BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA. yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA. yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Perjanjian Pada Umumnya Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 13 Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu bersumber pada perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak ada kesepakatan dari para pihak ataupun tidak dari kemauan para pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak dari para pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain perikatan merupakan R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : Intermasa, 1978), hlm Noni Fransiska, Op.Cit, hlm

2 17 pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian merupakan suatu hal yang konkrit atau merupakan suatu peristiwa. 15 Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maksudnya bahwa perjanjian suatu perbuatan dari para pihak yang ditujukan agar timbul akibat hukum. Dengan demikian, perjanjian adalah suatu hubungan timbal balik, maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari menerima hakhak yang diperolehnya. 16 Wirjono Prodjdikoro menyatakan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksaaan janji tersebut. 17 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 18 Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau perikatan sepanjang tidak melanggar batasan yang telah ditentukan. Berdasarkan kehendak dari para pihak 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur, 1981), hlm M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 20.

3 18 yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam KUH Perdata. Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa : Diizinkan orang membuat peraturansendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal. 19 Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang. 20 Ahmadi Miru menyatakan bahwa: 21 Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum. Abdulkadir Muhammad menyatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu: Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983), hlm Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm Ibid, hlm. 2.

4 19 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja mengikat sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling mengikat diri terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian perbuatan termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan saja. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal. 4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengaddakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa. Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 23 Ia juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu: a. Adanya pihak-pihak b. Adanya persetujuan antara para pihak c. Adanya tujuan yang akan dicapai d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri e. Kecakapan membuat suatu perjanjian 24 Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded 22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1982), hlm Ibid. 24 Ibid.

5 20 contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undangundang. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian telah ditentukan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yakni: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. 25 Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan: 26 a) Bahasa yang sempurna dan tertulis; b) Bahasa yang sempurna secara lisan; c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan. Kesepakatan terjadi melalui 4 (empat) teori, yaitu: (1) Teori Pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori pernyataan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. 25 Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm Ibid.

6 21 Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. (2) Teori Pengiriman (Verzendtheorie) Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kelemahannya yaitu perjanjian telah mengikat pada saat orang yang menawarkan sendiri tidak tahu tanggal berapa, sehingga tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan. (3) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia mengetahui isinya apabila ia belum menerimanya. (4) Teori Penerimaan (Ontvangstheorie) Menurut teori ini bahwa kesepakatan terjadi padasaat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-

7 22 undang tidak dinyatakan tak cakap. Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan bahwa seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika belum genap berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu, dinyatakan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: a) Orang-orang yang belum dewasa; b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi, setelah dikeluarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam perbuatan hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggungjawabkannya. 27 Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak 27 R. Subekti, Op.Cit, hlm. 19.

8 23 sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik. 28 Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/pemboros di dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya. 29 Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa: Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau 30 pemboros. 3) Suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian) KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat 28 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm Ibid, hlm Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 29.

9 24 sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 31 Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitur) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang seorang debitur, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur. Pasal 1824 KUH Perdata dinyatakan bahwa : penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas 31 Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 18.

10 25 penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya. Dalam pandangan KUH Perdata, kewajiban penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitur yaitu untuk membayar hak tagih kreditur manakala debitur cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditur adalah kebendaan yang dinyatakan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu. Dalam perikatan untuk tidak melakuan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja yang wajib dirahasiakan oleh debitur misalnya terhadap hak (atas kekayaan intelektual) milik kreditur, yang dalam pandangan KUH Perdata adalah juga merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya belum menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

11 26 KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. 4) Suatu sebab yang halal Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Perjanjian yang berisi suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab, ia dianggap tidak pernah ada. 32 Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut: a) Syarat Subjektif Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi kesepakatan 32 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 96.

12 27 mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian. b) Syarat Objektif Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu, hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Akibat hukum dari kedua syarat tersebut apabila tidak dapat terpenuhi adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUH Perdata). Dalam syarat subjektif, apabila perjanjian yang disepakati itu diberikan karena kekhilafan, dengan paksaan, atau penipuan maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Lebih lanjut lagi dapat diperjelas, kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai diadakannya pembatalan itu. Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum, ini berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada tapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada. 33 Perjanjian dikenal beberapa asas penting, yaitu: 34 (a) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 1] Membuat atau tidak membuat perjanjian 33 A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm Salim H.S, Op.Cit, hlm. 9.

13 28 2] Mengadakan perjanjian dengan siapapun 3] Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya 4] Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang maupun belum diatur dalam undang-undang. 35 Asas kebebasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. (b) Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian, 35 A Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hlm 18.

14 29 sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak tercapainya kata sepakat. Sejak tercapainya kata sepakat maka perjanjian itu sudah mempunyai akibat hukum dan mengikat mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan itu. 36 (c) Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak yang berkepentingan harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang. Asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian bermaksud untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. Asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian yang mereka buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 37 (d) Asas Itikad Baik (Goede Trouw) Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yaitu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus 36 Ibid, hlm Ibid, hlm. 20.

15 30 melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari pihak. Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif. 38 Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian yang objektif, maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata). (e) Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseoranagan saja. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, yaitu pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1317 KUH Perdata bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, 38 Ibid, hlm. 19.

16 31 atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. 39 B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama Istilah Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut dengan PKB) timbul setelah diundangkannya UUSP, dimaksudkan untuk mengganti istilah sebelumnya yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undang-undang berpendapat bahwa pengertian dari PKB sama dengan KKB. UUK menggunakan istilah PKB, karena substansi PKB ini sendiri memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dihasilkan melalui perundingan atau perjanjian dan isinya bersifat mengikat. Sentanoe Kertonegoro berpendapat lain mengenai persamaan pengertian PKB dengan KKB, beliau menyatakan bahwa: PKB adalah: 1. Merupakan dasar dari individualisme dan liberalisme yang berpendapat bahwa diantara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam perusahaan. 2. Bebas untuk melakukan perundingan dan juga membuat perjanjian tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. 3. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar masingmasing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan. 4. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar-menawar. Adapun KKB, yaitu: a. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong-royong. 39 Salim H.S, Op.Cit, hlm. 12.

17 32 b. Mereka bebas melakukan perundingan dan memuat perjanjian asal saja, tetapi memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara. c. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar-menawar, tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran, dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab. d. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak. 40 Perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat digunakan oleh majikan dalam memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk menekankan buruh dalam memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih ditekankan bahwa semua pihak tidak hanya mengutamakan kepentingannya, tetapi juga harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum provinsi/kota. 41 Pasal 1 angka 21 UUK dinyatakan pengertian PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang membuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. PKB merupakan perundingan para pihak terkait yaitu serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. PKB tidak hanya mengikat para pihak yang 40 Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), (Jakarta : YTKI, 1999), hlm Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 93.

18 33 membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja tetapi juga mengikat pihak ketiga yang tidak ikut dalam perundingan yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi PKB dan apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berunding atau tidak. 42 Perundingan PKB harus didasari dengan itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat sehingga hasil yang dicapai dapat dilaksanakan bersama dalam upaya menciptakan hubungan yang harmonis didalam perusahaan. Penggunaan istilah bersama dalam PKB ini memberikan kekuatan berlakunya perjanjian yaitu adanya kekuatan mengikat pengusaha, atau beberapa pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam suatu perusahaan hanya boleh dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku untuk pengusaha dan semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam satu perusahaan tidak terdapat perbedaan syarat-syarat kerja antara pekerja/buruh satu dengan pekerja/buruh lainnya. Apabila perusahaan memiliki cabang perusahaan, maka dapat dibuat PKB induk yang berlaku untuk di semua cabang dan PKB turunan yang berlaku untuk di masing-masing cabang perusahaan. PKB induk mengatur ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan PKB turunan memuat pelasanaan PKB induk yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing cabang perusahaan. Apabila belum ada kesepakatan dalam PKB turunan maka tetap berlaku PKB induk (Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011). 42 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar), (Jakarta : Pradnya Paramita, 2007), hlm. 129.

19 34 C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama PKB dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Pihak-pihak yang dapat mengadakan PKB sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 adalah: 1. Dari pihak pengusaha, yaitu: a. Pengusaha, atau b. Perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang berbadan hukum. 2. Dari pihak pekerja, yaitu: a. Serikat pekerja, atau b. Serikat-serikat pekerja yang telah terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja. Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan yang tidak membentuk serikat pekerja. Namun demikian, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja, yang

20 35 merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Faktor-faktor tersebut adalah: 43 1) Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja a) Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak memanfaatkannya. b) Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya. c) Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai. d) Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil. 2) Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya keinginan membentuk serikat pekerja a) Komunikasi yang efektif. b) Kepercayaan dan keterbukaan diakses pada tanggal 4 April 2014, pukul

21 36 c) Kompensasi yang efektif dengan sistim penggajian dan kesejahteraan diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan. d) Lingkungan kerja yang sehat dan aman. UUK menjelaskan bahwa dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat 1 UUK). Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara (Pasal 19 ayat 2 UUK). Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula. 44 Tempat perundingan pembuatan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau tempat lain sesuai 44 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 73.

22 37 dengan kesepakatan kedua belah pihak. Biaya perundingan PKB menjadi beban pengusaha, kecuali disepakatan lain oleh kedua pihak (Pasal 17 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011). Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati terlebih dahulu tata tertib dalam perundingan yang sekurang-kurangnya memuat (Pasal 17 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011): (1) Tujuan pembuatan tata tertib, (2) Susunan tim perunding, (3) Lamanya masa perundingan, (4) Materi perundingan, (5) Tempat perundingan, (6) Tata cara perundingan, (7) Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan, (8) Sahnya perundingan, dan (9) Biaya perundingan Tim perunding merupakan perwakilan dari masing-masing pihak (serikat pekerja dan pengusaha) dengan pemberian kuasa penuh untuk melakukan perundingan pembuatan PKB dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh. Ketentuan tata cara pembuatan PKB menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 yaitu:

23 38 (a) PKB dirundingkan oleh serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Salah satu pihak (serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha) mengajukan pembuatan PKB secara tertulis, disertai konsep PKB; (b) Minimal anggota serikat pekerja/serikat buruh 50% (lima puluh persen) dari jumlah pekerja/buruh yang ada pada saat petama pembuatan PKB; (c) Perundingan dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan tertulis; (d) Pihak-pihak yang berunding adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan pimpinan perusahaan dengan membawa surat kuasa masing-masing; (e) Perundingan dilaksanakan oleh tim perunding (negosiator) dengan jumlah masing-masing sesuai kebutuhan dengan ketentuan masingmasing paling banyak 9 (sembilan) orang; (f) Batas waktu perundingan bipartid sesuai kesepakatan dalam tata tertib, apabila dalam perundingan PKB tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib, maka kedua belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perundingan gagal; (g) Apabila dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan

24 39 kembali, maka para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya yang memuat: 1] Materi perjanjian kerja bersama yang belum mencapai kesepakatan; 2] Pendirian para pihak; 3] Risalah perundingan; 4] Tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak. (h) Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam poin 6 maka salah satu pihak atau kedua belah pihak melapor kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan perihal gagalnya perundingan tersebut untuk diselesaikan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Instansi di bidang ketenagakerjaan yang dimaksud adalah: 1] Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya PKB hanya mencakup satu Kabupaten/Kota; 2] Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi, apabila lingkup berlakunya PKB lebih dari satu Kabupaten/Kota di satu Provinsi; 3] Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya PKB meliputi lebih dari satu provinsi.

25 40 (i) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud poin 9 dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004; (j) Apabila penyelesaiaannya melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada menteri untuk menetapkan langkah-langkah penyelesaian, laporan tersebut memuat: 1] Materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai kesepakatan; 2] Pendirian para pihak; 3] Kesimpulan perundingan; 4] Pertimbanggan dan saran penyelesaian; Dalam hal ini menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan PKB; (k) Apabila berbagai cara telah ditempuh untuk menyelesaiakan pembuatan PKB namun tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan; (l) Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, maksud pendaftaran PKB adalah sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan PKB.

26 41 Untuk keabsahan suatu PKB, maka harus memenuhi syarat formal dan material yaitu sebagai berikut: 1] Syarat formal a] Harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak; b] Memuat nama, tempat kedudukan dan alamat serikat pekerja/buruh, nomor dan tanggal pencatatan serikat pekerja/buruh pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan; c] PKB hanya diadakan paling lama 2 tahun dan kemudian dapat diperpanjang. 2] Syarat material a] Dilarang memuat aturan yang mewajibkan pengusaha hanya menerima atau menolak dari satu golongan (berkenaan dengan suku, agama, ras, golongan); b] Dilarang memuat aturan yang mewajibkan seorang pekerja supaya hanya bekerja pada pengusaha suatu golongan. Dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan, PKB merupakan salah satu sarana yang sangat penting sehingga tercapai tingkat produktifitas yang tinggi serta tercapainya kesejahteraan pekerja, maka jangka waktu PKB jangan terlalu pendek, akan tetapi juga jangan terlalu lama agar dapat menyesuaikan tingkat ekonomi yang selalu berubah-ubah Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 62.

27 42 Pasal 123 UUK menjelaskan bahwa masa berlaku PKB paling lama 2 (dua) tahun, dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Apabila selama masa berlakunya PKB kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perubahan, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku. Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang masih berlaku, namun jika dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka PKB yang sedang berlaku, masih berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Saat berlakunya PKB pada saat ditandatangani kecuali ditentukan lain dalam PKB sesuai dengan ketentuan Pasal 132 UUK. Pasal 124 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa PKB paling sedikit memuat: [1] Hak dan kewajiban pengusaha; [2] Hak dan kewajiban serikat pekerja/ serikat buruh serta pekerja atau buruh; [3] Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB; [4] Tanda tangan para pihak membuat PKB. Ketentuan dalam PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 124 ayat (2) UUK). Jika isi PKB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 124 ayat (3) UUK).

28 43 D. Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama PKB pada dasarnya merupakan suatu cara dalam rangka mengembangkan partisipasi pekerja untuk ikut andil dalam menentukan pengaturan syarat kerja dalam pelaksanaan hubungan kerja, sehingga dengan adanya partisipasi tersebut diharapkan timbul suatu sikap ataupun rasa memiliki dan juga rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan. PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Perundingan PKB ini haruslah didasari oleh itikad baik dan berkemauan bebas dari kedua belah pihak. Perundingan PKB dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat. Lamanya perundingan PKB ditetapkan pada kesepakatan para pihak dan dituangkan ke dalam tata terib perundingan. 46 Pembentukan PKB berdasarkan Pasal 119 dan Pasal 120 UUK dibagi menjadi 2 yaitu untuk perusahaan yang memiliki satu serikat pekerja/ serikat buruh dan perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja/ serikat buruh. Ketentuan Pasal 119 UUK berlaku bagi perusahaan yang memiliki satu serikat pekerja/serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila: 1. Memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan tentang suatu hal, Suria Ningsih, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, (Medan : USU Press, 2011), hlm.

29 44 maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 2. Mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. 3. Apabila tidak terpenuhi, dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara. Ketentuan Pasal 120 UUK bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat buruh, yaitu batasan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila: a. Jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut. b. Apabila tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha. c. Apabila tidak terpenuhijuga, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh. Tafsiran dari ketentuan diatas terdapat kemungkinan bahwa pekerja/buruh dapat menjadi pihak dalam perundingan pembuatan PKB apabila jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh terdapat 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di

30 45 perusahaan yang bersangkutan dan mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi maka dibentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh. 47 Tempat untuk melaksanakan perundingan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau di kantor serikat pekerja/serikat buruh ataupun bisa juga dilaksanakan di tempat lain yang sesuai dengan kesepakatan para pihak. Dan semua biaya yang timbul dalam pelaksanaan perundingan PKB akan menjadi beban perusahaan atau pengusaha, kecuali telah disepakati oleh para pihak. PKB dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal PKB dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka PKB tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi yang telah disumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai PKB yang telah memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 116 ayat 3 UUK. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Kerja Bersama, PKB sekurang-kurangnya harus memuat: 1) Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh; 2) Nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan; 47 Maimun, Op.Cit, hlm. 131.

31 46 3) Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota; 4) Hak dan kewajiban pengusaha; 5) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh; 6) Jangka waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan 7) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. Menurut ketentuan di dalam Pasal 124 ayat 1 UUK, PKB haruslah paling sedikit memuat: a) Hak dan kewajiban pengusaha; b) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; c) Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. Secara yuridis formal dasar hukum dalam pembuatan PKB didasarkan atas: (1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (2) Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. (3) Undang-Undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98.

32 47 (4) Undang-Undang No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Pekerja dan Majikan. (5) Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1954 tentang Tata Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan. (6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 16 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. E. Manfaat Dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama PKB merupakan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh maupun pengusaha. PKB merupakan salah satu prasarana dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial yang serasi, aman, dan dinamis berdasarkan Pancasila, sehingga manfaat dari PKB itu sendiri adalah: Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih mengetahui dan memahami tentang hak dan kewajiban masing-masing; 2. Mengurangi timbulnya perselisihan industrial atau hubungan ketenagakerjaan sehingga dapat menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha; 3. Membantu ketenangan kerja pekerja serta mendorong semangat dan kegiatan bekerja lebih tekun dan rajin; 48 Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), (Jakarta : Direktorat Persyaratan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005), hlm. 7-8.

33 48 4. Pengusaha dapat menyusun rencana-rencana serta menetapkan labour cost yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya PKB; 5. Perundingan membuat PKB merupakan lembaga bipartid yang sangat efektif dimana kedua belah pihak dapat bertemu dan memperpadukan kepentingan masing-masing yang hasil tanpa campur tangan pihak lain; 6. Dapat menciptakan suasana musyawarah dan kekeluargaan dalam perusahaan. 49 PKB akan menekankan serikat pekerja untuk lebih hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya sebagai upaya yang paling akhir dan lebih mengedepankan proses dialog atau negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya. Selain dari pada manfaat terbentuknya PKB yang merupakan kepentingan pekerja maupun pengusaha juga mempunyai fungsi yang lain: 50 a. Sebagai pedoman induk mengenai hak dan kewajiban bagi para pekerja dan pengusaha, sehingga dapat dihindarkan adanya perbedaanperbedaan pendapat yang tidak perlu antara pekerja dengan pihak pengusaha; b. Sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan kelangsungan usaha bagi perusahaan; c. Merupakan partisipasi pekerja dalam penentuan atau pembuatan kebijakan dalam perusahaan Suprihanto, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : BPFE, 1986), hlm. 50 Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Op.Cit, hlm. 7.

34 49 Berkaitan dengan fungsi PKB, dapat di jelaskan lebih lanjut tentang fungsi yang diatas yaitu fungsi pertama PKB adalah sebagai pedoman induk. Dalam Pasal 127 UUK menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. Hal ini menempatkan PKB sebagai pedoman induk bagi perjanjian kerja, dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian kerja. Fungsi PKB sebagai pedoman induk memberi kemudahan pada pekerja dalam membuat perjanjian kerja. Adanya kemudahan ini sesuai dengan kebutuhan pekerja, yang pada umumnya tidak mampu menyusun suatu perjanjian kerja yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Oleh karena itu, ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan PKB, dapat menjamin suatu perjanjian kerja yang memberikan dasar hukum pada kedudukan pekerja dalam proses produksi. 51 Fungsi kedua PKB adalah menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan kelangsungan usaha bagi pengusaha. Bagi pekerja, ketenangan kerja berarti, adanya kepastian untuk melaksanakan hubungan kerja dalam suatu jangka waktu yang cukup lama dan diharapkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sehingga dapat memenuhi kebutuhannya secara teratur. Selama masa berlakunya PKB, para pekerja tidak lagi perlu memikirkan, bagaimana memperjuangkan kepentingannya. Segala perhatiannya dapat dicurahkan dalam melaksanakan kewajibannya berupa kerja dengan sebaik-baiknya tanpa lagi setiap saat terlibat mogok kerja maupun aksi demo dalam perjuangan untuk memperoleh pengakuan 51 Lalu Husni, Op.Cit, hlm. 54.

35 50 atas haknya sebagai pekerja. Selain ketenangan kerja yang diperoleh pekerja, PKB memberikan pula jaminan pada pengusaha untuk merencanakan kelangsungan usahanya. Pengusaha sangat membutuhkan kondisi, dimana ia dapat menyusun dan melaksanakan rencana produksi untuk suatu jangka waktu yang lama dengan ketidakpastian yang minimum, juga tidak perlu lagi memikirkan tentang aksi demo atau mogok kerja dari pekerja karena pekerja sudah mempunyai wadah untuk menyampaikan aspirasinya melalui serikat pekerja dalam suatu pembuatan PKB. 52 Dengan adanya ketenangan baik dari sisi pekerja maupun pengusaha, maka akan menciptakan suasana ketenagakerjaan yang kondusif yang akan berdampak secara nasional. Fungsi ketiga dari PKB adalah partisipasi pekerja dalam penentuan atau pembuatan kebijakan dalam perusahaan. Partisipasi pekerja dalam pembuatan peraturan perusahaan sebatas, diajak berkonsultasi dengan memberikan saran serta pertimbangan (Pasal 110 UUK) dan memberi persetujuan tertulis terhadap peraturan perusahaan yang telah disusun oleh pengusaha secara sepihak. Jika selama berlangsungnya hubungan kerja diadakan peraturan perusahaan yang baru atau diadakan perubahan pada peraturan perusahaan yang sedang berlaku, dan pekerja tidak menyetujui ketentuan-ketentuan yang baru tersebut, maka pekerja dapat mengajukan permohonan pada pengadilan, tidak untuk membatalkan peraturan perusahaan tersebut, tetapi untuk memutuskan hubungan kerja antara dia dengan pengusaha (Pasal 1601 k BW). 52 Ibid, hlm. 56.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Pengertian Perjanjian kerja bersama Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya Undang-undang No.21 Tahun 2000. Istilah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh : Ruben L. Situmorang 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA, PEMBERI KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja 2.1.1. Pengertian pekerja rumah tangga Dalam berbagai kepustakaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

copyright by Elok Hikmawati 1

copyright by Elok Hikmawati 1 copyright by Elok Hikmawati 1 Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata-tertib perusahaan. Bagian Keenam Bab XI Undang-Undang No.13 th.2003 tentang Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA

ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA LIGA HUKUM Vol.1 No. 1 JANUARI 2009 ASPEK PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN KERJA Eko Wahyudi Fakultas Hukum UPN Veteran Jatim Abstrak Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan hal yang sangat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA 2.1 Serikat Pekerja 2.1.1 Pengertian Serikat Pekerja Pengertian serikat pekerja/buruh menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial http://deden08m.com 1 Tujuan Serikat Pekerja (Mondy 2008) Menjamin dan meningkatkan standar hidup dan status ekonomi dari para anggotanya. Meningkatkan

Lebih terperinci

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial http://deden08m.com 1 Tujuan Serikat Pekerja (Mondy 2008) Menjamin dan meningkatkan standar hidup dan status ekonomi dari para anggotanya. Meningkatkan

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka yang selama ini dikesampingkan oleh perusahaan. Wadah itu adalah

BAB I PENDAHULUAN. mereka yang selama ini dikesampingkan oleh perusahaan. Wadah itu adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh membutuhkan suatu wadah yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang selama ini dikesampingkan oleh perusahaan. Wadah itu adalah adanya pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN

BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN 42 BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN A. Perjanjian pada Umumnya Suatu perikatan adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris,

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata ovreenkomst dalam bahasa Belanda atau istilah agreement dalam bahasa Inggris.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedua belah

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan perlu dilakukan upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Hubungan Industrial Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

Hukum Kontrak Elektronik

Hukum Kontrak Elektronik Kontrak Elektronik (E-Contract) Hukum Kontrak Elektronik Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak online (online contract) bagi kontrak elektronik (e-contract) dan mendefinisikan kontrak online sebagai:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci