Abstract. Key Words : Agreement to do Marriage, Norms of Decency, Unlawful Act.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Abstract. Key Words : Agreement to do Marriage, Norms of Decency, Unlawful Act."

Transkripsi

1 PENERAPAN ATAS TINDAKAN TIDAK TERPENUHINYA JANJI UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEBAGAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO K/PDT/2000 DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.1398 K/PDT/2005) Afnaan Rosa Agustina Program Studi Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum tentang Hubungan Antara Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Skripsi ini membahas mengenai penerapan dari janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, akibat hukum dari janji untuk melangsungkan perkawinan, serta perlindungan hukum bagi pihak yang diingkari janjinya untuk dikawini berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang berkaitan. Selain itu, skripsi ini juga membahas mengenai perbandingan pengaturan mengenai penerapan janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian adalah janji untuk melangsungkan perkawinan tidak menimbulkan akibat hukum apapun, sehingga tidak dapat dimintakan ganti kerugian, akan tetapi apabila akibat dari tidak dipenuhinya janji tersebut telah melanggar norma kesusilaan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Kata Kunci : Janji Kawin, Norma Kesusilaan, Perbuatan Melawan Hukum. Abstract This thesis reveals any implementation of an agreement to do marriage in Indonesia, legal consequences of such agreement and legal protection for the aggrieved party based on the consideration of Indonesian Supreme Court s judgments. Furthermore, this thesis also compares Indonesian and Dutch regulations regarding the implementation of agreement to do marriage. The research on such questions resulted to conclusion that any consent in such agreement to do marriage does not establish any legal obligation or other legal consequences, so that such conduct can not be sued or claimed for compensation. Otherwise, if then found that such consent had violated with the norms of decency,then such conduct can be qualified as an Unlawful Act. Key Words : Agreement to do Marriage, Norms of Decency, Unlawful Act.

2 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan peranan manusia lain dalam menjalankan kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupan tersebut, timbulah hubunganhubungan yang terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan antar sesama anggota manusia yang terjadi menyebabkan timbulnya hubungan perdata, seperti terjadinya suatu perkawinan yang terjadi diantara dua belah pihak laki-laki dengan perempuan. Sebelum terjadinya suatu perkawinan dilandasi dengan adanya kesepakatan antara masing-masing pihak agar perkawinan tidak didasari dengan keterpaksaan, selain itu sebelum berlangsungnya perkawinan juga didasari oleh pernyataan masing-masing pihak bahwa para pihak telah siap untuk melangsungkan perkawinan. Tidak sedikit pasangan yang melakukan pertunangan dan ataupun perjanjian untuk melangsungkan perkawinan sebelum terjadinya suatu perkawinan, pertunangan maupun perjanjian untuk melangsungkan perkawinan disini tidak menimbulkan akibat hukum apapun akan tetapi hanya sebagai pengikat bahwa pasangan tersebut akan memasuki ke jenjang yang lebih serius yaitu perkawinan. Dikarenakan pertunangan atau perjanjian untuk melangsungkan perkawinan tidak memiliki akibat hukum apapun, maka sering terjadinya pembatalan secara sepihak mengenai hal tersebut di dalam masyarakat kota maupun masyarakat daerah. Tidak menepati janji kawin mungkin untuk sebagian orang merupakan hal yang biasa dan bukan masalah yang besar, akan tetapi tidak demikian untuk sebagian orang lainnya. Sering terjadi bahwa wanita atau pihak yang diingkari janjinya telah terbuai akan janji pihak lain sehingga wanita tersebut telah memberikan kehormatan atas harga dirinya, selain itu tidak sedikit juga telah terjadi bahwa wanita atau pihak yang diingkari janjinya telah menanggung beban hidup dari pihak yang ingkar janji tersebut, sehingga dapat kita ketahui bahwa kerugian yang diderita pihak yang diingkari janji kawin tidak terbatas hanya kerugian yang bersifat materiil saja, akan tetapi mencakup kerugian idiil. Ironis nya, cukup jarang sekali terjadi bahwa wanita atau pihak yang merasa dirugikan menuntut untuk dinikahi atau menuntut dimuka pengadilan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, antara lain rasa malu yang dihadapi wanita atau pihak yang

3 diingkari tersebut, ketidak tahuannya akan hukum, dan hukum perkawinan yang sekarang berlaku di Indonesia tidak secara khusus mengatur mengenai ingkar janji untuk melangsungkan perkawinan. Perkawinan itu sendiri di Indonesia telah diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. UU No.1 Tahun 1974 menggantikan peraturan-peraturan lama yang sebelumnya berlaku, antara lain : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers/HOCI Stb No. 74). 1 Selanjutnya, walaupun telah ada undang-undang perkawinan nasional yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun ternyata peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya masih diberlakukan, sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2 Sebelum adanya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan keberlakuan KUH Perdata setelah Indonesia merdeka di dasarkan pada Peraturan Peralihan Pasal II,dan IV UUD 1945 (sebelum diamandemen). Terlepas dari adanya angapan bahwa KUH Pedata merupakan peninggalan Belanda dan sudah ketinggalan zaman, namun di bidang hukum keluarga dan perkawinan pengaturan dalam KUH Perdata masih lebih lengkap dan lebih rinci dibandingkan dengan pengaturan dalam UU No.1 Tahun Selain Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan lain mengenai perkawinan, yaitu ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun Ketentuan ini berlaku khusus bagi Warga Negara Indonesia yang beragama islam. 4 Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan dan akibat dari janji tersebut, sedangkan Pasal 58 1 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No.1, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN No. 3400, Ps Rosa Agustina(1), Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia dalam Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia,( Denpasar:Pustaka Larasan, cet.1, 2012) hlm Ibid., 4 Ibid., hlm

4 KUH Perdata menyatakan, bahwa 5 Janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka Hakim akan berlangsung nya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Dari pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa janji kawin tidak memberlakukan asas pacta sunt servanda, sehingga janji kawin tersebut tidak menimbulkan akibat hukum apapun, dan tidak memberikan perlindungan apapun bagi setiap pihak yang mengadakan janji kawin tersebut. Akan tetapi selanjutnnya dinyatakan lagi di dalam Pasal 58 KUH Perdata apabila telah adanya pemberitahuan pengumuman kepada pihak catatan sipil untuk melangsungkan perkawinan, maka dapat diajukan tuntutan guna penggantian biaya dan kerugian bagi pihak yang diingkari dengan masa daluarsa 18 bulan. Kemudian timbulah pertanyaan-pertanyaan bagaimanakah janji kawin yang belum diikuti suatu pengumuman? Apakah pihak yang dirugikan tersebut tidak dapat menuntut ganti rugi? Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak dikenal nya istilah mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi dikenalnya istilah mengenai peminangan dan akibat hukum dari peminangan tersebut. Kasus yang berkaitan dengan ingkar janji kawin antara lain Putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/2000 dan Putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/2005. Dari Putusan MA RI No K/Pdt/2000 dan Putusan MA RI No K/Pdt/2005 timbulah pertanyaan apa saja yang mendasari Mahkamah Agung dalam memberikan putusan mengenai sengketa ini sedangkan Pasal 58 KUH Perdata menyatakan janji kawin tidak menimbulkan akibat hukum, selain itu bagaimanakah persamaan dan perbedaan antara penerapan janji kawin di Indonesia dengan Belanda. Hal inilah yang menjadi fokus dari penelitian ini, untuk melihat perlindungan hukum bagi pihak yang diingkari janji kawin dan melakukan perbandingan antara Hukum Positif di Indonesia dengan Belanda terkait dengan masalah penerapan janji kawin. B. Permasalahan Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah pengaturan janji kawin di Indonesia? 5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 2003). psl. 58

5 b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pihak yang di ingkari janji kawin dalam sengketa ini? c. Bagaimanakah pengaturan konsep hidup bersama dikaitkan dengan janji kawin di Belanda? C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pengaturan janji kawin di Indonesia. b. Untuk mengetahui penerapan janji kawin di Indonesia. c. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan bagi pihak yang diingkari janjinya dalam melangsungkan perkawinan. d. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan dari Putusan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dikarenakan ingkar janji untuk melangsungkan perkawinan. e. Untuk mengetahui perbandingan antara penerapan janji kawin di Indonesia dengan di Belanda.

6 TINJAUAN TEORITIS Perbuatan Melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang memberikan definisi bahwa perbuatan melawan hukum adalah : Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian. 6 Dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan melawan hukum atau tidak ada unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain : a. Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat melakukannya). 7 b. Perbuatan yang terdapat di dalam unsur pertama harus memenuhi unsur perbuatan tersebut melawan hukum, yang memiliki ketentuan berdasarkan Arrest tanggal 31 Januari tahun 1919, yaitu : a) Melanggar hak subyektif orang lain; b) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; c) Bertentangan dengan kaedah kesusilaan; d) Bertentangan dengan kepatutan,ketelitian dan kehati-hatian. c. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara: a) Kesalahan diartikan dalam arti subyektifnya maka mengenai seorang pelaku pada umumnya dapat diteliti apakah perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya, apakah keadaan jiwanya adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat menyadari maksud dan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan Tjitrosudibio,, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 2003, Psl Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (2)(Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 9

7 arti perbuatannya dan apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggung jawabkan. 8 b) Kesalahan dalam arti obyektif, maka yang menjadi permasalahan apakah si pelaku pada umumnya dapat dipertanggung jawabkan, dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu dalam arti bahwa ia seharusnya dapat mencegah terjadinya akibatakibat dari perbuatan konkrit yang terjadi. d. Harus adanya kerugian yang ditimbulkan. Kerugian dalam pasal 1365 KUH Perdata kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan melawan hukum. Kerugian materiil adalah kerugian nyata yang timbul dari perbuatan melawan hukum, hilangnya keuntungan yang seharusnya diharapkan atau berhubungan mengenai harta kekayaan dan dipersamakan dengan uang dan dapat pula bersifat materiil, yaitu kerugian berupa hilangnya kenikmatan atau kesenangan atau sebuah barang atau benda. e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang menerangkan bahwa memang kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum tersebut Teori Schtutznorm atau dikenal dengan ajaran relativitas berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein Vitringa. Kata schutz itu sendiri memiliki pengertian perlindungan, sedangkan norm memiliki arti norma, sehingga schutznorm dapat diartikan sebagai norma perlindungan. Teori ini mengajarkan bahwa agar seseorang dimintakan pertanggung jawabannya atas suatu perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak cukup hanya dengan menunjukan adanya unsur hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, akan tetapi perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang untuk melindungi kepentingan korban. Teori Schutznorm disebut juga dengan istilah teori relativitas karena penerapan dari teori ini akan membeda-bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, jika seseorang melakukan suatu perbuatan, bisa merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban X, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban Y. 9 Teori ini memiliki perdebatan yang sangat hebat, pro dan kontra terhadap teori ini. 8 Vollmar, Verbintenissen en bewijsrecht, hlm. 327 dikutip oleh Moegni Djojodirdjo,, hlm. Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982) Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Bandung : Citra Aditya Bakti,2005), hlm. 15

8 Tidak semua para ahli hukum di negeri Belanda yang menyetuju teori ini, tidak sedikit pula yang menentang, walaupun putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung teori schutznorm ini. Namun demikian, penerapan teori schultznorm ini sebenarnya dalam kasuskasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan-alasan sebagai berikut: 10 a. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara wajar. b. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus dimana hubungan antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja. c. Untuk memperkuat berlakunya unsur dapat dibayangkan (forsee ability) terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate causation). Seperti yang telah di jelaskan oleh Penulis sebelumnya, terdapat 3 (tiga) peraturan perundang-undangan mengenai Hukum Perkawinan di Indonesia, yaitu KUH Perdata, UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga terdapatnya 3 (tiga) pengaturan mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, yaitu : a. Janji kawin di dalam KUH Perdata di Indonesia diatur do dalam Pasal 58 KUH Perdata, yang menyimpulkan : a) Janji melangsungkan perkawinan tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal; b) Namun jika pemberitahuan kawin telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian; c) Masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan. b. Sedangkan di dalam UU No.1 Tahun 1974 tidak ada satu pun pasal yang mengatur mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan dan akibat hukum yang ditimbulkan dari janji tersebut. c. KHI tidak mengenal istilah janji untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi dikenalnya istilah peminangan. Peminangan di dalam KHI dianggap sebagai wadah yang merupakan tata cara sebelum melangsungkan perkawinan dan dapat menimbulkan implikasi moral. Akan tetapi tidak timbulnya akibat hukum dari peminangan tersebut, hal tersebut dirasa karena peminangan berbeda dengan perkawinan. 10 Ibid.,

9 METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian ini, Peneliti menggunakan bentuk penelitian yuridisnormatif. Metode ini digunakan penulis untuk menjawab seluruh permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Penulis meneliti, mendeskripsikan dan mencoba menerapkan kaidah dan/atau norma hukum yang berkaitan dengan hukum perikatan yang terdapat di Indonesia. Bentuk penelitian ini disebut dengan penelitian yuridis-normatif karena peneliti mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma tertulis. 11 dalam penelitian ini hukum positif dan norma tertulis yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan seluruh undang-undang yang terkait. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian evaluatif yaitu penelitian yang memberikan penilaian atas kegiatan program yang telah dijalankan. 12 Dalam hal ini, peneliti memberikan penilaian atas penerapan tindakan tidak terpenuhinya janji untuk melangsungkan perkawinan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum perikatan di Indonesia. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian problem finding yaitu penelitian yang bertujuan untuk menemukan masalah. 13 Dalam hal ini, peneliti akan mencari permasalahan dari penerapan ingkar janji kawin sebagai perbuatan melawan hukum (bentuk-bentuk pelanggaran dan penerapan sanksi serta bentuk putusan Mahkamah Agung). Penelitian akan menggunakan data sekunder, yaitu, data yang didapatkan dari kepustakaan dengan cara membaca peraturan perundangan, putusan Mahkamah Agung, buku-buku, majalah, artikel dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang tentunya dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian. 11 Sri Madmuji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10. hlm Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2007), 13 Soekanto, Loc.cit

10 PEMBAHASAN A. Analisis Putusan MA No K/PDT/2000 dan Putusan MA No K/Pdt/2005 Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia adalah Putusan MA RI No K/Pdt/2000 dan yang terakhir ialah Putusan MA RI No K/Pdt/2005, keduanya merupakan putusan yang berkaitan dengan penerapan ingkar janji kawin sebagai perbuatan melawan hukum di Indonesia. Kedua putusan tersebut menimbulkan isu hukum dan analisisnya sebagai berikut : a. Perbuatan Melawan Hukum Para Tergugat dalam kedua perkara yang berbeda tersebut telah melakukan perbuatan melawan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan, Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian. 14 Perbuatan Para Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dalam arti luas, hal tersebut dikarenakan Para Tergugat telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Para Penggugat, dengan demikian Para Tergugat telah melanggar hak subyektif Para Penggugat. Selain itu, perbuatan Tergugat juga merupakan perbuatan yang sama sekali tidak patut untuk dilakukan karena bertentangan dengan kaidah kesusilaan dan norma-norma moral dalam masyarakat serta menyebabkan kerugian bagi Penggugat. Dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan melawan hukum atau tidak ada unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain : a. Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat melakukannya); Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh R Subekti dan Tjitrosudibio, Op.Cit., ps.1365.

11 b. Perbuatan yang terdapat di dalam unsur pertama harus memenuhi unsur perbuatan tersebut melawan hukum; c. Harus ada kesalahan; d. Harus adanya kerugian yang ditimbulkan; e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang menerangkan bahwa memang kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum tersebut. Para Tergugat dalam kedua perkara yang berbeda tersebut dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan memenuhi unsur-unsur tersebut dengan melakukan ingkar janji untuk mengawini Para Penggugat dan hal tersebut dirasa telah bertentangan dengan norma kesusilaan sebagai norma moral yang diakui dalam kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan kepatutan yang ada di dalam masyarakat sehingga menimbulkan kerugiaan baik materiil maupun idiil kepada Para Penggugat. Dalam kasus ini dapat juga diterapakan keberlakuan dari teori relativitas (schutznorm), Teori ini mengajarkan bahwa agar seseorang dimintakan pertanggung jawabannya atas suatu perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, tidak cukup hanya dengan menunjukan adanya unsur hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, akan tetapi perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang untuk melindungi kepentingan korban. Dalam kasus ini, perbuatan Tergugat telah melanggar kesusilaan dan melanggar kepentingan Penggugat dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini Penggugat oleh Tergugat. Adapun bentuk pertanggung jawaban yang dapat dimintakan pada Tergugat ialah pertanggung jawaban secara langsung, artinya Tergugat sendirilah yang harus bertanggung jawab terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang telah dilakukannya. Dalam hal ini, Tergugat harus memberikan ganti rugi baik itu ganti rugi aktual akibat kerugian finansial dan rasa malu yang dialami Penggugat, maupun ganti rugi nominal sebagai bentuk pertanggung jawaban dari perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi dalam Putusan MA RI No K/Pdt/2005 Tergugat I merupakan anak dibawah umur dan belum berpenghasilan, maka berdasarkan pasal 1367 alinea kedua KUH Perdata maka yang berkewajiban untuk bertanggung jawab ialah orang tua atau wali Tergugat I, yang merupakan Tergugat II. Isu hukum berupa Perbuatan Melawan Hukum yang menjadi dasar gugatan dari kedua perkara ini juga di dasari oleh Yurisprudensi MA RI No K/Pdt/1984 yang berbunyi, 15 Rosa Agustina(2), Op.Cit., hlm 8.

12 Bahwa dengan tidak terpenuhinya janji Tergugat asal untuk mengawini Penggugat asal, Tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, serta perbuatan Tergugat asal tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri Penggugat asal, maka Tergugat asal wajib membayar kerugian. Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Yurisprudensi MA RI No K/Pdt/1984 Mahkamah Agung di dalam setiap putusannya menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Para Tergugat terbukti merupakan Perbuatan Melawan Hukum dikarenakan telah bertentangan dengan norma kesusilaan dan karenanya diwajibkan untuk membayar ganti kerugian. b. Janji Melangsungkan Perkawinan di Indonesia Dikarenakan dalam perkara ingkar janji kawin ini gugatan diajukan secara perdata maka peraturan perundang-undangan yang digunakan ialah KUH Perdata dan atau UU No. 1 Tahun Akan tetapi, karena di dalam UU No.1 Tahun 1974 tidak adanya pengaturan mengenai janji kawin dan akibatnya, maka berdasarkan pasal 66 UU No.1 Tahun 1974, maka keberadaan buku 1 KUH Perdata tentang Perkawinan dapat diberlakukan. Janji kawin seperti yang terdapat dalam pasal 58 KUH Perdata merupakan janji dari salah satu pihak untuk melangsungkan perkawinan dengan pihak lain yang didasari itikad baik demi mewujudkan perkawinan yang langgeng dan bahagia, dan juga sebagai bukti keseriusan akan hubungan mereka. Namun pasal 58 KUH Perdata ini terlalu kaku dan kurang fleksibel terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi, seperti apabila janji kawin tersebut digunakan dengan itikad buruk. Dari kedua Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dikatakan bahwa keberlakuan pasal 58 KUH Perdata ternyata tidak berlaku mutlak selama janji kawin digunakan sebagai tipu daya dari salah satu pihak untuk memperoleh keuntungan dari pihak lainnya yang melawan hukum. Janji yang diungkapkan Tergugat kepada Penggugat untuk mengawini Penggugat berdasarkan Pasal 58 KUH Perdata tidak memiliki akibat hukum atau adanya keberlakuan dari asas pacta sunt servanda, sehingga tidak dapat diajukannya gugatan wanprestasi dimuka pengadilan. Namun demikian, perbuatan ingkar janji kawin dapat dituntut ke pengadilan dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum, pengajuan gugatan di muka pengadilan bukan untuk menuntut pemenuhan janji kawin tersebut atau untuk melangsungkan perkawinan seperti yang telah

13 dijanjikan akam tetapi untuk pemenuhan ganti rugi atas kerugian yang diderita karena tidak terlaksananya janji kawin, baik materiil maupun idiil. Ada pembaruan pemikiran dalam kedua perkara tersebut, yaitu bahwa apabila salah satu pihak beritikad buruk dalam penggunaan janji kawin hanya demi mendapatkan suatu keinginan ataupun keuntungan tertentu, maka penggunaan pasal 58 dapat diselewengkan dalam hal tidak perlu adanya pemberitahuan kawin kepada pegawai catatan sipil yang diikuti dengan pengumuman kawin terlebih dahulu untuk dapat menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga atas kerugian yang telah diderita oleh pihak lainnya. Hakim dalam memutuskan kedua perkara tersebut, juga telah cukup peka dalam menganalisa apakah perbuatan Tergugat benar-benar telah bertentangan dengan kaidah kesusilaan sebagai kaidah tidak tertulis. Artinya Hakim tersebut tidak kaku atau hanya berpegangan pada kaidah normatif yang tertulis seperti undang-undang saja, namun juga memperhatikan kaidah tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Hakim disini telah melihat nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan berusaha menyelaraskan dengan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut. Hal terpenting yang sekiranya menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara ini ialah Hakim disini berasumsi bahwa ada keadilan masyarakat yang terganggu yang ditimbulkan oleh perbuatan Tergugat. Tindakan Tergugat tidak hanya menimbulkan rasa malu dan kerugian bagi Penggugat,namun juga menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan budaya setempat dan tidak patut untuk dilakukan. Maka dalam hal ini, Hakim berusaha membenahi kegoncangan tersebut tidak hanya sesuai dengan undang-undang yang berlaku namun juga melihat hal lain yang tidak bisa dilihat oleh undang-undang. Jika hanya berdasarkan Pasal 58 KUH Perdata maupun UU No.1 Tahun 1974, maka perbuatan ingkar janji kawin yang dilakukan Tergugat tidak dapat dikenai hukuman apapun karena hal tersebut tidak diatur dalam KUH Perdata maupun UU No.1 Tahun Namun dalam kasus ini, Hakim Mahkamah Agung tetap menganggap bahwa Para Tergugat bersalah dan oleh karena itu Para Tergugat dihukum membayar ganti rugi sejumlah uang tertentu kepada Para Penggugat. Sehubungan dengan hal tersebut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat. Sedangkan yang bersifat

14 menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinan terjadi suatu peristiwa yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya. 16 B. Konsep Hidup Bersama dan Janji Untuk Melangsungkan Perkawinan di Belanda Belanda merupakan negara yang memperbolehkan bagi pasangan untuk melaksanakan hidup bersama. Tindakan seperti itu bukan merupakan tindakan yang dilarang. Bagi pasangan yang memilih untuk hidup atau tinggal bersama melakukan perjanjian kohabitasi. Di dalam BW Belanda perjanjian kohabitasi bukanlah perjanjian yang ditetapkan (seperti perjanjian diatur dalam buku 7 dan 7a dari BW Belanda) dan tidak ada ketentuan hukum khusus yang mengatur perjanjian seperti itu. Sebuah perjanjian hidup bersama tidak selalu harus dibuat oleh seorang Notaris Hukum Perdata, tetapi juga dapat dibuat sebagai perjanjian pribadi. 17 Dengan adanya kebolehan untuk melakukan hidup bersama atau kohabitasi di belanda, maka terdapatnya pengaturan mengenai perjanjian hidup bersama yang terdaftar bagi pasangan yang melaksanakan hidup bersama di Belanda. Akibat hukum dari pasangan hidup bersama yang terdaftar sebagian besar sama dalam perkawinan. Beberapa perbedaan penting antara pasangan hidup bersama yang terdaftar dan perkawinan adalah sebagai berikut ; 18 a. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak otomatis mengakibatkan hubungan keluarga dengan anak-anak yang lahir dalam pasangan hidup bersama tersebut..namun pasangan hidup yang terdaftar benar-benar secara otomatis memiliki kewenangan hidup bersama sebagai orang tua atas anak yang lahir selama kehidupan bersama yang terdaftar tersebut, asalkan anak tersebut tidak juga memiliki hubungan warga yang sah secara hukum dengan orang tua lain (pasal 1:253aa dan 1:253sa BW). 19 b. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar dapat dihentikan dengan persetujuan antara para pihak tanpa intervensi pengadilan (pasal 1:80c(c)BW). Namun, sejak 1 Maret 2009 intervensi pengadilan telah menjadi wajib, jika para pasangan memiliki kewenangan 16 Sudikno Mertokusomo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1993) hal Hans H.M. ter Haar, et. al., Hukum tentang orang, hukum keluarga dan hukum waris di Belanda dan Indonesia dalam Hukum tentang orang dan Hukum Keluarga,cet.1 (Denpasar : Pustaka Larasan,2012), hlm Ibid.,hlm Ibid.,

15 bersama atau tunggal sebagai orang tua atas satu atau lebih dari anak-anak bersama mereka atau jika mereka memiliki kewenangan bersama sebagai orang tua atas satu atau lebih anak berdasarkan pasal 1:253sa atau 1:253t BW c. Selain perbedaan-perbedaan ini, ada juga perbedaan dari suatu hakikat prosedural (seperti isi yang berbeda dari pernyataan yang dibuat pada kantor pencatatan kelahiran, kematian, dan perkawinan). Selain itu, pemisahan secara hukum tidak mungkin dalam kasus pasangan hidup bersama yang terdaftar ; pemisahan secara hukum (pemisahan tempat tinggal dan pangan) masih diperuntukan bagi pasangan yang sudah menikah. 20 Sedangkan pengaturan mengenai janji untuk melangsungkan perkawinan di Belanda, diatur di dalam pasal 1:49 BW Belanda yang baru, yang berbunyi 1. Engagements to marry do not vest a right of action to enter into marriage nor a right to compensation on account of breach of the engagement. Any covenants which derogate thereform shall be null and void. 2. However, if an instrument of declaration of marriage has been drawn up. This may constitute of ground for damages claim for any actual financial lossess without account being taken of any future loss of profit. The right of action shall lapse upon the expiry of eighteen months from the date of the instrument of declaration of marriage. 21 Pengaturan janji kawin di dalam Pasal 58 KUH Perdata dan Pasal 1:49 BW Belanda yang baru memiliki kesamaan, bahwa dengan tidak terpenuhinya janji kawin tidak dapat dituntut ganti kerugian, terkecuali telah dilakukannya pemberitahuan kawin terlebih dahulu. Yang menjadi perbedaan disini ialah dengan adanya konsep hidup bersama di Belanda baik yang terdaftar maupun tidak, maka bagi pasangan yang melakukan hidup bersama atau tinggal bersama hal tersebut tidak melanggar norma kesusilaan maupun kepatutan, hal tersebut dikarenakan hidup bersama di Belanda sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar bagi para pasangan yang memiliki hubungan asmara. Sehingga apabila salah satu pihak merasa diingkari janjinya untuk dikawini dan mereka telah melakukan hidup bersama maka pihak tersebut tidak dapat digunakannya dalil atas perbuatan melawan hukum karena telah melanggar kesusilaan dan kepatutan sehingga menyebabkan kerugian baik materiil maupun imateriil, karena terdapatnya konsep hidup bersama di Belanda baik yang terdaftar maupun tidak. Sehingga bagi pihak yang diingkari janji untuk dikawini akan sulit sekali mendapat perlindungan hukum. 20 Ibid. 21 The Civil Code of The Netherlands [Nieuw Burgelijk Wetboek], diterjemahkan oleh Hans Warendrof, et.al., Op.Cit., Book 1, Title 5, Section 3, Article 49.

16 KESIMPULAN Dari penjabaran yang telah dijelaskan di dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa : a. Janji untuk melangsungkan perkawinan yang diatur di dalam Pasal 58 KUH Perdata tidak menimbulkan akibat hukum ataupun keberlakuan dari asas pacta sunt servanda seperti yang diatur di dalam Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata, maka tidak dapat dilakukan gugatan atas dasar wanprestasi terhadap janji ini. Ketentuan Pasal 58 KUH Perdata ini dianggap terlalu kaku dan kurang fleksibel terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi, seperti apabila janji kawin tersebut digunakan dengan itikad buruk. Oleh sebab itu ketentuan dari Pasal 58 KUH Perdata sering dirasa tidak memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang diingkari janji untuk dikawini. b. Dalam memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang telah di ingkari janji kawin, Mahkamah Agung telah memutus dua kasus yang berkaitan dengan hal tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, yaitu : a) Putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/2000 memutus kasus yang terjadi di Surabaya antara Penggugat (Wetty Trisnawati) yang telah di ingkari janji nya untuk dikawini oleh Tergugat (Hari Wisnu). Dalam putusan Mahkamah Agung ini, pihak Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian kepada Penggugat baik secara materiil maupun idiil. Dengan dinyatakannya bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan berkewajiban untuk membayar ganti rugi kerugian, hal tersebut telah memberikan rasa adil bagi Penggugat. Dalam memutus kasus ini, putusan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, Yurisprudensi MA RI No K/Pdt/1984 tentang ingkar janji kawin sebagai perbuatan melawan hukum dan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis, maka dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung dalam memutus perkara ini telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum. Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung ini dirasa telah memberikan rasa

17 adil bagi Penggugat karena telah mengalami kerugian baik secara materiil maupun idiil. b) Putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/2005 memutus kasus yang terjadi di Semarang antara Penggugat (wali dari Iva Fictorianingsih) dengan Tergugat I (Bagus Adijatmiko). Dalam kasus ini, Iva Fictorianingsih telah diingkari janji nya yang tertuang di dalam Surat Perjanjian yang telah dibuat oleh Tergugat I untuk mengawini Iva Fictorianingsih yang diakibatkan hamilnya Iva Fictorianingsih karena telah berhubungan badan dengan Tergugat I. Tidak terpenuhinya janji tersebut menyebabkan Iva Fictorianingsih dan keluarganya mengalami kerugian baik secara materiil maupun idiil. Dalam putusan ini, Tergugat I dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan berkewajiban untuk mengganti kerugian kepada Penggugat dan bertanggung jawab atas nafkah terhadap anak yang dikandung oleh Iva Fictorianingsih, akan tetapi dikarenakan Tergugat I belum memiliki penghasilan yang tetap maka tanggung jawab untuk mengganti kerugian dilaksanakan secara tanggung renteng bersama Tergugat II (ayah dari Tergugat I). Dalam memutus kasus ini, putusan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, Yurisprudensi MA RI No K/Pdt/1984 tentang ingkar janji sebagai perbuatan melawan hukum dan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis. Selain memberikan rasa adil bagi Iva Fictorianingsih dan Penggugat, putusan ini juga telah memberikan rasa adil bagi anak yang dikandung oleh Iva Fictorianingsih karena Tergugat I memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah dari anak yang dikandung oleh Iva Fictorianingsih. c. Berdasarkan BW Belanda yang baru (Nieuw Burgelijk Wetboek) janji kawin tidak menimbulkan akibat hukum ataupun keberlakuan dari asas pacta sunt servanda, sehingga janji kawin tidak dapat dilaksanakannya tuntutan di muka pengadilan karena tidak terpenuhinya janji kawin tersebut, terkecuali telah adanya pemberitahuan mengenai perkawinan kepada catatan sipil dan batas waktu untuk melakukan penuntutan maksimal 18 bulan setelah adanya pemberitahuan. Selain itu, dengan diakuinya konsep hidup bersama baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar hidup bersama dianggap tidak melanggar norma kesusilaan dan kepatutan di dalam masyarakat, oleh karena itu ingkar janji kawin di Belanda tidak dapat dituntut berdasarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum.

18 SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang ingin disampaikan oleh Penulis berkaitan dengan penerapan atas tidak terpenuhinya janji untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia, yaitu : a. Sosialisasi Pemerintah kepada masyarakat agar tidak melakukan hubungan badan di luar perkawinan, hal tersebut dikarenakan Pasal 58 KUH Perdata tidak menimbulkan akibat hukum apapun. b. Walaupun berdasarkan Yurisprudensi MA RI No K/Pdt/1984, Putusan MA RI No K/Pdt/ 2000, dan Putusan MA RI 1398 K/Pdt/2005 ingkar janji untuk melangsungkan perkawinan merupakan perbuatan melawan hukum, akan tetapi hakim dalam memutus perkara seperti ini harus melihat secara kasuistis bagaimana perbuatan ini bisa terjadi, sehingga tidak setiap laki-laki yang meninggalkan perempuan secara sepihak dapat dimintakan ganti rugi.

19 KEPUSTAKAAN Buku Agustina,Rosa. Perbuatan melawan Hukum, cet.2. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perikatan (Law of Obligations). Denpasar : Pustaka Larasan, Djojodirdjo, M.A Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, Fuady,Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung : Citra Aditya Bakti,2005. Haar, Hans H.M. ter. Et. al. Hukum tentang orang, hukum keluarga dan hukum waris di Belanda dan Indonesia Dalam Hukum tentang orang dan Hukum Keluarga,cet.1. Denpasar : Pustaka Larasan, Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Penerbit Mertukusomo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,1993. de. Deel, Verbintenissenrecht. Universitaire Pers : Leiden, Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta : Universitas Indonesia, Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No.1, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN No Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan Tjitrosudibio. Jakarta : PT.Pradnya Paramita, Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno, cet.21. Jakarta : PT. Bumi Aksara, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Abdurrahman. Cet. 4. Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 The Civil Code of The Netherlands [Nieuw Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh Hans Warendrof, Hans Warendrof, et.al., The Netherlands : Kluwer Law International,2009.

20

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum keperdataan yang adil dan koheren kiranya penting bagi kelancaran lalu lintas hukum dan sebab itu pula menjadi prasyarat utama bagi tumbuhkembangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

SAHNYA HIBAH DIBAWAH TANGAN BERDASARKAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.335 PK/Pdt 1987 DI PENGADILAN NEGERI GIANYAR

SAHNYA HIBAH DIBAWAH TANGAN BERDASARKAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.335 PK/Pdt 1987 DI PENGADILAN NEGERI GIANYAR SAHNYA HIBAH DIBAWAH TANGAN BERDASARKAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO.335 PK/Pdt 1987 DI PENGADILAN NEGERI GIANYAR Oleh : Putu Ayu Ratih Tribuana I Dewa Gde Rudy Bagian

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA

PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA Oleh: Arya Bagus Khrisna Budi Santosa Putra I Gusti Agung Ayu Ari Krisnawati Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps )

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI. (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps ) WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GANTI RUGI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.522/Pdt.G/2013/PN.Dps ) Oleh: Ayu Septiari Ni Gst. Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jasa Konstruksi 1. Pengertian Jasa Konstruksi Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dijelaskan, Jasa Konstruksi adalah layanan jasa

Lebih terperinci

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak Tanggung Gugat Majikan dan Orang yang Memberi Perintah Kerja Atas Perbuatan Melawan Hukum Bawahannya (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1807 K/Pdt/2006) Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi

Lebih terperinci

BATALNYA PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PT. SRIKANDI

BATALNYA PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PT. SRIKANDI BATALNYA PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PT. SRIKANDI Oleh : Ni Made Utami Jayanti I Nyoman Darmadha A.A. Sri Indrawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial ataupun mahluk pribadi tidak dapat hidup seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA (PMHP/OOD) disampaikan oleh: Marianna Sutadi, SH Pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Januari 2009 Keputusan Badan/Pejabat

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI Oleh Fery Bernando Sebayang I Nyoman Wita Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Sales Returns

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Menjalin suatu hubungan / interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat yang memiliki sifat tegas dan memaksa. Hukum memiliki tujuan yaitu agar

Lebih terperinci

PENGATURAN DAN MANFAAT PEMBUATAN POST-MARITAL AGREEMENT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

PENGATURAN DAN MANFAAT PEMBUATAN POST-MARITAL AGREEMENT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA PENGATURAN DAN MANFAAT PEMBUATAN POST-MARITAL AGREEMENT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA Oleh: Kasandra Dyah Hapsari I Ketut Keneng Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

WANPRESTASI VERSUS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM MENURUT BURGERLIJK WETBOEK

WANPRESTASI VERSUS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM MENURUT BURGERLIJK WETBOEK MEDIA BISNIS ISSN: 2085-3106 Vol. 8, No. 1, Edisi Maret 2016, Hlm. 1-7 http: //www.tsm.ac.id/mb WANPRESTASI VERSUS PERBUATAN MELANGGAR HUKUM MENURUT BURGERLIJK WETBOEK NURTI WIDAYATI IAN NURPATRIA SURYAWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM Oleh : Ni Made Astika Yuni I Gede Pasek Eka Wisanjaya Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING STATUS HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MoU) DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA Oleh Ketut Surya Darma I Made Sarjana A.A. Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH

AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH Oleh : A.A. Dalem Jagat Krisno Ni Ketut Supasti Dharmawan A.A. Sagung Wiratni Darmadi Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG Oleh : I Ketut Gde Juliawan Saputra A.A Sri Utari Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan yang berjudul Perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

TATA CARA PENUNTUTAN HAK WARIS OLEH AHLI WARIS YANG SEBELUMNYA DINYATAKAN HILANG BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA)

TATA CARA PENUNTUTAN HAK WARIS OLEH AHLI WARIS YANG SEBELUMNYA DINYATAKAN HILANG BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) TATA CARA PENUNTUTAN HAK WARIS OLEH AHLI WARIS YANG SEBELUMNYA DINYATAKAN HILANG BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) Oleh : Ni Putu Yuli Kartika Dewi Ni Putu Purwanti Bagian Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta Prosiding Seminar Nasional ISBN: 978-602-361-036-5 PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani kehidupan sebagai suami-isteri hanya dapat dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, arah

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus 1 BAB I PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, baik dalam segi sosial maupun segi ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu perbuatan hukum yang hampir setiap hari dilakukan oleh manusia adalah jual beli. Jual beli merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA 40 BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA A. Gambaran Umum Tentang KUH Perdata. 1. Sejarah KUH Perdata Sejarah terbentuknya KUH Perdata di Indonesia tidak terlepas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Konsepsi harta kekayaan di dalam perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 1 adalah sebagai suatu persekutuan harta bulat, meliputi

Lebih terperinci

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI Harumi Chandraresmi (haharumi18@yahoo.com) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pranoto (maspran7@gmail.com) Dosen Fakultas

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PERJANJIAN HIBAH

AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PERJANJIAN HIBAH AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PERJANJIAN HIBAH Oleh Gede Adi Nugraha I Ketut Keneng Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Abstract : The paper is titled as a result of the bankruptcy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit).

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI - ISTRI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI - ISTRI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI - ISTRI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN Oleh Made Topan Antakusuma Dewa Gde Rudy I Nyoman Darmadha Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain baik dalam ranah kebendaan, kebudayaan, ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain baik dalam ranah kebendaan, kebudayaan, ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai konsep dasar ilmu sosial bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya membutuhkan bantuan dari orang lain, maka terciptalah

Lebih terperinci

KONTRAK SEBAGAI KERANGKA DASAR DALAM KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA

KONTRAK SEBAGAI KERANGKA DASAR DALAM KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA KONTRAK SEBAGAI KERANGKA DASAR DALAM KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA Oleh Anak Agung Ayu Pradnyani Marwanto Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT In business activities in Indonesia,

Lebih terperinci

PEMBATALAN PERJANJIAN MAATSCHAP YANG DIDIRIKAN TANPA JANGKA WAKTU DAN ATAS DASAR WANPRESTASI

PEMBATALAN PERJANJIAN MAATSCHAP YANG DIDIRIKAN TANPA JANGKA WAKTU DAN ATAS DASAR WANPRESTASI PEMBATALAN PERJANJIAN MAATSCHAP YANG DIDIRIKAN TANPA JANGKA WAKTU DAN ATAS DASAR WANPRESTASI Oleh : Ni Luh Putri Santika I G A A Ari Krisnawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM Oleh Candraditya Indrabajra Aziiz A.A Gede Ngurah Dirksen Ida Bagus Putra Atmadja

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)

KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) Oleh I Gusti Ayu Oka Trisnasari I Gusti Ayu Putri Kartika I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian Sebelum membahas lebih jauh mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK KAJIAN YURIDIS PASAL 43 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH Dwi Astuti S Fakultas

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE)

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE) Oleh Gede Herda Virgananta I Nyoman Mudana I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada prinsipnya manusia adalah mahluk sosial, yaitu mahluk yang hidup bermasyarakat, sebagai mahluk sosial, manusia selalu mempunyai naluri untuk hidup bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN Oleh : I Dewa Ayu Maheswari Adiananda Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Peradilan,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS TERJADINYA FORCE MAJEURE (KEADAAN MEMAKSA)

AKIBAT HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS TERJADINYA FORCE MAJEURE (KEADAAN MEMAKSA) AKIBAT HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS TERJADINYA FORCE MAJEURE (KEADAAN MEMAKSA) Oleh Putu Parama Adhi Wibawa I Ketut Artadi Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Engagement is a

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PENGUASAAN TANAH TANPA HAK (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klaten) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-1 pada

Lebih terperinci

Aspek Hukum Perjanjian Sewa Beli

Aspek Hukum Perjanjian Sewa Beli Aspek Hukum Perjanjian Sewa Beli Oleh: Ni Komang Devayanti Dewi I Wayan Wiryawan Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT In a hire purchase agreement does not rule out the possibility

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

HAK MEWARIS ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM PERDATA

HAK MEWARIS ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM PERDATA HAK MEWARIS ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM PERDATA Oleh : Ni Wayan Manik Prayustini I Ketut Rai Setiabudhi Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Adopted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam masyarakat, individu yang satu senantiasa berhubungan dengan individu yang lain. Dengan perhubungan tersebut diharapkan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA (BNI) KANTOR CABANG UNIT (KCU) SINGARAJA

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA (BNI) KANTOR CABANG UNIT (KCU) SINGARAJA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA (BNI) KANTOR CABANG UNIT (KCU) SINGARAJA Oleh: I Made Adi Dwi Pranatha Putu Purwanti A.A. Gede Agung Dharmakusuma Bagian

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN SEBUAH FOTOKOPI ALAT BUKTI TERTULIS

KEKUATAN PEMBUKTIAN SEBUAH FOTOKOPI ALAT BUKTI TERTULIS KEKUATAN PEMBUKTIAN SEBUAH FOTOKOPI ALAT BUKTI TERTULIS Oleh: Ni Ketut Winda Puspita I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract: This paper titled

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci