SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode"

Transkripsi

1 SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran 2 Periode Arah Kebijakan Langkah-Langkah Strategis Sistem Pembayaran Tunai 8 a. Manajemen Alat Pembayaran Tunai b. Alat Pembayaran Tunai Sistem Pembayaran Non Tunai 27 a. Manajemen Alat Pembayaran Non Tunai b. Alat Pembayaran Non Tunai

2 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran Periode Pada tanggal 25 Juli 1966, telah dibentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Pemerintahan orde baru telah dimulai. Tugas pokok kabinet yang dipimpin oleh presidium tersebut adalah melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi yang berkonsentrasi pada pengendalian inflasi, pencukupan penghidupan pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, peningkatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan sandang. Sejak saat itu, secara umum, pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional menjadi prioritas utama orde baru. Berdasarkan UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral, ditegaskan bahwa Bank Indonesia (BI) mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah. Berbeda dengan UU No. 11/1953, dalam UU No. 13/1968 tidak ada lagi pembatasan jenis uang dan nilai nominal uang yang dikeluarkan oleh BI. Peran BI dalam sistem pembayaran secara tersirat tercantum dalam UU Bank Sentral 1968 yang menyebutkan bahwa BI membina perbankan dengan jalan memperluas, memperlancar dan mengatur lalu lintas pembayaran giral serta menyelenggarakan kliring antar bank. Secara lebih khusus, BI selalu mengupayakan tersedianya uang kartal dalam jumlah/nilai yang cukup, tepat waktu, dan komposisi pecahan yang memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi. Selain itu, uang yang diedarkan selalu dalam kondisi baik atau layak edar serta aman dari usaha pemalsuan uang. Pada periode tersebut, seiring dengan perkembangan politik yang sedang berlangsung, uang kertas Seri Presiden Soekarno ditarik dari peredaran dan diganti dengan Seri Jenderal Sudirman bertanda tahun Seri tersebut dikeluarkan dalam 11 pecahan dari Rp 1 sampai Rp Selain uang kertas, untuk pertama kalinya, BI juga mengeluarkan uang logam pada 1 Januari 1971, yaitu uang logam emisi tahun 1970 dari bahan alumunium. Uang logam tersebut terdiri dari pecahan Rp 1, Rp 2, dan Rp 5. Berikutnya berkaitan dengan wilayah Irian Barat, dilakukan penarikan mata uang rupiah Irian Barat sejak tanggal 1 Mei 1971 yang bertujuan untuk kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia. Sebelum penarikan tersebut, pemerintah terlebih dahulu mengumumkan berlakunya uang rupiah (umum) secara sah di wilayah Irian Barat, di samping rupiah Irian Barat yang akan diganti secara bertahap. Pada saat itu nilai tukar IB Rp 1 adalah Rp Ketentuan Maret 1967 menyatakan akan membentuk lembaga kliring di Jakarta dan kota-kota besar, sedangkan bank sentral akan menjadi pusat penghitungan kliring. Penyelenggaraan kliring oleh Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta dimulai tanggal 7 Maret 1967 dengan sistem manual. Dengan perubahan ini maka semua kantor bank menjadi peserta kliring langsung dan sistem sub kliran dihapuskan. Kemudian settlement diubah dari "T+1" menjadi "T+0". Dalam periode ini juga dikeluarkan dua kebijakan baru, yaitu tentang UU cek kosong dan ketentuan bilyet giro yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka pembayaran belanja rutin dan belanja pembangunan, Kantor Perbendaharaan dan Keuangan Negara (KPKN) mengeluarkan Surat Perintah Membayar Giro Bank (SPMGB) guna disampaikan kepada BI sebagai alat pembayaran pengganti bilyet giro. Sedangkan dalam 2

3 transaksi pembayaran luar negeri, pemerintah melakukan penarikan pinjaman luar negeri dengan menggunakan L/C. Transaksi luar negeri lainnya juga dilakukan dengan L/C atau transfer dana dan teleks serta menggunakan travel cheque. Pada periode ini, dikenal kompensasi regeling untuk bank-bank pemerintah. Kompensasi tersebut adalah pemindahan semua saldo debet dan saldo kredit dari bank di daerah ke rekening Bank Indonesia di Jakarta melalui Nota Debet dengan Teleks (NDT) dan Nota Kredit dengan Teleks (NKT). Ketentuan ini dicabut pada bulan Oktober Pada bulan September 1981, BI menetapkan bahwa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kliring di Jakarta adalah bagian Lalu lintas Giral di bawah Urusan Pengawasan dan Pembinaan Bank-bank. Di daerah, tanggung jawab itu diserahkan pada BI setempat. Jika tidak terdapat kantor cabang BI, maka yang bertanggung jawab adalah bank pemerintah yang ditunjuk oleh BI. 3

4 2. Arah Kebijakan Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 disebutkan bahwa dipandang dari sudut ekonomi, tidak ada perbedaan fungsional antara uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, atas dasar kepentingan keseragaman dan efisiensi, pengeluaran uang kertas dan uang logam cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Bank Indonesia yang merupakan lembaga keuangan negara. Dengan demikian tidak ada lagi pembatasan jenis uang maupun nilai nominal uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia seperti sebelumnya. Pemerintah juga tidak lagi mengeluarkan uang kertas dan uang logam pecahan di bawah lima rupiah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan jenis, nilai dan ciri-ciri uang yang akan dikeluarkan. Namun demikian, jumlah maksimum uang yang akan beredar dalam suatu tahun anggaran ditentukan oleh Pemerintah sebelum permulaan tahun anggaran dan dicantumkan dalam Nota Keuangan pada awal tahun anggaran yang bersangkutan. Di bidang pembayaran non tunai, kebijakan Bank Indonesia pada periode ini diarahkan pada penerapan sistem pembayaran non tunai yang efisien dan aman dengan diterapkannya sentralisasi sistem kliring yang berlaku untuk seluruh Indonesia. Disamping itu, terdapat perubahan kebijakan Pemerintah tentang kejahatan berupa penarikan cek kosong, sehingga Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1971 (yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1971 tanggal 17 Oktober 1971) tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun Akibat pencabutan tersebut, ketentuan-ketentuan Bank Indonesia tentang cek kosong juga mengalami penyesuaian. 4

5 3. Langkah-Langkah Strategis Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah melakukan berbagai langkah penting untuk mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran yang berkaitan dengan uang, yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap uang. Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah melakukan berbagai langkah penting untuk mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran yang berkaitan dengan uang, yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap uang. Ada pun langkah-langkah penting tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Pemerintah dan Bank Indonesia sangat berkepentingan untuk menanggulangi kejahatan pemalsuan uang. Upaya pemberantasan kejahatan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh melalui koordinasi di antara instansi-instansi terkait, dengan memperhatikan faktor kecepatan, ketepatan dan kerahasiaan. Sehubungan dengan itu maka berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1971 tanggal 22 Maret 1971, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) ditugaskan untuk mengkoordinasikan semua usaha dan kegiatan dari badan/instansi yang mempunyai wewenang dalam bidang pemberantasan uang palsu. Selain itu Kepala BAKIN ditugaskan juga menyelenggarakan kegiatan atau operasi intelijen dalam rangka upaya menemukan sumber peredaran uang palsu. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1971 tersebut, Kepala BAKIN membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) dengan tugas/fungsi menyelenggarakan koordinasi tingkat pimpinan, merumuskan kebijakan pelaksanaan dalam berbagai bidang serta menetapkan langkah/tindak lanjutnya. Adapun instansi-instansi yang tergabung dalam BOTASUPAL adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Bank Indonesia sebagai bank sentral, Perum Peruri, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Imigrasi dan Departemen Penerangan Republik Indonesia. Dapat ditambahakan disini bahwa di tingkat internasional, upaya penanggulangan kejahatan uang palsu telah jauh lebih dahulu dilakukan, yaitu melalui pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Pemberantasan Uang Palsu. Dalam sidang di Jenewa tanggal 20 April 1929 Liga Bangsa-Bangsa telah menerima dengan baik dan mengesahkan International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve Setelah Liga Bangsa-Bangsa bubar, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Resolusi tanggal 18 November 1963 memberikan kemungkinan kepada negara-negara anggota PBB untuk menjadi pihak pada perjanjian multilateral yang bersifat teknis dan non politis yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa dengan jalan aksesi. Pada tahun 1932, Pemerintah 5

6 Kerajaan Belanda mengesahkan dan memberlakukan Konvensi tersebut bagi wilayah negara serta beberapa jajahannya yang meliputi Suriname dan Antillen, namun tidak termasuk wilayah Hindia Belanda. Pada bulan Maret 1964, PBB mengundang para anggotanya termasuk Republik Indonesia untuk menjadi pihak Konvensi tersebut di atas. Selama ini usaha menanggulangi dan memberantas pemalsuan uang, khususnya yang dilakukan di luar negeri, selalu terbentur pada tidak adanya suatu ikatan hukum internasional sebagai landasan hukumnya. Pemerintah Republik Indonesia menilai bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk mengesahkan Konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 1981 tanggal 21 Juli Pengesahan dilakukan dengan suatu persyaratan (reservation) terhadap pasal tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi. Pemerintah Indonesia mengambil sikap bahwa apabila ada perselisihan yang menyangkut penafsiran atau penerapan Konvensi, akan diajukan ke badan arbitrase atau ke Mahkamah Internasional untuk mendapatkan keputusan, hanya atas dasar persetujuan dari semua pihak yang berselisih. Keikutsertaan Indonesia mengesahkan Konvensi tersebut akan sangat bermanfaat bagi National Central Bureau (NCB) Indonesia/ International Criminal Police Organization (ICPO), yang lebih dikenal dengan sebutan INTERPOL, yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kerja sama melakukan langkah-langkah pemberantasan pemalsuan uang bersama dengan negara-negara peserta konvensi. Masih di bidang alat pembayaran tunai, dalam rangka mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta untuk pengamanan terhadap kemungkinan masuknya uang rupiah palsu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang persyaratan membawa uang rupiah keluar dari dan masuk ke wilayah Republik Indonesia. Salah satu ketentuan yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 14/48/Kep/Dir/UL tanggal 21 Oktober 1981 adalah bahwa membawa uang keluar dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan cara dibawa sendiri waktu yang bersangkutan meninggalkan atau memasuki wilayah Republik Indonesia. Batas jumlah yang diperbolehkan adalah maksimum Rp Di bidang alat pembayaran non tunai, ada dua langkah signifikan yang dilakukan, yaitu Bank Indonesia menerapkan sentralisasi sistem kliring yang berlaku untuk seluruh Indonesia, dan Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1971 (kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1971) tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun Kebijakan dalam bidang kliring dilakukan karena kondisi bank-bank umum swasta yang berinduk kepada Bank Dagang Negara dan Bank Negara Indonesia Unit II, Unit III dan Unit IV tidak dapat diketahui secara langsung oleh Bank Negara Indonesia Unit I. Selain itu proses perhitungan kliring juga harus dilakukan bertingkat dari bank peserta tidak langsung kepada bank peserta langsung. Untuk memajukan dan memperlancar lalu lintas pembayaran secara giral, serta untuk memudahkan pengawasan terhadap semua bank umum, Direksi Bank Negera Indonesia Unit I memutuskan untuk membentuk Lembaga Kliring dan menerapkan sentralisasi sistem kliring. 6

7 Pada periode ini Pemerintah telah mencabut Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong. Awalnya, penarikan cek kosong yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan sanksi pidana yang berat, yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Ancaman pidana yang berat itu ternyata menimbulkan keengganan masyarakat menggunakan cek dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun Akibat pencabutan tersebut, ketentuan-ketentuan Bank Indonesia tentang cek kosong juga mengalami penyesuaian. 7

8 4. Sistem Pembayaran Tunai : a. Manajemen Alat Pembayaran Tunai Sebagai lembaga yang memegang hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah sebagai ala pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia, Bank Indonesia harus dapat menjamin tersedianya uang kartal sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai lembaga yang memegang hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah sebagai ala pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia, Bank Indonesia harus dapat menjamin tersedianya uang kartal sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan tersebut mencakup aspek-aspek kecukupan jumlah atau nilai uang, komposisi pecahan uang yang sesuai, waktu dan tempat yang tepat, serta kondisi uang yang baik atau layak edar. Aspek-aspek tersebut perlu dijaga agar selalu dilaksanakan dengan mempertimbangkan segi pengamanan dan efisiensi antara lain upaya mencegah pemalsuan uang serta menekan biaya pengadaan dan pengedaran uang. Secara garis besar manajemen pengedaran uang meliputi kegiatan penerbitan uang baru, pengadaan uang, penyebaran uang serta pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran. Pada tanggal 1 Desember 1980, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan No. 13/52/Kep/Dir/UPU tentang Ketentuanketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang yang berlaku mulai tanggal 31 Desember Dalam bidang pengadaan bahan uang dan pencetakan uang, Bank Indonesia bekerja sama dengn Perum Peruri yang dituangkan dalam Perjanjian Pokok Hubungan Kerja (PPHK) tanggal 23 Maret Dalam melaksanakan pengedaran uang, Bank Indonesia tetap menjalankan clean money policy, yaitu harus selalu menjaga agar uang yang beredar di masyarakat dalam keadaan yang layak edar. Uang yang kondisinya dinilai tidak lagi layak untuk diedarkan akan diberi tanda dan dinyatakan tidak berharga oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia juga berhak mencabut kembali uang yang dikeluarkannya dan menarik dari peredaran melalui penukaran dalam jangka waktu dan pada tempattempat yang ditentukan. 8

9 b. Alat Pembayaran Tunai Wewenang Bank Indonesia untuk mengeluarkan semua jenis uang dan pecahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengukuhkan wewenang yang sudah diberikan berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru. Wewenang Bank Indonesia untuk mengeluarkan semua jenis uang dan pecahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengukuhkan wewenang yang sudah diberikan berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 tentang Pengeluaran Uang Rupiah Baru. Berdasarkan Penetapan Presiden tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan uang kertas dalam berbagai pecahan Rupiah Baru, termasuk pecahan di bawah lima rupiah, yaitu Seri Dwikora pada akhir tahun 1965 dalam pecahan satu sen, lima sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen (mengapa penyebutan angka ada yang dengan huruf ada yang dengan angka) serta Seri Jenderal Sudirman pada awal tahun 1968 dalam pecahan Rp1 hingga Rp Setelah itu masih dikeluarkan emisi-emisi lainnya, antara lain uang kertas tiga tiga pecahan besar dengan tanda tahun 1975, yaitu Rp1.000, Rp5.000, dan Rp yang dimaksudkan pada waktunya menggantikan pecahan yang sama dari Seri Jenderal Soedirman. Uang emisi 1975 dicetak dengan teknik cetak intaglio yang terasa kasar bila diraba, untuk membantu mereka yang bermasalah penglihatan. Pada periode ini Bank Indonesia juga mengeluarkan beberapa emisi uang logam dalam berbagai pecahan. Disamping itu Bank Indonesia juga menerbitkan uang khusus peringatan (commemorative coins/notes) dalam rangka memperingati kejadian-kejadian penting yang bersifat nasional maupun internasional. Berikut ini adalah bentuk dan deskripsi dari uang-uang yang dikeluarkan pada periode ini: 1.Uang Kertas Bank Indonesia seri Sudirman 9

10 10

11 11

12 12

13 13

14 14

15 2. Uang Kertas Bank Indonesia emisi tahun

16 16

17 CATATAN 17

18 18

19 19

20 3. Uang Logam Bank Indonesia emisi tahun

21 21

22 22

23 23

24 24

25 25

26 CATATAN 1. Pada periode ini, , Bank Indonesia menerbitkan uang logam untuk pertama kalinya. Uang logam pertama yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah emisi tahun 1970 dalam pecahan Rp1, Rp2, dan Rp5. Uang logam pecahan kecil tersebut dibuat dari bahan aluminium yang relatif murah terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara nilai instrinsik (nilai bahan uang) dan nilai nominal uang. 26

27 7. Sistem Pembayaran Non Tunai : a. Manajemen Alat Pembayaran Non Tunai Dalam rangka mengatur penggunaan cek dan bilyet giro, Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedua instrumen tersebut. Dalam rangka mengatur penggunaan cek dan bilyet giro, Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedua instrumen tersebut. 1. Fiat atas cek/bilyet giro oleh bank Berkaitan dengan pelanggaran yang terjadi dalam pemberian fiat atas cek sebagaimana telah disebutkan di atas maka untuk mencegah berlanjutnya praktek tersebut, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada semua bank umum dan bank pembangunan, yaitu surat No. 4/108 UPPB/PbB tanggal 3 Mei 1971 yang menyebutkan bahwa pemberian fiat atas cek nasabah harus memenuhi syaratsyarat: 1. Dana yang tersedia pada rekening nasabah harus dalam jumlah yang cukup; 2. Bank bersedia memberikan fiatnya atas cek tersebut dengan pengertian bahwa bank mendapat kuasa untuk menyisihkan secara administratif dana nasabah yang bersangkutan guna disediakan untuk membayar cek itu sewaktu-waktu; dan 3. Nasabah menyetujui pembukuan administratif oleh bank bertalian dengan maksud di atas. Akhirnya pada tahun 1975 Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No. 8/8 UPPB tanggal 16 Mei 1975 yang melarang bank memberikan fiat kliring atau fiat bayar atau membubuhkan kata-kata lain yang serupa maksudnya terhadap cek, bilyet giro dan alat-alat pembayaran lalu lintas pembayaran giral lainnya. Apabila ada nasabah penarik cek/bilyet giro atau alat-alat lalu lintas pembayaran giral lainnya meminta tanda fiat, maka bank hanya diperkenankan mengganti alat lalu lintas pembayaran giral tersebut dengan cek/bilyet giro yang ditariknya sendiri atas rekeningnya pada Bank Indonesia atau bank lainnya. Dengan demikian pada saat penukaran dilakukan, rekening nasabah sudah dibebani atau didebet sejumlah nilai yang ditukar dengan cek/bilyet giro Bank Indonesia atau bank lainnya tersebut. 2. Kewajiban bank menggunakan bilyet giro Syarat formal yuridis penggunaan cek sebagai alat pembayaran giral telah diatur dalam KUHD, sementara ketentuan tentang bilyet giro belum diatur secara tegas. Mengingat fungsi bilyet giro sebagai surat perintah nasabah kepada bank untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima di bank yang sama atau di bank lain sangat bermanfaat sebagai alat pembayaran, sementara banyak bank yang belum mengeluarkan bilyet giro, Bank 27

28 Indonesia kemudian mengatur ketentuan tentang bilyet giro dalam surat kepada semua Bank Umum dan Bank Pembangunan, yaitu surat No. 4/670 UPPB/PbB tanggal 24 Januari 1972 perihal Bilyet Giro. Dalam surat tersebut diatur antara lain bahwa bilyet giro tidak dapat ditunaikan secara langsung pada kasir bank. Syarat formal bilyet giro harus memuat: nama bilyet giro dan nomor seri harus tercantum pada formulir, perintah yang jelas tanpa syarat untuk pemindahbukuan sejumlah dana, nama dan tempat bank tertarik, nama pihak yang harus menerima pemindahbukuan, jumlah dana yang dipindahkan baik dengan huruf maupun dengan angka, tanda tangan penarik dan cap/stempel untuk badan, tempat dan tanggal penarikan, dan tanggal efektif berlakunya amanat serta nama bank lainnya. Jika ada perubahan harus disahkan oleh penarik. Nama penerima dana mutlak harus dicantumkan dan jika tidak dicantumkan, warkat tersebut harus ditolak atau dikembalikan. Tenggang waktu penawaran bilyet giro adalah 70 hari sejak tanggal penarikan. Amanat pemindahbukuan hanya dapat dilakukan apabila dana tersedia efektif pada tanggal efektif dan sebelum 70 hari. 3. Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 Mengenai pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964, Bank Indonesia juga melakukan beberapa penyesuaian atas ketentuan yang terkait dengan penarikan cek/bilyet giro kosong. Dengan Surat Edaran No. 4/437/UPPB/PbB tanggal 5 Oktober 1971, Bank Indonesia mencabut semua Surat Edaran yang terkait dengan cek kosong, dan mengatur kembali tata cara yang harus dilakukan oleh bank-bank dalam menerima seorang nasabah atau badan untuk menjadi nasabah bank. Ketentuan tersebut antara lain mengatur bahwa bank harus meneliti apakah calon nasabah yang bersangkutan tidak termasuk dalam Daftar Hitam penarik cek/bilyet giro kosong yang sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Bank harus mencatat nama nasabah penarik cek/bilyet giro kosong dengan segala macam aliasnya dan alamat tempat tinggal dan tempat usaha secara lengkap. Penyempurnaan ketentuan tentang cek/bilyet giro kosong terus berlanjut hingga tahun 1979 dalam periode ini. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan adalah Surat Edaran No. 8/7/UPPB tanggal 5 Mei 1975 sebagai pengganti Surat Edaran No. 4/437/UPPB/PbB, dan Surat Edaran No. 12/8 UPPB tanggal 9 Agustus Sentralisasi sistem kliring Dalam kegiatan kliring, Bank Indonesia telah membentuk Lembaga Kliring dan menerapkan sentralisasi sistem kliring yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yang pengaturannya tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 3/12/Kep/Dir tanggal 1 Maret 1967 tentang Pembentukan Lembaga Kliring. Semua peserta kliring, yang terdiri dari kantor-kantor bank Pemerintah dan kantorkantor bank swasta yang telah memperoleh izin usaha dan melakukan usaha bank umum, wajib menandatangani surat pernyataan bahwa ia tunduk kepada peraturan kliring dan memenuhi semua kewajiban-kewajiban yang timbul karena pernyataan itu. Semua peserta kliring langsung berhubungan dengan Bank Negara Indonesia Unit I dan tidak lagi melalui bank induk. Semua bank umum sebagai peserta kliring harus membuka rekening giro di Bank Indonesia untuk menampung hasil transaksi kliring baik berupa beban bank maupun untuk keuntungan bank. Pada rekening 28

29 tersebut harus disediakan dana secukupnya. Instansi Pemerintah dapat pula membuka rekening giro di Bank Indonesia sepanjang yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 5. Tahap awal Pasar Uang Antar Bank Dalam periode ini Bank Indonesia mulai memperkenalkan pasar uang antar bank (PUAB) untuk memfasilitasi bank-bank yang mengalami kekurangan dana dan tidak dapat menutup kekalahan dalam kliring pada hari yang bersangkutan. Pelaksanaan PUAB ini diatur dalam Surat Edaran No. 6/22/UPUM tanggal 22 Februari 1974 perihal Pasar Uang Antar Bank yang mengatur tentang peserta, penawaran dan permintaan, jangka waktu, tatacara pelaksanaan transaksi, proses dalam kliring, pencatatan, dan pencairan kembali surat aksep. b. Alat Pembayaran Non Tunai Alat pembayaran non tunai yang digunakan pada periode ini masih sama dengan yang digunakan pada periode sebelumnya. Namun demikian ada beberapa hal terkait dengan penggunaan cek dan bilyet giro yang memerlukan perhatian dan tindakan tertentu dari Bank Indonesia. Alat pembayaran non tunai yang digunakan pada periode ini masih sama dengan yang digunakan pada periode sebelumnya. Namun demikian ada beberapa hal terkait dengan penggunaan cek dan bilyet giro yang memerlukan perhatian dan tindakan tertentu dari Bank Indonesia. 1. Fiat atas cek/bilyet giro oleh bank. Di dalam dunia perdagangan dikenal keberadaan fiat atas cek dan bilyet giro. Praktek ini merupakan kebiasaan dalam praktek perbankan di Indonesia, yaitu untuk membantu masyarakat (pemegang cek yang bersangkutan) guna mendapatkan kepastian bahwa cek yang dipegangnya, telah disishkan dananya dari rekening nasabah penarik. Praktek ini banyak disalahgunakan, karena ternyata banyak cek yang telah difiat oleh pejabat bank akhirnya terbukti merupakan cek kosong. 2. Kewajiban bank menggunakan bilyet giro. Berkaitan dengan penggunaan bilyet giro, pada tahun buku 1966/1967 Kementerian Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta menyadari dan mengetahui bahwa kurang sekali perhatian dari bank-bank umum swasta untuk melaksanakan pembayaran-pembayaran dengan cara pemindahbukuan. Bank-bank umum swasta masih banyak yang sama sekali tidak mengeluarkan bilyet giro. Berhubung dengan itu Pemerintah melalui Deputi Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dengan surat No. 091/DMUPBMS/66 tanggal 16 Juli 1966 mengingatkan bahwa semua bank swasta diwajibkan untuk mengeluarkan bilyet giro disamping alat pemerintah membayar lainnya. Bank-bank diminta mengusahakan agar 29

30 pembayaran-pembayaran dilakukan secara giral (pemindahbukuan) serta menganjurkan kepada nasabahnya agar membiasakan diri menggunakan pembayaran secara giral pula. Khusus untuk transaksi di pasar uang antarbank (PUAB) atau interbank call money, Bank Indonesia memberikan bilyet giro khusus kepada bank-bank peserta interbank call money. Bentuknya sama dengan bilyet giro biasa, namun dibubuhi cap khusus untuk transaksi interbank call money. 30

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999 TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 3 /PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DAN PENYELESAIAN AKHIR TRANSAKSI PEMBAYARAN ANTAR BANK ATAS HASIL KLIRING LOKAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode 1999-2005 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran 2 Periode 1999-2005 2. Arah Kebijakan 1999-2005 3 3. Langkah-Langkah

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar transaksi

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kliring 2.1.1 Pengertian Kliring Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 8 Undang Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia dalam mencapai dan

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

INFORMASI PENTING! QUESTIONS & ANSWERS (Q & A) KETENTUAN BILYET GIRO DAN KETENTUAN TERKAIT LAINNYA

INFORMASI PENTING! QUESTIONS & ANSWERS (Q & A) KETENTUAN BILYET GIRO DAN KETENTUAN TERKAIT LAINNYA INFORMASI PENTING! PERUBAHAN KETENTUAN BILYET GIRO SESUAI KEBIJAKAN BANK INDONESIA EFEKTIF 1 APRIL 2017 Untuk Informasi Lebih Lengkap Dapat Diakses Melalui www.danamon.co.id Atau Hello Danamon. QUESTIONS

Lebih terperinci

Perubahan ketentuan Bilyet Giro

Perubahan ketentuan Bilyet Giro BNI Giro ib Hasanah Perubahan ketentuan Bilyet Giro Efektif mulai 1 April 2017 Kunjungi BNI syariah terdekat atau www.bnisyariah.co.id BNI Syariah terdaftar dan diawasi oleh OJK QUESTION & ANSWER (Q &

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode 1997-1999 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran 2 Periode 1997-1999 2. Arah Kebijakan 1997-1999 3 3. Langkah-Langkah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB II SYARAT FORMAL

DAFTAR ISI BAB II SYARAT FORMAL DAFTAR ISI DASAR HUKUM -------------------------------------------------------------------- 3 GLOSSARY -------------------------------------------------------------------------- 4 BAB I PRINSIP UMUM ------------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/24/PBI/2015 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/24/PBI/2015 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/24/PBI/2015 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/41/PBI/2016 TENTANG BILYET GIRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/41/PBI/2016 TENTANG BILYET GIRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/41/PBI/2016 TENTANG BILYET GIRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat pembayaran nontunai berbasis warkat yang

Lebih terperinci

No. 4/ 11 /DASP Jakarta, 13 Agustus 2002 S U R A T E D A R A N

No. 4/ 11 /DASP Jakarta, 13 Agustus 2002 S U R A T E D A R A N No. 4/ 11 /DASP Jakarta, 13 Agustus 2002 S U R A T E D A R A N Perihal : Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/24/PBI/2000

Lebih terperinci

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Non Bank. Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Non Bank. Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia Non Bank Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia Hubungan Non Bank dengan BI Hubungan Rekening Giro antara

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 48 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR

Lebih terperinci

8/34/DASP Jakarta,22 Desember 2006 S U R A T E D A R A N

8/34/DASP Jakarta,22 Desember 2006 S U R A T E D A R A N 8/34/DASP Jakarta,22 Desember 2006 S U R A T E D A R A N Perihal : Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern --------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkembang pesatnya dunia perekonomian dan perdagangan pada masa sekarang ini

I. PENDAHULUAN. Berkembang pesatnya dunia perekonomian dan perdagangan pada masa sekarang ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembang pesatnya dunia perekonomian dan perdagangan pada masa sekarang ini menyebabkan sebagian besar masyarakat lebih cenderung mengambil langkahlangkah yang

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa penyelenggara

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/2/PBI/2003 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/2/PBI/2003 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/2/PBI/2003 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah,

Lebih terperinci

No.18/32/DPSP Jakarta, 29 November 2016 S U R A T E D A R A N

No.18/32/DPSP Jakarta, 29 November 2016 S U R A T E D A R A N No.18/32/DPSP Jakarta, 29 November 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Bilyet Giro Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro (Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengaturan Surat Berharga Sebelum kita sampai pada pengaturan mengenai surat berharga, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui pengertian dari surat berharga, mengenai pengertian

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5951 PERBANKAN. BI. Bilyet Giro. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 248). PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/41/PBI/2016

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Valuta Asing. Penukaran. Bukan Bank. Usaha. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5932) PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha diikuti dengan perkembangan perbankan sebagai lembaga yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Semakin pesatnya perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] BAB VIII KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 46 (1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus unit) dan menyalurkannya kepada pihak

BAB I PENDAHULUAN. dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus unit) dan menyalurkannya kepada pihak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini terlihat cukup baik di semua sektor ekonomi. Badan Usaha Milik Negara maupun badan usaha milik swasta atau badan usaha yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang yang tidak berhak dapat menggunakan surat berharga itu, karena pembayaran dengan surat

I. PENDAHULUAN. orang yang tidak berhak dapat menggunakan surat berharga itu, karena pembayaran dengan surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman yang serba modern sekarang ini segala sesuatunya harus diselesaikan dengan cepat, mudah dan aman, terutama dalam dunia usaha atau perdagangan, khususnya dalam lalu

Lebih terperinci

2 1. Perluasan akses kepesertaan yang tidak terbatas pada Bank Umum Saat ini kepesertaan SKNBI terbatas pada Bank Umum sehingga transfer dana melalui

2 1. Perluasan akses kepesertaan yang tidak terbatas pada Bank Umum Saat ini kepesertaan SKNBI terbatas pada Bank Umum sehingga transfer dana melalui TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERBANKAN. BI. Transfer Dana. Kliring. Berjadwal. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122). PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR Ketentuan dan Persyaratan Khusus Pembukaan Rekening Investor ini (berikut semua lampiran, perubahan dan atau pembaharuannya selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/ 29 /PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/ 29 /PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/ 29 /PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penggunaan instrumen cek dan/atau bilyet

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 27 /PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 27 /PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 27 /PJ/2013 TENTANG PELAKSANA PEMBUBUHAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN TEKNOLOGI PERCETAKAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang diharapkan secara efektif dan efisien, selain itu prosedur juga dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang diharapkan secara efektif dan efisien, selain itu prosedur juga dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Prosedur Prosedur merupakan rangkaian atau langkah-langkah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan kegiatan atau aktivitas, sehingga dapat tercapainya

Lebih terperinci

No. 1/ 4 /DASP Jakarta, 29 November 1999 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 1/ 4 /DASP Jakarta, 29 November 1999 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 1/ 4 /DASP Jakarta, 29 November 1999 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transaksi. Untuk itu, perbankan dituntut untuk menyediakan berbagai. yang disediakan oleh jasa perbankan adalah Kliring.

BAB I PENDAHULUAN. transaksi. Untuk itu, perbankan dituntut untuk menyediakan berbagai. yang disediakan oleh jasa perbankan adalah Kliring. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seiring dengan meningkatnya transaksi dalam bidang ekonomi, maka perbankan merupakan salah satu mitra masyarakat dalam melakukan berbagai transaksi. Untuk itu, perbankan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor

2017, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor No.34, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Balai Lelang. Pejabat Lelang. Kelas II. Jaminan Penawaran. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.06/2016 TENTANG PENATAUSAHAAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa saat ini jumlah transaksi maupun nilai nominal pengiriman uang baik di

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang dan meminjamkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang dan meminjamkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Bank 2.1.1 Pengertian Bank Secara umum Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang dan meminjamkan uang dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA. Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998

BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA. Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA A. Pengertian Bank Indonesia Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998, bank adalah badan usaha yang

Lebih terperinci

No. 10/ 25 /DPM Jakarta, 14 Juli SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

No. 10/ 25 /DPM Jakarta, 14 Juli SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum No. 10/ 25 /DPM Jakarta, 14 Juli 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha yang terdiri atas uang kertas dan uang logam, yang merupakan alat pembayaran

BAB I PENDAHULUAN. usaha yang terdiri atas uang kertas dan uang logam, yang merupakan alat pembayaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ditinjau secara umum, kas merupakan uang kartal yang tersedia bagi suatu usaha yang terdiri atas uang kertas dan uang logam, yang merupakan alat pembayaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan bank sangat memengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank dapat pula

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode 1983-1997 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran 2 Periode 1983-1997 2. Arah Kebijakan 1983-1997 4 3. Langkah-Langkah

Lebih terperinci

KETENTUAN BANK INDONESIA DAN KUHD TENTANG PENGUNAAN CEK DAN BILYET GIRO DALAM SISTEM PEMBAYARAN NON TUNAI

KETENTUAN BANK INDONESIA DAN KUHD TENTANG PENGUNAAN CEK DAN BILYET GIRO DALAM SISTEM PEMBAYARAN NON TUNAI KETENTUAN BANK INDONESIA DAN KUHD TENTANG PENGUNAAN CEK DAN DALAM SISTEM PEMBAYARAN NON TUNAI Jakarta, 6 April 2017 MENINGKATKAN PERLINDUNGAN BAGI PIHAK PIHAK PENGGUNA BILYET GIRO MENEGASKAN FUNGSI SEBAGAI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.806, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Informasi. Permintaan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR PER-08/1.02/PPATK/05/2013

Lebih terperinci

No. 17/ 14 /DPSP Jakarta, 5 Juni S U R A T E D A R A N Kepada PESERTA SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DI INDONESIA

No. 17/ 14 /DPSP Jakarta, 5 Juni S U R A T E D A R A N Kepada PESERTA SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DI INDONESIA 1 No. 17/ 14 /DPSP Jakarta, 5 Juni 2015 S U R A T E D A R A N Kepada PESERTA SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DI INDONESIA Perihal : Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana dan Kliring

Lebih terperinci

S U R A T E D A R A N

S U R A T E D A R A N No. 9/13/DASP Jakarta, 19 Juni 2007 S U R A T E D A R A N Perihal : Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong ---------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERANAN KLIRING DALAM LALU LINTAS PEMBAYARAN GIRAL DI BANK INDONESIA CABANG SURAKARTA

PERANAN KLIRING DALAM LALU LINTAS PEMBAYARAN GIRAL DI BANK INDONESIA CABANG SURAKARTA PERANAN KLIRING DALAM LALU LINTAS PEMBAYARAN GIRAL DI BANK INDONESIA CABANG SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan bank sangat memengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank dapat pula

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BILYET GIRO. A. Bilyet Giro Sebagai Salah Satu Surat Berharga. sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut 11.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BILYET GIRO. A. Bilyet Giro Sebagai Salah Satu Surat Berharga. sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut 11. 25 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BILYET GIRO A Bilyet Giro Sebagai Salah Satu Surat Berharga Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi,

Lebih terperinci

KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR

KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR Ketentuan dan Persyaratan Khusus Pembukaan Rekening Investor ini (berikut semua lampiran, perubahan dan atau pembaharuannya selanjutnya disebut

Lebih terperinci

No. 2/ 7 /DASP Jakarta, 24 Februari 2000 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Perihal : Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual.

No. 2/ 7 /DASP Jakarta, 24 Februari 2000 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Perihal : Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual. No. 2/ 7 /DASP Jakarta, 24 Februari 2000 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu jenis jasa bank (service) yang ada di Indonesia adalah jasa kliring

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu jenis jasa bank (service) yang ada di Indonesia adalah jasa kliring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu jenis jasa bank (service) yang ada di Indonesia adalah jasa kliring (clearing). Kliring adalah penagihan warkat bank yang berasal dari dalam kota

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode SEJARAH BANK INDONESIA : SISTEM PEMBAYARAN Periode 1959-1966 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran 2 Periode 1959-1966 2. Uang Rupiah Khusus Daerah Irian Barat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA, -1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung tercapainya sistem pembayaran

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/22/PBI/2010 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/22/PBI/2010 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/22/PBI/2010 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790] UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790] 33. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 46 ayat (1) menjadi

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh :

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : Dr. Hassanain Haykal, SH.,M.Hum ABSTRAK Bank sebagai

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

RAHASIA BANK. Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM

RAHASIA BANK. Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM RAHASIA BANK PENGERTIAN RAHASIA SESUATU YANG DIPERCAYAKAN SESEORANG UNTUK TIDAK DICERITAKAN KEPADA ORANG YANG TIDAK BERWENANG MENGETAHUINYA RAHASIA BANK SESUATU YANG DIPERCAYAKAN NASABAH KEPADA BANK AGAR

Lebih terperinci

No. 6/7/DPM Jakarta, 16 Februari 2004 November 2003 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

No. 6/7/DPM Jakarta, 16 Februari 2004 November 2003 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum No. 6/7/DPM Jakarta, 16 Februari 2004 November 2003 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. transaksi menggunakan Rupiah logam sebagai berikut : Rp 1000,00 (seribu Rupiah) dan/atau Rp 1500,00 (seribu lima ratus Rupiah), dan

BAB IV PENUTUP. transaksi menggunakan Rupiah logam sebagai berikut : Rp 1000,00 (seribu Rupiah) dan/atau Rp 1500,00 (seribu lima ratus Rupiah), dan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan berikut : Dari uraian dalam Bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal 1. Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat di Kabupaten Sijunjung menolak transaksi menggunakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG KOMITE KOORDINASI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG KOMITE KOORDINASI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG KOMITE KOORDINASI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa agar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

No. 18/39/DPSP Jakarta, 28 Desember 2016 S U R A T E D A R A N

No. 18/39/DPSP Jakarta, 28 Desember 2016 S U R A T E D A R A N 1 No. 18/39/DPSP Jakarta, 28 Desember 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis surat berharga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

I. PENDAHULUAN. Jenis surat berharga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan bidang usaha perdagangan dewasa ini menyebabkan orang-orang cenderung melakukan usaha secara praktis dan aman khususnya dalam cara dan alat pembayaran.

Lebih terperinci

KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR Ketentuan dan Persyaratan Khusus Pembukaan Rekening Investor ini (berikut semua lampiran, perubahan dan atau pembaharuannya selanjutnya disebut

Lebih terperinci

TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA. Mulyati, SE., M.T.I.

TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA. Mulyati, SE., M.T.I. TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA Mulyati, SE., M.T.I. Pendahuluan Fungsi utama Bank Sentral adalah mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan keuangan di suatu negara secara luas, baik dalam maupun luar

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 16, 1999 BURSA BERJANGKA. PERDAGANGAN. KOMODITI. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. BAPPEBTI. (Penjelasan

Lebih terperinci

MASALAH PENGGUNAAN CEK KOSONG DALAM TRANSAKSI BISNIS

MASALAH PENGGUNAAN CEK KOSONG DALAM TRANSAKSI BISNIS MASALAH PENGGUNAAN CEK KOSONG DALAM TRANSAKSI BISNIS Masyhuri Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang masy53huri@gmail.com Abstrak Cek adalah salah satu surat berharga yang diatur dalam Kitab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Uang sebagai sistem pembayaran tidak dapat dipisahkan dari fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Uang sebagai sistem pembayaran tidak dapat dipisahkan dari fungsinya untuk digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi di Indonesia mendorong masyarakat memperoleh segala sesuatu secara praktis dan aman dalam melakukan transaksi keuangan. Uang sebagai

Lebih terperinci

2011, No.35 2 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

2011, No.35 2 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.35, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. Kelebihan Pembayaran Pajak. Penghitungan. Prosedur PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/14/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN, PENGEDARAN, PENCABUTAN DAN PENARIKAN, SERTA PEMUSNAHAN UANG RUPIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA 1 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. independen berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. independen berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank Indonesia merupakan Bank Sentral atau Lembaga Negara yang independen berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/2 /PBI/2000 TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH GUBERNUR BANK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/2 /PBI/2000 TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH GUBERNUR BANK INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/2 /PBI/2000 TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PERDAGANGAN OBLIGASI PEMERINTAH GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang: a. bahwa untuk menutup kekurangan Anggaran Penerimaan dan Belanja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu

Lebih terperinci

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/16/PADG/2017 TENTANG KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/16/PADG/2017 TENTANG KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/16/PADG/2017 TENTANG KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Uang Dalam Perekonomian

Uang Dalam Perekonomian Uang Dalam Perekonomian Pengertian Uang Uang adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi Uang memiliki dua nilai, yaitu nilai nominal dan nilai riil. Nilai nominal adalah nilai yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat melakukan perdagangan dengan sistem barter, yaitu suatu sistem perdagangan dengan pertukaran antara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam lalu lintas pembayaran. Oleh karena itu, masyarakat dalam perkembangan

I. PENDAHULUAN. dalam lalu lintas pembayaran. Oleh karena itu, masyarakat dalam perkembangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman yang serba modern sekarang ini segala sesuatunya harus diselesaikan dengan cepat, mudah dan aman, terutama dalam dunia usaha atau perdagangan, khususnya dalam lalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan bank sangat memengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank dapat pula

Lebih terperinci

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

UU No. 8/1995 : Pasar Modal UU No. 8/1995 : Pasar Modal BAB1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1 Afiliasi adalah: hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat a. kedua, baik

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/43/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/29/PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 13 TAHUN 1989 TENTANG PERUBAHAN BESARNYA TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI ATAS CEK DAN BILYET GIRO PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

No. 12/36/DPNP Jakarta, 23 Desember 2010 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 12/36/DPNP Jakarta, 23 Desember 2010 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 12/36/DPNP Jakarta, 23 Desember 2010 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Izin Usaha Bank Umum menjadi Izin Usaha Bank Perkreditan Rakyat secara Mandatory dalam

Lebih terperinci

BANK INDONESIA No. 2/21/DPM Jakarta, 30 Oktober S U R A T E D A R A N kepada SEMUA BANK DI INDONESIA

BANK INDONESIA No. 2/21/DPM Jakarta, 30 Oktober S U R A T E D A R A N kepada SEMUA BANK DI INDONESIA BANK INDONESIA --------------- No. 2/21/DPM Jakarta, 30 Oktober 2000 S U R A T E D A R A N kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Tata Cara Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

Lebih terperinci