BAB I PENDAHULUAN. yang diberikan terhadap penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah hal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. yang diberikan terhadap penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah hal"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemberantasan tindak pidana korupsi mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Adanya perhatian khusus yang diberikan terhadap penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah hal yang wajar, mengingat Indonesia merupakan negara darurat korupsi, hal tersebut dibuktikan oleh adanya laporan dari Transparency International (TI) dalam laporan hasil pengkajiannya yang menyatakan bahwa indeks persepsi tentang korupsi (corruption perception index atau CPI) yang dipublikasikan pada tanggal 3 Desember 2014 menyatakan bahwa Indonesia memperoleh skor 34, sehingga menempati urutan ke Di Indonesia, korupsi telah menjadi kebiasaan sejak zaman lampau. 2 Perhatian khusus yang diberikan oleh pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ternyata belum memuaskan, walaupun penanganan kasus korupsi sudah lebih baik daripada sebelumnya namun tingkat dark number of corruptions diperkirakan lebih jauh daripada recorded corruptions, oleh karena itu ketika Indonesia dinobatkan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. 3 Hal Transparency International Indonesia,Corruption Perceptions Index 2014, Scores and Ranks 177 Countries and Territories from Around The World on the Perceived Level of Corruption in the Public Sector, dalam yang diakses pada tanggal 19 Januari 2016 pada pukul WIB. Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi; Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Yayasan Obor Indoesia, Jakarta, hlm Elwi Danil, 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya cetakan ke- 3,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. V. 1

2 2 tersebut menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum maksimal. Selain hasil kajian indeks persepsi korupsi yang diluncurkan oleh Transparency International, Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) mengungkapkan hasil surveinya yang menyatakan bahwa pada bulan Maret 2010 Indonesia menempati posisi sebagai negara paling korup di Asia Pasifik. 4 Terkait dengan pemberantasan korupsi, Andi Hamzah mengatakan bahwa yang menjadi kendala besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah terlalu banyaknya orang yang akan terkena ancaman pidana jika undang-undang pemberantasan korupsi dijalankan dengan sungguh-sungguh, 5 dengan kata lain korupsi di Indonesia tidak hanya dapat dibebankan pada peraturan normatif yang berisi ancaman pidana yang berat namun juga dibutuhkan adanya penegakan hukum yang tegas. Menurut Andi Hamzah, terjadi hal yang lucu dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu jika dilihat peraturan normatifnya, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 maupun undang-undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa ancaman pidana yang terdapat di dalamnya sangat mengerikan. 4 5 Elwi Danil, Op.Cit.,hlm. 67. Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm. 2. 2

3 3 Dalam undang-undang yang pertama tidak membedakan berat ringannya korupsi namun ancaman pidananya seumur hidup, tetapi tidak ada seorang pun yang dipidana penjara seumur hidup selama dua puluh delapan tahun undangundang tersebut berlaku. Di dalam undang-undang yang saat ini berlaku terdapat ancaman hukuman mati di dalamnya apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, namun demikian tidak pernah ada seorang pun yang dijatuhi pidana mati meskipun uang yang dikorupsi jumlahnya mencapai triliunan rupiah. 6 Elwi Danil menyatakan bahwa korupsi seharusnya digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen yang luar biasa (extraordinary instrument). 7 Selain itu akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. 8 Hal tersebut dapat disimpulkan dari konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasionl, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi Andi Hamzah, Op.Cit., hlm.5. Elwi Danil, Op.Cit., hlm.76. Ermansyah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar Grafiika, Jakarta, hlm. XX. Konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No.140). 3

4 4 Selain itu, konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyatakan: Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. 10 Hal serupa juga dapat kita temukan dalam penjelasan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi menggunakan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 disebutkan bahwa korupsi dapat merusak berbagai sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yaitu 11 : a. Merusak Demokrasi b. Merusak Aturan Hukum c. Merusak Pembangunan Berkelanjutan d. Merusak Pasar e. Merusak Kualitas Hidup f. Merusak Hak Asasi Manusia Singkatnya, korupsi menghambat negara untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: 12...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial... Untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi diperlukan adanya peraturan yang tegas serta penegakan hukum yang tegas baik dengan Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134) United Convention Against Corruption yang diratifikasi melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32.) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea ke-iv 4

5 5 instrumen hukum nasional maupun instrumen hukum internasional. Untuk instrumen hukum nasional, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan untuk instrumen hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun Peraturan yang tegas berkaitan dengan hukum normatif dalam bentuk perundang-undangan telah dengan tegas memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, hal tersebut terbukti dengan ancaman hukuman yang berat yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang salah satu bentuk hukumannya adalah pidana mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Selain dalam hukum materiilnya, adanya upaya yang tegas yang dilakukan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi juga meliputi hukum formilnya yaitu dengan adanya aturan yang bersifat khusus yang berbeda dengan ketentuan yang diatur di dalamundang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, contohnya yaitu dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penanganan terhadap tindak pidana korupsi. Tindakan tegas dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi merupakan hal yang diperbolehkan berdasarkan Article 65 Paragraf 1 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) juga 5

6 6 menyatakan bahwa each State Party may adopt more strict or severe measures than those provided for by this Convention for preventing and combating corruption. 13, yakni setiap Negara Pihak dapat mengambil lebih tindakan tegas atau berat daripada yang disediakan oleh Konvensi ini untuk mencegah dan memberantas korupsi. Hal ini berarti UNCAC memberikan ruang bagi negara pihak untuk menerapkan tindakan yang lebih tegas daripada yang diatur di dalam UNCAC sendiri. Tindakan lebih tegas tidak hanya terbatas pada ancaman pidana dalam delik korupsi melainkan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian diberikan tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini berarti setelah adanya Komisi Pemberantasan Korupsi. terjadi perubahan penanganan tindak pidana korupsi. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat tiga lembaga yang samasama mempunyai kewenangan untuk menangani tindak pidana korupsi, yaitu: Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam hal penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dan/atau penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam 13 Article 65 paragraph 1 Implementation of The Convention (United Nation Convention Against Corruption) yang diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32). 6

7 7 tindak pidana korupsi yang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: 14 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp ,00 (satu milyar rupiah). Dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberantas tindak pidana korupsi, terdapat kekhususan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 15 Kekhususan tersebut dimungkinkan karena berdasarkan Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan: 16 Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan di dalam Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut memiliki dua arti. Pertama, semua Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137). Mahrus Ali, 2010, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Press,Yogyakarta, hlm.177. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara tahun 198 Nomor 76). Mahrus Ali,Op.Cit., hlm. 3. 7

8 8 ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi setiap tindak pidana yang diatur di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kedua, adanya kemungkinan pengaturan hal-hal tertentu dalam perundang-undangan lain yang mengatur mengenai hukum acara yang khusus bagi tindak pidana tertentu. Sehingga adanya kekhususan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi merupakan hal yang diperbolehkan, hal itu juga sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis 17 dimana Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merupakan lex generalis (peraturan yang bersifat umum) sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lex specialis (peraturan yang bersifat khusus). Kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi antara lain adalah adanya fungsi supervisi yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi serta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengambil alih penanganan perkara yang dilakukan oleh Polri maupun Kejaksaan. Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki kekhususan lain yaitu berkaitan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi Komisi Pemberantasan 8

9 9 Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. 17 Dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan apabila tidak terdapat bukti yang cukup. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana dalam hal tidak terdapat cukup bukti maka penyidik dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntut umum juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Adanya kekhususan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi salah satunya didasari pada banyaknya kasus tertentu yang sering terjadi adanya kebijakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh M.Abdul Kholiq dalam bukunya Eksistensi dalam Peradilan Korupsi di Indonesia yang dikutip oleh Mahrus Ali yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang melatarbelakangi dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu: 18 Pertama, melalui media massa seringkali ditemukan adanya kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya kebijakan SP3 oleh aparat terkait padahal bukti yuridisnya sudah kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus tersebut sudah sampai pengadilan, biasanya putusannya melawan rasa keadilan di masyarakat. Kekhususan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137). Mahrus Ali, Op.Cit., hlm

10 10 kemudian dianggap oleh beberapa pihak merupakan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip negara hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat), 19 sebagaimana dahulu terdapat di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan yang kemudian juga ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun Indonesia tidak secara tegas menganut salah satu konsep baik rechstaat maupun rule of law karena di dalam konstitusi Indonesia baik konsep rechstaat dan rule of law dipadukan sehingga sering disebut sebagai negara hukum pancasila. Salah satu konsekuensi dari negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain itu juga terdapat prinsip equility before the law atau persamaan di depan hukum yang berarti setiap orang tidak boleh dibeda-bedakan di depan hukum. 20 Hal tersebut dengan tegas diatur di dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 21 Oleh beberapa pihak, kekhususan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi berkaitan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun Abdul Mukhtie Fadjar,2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, Citra Media, Yogyakarta,hlm Jimly Asshidiqie, Prinsip Pokok Negara Hukum menurut Jimly Assidiqie, diakses pada tanggal 30 September 2015 pukul WIB. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

11 11 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum itu sendiri. Hal tersebut sebagaimana permohonan pengujian Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Hengky Baramuli, di dalam permohonannya Hengky Baramuli menyebutkan bahwa berlakunya pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah melanggar adanya prinsip dalam penanganan suatu perkara yaitu presumption of innocence yang berarti bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya. Namun di dalam putusan nomor 60/PUU-VIII/2010 terhadap permohonan yang diajukan oleh Hengky Baramuli tersebut Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 40 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Walaupun demikian, menjadi pertanyaan bagaimana jika pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan bukti yang cukup atau ternyata perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang akan menjadi fokus permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 22 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-VIII/

12 12 1. Bagaimana urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari prinsip-prinsip hukum acara pidana? 2. Bagaimana urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan hak asasi manusia? 3. Bagaimana urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi? C. Tujuan Penelitian Penulis menggolongkan tujuan penelitian ini menjadi dua golongan yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari prinsip-prinsip hukum acara pidana b. Untuk mengetahui urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari hak asasi manusia c. Untuk mengetahui urgensi pengaturan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau pemberantasan tindak pidana korupsi 12

13 13 2. Tujuan Subyektif Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis dari setiap katalog penelitian dan penulisan hukum di perpustakaan Fakultas Hukum Univeristas Gadjah Mada maupun di internet belum ada penulisan hukum atau penulisan lainnya yang memiliki topik yang sama dengan penulis baik yang dipublikasikan dalam bentuk media cetak ataupun media online. Namun ada beberapa penulisan hukum yang memiliki beberapa kemiripan dengan yang penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis, antara lain: 1. Penulisan hukum yang disusun oleh Adrie Primera Nuari, dari Fakultas Hukum Univeristas Gadjah Mada, dengan judul Penghentian Perkara Oleh Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Agung dalam Perkara Pidana Atas Nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah, 2012, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut: 23 a. Rumusan Masalah: 1) Apa saja penghentian perkara dan bagaimana mekanisme yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam suatu perkara pidana? 23 Adrie Primera Nuari, 2012, Penghentian Perkara Oleh Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Agung dalam Perkara Pidana Atas Nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Penulisan Hukum 13

14 14 2) Bagaimana mekanisme seorang Jaksa Agung ketika melakukan deponeering? 3) Apakah penghentian perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Agung dalam perkara pidana atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sudah sesuai dengan mekanisme? b. Kesimpulan: 1) Penghentian perkara pidana pada tingkat penuntutan dapat dilakukan dengan cara menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Hal tersebut merupakan kewenangan yang melekat pada Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara yang bersangkutan. Alasan dari diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) diatur di dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, yakni sebagai berikut: a. Tidak terdapat cukup bukti b. Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana c. Perkara ditutup demi hukum Yang dimaksud dengan perkara ditutup demi kepentingan hukum adalah Tersangka/Terdakwa meninggal dunia, ne bis in idem atau double jeopardy 2) Pengesampingan Perkara atau biasa disebut dengan deponeering merupakan perwujudan dari keberadaan asas oportunitas dalam penegakan hukum pidana di indonesia. Di Indonesia, deponeering semata-mata hanya melekat sebagai wewenang Jaksa Agung. Jaksa Penuntut Umum yang sedang menangani perkara tidak 14

15 15 mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan pengesampingan perkara. Deponeering diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yakni Pasal 35 huruf c Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 3) Dalam perkara pidana atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah terdapat dua penghentian perkara. Pertama, adalah penghentian perkara yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan menerbitkan SKPP dan kedua yaitu deponeering yang dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk penghentian perkara yang pertama yaitu Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), adalah tidak sesuai dengan mekanisme yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangn karena bertentangan dengan syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Sementara itu, untuk deponeering telah sesuai dengan mekanisme. Sedangkan penulis lebih memfokuskan pada ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari prinsip hukum acara pidana, hak asasi manusia, dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 15

16 16 2. Penulisan hukum yang disusun oleh Danang Dianto, dari Fakultas Hukum Univeristas Gadjah Mada, dengan judul Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Dalam Perkara Pidana Berdasarkan Alasan Pembelaan terpaksa (Noodweer), 2010, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut: 24 a. Rumusan Masalah: 1) Apakah Polisi atau Jaksa berwenang untuk menentukan suatu perbuatan sebagai pembelaan terpaksa dan menjadikan sebagai pembelaan terpaksa sebagai alasan untuk menghentikan perkara? 2) Bagaimanakah praktik penyidikan selama ini apabila menghadapi kasus pembelaan terpaksa? b. Kesimpulan: 1) Polisi maupun jaksa merasa tidak berwenang untuk menentukan suatu perbuatan sebagai pembelaan terpaksa dan menjadikan sebagai pembelaan terpaksa sebagai alasan untuk menghentikan perkara 2) Penyidikan tetap diteruskan dan apabila semua unsur telah terpenuhi maka proses hukum terhadap kasus tersebut tetap dilanjutkan ke proses hukum berikutnya. Dan penyidik tidak mencamtukan pada berkas hasil penydiikan bahwa pasa kasus 24 Danang Dianto, 2010, Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Dalam Perkara Pidana Berdasarkan Alasan Pembelaan terpaksa (Noodweer), Universitas Gadjah Mada, Penulisan Hukum 16

17 17 yang ebrsangkutn tersebut ada alasan penghapus pidana yang berupa pembelaan terpaksa (noodweer) Fokus penelitian yang dilakukan penulis bukan mengenai kewenangan dari penyidik Polri dan penuntut umum dari Kejaksaan untuk menghentikan perkara berdasarkan keadaan terpaksa, karena penulis berfokus pada ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan ditinjau dari prinsip hukum acara pidana, hak asasi manusia, serta dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Dapat disimpulkan bahwa penulisan hukum ini berbeda dengan penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis E. Manfaat Penelitian Penulisan Hukum ini nantinya penulis harapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca penulisan hukum ini, yang kemudian penulis bagi kedalam dua bagian yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Bagi Penulis Penulisan Hukum ini menambah wawasan penulis berkaitan dengan hukum acara pidana khusus yang berhubungan dengan korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk menambah wawasan mengenai kekhususan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi jika dibandingkan dengan Polri dan Kejaksaan 17

18 18 b. Bagi Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Penulis berharap penulisan hukum ini nantinya dapat memperluas wawasan masyarakat dalam bidang hukum acara pidana, dan dapat memberikan sumbangan bagi pemikiran hukum pidana dan acara pidana nantinya dalam ius constituendum atau hukum yang dicitacitakan 2. Manfaat Praktis a. Bagi masyarakat semoga dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan yang meningkatkan wawasan masyarakat terlebih dalam memahami kekhususan Komisi pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi. b. Bagi institusi terkait semoga dapat menjadi salah satu referensi dalam pembentukan hukum dimasa yang akan datang sehingga hukum menjadi sinkron satu dengan yang lain 18

BAB I PENDAHULUAN. keamanan masyarakat dengan cara merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi,

BAB I PENDAHULUAN. keamanan masyarakat dengan cara merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang sifatnya serius karena menimbulkan masalah serta ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada 61 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada BAB II, penulis menyimpulkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengangkat Penyelidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memutuskan untuk mengesampingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

BAB I PENDAHULUAN. hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah mendasar di dalam berjalannya demokrasi di Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi menjadi terhambat.

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi disamping sudah diakui sebagai masalah nasional juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Namun, yang membedakan kasus korupsi di setiap negara adalah intensitas,

BAB I PENDAHULUAN. Namun, yang membedakan kasus korupsi di setiap negara adalah intensitas, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi telah mewabah dan ada di mana-mana. Dari masa dulu, masa kini hingga masa yang akan datang, korupsi merupakan suatu ancaman serius. Tidak ada satupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Pande Made Kresna Wijaya I Nyoman Suyatna Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Authority investigation

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D101 11 005 ABSTRAK Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa yang talah membawa bencana bagi kehidupan Perekonomian

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang terus berusaha untuk mengadakan pembangunan diberbagai bidang. Pemerintah melakukan usaha pembangunan tersebut dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya Indonesia merupakan Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan dan Undang-undang Dasar 1945 menghendaki adanya persamaan hak,tanpa membeda-bedakan Ras,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali I. PEMOHON 1. Su ud Rusli, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. H. Boyamin, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya

Lebih terperinci

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tindak pidana yang menjadi permasalahan seluruh bangsa di dunia ini adalah korupsi. Korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah karena aktor-aktor utama pelaku korupsi tersebut kebanyakan aparat

BAB I PENDAHULUAN. adalah karena aktor-aktor utama pelaku korupsi tersebut kebanyakan aparat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang mengakar dan sulit diberantas. Salah satu penyebab korupsi menjadi sangat sulit untuk di berantas adalah karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan dan Penuntutan 1. Penyidikan Pengertian penyidikan secara umum dalam KUHAP dijelaskan dalam Bab I Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: Penyidikan adalah serangkaian tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 alinea ke- IV terkandung sejumlah tujuan negara yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia, diantaranya membentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangannya dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari sudut

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001.

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001. 104 DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya

I. PENDAHULUAN. diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumusan kesamaan kedudukan dimata hukum berarti hukum diberlakukan dengan tidak membeda-bedakan latar belakang seseorang. Hal tersebut juga perlu didukung dengan adanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional disusun berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci