REFERAT EPISTAKSIS. Pembimbing: dr. Chippy Ahwil, Sp.THT-KL. Disusun Oleh: Ruth Dameasih / Anita Darmawijaya /

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "REFERAT EPISTAKSIS. Pembimbing: dr. Chippy Ahwil, Sp.THT-KL. Disusun Oleh: Ruth Dameasih / Anita Darmawijaya /"

Transkripsi

1 REFERAT EPISTAKSIS Pembimbing: dr. Chippy Ahwil, Sp.THT-KL Disusun Oleh: Ruth Dameasih / Anita Darmawijaya / Ivan Susanto / Bobby Sutojo / DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TINGKAT I RADEN SAID SUKANTO JAKARTA PERIODE 30 JULI 1 SEPTEMBER 2012

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 2 PENDAHULUAN... 3 Anatomi... 3 Patofisiologi... 6 Etiologi... 6 Epidemiologi Prognosis PRESENTASI KLINIS Anamnesa Pemeriksaan Fisik Komplikasi DIAGNOSIS BANDING Rinitis Alergi Sinusitis Trauma Nasal foreign bodies (NFBs) Tumor Endometriosis Nasal Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Osler-Weber-Rendu Syndrome/ Hereditary hemorrhagic telangiectasia Hemofilia Von Willebrand Disease (VWD) Toksisitas Antikoagulan PENATALAKSANAAN Pemeriksaan Penunjang Pengobatan Pengobatan Farmakologi Komplikasi Edukasi Pasien DAFTAR PUSTAKA

3 PENDAHULUAN Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua kepada anak kecilnya. Sebagian besar epistaksis adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada beberapa yang terjadi berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun merupakan masalah kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Sebagian besar penyebab epistaksis tidak dapat diketahui, tapi seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Prevalensi sebenarnya dari epistaksis tidak dapat diketahui karena sebagian besar kejadian dapat berhenti sendiri sehingga tidak terlaporkan. Ketika bantuan medis diperlukan, biasanya dikarenakan kejadian yang berulang atau parah. Perawatan tergantung dari gambaran klinis, pengalaman dokter, dan ketersediaan pelayanan medis. Anatomi Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar dan terpenting dari Arteri karotis interna dan eksterna. Sistem arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui Arteri fasialis dan maksilaris interna. Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian depan rongga hidung dan septum anterior melalui cabang septum. Arteri fasialis bercabang menjadi Arteri labialis superior (cabang terminal). Arteri maksilaris interna masuk melalui fosa pterigomaksilaris dan bercabang menjadi 6 cabang yaitu Arteri alveolaris posterior superior, palatina desenden, infraorbitalis, sfenopalatina, kanal pterigoid, dan faringeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanal palatina mayor dan memperdarahi dinding lateral hidung, lalu kembali ke dalam rongga hidung melalui cabang di foramen insisivus untuk memperdari septum anterior. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung dekat dengan perlekatan posterior konka media untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan bercabang lagi untuk memperdarahi septum. Arteri karotis interna berkontribusi terhadap vaskularitas hidung melalui Arteri oftalmikus. Arteri ini memasuki tulang orbital melalui fisura orbital superior dan bercabang menjadi beberapa cabang. Arteri etmoidalis posterior keluar orbit melalui foramen etmoidalis posterior yang terletak 2-9mm di depan kanal optikus. 3

4 Arteri etmoidalis anterior yang lebih besar meninggalkan orbit melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan posterior menyebrangi atap etmoid untuk masuk fossa kranialis anterior lalu turun ke dalam rongga hidung melalui lempengan kribiformis, di sini mereka bercabang menjadi cabang lateral dan septal untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan septum. Pleksus Kiesselbach atau area Little adalah jaringan anastomosis dari pembuluh-pembuluh darah yang terletak di septum kartilago anterior, pleksus ini menerima suplai darah dari arteri karotis interna dan eksterna. Banyak arteri yang memperdarahi septum mempunyai hubungan anastomosis di daerah ini yaitu Arteri etmoidalis anterior, labialis superior, sfenopalatina, dan palatina mayor. Bagian atas rongga hidung A. karotis interna A. oftalmikus A. etmoidalis anterior A. etmoidalis posterior Mempe rdarahi Bagian atas rongga hidung Dinding lateral hidung Septum anterior Bagian bawah rongga hidung A. karotis eksterna A. maksilaris interna A. fasialis A. palatina desenden A. sfenopalatina A. labialis superior Mempe rdarahi Bagian bawah rongga hidung Dinding lateral hidung Septum anterior 4

5 Anatomi perdarahan dalam rongga hidung 5

6 Patofisiologi Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah menjadi terpajan kemudian pecah. Lebih dari 90% pendarahan terjadi di daerah anterior dan berasal dari area Little dimana terbentuk pleksus Kiesselbach di septum. Pleksus Kiesselbach adalah dimana pembuluh dari Arteri karotis interna (Arteri etmoidalis anterior dan posterior) dan eksterna (cabang Arteri maksilaris interna) berkumpul. Pendarahan kapiler atau vena tersebut mengalir secara perlahan walaupun pemompaan darah yang besar pada arteri asalnya. Pendarahan anterior dapat juga berasal dari konka inferior bagian depan. Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung, biasanya terjadi lebih berat dan sering berasal dari arteri (contoh: cabang Arteri sfenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Sumber posterior mendatangkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya sumbatan jalan nafas, aspirasi darah, dan kesulitan mengendalikan pendarahan. Etiologi Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara lingkungan), kelainan sistemik (kelainan darah, penyakit kardiovaskuler, kelainan kongenital, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, dan kelainan hormonal), dan idiopatik. Penyebab tersering adalah trauma lokal, diikuti oleh trauma fasial, benda asing, infeksi nasal atau sinus, dan inhalasi udara kering yang berkepanjangan. Anak kecil biasanya mengalami epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran nafas atas. 1. Trauma Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung terusmenerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum anterior. Skenario ini sering terjadi pada anak kecil. Benda asing di rongga hidung (nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan epistaksis walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras. 6

7 Trauma akut fasial dan nasal sering menyebabkan epistaksis. Pendarahan yang berasal dari laserasi minor pada mukosa biasanya terbatas. Namun, trauma fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas) dapat menyebabkan pendarahan berat yang memerlukan tampon nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat menandakan adanya aneurisma traumatik. Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan pada trauma nasal dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa) hingga berat (karena transeksi pembuluh darah besar). Spina septum yang tajam dapat juga menyebabkan epistaksis, pendarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang membengkak. 2. Udara Kering Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa, oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca dingin dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi mukosa nasal. 3. Obat-obatan Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan epistaksis. Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), terutama aspirin juga sering terlibat karena aspirin menyebabkan asetilasi dari enzim cylooxygenase secara ireversibel sehingga berdampak pada gangguan agregasi platelet. 4. Kelainan Septum Deviasi dan taji septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal sehingga menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan biasanya terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari perforasi septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi sumber epistaksis. 5. Inflamasi / Infeksi Lokal 7

8 Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan inflamasi mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada kasus ini biasanya ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal. Penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener, tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan mukosa menjadi kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang. Bayi dengan gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat mengalami epistaksis karena inflamasi. 6. Tumor Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien yang terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis berat dapat timbul pada hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma. Rabdomiosarkoma intranasal, walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak kecil. Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat menyebabkan epistaksis berat sebagai gejala awalnya. 7. Kelainan darah Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari trauma ringan atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital adalah hemofilia dan penyakit von Willebrand. Koagulopati yang didapat bisa primer (karena penyakit) atau sekunder (karena perawatannya). Koagulopati didapat yang sering adalah trombositopenia dan penyakit liver yang disertai pengurangan signifikan dari faktor-faktor pembekuan darah. Walaupun tanpa penyakit liver, peminum alkohol sering berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis. Obat antikoagulan oral juga menjadi faktor resiko epistaksis. 8. Kelainan pembuluh darah Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut. Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-Weber-Rendu Syndrome) adalah penyakit autosomal dominan yang berhubungan dengan pendarahan berulang dari anomali pembuluh darah. kondisi ini dapat berdampak pada pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri, 8

9 menyebabkan pembentukan telangiektasia dan malformasi arteri-vena. Pemeriksaan patologi dari lesi ini mengungkapkan kurangnya elastisitas atau jaringan muskular pada dinding pembuluh darah, sehingga pendarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung tidak berhenti spontan. Berbagai sistem organ seperti pernafasan, gastrointestinal, dan alat kelaminsaluran kencing dapat terlibat. Derajat keparahan epistaksis pada individual tersebut beragam tapi hampir semuanya berulang. Kelainan pembuluh darah lainnya yang memiliki faktor resiko epistaksis adalah neoplasma pembuluh darah, aneurisma, nefritis kronis, sirosis hepatis, diabetes mellitus, dan endometriosis. 9. Migrain Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah terlibat dalam patogenesis migrain. 10. Hipertensi Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami. Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan darah yang tinggi. Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang mungkin dikarenakan kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang kronis. Hipertensi walaupun demikian, jarang menjadi penyebab langsung epistaksis. Umumnya, epistaksis disertai kegelisahan menyebabkan peningkatan akut tekanan darah. Penanganannya, oleh karena itu, harus difokuskan pada pengendalian pendarahan dan mengurangi kegelisahan yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah. Batuk berlebihan yang menyebabkan hipertensi vena nasal dapat diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis. 11. Infeksi Sistemik Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, penyakit lainnya adalah demam tifoid, influensa, dan morbili. 12. Gangguan hormonal Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan hormonal. 13. Idiopatik 9

10 Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali. Sekitar 10% pasien epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya walaupun setelah dilakukan evaluasi lengkap. Epidemiologi Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar kejadiannya sembuh dengan perawatan oleh diri sendiri sehingga tidak terlaporkan. Tetapi, ketika beberapa sumber ditinjau, angka kejadian epistaksis dalam populasi umum sekitar 60%, dengan kurang dari 10% yang mencari pertolongan medis. Distribusi umur bersifat bimodal, dengan puncak pada anak kecil (2-10 tahun) dan individu usia lanjut (50-80 tahun). Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa penyakit koagulopati atau patologi nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal (mengorek hidung) tidak terjadi hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki angka kejadian yang rendah. Harus dipikirkan penggunaan kokain pada anak remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada wanita (42%). Prognosis Untuk sebagian besar populasi, epistaksis dianggap hanyalah gangguan ringan. Tetapi, masalah ini kadang-kadang dapat mengancam nyawa, terutama pada pasien usia lanjut dan pasien dengan masalah kesehatan. Untungnya, kematian jarang dan biasanya karena komplikasi dari hipovolemia, dengan pendarahan berat atau keadaan penyakit penyebabnya. Secara keseluruhan, prognosisnya baik tapi beragam; dengan perawatan yang benar, sangatlah baik. ketika penanganan suportif mencukupi dan penyakit penyebabnya terkontrol, sebagian besar pasien jarang mengalami pendarahan berulang. Beberapa dapat mengalami rekurensi minor yang dapat berhenti secara spontan atau dengan perawatan minimal oleh diri sendiri. Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan tampon atau perawatan yang lebih agresif. Pasien dengan epistaksis yang terjadi karena membran kering atau trauma ringan biasanya baik-baik saja, tanpa dampak jangka panjang. Pasien dengan HHT cenderung mengalami rekurensi yang banyak walaupun telah dilakukan pengobatan. 10

11 Pasien dengan pendarahan karena masalah hematologi atau kanker memiliki prognosis yang beragam. Pasien yang telah menjalankan tampon nasal adalah subjek dalam peningkatan morbiditas. Tampon posterior dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan depresi pernafasan. Tampon di manapun dapat menyebabkan infeksi. 11

12 PRESENTASI KLINIS Anamnesa Pasien sering menyatakan bahwa pendarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya pendarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya pendarahan, frekuensi, lamanya pendarahan, dan riwayat pendarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan pendarahan, misalnya : riwayat darah tinggi, arteriosklerosis, koagulopati, riwayat pendarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlopidin, serta kebiasaan merokok, dan minum minuman keras. Pemeriksaan Fisik Untuk pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja, dan harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum, hidung dibuk, lalu dengan alat penghisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung, baik cairan, sekret, maupun darah yang sudah membeku. Sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung, diobservasi untuk mencari tempat, dan faktor-faktor penyebab pendarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anastesi lokal seperti pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah menit, kapas dalam hidung dikeluarkan, dan evaluasi dapat dilakukan. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa : 12

13 a. Rhinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung, dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat. b. Rhinoskopi posterior. Pemeriksaan nasofaring dengan rhinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat dari penanganan yang dilakukan. Akibat dari epistaksis yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan iskemi serebri, insufisiensi koroner, dan infark miokard. Hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini, maka penatalaksanaan terhadap syok harus segera dilakukan. Komplikasi lain yang juga dapat ditemukan diantaranya: hematom atau perfoasi septum, deformitas hidung, nekrosis mukosa hidung, dan aspirasi. 13

14 DIAGNOSIS BANDING Rinitis Alergi Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Gelaja yang dialami penderita rhinitis alergi adalah serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu serangan. Rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi. Tidak ada demam. Gejala sering tidak lengkap. Reaksi inflamasi yang ditimbulkan rinitis alergi juga dapat menyebabkan epistaksis. Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit telah berlangsung lama (>2 tahun) adalah bayangan gelap didaerah bawah mata (allergic shinner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute). Lama-lama akan mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease). Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria atau eksim. Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai banyak sekret encer. Diluar serangan, mukosa kembali normal, kecuali bila telah berlangsung lama. Sinusitis Merupakan infeksi pada sinus yang dapat disebabkan oleh infeksi, alergi, ataupun autoimun. Reaksi inflamasi sinusitis yang sering, terutama pada sinusitis kronis, dapat menyebabkan epistaksis. Infeksi sinus lebih lanjut diklasifikasikan menjadi akut, sub akut dan kronis, tergantung pada durasi dari kondisi. Siusitis akut (mendadak) berlangsung selama kurang dari 4 minggu, sub-akut selama sekitar 4-6 minggu, dan kronis (jangka panjang) sinusitis biasanya berlangsung selama lebih dari 12 minggu Gejala sinusitis antara lain adalah: 14

15 Hidung tersumbat dengan lendir hijau atau kuning, yang dapat mengalir di bagian belakang hidung ke tenggorokan dan dapat menyebabkan sakit tenggorokan dan batuk Demam Sakit pada kepala dan wajah Sakit pada telinga Sakit pada gigi dan rahang atas Sinusitis frontal dapat menyebabkan rasa sakit tepat di atas alis dan dahi Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan rahang atas, gigi dan pipi terasa sakit Sinusitis etmoidalis dapat menyebabkan sakit di sekitar mata dan sisi hidung. Sinusitis sfenoidalis dapat menyebabkan sakit di sekitar mata dan di bagian atas kepala Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan CT-Scan dan endoskopi nasal. Biopsi untuk kultur dan sinusoskopi juga dapat dilakukan. Trauma Trauma dapat menyebabkan pendarahan pada hidung. Trauma ini dapat dibagi dalam trauma ringan (mengorek rongga hidung, bersin yang terlalu kuat) ataupun trauma hebat (dipukul, kecelakaan). Barotrauma juga dapat menyebabkan pendarahan karena adanya perubahan tekanan udara atau atmosfir (scuba, landas pesawat terbang). Nasal foreign bodies (NFBs) Masuknya benda asing ke liang hidung, baik benda-benda organik (makanan, kayu, karet) maupun inorganik (plastik, besi). Gejala yang dapat timbul adalah adanya epistaksis, bau tidak sedap, bersin, atau rasa sakit. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan nasal dengan spekulum. Pemeriksaan radiologi juga dapat dilakukan untuk membantu mengidentifikasi benda yang masuk, dimana kebanyakan NFBs adalah radiolusen, dengan benda metalik dan yang mengandung kalsium sebagai pengecualian. Tumor Pendarahan pada rongga hidung dapat terjadi karena adanya tumor intranasal seperti hemangioma, karsinoma, angiofibroma, dan lainnya. Gejala lain yang dapat 15

16 timbul adalah adanya rinorea, sakit kepala, benjolan/nyeri/baal pada daerah sekitar hidung, wajah, leher dan lainnya, gangguan penglihatan, dan nyeri pada daerah sinus. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah melihat adanya benjolan pada daerah sekitar hidung, kepala, dan leher, pembesaran kelenjar limfa, pemeriksaan radiologi kepala, leher, dan dada, nasoskopi, dan biopsi jaringan. Endometriosis Nasal Kondisi dimana sel dari dinding uterus (endometrium) tumbuh pada bagian tubuh lainnya. Endometriosis dapat juga muncul pada bagian nasal yang disebut sebagai endometriosis nasal. Endometriosis nasal dapat menyebabkan pendarahan pada hidung. Selain itu, dapat muncul gejala-gejala endometriosis yang berupa dismenore, nyeri panggul kronis, dispareunia, diskezia, dan disuria. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Kelainan pendarahan yang terjadi karena adanya aktivasi yang abnormal dari proses koagulasi dan fibrinolitik pada pembuluh darah kecil. Pada DIC, biasanya diagnosa dapat ditegakkan dengan menilai ada atau tidaknya trombositopenia, prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT) yang memanjang, konsentrasi fibrinogen yang rendah, dan bertambahnya fibrin degradation products (D-Dimer). Osler-Weber-Rendu Syndrome/ Hereditary hemorrhagic telangiectasia Kelainan genetik pada pembuluh darah yang dapat menyebabkan pendarahan. Orang dengan penyakit ini dapat mengalami pertumbuhan pembuluh darah secara abnormal yang dikenal dengan arteriovenous malformation (AVM) dan telangiectasis pada kulit sehingga dapat menyebabkan pendarahan. Pendarahan pada hidung dan traktus gastrointestinal dapat terjadi karena terlibatnya berbagai macam organ. Diagnosis pada penyakit ini dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan radiologi tergantung dari organ-organ yang bersangkutan ataupun genetik (mutasi ENG, ACVRL1 dan MADH4) Kriteria yang dipakai adalah Curaçao criteria : 16

17 Epistaksis yang spontan dan rekuren Multiple Telangiecstasia pada berbagai macam lokasi AVM pada visera yang telah terbukti (paru, hati, otak, vertebra) Keluarga utama dengan HHT Jika 3 dari 4 ada, maka pasien dipastikan menderita HHT. Juga 2 dari 4 ada, maka pasien dicurigai menderita HHT. Hemofilia Kelainan genetik yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan pembekuan dan koagulasi darah. Hemofilia dibagi menjadi hemophilia A yang ditandai dengan adanya defisiensi faktor VIII, dan hemofilia B yang ditandai dengan defisiensi dari faktor IX. Pada hemofilia, Perdarahan terjadi berulang di tempat yang sama atau di tempat yang berbeda. Perdarahan dapat terjadi di berbagai tempat namun yang paling sering adalah di sendi dan otot. Sendi maupun otot terlihat bengkak, nyeri bila disentuh atau digerakkan. Pada hemofilia berat, gejala dapat terlihat sejak usia sangat dini (kurang dari 1 tahun) di saat anak mulai belajar merangkak atau berjalan. Pada hemofilia sedang maupun ringan, umumnya gejala terlihat pada saat sirkumsisi, gigi tanggal/ gigi dicabut, atau tindakan operasi. Pada pemeriksaan darah. akan terlihat adanya prolong pada pemeriksaan APTT. Dilihat juga pemeriksaan pembekuan untuk faktor VIII dan faktor IX. Von Willebrand Disease (VWD) Kelainan pendarahan yang disebabkan oleh adanya defisiensi atau defek pada protein von willebrand factor, protein yang berfungsi untuk membantu pembekuan darah. Gen vwf terletak pada kromosom dua belas. Jenis 1 dan 2 yang diwariskan sebagai sifat dominan autosomal dan tipe 3 diwariskan sebagai resesif autosomal. Kadang-kadang tipe 2 juga mewarisi resesif. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan darah. Pengambilan plasma darah untuk melihat defisiensi baik kualitatif maupun kuantitatif dari vwf (von 17

18 Willebrand Factor). Pemeriksaan Bleeding time dan APTT akan menunjukkan adanya perpanjangan. Toksisitas Antikoagulan Golongan obat-obatan yang berfungsi untuk menghambat koagulasi darah. Toksisitas antikoagulan yang terutama disebabkan oleh Warfarin (Coumadin) yang merupakan derivat dari Coumarin yang dapat ditemukan dari berbagai macam tanaman. Rodentisida antikoagulan juga dapat menyebabkan gangguan pendarahan dengan menghambat siklus vitamin K sehingga mengambat faktor koagulasi II (prothrombin) dan VII (proconvertin). Obat-obatan ini dapat menyebabkan pendarahan. Obat yang sering menyebabkan keracunan adalah warfarin dan superwarfarin. Pendarahan merupakan satu-satunya gejala yang signifikan pada keracunan. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan spesifik level antikoagulan dalam darah. Pada anamnesa, yang herus ditanyakan adalah riwayat penggunaan dari antikoagulan, jenis, dan dosis yang dipakai. 18

19 PENATALAKSANAAN Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan awal berupa visualisasi langsung yang dilengkapi sumber cahaya yang baik, spekulum nasal, dan penyedot nasal seharusnya sudah cukup pada sebagian besar pasien sehingga pada sebagian besar kasus, pemeriksaan penunjang tidak diperlukan atau tidak membantu pada epistaksis untuk yang pertama kalinya atau jarang berulang dan disertai dengan riwayat mengorek hidung atau trauma terhadap hidung. Tetapi, pemeriksaan penunjang diperlukan bila terjadi pendarahan hebat atau dicurigai terdapat koagulopati. 1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai kondisi pasien dan masalah medis penyebab epistaksis, biasanya tidak dilakukan bila pendarahan bersifat minor dan tidak berulang. Bila terdapat riwayat pendarahan berat yang berulang, kelainan platelet, atau neoplasia, dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Bleeding time adalah pemeriksaan skrining yang baik untuk kecurigaan terdapatnya kelainan pendarahan. Pemeriksaan International Normalized Ratio (INR) atau prothrombin time (PT) dilakukan bila pasien dicurigai mengkonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver. 2. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan CT scan (Computed Tomography Scanning) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) diindikasikan untuk menilai anatomi dan menentukan kehadiran dan perluasan dari rinosinusitis, benda asing, dan neoplasma. 3. Nasofaringoskopi Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab pendarahan. Pengobatan Ketika epistaksis memerlukan pengobatan, biasanya dikarenakan epistaksis yang berulang atau berat. Pada sebagian besar pasien, pendarahan yang ringan akan berhenti setelah kauterisasi atau pemasangan tampon anterior, namun pada pasien 19

20 dengan epistaksis berulang dan atau berat dimana pengobatan gagal termasuk pemasangan tampon posterior, dapat dilakukan ligasi arteri atau embolisasi. Pendekatan medis untuk pengobatan epistaksis adalah: Obat penghilang nyeri yang cukup pada pasien dengan tampon, terutama tampon posterior Antibiotik oral dan topikal untuk mencegah rinosinusitis dan toxic shock syndrome Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya Pengobatan untuk mengontrol penyakit penyebabnya (hipertensi, defisiensi vitamin K) disertai konsultasi dengan dokter spesialis lainnya. Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan pendarahan. Hal-hal yang penting diketahui adalah: 1. Riwayat pendarahan sebelumnya. 2. Lokasi pendarahan. 3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak. 4. Lamanya pendarahan dan frekuensinya 5. Riwayat gangguan pendarahan dalam keluarga 6. Hipertensi 7. Diabetes melitus 8. Penyakit hati 9. Gangguan koagulasi 10. Trauma hidung yang belum lama 11. Obat-obatan, misalnya aspirin Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu: memperbaiki keadaan umum disertai tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan, mencari sumber pendarahan, menghentikan pendarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya pendarahan, dan mencegah komplikasi. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain: a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. 20

21 b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, pendarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama menit (metode Trotter). Gambar 1. Metode Trotter c) Tentukan sumber pendarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantokain/lidokain 2%, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan krim antibiotik. e) Bila dengan kaustik pendarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa sebanyak 2-4 buah yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotika. Pemakaian pelumas diperlukan agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan pendarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari, harus diambil untuk mencegah infeksi hidung. Bila pendarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru. f) Pendarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior). 21

22 Teknik Pemasangan Tampon Bellocq Gambar 2.Tampon anterior dan tampon rol anterior Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar dari hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi pendarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat. 22

23 Apabila usaha pengobatan di atas gagal menghentikan pendarahan, dapat dilakukan ligasi arteri. Pemilihan pembuluh darah yang diligasi tergantung dari lokasi epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi terhadap lokasi pendarahan, semakin efektif prosedur yang dilakukan. Ligasi biasanya dilakukan pada arteri karotis eksternal, atau maksilaris interna, atau etmoidalis. Ligasi arteri karotiks eksternal dilakukan melalui insisi horizontal yang dilakukan di antara tulang hyoid dan batas superior kartilago tiroid. Ligasi arteri maksilaris interna memiliki angka kesuksesan yang lebih tinggi daripada ligasi arteri karotis eksterna karena letak intervensinya yang lebih jauh, biasanya diakses secara transantral melalui pendekatan Caldwell-Luc. Bila pendarahan terjadi di lokasi yang lebih tinggi/atap nasal, lebih baik dilakukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan atau posterior melalui insisi etmoidektomi eksternal. Pendarahan dari sistem arteri karotis eksterna dapat juga dikontrol dengan embolisasi, sebagai modalitas utama pada kandidat yang kurang baik untuk dibedah ataupun pengobatan sekunder pada mereka dengan operasi yang gagal. Sebelum embolisasi, dilakukan dulu angiografi untuk memeriksa kehadiran hubungan yang tidak aman antara sistem arteri karotis interna dan eksterna. Embolisasi selektif pada 23

24 arteri maksilaris interna dan kadang-kadang pada arteri fasialis. Angiografi pasca embolisasi dilakukan untuk menilai derajat oklusi. Pengobatan untuk Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) bersifat paliatif karena kelainannya tidak dapat disembuhkan. Pilihan pengobatannya adalah koagulasi dengan laser titanyl-phosphate (KTP) atau neodymium:yttrium-aluminumgarnet (Nd:YAG), septodermoplasti, embolisasi, dan terapi estrogen. Pengobatan Farmakologi Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam menangani pasien dengan epistaksis. 1. Vasokonstriktor topikal Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa nasal yang menyebabkan vasokonstriksi. Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesi terjadi tanpa perubahan drastis pada tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi jantung. Oxymetazoline dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk memberikan efek anestesi dan vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis 2 tetes atau semprotan per kavum nasi sebanyak 2 kali sehari, dosis maksimum adalah 2 kali dosis anjuran per 24 jam dan durasi maksimum adalah 3-5 hari. 2. Anestesi topikal Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat vasokonstriktor, maka efek anestesinya akan diperpanjang dan ambang nyeri meningkat. Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di membran neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat transmisi impuls saraf. Dosis 1-3 ml setiap pemberian, dosis maksimum 3 mg/kg, tidak boleh diberikan dengan interval kurang dari 2 jam. 3. Salep antibiotik Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan memberikan kelembapan lokal. Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein. dioleskan pada area yang terkena tiga kali sehari. 24

25 4. Agen kauterisasi Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi pendarahan. Silver nitrat menggumpalkan protein dan membuang jaringan granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang telah dililitkan pada aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu dioleskan pada area yang terkena 2-3 kali per minggu selama 2-3 minggu. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul rinosinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, septikemia, toxic shock syndrome, sinekia, dan gangguan fungsi tuba eustachius. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, hematotimpanum, disfagia, sinekia, toxic shock syndrome, gangguan fungsi tuba, disfagia, hipoventilasi, mati mendadak, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. Komplikasi akibat kauterisasi adalah sinekia dan perforasi septum. Komplikasi akibat ligasi arteri maksilaris interna transantral adalah resiko anestesi, rinosinusitis, fistula oroantral, anestesia infraorbital, dan trauma dental. Sedangkan komplikasi akibat ligasi arteri maksilaris internal transoral adalah resiko anestesia, anestesia pipi, trismus, dan pareestesia lidah. Komplikasi akibat ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior adalah resiko anestesi, rinosinusitis, trauma duktus lakrimalis, dan kebutaan. Komplikasi akibat embolisasi adalah nyeri pada wajah, trismus, paralisis wajah, nekrosis kulit, kebutaan, dan stroke. Edukasi Pasien Tindakan pencegahan berikut harus disampaikan kepada pasien: 1. Menggunakan semprotan nasal garam fisiologis, terutama pada lingkungan yang panas dan kering untuk menjaga kelembapan mukosa nasal. 2. Menghindari bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras 3. Bersin dengan mulut terbuka 25

26 4. Tidak menggunakan manipulasi jari pada nasal 5. Menghindari makanan panas dan pedas 6. Menghindari mandi dengan air panas 7. Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri yang harus diberitahukan: 1. Memberikan tekanan oleh jari untuk 5-10 menit 2. Menggunakan kantong es 3. Bernafas dalam dan tenang 4. Menggunakan vasokonstriktor topikal 26

27 DAFTAR PUSTAKA Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Prof. Dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT, and DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Higher Adams, Boeis. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC, Nguyen, Quoc A. Epistaxis. Medscape. http : / / emedicine. medscape. com / article / overview. "von Willebrand Disease." National Hemophilia Foundation. &contentid=47 "Osler-Weber-Rendu syndrome." PubMed Health. Conrad Stoppler, Melissa. "Endometriosis." MedicineNet. Waseem, Muhammad. "Salicylate Toxicity." Medscape. News Medical. "Paranasal Sinus and Nasal Cavity Cancer Treatment (PDQ )." National Cancer Institute. ient/page1. 27

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG.

EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG. DEPT. THT FK-USU / RSUHAM EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG. ETIOLOGI 1. LOKAL A. TRAUMA TRAUMA RINGAN :

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Epistaksis

Penatalaksanaan Epistaksis 1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi

Lebih terperinci

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 BENDA ASING HIDUNG Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 Benda asing pada hidung salah satu kasus yang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertolongan pertama merupakan suatu tindakan pertolongan ataupun bentuk perawatan yang diberikan secara cepat dan tepat terhadap seorang korban dengan tujuan mencegah

Lebih terperinci

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya Abstrak Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari kita lakukan sebagai dokter gigi. Walaupun demikian tidak jarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori 1. Epistaksis a. Definisi Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar Nama : Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : 19720826 200212 1 002 Departemen Mata Kuliah Topik : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar : Kep. Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan lainnya, baik

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GIGI PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DAN GAGAL GINJAL KRONIK VITA NIRMALA ARDANARI,DR, SP.PROS, SP.KG

EKSTRAKSI GIGI PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DAN GAGAL GINJAL KRONIK VITA NIRMALA ARDANARI,DR, SP.PROS, SP.KG EKSTRAKSI GIGI PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DAN GAGAL GINJAL KRONIK VITA NIRMALA ARDANARI,DR, SP.PROS, SP.KG LATAR BELAKANG PDGI (2016) : penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi ke-6

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan Sariawan Neng...! Kata-kata itu sering kita dengar pada aneka iklan suplemen obat panas yang berseliweran di televisi. Sariawan, gangguan penyakit pada rongga mulut, ini kadang ditanggapi sepele oleh penderitanya.

Lebih terperinci

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT Celah merupakan suatu ruang kongenital yang abnormal dan dapat memberikan efek psikologis berupa rendah diri pada penderita. Ada beberapa jenis celah yang sering ditemui yaitu,

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang dilaksanakan di Poli Gigi dan Mulut Puskesmas. 1 Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

Mengapa disebut sebagai flu babi?

Mengapa disebut sebagai flu babi? Flu H1N1 Apa itu flu H1N1 (Flu babi)? Flu H1N1 (seringkali disebut dengan flu babi) merupakan virus influenza baru yang menyebabkan sakit pada manusia. Virus ini menyebar dari orang ke orang, diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA Glaukoma adalah suatu penyakit dimana tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan. 1 Terdapat

Lebih terperinci

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1 Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan. Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent 2.1.1 Definisi Informed consent Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan

Lebih terperinci

Definisi Bell s palsy

Definisi Bell s palsy Definisi Bell s palsy Bell s palsy adalah penyakit yang menyerang syaraf otak yg ketujuh (nervus fasialis) sehingga penderita tidak dapat mengontrol otot-otot wajah di sisi yg terkena. Penderita yang terkena

Lebih terperinci

RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL. Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus:

RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL. Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus: RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus: No Rincian kewenangan klinis kemampuan klinis 1 2 3 1 Benda asing di telinga 2 Perikondritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang MENIERE S DISEASE Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang berlangsung dari

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9 Kanker Paru-Paru Kanker paru-paru merupakan kanker pembunuh nomor satu di Hong Kong. Ada lebih dari 4.000 kasus baru kanker paru-paru dan sekitar 3.600 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini setiap

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur os nasal merupakan fraktur paling sering ditemui pada trauma muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior wajah merupakan faktor

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

Gambar 1. Atresia Pulmonal Sumber : (http://www.mayoclinic.org/images/pulmonary-valve-atresia-lg-enlg.jpg)

Gambar 1. Atresia Pulmonal Sumber : (http://www.mayoclinic.org/images/pulmonary-valve-atresia-lg-enlg.jpg) DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP RSHS BANDUNG TUGAS PENGAYAAN Oleh : Asri Rachmawati Pembimbing : dr. H. Armijn Firman, Sp.A Hari/Tanggal : September 2013 ATRESIA PULMONAL PENDAHULUAN Atresia pulmonal

Lebih terperinci

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY DISLOKASI TMJ DAN AVULSI JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY DISLOKASI TMJ DAN AVULSI JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY DISLOKASI TMJ DAN AVULSI JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN Purwokerto, 2012 1 Blok M e d i c a

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI SEKRESI SALIVA. Departemen Biologi Oral FKG USU

HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI SEKRESI SALIVA. Departemen Biologi Oral FKG USU HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI SEKRESI SALIVA. Departemen Biologi Oral FKG USU HAL-HAL YANG BERPENGARUH PADA KOMPOSISI DAN SEKRESI SALIVA. Sekresi saliva - fungsi normal - kesehatan rongga mulut.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug :26

Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug :26 Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug 2009 19:26 1. SIFILIS Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi

Lebih terperinci

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap Tempat/ Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Alamat Orangtua Ayah Ibu Riwayat Pendidikan : Ganesh Dorasamy : Kuala Lumpur, Malaysia / 25September1986 : Laki-laki

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

Negara Asal (bagi WNA) Tempat / Tanggal lahir * / - -

Negara Asal (bagi WNA) Tempat / Tanggal lahir * / - - Nama Tertanggung* No KTP / SIM / Paspor / KITAS* (copy harap dilampirkan) Kewarganegaraan * WNI WNA Status Perkawinan Kawin Belum Kawin Negara Asal (bagi WNA) Tempat / Tanggal lahir * / - - Alamat (sesuai

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke STROKE Penuntun untuk memahami Stroke Apakah stroke itu? Stroke merupakan keadaan darurat medis dan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Terjadi bila pembuluh darah di otak pecah, atau yang lebih

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R BATUK Butet Elita Thresia Dewi Susanti Fadly Azhar Fahma Sari Herbert Regianto Layani Fransisca Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R BATUK Batuk adalah

Lebih terperinci

a. b. c. Gambar 1.2 Kompresi neurovaskular pada N. Trigeminus Sumber:

a. b. c. Gambar 1.2 Kompresi neurovaskular pada N. Trigeminus Sumber: Bab 1 Pendahuluan 1.1 Definisi Trigeminal neuralgia atau yang dikenal juga dengan nama Tic Douloureux merupakan kelainan pada nervus trigeminus (nervus kranial V) yang ditandai dengan adanya rasa nyeri

Lebih terperinci

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat

Lebih terperinci

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid.

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid. BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID Dalam dunia medis, radioterapi sudah menjadi perawatan yang sangat umum digunakan. Penggunaannya pun dilakukan untuk berbagai macam penyakit kanker termasuk untuk penyakit

Lebih terperinci

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN PENDAHULUAN Seorang ibu akan membawa anaknya ke fasilitas kesehatan jika ada suatu masalah atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan

Data Demografi. Ø Perubahan posisi dan diafragma ke atas dan ukuran jantung sebanding dengan ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data Demografi Nama Umur Pekerjaan Alamat a. Aktifitas dan istirahat Ø Ketidakmampuan melakukan aktifitas normal Ø Dispnea nokturnal karena pengerahan tenaga b. Sirkulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS) OTC (OVER THE COUNTER DRUGS) Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,

Lebih terperinci

Kanker Servix. Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim.

Kanker Servix. Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim. Kanker Servix Tentu anda sudah tak asing lagi dengan istilah kanker servik (Cervical Cancer), atau kanker pada leher rahim. Benar, sesuai dengan namanya, kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci