BAB II PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN"

Transkripsi

1 BAB II PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN A. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencurian pada Polresta Medan 1. Jenis-Jenis Pencurian menurut KUHP di Indonesia Secara umum jenis-jenis tindak pidana pencurian diatur pada Kitab undang-undang hukum pidana di dalam bab XXII tentang Pencurian yang dimulai dari pasal Setiap pasalnya mengatur jenis pencurian yang berbeda-beda berdasarkan berat ringannya tindak pidana tersebut dilihat dari unsur objektif dan subjektif serta sanksi yang dikenakan terhadap pelakunya. Pencurian Pasal 362 KUHP merumuskan: Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan pidana penjara, selama-lamanya lima tahun atau denda paling banyak Rp.900,-, Unsur-unsur pencurian dalam Pasal 362 KUHP, yaitu: a. Unsur-unsur obyektif, terdiri dari: 1) Mengambil Menurut Van Bemmelen dan van Hattum, unsur mengambil merupakan unsur terpenting atau unsur yang pertama dalam tindak pencurian. 33 Unsur mengambil ini mengalami berbagai penafsiran, mengambil yang diartikan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang nyata dan multak. Perbuatan mengambil 33 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hal. 11.

2 berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang diluar kekuasan pemiliknya. 34 Dalam pencurian, mengambil yang dimaksud adalah mengambil untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, maksudnya adalah waktu pencuri mengambil barang, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya, apabila waktu memiliki barang itu sudah ada ditangannya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk pencurian tetapi penggelapan, pencurian dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat. 2) Suatu barang atau benda Pengertian barang dalam Pasal 362 KUHP juga mengalami perkembangan makna. Pengertian barang dalam Pasal 362 KUHP ini pada awalnya menunjuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan berwujud, termasuk binatang. 35 Dalam perkembangannya pengertian barang atau benda tidak hanya terbatas pada benda atau barang berwujud dan bergerak, tetapi termasuk dalam pengertian barang atau benda adalah barang atau benda tidak terwujud dan tidak bergerak. 36 Benda yang dikategorikan sebagai benda tidak terwujud dan tidak bergerak tersebut antara lain halaman dengan segala sesuatu yang dibangun diatasnya, pohon-pohon dan tanaman yang tertanam dengan akarnya di dalam tanah, buah-buahan yang belum dipetik, dan sebagainya. 34 Ibid., hal R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor:Politeia, 1996), hal Ibid.

3 Barang yang tidak ada pemiliknya, tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu barang dalam keadaan res nullus (barang yang pemiliknya telah melepaskan haknya) dan res derelictae. 37 3) Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain Unsur ini mengandung suatu pengertian, bahwa benda yang diambil itu haruslah barang atau bendan yang ada pemiliknya, barang atau benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian. Terhadap unsur yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain ini dapat diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut: 38 Dua orang A dan B secara bersama-sama (patungan) membeli sepeda. Sepeda tersebut kemudian disimpan di rumah A. ketika A sedang keluar rumah sepeda tersebut di curi oleh B dan kemudian dijualnya. Dalam hal ini perbuatan B tersebut tetap merupakan tindak pidana pencurian, sekalipun sebagian dari sepeda tersebut adalah miliknya sendiri. b. Unsur unsur subyektif, terdiri dari: 1) Dengan maksud Istilah ini terwujud dalam kehendak, atau tujuan pelaku untuk memilki barang secara melawan hukum. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana dirumuskan dengan berbagai istilah, termasuk didalamnya adalah istilah dengan maksud. Dengan demikian, unsur dengan maksud dalam Pasal H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), hal 41

4 KUHP menunjuk adanya unsur kesengajaan dalam tindak pidana pencurian. 2) Yang ditujukan untuk memiliki Unsur memiliki untuk dirinya sendiri dalam rumusan Pasal 362 KUHP merupakan terjemahan dari kata zich toeeigenen. Istilah zich toeeigenen sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar memiliki. Oleh beberapa sarjana, istilah tersebut diterjemahkan distilah menguasai. Berkaitan dengan istilah zich toeeigenen ini, Prodjodikoro berpendapat, bahwa istilah tersebut harus diterjemahkan sebagai berbuat sesuatu terhadap suatu barang/benda seolah-olah pemilik barang itu, dan dengan perbuatan tertentu si pelaku melangar hukum. Bentuk dari perbuatan dari zich toeeigenen tersebut dapat bermacam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan dan sering bahkan bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa- apa dengan barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa persetujuannya. 39 3) Secara melawan hukum Secara melawan hukum yakni perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari si pelaku. Pelaku harus sadar bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, (Bandung : Eresco, 1986), hal Tongat, op. cit., hal 19 23

5 Adapun jenis-jenis tindak pidana pencurian yang dimaksud, yaitu: a. Pencurian biasa Pencurian yang dimaksud disini adalah pencurian yang memenuhi elemen-elemen seperti yang dimaksud pada penjelasan pasal 362 KUHP sebagai berikut: 1) Perbuatan mengambil 2) Yang diambil harus sesuatu barang 3) Barang itu harus seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain 4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak) 41 Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara selamalamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP) 42. b. Pencurian dengan pemberatan Pencurian yang dimaksud dengan pemberatan adalah pencurian biasa (pasal 362) disertai dengan salah satu keadaan seperti disebutkan pada pasal 363 ayat (1), yaitu: 41 Lihat penjelasan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana R.Soesilo 42 Berdasarkan Pasal 3 Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (l) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi (seribu kali).

6 1) Jika barang yang dicuri adalah hewan yang diterangkan dalam pasal 101. Pencurian hewan dianggap berat karena hewan tersebut milik petani yang terpenting. 2) Jika pencurian dilakukan pada waktu ada kejadian macam-macam malapetaka seperti gempa bumi, banjir, dsb. Pencurian ini dikategorikan sebagai pencurian berat karena pada kondisi tersebut orang-orang tidak bisa terfokus pada barang-barangnya lagi dikarenakan mereka sedang mendapat celaka. 3) Jika pencurian dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan yang tertutup ( waktu malam lihat pasal 98 KUHP). 4) Jika pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Pelaku haruslah semuanya sebagai pembuat atau yang turut melakukan (lihat pasal 55 KUHP). 5) Jika dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar, memecah, dsb. 43 Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara selamalamanya tujuh tahun, apabila pencurian yang dilakukan dengan kondisi seperti disebutkan pada huruf c disertai dengan salah satu dari kondisi pada huruf d dan e, dihukum selama-lamanya sembilan tahun (lihat pasal 363 ayat (2) KUHP). 43 Lihat Penjelasan pasal 363 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana R.Soesilo

7 c. Pencurian Ringan 44 Pencurian ini adalah Pencurian biasa (pasal 362) seperti disebutkan dalam pasal 364 KUHP dengan kondisi sebagai berikut: 1) Pencurian biasa (pasal 362), asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,- 2) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih (pasal 363 sub 4), asal harga barang tidak lebih dari Rp 250,- 3) Pencurian dengan masuk ketempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah, dsb. (pasal 363 sub 5), jika harga tidak lebih dari Rp 250,- dan tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara selamalamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP) d. Pencurian dengan kekerasan 1) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (1) Pencurian ini didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut 44 Berdasarkan Pasal 1 Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 364 KUHP dibaca menjadi Rp ,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

8 melakukan untuk melarikan diri supaya barang yang dicuri tetap ada ditangannya. Berdasarkan penjelasan pasal 365 yang mengatur tentang pencurian dengan kekerasan ini (pengertian kekerasan lihat pasal 89), yang dimaksud dengan kekerasan dapat pula berupa mengikat orang yang punya rumah, menutup di dalam kamar, dsb. Sanksi yang diberikan adalah hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. 2) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (2) Pencurian yang dimaksud disini apabila perbuatan yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada waktu malam hari di dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau dijalan umum atau didalam kereta api atau trem yang sedang berjalan. Berdasarkan penjelasan pasal 365, sanksi yang diberikan diperberat menjadi hukuman penjara 12 tahun apabila disertai dengan salah satu kondisi yang diatur dalam pasal 363 ayat (1) atau menjadikan ada orang mendapat luka berat. 3) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (3) Pencurian ini berakibat matinya orang, ancaman hukumannya diperberat dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. 4) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (4) Pencurian yang dimaksudkan disini dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula salah satu hal yang diterangkan dalam pasal 365 ayat (2) no. 1 dan 3 sehingga berakibat

9 orang luka berat atau mati. Sanksi bagi pelaku adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selamalamanya dua puluh tahun. e. Pencurian dalam kalangan keluarga Pencurian yang diatur pada pasal 367 KUHP ini adalah pencurian yang apabila dilakukan suami atau isterinya yang secara hukum tunduk pada Kitab undang-undang hukum sipil (perdata), maupun hukum adat, hukum islam, selama masih ada dalam tali perkawinan maka pencurian ini hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan (isteri/suami) karena termasuk dalam delik aduan. 2. Klasifikasi Pencurian pada Polresta Medan Berdasarkan data kriminalitas pencurian dari Polresta Medan pada tiga tahun terakhir, terdapat jumlah kejahatan total atau crime total (CT) dan kejahatan yang penanganannya sudah selesai atau crime clearance (CC) dengan pembagian jenis kasus pencurian menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut: a. Pencurian dengan Kekerasan b. Pencurian dengan Pemberatan c. Pencurian Kendaraan Bermotor d. Pencurian Biasa ( digabungkan dengan pencurian ringan) Menurut H. Manurung, Kepala URBIN OPS SAT Reskrim Polresta Medan, secara khusus pembagian atau jenis tindak pidana pencurian yang terdapat pada Kepolisian Resor Kota Medan ada tiga. Klasifikasi Pencurian di

10 Kepolisian ini, apabila didalam KUHP telah diatur jenis-jenis pencurian berdasarkan pada unsur subjektif, objektif, dan berat ringannya sanksi maka di kepolisian juga terdapat klasifikasi didasari oleh tingkat kesulitan pengungkapan atau penyidikannya. Adapun ketiga klasifikasi tersebut, yaitu: 45 a. Perkara Pencurian Ringan/Mudah Kondisi dimana pada perkara ini pelaku tertangkap tangan, yang berarti alat bukti yang dibutuhkan sebagian besar telah dimiliki oleh kepolisian, termasuk di dalamnya adalah saksi. Pencurian bisa saja tergolong dalam jenis tindak pidana pencurian berat (sesuai KUHP) namun si pelaku tertangkap tangan sehingga tergolong mudah untuk diungkap. b. Perkara Pencurian Sedang Salah satu keadaan pada proses lidik dan sidik dimana tersangka diketahui dan telah cukup saksi, telah juga terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka, tetapi dalam hal ini tersangka melarikan diri atau belum tertangkap sehingga perlu dilakukan pengejaran. Kondisi tersangka yang sudah tertangkap dalam kondisi sehat dan dia bukan orang yang memiliki kelompok kejahatan tertentu. c. Perkara Pencurian Berat/Sulit Proses pengungkapan pencurian berat memerlukan proses lidik yang panjang karena tersangka tidak diketahui dan bukti-bukti yang dapat dijadikan petunjuk sangat minim. Kondisi nya saksi tidak mengetahui 45 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

11 secara langsung bagaimana tindak pidana ini terjadi, tersangka adalah bagian dari kelompok kejahatan tertentu yang mungkin dilindungi ataupun memiliki jabatan tertentu yang mempersulit penangkapan, dan dalam perkara ini biasanya sangat dibutuhkan keterangan ahli untuk membantu pengungkapannya. 3. Data Penanganan Kasus Pencurian pada Polresta Medan Sejajaran tahun 2013, 2014, dan 2015 Adapun data jumlah tindak pidana pencurian sesuai klasifikasi pada Polresta Medan yang dicatat sepanjang tiga tahun terakhir adalah, sebagai berikut: Tabel 1. Pencurian dengan Kekerasan No. Uraian Tahun Jumlah 1. Kejahatan yang dilaporkan Kejahatan yang diselesaikan Persentasi 43,8% 62,8% 65,7% 57,6% Keterangan: 1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan 2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Sesuai dengan data pada Tabel 1. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian dengan kekerasan persentasinya hanya 57,6% dari total jumlah

12 kejahatan yang dilaporkan, ini berarti penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya masih tergolong rendah karena hanya lebih 7,6% dari setengahnya kejahatan yang dilapor. Tabel 2. Pencurian dengan Pemberatan No. Uraian Tahun Jumlah 1. Kejahatan yang dilaporkan 2,238 2,255 1, Kejahatan yang diselesaikan 1,023 1, Persentasi 45,7% 50,3% 64,01% 52,02% Keterangan: 1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan 2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Sesuai dengan data pada Tabel 2. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian dengan pemberatan persentasinya bahkan lebih rendah dari pencurian dengan kekerasan. Total jumlah kejahatan yang dilaporkan hampir dua kali lipat dari jumlah kejahatan yang diselesaikan tiga tahun tersebut, ini berarti penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya masih tergolong rendah karena hanya lebih 2,02% dari setengahnya kejahatan yang dilapor.

13 Tabel 3. Pencurian Kendaraan Bermotor No. Uraian Tahun Jumlah 1. Kejahatan yang dilaporkan 3,469 2, Kejahatan yang diselesaikan Persentasi 10,4% 18,6% 30,3% 17,88% Keterangan: 1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan 2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Sesuai dengan data pada Tabel 3. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian kendaraan bermotor berjalan sangat lambat, persentasinya bahkan berada pada angka 10-30% yang berarti tidak mencapai setengahnya dari total jumlah kejahatan yang dilaporkan. Penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya tergolong sangat rendah, hal ini dikemukakan oleh penyidik di Polresta Medan dikarenakan sulitnya menemukan tersangka dan barang bukti pada saat kejahatan telah terjadi. Tabel 4. Pencurian Biasa (digabungkan dengan pencurian ringan) No. Uraian Tahun Jumlah 1. Kejahatan yang dilaporkan Kejahatan yang diselesaikan Persentasi 128,3% 61% 86,6% 90,79%

14 Keterangan: 1. Kejahatan yang dilaporkan adalah kejahatan yang telah dicatat dalam buku registrasi B1 sebagai data semua laporan kejahatan yang masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Kota Medan 2. Kejahatan yang diselesaikan adalah kejahatan yang dicatat dalam buku register B2 sebagai kejahatan yang telah selesai diproses di tahap Kepolisian dan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Sesuai dengan data pada Tabel 4. Bahwa penyelesaian tindak pidana pencurian biasa persentasinya adalah yang paling tinggi di bandingkan tiga jenis pencurian lainnya. Total jumlah kejahatan yang dilaporkan hampir sama jumlahnya dengan jumlah kejahatan yang diselesaikan tiga tahun tersebut, ini berarti penanganan yang dilakukan sepanjang tiga tahun terakhir tingkat keberhasilannya tergolong baik, hal ini juga dikarenakan penyelesaian perkara lebih banyak menggunakan konsep diversi karena pelakunya kebanyakan adalah anak jadi tidak memakan waktu yang panjang. 46 Adapun persentasi jumlah kejahatan pencurian yang dapat diselesaikan proses hukumnya tiga tahun terakhir secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut: Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan, Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB 47 Diolah dari Data Kriminalitas Pencurian SAT Reskrim Polresta Medan Sejajaran tahun 2013, 2014, dan 2015 yang memberikan informasi jumlah kriminal total dan kriminal yang diselesaikan prosesnya setiap tahun.

15 Tabel 5. Persentasi kejahatan yang diselesaikan pada tindak pidana Pencurian No. Jenis Kasus Kejahatan yang diselesaikan (%) Pencurian dengan Kekerasan 43,8 62,8 65,7 2. Pencurian dengan Pemberatan 45,7 50,3 64,01 3. Pencurian Kendaraan Bermotor 10 18,6 30,3 4. Pencurian Biasa 128, ,6 Rata-rata kejahatan yang diselesaikan 56,95 48,17 61,65 Dari penyajian data diatas, terdapat beberapa keterangan mengenai penanganan tindak pidana pencurian pada Polresta Medan, yaitu: 1. Persentasi total kejahatan adalah 100% setiap tahunnya, jika diperbandingkan dengan angka penyelesaian kejahatannya, persentasi penyelesaian kejahatan tersebut rata-rata tidak bisa mencapai 100%. 2. Kejahatan pencurian yang telah selesai ditangani setiap tahunnya dapat terdiri dari kejahatan pada tahun-tahun sebelumnya yang belum bisa diselesaikan tahun itu juga dan kejahatan pada tahun penyelesaian penanganan perkara. 3. Pencurian dengan kekerasan, pemberatan, dan kendaraan bermotor proses penyelesaiannya mengalami peningkatan.

16 4. Proses pengungkapan kasus pencurian kendaraan bermotor tergolong berat, hal ini dapat dilihat dari persentasi dari tahun ke tahun sangat kecil. 5. Pada tahun 2013, persentasi penyelesaian kejahatan pencurian biasa lebih besar 28,3% melebihi 100% total kejahatan tahun tersebut, hal ini dapat dikarenakan pengungkapan kasus tersebut tergolong ringan. 6. Kepala Sub Unit Idik 7 bidang Ranmor, Ridwan mengatakan bahwa pelaku pencurian kendaraan bermotor dan pencurian biasa didominasi pelaku anak, oleh karena itu upaya diversi/perdamaian yang dilakukan cukup membantu penyelesaian penanganan kejahatan dengan lebih cepat Jika dilihat dari persentasi rata-rata kejahatan yang diselesaikan setiap tahunnya, jumlah kasus yang masih dalam proses penyelesaian tergolong besar karena masih tersisa hampir setengahnya. B. Sistem Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa pada Polresta Medan Berbicara mengenai penanganan tindak pidana berarti berbicara mengenai penegakan hukum pidana materil yakni kajian tentang ilmu hukum acara pidana. Ilmu hukum pidana yang sangat luas pembahasannya dalam konteks pembahasan ini khusus membahas suatu proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana umum di Indonesia pada tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian resor kota Medan untuk menangani Kejahatan Pencurian. 48 Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan, Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

17 1. Tahap Penyelidikan Penyelidikan dan Penyidikan dalam hal penanganan tindak pidana dilakukan oleh penyelidik dan penyidik. Berdasarkan Ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. 49 Sejalan dengan pengertian tersebut, berdasarkan peraturan kepolisian, Penyelidik diartikan pula pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. 50 Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 51 Sebelum melakukan penyelidikan, dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana dapat diketahui oleh kepolisian melalui: a. Laporan Pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP) b. Pengaduan Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP) c. Tertangkap tangan Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan 49 Lihat Pasal 1 butir 4 KUHAP 50 Pasal 1 butir 8 Perkap no.14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana 51 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

18 untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 butir 19 KUHAP) d. Media massa Informasi mengenai peristiwa pidana juga dapat diperoleh oleh kepolisian melalui media massa, contohnya dari televisi, surat kabar, majalah, dan lain-lain. 52 H. Manurung menyampaikan sistem penerimaan laporan pada Polresta Medan sesuai dengan Perkap no.12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana setiap laporan dan/atau pengaduan yang diterima bagian sentra pelayanan kepolisian (SPK), wajib dilakukan kajian awal untuk menyaring perkara yang masuk, apakah memang merupakan perkara dalam lingkup hukum pidana atau tidak. Tindak pidana yang dilaporkan/diadukan juga wajib diperhatikan tempat kejadiannya (locus delicti), apabila berada di luar wilayah hukum kesatuan yang menerima laporan (Polresta Medan), petugas SPK wajib menerima laporan untuk kemudian diteruskan/dilimpahkan ke kesatuan yang berwenang guna proses penyidikan selanjutnya, apabila pelapor dan/atau pengadu pernah melaporkan perkaranya ke tempat lain, atau perkaranya berkaitan dengan perkara lainnya, pelapor/pengadu diminta untuk menjelaskan nama kantor Kepolisian yang pernah menyidik perkaranya. 53 Petugas reserse di SPK wajib meneliti identitas pelapor/pengaduan untuk meneliti kebenaran informasi yang disampaikan, guna menegaskan 52 Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah Hukum Acara Pidana Semester Ganjil. Disampaikan pada pertemuan ke-4 di Fakultas Hukum USU. 53 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

19 keabsahan informasi tersebut petugas meminta kepada pelapor/pengadu untuk mengisi formulir pernyataan bahwa: a. perkaranya belum pernah dilaporkan/diadukan di kantor kepolisian yang sama atau yang lain, b. perkaranya belum pernah diproses dan/atau dihentikan penyidikannya, bersedia dituntut sesuai ketentuan hukum pidana yang berlaku, bilamana pernyataan atau keterangan yang dituangkan di dalam Laporan Polisi ternyata dipalsukan, tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau merupakan tindakan fitnah. Setelah mengetahui dugaan adanya peristiwa pidana yakni tindak pidana pencurian maka pihak kepolisian dalam hal ini penyelidik dapat melakukan beberapa upaya, yaitu: a. pengolahan TKP b. pengamatan (observasi) c. wawancara (interview) d. pembuntutan (surveillance) e. penyamaran (under cover) f. pelacakan (tracking), dan g. penelitian dan analisis dokumen Upaya tersebut sesuai dengan Peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana. Upaya yang dilakukan tersebut disesuaikan pula dengan jenis tindak pidananya, dalam hal tindak pidana pencurian, biasanya untuk tindak pidana pencurian kategori ringan/mudah

20 hanya perlu dilakukan kegiatan pengolahan TKP, pengamatan, dan wawancara. Pencurian dengan kategori tingkat kesulitan pengungkapan sedang dan berat/sulit akan dilakukan semua kegiatan tersebut, ditambah dengan kegiatan pembuntutan, penyamaran, pelacakan, penelitian dan analisis dokumen, serta upaya lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sesuai kebutuhan penyelidikan. 54 Kegiatan penyelidikan ini dilakukan sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana. Sedangkan sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan, kegiatan penyelidikan tersebut merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyidikan, yaitu: a. Untuk menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan, b. Membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya, dan c. dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa. 55 Kegiatan penyelidikan dilakukan guna memastikan bahwa Laporan Polisi yang diterima dan ditangani penyelidik/penyidik merupakan tindak pidana yang perlu diteruskan dengan tindakan penyidikan. Kegiatan penyelidikan tersebut dapat dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan penyidikan, apabila terdapat kondisi perkara yang secara nyata telah cukup 54 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB 55 Lihat Pasal 11 Perkap no.14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana

21 bukti pada saat Laporan Polisi dibuat, maka dapat dilakukan penyidikan secara langsung tanpa melalui penyelidikan. 56 Petugas penyelidik dalam melaksanakan tugas penyelidikan, wajib dilengkapi dengan surat perintah penyelidikan yang ditandatangani oleh atasan penyelidik selaku Penyidik dan wajib membuat laporan hasil penyelidikan kepada pejabat pemberi perintah. Laporan hasil penyelidikan tersebut disampaikan secara tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. 57 Tahap ini merupakan proses penanganan tindak pidana yang tidak dapat dipisahkan dengan tahap penyidikan. Berdasarkan Peraturan Kepolisian telah disebutkan pula penyelidik sebelum melakukan penyelidikan wajib membuat rencana penyelidikan, sekurang-kurangnya memuat: a. surat perintah penyelidikan; b. jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan penyelidikan; c. objek, sasaran dan target hasil penyelidikan; d. kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; e. peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; f. waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; dan 56 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB 57 Lihat Pasal 13 Perkap no.14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana

22 g. kebutuhan anggaran penyelidikan. Tindak pidana pencurian yang ditangani pada Polresta Medan hampir semua melalui proses sidik dan lidik. Tindak pidana yang tidak dilanjutkan prosesnya pada tahap penyidikan biasanya adalah pencurian dalam keluarga yang merupakan delik aduan, selebihnya tetap dilanjutkan proses penyelidikannya sekalipun untuk mengungkapkannya diperlukan waktu yang cukup panjang, apabila memang pengungkapannya dirasa sulit. Pencurian kendaraan bermotor dapat dijadikan contoh, dari data tiga tahun ini menunjukkan angka penyelesaian kriminal yang cenderung kecil dibandingkan total angka kejahatannya, karena memang proses pengejaran tersangka dan penyelesaian perkaranya memakan waktu lama. 58 Angka tersebut tercatat dalam sistem administrasi penanganan tindak pidana pada Polresta Medan yang memiliki dua jenis buku register, yaitu buku register B1 dan B2, yang mana di dalam buku register B1 yang dicatat adalah semua laporan-laporan adanya dugaan, namun di dalam buku B2 yang tercatat adalah semua perkara yang lanjut pada tahap lidik dan sidik. 2. Tahap Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 59 Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil 58 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB 59 Lihat Pasal 1 butir 2 KUHAP

23 tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 60 Pada tahap ini laporan adanya peristiwa pidana yang telah melalui proses penyelidikan akan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sebelum melaksanakan kegiatan penyidikan, penyidik wajib menyiapkan administrasi penyidikan pada tahap awal meliputi: pembuatan tata naskah dan rencana penyidikan. Pembuatan tata naskah sebagaimana dimaksud sekurangkurangnya meliputi: 61 a. Laporan Polisi; b. Laporan Hasil Penyelidikan bila telah dilakukan penyelidikan; c. Surat Perintah Penyidikan; d. SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) e. Rencana Penyidikan; f. Gambar Skema Pokok Perkara; dan g. Matrik untuk Daftar Kronologis Penindakan Setiap penyidikan untuk satu perkara pidana tidak dibenarkan hanya ditangani oleh satu orang penyidik, melainkan harus oleh Tim Penyidik dengan ketentuan setiap tim penyidik sekurang-kurangnya terdiri dua orang penyidik yang mana jika jumlah penyidik tidak memadai dibandingkan dengan jumlah perkara yang ditangani oleh suatu kesatuan, maka satu orang 60 Lihat Pasal 1 butir 1 KUHAP 61 Lihat Pasal 30 ayat (2) Perkap no.12 tahun 2009

24 penyidik dapat menangani lebih dari satu perkara, paling banyak tiga perkara dalam waktu yang sama. 62 Hukum Acara Pidana Indonesia juga telah mengatur kewajiban dan wewenang penyidik, yaitu: a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab 63 Penyidik wajib membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakantindakan tersebut dan dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud diatas penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Dikenal pula adanya penyidik pembantu, yaitu pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan sesuai dengan peraturan pemerintah. Penyidik pembantu ini memiliki wewenang seperti penyidik yang sudah disebutkan di atas, kecuali dalam hal penahanan, penyidik pembantu hanya dapat melakukannya apabila mendapatkan pelimpahan wewenang dari 62 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB 63 Lihat Pasal 7 ayat (1) KUHAP

25 penyidik. Penyidik pembantu juga berkewajiban membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum. 64 Guna menciptakan proses penyidikan yang efektif, efisien, dan profesional, sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan. Rencana penyidikan tersebut diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat: a. jumlah dan identitas penyidik; b. sasaran/target penyidikan; c. kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan; d. karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik; e. waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara; f. kebutuhan anggaran penyidikan; dan g. kelengkapan administrasi penyidikan. 65 Tersangka yang dalam kondisi tertangkap tangan, perkara dalam keadaan tertentu, atau dalam keadaan sangat mendesak yang membutuhkan penanganan yang sangat cepat, penyidik dapat melakukan tindakan penyidikan dengan seketika di Tempat Kejadian Perkara (TKP) tanpa harus dibuat Laporan Polisi terlebih dahulu, namun Laporan Polisi dan administrasi penyidikannya harus segera dilengkapi setelah penyidik selesai melakukan tindakan pertama ditempat kejadian perkara Lihat Pasal KUHAP 65 Lihat Pasal 17 ayat (2) Perkap no.14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana 66 Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

26 Tindakan langsung tersebut harus tetap memedomani prosedur penyidikan menurut KUHAP. Tindakan penyidikan yang dapat dilakukan secara seketika atau langsung, antara lain: a. melarang saksi mata yang diperlukan agar tidak meninggalkan TKP, b. mengumpulkan keterangan dari para saksi di TKP, c. menutup dan menggeledah lokasi TKP, d. menggeledah orang di TKP yang sangat patut dicurigai, e. mengumpulkan, mengamankan dan menyita barang bukti di TKP, f. menangkap orang yang sangat patut dicurigai, g. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk kepentingan penyidikan. 67 Penyatuan penanganan perkara juga dikenal pada tahap ini, masih dalam rangka menciptakan proses penanganan tindak pidana yang efektif, efisien, dan profesional. Penanganan suatu perkara tindak pidana yang menyangkut objek yang sama atau pelaku yang sama, namun dilaporkan oleh beberapa pelapor pada suatu kesatuan atau dibeberapa kesatuan yang berbeda, dapat dilakukan penyatuan penanganan perkara pada satu kesatuan reserse tersebut. 68 Penyatuan penanganan perkara tersebut, dapat dilakukan dalam kondisi, antara lain: a. suatu perkara yang lokasi kejadiannya mencakup beberapa wilayah kesatuan, 67 Lihat Pasal 16 ayat (3) Perkap no.12 tahun Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

27 b. perkaranya merupakan sengketa antara dua pihak atau lebih yang masingmasing saling melaporkan ke SPK pada kesatuan yang sama atau melaporkan ke SPK di lain kesatuan, c. perkaranya merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka yang sama dengan beberapa korban yang masing-masing membuat Laporan Polisi di SPK yang sama atau SPK di beberapa kesatuan yang berbeda, dan d. perkaranya merupakan tindak pidana berganda yang dilakukan oleh tersangka dengan banyak korban dan dilaporkan di SPK kesatuan yang berbeda-beda. 69 Proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana ini dapat memakan waktu yang lama, jika dilihat kembali data jumlah kejahatan pencurian pada Polresta Medan maka dapat disimpulkan bahwa jumlah penyelesaian kriminal dapat lebih besar dibandingkan data jumlah total kriminalnya. Itu dikarenakan penyelesaian perkara-perkara tahun sebelumnya pun sangat mungkin diselesaikan pada tahun-tahun berikutnya. Tentunya bukan karena kelalaian dari kepolisian, namun prosedur penyelidikan dan penyidikan harus dilalui sedemikian rupa dan waktunya itu tergantung tingkat kesulitan perkaranya. 70 Penentuan tingkat kesulitan perkara yang akan di sidik selambatlambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan. Tingkat kesulitan penyidikan perkara diatur pada Pasal 18 ayat (1) sampai 69 Lihat Pasal 17 ayat (2) Perkap no.12 tahun Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

28 ayat (4) Perkap no.14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, dapat dikategorikan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu: a. Perkara Mudah Kriteria Perkara mudah dapat dilihat berdasarkan beberapa hal, yaitu: a. saksi cukup b. alat bukti cukup c. tersangka sudah diketahui atau ditangkap, dan d. proses penanganan relatif cepat b. Perkara Sedang a. saksi cukup b. terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka c. identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap d. tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir e. tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya, dan f. tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah didapatkan. c. Perkara Sulit a. saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang terjadi b. tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu;

29 c. tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; d. barang Bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat; e. diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara; f. diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya; g. tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan h. memerlukan waktu penyidikan yang cukup. Batas waktu penyelesaian perkara diatur dalam Perkap no.12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a. 120 (seratus dua puluh) hari untuk penyidikan perkara sangat sulit; b. 90 (sembilan puluh) hari untuk penyidikan perkara sulit; c. 60 (enam puluh) hari untuk penyidikan perkara sedang; atau d. 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan perkara mudah; 71 Proses penyidikan kemudian akan melalui proses sesuai batas waktu yang ditentukan untuk menemukan bukti yang cukup bagi tersangka. Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti yang diperoleh melalui gelar perkara. 71 Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

30 3. Tahap Pelimpahan Berkas Pelimpahan berkas akan dilakukan oleh penyidik dari kepolisian kepada Jaksa Penuntut Umum pada lembaga Kejaksaan. Sebelum melimpahkan berkas tersebut, penyidik akan menyelesaikan terlebih dahulu berkas perkaranya dengan membuat resume berkas perkara. Pembuatan resume berkas perkara tersebut sekurang-kurangnya memuat: a. dasar Penyidikan; b. uraian singkat perkara; c. uraian tentang fakta-fakta; d. analisis yuridis; dan e. kesimpulan. 72 Resume berkas perkara yang telah selesai dibuat, selanjutnya memasuki tahap pemberkasan. Pemberkasan tersebut sekurang-kurangnya memuat: a. sampul berkas perkara; b. daftar isi; c. berita acara pendapat/resume; d. laporan polisi; e. berita acara setiap tindakan Penyidik/Penyidik pembantu; f. administrasi Penyidikan; g. daftar Saksi; h. daftar Tersangka; dan 72 Lihat Pasal 72 ayat (1) dan (2) Perkap no.12 tahun 2014

31 i. daftar barang bukti. 73 Setelah pemberkasan dilakukan, selanjutnya berkas penyidikan harus diserahkan kepada atasan penyidik untuk kemudian dilakukan penelitian berupa pemeriksaan dokumen sesuai persyaratan formil dan materiilnya. Pelimpahan berkas akan dilakukan ketika semua berkas telah dinyatakan lengkap setelah penelitian tersebut dan segera disegel. Pelimpahan berkas kepada JPU dilakukan melalui dua tahap, yaitu: a. Tahap pertama, penyerahan berkas perkara b. tahap kedua, penyerahan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti setelah berkas perkara dinyatakan lengkap. Berkas perkara dianggap lengkap apabila dalam jangka waktu 14 hari Jaksa Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara maka penyidik/penyidik pembantu akan menyerahkan tersangka dan barang bukti pada tahap kedua. Penyidikan yang dilakukan kepolisian dengan demikian selesai dengan status tersangka yang akan berubah menjadi terdakwa dan dimulai proses baru yaitu penuntutan Lihat Pasal 127 Perkap no.12 tahun Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul WIB

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPASAN PAKSA SEPEDA MOTOR

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPASAN PAKSA SEPEDA MOTOR BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPASAN PAKSA SEPEDA MOTOR A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 362 KUHP mengatur tentang tindak pidana pencurian biasa yang berbunyi 51

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku kedua, Bab XXII, Pasal 362 yang berbunyi:

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN DALAM PASAL 364 KUHP DAN PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012

BAB III SANKSI TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN DALAM PASAL 364 KUHP DAN PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012 BAB III SANKSI TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN DALAM PASAL 364 KUHP DAN PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012 A. Tindak Pidana Pencurian ringan Dalam Pasal 364 KUHP Dalam hukum positif pengertian pencurian telah diatur

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Kata pencurian dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar curi yang memperoleh imbuhan pe diberi akhiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Pencurian pencurian merupakan perbuatan pengambilan barang. Kata mengambil (wegnemen) merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA Dompu 2 Januari 2016 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

BAB I BERKAS PENYIDIKAN

BAB I BERKAS PENYIDIKAN BAB I BERKAS PENYIDIKAN Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan, suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, namun untuk menentukan apakah

Lebih terperinci

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan wawancara dengan responden yang berkaitan dengan Analisis Yuridis Penyidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi PEMERASAN/AFPERSING AFPERSING DAN PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING FACHRIZAL AFANDI, S.Psi., SH., MH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya PEMERASAN DAN PENGANCAMAN (BAB XXIII) PEMERASAN DALAM BENTUK POKOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi. penyidik bukan berdasarkan atas kekuasaan, melainkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi. penyidik bukan berdasarkan atas kekuasaan, melainkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi negara republik indonesia atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR. an, sehingga menjadi penanggulangan yang berarti proses, cara, perbuatan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR. an, sehingga menjadi penanggulangan yang berarti proses, cara, perbuatan BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Penanggulangan Penanggulangan itu sendiri berasal dari kata tanggulang yang berarti menghadapi, mengatasi. Kemudian ditambah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan Strafbaarfeit dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BUTON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta No.407, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENATR/BPN. PPNS. Penataan Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR LOMBOK TIMUR PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 52/2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA KASUS. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 27 Mei 2008, No. 06/Pid/Prap/2008/PN Jkt-Sel

BAB 4 ANALISA KASUS. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 27 Mei 2008, No. 06/Pid/Prap/2008/PN Jkt-Sel 59 BAB 4 ANALISA KASUS 4.1 Posisi Kasus Penangkapan Dalam Hal Tertangkap Tangan Atas Al Amin Nasution Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 239/PMK.03/2014, 22 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Sumber: Dewi, A.I, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka book Publisher : yogyakarta.

Sumber: Dewi, A.I, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka book Publisher : yogyakarta. 5. Tahapan & Regulasi Hukum Acara Pidana Masalah Hukum Kesehatan Setiap pelanggaran hukum akan selalu mengakibatkan timbulnya sanksi hukum, sanksi ini merupakan monopoli atau wewenang dari penguasa untuk

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR MATARAM STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENYUSUNAN BERKAS PERKARA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MATARAM Mataram, 01 Januari 2016

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH. KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH www.siwalima.com Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Maluku Tenggara Barat (MTB), Holmes Matruty dan Pejabat Pelaksana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUDUS NOMOR 10 TAHUN 1996 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal 27 Ayat 1 (1) Undang -

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal 27 Ayat 1 (1) Undang - I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci