BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan Strafbaarfeit dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo : Delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (sculd), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu harus berunsurkan: adanya perbuatan manusia, perbuatan itu bertentangan ataupun melanggar hukum, ada unsur kesengajaan dan atau kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat mempertanggungjawaabkan perbuatannya Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada penuntutannya Dalam Delik aduan (klacht delicten), pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Sathochid adalah :.. adalah karena pertimbangan bahwa dalam beberapa macam kejahatan akan lebih baik merugikan kepentingan-kepentingan khusus

2 (bijzondere belang) karena penuntutan itu daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya 27 Untuk menuntut atau tidak menuntut semata-mata digantungkan pada kehendak dari si korban atau orang yang dirugikan. Alasan dan latar belakang perlindungan kepentingan perseorangan (nama baik dan atau kehormatan), kembali menjadi sesuatu yang diutamakan. Dan akibatnya, seolah-olah kepentingan perseorangan dilebihkan daripada kepentingan umum. Menjadi sesuatu yang nyata dan ini memprihatinkan terutama bila kita kaji maksud dan tujuan KUHP, yakni KUHP ditujukan kepada kepentingan umum dan tidak kepentingan perseorangan. 28 Pencurian dalam lingkungan keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP merupakan salah satu tindak pidana yang tergolong delik aduan. Dalam hal demikian penegak hukum baru menanganinya setelah adanya pengaduan dari seseorang yang merasa dirugikan, baik orangtua, suami,istri dan lain-lain yang merasa dirugikan oleh anggota keluarganya. Kemudian barulah aparat penegak hukum menindak orang yang berbuat tersebut. Pencurian adalah delik biasa, namun apabila pencurian tersebut dilakukan dalam lingkup keluarga, maka perbutan tersebut menjadi delik aduan. Delik aduan tersebut termasuk delik aduan relatif, karena delik relatif adalah delik yang biasanya bukan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak saudara maka menjadi delik aduan. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa keadaan-keadaan tidak bercerai meja makan dan tempat tidur, tidak bercerai harta kekayaan atau tidak bercerai antara suami dan isteri merupakan dasar-dasar yang meniadakan tuntutan bagi seorang suami atau seorang isteri, jika mereka melakukan atau membantu melakukan tindak pidana pencurian seperti yang diatur dalam Pasal Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian II, (Bandung : balai lektur Mahasiswa), hlm E Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Penerbitan Universitas, 1996), hlm

3 363,364 dan Pasal 365 KUHP terhadap harta kekayaan berupa benda-benda bergerak kepunyaan isteri atau suami mereka, yang pada hakikatnya adalah harta kekayaan mereka sendiri. 29 Bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Sipil (B.W) berlaku peraturan tentang cerai meja makan yang berakibat, bahwa perkawinan masih tetap, akan tetapi kewajiban suami isteri untuk tinggal bersama serumah ditiadakan. Dalam hal ini maka pencurian yang dilakukan oleh isteri atau suami dapat dihukum, akan tetapi harus ada pengaduan dari suami atau isteri yang dirugikan. Hukum Adat (Islam) Indonesia tidak mengenal perceraian meja dan tempat tidur ataupun perceraian harta benda. Oleh karena itu Pasal 367 KUHP yang mengenai bercerai meja makan, dan tempat tidur atau harta benda tidak dapat diberlakukan pada mereka yang tunduk pada Hukum Adat (Islam) Menurut Pasal 367 ayat 2 KUHP, apabila pelaku atau pembantu dari pelaku pencurian dari Pasal KUHP adalah suami atau isteri korban, dan mereka dibebaskan dari kewajiban tinggal bersama, atau keluarga semenda, baik dalam keturunan lurus maupun kesamping sampai derajat kedua, maka terhadap orang itu sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan atas pengaduan si korban pencurian. Ayat (3) menentukan, jika menurut adat istiadat garis ibu (matriarchaat dari daerah Minangkabau), kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak, maka aturan ayat (2) berlaku juga untuk orang lain. 30 merumuskan : Mengenai siapa yang berhak atas mengajukan pengaduan Pasal 72 KUHP, 29 P A F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus KEJAHATAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)., hlm Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (bandung : Refika Aditama, 2003)., hlm. 26.

4 3. Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) orang lain bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadukan adalah wakil-wakilnya yang sah dalam perkara sipil. 4. Jika tidak ada wakil-wakilnya atau dia sendiri yang harus mengadukannya, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awasi atau curator atau majelis yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan istri, seorang suami kaum keluarga dalam keturunan memyimpang sampai derajat ketiga. Dalam Pasal 73 KUHP ditentukan, jika terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, meninggal dunia, maka pengaduan dilakukan oleh orangtuannya, anakanaknya atau isteri/ suami dari yang meninggal dunia, kecuali jika orang yang meninggal dunia itu ternyata tidak menghendaki adanya pengaduan itu. Kecuali yang ditentukan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 KUHP, pada umumnya yang berwenang mengajukan pengaduan ialah orang yang menurut sifat dari kejahatannya, merupakan orang yang secara langsung telah menjadi korban. Atau orang yang dirugikan oleh kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. 31 B. Proses Pemeriksaan Pencurian Dalam Keluarga Hukum acara pidana pada umumnya tidak terlepas dari hukum pidana materil, artinya masing-masing saling memerlukan satu sama lain, hukum pidana (materiel) memerlukan hukum acara pidana (formil) untuk menjalankan ketentuan hukum pidana, demikian pula sebaliknya hukum acara pidana tidak berfungsi tanpa adanya hukum pidana (materiel). Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH merumuskan hukum acara pidana sebagai suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah 31 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang,op.cit., hlm. 66.

5 yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 32 Simon merumuskan hukum acara pidana mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman. 33 Mr. J.M. Van Bemmelen berpendapat bahwa hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bila menghadapi suatu kejadian yang menimbulkan syakwasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana, dengan perantaraan alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan dimuka dan oleh hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan 34 Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana yaitu ; tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Tujuan hukum acara pidana menurut rumusan pedoman pelaksanaan KUHAP tersebut menunjukkan bahwa kebenaran materil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil dalam rumusan tersebut dirasa kurang tepat sebab mendekati 32 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi,(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm Ibid 34 Ibid., hlm. 3

6 kebenaran belumlah dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran, oleh karena hukumam yang mungkin dijatuhkan dalam perkara pidana terdapat hukuman badan maka kebenaran materil tersebut harus diperoleh untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. 35 Van Bemmelen mengemukan tiga fungsi hukum acara pidana sebagai berikut; 1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim 3. Pelaksanaan keputusan 1. Proses Penyidikan a. Kewenangan Polri Menurut KUHAP dan Undang-undang Kewenangan Polri Menurut Undang-Undang Dalam hal tugas dan wewenang Polri telah diatur dalam berbagai peraturan peraturan perundang-undangan, akan tetapi bilamana disimpulkan maka tugas pokok Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat diseluruh Indonesia. Dalam rangka menggerakkan tugas pokok menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut maka Polri mempunyai kewajiban dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepolisian NKRI No.2 tahun 2002 yaitu: Pasal 2 : Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan di dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 35 Ibid., hlm. 4.

7 Pasal 3 : fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, maka kepolisian negara mempunyai tugas (Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002): a) Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum; b) Melaksanakan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundangundangan; c) Bersama-sama dengan segenap komponen ketentuan pertahanan keamanan negara lainnya, membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat; d) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha-usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a,huruf b, dan huruf c; e) Melaksanakan tugas lain seperti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, maka yang menyangkut wewenang dari polisi telah ditentukan dalam Pasal 30 yaitu : 1. Selaku alat negara, penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum dan bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan negara lainnya membina ketentraman dan ketertiban masyarakat,

8 2. Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundangundangan, 3. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud dengan angka 2 dan 2 ayat 4 pasal ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya tugas polisi secara garis besar menyangkut ; 1. Masalah penegak hukum 2. Masalah menyelenggarakan ketentraman masyarakat 3. Masalah memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat Selanjut dalam pasal 39 (2) UU No. 20/1982, ketentuan bahwa kepada kepentingan Negara RI, memimpin Mabes Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas : a. Mengusahakan ketaatan dari warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan b. Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundang-undangan c. Mencegah dan melindungi tumbuhnya penyakit masyarakat dan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan bangsa d. Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam, gangguan atau bencana termasuk memberikan pertolongan yang dalam pelaksanaan wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan perundangundangan

9 e. Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan fungsi dan tugasnya f. Dalam keadaan darurat bersama-sama dengan komponen kekuatan pertahanan keamanan negara melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan Di samping apa yang ditentukan dalam Pasal 30 (4) dan pasal 39 (2) UU No,20/1982, Polri sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan segara diberi tugas pula ikut mempertahankan keutuhan wilayah, daratan Nasional Pasal 30 (1), ikut mempertahankan keutuhan seluruh perorangan dalam yurisdiksi nasional, serta melindungi kepentingan nasional di darat atau di laut Pasal (2) dan ikut mempertahankan wilayah dirgantara nasional pasal 30 (3). Kewenangan Polri Menurut KUHAP Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Pasal 1 butir 4 dan Pasal 4, menyatakan bahwa Polri adalah pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan. Artinya Jaksa atau pejabat lainnya tidak dapat melakukan penyelidikan. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan; 1. Menyerdehanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang untuk melakukan penyelidikan; 2. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami pada masa HIR; 3. Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam

10 penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efesiansi. 36 Sehubungan dengan itu, oleh KUHAP diartikan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya melakukan penyidikan (pasal 1 butir 5 KUHAP). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidik. Menurut ketentuan yang tercantum dalam KUHAP dalam melakukan tugasnya penyelidik mempunyai wewenang yang meliputi : 1) Dalam hal tindak pidana tidak tertangkap tangan. a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang; (1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana (2) Mencari keterangan dan alat bukti, (3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, (4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 5 ayat(1) sub a KUHAP), yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan. 36 M.Yahya,Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;penyidikan dan penuntutan. (Jakarta : sinar grafika, 1985), hlm. 103

11 Tindakan lain yang dilakukan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ; - Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan pejabat, - Tindakan itu harus patut dan masuk akal serta termasuk dalam lingkungan jabatannya - Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, - Menghormati hak asasi manusia - Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, b) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa : (1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, (2) Pemeriksaan dan penyitaan surat, (3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang, (4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik (pasal 5 ayat (1) sub b KUHAP) 2) Dalam hal tindak pidana tertangkap tangan Menurut ketentuan pasal 103 (2) KUHAP, dalam hal tindak pidana tertangkap tangan, selain berwenang melakukan tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub a KUHAP, penyelidik juga berwenang bahkan tanpa menunggu perintah dari penyidik, ia wajib untuk segera mengambil tindakan yang

12 diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP, tanpa menunggu perintah dari penyidik (pasal 102 ayat 3 KUHAP). 37 Selain melakukan penyelidikan Polri juga berwenang melakukan penyidikan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa Penyidik adalah pejabat Polisi negara. Seorang pejabat kepolisian dapat diberikan jabatan penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan syarat kepangkatan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang syarat kepangkatan tersebut adalah PP No. 27 Tahun Adapun syarat-syarat yang dimaksud yaitu : 1. Pejabat penyidik penuh Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, Polisi yang dapat menjadi Penyidik penuh adalah polisi yang memenuhi syarat berupa ; a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi b) Atau berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua c) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI, 2. Penyidik Pembantu 37 Djoko prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim; Dalam Proses Hokum Acara Pidana, (Jakarta bina aksara, 1987), Hlm 58

13 Dalam Pasal 3 PP No.27 Tahun 1983 dinyatakan bahwa pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu adalah polisi yang memenuhi syarat kepangkatan yakni : a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi; b) Atau pegawai negeri sipil dalam lingkunagn Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a); c) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. 3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada suatu pasal, misalnya pada Undang-undang Merek No. 14 Tahun 1997, pada Pasal 80 yang menegaskan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek yang disebut dalam pasal 81, 82, 83 dilimpahkan kepada PPNS. Kedudukan dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikannya: a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil kedudukannya berada dibawah: - Koordinasi penyidik Polri, dan, - Di bawah pengawasan penyidik Polri.

14 b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberi petunjuk kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, dan memberi bantuan penyidikan yang diperlukan c. Penyidik Pegawai Negeri siipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di sidik, jika dari penyidikan itu oleh Penyidik Pegawai Negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum. d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum, cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri. Dalam hal ini penyidik Polri berfungsi sebagai koordinator dan pengawas terhadap penyidik pegaai negeri sipil. Yang dapat meminta kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk menyempurnakan hasil penyidikannya. e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian tersebut diberitahukan kepada penyidik polri dan penuntut umum. KUHAP yaitu : Sebagai penyidik Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya sebagai berikut : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian,

15 c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka, d. Melakukan penangkapan, penahanan. Penggeledahan, dan penyitaan, e. Melakukan pemeriksaan penyitaan surat, f. mengambil sidik jari dan memotret seorang, g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, h. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, i. Mengadakan penghentian penyidikan, j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai denagan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a (4) Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagaimana termaksud dalam ayat (1) dan (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. 38 Kewenangan yang dipunyai oleh Polri ini semata-mata digunakan untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. 39 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penyidik adalah Polri atau Pejabar Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 38 Ibid.,hlm Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistam Peradilan Pidana,(Medan : USU Press, 2009)., hlm 17

16 b. Hal-Hal Yang Dapat Dilakukan Oleh Penyidik Terhadap Suatu Delik Aduan Perlu ditegaskan bahwa setiap peristiwa yang diketahui atau dilaporkan atau yang diadukan kepada pejabat polisi, belum pasti merupakan suatu tindak pidana. Apabila hal demikian terjadi maka diperlukan proses penyelidikan, dimana pejabat polisi tersebut harus berlaku sebagai penyelidik yang wajib dengan segera melakukan tindakan yang diperlukan yaitu tindakan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Oleh karena itu secara konkret dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang: - Tindak apa yang telah dilakukan; - Kapan tindak pidana itu dilakukan; - Dimana tindak pidana itu dilakukan; - Dengan apa tindak pidana itu dilakukan; - Bagaimana tindak pidana itu dilakukan - Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan - Siapa pembuatnya. 40 Pasal 102 KUHAP menyebutkan; 40 Ansori Sabuan,, Hukum Acara Pidana, ( Bandung : angkasa, 1990), hlm. 76

17 1. Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. 2. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, peyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b. 3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Berhubungan dengan pasal 102 ayat (1) KUHAP mengenai adanya pengaduan terhadap suatu tindak pidana maka pengaduan dapat disampaikan atau diajukan kepada penyelidik, penyidik, penyidik pembantu. Bentuk pengaduan dapat dilakukan dengan lisan atau dilakukan dengan tulisan. Sedangkan cara untuk menyampaikan pengaduan tersebut yaitu : - Kalau pengaduan berbentul lisan, pengaduan lisan tersebut dicatat oleh pejabat yang menerima. Setelah dicatat, pengaduan ditandatangani oleh pengadu dan si penerima laporan (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu); - Jika pengaduan berbentuk tertulis, pengaduan ditandatangani pengadu - Jika dalam hal pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dimuat catatan dalam pengaduan (Pasal 103 ayat (3)) - Setelah pejabat (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu) menerima pengaduan, pejabat penyelidik atau penyidik memberikan surat tanda penerimaan pengaduan kepada yang bersangkutan. Dalam kaitannya Pasal 102 ayat (2) KUHAP tentang tertangkap tangan dan hubungannya dengan kasus delik aduan (pencurian dalam keluarga) meskipun belum ada pengaduan dari yang berkepentingan polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan. Yang berhak untuk mengadakan atau diketahuinya tetapi tidak maka

18 penyelidik hanya dapat melakukan penyelidikannya saja sedangkan penuntutan tidak dapat dilakukan. Dalam hal penyidikan hal-hal yang dapat dilakukan oleh Penyidik adalah : a) Pemeriksaan tersangka Pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik harus dibuat berita acaranya. Dimana berita acara tersebut ditandatangani oleh tersangka/saksi dan oleh penyidik sendiri. Pasal 75 KUHAP menentukan bahwa untuk semua tindakan seperti : pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, penyitaan benda, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan di tempat kejadian. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan, dan pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, harus dibuat berita acaranya. Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh penyidik juga ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan itu. Berita acara pemeriksaan yang tidak ditandatangani oleh tersangka, maka penyidik mencatat hal tersebut dalam berita acara dan menyebutkan alasannya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP ). b) Penghentian penyidikan Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum. Adapun alasan-alasan yang sah untuk menghentikan penyidikan itu adalah : (1) Tidak terdapat cukup bukti (2) Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana

19 (3) Tidak ada pengaduan/ pengaduan tersebut dicabut dalam hal tindak pidana aduan c) Jalannya penyidikan Sebelum memulai pemeriksaan atas tersangka, maka penyidik wajib memberitahukan kepada tersangka mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum. Sewaktu penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, maka penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan itu dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan. Tersangka memberikan keterangan kepada penyidik tanpa ada tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun juga (Pasal 117 ayat (1) KUHAP). Keterangan yang diberikan oleh tersangka kepada penyidik tentang apa yang sebenarnya dilakukannya dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya d) Pemeriksaan saksi Untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih dahulu kecuali saksi diduga tidak akan hadir pada pemeriksaan di pengadilan negeri. Saksi memberikan keterangan tanpa mendapat tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Keterangan yang diberikan oleh saksi juga dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan orang yang memberikan keterangan, setelah ia menyetujuinya, dan apabila saksi tidak mau menandatangani berita acara

20 itu, maka penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya. 41 Jadi walaupun suatu delik adalah delik aduan dalam hal ini berupa tindak pidana pencurian dalam keluarga untuk mengadakan penyidikan atas delik tersebut, tidak mesti diisyaratkan adanya pengaduan, akan tetapi untuk diserahkan kepada penuntut umum untuk dilakukannya penuntutan harus ada pengaduan terlebih dahulu oleh pihak yang dirugikan. Penyidik dalam melakukan penyidikan dalam delik aduan (pencurian dalam keluarga) sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tanpa adanya penambahan atau diubah atau dikurangi. 2. Penuntutan Terhadap Pelaku Pencurian Dalam Keluarga Tindakan penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 burtir 7 KUHAP). Yang berwenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim adalah penuntut umum. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6 hurf b dan Pasal 13 KUHAP). Dalam hal penyidik telah mulai mengadakan penyidikan atas suatu peristiwa pidana pencurian dalam keluarga, maka penyidik memberitahukannya kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1)KUHAP) dan apabila penyidik telah menuntaskan tugas penyidikannya, penyidik wajib menyerahkan berkas perkara (yang berisikan berita acara Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu pengantar, (Jakarta : djambatan,1989),hlm.

21 pemeriksaan sebagai tersebut dalam pasal 75 KUHP, yang antara lain berisikan ; berita acara pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan di tempat kejadian dan tindakan lainnya)itu kepada Penuntut umum (pasal 110 ayat (1) KUHP) dan akhirnya selesai penyidikan itu apabila ; penyidik dianggap selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas hari) penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 ayat (4) KUHAP). Apabila Penuntut Umum berpendapat, bahwa dari hasil penyidikan telah dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum dalam waktu yang secepatnya membuat surat dakwaan. ) 42 Jaksa sebelum menyusun surat tuntutannya harus mempertimbangkan unsurunsur mana yang tidak terbukti, sehingga ia dapat menentukan tuntutannya apakah terdakwa akan dituntut pemidanaan, pelepasan dari semua tuntutan ataupun pembebasan. 43 Dalam perkara pencurian dalam lingkup keluarga yang merupakan delik aduan, maka penuntutannya sama dengan penuntutan pada delik-delik biasa, yakni penuntut umum membuat surat dakwaan dan membuktikannya dan selanjutnya membuat surat tuntutan berdasarkan surat dakwaan yang telah terbukti di depan persidangan. Dalam hal Penuntut Umum akan membuat surat dakwaannya maka harus memperhatikan siapa saja pelaku yang dituntut (dalam hal ini pelakunya lebih dari satu). Karena pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan relatif dimana yang dituntut adalah orang-orang yang melakukan kejahatan, atau dengan kata lain pencurian dalam lingkup keluarga ini merupakan delik aduan yang relatif yang penuntutannya dapat dipecah. 42 Ibid., hlm Ibid., hlm. 221.

22 Pengaduan pencurian dalam keluarga harus dinyatakan hubungan kekeluargaan pada waktu memajukan pengaduan. penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya, misalnya yang disebutkan hanya si pelaku kejahatan, yang mungkin juga keluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini dapat dipecah-pecah. 44 C. Pencabutan Delik Aduan Dan Akibatnya Dalam Peradilan Pidana Di dalam KUHP yang bersifat hukum publik terdapat asas umum yaitu setiap delik berupa kejahatan atau pelanggaran wajib dipertanggungjawabkan. Terhadap penuntutan pertanggungjawaban atas delik merupakan wewenang dari Penuntut Umum. Tetapi terhadap delik aduan asas umum yang terdapat dalam hukum publik tersebut tidak dapat diberlakukan. Hal ini dikarenakan oleh dampak yang ditimbulkan dari suatu delik aduan tidak begitu membahayakan kepentingan umum. Dalam buku satu KUHP tidak ada definisi apa itu delik aduan tetapi didapat dalam pasal-pasal yang memuat perbuatan pidana tertentu. Dalam bab VII dari buku satu KUHP hanya memuat empat pasal yang berhak mengajukan dan menarik kembali suatu pengaduan. Sedangkan dalam MvT dari rencana KUHP disebutkan satu-satunya alasan untuk menentukan adanya klacthdelict bahwa dalam delik tertentu ini kepentingan khusus akan lebih dirugikan dengan penuntutan daripada kepentingan umum dengan tidak mengadakan penuntutan.. 44 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, ( Bandung : Refika Aditama,1967)., hlm. 157.

23 Dalam KUHP diatur secara khusus cara-cara pengaduan yang dimuat, dalam buku I Bab VIII ini tidak hanya mengatur delik-delik aduan tetapi mengatur cara-cara melakukan pengaduan. Pasal 75 KUHP mengatur tentang pencabutan, yakni dalam waktu 3 bulan sejak hari pengaduannya itu, dalam praktek, pencabutan juga dapat dilakukan pada sidang di muka hakim pada kesempatan pertama, ketika hakim menanyakan kepada saksi korban tentang dilanjutkannya atau tidak penuntutan perkaranya Dalam prakteknya pencabutan pengaduan atas delik aduan dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan tanpa batas waktunya, sepanjang belum ada putusan hakim terhadap delik aduan tersebut. Faktor penyebab pencabutan pengaduan pada peristiwa pencurian dalam keluarga yakni pertama dikarenakan korban tidak menginginkan aibnya diketahui oleh masyarakat luas yang menimbulkan efek pencemaran nama baik bagi korban. Kedua karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan memenuhi hak korban dalam bentuk ganti kerugian dengan sejumlah uang atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh korban. Pencabutan pengaduan dalam kasus atau tindak pidana pencurian dalam keluarga, tidak membawa dampak/akibat hukum kepada proses pemeriksaan perkaranya. Proses pemeriksaan akan tetap dilanjutkan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan pengadilan. Hal tersebut disebabkan oleh karena pencurian dalam keluarga merupakan delik aduan relatif, dimana perbuatan pencurian tersebut pada dasarnya adalah delik biasa, akan tetapi karena dilakukan dalam lingkup keluarga maka untuk penuntutannya mengharuskan adanya pengaduan Jumat, Wib

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam keluarga merupakan Delik Aduan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

PENYIDIKAN DELIK ADUAN PENCURIAN DALAM KELUARGA PASAL 367 KUHPIDANA 1 Oleh: Roky Rondonuwu 2

PENYIDIKAN DELIK ADUAN PENCURIAN DALAM KELUARGA PASAL 367 KUHPIDANA 1 Oleh: Roky Rondonuwu 2 PENYIDIKAN DELIK ADUAN PENCURIAN DALAM KELUARGA PASAL 367 KUHPIDANA 1 Oleh: Roky Rondonuwu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana karakteristik ketentuan delik aduan

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku kedua, Bab XXII, Pasal 362 yang berbunyi:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu kumpulan dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, serta strata sosialnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 28, Pasal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kepada setiap manusia akal budi dan nurani, dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia dari satu negara ke negara lain. Hal ini menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 28-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG QANUN KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N 4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan wawancara dengan responden yang berkaitan dengan Analisis Yuridis Penyidikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 7 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG BARAT Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci