Bab III Ketentuan Peralihan Dalam Undang- Undang dan Akibat-Akibat Hukum Terhadap Yayasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab III Ketentuan Peralihan Dalam Undang- Undang dan Akibat-Akibat Hukum Terhadap Yayasan"

Transkripsi

1 Bab III Ketentuan Peralihan Dalam Undang- Undang dan Akibat-Akibat Hukum Terhadap Yayasan Dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan per-uu-an, ketentuan peralihan ditulis dalam tanda kurung (jika diperlukan). Pemakaian frase jika diperlukan 1 menyiratkan bahwa ketentuan peralihan bukan keharusan dalam setiap UU. Sekalipun bukan keharusan, namun ketentuan peralihan kerap diadakan guna mencegah terjadinya kekosongan hukum akibat terjadinya perubahan ketentuan menyangkut materi yang sama dengan apa yang diatur dalam UU yang baru dan ketentuan sebelumnya. Secara teknis, ketentuan peralihan ditempatkan pada bagian akhir UU, yaitu sesudah ketentuan pidana (jika ada) dan ketentuan penutup. Bagian berikut akan membahas ketentuan peralihan dalam UU dan keberadaannya dalam UUY. 1 Sri Hariningsih, Ketentuan Peralihan Dalam Perundang- Undangan, Artikel, dimuat dalam Media Publikasi Peraturan Perundang-Undangan dan Informasi Hukum, Kemenkumham RI, Ditjend Peraturan Perundang-Undangan, 29 Desember

2 A. Ketentuan Peralihan Undang-Undang Istilah ketentuan peralihan sering dinyatakan dengan istilah aturan peralihan 2, namun makna dari kedua istilah itu sama, yaitu ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi mengatur perubahan normatif terhadap hal-hal tertentu atas kehadiran peraturan per-uu-an yang baru. Dalam tulisan ini, istilah yang dipakai adalah ketentuan peralihan, sama dengan yang dipakai dalam UUY. Perkecualian dari hal itu adalah dalam hal kutipan guna memertahankan orisinalitas kutipan. 1. Pengertian Ketentuan Peralihan Ketentuan peralihan dalam UU dapat dikatakan bukan aturan pokok, melaikan aturan yang mengatur kelancaran penerapan aturan pokok UU. Jimly Asshiddiqie 3 mendefinisikan ketentuan peralihan sebagai berikut: Ketentuan peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan dan berfungsi meng- 2 Sekedar contoh, Dalam UUD 1945 istilah yang dipakai Aturan Peralihan, Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, istilah yang dipakai, Ketentuan Peralihan. Demikian pula dalam UU No 16 Tahun 2001 jo UU No Tentang Yayasan dan UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, istilah yang dipakai adalah Ketentuan Peralihan. 3 Jilmy Asshiddiqie, Op. cit, hal

3 atasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan norma dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Menurut Bagir Manan 4, pengadaan ketentuan peralihan dalam UU didasarkan pada dua asas, yaitu: pertama, asas umum pembentukan UU dengan prinsip bahwa hukum baru meniadakan hukum lama; dan kedua, asas ubi societas ibi ius dengan prinsip bahwa di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Menurut asas umum pembentukan UU, dengan berlakunya peraturan yang baru, maka peraturan lama, yang mengatur pokok yang sama, tidak berlaku lagi. Prinsip ini berlaku pada peraturan per-uu-an sejenis atau sederajat dan juga pada peraturan yang lebih rendah seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, atau kebijakan-kebijakan mengenai pelaksanaan peraturan per-uu-an. Pada kenyataannya, prinsip tersebut tidak dapat diterapkan secara ketat. Peraturan yang baru sering belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena berbagai sebab. Di antaranya peraturan pelaksanaan UU belum ada. Dalam keadaan seperti itu, ketentuan peralihan diperlukan untuk mengatur proses peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru yang ditetapkan 4 Bagir Manan, Op. cit, hal

4 secara hukum. Dalam hal ini, ketentuan peralihan menunda penerapan peraturan yang baru untuk sementara waktu. Hal ini sering disebut sebagai penyimpangan sementara 5 terhadap peraturan yang baru atas tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. Menurut asas ubi sosietas ibi ius, sebelum adanya peraturan per-uu-an (yang baru), selalu ada ketentuan hukum yang mengatur hal yang sama dengan yang baru. Untuk menjamin ketertiban dan ketentraman, keadilan dan kepastian hukum, maka berbagai hubungan dan akibat hukum yang sudah ada dalam penerapannya perlu diakomodasi dalam peraturan per-uu-an yang baru. Caranya ialah menunda berlakunya ketentuan baru menyangkut aspek tententu sampai batas waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi adresat hukum menyesuaikan diri terhadap ketentuan yang baru. Menurut Bagi Manan 6 ada lima fungsi ketentuan peralihan, yaitu: a. sebagai dasar hukum agar peraturan lama tetap berlaku; b. Menghin- 5 Istilah penyimpangan sementara dipergunakan oleh Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 129 dan Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 2, Kanisius, Yogyakarta, Cet. ke-1, tahun 2007, hal Bagir Manan, Op.cit., hal

5 dari atau meniadakan kekosongan hukum atau kekosongan peraturan; c. sebagai instrumen yang mengatur keadaan hukum dari peraturan lama akibat kehadiran aturan baru; d. menjamin kepastian dan perlindungan hukum; dan e. menjamin ketertiban akibat perubahan peraturan per-uu-an. 2. Materi Ketentuan peralihan Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa ketentuan peralihan diadakan guna memuluskan berjalannya peraturan per-uu-an baru tanpa menimbulkan masalah hukum. Oleh karena itu, kejelasan rumusan materi ketetuan peralihan merupakan keharusan. Bagir Manan 7 menyatakan bahwa isi atau materi ketentuan peralihan ada tiga, yaitu: 1. Mengatur hubungan antara aturan hukum yang baru dan yang lama. Ketentuan ini lazimnya menyatakan aturan-aturan lama yang tetap berlaku dengan syarat atau tanpa syarat tertentu sampai tidak diperlukan lagi. Suatu peraturan lama tidak diperlukan lagi baik karena telah tercipta aturan baru atau keadaan hukum atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul tidak memerlukan lagi aturan lama. 7 Bagir Manan, Ibid., hal

6 2. Mengatur keadaan atau hubungan hukum yang telah timbul atau sedang timbul berdasarkan aturan lama. Ketentuan ini menentukan aturan hukum yang berlaku terhadap keadaan atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul pada saat aturan baru dilahirkan. Pernyataan penundukan ini dapat berlaku terhadap peraturan lama atau peraturan baru. 3. Mengatur hubungan waktu bagi aturan lama, keadaan atau hubungan hukum yang telah ada serta penyesuaiannya dengan aturan baru. Ketentuan peralihan dapat menentukan suatu keadaan atau hubungan hukum tetap dikuasai aturan lama sampai waktu tertentu atau sampai terjadi suatu peristiwa hukum tertentu. Bertitik tolak hal-hal di atas tampak bahwa ketentuan peralihan merupakan aturan yang mengatur elastisitas hukum. Norma yang ada di dalamnya lebih mengarah pada upaya mencegah penerapan hukum secara kaku yang didasarkan pada prinsip positivisme serta upaya penciptaan kondisi agar apa yang diatur dalam per-uu-an yang baru dapat diterima. Di satu sisi, ketentuan peralihan memosisikan peraturan per-uu-an sebagai keharusan, tetapi di sisi yang lain ia menempatkan keharusan tersebut dalam konteks adresat hukum. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketentuan peralihan tidak menempatkan aspek kepastian hukum sebagai 101

7 satu-satunya tujuan hukum, tetapi juga aspek kemanfaatan yang dapat membawa kebaikan bagi manusia, adresat hukum. Berdasarkan prinsip tersebut dapat dikatakan bahwa ketentuan peralihan memosisikan adresat hukum (penyelenggara yayasan) sebagai hal utama. Penyelenggara yayasan diposisikan sebagai subyek yang memiliki kebebasan dan kemampuan mengatur dirinya sendiri menuju ke keadaan yang lebih baik. Dalam persepektif ini, fungsi ketentuan hukum dan UU bukanlah tujuan, tetapi hanyalah alat bagi manusia untuk mencapai keadaan yang lebih baik tersebut. Dengan pencandraan yang demikian menjadi jelas bahwa ketentuan peralihan dalam UU begitu penting. Kendati hanya mengatur proses peralihan keberlakuan ketentuan baru dari ketentuan lama, namun kehadirannya turut menentukan lancar-tidaknya bekerjanya UU baru. Pada hemat penulis, keadaan seperti itulah yang lebih memungkinkan penyelenggara yayasan menerima dan menaati ketentuan UUY. Mereka menaatinya bukan dengan paksaan, tetapi karena yakin bahwa ketaatan tersebut membawa kebaikan bagi kehidupan mereka dan yayasan yang mereka selenggarakan. Dengan sikap yang demikian besar kemungkinan bahwa peraturan yang baru dapat berjalan secara 102

8 efektif. 8 Itulah sebabnya mengapa ketentuan peralihan perlu dirumuskan secara tegas, jelas, tidak sama-samar atau ambigu. Dengan begitu apa yang dikehendaki pembuat UU dipahami sama oleh adresat dan para penegak hukum. Ketegasan dan kejelasan rumusan dimaksud dapat berupa: a. Batasan waktu berakhirnya keberlakuan ketentuan lama dan dinyatakan tidak diperlukan lagi; b. Pengaturan tindakan-tindakan hukum yang harus dilakukan adresat hukum selama penundaan pemberlakuan peraturan yang baru; c. Penegasan tentang acuan hukum atas tindakan hukum atau hubungan hukum selama masa penundaan pemberlakuan peraturan yang baru; dan d. Akibat-akibat hukum atau sanksi apabila adresat hukum tidak menaati ketentuan pada nomor 1, 2, dan 3 tersebut. 8 Efektif artinya, masyarakat menaati ketentuan hukum bukan karena takut akan hukuman atau karena merasa takut rusaknya hubungan dengan orang lain, melainkan didorong oleh penilaian bahwa aturan hukum sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Menurut Achmad Ali, nilai-nilai dimaksud berkaitan dengan kepentingan adresat. Manakala peraturan dinilai mendatangkan banyak keuntungan melebihi biaya-biaya atau pengorbanan yang harus dikeluarkannya, maka masyarakat cenderung menaati ketentuan hukum. Achmad Ali, Op. Cit.,, hal

9 Menurut Jimly Asshiddiqie 9 hal-hal tersebut perlu dinyatakan secara tegas karena ketentuan peralihan dapat terkait dengan subyek hukum (menyangkut hak dan kewajiban atau tugas dan keweanangan), norma hukum (yang mengalihkan berlakunya suatu peraturan dari mengikat menjadi tidak mengikat atau sebaliknya), dan obyek hubungan hukum tertentu atau tindakan hukum tertentu yang diatur. B. Ketentuan Peralihan Undang-Undang Yayasan Dalam UUY, ketentuan peralihan tertera pada Pasal 71. Ketentuan ayat (2) pada UU No. 16 Tahun 2001 diubah menjadi ayat (3) pada UU No 28 Tahun 2004, sedangkan ayat (2) pada UU No. 28 Tahun 2004 merupakan ayat tambahan sebagai penyempurnaan Pasal 71, UU No. 16 Tahun Rumusan selengkapnya demikian: (1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah: a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini, Yayasan 9 Jilmy Asshiddiqie, Loc.cit, hal

10 tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini. Pada UU No. 28 Tahun 2004, ketentuan pasal 71 ayat (1) huruf b diubah menjadi:...paling lambat 3 (tiga) tahun tehitung sejak tangal undang-undang ini mulai berlaku,.... Dalam penjelasannya, masa 3 (tiga) tahun itu diberikan kepada yayasan untuk menentukan pilihan apakah meneruskan atau tidak keberadaan yayasan. Jika diteruskan, maka dalam kurun waktu tersebut yayasan wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya (AD) dengan UUY. (2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku. (3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. (4) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata "Yayasan" di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan 105

11 atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Pada penjelasan ayat (4) disebutkan bahwa, pihak yang berkepentingan, adalah pihak yang memunyai kepentingan langsung dengan Yayasan. Pada hemat penulis, ayat (4) tersebut bukan ketentuan peralihan, sebab ketentuan yang ada di dalamnya bukan mengatur proses peralihan, melainkan mengatur sanksi bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD dan/atau tidak memberitahukan kepada menteri penyesuaian AD dalam kurun waktu yangtelah ditetapkan. Jimly Asshiddiqie 10 memang setuju kalau akibat hukum semacam itu ditempatkan pada ketentuan peralihan, namun pandangan ini sulit diterima karena penataan materi UU selalu diklasifikasi berdasarkan pokok yang diatur. Materi sanksi, termasuk ketentuan pidana (bila diperlukan), diatur pada bagian khusus, baik dalam bab maupun pasal. Berdasarkan pemahaman itu, ayat (4) semestinya tidak ditempatkan dalam ketentuan peralihan, melainkan dalam bab atau pasal khusus yang mengatur sanksi. Oleh karena itu, ayat (4) akan dibahas di bagian khusus terpisah dari bahasan tiga ayat sebelumnya. 10 Jilmy Asshiddiqie, Ibid., hal

12 Dalam pasal 71 di atas ada empat hal pokok yang diatur, yaitu: 1. penundaan berlakunya UUY; 2. dasar hukum penundaan berlakunya UUY; 3. Kewajiban menyesuaikan AD; dan 4. akibat hukum ketentuan peralihan terhadap yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UU setelah masa penundaan sementara berakhir. Pokok 1, 2, dan 3 secara berturut-turut dibahas pada sub bab ini, sementara pokok 4 dibahas pada sub bab berikutnya. 1. Penundaan Undang-Undang Yayasan Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2), yayasan yang telah berdiri sebelum UUY pada prinsipnya dapat diakui sebagai badan hukum menurut versi UUY. Yayasan dimaksud ialah yayasan menurut versi ayat (1), yang didirikan menurut kebiasaan, doktrin, atau yurisprudensi Mahkamah Agung dan versi ayat (2), yaitu yayasan yang didirikan dengan Akta Notaris atau tanpa Akta Notaris. Dalam rumusan ayat (1) ada dua kategori yayasan, yaitu: a. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara; dan b. telah didaftarkan di pengadilan negeri dan memiliki ijin melakukan kegiatan dari instansi terkait. Yayasan di luar kategori itu merupakan bagian dari kategori ayat (2). Agar 107

13 tetap menjadi badan hukum berdasarkan UUY, yayasan tersebut wajib melakukan penyesuaian AD dengan UUY. Penyesuaian AD dimaksud meliputi banyak hal seperti perubahan fungsi dan kewenangan organ yayasan, struktur organisasi, persyaratan pendirian yayasan, pengelolaan kekayaan dan sumber kekayaan yayasan. Penyesuaian AD ini dinilai butuh waktu yang relatif lama. Dalam proses penyesuaian itulah diperlukan ketentuan peralihan. Ia menjadi dasar hukum penundaan berlakunya UUY untuk sementara waktu seraya memberi kesempatan kepada yayasan memelajari dan memahami UUY dan akhirnya melakukan penyesuaian AD. Selama masa penundaan, keberadaan yayasan dan kegiatannya tetap diakui dengan pengaturan berdasarkan AD yayasan yang ada. Itu artinya, meskipun UUY sudah dinyatakan berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002, ketentuan pokok yang ada di dalamnya belum diberlakukan bagi yayasan dalam kategori ayat (1) dimaksud. Ditinjau dari asas pembentukan UU ketentuan tersebut semestinya tidak diperlukan, sebab pada saat peraturan yang baru ditetapkan dan/atau dinyatakan berlaku, maka ketentuan lama (AD lama yayasan) dengan sendirinya tidak berlaku. Prinsip ini ternyata tidak diterapkan secara kaku 108

14 dalam UUY. Pembuat UU menilai bahwa yayasan di Indonesia belum siap. Untuk itu, yayasan yang telah berdiri sebelum UUY perlu diberi kesempatan menyesuaikan diri dengan menunda berlakunya UUY. Bagi Jimly Asshiddiqie 11 penundaan semacam itu disebut penyimpangan sementara atas UU. Disebut demikian karena apa yang ditetapkan dalam ketentuan peralihan, sifatnya temporer. Manakala waktu yang ditetapkan telah berakhir, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan baru, dalam hal ini UUY. Dalam kurun waktu tersebut ketentuan hukum yang berlaku bagi yayasan adalah AD 12 lama. Hal ini berlaku sampai tanggal 6 Agustus 2007 atau lima tahun setelah UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus Pembuat UU tampaknya yakin bahwa dalam kurun waktu tersebut, yayasan melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UU No. 16 Tahun Kenyataannya tidak demikian. Sebelum berakhirnya batas waktu penundaan 11 Jilmy Asshiddiqie, Ibid, hal 129. Lihat juga Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (2), Proses dan Teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Cet-1, Tahun 2007, hal Pasal 72A menyatakan, pada saat UU ini mulai berlaku, ketentuan Angagran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2) yang belum disesuaikan dengan UU ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. 109

15 berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2), respon yayasan tidak sama. Sebagian besar yayasan tidak melakukan penyesuaian AD dengan UUY. Keadaan di atas mendorong DPR untuk mengubah UU No. 16 Tahun 2001 dengan UU No. 28 Tahun Berdasarkan UU terakhir, masa penundaan diperpanjang sampai 6 Oktober 2008 atau 3 (tiga) tahun setelah UU No 28 Tahun 2004 dinyatakan berlaku tanggal 6 Oktober Total waktu penundaan 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan. Terhadap yayasan versi ayat (2) batasan penyesuaian AD lebih singkat, yaitu paling lambat tanggal 6 Agustus 2003 atau 1 (satu) tahun sejak UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan mulai berlaku tanggal 6 Agustus Dengan terbitnya UU No. 28 Tahun 2004, waktu tersebut diperpanjang menjadi paling lambat tanggal 6 Oktober 2006 atau 1 (satu) tahun sejak UU No. 28 Tahun 2004 dinyatakan mulai berlaku. Total waktu penundaan 2 (dua) tahun 2 (dua) bulan. 2. Dasar hukum penundaan pemberlakuan Undang-Undang Yayasan Telah disebutkan di depan bahwa berlakunya UUY ditunda untuk sementara waktu. Agar penundaan tersebut sah, maka UUY memberi dasar hukum, yaitu a. ketentuan Pasal 73; b. 110

16 ketentuan Pasal 71 ayat (1), huruf b; dan c. ketentuan Pasal 72 A. a. Ketentuan Pasal 73 UUY. Pasal ini menegaskan: Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. UU No 16 tahun 2001 disahkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dan dinyatakan berlaku terhitung sejak tanggal 6 Agustus Ini artinya sekalipun UU sudah diundangkan, yayasan boleh menyimpanginya dengan tetap menggunakan AD lama sebagai dasar hukum kegiatan yayasan. b. Ketentuan Pasal 71 ayat (1), huruf b UU No. 16 Tahun Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan:...tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini. Istilah 5 (lima) tahun dalam ketentuan di atas mengandung pengertian lima tahun sejak UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan berlaku pada tanggal 6 Agustus 2002 sampai paling lambat tanggal 6 Agustus Pada UU No 28 Tahun 2004, waktu tersebut diubah men- 111

17 jadi paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU No. 28 Tahun 2004 dinyatakan berlaku pada tanggal 6 Oktober 2005 sampai paling lambat tanggal 6 Oktober Ini artinya bahwa sampai tanggal 6 Oktober 2008 status hukum yayasan masih diakui berdasarkan AD lama. c. Ketentuan Pasal 72A UU No 28 Tahun Ketentuan dalam pasal ini berbunyi : Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) yang belum disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Dasar hukum di atas merupakan penegasan dasar hukum bagi yayasan selama masa penundaan berlakunya UUY. Pernyataan ketentuan Anggaran Dasar yayasan..., tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, merupakan legalisasi masih berlakunya AD lama. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, tampak bahwa keberadaan yayasan yang belum menyesuaikan AD dan seluruh kegiatannya memiliki dasar hukum yang jelas. Yang menjadi masalah ialah ketentuan tersebut dapat melemahkan daya paksa UUY 112

18 sebagai hukum positif. Ia dapat menimbulkan anggapan bahwa penyesuaian AD tidak harus dilakukan dalam waktu terbatas. Sekalipun batas akhir masa penyesuaian AD terlewati dan yayasan belum melakukan penyesuaian AD lama yayasan tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UUY. Dasar hukum seperti itu tampak ambigu. Di satu sisi merupakan hukum positip, tetapi di sisi ia terus memberi kelonggaran yang seolah-olah tanpa batas. Ada kemungkinan bahwa rumusan tersebut sengaja dipakai untuk mencegah kekosongan hukum bagi yayasan yang belum melakukan penyesuaian AD. Sekalipun bermanfaat, namun ketentuan seperti itu tampaknya secara implisit mengakui tidak adanya urgensi eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD. 3. Kewajiban Menyesuaikan Anggaran Dasar Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa yayasan yang memilih memertahankan bentuk yayasan memiliki kewajiban untuk menyesuaikan AD dengan UUY. Lamanya waktu yang diberikan UU untuk menyelesaikan kewajiban itu 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan sebagaimana diatur pada Pasal 71 ayat 1 huruf b. 113

19 Boedi Wahyono dan Suyud Margono 13, menyatakan ada empat substansi materi AD yang harus disesuaikan dengan ketentuan UUY, yaitu: a. organ yayasan dan segala kewenangan dan larangnya; b. pemisahan harta kekayaan yayasan dari kekayaan pribadi pendiri; c. standar isi AD; dan d. prosedur formal pendirian yayasan. Menurut penulis, bagian d tidak masuk dalam materi penyesuaian AD. Ketentuan ini berlaku pada yayasan baru untuk mendapatkan status badan hukum. Oleh karena itu, bagian tersebut tidak dibahas. Yang dibahas berikut ini, yaitu: a. Strandar isi anggaran dasar; b. Kekayaan yayasan; dan c. Organ yayasan dan kewenangannya. a. Standar isi Anggaran Dasar Sebagaimana telah disebutkan pada bab I, halaman 8-9, ada sekurang-kurangnya 11 unsur yang harus dimuat dalam AD untuk mendapatkan status badan hukum, yaitu: a. nama dan tempat kedudukan; 13 Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara Fungsi Karitatif Atau komersial, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hal

20 b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; c. jangka waktu pendirian; d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda; e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan; f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan; i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan k. penggunaan kekayaan sisa likuidasi a- tau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran. Selain itu, ayat (3) menambahkan bahwa keterangan lain yang perlu dimuat dalam AD adalah identitas organ yayasan. Paling sedikit, meliputi nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraannya. Prinsipnya makin lengkap makin baik. Apa yang diatur pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) di atas bukan hal baru bagi yayasan. Umumnya yayasan sudah mengatur hal 115

21 serupa dalam AD sebelumnya. Yang perlu adalah penyesuaian pengaturan unsur-unsur tersebut dengan ketentuan UUY. Hal yang paling pokok di antaranya ialah tentang kekayaan yayasan, organ yayasan dan kewenangannya sebagaimana dibahas pada bagian b dan c di bawah. Untuk memudahkan proses penyesuaian AD, pemerintah telah menetapkan format AD 14 baku, dan telah disebarluaskan kepada para notaris segera setelah UUY terbit. Prosedur untuk memeroleh pengesahan menteri atas akta penyesuaian AD juga diatur secara rinci dalam pasal 37 dan Pasal 38 PP 63. Di sini ditekankan bahwa perubahan AD dilakukan oleh organ yayasan sesuai dengan AD yang bersangkutan, diberitahukan kepada menteri oleh pengurus yayasan atau kuasanya melalui notaris pembuat akta perubahan AD. Bukti-bukti administrasi apa saja yang diperlukan ketika memberitahukan kepada menteri, juga diatur secara sangat rinci seperti: salinan akta perubahan AD yayasan, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian yayasan atau 14 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, 2008, hal

22 bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak yayasan yang dilegalisir notaris, dan lain-lain. Dengan persyaratan dan prosedur di atas dapat dikatakan bahwa apabila yayasan serius memertahankan bentuk yayasan maka proses penyesuaian AD terhadap UUY, diyakini dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan, yakni paling lambat tanggal 6 Oktober Kenyataannya tidak demikian. Keengganan yayasan untuk melakukan penyesuaian AD dalam kurun waktu yang ditetapkan tampaknya disebabkan tidak sinkronnya tuntutan UUY dan kebutuhan nyata para penyelenggara yayasan. b. Kekayaan Yayasan Salah satu unsur pokok yang harus ada pada yayasan untuk mendapatkan status badan hukum adalah adanya kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri. Kekayaan itu dimaksudkan melulu untuk mencapai tujuan yayasan, yaitu tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Hal ini telah ditegaskan pada Pasal 1 ayat (1): 117

23 Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak memunyai anggota. Menurut teori kekayaan bertujuan dari A. Brinz 15, kekayaan semacam itu bukan milik siapa-siapa. Kalaupun ada pemilik, maka pemiliknya bukanlah pendiri atau pengurus yayasan, melainkan tujuan yayasan itu sendiri. Menurut teori ini yang menjadi subyek hukum adalah manusia, namun dalam kenyataannya ada hak-hak atas kekayaan tertentu yang bukan dimiliki oleh siapa pun. Kekayaan semacam itu terikat oleh suatu tujuan, yaitu tujuan yang hendak diwujudkan oleh yayasan. Bagi Brinz kekayaan bertujuan inilah yang disebut badan hukum, dalam hal ini yayasan. Bagi pendiri dan pengurus yayasan, konsep Brinz yang juga dianut UUY tersebut sulit diterima. Hal ini dapat ditemukan di kalangan yayasan yang didirikan oleh orang perorang. Bagi mereka, badan hukum yayasan adalah organisasi yang terdiri atas pendiri dan para pengurus, bukan kekayaan seperti konsep 15 Rido Ali R., Badan Hukum dan Keududukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, Cet. Ke-3 tahun 2012, hal. 8. Lihat juga Chatamarrasjid Ais, Op.cit, hal

24 Brinz. Kekayaan yang dipakai untuk mendirikan yayasan dianggap tetap merupakan milik pendiri yang kerap merangkap menjadi pengurus yayasan. Terlepas dari pandangan di atas, ketentuan Pasal 1 ayat (1) tampaknya mengandung setidaknya dua pesan, yaitu: 1) Yayasan hanya boleh didirikan apabila ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri dan/atau dari sumbangan donatur; 2) Status kekayaan yang dipisahkan bukan lagi milik pendiri dan/atau milik donatur, melainkan milik yayasan. Pesan tersebut memberi penegasan bahwa pendirian yayasan tidak boleh dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki kekayaan yang secara khusus dipisahkan untuk mewujudkan tujuan yayasan. Ini artinya, sejak yayasan didirikan sejak saat itu pendiri dan/atau donatur kehilangan hak atas kekayaan tersebut. Inilah antara lain yang membedakan yayasan dari badan hukum lain seperti perseroan terbatas. Dalam perseroan terbatas, harta yang disetor untuk mendirikan perseroan, tetap merupakan hak milik pendiri. 119

25 Dalam pandangan Chatamarrasjid Ais 16 ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu merupakan penegasan bahwa penentuan status badan hukum yayasan tidak lagi menganut sistem terbuka berdasarkan kebiasaan, doktrin, atau yurisprudensi, melainkan menganut sistem tertutup berdasarkan UU. Artinya, status badan hukum yayasan hanya dapat diperoleh apabila memenuhi ketentuan UU. Salah satunya tentang kekayaan yang dipisahkan itu, yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penegasan yang demikian, tampaknya mengandung setidaknya tiga maksud, yaitu: 1) sebagai strategi hukum untuk menciptakan kepastian hukum tentang keberadaan yayasan sekaligus mengembalikan fungsi yayasan; 2) mencegah pendirian usaha bisnis berkedok yayasan sebagaimana sering terjadi pada masa sebelumnya; 3) memerjelas perbedaan antara yayasan dan badan hukum lain secara hukum. Bagi yayasan yang telah berdiri sebelum UUY, utamanya bagi yayasan yang didirikan oleh orang perorangan, ketentuan tersebut tampak tidak memotivasi mereka untuk mela- 16 Chatamarrasjid Ais, Op.cit, hal

26 kukan penyesuaian AD. Para pendiri yang menggunakan harta kekayaan pribadi untuk mendirikan dan melaksanakan kegiatan yayasan keberatan bila kekayaannya hilang hanya karena kehadiran sebuah UU. Keadaan di atas, makin diperkuat oleh ketentuan Pasal 5 UUY. Pasal ini menguatkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dengan larangan pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan berupa uang, barang, atau kekayaan lain, baik langsung maupun tidak langsung kepada pendiri, pengurus dan pengawas. Dengan adanya ketentuan ini, penyelenggara yayasan tampaknya makin tidak termotivasi untuk melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UUY. Di sisi lain, ketentuan Pasal 5 tidak hanya berlaku pada kekayaan awal yayasan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri, tetapi juga pada kekayaan dari sumber lain sebagaimana telah diatur pada Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 seperti sumbangan atau bantuan yang tak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan bantuan pemerintah. Demikian pula laba dari hasil usaha yayasan sebagaimana diatur pada Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 UU No 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun

27 Dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 dijelaskan bahwa kekayaan yayasan dapat diperoleh dari kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan, baik dengan mendirikan badan usaha maupun ikut serta dalam suatu badan usaha. Oleh karena itu, hasil dari kegiatan usaha tidak boleh dibagikan kepada pendiri, pengurus, dan pengawas. Para pendiri yayasan beranggapan bahwa ketentuan tersebut a-historis 17. Ia tidak peduli kenyataan dan sejarah pendirian yayasan di Indonesia dan mengadopsi secara langsung pandangan masyarakat di negara maju, yang berpandangan bahwa yayasan adalah badan hukum yang melulu bersifat filantropis. Dalam pandangan masyarakat Indonesia, yayasan memang diakui bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Bersamaan dengan itu, yayasan juga dipahami sebagai wadah untuk membuka lapangan kerja yang mendatangkan penghasilan bagi pendiri dan/ atau pengurus dan anggota keluarga mereka, bahkan orang lain. 17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa ahistoris adalah sikap memahami kultur lama tanpa memedulikan aspirasi sejarah yang melahirkannya

28 Menurut Anwar Borahima 18, yayasan seperti itu banyak ditemukan di lingkungan pondok-pondok pesantren. Selain untuk tujuan sosial, mereka mendirikan yayasan untuk melestarikan warisan secara turun temurun. Itulah sebabnya mereka bukan cuma memberikan hartanyanya berupa tanah, bangunan dan fasilitas lain untuk yayasan. Mereka kerap merangkap menjadi pengurus yang berkeja penuh waktu. Yayasan semacam inilah antara lain yang keberatan terhadap ketentuan Pasal 5. Di sisi lain, ketentuan Pasal 5 ternyata memiliki peran signifikan dalam memulihkan fungsi yayasan. Irma Devita Purnamasari 19 menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 5 berhasil meredam niat para pengusaha untuk mendirikan badan usaha komersial berkedok yayasan. Mereka yang sebelumnya mendirikan rumah sakit dan lembaga pendidikan komersial dalam bentuk yayasan beralih ke bentuk perseroan terbatas. 18 Anwar Borahima, Op.Cit., hal Irma Devita Purnamasari, Mengapa Saat Ini Para Pengusaha Tidak Memilih Yayasan Sebagai Bentuk Usahanya?, irmadevita.com/2007/mengapa-para-pengusaha-sekarang-tidakmemilih-yayasan-sebagai-bentuk-usahanya/ 123

29 Mungkin dengan timbulnya efek positip tersebut, pembuat UUY berusaha menjawab keberatan yayasan dengan merevisi materi larangan pada Pasal 5 dalam UU No 16 Tahun Objek larangan dan pengecualian atas larangan ditata kembali. Kalau semula pengurus dilarang menerima gaji, namun setelah Pasal 5 direvisi, larangan tersebut diubah menjadi pengurus dapat menerima gaji, upah maupun honorarium atau bentuk lain 20 yang dapat dinilai dengan uang. Syaratnya ialah pengurus yayasan bukan pendiri yayasan dan tidak berafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas, serta melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh. Ketentuan ini harus diatur secara eksplisit dalam AD. Bagi yayasan yang didirikan oleh badan hukum seperti yayasan dalam instansi pemerintah, BUMN/D, TNI, Polri, BI, revisi di atas tampaknya bisa diterima. Kekayaan yayasan pada yayasan semacam itu tidak berasal dari kekayaan pribadi para pendiri, melainkan dari lembaga tempat kerja mereka. Para pengurus 20 Istilah bentuk lain berarti pendapatan yayasan berupa deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung atau perolehan dari badan usaha yang didirikan oleh yayasan atau hasil penyertaan yayasan pada suatu badan usaha, Chatamarrasjid, Op.cit., hal 6 124

30 juga bekerja penuh waktu dan diberi gaji dari keuangan yayasan. Hal yang berbeda terjadi pada yayasan yang didirikan dengan memisahkan kekayaan pribadi. Para pendiri yayasan ini tampak tidak mudah menerima pengalihan kekayaan pribadi menjadi milik yayasan hanya karena adanya UUY. Upaya mereka membantu pemerintah mencerdaskan dan memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dinilai tidak selayaknya diimbali hilangnya hak mereka atas kekayaannya oleh kehadiran aturan hukum. Yang menjadi persoalan ialah argumen tersebut bertentangan dengan prinsip hukum positip. Apa yang diatur dalam UU merupakan aturan yang mengikat dan harus ditaati. Kekayaan yayasan serta hasil usahanya tidak boleh dikaitkan dengan opini atau pandangan masyarakat. Niat mendirikan yayasan tidak boleh bertentangan dengan UU. Asumsi UU ialah pendiri yayasan hanyalah orang kaya yang merasa terpanggil membantu sesama, tanpa pamrih atau imbalan. Oleh sebab itu, seluruh yayasan dan para pendiri wajib menaati ketentuan UUY, termasuk apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 5. Atas dasar prinsip itu, semua pelanggaran diancam sanksi, termasuk sanksi pidana. Pe- 125

31 langgaran atas ketentuan Pasal 5 21 misalnya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Organ yayasan yang melakukan pelanggaran dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan. Pada hemat penulis, benturan prinsip hukum positip dan pandangan masyarakat atas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 tidak boleh dibiarkan atau diatasi hanya dengan mengandalkan prinsip hukum positip secara kaku. Solusi yang tampaknya tepat dan sesuai dengan tujuan hukum nasional adalah pendekatan prioritas kasuistik sebagaimana diajarkan Rabruch. Dalam hal ini, penerapan ketentuan-ketentuan UUY, termasuk Pasal 1, Pasal 5, dan ketentuan peralihan perlu dilakukan secara kasuistik. Berdasarkan pendekatan tersebut ada setidaknya dua kemungkinan yang dapat ditempuh. Pertama, ketentuan peralihan cukup diterapkan pada yayasan yang didirikan oleh badan hukum dan yayasan yang didirikan sejak UUY dinyatakan berlaku. Kedua, ketentuan bagi yayasan yang didirikan oleh pero- 21 Ancaman pidana diatur pada Pasal 70 UU No 16 Tahun

32 rangan dan telah berdiri sebelumnya, diatur secara khusus dengan mengakomodasi kepentingan pendiri yang menggunakan kekayaan pribadi untuk mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan yayasan. Dalam Aturan tersebut, pengklasifikasian yayasan seperti disebutkan pada bab II harus dilakukan. Dengan demikian, ada setidaknya dua aturan khusus. Pertama, aturan yang mengatur yayasan murni, yaitu yayasan yang kegiatannya melulu mengumpulkan dan menyalurkan sumbangan para dermawan kepada pihak yang memerlukan. Kedua, aturan yang mengatur yayasan yang selain melaksanakan hal di atas, juga melaksanakan sendiri kegiatan yayasan seperti yayasan pendidikan dan rumah sakit. Pada hemat penulis, solusi seperti itulah yang mampu memenuhi tujuan hukum dalam UUY yang dapat mewujudkan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum yang dapat membawa kebahagiaan bagi masyarakat karena sesuai dengan budaya Indonesia. Atas dasar pandangan ini, dapat dikatakan bahwa eksekusi ketentuan peralihan pada UU No 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004 bagi yayasan tersebut tidak memiliki urgensi. 127

33 c. Organ Yayasan dan kewenangannya Unsur pokok lain yang harus ada agar diakui sebagai badan hukum oleh UUY adalah adanya organ yayasan. Hal ini dinyatakan secara tegas pada Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2001, bahwa Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Organ yayasan merupakan personifikasi yayasan dalam melaksanakan perbuatanperbuatan hukum. Yayasan sebagai badan hukum adalah subyek hukum, tetapi tidak sama dengan manusia. Yayasan tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan semua hak, melakukan semua kewajiban, serta perbuatan hukum seperti halnya manusia 22. Dalam kondisi ini organ yayasan berfungsi menjadi perantara atau pelaku semua perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan guna mewujudkan maksud dan tujuan yayasan. Dalam melaksanakan hal tersebut, fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ diatur secara terpisah dan tegas 23. Hal ini 22 R. Ali Rido, Op.ci, hal Lihat penjelasan umum, alinea keenam UU No. 16 Tahun

34 dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konflik internal yang dapat merugikan, baik yayasan maupun pihak lain. Oleh karena itu hubungan masing-masing organ diatur secara jelas sehingga setiap organ dapat memainkan peran maksimal pada wilayahnya masingmasing sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling mendukung untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Sebelum UUY, organ yayasan adalah pendiri, pengurus dan kadang ada dewan penyantun. Fungsi, wewenang, serta tugas pendiri dan pengurus cenderung tumpang tindih. Jabatan ketua, sekretaris, dan bendara pada badan pendiri dan badan pengurus dan/ atau dewan penyantun dirangkap oleh orangorang yang sama. Contohnya: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Keanekaan Ragam Hayati, dan Yayasan Beasiswa Supersemar 24. Tumpang tindih atau rangkap jabatan itulah antara lain yang menyebabkan yayasan pada masa lalu menyimpang dari hakekat yayasan. Fungsi, wewenang, dan tugas organ pembina dalam UUY diatur dalam 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Bagi 24 Chatamarrasjid Ais, Op.cit, hal

35 yayasan baru, organ pembina ini bisa sekaligus pendiri, tetapi tidak harus demikian. Kewenangan pokok organ ini lebih bersifat kebijakan. Di antaranya, kewenangan tentang perubahan AD, menetapkan kebijakan umum yayasan, mengangkat dan memberhentikan pengurus dan pengawas, mengesahkan program kerja dan rancangan anggaran yayasan, serta putusan penggabungan atau pembubaran yayasan. Organ pengurus merupakan pengelola kekayaan dan pelaksana kegiatan yayasan secara penuh, bahkan bertanggung jawab mewakilli yayasan dalam dan di luar pengadilan. Perkecualian atas hal ini antara lain terkait dengan kasus yang melibatkan pribadi pengurus dan yayasan, mengikat yayasan sebagai penjamin uang, mengalihkan kekayaan yayasan tanpa persetujuan pembina, dan membebani yayasan untuk kepentingan pihak lain. Sebagai pelaksana, apa yang dikerjakan pengurus harus didasarkan pada keputusan pembina dan diatur dalam AD. Oleh karena itu, seluruh kegiatan pengurus dibertanggungjawabkan kepada pembina dengan tata cara tertentu, yang juga diatur dalam AD. Secara rinci fungsi, wewenang, tugas dan proses per- 130

36 tanggungjawaban pengurus diatur dalam 9 (sembilan) pasal, yaitu Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 Pasal 38, dan Pasal 39. Untuk memastikan pelaksanaan kegiatan yayasan, pengawas melakukan pengawasan, dan kalau perlu memberikan nasehat, kepada pengurus. Manakala pengurus melakukan kesalahan berdasarkan AD, pengawas berwenang menegur,bahkan dapat memberhentikan sementara pengurus. Sama seperti pengurus, organ pengawas wajib menyampaikan pertanggungjawaban pengawasan yayasan kepada pembina dengan tata cara yang diatur dalam AD. Fungsi, wewenang, dan tugas Pengawas diatur dalam 8 (delapan) pasal, yaitu Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47. Secara umum dapat dikatakan bahwa pokok-pokok yang diatur terhadap organ yayasan paling sedikit ada lima hal, yaitu: 1. Persyaratan menjadi pembina, pengurus, dan pengawas; 2. Kewenangan masing-masing organ yang tidak dapat diserahkan kepada atau diambil alih oleh organ lain; 131

37 3. Proses pengangkatan atau pemberhentian atau penggatian anggota organ; 4. Ketentuan tentang rapat dan pengambilan keputusan di setiap organ berdasarkan kewenangannya masing-masing; 5. Susunan organisasi organ yayasan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, tampak bahwa organ yayasan tidak identik dengan anggota sebagaimana dipahami dalam yayasan sebelum UUY. Pada tiga yayasan yang disebutkan depan, yayasan memiliki anggota. Personalnya, termasuk di antaranya pendiri yang kerap merangkap sebagai pengurus, dewan penyantun, bahkan sekaligus pemilik. Rumusan Pasal 1 ayat (1) menegaskan, bahwa yayasan tidak memiliki anggota. Kalau pun ada, menurut Rochmat Sumitro 25 anggota tersebut lazimnya dipahami sebagai orangorang yang mendapat manfaat dari yayasan, seperti penerima beasiswa dari siswa miskin atau biaya hidup bagi anak-anak terlantar, anak yatim piatu, atau kaum jompo. Menurut UUY, organ yayasan bukanlah pemilik. Kalaupun mereka disebut pemilik, maka status mereka hanyalah pemilik formal 25 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT Eresdo Bandung, Cetatakan Pertama, 1993, hal

38 yang dipercayakan mengelola kekayaan yayasan (trustee) sehingga hanya boleh menggunakan kekayaan yayasan untuk mewujudkan tujuan yayasan. Dalam status yang demikian, Anwar Borahima 26 menyatakan organ yayasan disebut sebagai pemilik fidusia (fidusiair eigenaar), pemilik yang terikat (gebonden eigenaar), pemilik dalam suatu kedudukan tertentu (eigenaar in kwaliteit). Ini artinya, bila mereka berhenti atau diberhentikan dari status pembina, pengurus, dan pengawas, maka status kepemilikannya atas yayasan berakhir. Mereka tidak lagi memiliki hak dan kewajiban hukum apa pun dalam yayasan. Bagi yayasan yang didirikan oleh badan hukum, seperti yayasan dalam instansi pemerintah, BUMN/D, TNI, Polri, BI atau perusahaan, ketentuan di atas tampaknya tidak menjadi persoalan. Status organ sebagai pemilik fidusia atas kekayaan yayasan dapat diterima karena kekayaan tersebut tidak terkait langsung dengan kekayaan pribadi pembina, pengurus dan pengawas. Pergantian organ pun dianggap wajar. Menurut penulis, keadaan ini merupakan salah satu jawaban 26 Anwar Borahima, Op.cit., hal

39 mengapa yayasan bentukan badan hukum umumnya melakukan penyesuaian AD dalam kurun waktu yang diatur dalam ketentuan peralihan. Berbeda dengan itu, yayasan yang didirikan oleh orang perorangan tampak belum menerima pengaturan organ versi UUY. Bagi mereka ketentuan tersebut merupakan pengukuhan ketentuan Pasal 5 jo Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 yang menghilangkan hak mereka atas kekayaannya dalam yayasan. Bagi mereka, status organ bukanlah pemilik fidusia, tetapi pemilik murni sebagaimana halnya terhadap kekayaan mereka yang lain. Konsisten dengan apa yang dikemukakan di depan, benturan ketentuan hukum terhadap kepentingan masyarakat tidak boleh dibiarkan, tetapi tidak tepat pula diatasi dengan mengandalkan prinsip hukum positip secara kaku. Solusi yang tampaknya tepat dan sesuai dengan tujuan hukum nasional adalah pendekatan prioritas kasuistik model Rabruch itu. Pada hemat penulis, penerapan UUY yang tanpa memertimbangkan solusi yang ditawarkan Radbruch, penegakkan hukum yayasan ke depan akan terseok-seok. Pemaksaan eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan 134

40 yang tidak melakukan penyesuaian AD cenderung meredusir tujuan hukum menjadi sekedar kepastian dan mengabaikan tujuan hukum yang sesungguhnya sebagaimana disebutkan di depan. C. Akibat-Akibat Hukum Ketentuan Peralihan Sampai berakhirnya jangka waktu penyesuaian AD pada tanggal 6 Oktober 2008, bahkan sampai tesis ini ditulis, respon yayasan terhadap ketentuan peralihan ternyata tidak seperti yang diharapkan o- leh UUY. Sebagian yayasan melakukan penyesuaian AD tepat waktu, sebagian melakukan penyesuaian AD setelah berakhirnya batasan waktu, dan sebagian lainnya tidak melakukan penyesuaian AD 27 atau mengubah bentuknya menjadi perkumpulan. Mengacu pada ketentuan peralihan, dua kategori yayasan yang disebut terakhir seharusnya mendapatkan akibat hukum dan sanksi. Akibat hukum 27 Penelitian Bisdan Sigalingging, menyatakan bahwa sampai April 2012 jumlah yayasan yang tercatat telah mendapat pengesahan AD di Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM RI ada yayasan. Dari jumlah itu, ada yayasan yang melakukan penyesuaian AD tepat waktu, dan lainnya mendapat pengesahan AD dengan proses seperti yayasan baru, walaupun sebagian besar di antaranya merupakan yayasan lama yang telah berdiri sebelum UUY. Karena diproses seperti yayasan baru, maka nama yayasan tersebut ganda. Yayasan baru yang disahkan menggunakan nama yayasan lama yang belum dibubarkan

41 dan sanksi tersebut tentu tidak berjalan otomatis tanpa didukung oleh unsur lain dalam sistem hukum, utamanya pemerintah dan penegak hukum. Jika yayasan dimaksud mau diselamatkan karena pertimbangan kontribusinya yang besar bagi kehidupan masyarakat, maka perlu ada tindak lanjut ketentuan peralihan yang dinilai tepat. Ketiga hal di atas (akibat hukum, sanksi, dan tindak lanjut) akan dibahas berturut-turut pada bagian di bawah. 1. Akibat Hukum Menurut ketentuan peralihan, yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD tepat waktu dan/atau melakukan penyesuaian tetapi tidak memberitahukannya kepada menteri sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan sendirinya akan menanggung setidaknya dua akibat hukum, yaitu: a. Tidak menjadi subjek dari hak dan kewajiban 28. Tidak berhak menggunakan kata yayasan di depan namanya dan yayasan yang bersangkutan tidak diakui sebagai badan hukum. Oleh karena itu, keberadaan yayasan dan segala kegiatannya tidak diakui oleh hukum. Sekalipun secara fisik ia ada, namun 28 Chidir Ali, Op. Cit., hal

42 secara hukum dianggap tidak ada. Apabila yayasan melakukan kegiatan dalam bentuk yayasan, maka kegiatan tersebut tidak memiliki legitimasi hukum atau ilegal. Yayasan semacam itu tidak berwenang melakukan tindakan-tindakan hukum dan hubungan-hubungan hukum seperti perikatan atau perjanjian tertulis dan tak tertulis, serta tidak memunyai hak atas kebendaan 29. Menurut Chidir Ali 30, yayasan semacam itu tidak memiliki hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA No. 5 Tahun Ia tidak memunyai hak memiliki, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, atau hak membuka tanah. b. Tidak memunyai hak tempat kedudukan atau domisili sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUY. Menurut Chidir Ali, tempat kedudukan bagi yayasan identik dengan tempat kedudukan atau domisili orang, terutama untuk menentukan ke pengadilan mana badan hukum itu harus digugat dan menggugat. Jika yayasan dirugikan oleh pihak lain, yayasan tidak dapat menggungat karena ia tidak memi- 29 Lihat Pasal 1654, 1655, 1656 KUH Perdata. 30 Chidir Ali, Op.cit,, hal

43 liki posisi hukum dan tidak memiliki tempat kedudukan hukum. Ketiadaan status hukum yayasan membawa konsekuensi hukum bagi pengurus. Dengan tidak diakuinya keberadaan yayasan maka kedudukan pengurus dalam yayasan tidak diakui. Oleh karena itu, pengurus yayasan tidak berwenang bertindak demi, untuk, dan atas nama yayasan. Pengurus tidak berhak mengikatkan yayasan kepada pihak ketiga atau sebaliknya, juga tidak berhak mewakili yayasan di depan Pengadilan baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat 31. Dengan demikian segala akibat hukum dari tindakan pengurus bukan lagi tanggung jawab yayasan, melainkan tanggung jawab masing-masing pengurus secara tanggung renteng 32. Banyak akibat lanjutan yang timbul bila yayasan semacam ini dibiarkan, baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan bermasalah. Dalam keadaan normal pada yayasan pendidikan umpamanya, secara hukum mengakibatkan penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang diselengarakannya tidak sah 31 Liha Pasal 35 ayat (1) UU No. 16 Tahun Ketentuan ini antara lain diatur dalam Pasal 36 ayat (3), PP No. 63 Tahun

44 atau ilegal 33. Karena tidak sah, maka ijazah dan gelar akamik yang diterbitkan bagi lulusan tidak memiliki efek sipil 34. Dalam keadaan bermasalah misalnya terkait dengan penyelesaian sengketa apabila ada anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh yayasan. Ketiadaan posisi hukum dan tempat kedudukan hukum yayasan, menyulitkan anggota masyarakat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Prosedur yang diatur dalam Pasal 118 HIR yang mensyaratkan tempat domisili si tergugat tidak terpenuhi. Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 UUY memang menyebutkan prosedur pengajuan permohonan pemeriksaan terhadap yayasan, namun aturan itu berlaku bagi yayasan yang sah, yayasan berbadan hukum menurut UUY. Dalam keadaan seperti itu, pintu masuk tuntutan mau tidak mau diarahkan kepada pengu- 33 Ketiga hal itu telah diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi 34 Tidak memiliki efek sipil mengandung pengerian bahwa Ijazah dan gelar yang diperoleh tidak diakui oleh Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Badan Kepegawaian Negara. Oleh karena itu, para lulusan yang melamar pekerjaan pada instansi Pemerintah RI tidak diterima. Lihat isi Surat Edaran Dirjen No 2428/D/T/2008 dan surat Badan Kepegawaian Negara No K 26-30/V 97-8/57 tahun

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN YAYASAN. A. Peraturan yang Mengatur Izin Mendirikan Yayasan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN YAYASAN. A. Peraturan yang Mengatur Izin Mendirikan Yayasan BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN YAYASAN A. Peraturan yang Mengatur Izin Mendirikan Yayasan 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Kegiatan yang mengatasnamakan amal, bersedekah,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N I. UMUM Pendirian Yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi

Lebih terperinci

Bab IV. Penutup. A. Kesimpulan

Bab IV. Penutup. A. Kesimpulan Bab IV Penutup Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, berikut ini dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran yang barangkali diperlukan oleh DPR untuk melakukan revisi terhadap ketentuan peralihan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 115, 2004 KESRA. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah.Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UU 28-2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. 26 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Tentang Yayasan Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, definisi Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN

BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN BAB III TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN A. Pengertian Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah yayasan adalah badan atau

Lebih terperinci

UU YAYASAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PTS DEDI MULYASANA

UU YAYASAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PTS DEDI MULYASANA UU YAYASAN DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PTS DEDI MULYASANA Dasar Hukum Yayasan Setelah 6 Agustus 2001 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UUY) yang diundangkan 06 Agusts 2001 dan berlaku efektif

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

YAYASAN Contoh akta Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-undang nomor 16

YAYASAN Contoh akta Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-undang nomor 16 CONTOH AKTA YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN, DAN TELAH MEMENUHI KETENTUAN PASAL 15 A PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan CONTOH AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN UNTUK YAYASAN YANG DIDIRIKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN, TAPI PENGESAHAN SEBAGAI BADAN HUKUMNYA BELUM/TIDAK DIURUS. YAYASAN

Lebih terperinci

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT A. Pengertian Perseroan Terbatas Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata Sero", yang mempunyai arti Saham.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN ASET YAYASAN SESUDAH TERBITNYA UNDANG- UNDANG NO.16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO.

BAB III KEDUDUKAN ASET YAYASAN SESUDAH TERBITNYA UNDANG- UNDANG NO.16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. BAB III KEDUDUKAN ASET YAYASAN SESUDAH TERBITNYA UNDANG- UNDANG NO.16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan sebelum

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan sebelum CONTOH AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN UNTUK YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN, DAN TELAH MEMENUHI KETENTUAN PASAL 37 A PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN

CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN Nomor: - Pada hari ini, - tanggal - bulan - tahun - pukul WI (Waktu Indonesia ). -------------------------------------- Menghadap kepada saya 1,--------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA 23 BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Ketentuan-Ketentuan Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dibanding Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP

BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP BAB II KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP A. Yayasan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2004 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Cakupan pembagunan nasional ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 159, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM YAYASAN DIINDONESIA MENURUT UU. NO.16 TAHUN 2001 jo. UU NO.28 TAHUN 2004

BAB II PENGATURAN HUKUM YAYASAN DIINDONESIA MENURUT UU. NO.16 TAHUN 2001 jo. UU NO.28 TAHUN 2004 16 BAB II PENGATURAN HUKUM YAYASAN DIINDONESIA MENURUT UU NO.16 TAHUN 2001 jo. UU NO.28 TAHUN 2004 A. Pengertian Yayasan Yayasan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah stichting dan dalam bahasa Inggris

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 37, 1992 (ADMINISTRASI. Kesejahteraan. PENSIUN. Tenaga Kerja. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Yayasan ini bernama [ ] disingkat [ ], dalam bahasa Inggris disebut [ ] disingkat [ ], untuk selanjutnya dalam Anggaran Dasar ini disebut "Yayasan" berkedudukan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas, tujuan filosofis pendirian Yayasan adalah tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan, maksudnya

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II PENGELOLAAN YAYASAN OLEH ORGAN YAYASAN. A. Keberadaan Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 16

BAB II PENGELOLAAN YAYASAN OLEH ORGAN YAYASAN. A. Keberadaan Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 16 BAB II PENGELOLAAN YAYASAN OLEH ORGAN YAYASAN A. Keberadaan Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 1. Yayasan sebagai lembaga nirlaba Arti nirlaba

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm 1 of 11 11/6/2008 9:33 AM Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan Go Back Tentang Kami Forum Diskusi FAQ Web Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan Mail Email: admin@legalitas.org. PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HUKUM. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. Pelaksanaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5387) PERATURAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.761, 2014 KEMENKEU. Konsultan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG KONSULTAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat ini menimbulkan dampak terjadinya hubungan hukum

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat ini menimbulkan dampak terjadinya hubungan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perilaku masyarakat yang dinamis seiring dengan perkembangan waktu dalam berbagai aktivitasnya mempunyai dampak sosial terhadap interaksi sosial

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2016, No dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Ne

2016, No dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Ne BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.114, 2016 KEMENKUMHAM. Yayasan. Pengajuan. Perubahan. Anggaran Dasar. Penyampaian Perubahan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

BAB III PENGESAHAN BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS DIREKTORAT JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM

BAB III PENGESAHAN BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS DIREKTORAT JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM BAB III PENGESAHAN BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS DIREKTORAT JENDERAL ADMINISTRASI HUKUM UMUM A Deskripsi Umum Departemen Hukum dam Hak Asasi Manusia dimulai pada hari-hari pertama kemerdekaan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

2016, No penyelesaian sengketa di luar pengadilan, perlu mengatur mengenai mekanisme pemblokiran dan pembukaan pemblokiran akses sistem admini

2016, No penyelesaian sengketa di luar pengadilan, perlu mengatur mengenai mekanisme pemblokiran dan pembukaan pemblokiran akses sistem admini BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1210, 2016 KEMENKUMHAM. Akses. Sistem Administrasi. Badan Hukum Yayasan dan Perkumpulan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS. pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang

BAB II BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS. pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang BAB II BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS A. Defenisi Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di samping karena pertanggungjawabannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisa yuridis..., Yayan Hernayanto, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Analisa yuridis..., Yayan Hernayanto, FH UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Yayasan, bukan merupakan istilah yang asing. Sudah sejak lama Yayasan hadir sebagai salah satu organisasi atau badan yang melakukan kegiatan dalam bidang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS 1 ASPEK HUKUM DALAM BISNIS PENGAJAR : SONNY TAUFAN, MH. JURUSAN MANAJEMEN BISNIS INDUSTRI POLITEKNIK STMI JAKARTA MINGGU Ke 7 2 YAYASAn Stichting Dasar Hukum: UU No. 16 Tahun 2001 mengenai Yayasan, yang

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN 2008 TATANUSA 1 BULAN ~ Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Apabila setelah melampaui jangka waktu

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 1994 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 1994 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 1994 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 44 BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN 1. Tugas dan Wewenang Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sebagai badan hukum, pengurus perhimpunan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1994 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN DAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KOPERASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3444 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 42) UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci