihatan keagamaan yang sangat berpengaruh dan patut diingat dalam hidupnya. Apa yang dimaksud dalam daya penglihatan keagamaan adalah bahwa individu merasa bahwa pengalaman seperti ini adalah pengalaman yang terasa luar biasa, mengagumkan, sangat mengharukan, dan secara bersamaan terasa menakjubkan dan juga menakutkan. Wilson dan Barber (1983) juga menjelaskan bahwa hal ini termasuk didalamnya individu yang merasa bahwa ia memiliki wahyu dari Tuhan dalam agama yang ia percayainya. Mengambil contoh dari hasil penelitiannya, seorang subjek yang diwawancarai melaporkan bahwa ketika ia berumur 9 tahun, ketika ia duduk disebuah padang rumput dimana ia merasa terbawa dan merasa menyatu dengan alam, ia seketika merasa bahwa ia sangat kesepian dan terisolasi, dan kemudian ia juga mulai bertanya-tanya mengapa ia lahir ke dunia. Dari perasaannya tersebut, tiba-tiba ia pun seperti mendengar suara dari Tuhan yang meyakininya bahwa ia tidak sendiri, dan bahwa ada Tuhan yang melihatnya. Pada waktu bersamaan, ia pun merasa dirangkul, merasa bahwa terdapat perasaan aman yang mendalam karena ia adalah milik Tuhan. Dari kejadian tersebut, ia pun percaya bahwa ia memiliki takdir yang istimewa. Dan merahasiakan kejadian dan kepercayaan yang dimilikinya. (11) Kemampuan Menyembuhkan Salah satu dari karakteristik yang dimiliki oleh beberapa subjek fantasy-prone yang diteliti oleh Wilson dan Barber (1983) ialah bahwa individu cenderung untuk merasa bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Individu merasakan sebuah kecenderungan yang dikatakan bersifat alamiah untuk mendekati seseorang yang sedang sakit atau terluka dengan melibatkan perasaan empati dan sekaligus menyentuh orang tersebut. Melalui kedekatan interaksi ini, individu berpendapat bahwa ia dapat memindahkan energi atau kesegaran pada seseorang yang sedang sakit.

11 16 Pada dasarnya, kebanyakan individu merasakan perasaan kemampuan menyembuhkan yang tidak terlalu dramatis. Contohnya adalah ketika individu hanya merasa bahwa seorang anak yang sedang sakit dapat menjadi lebih baik apabila dipegang tangannya. Tetapi, ada juga individu dengan karaktertistik seperti ini yang merasakan kemampuan menyebuhkan yang mendalam, seperti contohnya ketika berada didalam kelas, workshop, atau seminar yang terdapat kelompok terapi didalamnya, ia akan cenderung untuk menunjukkan baik secara terbuka ataupun secara samar-samar kemampuan dirinya untuk membuat orang yang sedang sakit tersebut menjadi lebih baik. (12) Pengalaman Dengan Hantu/Penampakan Beberapa individu dengan fantasy-prone memiliki pengalaman yang mengesankan mengenai perjumpaannya dengan sebuah penampakan (roh atau hantu). Beberapa diantaranya melaporkan bahwa dirinya melihat sosok penampakan yang ia kenali. Sedangkan terdapat juga individu yang bertemu dengan sebuah penampakan yang dikatannya merupakan sosok yang menghantui tempat tinggal barunya. Wilson dan Barber (1983) mengungkapkan bahwa subjek fantasy-prone sering membayangkan atau bertanya-tanya apakah teman khayalannya semenjak kecil, yang ia rasakan sangat nyata keberadaannya (as real s real), memang benar-benar nyata. (13) Penglihatan Hypnagogic Beberapa individu mengalami gambaran visual yang jelas ketika mata mereka terbuka beberapa saat sebelum terlelap maupun beberapa saat ketika akan terbangun dari tidurnya. Gambaran seperti ini, merupakan gambaran yang berhubungan dengan situasi yang ada diantara keadaan bangun dan tidur (keadaan hypnagogic). Keadaan hypnagogic ini adalah sebuah frekuensi halusinasi yang bersifat jelas, dimana gambaran tersebut datang dari pikiran individu itu sendiri. Gambaran hypnagogic ini mungkin berjalan sekitar beberapa detik sampai beberapa menit. Gambaran ini juga mungkin bersifat statis (menyerupai proyeksi warna cerah di dinding) ataupun bergerak (menyerupai gambar bergerak pada tayangan televisi). Biasanya gambaran ini berupa wajah, pemandangan, objek yang familiar maupun tidak

12 `` 17 familiar, manusia, suasana, dermaga, kepala burung, bangunan tua, atau kerang laut. Wilson dan Barber (1983) menyatakan bahwa individu dengan fantasy-prone melaporkan bahwa ia seringkali mengalami gambaran yang jelas sebelum ia tertidur atau ketika ia akan terbangun. Terdapat juga individu yang melaporkan bahwa ia mengalami penglihatan gambaran yang jelas ini ketika waktu tidurnya kurang. Wilson dan Barber menjelaskan bahwa terdapat kemungkinan hubungan antara fantasy proneness, kemampuan untuk berhalusinasi secara jelas dengan mata terbuka maupun tertutup, dan juga frekuensi pengalaman melihat gambaran hypnagogic dan melihat penampakan, roh, atau hantu. (14) Kesadaran Sosial Dan Kehidupan Fantasi yang Dirahasiakan Karakteristik yang lain yang sama-sama dimiliki oleh individu dengan fantasy-prone adalah bahwa mereka memiliki kesadaraan akan lingkungan sosialnya serta mereka bekerja atau berfungsi layaknya orang-orang yang tidak memiliki fantasy-prone. Wilson dan Barber menjelaskan bahwa individu akan cenderung untuk membangun hubungan sosial yang normal seperti menikah, memiliki pacar, atau bahkan mengencani lebih dari satu pria. Kestabilan emosi atau kesehatan mental individu dengan fantasy-prone masih termasuk kedalam kurva yang normal. Individu dengan fantasy-prone juga dapat dikategorisasikan sebagai individu dengan self-actualization (Maslow dalam Wilson & Barber, 1983), dimana ia akan merasakan kegembiraan, popular, kompeten, memiliki rasa cinta dan kasih sayang, dan memiliki self-esteem yang tinggi. Disisi lain, individu dengan fantasy-prone juga dapat memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri, dimana ia juga bisa merasakan depresi. Wilson dan Barber (1983) menjelaskan bahwa dikarenakan individu dengan fantasy-prone memiliki rasa sensitif terhadap norma-norma sosial, mereka tidak secara virtual membicarakan mengenai dunia fantasinya yang berkelanjutan dan bersifat mendalam tersebut, ataupun mengenai kualitas halusinasi dalam fantasi dan memorinya. Misalnya, seorang pria yang telah menikah lebih dari 20 tahun, tidak mengetahui mengenai dunia fantasi istrinya yang bersifat dirahasiakan, dimana sebagai suami, ia melihat istrinya

13 18 sebagai individu yang normal serta istri dan seorang ibu yang kompeten. Melalui penelitiannya, Wilson dan Barber (1983) menemukan bahwa individu yang memiliki fantasy-prone dapat bercerita mengenai dunia fantasi rahasianya dikarenakan beberapa alasan: (1) mereka merasa bahwa pembahasan mengenai fantasy proneness merupakan hal yang dianggap menarik bagi individu yang menanyakan, dimana tidak pernah ada orang yang ingin membahas itu dengan mereka (mengenai masa kecil, kenangan, angan-angan, fantasi, mimpi ketika tidur, pengalaman cenayang, dll), (2) pembahasan tersebut membuat mereka merasa diterima dan dimengerti mengenai apa yang mereka katakan, (3) pengungkapan keyakinan bahwa fantasi dapat merupakan suatu hal yang bernilai dan kreatif, (4) mereka merasa bahwa pembahasan ini sangat penting karena mereka merasa bahwa berfantasi itu berguna, menakjubkan, dan memiliki makna didalam kehidupannya Efek Fantasy Proneness Rauschenberger dan Lynn (dalam Regis, 2013) menyatakan bahwa adanya fantasy proneness didalam diri individu dapat menyebabkan: a. Meningkatnya kerentanan dalam hidup individu b. Sifat maladaptif didalam diri individu 2.2 Medical Student Syndrome (MSS) Definisi Medical Student Syndrome (MSS) Sue, Sue, & Sue (2010) menjelaskan bahwa medical student syndrome (MSS) adalah kecenderungan seseorang yang berpikir bahwa dirinya memiliki gangguan tertentu yang dijelaskan didalam teori, dimana hal ini dikarenakan sebuah pengalaman yang dimiliki dan juga kecenderungan untuk membandingkan fungsi diri dengan persepsi mengenai fungsi yang ada dalam diri orang lain. Sue, Sue, & Sue berpendapat bahwa menjadi makhluk hidup berkenaan dengan kesulitan dan masalah didalamnya. Dapat dimengerti bahwa MSS adalah keadaan ketika seseorang membaca mengenai sebuah gangguan, hal tersebut dapat membawanya untuk merasakan bahwa ia, teman, atau relatifnya memiliki gangguan yang sebenarnya tidak ada.

14 `` 19 Mahasiswa yang melakukan pembelajaran menyangkut psikopatologi berkemungkinan untuk sama-sama rentan dalam mempercayai bahwa didalam dirinya terdapat sebuah gangguan yang dijelaskan oleh teori di pembelajaran tersebut. Mata kuliah Psikologi Abnormal membahas secara mendalam mengenai masalah-masalah manusia, dimana kebanyakan dari masalah itu sifatnya menjadi familiar. Dari pembelajaran yang dilakukan mengenai hal tersebut, seseorang dapat rentan untuk memiliki medical student syndrome (Sue, Sue, & Sue, 2010). Menurut Oltmanns & Emery (2001), medical student syndrome ialah keadaan ketika mahasiswa kedokteran mempelajari mengenai penyakit yang baru, mereka akan cenderung untuk mengembangkan gejala dari penyakit yang sedang dipelajari. Namun, hal seperti ini dikatakan juga terjadi pada mahasiswa yang mempelajari pelajaran Psikologi Abnormal. Disebabkan oleh banyaknya gejala dalam gangguan emosional yang memiliki kesamaan dengan pengalaman sehari-hari, mahasiswa yang mempelajari Psikologi Abnormal akan cenderung untuk menemukan gejala yang juga ada pada dirinya atau orang lain. Kring, Johnson, Davidson, & Neale (2009) juga memiliki teori bahwa medical student syndrome ialah keadaan dimana mahasiswa kedokteran ataupun mahasiswa psikologi yang memiliki kecenderungan untuk melihat diri mereka, teman, ataupun keluarganya memiliki kecocokan dengan apa yang dideskripsikan didalam gangguan yang mereka pelajari. Lebih jauh, Sparshott (2010) mengatakan bahwa medical student syndrome adalah suatu kategorisasi yang berasal dari kepercayaan mahasiswa bahwa dirinya menderita suatu penyakit. Sparshott juga mengatakan bahwa fenomena seperti ini telah terjadi diantara macam-macam mahasiswa yang memepelajari ilmu kesehatan, dari psikologi sampai kedokteran. Jadi, kesimpulan dari definisi-definisi yang diungkap oleh para ahli ialah bahwa medical student syndrome adalah keadaan dimana mahasiswa yang melakukan pembelajaran di bidang medis atau kesehatan (contoh: kedokteran atau psikologi), akan cenderung merasakan bahwa ia memiliki suatu gangguan atau penyakit tertentu, dimana hal tersebut dibangun berdasarkan informasi yang diperoleh dari teori yang dipelajarinya dimasa perkuliahan.

15 Aspek Medical Student Syndrome Berbicara mengenai aspek medical student syndrome, Scott (2010) mengatakan bahwa seseorang yang memperhatikan kesehatannya akan melalui halhal sebagai berikut: (1) Mendeteksi gejala (2) Menginterpretasikan gejala (3) Memutuskan apakah ia butuh untuk menemui profesionalis dalam bidang kesehatan Faktor-faktor Medical Student Syndrome Mechanic (dalam Hewstone, Fincham, & Foster, 2005) menjelaskan bahwa bidang kesehatan memiliki kurikulum dimana pembelajaran mengenai gejala suatu penyakit merupakan komponen besar didalamnya. Fenomena ini dapat dijelaskan dalam aspek: (1) Mood Aspek mood termasuk didalamnya mahasiswa medis yang menjadi sangat gelisah ketika mendapatkan tugas yang banyak (2) Kognisi Aspek kognisi termasuk didalamnya mahasiswa yang berpikir mengenai gejala yang dipelari didalam perkuliahannya (3) Konteks sosial Konteks sosial berbicara mengenai kondisi dimana mahasiswa mulai untuk mempelajari suatu gejala, yang terjadi setelahnya adalah mereka dapat berperilaku seakan gejala tersebut ada didalam dirinya 2.3 Mahasiswa Psikologi Dalam penelitian ini, penulis ingin melihat hubungan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome (MSS) pada mahasiswa Psikologi yang berada di Perguruan Tinggi di Jakarta Definisi Mahasiswa Menurut Siswoyo (2007), mahasiswa adalah individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas

16 `` 21 yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Selain itu, mahasiswa adalah manusia yang tercipta untuk selalu berpikir yang saling melengkapi. Mengacu pada Kamisa (1997), mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Sebuah perguruan tinggi atau universitas itu sendiri dapat menjadi sarana atau tempat bagi individu untuk mengembangkan kemampuan intelektual serta kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, dan moral reasoning (Montgomery dalam Papalia, dkk, 2007). Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi kemahasiswaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah individu yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dimana ia akan menjalani berbagai kegiatan kemahasiswaan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya Sifat Mahasiswa Menurut Djojodibroto (2004), mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang memiliki dua sifat, yaitu: (1) Mahasiswa muda, yaitu mahasiswa yang seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (2) Mahasiswa calon intelektual, yaitu mahasiswa yang berpikir kritis terhadap kenyataan sosial Ciri-ciri Mahasiswa Kartono (dalam Rahmawati, 2006)) mengatakan bahwa mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu: (1) Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi (2) Diharapkan dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil (3) Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi

17 22 (4) Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan professional Mahasiswa Psikologi Menurut Brewer (dalam Supratiknya, 2003), mahasiswa jenjang pra-sarjana pendidikan Psikologi adalah individu yang memiliki tujuan dasar yaitu mampu untuk berpikir sebagai ilmuan mengenai perilaku dan pengalaman hidup, yang dengan disertai tujuh tujuan umum, yaitu: (1) pengetahuan yang luas, (2) keterampilan berpikir, (3) keterampilan berbahasa, (4) keterampilan mengumpulkan informasi dan membuat sintesis, (5) kemampuan meneliti, (6) keterampilan interpersonal, sejarah Psikologi, serta etika, dan (7) nilai-nilai. 2.4 Kerangka Berpikir Mahasiswa Psikologi memiliki kecenderungan untuk melakukan penghayatan terhadap pembelajaran Psikologi, dimana hal tersebut menyebabkan ia merasa bahwa terdapat gangguan tertentu didalam dirinya. Hal ini merupakan asumsi yang diramu berdasarkan pengataman akan fenomena yang ada. Sebuah wawancara dilakukan dengan 5 mahasiswa Psikologi Atma Jaya, 4 mahasiswa Psikologi Tarumanegara, dan 2 mahasiswa Psikologi YAI. Hasil yang didapat ialah bahwa 4 dari mahasiswa Psikologi Atma Jaya mengalami situasi dimana ia merasa bahwa dirinya memiliki gangguan psikologis, gangguan psikologis yang dirasakan tersebut beberapa diantaranya adalah Obessive Compulsive Disorder, Bipolar Disorder, dan Psychosomatic. Sedangkan 2 dari mahasiswa Psikologi Tarumanegara merasakan gangguan psikologis yaitu depresi. Dimana hal ini diakui dirasakan karena terdapat perasaan-perasaan bahwa dirinya tidak berharga, payah dalam berbagai hal, tidak berguna, dan bodoh. Tak jauh berbeda dengan 2 mahasiswa Psikologi YAI yang juga merasakan ada gangguan dalam dirinya, dimana salah satunya tidak keberatan untuk menyebutkan bahwa ia merasa bahwa ia memiliki gangguan halusinasi. Halusinasi tersebut ia rasakan karena dirinya merasa bahwa ketika sedang sendiri, terdapat sosok lain yang mengawasinya. Melalui pengkajian literatur, terdapat sebuah jurnal yang membahas mengenai Medical Student Syndrome (MSS) yang menjadi acuan didalam penelitian ini. Woods, dkk (dalam Waterman, 2011) mengatakan bahwa MSS adalah sebuah

18 `` 23 gejala atau kecemasan yang bersifat hipokondrikal yang berkembang sebagai hasil pembelajaran siswa mengenai sebuah penyakit. Hardy & Calhoun (1997) mengambil sampel dari mahasiswa psikologi yang mempelajari Psikologi Abnormal di University of North Carolina, Charlotte dan memberikan hasil laporan bahwa kekhawatiran akan kesehatan psikologis mereka meningkat setelah mereka mempelajari mata kuliah tersebut. Menurut Colman (2009), MSS sering terjadi ketika mahasiswa mulai untuk mempelajari gangguan mental dan mulai meyakini bahwa ia menderita gangguan yang ada dalam buku yang ia baca, dimana hal ini seringkali terjadi pada mahasiswa Psikologi. Osborne, LaFuze, dan Perkins (2013) menyadari bahwa beberapa mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata kuliah Psikologi Abnormal menganggap bahwa mereka sudah dapat menegakkan diagnosa. Dimana terdapat pula kemungkinan dari mahasiswa tersebut meyakini bahwa mereka melihat gangguan-gangguan pada masing-masing orang yang mereka ketahui. Berdasarkan penelitian Candel & Merckelbach (2003), diungkapkan bahwa terjadinya MSS berhubungan dengan tingginya tingkat fantasy proneness yang ada dalam diri individu. Penelitian mengenai fenomena yang terjadi pada mahasiswa tersebut mengungkapkan bahwa tingginya tingkat fantasy proneness dalam diri individu dapat membuat kerentanan dalam diri mereka ketika menghubungkan pengetahuan mengenai penyakit yang baru diperoleh dengan gejala yang samarsamar dialami mereka. Wilson & Barber (dalam Merckelbach, Campo, Hardy, & Giesbrecht, 2005) mengungkapkan bahwa istilah fantasy proneness merupakan kecenderungan individu yang sering terlibat dengan fantasi dan angan-angan yang dalam, besar, dan panjang. Dari pengkajian literatur-literatur tersebut, diasumsikan bahwa Medical Student Syndrome (MSS) dan fantasy proneness serupa dengan fenomena yang diamati dan diteliti lebih lanjut di Universitas Bina Nusantara, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Tarumanagara, dan Universitas Persada Indonesia YAI. Oleh karena itu, penelitian ini pun dilakukan untuk mencaritahu apakah terdapat hubungan yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta.

19 24 Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

20 25

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang mahasiswa sejatinya menjalani kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Aktivitas pembelajaran ini pun tentunya berkaitan dan sesuai dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA FANTASY PRONENESS DENGAN MEDICAL STUDENT SYNDROME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI DI PERGURUAN TINGGI JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA FANTASY PRONENESS DENGAN MEDICAL STUDENT SYNDROME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI DI PERGURUAN TINGGI JAKARTA HUBUNGAN ANTARA FANTASY PRONENESS DENGAN MEDICAL STUDENT SYNDROME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI DI PERGURUAN TINGGI JAKARTA Putri Dewinta Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27. Kebon Jeruk

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. perkuliahan tentunya akan seringkali mempelajari hal-hal baru, yang mungkin berkaitan

Bab I Pendahuluan. perkuliahan tentunya akan seringkali mempelajari hal-hal baru, yang mungkin berkaitan Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah. Seorang mahasiswa yang setiap harinya beraktivitas, terutama dalam kegiatan perkuliahan tentunya akan seringkali mempelajari hal-hal baru, yang mungkin berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan Bab 5 Ringkasan 5.1 Ringkasan Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan tentang teori psikologi penyakit skizofrenia yang akan saya gunakan untuk membuat analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam pendidikan. Perguruan Tinggi diadakan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi

Lebih terperinci

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran diri (body image) dan dukungan sosial pada tiga orang wanita yang mengalami penyakit kanker payudara yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan sensus penduduk terbaru yang dilaksanakan pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak kejahatan atau perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya untuk dibahas dan diperbincangkan, masalah ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK Karakteristik Guru sebagai Pembimbing di Taman Kanak-kanak 127 KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK Penata Awal Guru adalah pembimbing bagi anak taman kanak-kanak. Proses tumbuh kembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Gambaran Perilaku seksual Perkembangan seksual seorang individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan sebutan bagi seseorang yang sedang menempuh perguruan tinggi. Masa perguruan tinggi dengan masa SMA sangatlah berbeda, saat duduk dibangku perguruan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik maupun emosional. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengalami berbagai macam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah bagi diri anda sendiri? 2. Bagaimana anda menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. A. Latar Belakang Masalah Fenomena indigo, atau yang lebih dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari orang-orang yang bisa diandalkan, menghargai dan menyayangi kita yang berasal dari teman, anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut Papalia et, al (2008) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN (MATERI) Pengertian Psikologi Pendakatan dalam Psikologi: Sub disiplin Psikologi Bidang terapan Psikologi

PENDAHULUAN (MATERI) Pengertian Psikologi Pendakatan dalam Psikologi: Sub disiplin Psikologi Bidang terapan Psikologi PENDAHULUAN (MATERI) Pengertian Psikologi Pendakatan dalam Psikologi: Pendekatan Biologi-saraf Pendekatan Perilaku Pendekatan Kognitif Pendekatan Psikoanalitik Pendekatan Phenomenologi Sub disiplin Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rentang kehidupannya, manusia akan selalu mengalami perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan periode, dimana setiap periode

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak usia dini adalah anak yang berusia 0-6 tahun. Usia dini merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Dalam masa tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari interaksi dengan manusia lainnya. Setiap manusia berinteraksi membutuhkan bantuan dalam menjalankan aktifitasnya karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah 7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa

Lebih terperinci

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK Oleh : Lukman Aryo Wibowo, S.Pd.I. 1 Siapa yang tidak kenal dengan televisi atau TV? Hampir semua orang kenal dengan televisi, bahkan mungkin bisa dibilang akrab

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009 BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Berangkat dari sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Estetika sebagai logika, mengantarkan saya untuk mencoba mendalami dan menelusuri tentang keduanya, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecemasan merupakan suatu emosi yang paling sering di alami oleh manusia. Kadang-kadang kecemasan sering disebut sebagai bentuk ketakutan dan perasaan gugup yang dialami

Lebih terperinci

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN 134 135 LAMPIRAN A OBSERVASI DAN WAWANCARA 136 PEDOMAN OBSERVASI i. Kesan Umum : Kondisi Fisik dan Penampilan Subyek ii. Perilaku yang cenderung ditampilkan iii. Kegiatan Sehari-hari iv. Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang BAB I PENDAHULUAN l.l Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Merekalah yang akan menerima kepemimpinan dikemudian hari serta menjadi penerus perjuangan bangsa. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

Mata Kuliah Persepsi Bentuk Modul ke: Mata Kuliah Persepsi Bentuk Pertemuan 2 Fakultas FDSK Nina Maftukha, S.Pd., M.Sn. Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Apakah sensasi = persepsi? Apakah sensasi = persepsi? Sensasi

Lebih terperinci

PERSEPSI BENTUK. Persepsi, Lanjutan Modul 2. Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn. Modul ke: Fakultas Desain dan Seni Kreatif. Program Studi Desain Produk

PERSEPSI BENTUK. Persepsi, Lanjutan Modul 2. Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn. Modul ke: Fakultas Desain dan Seni Kreatif. Program Studi Desain Produk PERSEPSI BENTUK Modul ke: Persepsi, Lanjutan Modul 2 Fakultas Desain dan Seni Kreatif Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Abstract Istilah persepsi sering disamakan

Lebih terperinci

PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN

PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN Ade Heryana Dosen Prodi Kesmas FIKES Universitas Esa Unggul Jakarta Email: heryana@esaunggul.ac.id PENDAHULUAN Perilaku seseorang memberi dampak yang penting terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tujuan yang ingin dicapai oleh anak dapat terwujud. Motivasi anak dalam meraih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tujuan yang ingin dicapai oleh anak dapat terwujud. Motivasi anak dalam meraih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Motivasi anak dalam meraih prestasi di sekolah sangat penting, sehingga tujuan yang ingin dicapai oleh anak dapat terwujud. Motivasi anak dalam meraih prestasinya

Lebih terperinci

PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN

PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN Ade Heryana Dosen Prodi Kesmas FIKES Universitas Esa Unggul Jakarta Email: heryana@esaunggul.ac.id PENDAHULUAN Perilaku seseorang memberi dampak yang penting terhadap

Lebih terperinci

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kreativitas telah lama dikaitkan dengan gangguan jiwa (Kyaga et al., 2011). Mulai dari Aristoteles yang menyatakan tidak ada orang jenius yang hidup tanpa sedikit kegilaan

Lebih terperinci

Testimoni. Ucapan Terima Kasih. Kata Penjemput. Daftar Isi. Ketika Akar Ketidakbahagiaan Ditemukan. Bahagia Begitu Menggoda

Testimoni. Ucapan Terima Kasih. Kata Penjemput. Daftar Isi. Ketika Akar Ketidakbahagiaan Ditemukan. Bahagia Begitu Menggoda Testimoni Ucapan Terima Kasih Kata Penjemput Daftar Isi Ketika Akar Ketidakbahagiaan Ditemukan Pilar Ketidakbahagiaan Tenggelam dalam Penyesalan Penjara Aturan Mengepung Jiwa Awal Setelah Akhir Pikiran

Lebih terperinci

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN oleh Rosita E.K., M.Si Konsep dasar dari konseling adalah mengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. program tertentu. Aktivitas mereka adalah belajar. Belajar ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. program tertentu. Aktivitas mereka adalah belajar. Belajar ilmu pengetahuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa dapat dikatakan sebagai kelompok dari generasi muda yang sedang belajar atau menuntut ilmu di perguruan tinggi, dengan jurusan atau program tertentu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir dewasa madya tentang faktor penyebab menunda pernikahan, diperoleh kesimpulan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kehamilan merupakan suatu anugerah yang menyenangkan bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kehamilan merupakan suatu anugerah yang menyenangkan bagi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu anugerah yang menyenangkan bagi setiap wanita. Sepanjang daur kehidupan wanita, sudah menjadi kodratnya akan mengalami proses kehamilan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi adalah cara penyampaian pesan kepada seseorang yangbisa berupa informasi berbentuk bahasa ataupun lewat simbol- simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang berbeda-beda, diantaranya faktor genetik, biologis, psikis dan sosial. Pada setiap pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun

adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi menurut Irwanto, et al (dalam Rangkuti & Anggaraeni, 2005), adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan saran. bahwa tokoh yang bernama Frank dalam novel In The Miso Soup karya Ryu

Bab 4. Simpulan dan saran. bahwa tokoh yang bernama Frank dalam novel In The Miso Soup karya Ryu Bab 4 Simpulan dan saran 4.1 Simpulan Melalui analisis yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh yang bernama Frank dalam novel In The Miso Soup karya Ryu Murakami mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang perempuan yang pernah mengalaminya. Sebagian besar kaum perempuan menganggap kehamilan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS S k r i p s i Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar derajat sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Di masa ini, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Status nutrisi Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan manfaat zat zat gizi. Perubahan pada dimensi tubuh mencerminkan keadaan kesehatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Fenomena perempuan bercadar merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat kita. Fenomena yang terjadi secara alamiah dalam setting dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang DwiMurtiningsih,2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang DwiMurtiningsih,2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain, anak belajar banyak hal, bermain merupakan bagian yang amat penting dalam tumbuh kembang anak untuk menjadi

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1. Kesimpulan Bab ini berusaha menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan di bab pendahuluan yaitu melihat gambaran faktor-faktor yang mendukung pemulihan pada

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG. GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI MAHASISWA SURYA UNIVERSITY TAHUN AJARAN 2013/2014 TERHADAP TAYANGAN FILM ANIMASI SPONGEBOB SQUAREPANTS

ANALISIS PERSEPSI MAHASISWA SURYA UNIVERSITY TAHUN AJARAN 2013/2014 TERHADAP TAYANGAN FILM ANIMASI SPONGEBOB SQUAREPANTS ANALISIS PERSEPSI MAHASISWA SURYA UNIVERSITY TAHUN AJARAN 2013/2014 TERHADAP TAYANGAN FILM ANIMASI SPONGEBOB SQUAREPANTS Makalah Bahasa Indonesia Oleh: NAMA : KAHLIL GIBRAN ARDA YASSIN NIM : 004138322374193

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi mendalam suatu produk. Barang menurut Fandy (dalam Latif,

BAB I PENDAHULUAN. informasi mendalam suatu produk. Barang menurut Fandy (dalam Latif, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di masa dimana perkembangan teknologi semakin maju ini, masyarakat aktif dalam mencari informasi mengenai produk yang bermanfaat dan sesuai dengan apa yang dijanjikan

Lebih terperinci

Peers and Friends. Santi e. Purnamasari, M.Si. UMBY

Peers and Friends. Santi e. Purnamasari, M.Si. UMBY Peers and Friends Santi e. Purnamasari, M.Si. UMBY Pengantar Para ahli percaya bahwa interaksi yang terjadi di luar lingkungan keluarga adalah hal yang penting bagi perkembangan anak Terlebih kondisi saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Ibu menjadi tokoh sentral dalam keluarga. Seorang manajer dalam mengatur keuangan, menyediakan makanan, memperhatikan kesehatan anggota keluarga dan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pada bab-bab terdahulu, terdapat tiga kesimpulan pokok yang dapat diungkapkan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pada bab-bab terdahulu, terdapat tiga kesimpulan pokok yang dapat diungkapkan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari kajian teoretis dan temuan penelitian sebagaimana telah disajikan pada bab-bab terdahulu, terdapat tiga kesimpulan pokok yang dapat diungkapkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian A. 1 Perilaku Seks Sebelum Menikah Masalah seksual mungkin sama panjangnya dengan perjalanan hidup manusia, karena kehidupan manusia sendiri tidak

Lebih terperinci

- Sebelum melakukan penetrasi yang dalam, yang harus diutamakan adalah kenyamanan dan kebebasan ibu hamil.

- Sebelum melakukan penetrasi yang dalam, yang harus diutamakan adalah kenyamanan dan kebebasan ibu hamil. SEKS SELAMA KEHAMILAN Selain perubahan fisik, wanita yang sedang hamil biasanya memiliki perubahan kebutuhan akan perhatian dan keintiman dalam hubungan dengan pasangannya. Dari sisi emosianal, wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak

Lebih terperinci