BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
|
|
- Deddy Kurniawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lahir sebagai bentuk respon dari sebuah kondisi atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, dimana hal ini dilakukan secara sukarela untuk menumbuhkan kesadaran dan kemandirian yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. LSM bergerak dalam bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan dan dipilih oleh lembaga itu sendiri. Kemunculan LSM pada bidang HIV/AIDS dikarenakan adanya kepedulian terhadap masalah HIV/AIDS yang terjadi saat ini. HIV/AIDS, sebuah isu internasional yang masih menjadi permasalahan di setiap negara, dimana kematian menjadi ancaman akhir dari penderitanya. Di Indonesia, pertama kali ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) ditemukan pada tahun 1987 di Bali. Seiring berjalan waktu, kasus ODHA semakin meningkat setiap tahunnya. Jumlah kasus ODHA menurut Kementerian Kesehatan Indonesia sampai bulan September 2014 mencapai penderita. Setiap tahun selalu ditemukan kasus baru penderita HIV/AIDS di Indonesia, dimana hal ini tentu saja mempercepat laju pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS dan angka kematian ODHA. Indonesia Partnership Fund For HIV and AIDS menjelaskan bahwa, prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mencapai 0,16% dari populasi penduduk. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk dalam negara epidemik HIV/AIDS dan salah satu negara dengan resiko pertumbuhan HIV/AIDS tercepat di Asia. Pada tahun 2015 diperkirakan jumlah ODHA akan mencapai 1 juta penderita dengan kematian 350 ribu di tahun yang sama. Penanggulangan HIV/AIDS menjadi hal penting yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah ini. Tidak hanya pemerintah saja yang bergerak namun kelompok masyarakat juga memiliki andil besar dalam menanggulangi HIV/AIDS. Strategi Penanggulangan HIV/AIDS mengungkapkan bahwa sejak tahun 2002, jumlah LSM yang memiliki kepedulian terhadap HIV/AIDS mengalami peningkatan dan tumbuh
2 hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Sampai tahun 2015, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia terdapat 391 LSM atau organisasi terkait bidang HIV/AIDS yang tersebar di 30 provinsi. LSM memiliki peranan yang penting untuk memberikan edukasi mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat. Selain itu, LSM juga berperan dalam pendampingan terhadap pasien HIV/AIDS, bertugas sebagai jembatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan penyedia layanan. Memang dalam menangani masalah HIV/AIDS, setiap LSM memiliki kegiatan atau programnya masing-masing. LSM umumnya berkegiatan dibidang konseling, KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi), pendidikan, pelatihan, pengobatan, pendampingan, dan perawatan. Pada permasalahan HIV/AIDS, LSM merupakan ujung tombak dalam penjangkauan populasi kunci 1 sebagai pengakses layanan (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2003: 24). Waria termasuk dalam populasi kunci dari kelompok masyarakat yang rawan terjangkit HIV/AIDS. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan bahwa laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki memiliki resiko 19 kali lebih besar tertular HIV dibandingkan masyarakat umum (Rezal,dkk, 2012: 9). Hawari (2010) dalam bukunya Faktor Penyebab HIV/AIDS mengungkapkan beberapa penyebab waria mudah terserang HIV adalah migrasi dan mobilitas yang tinggi, seringnya waria berpindah lokalisasi, stigma dan dikriminasi, ekploitasi dan kekerasan, dan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan bagi kaum waria. Hal ini juga dikarenakan aktivitas keseharian yang melekat pada diri mereka, dimana waria cenderung bekerja sebagai pekerja seks dan sering berganti pasangan seks, melakukan hubungan seks secara anal dan oral. 1 Populasi kunci adalah (1) Orang-orang berisiko tertular atau rawan tertular karena perilaku seksual berisiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik tidak steril;(2) Orang-orang yang rentan adalah orang yang karena pekerjaan, lingkungannya rentan terhadap penularan HIV, seperti buruh migran, pengungsi, dan kalangan muda berisiko; dan (3) ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010: xii)
3 Dalam penelitian Ignatius (2011) memaparkan fakta bahwa, hubungan seksual tidak aman oleh kaum waria di Yogyakarta, dilakukan dengan berbeda pasangan mulai dari 2 hingga 140 pasangan yang berbeda. Fakta ini dapat disimpulkan satu orang waria dalam sekali waktu yang sama dapat memiliki pasangan lebih dari satu. Kerentanan waria terkena HIV/AIDS karena rendahnya kesadaran menggunakan alat kontrasepsi ketika berhubungan seksual. Walaupun pada sebagian waria sudah tampak kesadaran menggunakan kondom saat berhubungan seks, namun ada beragam alasan bagi mereka untuk sewaktu-waktu tidak menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Penolakan pelanggan untuk menggunakan jasa mereka ketika menggunakan kondom saat berhubungan seks menjadi salah satu alasan bagi waria yang sebagian besar bekerja sebagai penjaja seks untuk pasrah mengabaikan penggunaan kondom. Selain itu, diketahui masih banyak ditemui kondom yang baru dipakai tidak terikat, dimana menjelaskan penggunaan kondom pada waria masih belum tepat. Yang sangat menyedihkan adalah keengganan waria menggunakan kondom disebabkan karena ketidakpedulian tentang status HIV dan efeknya kepada orang lain. Bahkan terdapat pada beberapa waria yang telah positif HIV, sengaja tidak menggunakan kondom untuk menularkan penyakit ini kepada pasangan seksnya. Paparan ini membuktikan bahwa, penggunakan kondom dikalangan waria masih minim (LSM Kebaya, 2014). Dalam menghadapi masalah ini, pihak pemerintah yang seharusnya memiliki peranan yang besar justru dirasa masih kurang memberikan perhatian terhadap masalah waria (Vinolia Wakijo, Pimpinan LSM Kebaya, Wawancara 2015). Komisi Penanggulangan AIDS D.I Yogyakarta pun dalam upaya menghadapi AIDS hanya bertindak sebagai pihak koordinator dan fasilitator bagi LSM ataupun organisasi peduli HIV/AIDS. Tidak ada upaya ataupun program khusus yang dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS pada kaum waria. LSM-lah yang memiliki dan menjalankan program untuk menanggulangi HIV/AIDS pada populasi kunci, termasuk waria (Iriyani, Pengelola Program KPA D.I Yogyakarta, Wawancara 2015).
4 Tidak hanya pemerintah saja, masyarakat umum pun dirasa kurang memberikan perhatian terhadap masalah yang dihadapi oleh waria. Bahkan masyarakat cenderung bersikap kasar pada kaum waria karena dianggap menyimpang dari nilai dan norma sosial yang ada. Persamaan hak yang masih sangat kurang bagi mereka adalah penyebab jarangnya pembelaan dan kepedulian pada masalah yang dihadapi oleh kaum waria, khususnya isu HIV/AIDS yang mendapatkan stigma negatif di Indonesia (Vinolia Wakijo, Pimpinan LSM Kebaya, Wawancara 2015). LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) menjadi salah satu dari tiga lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap masalah kaum waria. Vinolia Wakijo atau lebih dikenal dengan Mami Vin adalah seorang waria, melihat keadaan teman-teman waria dan kurangnya perhatian masyarakat umum menjadi alasan utama baginya untuk mendirikan sebuah LSM yang berfokus terhadap masalah HIV/AIDS di D.I Yogyakarta. LSM tersebut bergerak untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS dikalangan waria. LSM Kebaya lahir pada tanggal 18 Desember 2006 yang dibantu oleh UNAIDS-Badan PBB yang bekerja dibidang penanggulangan HIV/AIDS. LSM ini telah melakukan kerjasama dengan tiga lembaga global yang berfokus pada permasalahan HIV/AIDS, yakni UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS), Hivos Foundation, dan Global Fund. Di D.I Yogyakarta sendiri, ODHA masih mengalami pertambahan, dimana pada tahun 2012 terdapat penderita, tahun 2013 sebanyak penderita, dan di tahun 2014 sebanyak ODHA. Data KPA D.I Yogyakarta juga mengungkapkan bahwa, laki-laki adalah pengidap penyakit HIV/AIDS terbanyak dalam tahun 2012, 2013, dan 2014, dengan jumlah penderita yang mengalami peningkatan di setiap tahunnya, yaitu 1231, 1559, dan 1920 di tahun (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi D.I Yogyakarta, 2014) Dalam data kasus HIV/AIDS, waria termasuk dalam golongan jenis kelamin laki-laki dan jumlah waria menurut database LSM Kebaya tahun 2014 sedikitnya terdapat 412 waria di D.I Yogyakarta.
5 Tindakan preventif atau pencegahan adalah solusi terbaik untuk mengurangi laju pertambahan jumlah ODHA. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikalangan waria, komunikasi merupakan salah satu upaya dasar yang penting dilakukan untuk menyampaikan pesan yang diinginkan kepada waria sebagai sasaran khalayak. Kampanye menjadi proses kegiatan komunikasi yang dilakukan LSM Kebaya dalam menanggulangi HIV/AIDS. Selama 8 tahun LSM Kebaya telah melakukan beragam program kampanye untuk mencegah HIV/AIDS, dan menjadi satu-satunya LSM yang menyasar waria dalam penanggulangan HIV/AIDS. Latar belakang dari Mami Vinolia sebagai pimpinan LSM Kebaya sejak tahun 1993 memperjuangkan hak-hak waria dan membantu kebutuhan waria yang terinfeksi HIV/AIDS, juga merupakan faktor pendorong dari eksistensinya peran LSM Kebaya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana manajemen Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS oleh LSM Kebaya di kalangan waria D.I Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan manajemen kampanye LSM dalam penyampaian pesan kepada khalayaknya, khususnya kaum waria. 2. Untuk mengetahui pengelolaan kampanye tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan oleh LSM dengan waria sebagai sasaran khalayaknya. D. Manfaat Penelitian
6 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan pembelajaran atau referensi bagi pihak yang memerlukan informasi mengenai pengelolaan kampanye LSM untuk menyampaikan sebuah pesan, khususnya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS kepada kaum waria. E. Kerangka Teori a. Kampanye Masyarakat umum sering berpikir bahwa yang disebut kampanye adalah kegiatan para calon legislatif ataupun presiden ketika sedang mencari dukungan atau kampanye disama artikan dengan pawai di jalan. Padahal nyatanya kampanye tidaklah sesederhana itu. Kampanye seringkali dilakukan untuk memengaruhi dan menciptakan perubahan pola pikir atau perilaku seseorang mengenai suatu hal, dimana untuk mencapai keberhasilan dalam kampanye dibutuhkan perencanaan dan manajemen yang efektif. Kampanye merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, dimana hal ini menjadikan kampanye termasuk dalam metode komunikasi persuasif karena berkaitan dengan upaya memengaruhi sasaran khalayaknya. Menurut Rogers dan Storey, kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, maka ada 4 hal yang harus ada dalam kampanye komunikasi, yaitu (1) tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu (2) jumlah khalayak sasaran yang besar (3) biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan (4) melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi (Venus, 2012: 7). Setiap kegiatan pasti memiliki tujuan untuk dicapai, demikian dengan sebuah kampanye. Tujuan memengaruhi efektif dan tidaknya sebuah
7 kampanye. Sehingga, tujuan yang jelas dan spesifik menjadi keharusan yang dimiliki oleh kampanye. Gregory (2004: 78) dalam bukunya Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations menyatakan terdapat 3 tujuan kampanye. Pertama, kesadaran (awareness)-tujuan kognitif, membuat publik sasaran berpikir tentang suatu hal dan mencoba memperkenalkan suatu tingkat pemahaman tertentu. Kedua, sikap dan opini (attitudes and opinion)-tujuan afektif, membuat publik sasaran membentuk suatu sikap atau opini tertentu tentang suatu objek. Ketiga, perilaku (behavior)-tujuan konatif, membuat publik sasaran bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Pfau dan Parrot (1993, dalam Venus 2012: 10) yang menyebutkan tujuan kampanye selalu berkaitan dengan aspek pengetahuan, sikap, dan perilaku. Pemikiran ini semakin diperkuat dengan istilah 3A yang dimiliki oleh Ostergaard (2002, dalam Venus 2012: 10) untuk menjelaskan aspek kampanye, yakni awareness, attitude, dan action. Tujuan dari sebuah kampanye dipengaruhi dengan motivasi yang melatarbelakangi sebuah kampanye dijalankan. Sehingga dapat dikatakan bahwa motivasi memiliki keterkaitan dengan tujuan, dimana bertolak dari keterkaitan tersebut Charles U. Larson membagi jenis kampanye kedalam 3 kategori. Pertama, product-oriented campaigns adalah sebuah kampanye dengan motivasi memeroleh keuntungan finansial. Kedua, candidate-oriented campaigns, kampanye yang dimotivasi oleh hasrat meraih kekuasaan politik dengan tujuan memenangkan dukungan masyarakat. Ketiga, ideologically or cause oriented campaigns, kampanye ini dilakukan dengan motivasi menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terikat (Venus, 2012: 11). Selanjutnya model kampanye menjadi alat yang digunakan untuk memudahkan dalam menganalisis fenomena atau realitas yang terjadi dalam proses kegiatan sebuah kampanye.
8 Beberapa model kampanye yang diuraikan oleh para ahli adalah model komponensial kampanye, model kampanye ostergaard, the five functional stages development model, the communicative functions model, model kampanye Nowak dan Warneryd, dan the diffusion of innovations model (Venus, 2012: 12-13). Model komponensial kampanye adalah model yang mengambil komponen-komponen pokok yang terdapat dalam suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan kampanye. Model kampanye Ostergaard dihasilkan dari pengalaman praktik di lapangan, dimana identifikasi masalah menjadi langkah awal dari setiap kampanye yang layak. The five functional stages development model, model kampanye yang berfokus pada tahapan kegiatan kampanye, bukan pada proses pertukaran pesan antara campaigner dan campaignee. The communicative function model adalah model kampanye yang dikontruksikan dari lingkungan politik. Model kampanye Nowak dan Warneryd menjelaskan bahwa proses kampanye dimulai dari tujuan yang hendak dicapai dan diakhiri dengan efek yang diinginkan, dimana hal tersebut dilakukan secara sistematif dan bersifat normatif untuk meningkatkan efektivitas kampanye. Elemen yang saling berhubungan adalah hal yang harus diperhatikan pada model kampanye ini. The Diffusion of Innovation Model umumnya diterapkan dalam kampanye periklanan dan kampanye yang berorientasi pada perubahan sosial (Venus, 2012: 13-25). Seperti pendapat Rogers dan Storey yang telah dijelaskan diatas bahwa kampanye sebagai kegiatan komunikasi yang terorganisir. Johnson-Cartee dan Copeland juga memiliki pendapat yang sama, dimana menyebutkan kampanye sebagai an organized behavior, yang harus direncanakan dan diterapkan secara sistematis dan berhati-hati. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan dalam kegiatan kampanye membutuhkan sentuhan manajemen yang harus dijalankan. Manajemen kampanye sendiri adalah proses pengelolaan kegiatan kampanye secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan seluruh sumber
9 daya yang ada guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen kampanye terdiri dari 3 tahapan sentral, yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tiga tahapan diatas, bila dijelaskan dengan dua pemikiran dari Gregory (2004) dan Venus (2012), maka tahapan-tahapan dari kampanye akan meliputi: i. Perencanaan Perencanaan menjadi alat bantu yang penting untuk bekerja secara efektif dan minimnya informasi akan menjadi hambatan untuk melakukan perencanaan yang matang. Walaupun demikian, perencanaan tidak bertujuan untuk mengikat gerak-gerik organisasi. Perencanaan hanya bersifat membantu untuk fokus dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Perencanaan dalam kampanye terdiri dari beberapa tahapan berikut ini: 1. Analisis masalah Dasar dalam menyusun perencanaan kampanye adalah analisis masalah. Permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh sasaran kegiatan komunikasi dapat ditemukan setelah melakukan analisis yang benar terlebih dahulu. Identifikasi masalah akan menjadi jelas bila dilakukan secara terstruktur, dimana terdapat 2 teknik dalam menganalisis masalah, yakni SWOT ((Strenght, Weaknesses, Opportunity, and Threats) dan PEST (Political, Economic, Social, and Technology), Analisis SWOT diterapkan dengan mengelompokan faktorfaktor yang ada, yakni dua elemen pertama strenght dan oportunities dikelompokan sebagai pertimbangan-pertimbangan politik yang mendukung terlaksananya program kampanye, sedangkan weaknesses dan threats dikelompokkan pada kondisikondisi negatif yang harus dihadapi kampanye.
10 Analisis PEST membagi lingkungan dalam empat area yang secara keseluruhan hampir memengaruhi sebuah kampanye, yakni (1)Politik mencakup tentang peraturan pemerintah yang berhubungan dengan program dan pesan kampanye; (2)Ekonomi berkaitan dnegan kondisi nilai tukar mata uang, inflasi, keadaan ekonomi dunia, serta harga dari sumber daya; (3)Sosial meliputi gaya hidup, tingkat pendidikan, pola hidup, perilaku sosial, dan perkembangan populasi; dan (4)Teknologi berhubungan dengan berbagai perubahan teknologi yang berkaitan dengan program kampanye. Data-data yang dibutuhkan untuk teknik analisis diatas dapat diambil dari beberapa informasi media, focus group discussions, wawancara langsung, angket dan wawancara kelompok. 2. Tujuan Tujuan utama dari kampanye adalah memengaruhi sikap dan perilaku publik atau khalayak. Tiga tujuan kampanye adalah kesadaran (awareness), sikap dan opini (attitudes and opinion), dan perilaku (behavior). Pertama, kesadaran, membuat publik sasaran berpikir tentang suatu hal dan mencoba memperkenalkan suatu tingkat pemahaman tertentu. Kedua, sikap dan opini, membuat publik sasaran untuk membentuk suatu sikap atau opini tertentu tentang suatu objek. Ketiga, perilaku, membuat publik sasaran untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Delapan aturan kunci penetapan tujuan kampanye, yaitu sejalan dengan tujuan organisasi, menetapkan tujuan kampanye bukan tujuan organisasi, susun dengan tepat dan spesifik, menetapkan tujuan yang memungkinkan untuk dicapai, buatlah tujuan yang dapat diukur, pertimbangkan skala waktu, pertimbangkan anggaran, susun tujuan berdasarkan skala prioritas.
11 3. Publik (Khalayak) Publik atau khalayak merupakan sasaran atau orang dari pesan yang disampaikan oleh komunikator, dimana khalayak yang akan menerima dan mengintepretasikan pesan tersebut. Khalayak memiliki kecenderungan bersifat aktif sehingga dapat memengaruhi tercapainya tujuan komunikasi. Dengan mengidentifikasi publik yang ingin disasar, maka kita akan menjadi mudah untuk mengetahui apa yang harus dikatakan dan cara yang tepat untuk menyampaikan sebuah pesan. James Grunig (dalam Gregory: 2004), membagi publik atau khalayak dalam empat jenis, yakni (1)nonpublik adalah kelompok yang tidak terpengaruh dan memengaruhi kampanye; (2)latent public dalah kelompok yang menghadapi masalah yang berkaitan dengan isu kampanye tetapi tidak menyadari; (3)aware public adalah kelompok yang menyadari bahwa permasalahan itu ada; (4)kelompok yang mau bertindak sehubungan dengan permasalahan dari isu kampanye. 4. Pesan Pesan kampanye menjadi sarana yang akan membawa sasaran mengikuti apa yang diinginkan dari program kampanye, yang pada akhirnya akan sampai pada pencapaian tujuan kampanye. Sehingga agar kampanye dapat berhasil, pesan harus disusun berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Venus, 2012: 150). Arifin (1994) menjelaskan ada dua aspek dalam penyampaian pesan: 1. Metode Pelaksanaannya a) Canalizing, memahami dan meneliti pengaruh kelompok terhadap individu dan khalayak.
12 b) Redudancy/repetition, mengulang-ulang pesan yang disampaikan dengan harapan khalayak lebih memerhatikan dan mengingat pesan. 2. Bentuk Isinya: a) Informatif, memengaruhi khalayak dengan cara memberikan penerangan. b) Persuasif, memengaruhi khalayak dengan cara membujuk. c) Edukatif, memengaruhi khalayak dalam bentuk pendapat, fakta, dan pengalaman. d) Koersif, memengaruhi khalayak dengan cara memaksa dan intimidasi. 5. Strategi Strategi adalah pendekatan keseluruhan untuk suatu program atau kampanye. Tahap ini menjadi faktor pengkoordinasi, prinsip yang menjadi penuntun, ide utama, dan pemikiran dibalik program taktis. Strategi merupakan fondasi program taktis (Gregory, 2004: 98-99). 6. Taktik Taktik merupakan program atau kegiatan yang akan dilakukan atau digunakan, dimana hal ini disusun setelah menetapkan strategi kampanye. 7. Skala waktu Batas waktu atau deadline dari taktik yang dilakukan dalam kampanye merupakan skala waktu. Teknik yang dapat digunakan untuk perencanaan waktu adalah Critical Path Analysis (CPA) atau analisis jalur kritis, dimana menganalisis semua komponen pelaksanaan yang terdapat dalam sebuah program secara mendetail yang ditulis dalam satu garis mulai dari hari kehari sampai kehari
13 pelaksanaan. CPA baik untuk menjelaskan satu per satu program kampanye. Namun, kita juga dapat menyusun timeline kampanye dengan menulis program secara per tahun, per semester, atau per bulan. 8. Sumber daya Tiga sumber daya kampanye adalah sumber daya yang digunakan jasanya dalam mendukung kampanye harus dihitung besarnya kemampuan dan usaha yang dikeluarkan, operasional berkaitan dengan dana kampanye yang harus efektif dan efisien, dan peralatan pada saat kampanye berlangsung. 9. Merencanakan evaluasi Evaluasi ditahap perencanaan dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari tahapan-tahapan perencanaan yang kita lakukan sebelumnya. 10. Merencanakan review Tahap ini berlaku untuk program dengan jangka waktu yang panjang. Hal ini dilakukan dengan meninjau perkembangan program setiap tahunnya. ii. Implementasi Pelaksanaan dari seluruh perencanaan kampanye yang telah dirancangkan sebelumnya, walaupun pada dasarnya tidak selalu apa yang telah dirancangkan akan dapat seluruhnya sama dengan pelaksanaannya dilapangan. Pelaksanaan kampanye dimulai ketika menerapkan tahapan perencanaan. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap pelaksanaan adalah 1. Realisasi unsur-unsur kampanye
14 Tahap ini terdiri dari 4 unsur. Pertama, perekrutan dan pelatihan personel kampanye adalah penentuan dari calon anggota yang akan terlibat dalam pelaksanaan kampanye, dimana akan ditetapkan sebagai sukarelawan atau staf professional yang akan mendapat bayaran. Tahapan ini memperhatikan aspek motivasi, komitmen, kemampuan bekerjasama, dan pengalaman calon anggota. Kedua, mengonstruksi pesan dimana pesan yang disusun seharusnya memperhatikan kesederhanaan, kedekatan dengan situasi khalayak sasaran, kejelasan, keringkasan, kebaruan, kosistensi, kesopanan, dan kesesuaian dengan objek kampanye. Ketiga, penetapan penyampai kampanye dengan memperhatikan kesesuaiana antara tokoh dan objek kampanye, media yang digunakan, dan kredibilitas penyampai kampanye dimata khalayak. Keempat, menyeleksi saluran kampanye (media) dengan mempertimbangkan jangkauan media, tipe dan ukuran besarnya jumlah khalayak, biaya, waktu, dan tujuan. Selain itu dapat juga memperhatikan karakteristik khalayak secara demografis, psikografis, geografis, serta melihat pola penggunaan media dari khalayak kampanye. 2. Menguji coba rencana kampanye Uji coba rencana kampanye akan menentukan apakan rencana kampanye akan memberikan hasil yang diharapkan atau tidak. Melalui tahap ini, kita dapat memeroleh respon awal sebagian khalayak sasaran terhadap pesan-pesan kampanye. Walaupun demikian uji coba rencana kampanye tidak dilakukan pada semua aspek dalam tahapan perencanaan (Venus, 2012: ). 3. Pemantauan pelaksanaan
15 Tindakan kampanye bukanlah tindakan yang kaku dan parsial tetapi bersifat adaptif, antisipatif, integratif, dan berorientasi pada pemecahan masalah. Pemantauan dapat dilakukan dengan melaksanakan pertemuan staf untuk memeroleh feedback, pengamatan operasional kampanye, membuat progress report, dan melakukan sesi wawancara (Venus, 2012: ). 4. Pembuatan laporan kemajuan Unsur ini menjadi unsur terakhir dalam tahap pelaksanaan dari manajemen kampanye. Laporan kemajuan memuat berbagai data dan fakta dari berbagai hal yang telah dilakukan selama masa kampanye (Venus, 2012: ). iii. Evaluasi Evaluasi adalah pengukuran terhadap keberhasilan sebuah organisasi dalam menyebarkan pesan-pesan yang direncanakan kepada publik yang ditargetkan, melalui kegiatan komunikasi yang spesifik untuk mencapai suatu hubungan yang telah ditetapkan. Evaluasi menjadi satu-satunya jalan untuk mengetahui keberhasilan, kegagalan, dan pencapaian dari tujuan sebuah strategi atau kegiatan yang telah dilakukan (Putra,2008: 8.4). Empat level atau tingkatan dari evaluasi kampanye yang dikategorikan oleh Ostegaard adalah tingkatan kampanye (campaign level), tingkatan sikap (attitude level), tingkatan perilaku (behavior level), tingkatan masalah (problem level) (Venus, 2012: 213). Selain itu, jenis evaluasi dapat dibagi menjadi 4 yaitu: (1) Evaluasi Fomatik, untuk mengukur kekuatan dan kelemahaan bahan, serta strategi kampanye sebelum atau selama pelaksaan kampanye; (2) Evaluasi Proses untuk mengukur efek dan hasil langsung kampanye dan untuk meneliti prlaksanaan kampanye serta sejauh mana keberhasilan
16 kegiaatan; (3) Evaluasi Efek untuk mengukur efek dan perubahan yang timbul dari kampanye dengan menilai hasil pada populasi sasaran atau komunitas yang terjadi sebagai akibat dari strategi dan kegiatan kampanye; (4) Evaluasi Dampak untuk mengukur perubahaan pada tingkat komunitas atau hasil jangka lama yang tercapai sebagai akibat efek keseluruhan kampanye pada perilaku individu (Venus, 2012: viiiix). b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kemunculan LSM di Indonesia terjadi pada awal abad ke-20, dimana saat itu LSM hadir sebagai bentuk kebangkitan dari kesadaran masyarakat akan masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi. LSM semakin mengalami perkembangan pada tahun 1980-an ketika masyarakat menyadari pentingnya partisipasi mereka dalam pembangunan sosial ekonomi negara. Awalnya LSM dikenal dengan sebutan Ornop (Organisasi Non Pemerintah yang diadopsi secara langsung dari terjemahan Internasional, yaitu Non-Governmental Organization atau NGO. Masyarakat menganggap bahwa, LSM adalah suatu lembaga swadaya yang bekerja untuk pembangunan masyarakat kecil yang tertindas, miskin, dan terpinggirkan. Padahal sering didapati masyarakat tidak dapat mengidentifikasi sebuah gerakan atau kegiatan yang berasal dari LSM atau bukan. Kata swadaya dalam istilah LSM terkadang juga dirasa tidak sesuai dengan realitias, dimana umumnya LSM sangat bergantung pada bantuan dari luar. Sedangkan pemerintah sering beranggapan LSM sebagai organisasi yang selalau beroposisi dengan pemerintah. Namun pada perkembangannya banyak LSM menjadi mitra pemerintah (SMERU, 2000: i). Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat, LSM adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia
17 secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Roem Topatimasang-seorang aktivis senior di Indonesiamengemukakan bahwa dilihat dari sudut orientasi, LSM di Indonesia dapat dibagi dalam 5 kelompok paradigma, yaitu paradigma kesejahteraan, paradigma modernisasi, paradigma reformasi, paradigma liberal, dan paradigma transformasi (Budiardjo, 2008: 390). LSM penganut paradigma kesejahteraan adalah mereka yang berpendapat bahwa kekuatan yang berada diluar kendali manusia-seperti nasib atau takdir dan bencana alam-sebagai penyebab dari kemiskinan dan keterbelakangan manusia. Tujuan LSM seperti ini yakni, menolong mengurangi penderitaan kaum yang mereka bela melalui kegiatan berbentuk derma, sedekah, atau santunan. LSM ini cenderung bersifat toleran dan mempertahankan status quo dan selalu berusaha membantu pemerintah, menghindari konflik, dan pandangan politik konservatif (Budiardjo, 2008: 390). LSM penganut paradigma modernisasi memandang keterbelakangan ataupun kemiskinan disebabkan oleh rendahnya pendidikan, penghasilan, keterampilan, dan juga kesehatan, khususnya gizi. Sehingga tujuan kegiatan mereka adalah untuk memperbanyak prasarana atau meningkatkan pendapatan. LSM ini cenderung memiliki tertib administratif, formal, dan masih bersifat birokrasi namun mengarah pada modernisasi. Pandangan politik bersifat konservatif, melakukan perubahan secara fungsional, dan mendukung pemerintah (Budiardjo, 2008: 390). LSM penganut paradigma reformasi berkeyakinan bahwa sumber dari masalah-masalah sosial adalah lemahnya pendidikan, korupsi, mismanajemen,
18 dan inefisiensi. Kegiatan LSM ini berfokus pada memperbanyak tenaga professional, perbaikan peraturan, dan perundang-undangan, perbelakuan sanksi yang berat terhadap pelanggar hukum. Sehingga tujuan mereka adalah untuk memperkuat pengawasan, memperbaiki manajemen pelayanan umum, dan meningkatkan disiplin hukum. Pandangan LSM ini masih menganut pendekatan fungsional dan cenderung menghindari konflik. (Budiardjo, 2008: ). LSM dengan paradigma liberal berpandangan bahwa segala keterbelakangan disebabkan oleh adanya penindasan, eksploitasi, dan pembodohan rakyat. Kegiatan LSM seperti ini adalah pendidikan politik populer, pencetakan kader gerakan, mobilisasi aksi, atau kampanye pembentukan opini publik. Mereka bersifat populis, militan kerja tim, berdisiplin ketat, radikal, menuntut otonomi mutlak berada ditangan rakyat. Tujuannya adalah menginginkan perubahan yang bersifat structural (Budiardjo, 2008: 391). LSM pemeluk paradigma transformasi menganggap sumber keterbelakangan dan kemiskinan adalah ketidakadilan tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Bertujuan menciptakan tatanan baru yang lebih adil. Kegiatan yang dilakukan umumnya adalah penyadaran politik, pengorganisasian rakyat, mobilisasi aksi, dan membangun jaringan advokasi. Sifat mereka hampir sama dengan LSM liberal, mereka juga tidak segan untuk berkonflik (Budiardjo, 2008: 391). Memang terdapat perbedaan antara LSM yang satu dengan yang lain, tetapi pada dasarnya setiap LSM memiliki kesamaan, yakni sebuah organisasi non-profit yang bertujuan untuk membantu sesama masyararakat, menciptakan perubahan sosial yang lebih baik dari hari ini dan kemarin, dan memiliki otonomi untuk mengatur organisasinya sendiri. c. Waria sebagai Sebuah Identitas
19 Fenomena waria seringkali disebut dengan gejala abnormalitas seksual yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur kehidupan dan pengalaman seseorang. Keadaan abnormalitas seseorang, apapun bentuknya, tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan manusia: sejak berada dalam kandungan, lahir, dan dibesarkan dalam kehidupan dunia (Nadia, 2005: 197). Koeswinarno (2004) mengartikan waria atau wanita tapi pria adalah istilah bagi laki-laki yang terperangkap pada tubuh wanita, sehingga mereka akan berbusana dan bertingkahlaku layaknya wanita. Kehadiran seorang waria sebagai sebuah kepribadian dapat terjadi karena dua proses, yakni secara individual dan sosial. Secara individual, waria lahir disebabkan adanya dorongan yang kuat dalam pribadi seseorang mengenai fisik yang tidak sesuai dengan kondisi psikis. Sehingga mereka akan berperilaku jauh berbeda dari laki-laki normal tetapi tidak juga sebagai perempuan normal. Hal ini bukan karena persoalan perilaku yang tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual dan membutuhkan penyaluran (Kartono, 1989, dalam Koeswinarno 2004: 3). Sebuah identitas terbentuk tidak hanya secara individual tetapi juga secara sosial, yakni ketika perilaku seseorang dipresentasikan secara sosial. Maksudnya adalah saat laki-laki berperilaku seperti perempuan, maka umumnya masyarakat akan menyebut dia banci, walaupun sebenarnya dunia banci tidak sesederhana itu (Koeswinarno, 2004: 5). Seseorang dikatakan waria ketika, ia adanya keinginan yang kuat untuk mempresentasikan diri sebagai perempuan, dimana hal ini diikuti dengan tindakan manifestasi yang nyata dalam perubahan dirinya sehari-hari, misalnya hal yang paling sederhana adalah penggunaan lipstick, rok, dan atribut perempuan lainnya. Menjadi waria bukanlah hanya sebatas bertindak selayaknya perempuan tetapi juga bermakna keinginan untuk menjadi bagian dari ruang sosial yang dipandang sama, seperti masyarakat memandang perempuan dan laki-laki pada umumnya.
20 Identitas waria atau fenomena waria sampai saat ini masih menimbulkan konflik dimasyarakat. Hal tersebut tidak hanya terjadi karena perilaku seksual mereka yang menyimpang, namun juga perilaku waria yang telah dikontruksikan secara negatif oleh masyarakat, cenderung memberikan kondisi tidak nyaman untuk menerima keberadaan waria disekitar mereka. Citra pelacur yang melekat dalam dunia waria, perilaku laki-laki dengan dandanan perempuan menjadi bagian penting bagaimana seorang waria dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai perilaku menyimpang, dimana perilaku penyimpangan kaum waria melahirkan praktik relasi seksual sejenis yang belum sepenuhnya dapat diterima sebagaimana relasi heteroseksual (Koeswinarno, 2004: 148). Waria memiliki kehidupan yang berbeda dengan homoseksual. Kaum Homoseksual umumnya tidak mengalami hambatan sosial yang berarti dalam pergaulan dan perilaku karena mereka tidak mengalami krisis identitas Hal ini dapat terlihat dari cukup banyaknya kaum homoseksual yang menempati posisi penting diberbagai profesi. Sulitnya mengidentifikasi kaum homoseksual yang dalam lingkungan masyarakat berbusana seperti laki-laki normal menyebabkan mereka leluasa untuk bergaul dan berperilaku. Berbeda dengan kaum waria, disamping menghadapi berbagai tekanan sosial, posisi mereka dalam struktur masyarakat juga kurang mendapatkan tempat (Koeswinarno, 2004: 6). Paparan diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan waria dengan kaum homoseksual yang sama-sama tertarik pada hubungan seksual kepada sesama laki-laki adalah kaum waria dalam kesehariannya melakukan peranan sosial sebagai perempuan, sedangkan kaum homoseksual secara fisik maupun psikis berperilaku sesuai dengan jenis kelamin mereka. Waria dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transeksual. Mereka sering disebut sebagai kaum yang terjebak dalam identitas jenis kelamin yang terganggu. Mereka lahir dengan memiliki alat kelamin laki-
21 laki secara sempurna, tetapi dalam proses berikutnya ada keinginan untuk menolak bahwa dirinya seorang laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh faktor psikis, dimana mereka merasa letak alat kelaminnya bukan pada tempatnya dan bahkan jijik terhadap kelamin mereka sendiri. Keinginan untuk menjadi perempuan pada waria tidak terletak pada cara berpakaian saja tetapi juga pada sikap, perilaku, dan penampilannya. Keinginan tersebut relatif melekat dan berlangsung dengan sangat hebat (Nadia, 2005: 38-39). Pada waria transesksual masih dibagi dalam beberapa subtipe: 1. Transeksual aseksual, seorang transeksual yang tidak berhasrat atau tidak memiliki gairah seksual yang kuat. 2. Transeksual homoseksual, seorang transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ketahap transeksual murni. 3. Transeksual heteroseksual, seorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya, misalnya pernah menikah. 4. Transferteit, seorang transeksual yang tidak tertarik untuk melakukan pergantian kelamin tetapi berdandan seperti perempuan (Nadia, 2005: 40).
22 Bagan 1. Manajemen Kampanye F. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif, dimana mengemukakan pemahaman mengenai bagaimana sebuah realitas komunikasi terjadi. Sifat khas dari penelitian kualitatif terletak pada penekanan lingkungan alamiah yang berarti data diperoleh ditempat dimana penelitian ini akan dilakukan. Selain itu, penelitian kualitatif juga bersifat induktif, fleksibel, didapatkan dari pengalaman langsung, memiliki kedalaman, dan adanya partisipasi aktif dari partisipan dan penafsirannya (Raco, 2010: 56). Selanjutnya penelitian ini akan menggunakan metode studi kasus. Hal ini berangkat dari pendapat Yin yang menganggap bahwa studi kasus menjadi metode yang paling tepat digunakan untuk memahami sebuah fenomena sosial. (Yin, 2009: 2). Yin juga menjelaskankan bahwa, studi kasus adalah metode yang tepat untuk penelitian
23 dengan tipe pertanyaan how dan why. Hal tersebut sesuai dengan pertanyaan yang dibahas dalam rumusan masalah penelitian ini. Tipe penelitian studi kasus ini adalah deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena yang terjadi secara nyata pada objek yang diteliti. Dalam studi kasus ini, peneliti menggunakan desain studi kasus tunggal. Penggunaan desain studi ini memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi secara mendalam, namun tetap bersifat spesifik mengenai topik permasalahan yang dibahas dalam penelitian (Daymon, Holloway, 2008: 166). 1. Objek penelitian Objek dari penelitian ini adalah Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS oleh LSM Kebaya di kalangan waria D.I Yogyakarta. Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV AIDS ini menarik untuk dibahas dinilai dari: Pertama, khalayak sasaran utama kampanye, yakni waria, dimana menjadi satu-satunya kampanye penanggulangan HIV/AIDS di D.I Yogyakarta yang menyasar waria dan telah berjalan selama 8 tahun. 2. Lokasi penelitian Penelitian ini akan dilakukan di LSM Kebaya- Keluarga Besar Waria Yogyakarta-yang beralamat di Jl. Gowongan Lor No. 148 Rt. 11/02, Yogyakarta. LSM ini dipimpin oleh Vinolia Wakijo dan telah bergerak selama 8 tahun untuk isu HIV/AIDS. LSM Kebaya menjadi satu-satunya organisasi waria yang dibantu oleh UNAIDS dalam mendirikan lembaganya dan telah telah melakukan kerjasama dengan dua lembaga global yang fokus terhadap permasalahan HIV/AIDS, yakni Hivos Foundation dan Global Fund.
24 3. Teknik pengumpulan data a. In-depth interview Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data In-depth interview atau wawancara mendalam terhadap pihak LSM yang memiliki wewenang untuk menjawab pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara dilakukan secara langsung atau tatap muka. Sehingga hasil wawancara memiliki nilai kredibilitas atas fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Wawancara tidak hanya dilakukan dalam sekali waktu, namun peneliti melakukan wawancara secara berulang untuk mendapatkan data yang mendalam. Untuk mendapatkan data mengenai kampanye LSM Kebaya, maka informan yang akan diwawancara adalah: 1. Vinolia Wakijo (Pendiri sekaligus pimpinan LSM Kebaya). 2. Rully Mallay (Pengelola program dari LSM Kebaya). 3. Novi (Koordinator lapangan LSM Kebaya). Dalam melakukan penelitian, tidak dapat dipungkiri peneliti menambah informan untuk menguji keabsahan data dari informan sebelumnya. b. Observasi Ada dua jenis observasi yang dilakukan untuk penelitian ini, dengan tujuan mengamati hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. i. Observasi langsung non-partisipan Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengamati aktivitas LSM yang berkaitan dengan penyusunan kampanye mereka, misalnya kegiatan rapat perencanaan kampanye, kinerja tim, pelaksanaan kegiatan kampanye, dan evaluasi. Melalui observasi langsung ini peneliti dapat menilai efektivitas kampanye yang dilakukan LSM Kebaya
25 pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikalangan waria D.I Yogyakarta. ii. Observasi dokumen Peneliti memelajari dokumen-dokumen yang diberikan oleh LSM Kebaya dan dokumen yang didapatkan peneliti melalui internet, sebagai dasar dan bahan untuk meneliti permasalahan ini. Dokumen yang diobservasi adalah notulensi rapat, foto dan dokumen program-program Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan oleh LSM Kebaya. 4. Analisis Data Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang akan digunakan untuk menguji konsitensi dan inkonsistensi data dalam penelitian. Menurut Patton jenis teknik triangulasi, yaitu triangulasi data atau triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi peneliti. (Pawito, 2007: 99) Penelian ini akan menggunakan teknik triangulasi data atau triangulasi sumber. Jenis triangulasi ini menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memeroleh data berkenan dengan persoalan yang sama. Hal ini dilakukan dengan mengaplikasikan 3 teknik pengumpulan data, yakni wawancara mendalam, observasi non-partisipan, dan observasi dokumen. Sehingga muncul setidaknya 3 jenis data yang berbeda, dimana hasil data wawancara bersifat deskriptif dan eksplanatif, observasi partisipan dan observasi dokumen menunjukan data yang lebih bersifat deskriptif. Setelah itu, peneliti mereduksi data dengan melakukan pencocokan atau cross-check data, melihat tendensi-tendensi utama yang paling sering muncul, melakukan observasi dengan tujuan melihat fakta yang terjadi secara langsung
26 dilapangan mengenai objek penelitian, dan tentu saja membandingkan data dengan melakukan wawancara singkat dengan peserta yang mengikuti Kampanye Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Analisispun menjadi langkah selanjutnya yang dilakukan, dimana analisis menggunakan seperangkat teori yang telah dipaparkan yang kemudian dicocokan atau dibandingkan dengan hasil data yang ditemukan dilapangan. Setelah memaparkan hasil analisis dan jawaban dari masalah yang diangkat, maka ditarik kesimpulan yang merupakan tahap akhir dari penelitian ini. Bagan 2. Manajemen Kampanye
BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas
Lebih terperinciFAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008
1 KEBERMAKNAAN HIDUP PADA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) WANITA (STUDI KUALITATIF MENGENAI PENCAPAIAN MAKNA HIDUP PADA WANITA PASCA VONIS TERINFEKSI HIV/AIDS) Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Lebih terperinciKAMPANYE : APA DAN UNTUK APA?
KAMPANYE : APA DAN UNTUK APA? Lima puluh tahun yang lalu banyak sarjana komunikasi yang masih mempercayai kesimpulan keliru tentang kampanye. Mereka berpendapat bahwa kampanye lewat media massa hanya memberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria atau banci adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan berpenampilan seperti wanita, (Junaidi, 2012: 43). Waria adalah gabungan dari wanita-pria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat kita cenderung berpikiran oposisi biner, yaitu hanya mengakui hal-hal yang sama sekali bertentangan, misalnya hitam dan putih, baik dan buruk, kaya dan miskin,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human Health Organization) dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan. Dengan mengambil
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan populasi terbesar di Indonesia, berdasarkan data sensus penduduk jumlah remaja 10-24 tahun mencapai 64 juta pada tahun 2010 atau 28,64% dari total
Lebih terperinciBAB II ANALISA MASALAH
BAB II ANALISA MASALAH 2.1 Tinjauan Teori Hasil dari perumusan dan pembatasan masalah dari Kampanye Deteksi Dini Kanker Payudara Untuk Remaja Putri di Kota Bandung telah selesai ditentukan, maka selanjutnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena dalam hukum negara Indonesia hanya mengakui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kasus HIV/AIDS di Indonesia saat ini tergolong tinggi. Banyak ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan
Lebih terperincikomisi penanggulangan aids nasional
1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan telah terpengaruh oleh HIV sejak awal epidemi terjadi dan dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). Secara global HIV dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN , , ,793
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV dan AIDS pada saat ini merupakan salah satu permasalahan sosial yang ada di kalangan masyarakat luas. Peningkatan penyebaran HIV dan AIDS saat ini semakin mengkuatirkan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat
16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bawah Pemda Kota Bandung. Promosi kesehatan Dinas Kesehatan Kota. Bandung memiliki strategi khusus dalam mengajak masyarakat untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Promosi Kesehatan (Promkes) Dinas Kesehatan Kota Bandung termasuk salah satu bagian lembaga pemerintahan karena institusi tersebut di bawah Pemda Kota Bandung.
Lebih terperinciKegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2
Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,
Lebih terperinci1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru
Artikel 1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya Tidak dapat dipungkiri, epidemi HIV/AIDS telah berkembang begitu pesat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kasus ini paling
Lebih terperinciMata Kuliah - Media Planning & Buying
Mata Kuliah - Media Planning & Buying Modul ke: Campaign Strategy & Anggaran Iklan di Media Fakultas FIKOM Ardhariksa Z, M.Med.Kom Program Studi Marketing Communication and Advertising www.mercubuana.ac.id
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. ini. pemberdayaan digunakan sebagai alternatif pembangunan yang bersifat
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Pemberdayaan komunitas menjadi alterlatif dalam proses pembangunan saat ini. pemberdayaan digunakan sebagai alternatif pembangunan yang bersifat sentralistik, top-down dan berorientasi
Lebih terperinciBAB II TATA TERTIB LALU LINTAS BAGI KENDARAAN BERMOTOR. yang dimaksud dengan Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang
BAB II TATA TERTIB LALU LINTAS BAGI KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian Lalu Lintas Lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM) adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN IMS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN IMS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JAYAPURA, Menimbang : a. bahwa perkembangan HIV/AIDS
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR Gerakan mondial dalam rangka mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didalam dokumen Millenium
Lebih terperinciBAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
97 BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.3. Kesimpulan Buruh bangunan merupakan salah satu sektor pekerjaan yang rawan terhadap penularan dan penyebaran HIV-AIDS. Hal ini disebabkan karena pada umumnya buruh bangunan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau
BAB II 2.1. HIV/AIDS TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian HIV/AIDS Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit infeksi dan salah satunya adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Selain itu, pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual ini penyebarannya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN MASALAH
BAB II KAJIAN MASALAH 2.1 Tinjauan Teori Hasil dari perumusan dan pembatasan masalah dari Kampanye Peduli Pengaruh Negatif Gadget Terhadap Anak telah selesai ditentukan, maka selanjutnya akan dijelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Balakang. Timur yang teridentifikasi menjadi wilayah terkonsentret HIV dan AIDS selain Malang
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Kabupaten Banyuwangi merupakan Kabupaten yang terletak diujung timur pulau jawa yang mempunyai nilai potensial dan sangat strategis karena berdekatan
Lebih terperinciPROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR
PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR Oleh: Chenia Ilma Kirana, Hery Wibowo, & Santoso Tri Raharjo Email: cheniaakirana@gmail.com ABSTRAK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Nilai - nilai yang ada di Indonesiapun sarat dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan zaman
Lebih terperinciSituasi HIV & AIDS di Indonesia
Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU,
Lebih terperinciWALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,
WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan
Lebih terperinciBAB II METODE PERANCANGAN
BAB II METODE PERANCANGAN A. ORISINALITAS Dalam Kampanye Hemat Kertas Demi Hutan Indonesia pastinya mebutuhkan sinergi untuk menarik perhatian-perhatian dalam menciptakan pola pikir masyarakat sesuai dengan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu sendiri dapat diartikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN KEGIATAN
KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV merupakan suatu virus yang dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh pada manusia. Virus ini akan memasuki tubuh manusia dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk terbanyak keempat di dunia yaitu sebesar 256 juta jiwa pada tahun 2015. Pada tahun 2025 diproyeksikan jumlah penduduk
Lebih terperinciPERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI
PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S1 Diajukan Oleh : SLAMET WIDODO
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.
Lebih terperinciAsesmen Gender Indonesia
Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini berfokus pada Strategi Komunikasi BP3AKB dalam mensosialisasikan perlindungan anak kepada masyarakat di Kota Bekasi, dan bertujuan untuk memberikan gambaran dan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG
PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku
Lebih terperinci2015 INTERAKSI SOSIAL ORANG D ENGAN HIV/AID S (OD HA) D ALAM PEMUD ARAN STIGMA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya tidak akan terlepas dari sebuah interaksi. Interaksi yang berlangsung dapat mendorong para pelaku untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya
Lebih terperinciWALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG
WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan A. Latar Belakang
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Transportasi publik merupakan sarana alat transportasi umum yang disediakan oleh pemerintah suatu kota yang digunakan oleh masyarakat ketika mereka tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berusia diatas enam belas tahun berpendapat sama mengenai hubungan sesama jenis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Homoseksual (Lesbian) merupakan masalah yang kompleks, menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia baik sosial maupun agama. Hawari (2009) menyatakan bahwa istilah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks dan menjadi beban ganda dalam pembiayaan pembangunan bidang kesehatan.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,
PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER
Lebih terperinciMELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas. Gama Triono
MELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas Gama Triono www.pkbi-diy.info Fakta 2015 Prevalensi HIV & AIDS 2015 Melalui hubungan Seksual : Perempuan Rumah Tangga > dr Pekerja Seks Perempuan positif : akseptor
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Interaksi sosial orang dengan HIV/AIDS dalam pemudaran stigma diteliti dengan pendeketan kualitatif. Pendeketan ini dipilih karena aspek interaksi dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang
BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP Pada bab terakhir ini peneliti akan memaparkan mengenai kesimpulan dan saran yang terkait dengan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Peneliti akan menjelaskan
Lebih terperinciLaporan Kegiatan Workshop : Advokasi dan Berjejaring sebagai Bagian penting dalam Pengembangan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Laporan Kegiatan Workshop : Advokasi dan Berjejaring sebagai Bagian penting dalam Pengembangan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Latar Belakang Sejak pertama kali kasus HIV ditemukan di Indonesia
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. KESIMPULAN
BAB V PENUTUP Bab terakhir ini akan menjelaskan kesimpulan hasil penelitian yang sudah dilakukan dan dianalis. Bab ini juga memberikan saran terkait dengan masalah yang diteliti untuk pengembangan selanjutnya
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Budaya Menurut Linton, budaya adalah sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu. (sumber: http://www.lintasberita.web.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli/,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh human immunodeficiency
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi
Lebih terperinciRio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.
Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat melaksanakan serangkaian kegiatan acara terencana dan terorganisir (Winkel, 2012). Di dalam sekolah siswa mendapatkan pendidikan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan
Lebih terperinci2015 REKONSTRUKSI SOSIAL KEHIDUPAN KAUM WARIA DI KOTA CIMAHI
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria adalah suatu fenomena yang semakin menjamur di Indonesia. Fenomena waria adalah sebuah fenomena yang dapat ditemui di hampir semua kota besar di Indonesia.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini
Lebih terperinciKerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia.
Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia. Latar Belakang Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mereka tinggali sekarang ini contohnya dari segi sosial, budaya, ekonomi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan pemuda di Denpasar yang berasal dari daerah lain atau kota lain yang biasa dikatakan dengan anak pendatang, sangat berbeda dengan daerah yang mereka tinggali
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis, maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) yang dapat menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kejadian HIV dan AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak 15.589 kasus untuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap
Lebih terperinci