KEANEKARAGAMAN DAN POLA PENYEBARAN SPASIAL SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM KAMOJANG ANGGA ZAELANI HIDAYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN DAN POLA PENYEBARAN SPASIAL SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM KAMOJANG ANGGA ZAELANI HIDAYAT"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN DAN POLA PENYEBARAN SPASIAL SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM KAMOJANG ANGGA ZAELANI HIDAYAT DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 KEANEKARAGAMAN DAN POLA PENYEBARAN SPASIAL SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM KAMOJANG ANGGA ZAELANI HIDAYAT Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 RINGKASAN ANGGA ZAELANI HIDAYAT. Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Kamojang. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO Spesies tumbuhan asing invasif di ekosistem hutan yang terganggu dikhawatirkan dapat mereduksi komposisi vegetasi asli sehingga dapat mengancam keanekaragaman hayati di ekosistem tersebut. Proses invasi oleh tumbuhan asing dilaporkan telah terjadi di beberapa kawasan konservasi di Indonesia seperti Taman Nasional Wasur, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Komodo. Salah satu kawasan konservasi yang diduga diinvasi juga oleh spesies tumbuhan asing yaitu Cagar Alam Kamojang sehingga diperlukan penelitian mengenai keanekaragaman dan pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif di kawasan tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011 di Cagar Alam Kamojang. Pengambilan data keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif dilakukan dengan analisis vegetasi menggunakan metode petak ganda. Identifikasi spesies tumbuhan asing invasif menggunakan buku panduan lapang Webber (2003) dan ISSG (2005). Pengumpulan data penyebaran spasial dilakukan melalui penandaan pada setiap titik plot pengamatan menggunakan GPS kemudian hasil penandaan diinterpolasikan. Sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan dianalisis menggunakan analisis regresi linier untuk mendapatkan pengaruhnya terhadap jarak dari jalan. Jumlah spesies tumbuhan hasil analisis vegetasi teridentifikasi sebanyak 86 spesies yang terdiri dari 50 famili. Spesies tumbuhan asing invasif teridentifikasi sebanyak tiga belas spesies yang terdiri dari delapan famili yaitu Ageratum conyzoides (Asteraceae), Rubus moluccanus (Rosaceae), Clidemia hirta (Melastomaceae), Cynodon dactylon (Poaceae), Panicum repens (Poaceae), Mimosa pudica (Fabaceae), Mimosa pigra (Fabaceae), Austroeupatorium inulifolium (Asteraceae), Passiflora edulis (Passifloraceae), Lantana camara (Verbenaceae), Mikania micrantha (Asteraceae), Piper aduncum (Piperaceae) dan Ageratina riparia (Asteraceae). Pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif berdasarkan indeks Morisita dan hasil interpolasi pada spesies tumbuhan asing invasif cenderung mengelompok kecuali spesies A. inulifolium yang menyebar secara merata di Cagar Alam Kamojang. Spesies tumbuhan asing invasif yang teridentifikasi sebanyak tiga belas spesies yang terdiri dari 8 famili dengan spesies yang dominan yaitu A. inulifolium, A. riparia dan L. camara. Pola sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang cenderung mengelompok pada kondisi hutan yang relatif terbuka. Pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif hanya mempengaruhi A. inulifolium, sedangkan sebaran jumlah individu A. riparia dan L. camara tidak dipengaruhi oleh jarak dari jalan. Kata kunci: Keanekaragaman, Pola penyebaran spasial, Spesies tumbuhan asing invasif, Analisis vegetasi, Interpolasi.

4 SUMMARY ANGGA ZAELANI HIDAYAT. The Diversity and Spatial Distribution Pattern of Invasive Alien Plant Species in Kamojang Natural Reserve Area. Under supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO Invasive alien plant species in a disturbed forest ecosystem was feared could reduce the composition of native vegetation in the area which could threaten the biodiversity of the ecosystem. The process of invasion by alien plants has been reported to occur in several protected areas in Indonesia such as the Wasur National Park, Baluran National Park, and the Komodo National Park. One of the conservation area also allegedly invaded by alien plant species is Kamojang Natural Reserve Area. Thus, there is a need of research on the diversity and spatial distribution pattern of the invasive alien plant species in the area. The research was conducted in July-August 2011 at the Kamojang Natural Reserve Area. The data collection of the invasive alien plants species diversity was conducted by analyzing the vegetations using double plots method. The identification of invasive alien plants species used references from Weber (2003) and ISSG (2005). The data collection of the spatial distribution pattern of invasive alien plants species was conducted by marking every observation plots using GPS and the result was then interpolated. The distribution of individual invasive alien plant species that are dominant were analyzed using linier regression analysis to acquire the invasive alien plants species influence toward its distance from the road. The number of analyzed vegetation species identified comprises of 86 species from 50 families. The invasive alien plants species identified was 13 species which consist of 8 families: Ageratum conyzoides (Asteraceae), Rubus moluccanus (Rosaceae), Clidemia hirta (Melastomaceae), Cynodon dactylon (Poaceae), Panicum repens (Poaceae), Mimosa pudica (Fabaceae), Mimosa pigra (Fabaceae), Austroeupatorium inulifolium (Asteraceae), Passiflora edulis (Passifloraceae), Lantana camara (Verbenaceae), Mikania micrantha (Asteraceae), Piper aduncum (Piperaceae) and Ageratina riparia (Asteraceae). According to the index of Morisita and the result of IDW interpolation on dominant invasive alien plant species, it was found that the distribution s pattern of the invasive alien plant species tend to clump except for A. inulifolium which have uniform distribution. Invasive alien plant species are identified as many as thirteen species of 8 families with dominant species, namely A. inulifolium, A. riparia and L. camara. Spatial distribution patterns of invasive alien plant species in Kamojang Natural Reserve Area tend to clump in relatively open forest conditions. The effect of distance from the road towards the the number of the invasive plant species distribution only occured to A. Inulifolium, while A. riparia and L. camara was not effected by the distance from the road. Keywords: Diversity, Spatial distribution pattern, Invasive alien plant species, Vegetation analysis, Interpolation.

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Kamojang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Angga Zaelani Hidayat NIM E

6 Judul Skripsi Nama NIM : Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Kamojang : Angga Zaelani Hidayat : E Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F NIP Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP Tanggal Lulus:

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Kamojang. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Invasi oleh spesies tumbuhan asing dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi keberadaan keanekaragaman hayati di berbagai tipe ekosistem. Invasi spesies tumbuhan asing dilaporkan telah terjadi di beberapa kawasan konservasi di Indonesia, sehingga diperlukan upaya pengendalian yang serius untuk melindungi keanekaragaman hayati dari ancaman invasi spesies tumbuhan asing. Skripsi mengenai Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Kamojang diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pengendalian spesies tumbuhan asing invasif melalui penyediaan data dan informasi mengenai keanekaragaman, bioekologi dan pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya pengelolaan kawasan dan perlindungan keutuhan keanekaragaman hayati di Cagar Alam Kamojang. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Namun, terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, penulis mengharapkan data dan informasi yang terdapat di dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kehutanan pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin. Bogor, Maret 2012 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 12 Mei 1989 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Odang Herdiansyah dan Ibu Ida Arlina. Pada Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Garut (SMA Negeri 1 Leles) dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan sebagai pilihan pertama. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Himpunan Mahasiswa Garut (OMDA-HIMAGA) tahun , anggota himpunan profesi mahasiswa yang tergabung ke dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) tahun , panitia Gebyar 2009 dan Ketua Panitia Eksplorasi Flora, Fauna dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2010 yang diselenggarakan oleh HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Burangrang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2009 di BKPH Cikiong - KPH Purwakarta dan Cagar Alam Gunung Burangrang. Pada Tahun 2010, penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Penulis pernah menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Inventarisasi dan Pemantauan Tumbuhan pada tahun 2010 dan mata kuliah Konservasi Tumbuhan Obat pada tahun 2011 serta mendapatkan beasiswa prestasi dari Bank Indonesia pada tahun Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Kamojang, dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ayahanda Odang Herdiansyah, Ibunda Ida Arlina, Apa Ateng Mulya dan adik-adik saya: Argi Sugiyarsa, Yusthi Nur Amalia dan Adjie Fajrialdi, serta keluarga besar tercinta yang selalu memberikan do a dan motivasi serta pengorbanan baik moril maupun materi. 2. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F sebagai dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc sebagai dosen pembimbing kedua, yang telah memberikan arahan, bimbingan, nasihat dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc sebagai ketua sidang dan Dr. Ir. Elisa G. Togu Manurung, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan pada ujian komprehensif penulis. 4. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dan mengajarkan ilmu-ilmu di bidang kehutanan kepada penulis. 5. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat, Kepala Seksi KSDA Garut, Kepala Resort Kamojang Timur, Bapak Hendi, Bapak Asep Hendrik, Bapak Walim dan rekan-rekan petugas Cagar Alam Kamojang yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan. 6. Arvita Erizal yang selama ini selalu memberikan motivasi, do a dan arahan selama menempuh studi di IPB. 7. Arya Windu Jati, Irham Fauzi, I Made Haribhawana, Sri Gosleana, Reza Pradipta, Rahmat Hidayat, Oman Nurohman dan Anang Wahyudi atas bantuannya kepada penulis baik pada saat pengambilan data di lapangan, pengolahan data dan penyusunan skripsi. 8. Keluarga besar KSHE 44 atas kebersamaannya selama menempuh studi di IPB.

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Spesies Invasif Penyebaran Spasial Sistem Informasi Geografis BAB III METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Kondisi Fisik dan Biologis Kawasan Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Sekitar Kawasan Pemanfaatan Sumberdaya Panas Bumi di CA/TWA Kamojang Permasalahan Kawasan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Tumbuhan Komposisi famili dan spesies... 28

11 v Indeks nilai penting dan indeks keragaman Dominansi spesies tumbuhan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Asing Invasif Jumlah spesies tumbuhan asing invasif Dominansi spesies tumbuhan asing invasif Bioekologi spesies tumbuhan asing invasif Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif Pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif berdasarkan indeks Morisita Perbandingan hasil interpolasi dengan menggunakan metode IDW dan metode kriging Pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang dominan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian Dominansi dan nilai keanekaragaman spesies setiap tingkat pertumbuhan Indeks nilai penting dan keanekaragaman spesies setiap tingkat pertumbuhan Indeks dominansi (C) di lokasi penelitian Spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang Nilai indeks Morisita spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang Nilai koefisien determinasi metode interpolasi IDW dan kriging pada masing-masing spesies tumbuhan asing invasif yang dominan... 54

13 vii DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Lokasi penelitian di kawasan Cagar Alam Kamojang Ilustrasi analisis vegetasi menggunakan metode petak ganda yang digunakan di Cagar Alam Kamojang Proses pembuatan peta sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang dominan Sebelas famili yang memiliki jumlah 3 spesies Spesies dengan INP > 10% pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi pengamatan Spesies kaso (Saccharum spontaneum) yang cukup mendominasi di Cagar Alam Kamojang Alang-alang (Imperata cylindrica) Peta sebaran spasial Imperata cylindrica di Cagar Alam Kamojang Indeks nilai penting spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang Pembalakan liar yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Kamojang menyebabkan kawasan terbuka Babadotan (Ageratum conyzoides) Harees (Rubus moluccanus) Sebaran geografis C. hirta pada habitat alami (lingkaran) dan daerah introduksinya (kotak) Harendong bulu (Clidemia hirta) Jampang kawat (Cynodon dactylon) Jukut lampuyang (Panicum repens) (a) Jukut riut (Mimosa pudica), (b) Lokasi M. pudica sering ditemukan (tanda merah) Kalimusa (Mimosa pigra) Komunitas A. inulifolium yang mendominasi di Cagar Alam Kamojang Nagri (Passiflora edulis)... 47

14 viii 21. Distribusi geografi alami (hijau) dan daerah introduksi (merah) Lantana camara Saliara (L. camara) yang tumbuh bersama kaso (S. spontaneum) dan kirinyuh (A. inulifolium) Sembung rambat (Mikania micrantha) Seuseureuhan (Piper aduncum) Teklan (Ageratina riparia) Peta sebaran spasial Austroeupatorium inulifolium di Cagar Alam Kamojang Hasil analisis regresi linier pada hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang Peta sebaran spasial Ageratina riparia di Cagar Alam Kamojang Hasil analisis regresi linier pada hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu A. riparia di Cagar Alam Kamojang Peta sebaran spasial Lantana camara di Cagar Alam Kamojang Hasil analisis regresi linier pada hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu L. camara di Cagar Alam Kamojang... 60

15 ix DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Daftar spesies tumbuhan hasil analisis vegetasi di Cagar Alam Kamojang Hasil perhitungan INP pada setiap tingkat pertumbuhan Perhitungan indeks Morisita spesies tumbuhan asing invasif Perbandingan metode interpolasi IDW dan kriging Uji normalitas sisaan Analisis regresi linier pengaruh jarak terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan... 88

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam, alih fungsi lahan atau perubahan iklim secara global, tetapi juga disebabkan oleh adanya spesies tumbuhan asing invasif. Spesies tumbuhan asing invasif mampu menekan pertumbuhan spesies tumbuhan asli yang terdapat di dalam ekosistem sehingga dapat mengakibatkan kepunahan lokal terhadap spesies tumbuhan asli. Munculnya spesies tumbuhan asing invasif dapat dipengaruhi oleh gangguan-gangguan terhadap lingkungan sehingga perkembangan spesies tumbuhan asing invasif dapat terjadi secara alami. Perkembangan spesies tumbuhan asing invasif yang terjadi secara alami berkaitan dengan proses suksesi. Dalam proses suksesi, spesies tumbuhan asing invasif merupakan spesies tumbuhan pionir seperti Imperata cylindrica atau Lantana camara yang berperan sebagai penutup lahan. Adaptasi yang baik dari spesies tumbuhan asing invasif menyebabkan spesies tersebut mendapatkan sumberdaya yang lebih baik daripada spesies tumbuhan asli sehingga mampu berkembangbiak secara cepat dan menjadi invasif. Selain dapat terjadi secara alami, invasi oleh spesies tumbuhan asing juga dapat terjadi akibat upaya introduksi spesies asing baik secara disengaja seperti introduksi Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran maupun secara tidak disengaja akibat pertumbuhan transportasi, perdagangan dan kegiatan wisata secara global (KLH 2002). Invasi oleh spesies tumbuhan asing telah terjadi di beberapa kawasan konservasi di Indonesia. Selain kasus Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran, invasi oleh tumbuhan asing juga terjadi di Taman Nasional Wasur, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Komodo. Di Taman Nasional Wasur terdapat beberapa spesies tumbuhan asing invasif diantaranya eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang menginvasi sungai-sungai besar sehingga menyebabkan terganggunya transportasi air dan pendangkalan sungai (KLH 2002). Spesies konyal (Passiflora edulis) diduga berpotensi menjadi invasif

17 2 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango karena berasosiasi kuat dengan spesies-spesies pohon asli seperti saninten (Castanopsis argentea) dan nangsi (Altingia rubescens), sehingga dikhawatirkan dapat menekan pertumbuhan spesies tersebut (Heriyanto & Sawitri 2006). Spesies kaktus sendok nasi (Opuntia engelmannii) merupakan tumbuhan asing invasif yang cukup mengganggu di Taman Nasional Komodo dan mengakibatkan berkurangnya luasan savana sebagai sumber pakan bagi mamalia herbivora (Kayat & Butarbutar 2009). Invasi spesies tumbuhan asing diduga dapat terjadi di kawasan konservasi lainnya termasuk Cagar Alam Kamojang. Hal tersebut disebabkan oleh adanya gangguan terhadap Cagar Alam Kamojang terutama akibat aktivitas manusia yang merusak kawasan cagar alam. Kerusakan kawasan akibat gangguan aktivitas manusia seperti pembukaan kawasan untuk infrastruktur pemanfaatan panas bumi, perambahan dan pembalakan liar pada saat krisis moneter yang telah menyebabkan keterbukaan lahan. Fei et al. (2009) menyatakan terdapat hubungan antara intensitas gangguan dengan kelimpahan spesies tumbuhan asing invasif seperti distribusi spesies tumbuhan asing invasif yang lebih banyak tersebar di daerah terbuka misalnya daerah di sekitar jalan daripada daerah dengan kondisi yang lebih tertutup. Untuk mengetahui dugaan adanya proses invasi oleh spesies tumbuhan asing dan pengaruh bentuk gangguan seperti jaringan jalan terhadap penyebaran spesies tumbuhan asing invasif maka diperlukan penelitian mengenai keanekaragaman dan pola sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif yang terdapat di Cagar Alam Kamojang. 2. Mengidentifikasi pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang dominan di Cagar Alam Kamojang. 3. Menganalisis pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan di Cagar Alam Kamojang.

18 3 1.3 Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan di Cagar Alam Kamojang. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai keanekaragaman dan penyebaran spasial dari spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam upaya pengelolaan potensi kawasan konservasi.

19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spesies Invasif Secara ekologi, invasi didefinisikan sebagai pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian secara perlahan spesies tersebut mengokupasi habitat barunya (Clements 1905 diacu dalam Alpert et al. 2000). Spesies tersebut mampu menginvasi lingkungan apabila berasosiasi dengan baik di lingkungan yang baru sehingga akan menguntungkan pertumbuhannya tetapi merugikan bagi spesies lokal (Alpert et al. 2000). Spesies invasif adalah spesies yang muncul sebagai akibat dari aktivitas manusia, melampaui penyebaran normalnya yang dapat mengancam lingkungan, pertanian dan sumber daya yang lainnya. Spesies invasif dapat berupa seluruh kelompok taksonomi meliputi virus, cendawan, alga, lumut, paku-pakuan, tumbuhan tinggi, invertebrata, ikan, amphibi, reptil, burung dan mamalia (Hossain 2009). Proses invasif pada suatu ekosistem dapat terjadi oleh spesies asing sehingga spesies tersebut dikenal sebagai spesies asing invasif (invasive alien species/ias). Pejchar dan Mooney (2009) mendefinisikan spesies asing invasif yaitu spesies asing (non-native) yang pada umumnya diintroduksi oleh manusia kemudian mengancam ekosistem, habitat atau spesies lainnya dan menyebabkan perubahan global pada lingkungan. Alpert et al. (2000) menduga spesies asing yang bersifat non invasif dapat menjadi invasif apabila selama beberapa tahun terjadi fluktuasi hujan atau iklim, adanya spesies mutualisma dari spesies asing tersebut atau melalui evolusi. Proses invasi suatu lingkungan tidak hanya disebabkan oleh adanya introduksi spesies asing, tetapi spesies-spesies lokal juga dipertimbangkan dapat menjadi invasif ketika penyebarannya dilakukan di dalam habitat buatan manusia seperti kebun atau halaman atau ketika kelimpahannya meningkat akibat campur tangan manusia di habitat alaminya (Randall 1997 diacu dalam Alpert et al. 2000).

20 Proses invasi dan karakter biologis tumbuhan asing invasif Tumbuhan asing invasif dikenal sebagai tumbuhan bukan asli dari suatu ekosistem dan mampu bersaing dengan baik dalam memperoleh sumberdaya di ekosistem barunya sehingga menyebabkan dampak yang merusak bagi struktur, komposisi dan pertumbuhan vegetasi asli pada ekosistem tersebut (Moris et al. 2009). Pada dasarnya proses invasi dari spesies tumbuhan asing dapat dibagi menjadi tiga proses, yaitu proses introduksi, proses kolonisasi dan proses naturalisasi (Cousens & Mortimer 1995 diacu dalam Radosevich et al. 2007). Perkembangan spesies tumbuhan yang bersifat invasif tidak lepas dari upaya introduksi yang dilakukan secara sengaja atau tidak disengaja. Cornel dan Lawton (1992) diacu dalam Whitten et al. (1999) menjelaskan potensi mengintroduksi spesies tumbuhan di luar ekosistem alaminya terjadi akibat kondisi ekosistem alami yang jenuh oleh spesies-spesies tumbuhan yang sangat sedikit atau hampir tidak ada. Williamson dan Fitter (1996) diacu dalam Alpert et al. (2000) memperkirakan hanya 0.1% dari seluruh spesies tumbuhan yang diintroduksi di luar ekosistem alaminya oleh manusia berkembang menjadi invasif. Spesies tumbuhan yang diintroduksi akan menjadi invasif apabila mampu bernaturalisasi dengan habitat yang baru sehingga sukses membangun populasi spesiesnya, menyebar secara luas dan bergabung dengan sekelompok tumbuhan (Radosevich et al. 2007). Rejmanek (2000) diacu dalam Radosevich et al. (2007) mendeskripsikan beberapa karakteristik biologi yang berhubungan dengan sifat invasif suatu spesies tumbuhan diantaranya mudah tersebar oleh manusia dan hewan, kecocokan dengan lingkungan yang konstan, ukuran genom kecil, perkembangbiakan vegetatif dan penyebaran biji yang efektif serta sangat bergantung terhadap keberadaan musuh biologisnya. Sukisman (2010) menyatakan karakteristik yang paling terlihat pada tumbuhan invasif diantaranya cepat membentuk naungan, merupakan spesies pionir, memiliki fenologi yang berbeda dan tidak memiliki musuh alami.

21 Faktor-faktor yang mempengaruhi invasi tumbuhan asing Distribusi spesies invasif dipengaruhi oleh faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor abiotik yang mempengaruhi keberadaan spesies tumbuhan asing invasif diantaranya jenis tanah, kemasaman tanah, kelembaban tanah, kualitas dan kuantitas pencahayaan, pola presipitasi, variasi temperatur pada tanah, air dan udara (Radosevich et al. 2007). Richardson dan Pyšek (2000) diacu dalam Radosevich et al. (2007) menyatakan bahwa setidaknya terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses invasi suatu spesies yaitu ketersediaan sumberdaya, gangguan, kompetisi dan tekanan terhadap propagul. Kualitas suatu lahan merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan tumbuhan asing menginvasi ekosistem barunya. Lingkungan komunitas tumbuhan dengan ketersediaan sumberdaya yang tinggi memiliki kemungkinan besar untuk terganggu dan terinvasi. Huston dan De angelis (1994) diacu dalam Moris et al. (2009) menyatakan komunitas yang kaya akan spesies (tingkat heterogenitas yang tinggi) menjadi kondisi yang disukai oleh spesies asing untuk mendapatkan keuntungan daripada kondisi lingkungan dengan tingkat keanekaragaman yang rendah. Kesuksesan tumbuhan asing menginvasi suatu lingkungan juga dipengaruhi oleh gangguan yang terjadi di lingkungan tersebut. Gangguan pada lingkungan menyebabkan ketidakseimbangan kompetisi dan okupasi habitat tumbuhan utama pada ekosistem tersebut dan menyebabkan faktor abiotik lebih berperan sebagai suksesor invasi tumbuhan asing daripada faktor biotiknya (Moris et al. 2009). Sastroutomo (1990) menyatakan spesies-spesies gulma pada habitat yang telah terganggu (seperti tepi jalan, tepi danau/rawa/sungai, tempat pembuangan sampah) lebih bervariasi dibandingkan dengan spesies pada habitat yang belum terganggu. Keanekaragaman spesies gulma pada habitat yang telah terganggu dapat terjadi akibat adanya perubahan lingkungan yang nyata sejalan dengan waktu dari proses suksesi sekunder pada habitat tersebut (Sastroutomo 1990).

22 Dampak ekologi dari spesies tumbuhan asing invasif Keberadaan spesies invasif di luar lingkungan alaminya dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan proses alami yang terdapat dalam lingkungan tersebut. Kehadiran spesies tumbuhan asing invasif dapat menyederhanakan ekosistem dengan menekan pertumbuhan spesies asli dan mengubahnya menjadi sistem yang monokultur. Perkembangbiakan dari spesies tumbuhan asing invasif selalu menyebabkan keanekaragaman spesies asli dan proses regenerasi alaminya menurun, produktivitas hutan menurun dan menyebabkan degradasi lingkungan (Fei et al. 2009). Parker et al. (1999) diacu dalam Radosevich (2007) menguraikan beberapa dampak ekologi yang disebabkan oleh tumbuhan invasif yaitu: Mereduksi keanekaragaman hayati Gangguan terhadap spesies yang terancam punah dan habitatnya Habitat bagi serangga, burung dan satwaliar asli terancam hilang Mengubah proses ekologi alami seperti suksesi tumbuhan Meningkatnya frekuensi dan intensitas dari kebakaran alami Gangguan terhadap asosiasi tumbuhan dengan satwa seperti polinasi dan penyebaran benih Peraturan mengenai spesies asing invasif Spesies asing invasif dapat mengancam kelestarian keanekaragaman hayati sehingga diperlukan peraturan untuk mengendalikan introduksi dan penyebaran spesies asing invasif di Indonesia. Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati (2011) menyatakan sampai saat ini peraturan yang khusus mengatur tentang spesies asing invasif belum terdapat di Indonesia. Namun, beberapa peraturan nasional yang terkait dengan spesies asing baik yang bersifat invasif maupun tidak, diuraikan sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pasal 3 Ayat (1) mengenai usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, termasuk introduksi tumbuh-tumbuhan, spesies

23 8 hewan, dan spesies jasad renik. Kegiatan introduksi ini wajib melakukan AMDAL. 2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 88 Ayat (3) mengenai impor produk hortikultura dilakukan melalui pintu yang telah ditetapkan. Pintu yang dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait dengan masuknya OPT karantina, keamanan hayati, spesies-spesies asing yang invasif dan keamanan pangan. 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity (CBD) Pasal 8 butir h mengenai setiap pihak yang menandatangani konvensi ini diwajibkan untuk mencegah masuknya serta mengendalikan atau membasmi spesies-spesies asing yang mengancam ekosistem, habitat atau spesies lain di habitat yang asli. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pasal 5 Ayat (1) suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila: butir 1.b, terjadi penurunan yang tajam jumlah individunya di alam. Adapun dalam penjelasannya penurunan populasi ini terkait dengan ancaman dari faktor luar termasuk spesies asing (jenis introduksi). Pada Ayat (2) butir 2.e dijelaskan mengenai pemasukan jenis asing harus dihindarkan, butir 2.f dijelaskan selain dari jenis tumbuhan dan satwa asli, jenis asing juga termasuk didalamnya, sehingga jenis-jenis asing ini perlu dimusnahkan. 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, Bab IV, Pasal 19 Ayat (3) mengatur dan melarang aktivitas yang dapat mengubah kondisi alami kawasan suaka alam seperti menambah spesies yang tidak asli, Bab VII, Pasal 33, Ayat (2) yang melarang melakukan aktivitas yang dapat mengubah zona inti taman nasional seperti menambah spesies satwa dan tumbuhan yang tidak asli. 6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang menegaskan perlindungan dan pencegahan kehilangan tumbuhan dari gulma atau tumbuhan penggangu lainnya serta aksi pemberantasan organisme pengganggu yang mampu berkembang seperti gulma di beberapa lokasi dan menekan pertumbuhan tumbuhan lainnya (Bab I, Pasal 1, Ayat 7, 8, Bab III,

24 9 Pasal 21). Selain itu, dalam pasal 10 menyebutkan mekanisme introduksi spesies asing dan beberapa pasal mengenai monitoring dan manajemen gulma dan spesies asing. 7. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 mengenai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang mengatur tugas dan fungsi utama karantina hewan dan tumbuhan di pelabuhan, bandara, daerah perbatasan dan pelabuhan antar pulau. Karantina dilaksanakan berdasarkan berbagai komoditas, seperti persediaan makanan, tanaman budidaya, hasil perkebunan dan hasil hutan yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tumbuhan tersebut. Invasi spesies asing di ekosistem atau habitat tertentu telah menjadi perhatian dunia sejak Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun Adapun perangkat hukum mengenai pengendalian spesies asing invasif pada level internasional diantaranya: 1. Convention on Biological Diversity (CBD) tahun 1992 mengenai konservasi insitu yang berkaitan dengan pencegahan masuknya spesies asing invasif, mengendalikan dan membasmi spesies yang mengancam ekosistem, habitat dan spesies (pasal 8 butir h). 2. Konferensi Ramsar di Iran tahun 1971 dan Kosta Rika tahun Resolusi VII.4 mengenai spesies invasif dan lahan basah terkait dengan kesadaran akan beberapa ancaman spesies asing terhadap ekologi dan karakteristik lahan basah, spesies lahan basah, daratan dan lautan. 3. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dalam Konferensi Resolusi tahun 1997 mengenai perdagangan spesies asing invasif dengan hasil rekomendasi diantaranya: a). Mempertimbangkan masalah spesies asing invasif dalam peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan hewan dan tumbuhan yang diperdagangkan secara hidup-hidup, b). Berkonsultasi dengan otoritas manajemen terkait tujuan impor suatu negara, kemungkinan dan penerapannya, serta pertimbangan ekspor yang berpotensi sebagai spesies asing invasif, untuk memutuskan peraturan yang diberlakukan dalam hal impor, dan c). Mempertimbangkan peluang sinerginya CITES dan CBD untuk

25 10 bekerjasama dan berkolaborasi antara dua konvensi dalam isu introduksi spesies asing yang berpotensi invasif. 2.2 Penyebaran Spasial Komunitas tumbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi penyebaran baik secara vertikal maupun horizontal, yakni setiap spesiesnya tersebar dengan tinggi di atas permukaan tanah yang berbeda dan juga tersebar pada lokasi dan jarak yang berbeda. Penyebaran secara vertikal dari suatu spesies tumbuhan biasanya dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya matahari. Penyebaran tumbuhan secara horizontal dipermukaan tanah memiliki kompleksitas yang tinggi. Whitaker (1970) diacu dalam Sastroutomo (1990) mengidentifikasi empat macam penyebaran dari setiap spesies tumbuhan secara horizontal dalam komunitas tumbuhan (juga untuk setiap individu dalam populasi) yaitu penyebaran secara acak, mengelompok (kontagius), teratur (kontagius negatif) dan penyebaran secara kombinasi pengelompokan individu ke dalam koloni dan distribusi regular. Tipe penyebaran pada komunitas tumbuhan di habitat alami biasanya dijumpai secara acak dan tidak pernah dijumpai tipe penyebaran yang sangat teratur dengan jarak yang relatif sama dari individu ke individu lainnya. Tipe penyebaran mengelompok juga dapat ditemui pada komunitas tumbuhan di habitat alami yang disebabkan oleh pola penyebaran biji dari tumbuhan induk, gradasi lingkungan mikro atau kekerabatan antar spesies baik yang bersifat positif maupun negatif (Sastroutomo 1990). Setiap spesies tumbuhan pada suatu komunitas akan memiliki pola penyebaran tersendiri. Pola ini dapat memiliki persamaan dengan spesies lainnya tetapi tidak mungkin seluruhnya sama. Oleh karena itu, komunitas tumbuhan merupakan gabungan dari beberapa pola penyebaran berbagai spesies tumbuhan dan saling berinteraksi (Sastroutomo 1990).

26 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem untuk pengambilan, penyimpanan, pemeriksaan, penggabungan, manipulasi, analisis atau penyajian data keruangan yang memiliki referensi bumi (Chorley 1987 diacu dalam Syamsudin & Suryadi 2006). Sistem informasi geografi digunakan untuk menyederhanakan proses sehingga mengefisienkan pekerjaan seperti mengintegrasikan data dari berbagai sumber atau digunakan untuk meningkatkan kapasitas analisis data seperti memfasilitasi pembentukan model analisis data dan menyajikan data dengan output dalam bentuk yang interaktif (Syamsudin & Suryadi 2006). Sistem informasi geografi merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Komponen-komponen yang menyusun SIG biasanya terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi dan manajemen (Prahasta 2001). Jaya (2002) menyebutkan pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spasial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. Aplikasi SIG di bidang kehutanan banyak dilakukan untuk memonitoring pergerakan satwa dan membuat model kesesuaian habitat flora dan fauna. Beberapa penelitian di bidang konservasi yang menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis diantaranya: Aplikasi SIG untuk pemetaan kesesuaian habitat kedaung (Parkia timoriana (D.C Merr) di Taman Nasional Meru Betiri (Sebastian 2007). Pemetaaan kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan menggunakan SIG (Gamasari 2007). Pemetaaan kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut - Jawa Barat dengan menggunakan SIG (Herdiyanti 2009). Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia zollingeriana Kds. (studi kasus di Resort Sukamade wilayah seksi I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri- Jawa Timur) (Dhistira 2011).

27 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di lapangan dilaksanakan selama ± satu bulan yaitu dari bulan Juli sampai dengan Agustus Pengolahan data keanekaragaman dan pola penyebaran spasial dilakukan di Bagian Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan dan Bagian Hutan Kota dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi Tumbuhan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Gambar 1 Lokasi penelitian di kawasan Cagar Alam Kamojang. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari sampel spesies tumbuhan, alkohol 70%, peta kawasan Cagar Alam Kamojang dan perangkat lunak Arc Gis 9.3 dan SPSS Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Global Positioning System (GPS), kamera digital,

28 13 meteran, tambang, kompas, phiband, tallysheet, panduan lapang tumbuhan asing invasif, koran bekas, label (etiket) dan kalkulator. 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data keanekaragaman dan pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif sedangkan data sekunder berupa data kondisi umum Cagar Alam Kamojang yang terdiri dari kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan. Jenis data yang dikumpulkan secara rinci disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian No. Jenis Data/Informasi yang Dikumpulkan 1. Keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif Aspek yang Dikaji Sumber Data Metode Spesies, jumlah individu, Pengamatan Analisis frekuensi, dominansi langsung di vegetasi lapangan 2. Penyebaran spasial Titik sebaran spesies Pengamatan Penandaan spesies tumbuhan tumbuhan asing invasif langsung di titik sebaran asing invasif lapangan dengan GPS 3. Kondisi umum Kondisi fisik, kondisi Rencana Studi literatur kawasan biologis, kondisi sosial Pengelolaan ekonomi, peta kawasan CAK Metode Pengumpulan Data Keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif dengan menggunakan metode petak ganda yang ditetapkan secara purposive sampling di lokasi yang terganggu (misalnya jaringan jalan) (Gambar 2). Panjang lokasi yang digunakan sebesar 500 m dan terbagi menjadi lima segmen dengan jarak antar segmen sebesar 100 meter. Pada setiap segmen diletakkan petak ukur masing-masing berukuran 20 x 20 meter dan terbagi ke dalam beberapa ukuran. Petak ditempatkan di kiri dan kanan jaringan jalan dengan jumlah petak ukur masing-masing berjumlah 5 petak sehingga

29 14 jumlah total petak ukur sebanyak 50 petak. Peletakan petak ukur dilakukan secara sistematik dengan jarak titik pusat antar petak sebesar 50 meter. b a Base line d c 100 m 100 m 100 m 50 m 50 m Gambar 2 Ilustrasi analisis vegetasi menggunakan metode petak ganda yang digunakan di Cagar Alam Kamojang. Keterangan Gambar 2: a. Petak ukur semai (2 m x 2 m), yaitu anakan dengan tinggi < 1,5 m. Selain itu, dicatat juga spesies tumbuhan bawah, semak, terna atau liana. b. Petak ukur pancang (5 m x 5 m), yaitu anakan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batangnya < 10 cm. Selain itu, dicatat juga semak, perdu atau terna dengan tinggi > 1,5 m. c. Petak ukur tiang (10 m x 10 m), yaitu diameter batang antara 10 cm 19,9 cm. d. Petak ukur pohon (20 m x 20 m), yaitu pohon yang diameter batangnya 20 cm. Titik awal

30 15 Parameter yang diambil dalam pengamatan vegetasi pada seluruh tingkat pertumbuhan meliputi: 1. Spesies, jumlah individu dan diameter untuk tingkat pohon dan tiang. 2. Spesies dan jumlah individu untuk tingkat pancang, semai dan tumbuhan bawah (tumbuhan selain permudaan pohon termasuk liana dan semak belukar). Identifikasi spesies tumbuhan dilakukan untuk mengetahui nama lokal dan nama ilmiah dari spesies tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian. Spesies tumbuhan yang diperoleh dari hasil pengamatan kemudian dibuatkan herbariumnya. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah: 1. Mengambil contoh herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya (apabila terdapat bunga atau biji sebaiknya diikutsertakan). Pengambilan contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan analisis vegetasi. 2. Contoh herbarium dipotong dengan panjang kurang lebih 40 cm atau disesuaikan dengan ukuran tumbuhan. 3. Contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan disertakan etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisikan keterangan mengenai nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul (kolektor). 4. Selanjutnya beberapa herbarium disusun di atas sasak yang terbuat dari bambu dan disemprot dengan alkohol 70%. 5. Herbarium kemudian dijemur dengan sinar matahari dan disemprot kembali dengan alkohol 70%. 6. Herbarium yang telah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan kemudian diidentifikasi nama ilmiahnya Identifikasi spesies tumbuhan asing invasif Identifikasi spesies tumbuhan asing invasif dilakukan dengan melakukan cek silang dengan beberapa sumber yang memuat daftar spesies tumbuhan asing invasif seperti Webber (2003) dan Invasive Species Specialist Group (2005).

31 Pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif Pola penyebaran spasial dari spesies tumbuhan asing invasif yang terdapat di Cagar Alam Kamojang diidentifikasi dengan menandai posisi koordinat pada setiap petak ukur dengan menggunakan GPS. Penandaan lokasi dengan GPS dilakukan pada titik tengah petak ukur sebanyak tiga kali. Setiap petak kemudian diidentifikasi jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif baik yang berupa tumbuhan bawah, semak belukar, atau pohon. Nilai pada masing-masing petak berupa jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif kemudian diinterpolasikan untuk mendapatkan sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang terdapat di Cagar Alam Kamojang. 3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data Keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menghitung frekuensi, kerapatan, dominansi, indeks nilai penting, keanekaragaman spesies, indeks dominansi dan pola penyebarannya. Data vegetasi hutan dianalisis menggunakan persamaan sebagai berikut: 1. Indeks nilai penting Indeks nilai penting (INP) diperoleh dengan menggunakan besaran-besaran sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2008): Kerapatan (ind/ha) = Jumlah individu suatu spesies Luas petak Kerapatan Relatif/KR (%) = Kerapatan suatu suatu x 100% Kerapatan seluruh spesies Frekuensi = Jumlah petak dijumpai suatu Jumlah seluruh petak Frekuensi Relatif/FR (%) = Frekuensi suatu suatu x 100% Frekuensi seluruh spesies Dominansi (m 2 /ha) = Basal area suatu spesies Luas seluruh petak Dominansi Relatif/DR (%) = Dominansi suatu spesies x 100% Dominansi seluruh spesies Indeks Nilai Penting = KR+FR+DR Khusus untuk tingkat semai, pancang dan tumbuhan bawah, perhitungan Indeks Nilai Penting hanya menjumlahkan kerapatan relatif dengan frekuensi relatifnya.

32 17 2. Keanekaragaman spesies Keanekaragaman spesies diukur dengan menghitung persamaan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut (Pileou 1969 diacu dalam Krebs 1972): Hˈ = - [Pi. Ln Pi], dengan Pi yaitu: Keterangan: Hˈ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni : Jumlah INP suatu spesies N : Jumlah INP seluruh spesies 3. Indeks dominansi Indeks dominansi merupakan nilai kuantitatif untuk mengetahui suatu spesies yang dominan di dalam komunitasnya dengan persamaan (Indrayanto 2006): Keterangan: C : Indeks dominansi ni : Jumlah individu suatu spesies N : Jumlah seluruh individu 4. Pola sebaran spesies Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif pada suatu komunitas tumbuhan dilakukan dengan menggunakan indeks Morisita. Pola penyebaran yang diketahui merupakan kecenderungan bentuk penyebaran suatu spesies di dalam komunitasnya yang terbagi ke dalam bentuk acak, mengelompok atau merata. Persamaan yang digunakan yaitu (Morisita 1965 diacu dalam Krebs 1972): Keterangan: Id : Derajat penyebaran Morisita

33 18 n : Jumlah petak ukur x² : Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas x : Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas Selanjutnya dilakukan uji Chi-square dengan menggunakan persamaan: Derajat keseragaman Keterangan: χ² 0,975 : Nilai Chi-square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97,5% xi : Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke-i n : Jumlah petak ukur Derajat pengelompokan Keterangan: χ² 0,025 : Nilai Chi-square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2,5% xi : Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke-i n : Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan menggunakan empat persamaan pada salah satu kondisi sebagai berikut: Apabila Id Mc > 1.0 maka dihitung: Apabila Id > Mc 1.0 maka dihitung: Apabila 1.0 > Id > Mu maka dihitung:

34 19 Apabila 1.0 > Mu > id maka dihitung: Standar derajat penyebaran Morisita (Ip) mempunyai interval -1,0 1,0 dengan taraf kepercayaan 95% pada batas 0,5 dan -0,5. Nilai Ip digunakan untuk menunjukkan kecenderungan pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif pada suatu komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang dengan selang nilai: Ip = 0, menunjukkan pola sebaran acak (random) Ip > 0, menunjukkan pola penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, menunjukkan pola penyebaran merata (uniform) Pola penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang dominan Posisi GPS lokasi terdapatnya spesies tumbuhan asing invasif di-upload ke dalam file text delimated (*.txt) di dalam program Ms. Excel Data mengenai jumlah individu spesies di dalam petak ukur diinterpolasikan dengan menggunakan metode inverse distance weighted (IDW) dan metode kriging. Hasil interpolasi sebaran jumlah individu dari kedua metode tersebut dibandingkan dengan sebaran jumlah individu sebenarnya sehingga diperoleh data spasial secara keseluruhan yang lebih sesuai dengan kondisi di lapangan Metode interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW) Metode interpolasi IDW merupakan metode pendugaan nilai yang sederhana dengan mempertimbangkan nilai di sekitarnya (NCGIA 1997). Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang lebih dekat daripada data sampel yang lebih jauh. Metode ini menganalisis titik pengamatan dalam suatu ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan diantara titik-titik tersebut. Teknik pencarian yang digunakan adalah dengan menetapkan jumlah titik observasi yang berada di sekitarnya atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu. Nilai Z untuk setiap titik kemudian diboboti dengan kuadrat jarak sehingga nilai yang dekat secara spasial akan cenderung dipengaruhi nilai pada titik yang diamati. Pramono (2008) menyatakan bahwa kekurangan dari metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai yang ada pada data sampel. Nilai

35 20 interpolasi yang dihasilkan tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari data sampel karena metode ini menggunakan rata-rata dari data sampel. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil interpolasi yang baik, maka sampel data yang digunakan harus lebih rapat Metode interpolasi Kriging Metode interpolasi kriging merupakan metode pendugaan nilai yang bersifat stochastic atau pendugaan nilai dilakukan secara statistik untuk menghasilkan data interpolasi (Pramono 2008). Asumsi dari metode ini yaitu jarak dan orientasi antara sampel data menunjukkan korelasi spasial dan memiliki sebuah tren. Metode ini menggunakan semivariogram yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara pasangan sampel data. Apabila diketahui korelasi spasial jarak dan orientasi data maka pendugaan nilai dengan menggunakan metode interpolasi kriging dapat dilakukan dengan tepat. Perbandingan antara metode interpolasi IDW dengan kriging dilakukan untuk mengetahui metode yang paling sesuai dalam menduga sebaran jumlah individu dengan melihat koefisien determinasi (R 2 ) yang dihasilkan dari plot scatter. Drapper dan Smith (1992) menyatakan koefisien determinasi merupakan koefisien yang mengukur proporsi keragaman atau variasi total disekitar nilai tengah Y yang dapat dijelaskan oleh regresi yang dihasilkan atau dalam hal ini koefisien determinasi menjelaskan keragaman pada hasil metode interpolasi yang diperoleh dari fungsi regresi antara dugaan jumlah individu berdasarkan hasil interpolasi dengan jumlah individu di lapangan. Semakin besar nilai koefisien determinasi maka semakin besar pula keragaman yang dapat dijelaskan oleh fungsi yang dihasilkan Pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan Hubungan antara peubah jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Mattjik dan Sumertajaya (2006) menyatakan regresi linier sederhana merupakan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara dua faktor antara satu peubah bebas (X, independence variable)

36 21 dan satu peubah tak bebas (Y, dependence variable) dimana hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Regresi linier sederhana dapat dituliskan dalam bentuk persamaan (Mattjik & Sumertajaya 2006): Y = α + β X Dimana: Y= Peubah tak bebas, X= Peubah bebas, α = Intersep, β = Kemiringan. Hipotesis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan yaitu: H 0 : Jarak dari jalan tidak berpengaruh secara nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan. H 1 : Jarak dari jalan berpengaruh nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan. Hipotesis diuji secara statistik dengan uji f dan uji t pada persamaan regresi yang dihasilkan. Taraf kepercayaan yang digunakan adalah sebesar 95% atau nilai α sebesar 0,05. Apabila nilai signifikansi pada uji f dan uji t lebih kecil daripada nilai α, maka hipotesis yang diterima yaitu H 1 atau jarak dari jalan mempengaruhi secara nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan, sedangkan apabila nilai signifikansi pada uji f dan uji t lebih besar daripada nilai α, maka hipotesis yang diterima yaitu H 0 atau jarak dari jalan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan Alur proses penelitian Proses pendugaan sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif dengan menggunakan metode interpolasi dan proses analisis regresi untuk mengetahui pengaruh jarak dari jalan terhadap sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif yang dominan diuraikan seperti pada Gambar 3.

37 22 Data titik koordinat GPS MS Excel (tipe file text delimated/*txt) Arc Gis 9.3 (Shapefile) Proses Interpolasi dengan metode IDW dan kriging Peta Hasil Interpolasi Sebaran Jumlah Individu IAS Transformasi koordinat UTM Reclassify Peta Cagar Alam Kamojang (shp) Peta Jaringan Jalan Jawa Barat Proses Clip Peta Peta Jaringan jalan di Cagar Alam Kamojang Proses Overlay Peta (shp) Metode interpolasi yang sesuai Koreksi hasil interpolasi dengan keadaan di lapangan Peta Interpolasi Sebaran Jumlah Individu IAS di Cagar Alam Kamojang Pengaruh jarak terhadap sebaran jumlah individu IAS Analisis Regresi Linier Uji normalitas sisaan Data jarak titik pengamatan terhadap jalan Proses Euclidean Distance untuk memperoleh jarak titik pengamatan dari jalan Gambar 3 Proses pembuatan peta sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif yang dominan.

38 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Secara administrasi pemerintahan, kawasan Cagar Alam Kamojang (CAK) terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Menurut administrasi pengelolaan, kawasan ini termasuk ke dalam wilayah kerja Seksi KSDA Garut, Balai Besar KSDA Jawa Barat. Di kawasan ini, terdapat dua tipe kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang yang terletak hampir di tengah-tengah kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang. Batas-batas kawasan Cagar Alam Kamojang sebagai berikut (Anonim 2005): Sebelah Utara : Kecamatan Paseh dan Ibun, Kabupaten Bandung Sebelah Barat : Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung Sebelah Timur : Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut Sebelah Selatan : Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 110/Kpts-II/90 tanggal 14 Maret 1990 ditetapkan luas Cagar Alam Kamojang adalah Ha. Pada tahun 1994, luas kawasan bertambah 12,196 Ha sebagai lahan kompensasi dengan dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 433/Kpts-II/94 sehingga luas total kawasan cagar alam menjadi 7817,196 Ha dan luas taman wisata alam 481 Ha. Pada tahun 2004 terjadi penambahan fungsi cagar alam di Blok Guntur sehingga terjadi pengurangan luas Cagar Alam Kamojang seluas 500 Ha untuk hutan lindung dan ± 25 Ha untuk Taman Wisata Alam (TWA) Cipaniis sehingga luas total kawasan menjadi 7067,196 Ha. Penetapan kawasan cagar alam didasarkan pada gejala alam yang unik berupa peristiwa vulkanologi dengan munculnya kawah kecil di daerah kaldera Kamojang (Anonim 2005). 4.2 Kondisi Fisik dan Biologis Kawasan Topografi dan tanah Kawasan Cagar Alam Kamojang berada pada ketinggian antara mdpl. Topografi kawasan pada umumnya berbukit landai dengan

39 24 kelerengan lapang yang terjal, miring dan bergelombang. Sudut kemiringan bervariasi diantara 20% - 40%. Hasil peta tanah eksploitasi Balai Penyelidikan tahun 1960 menyatakan jenis batuan pembentuk tanah Cagar Alam Kamojang adalah aluvial dari endapan sungai. Jenis tanah yang terdapat di kawasan ini terdiri dari andosol umbrik dan andosol vitrik dengan struktur gumpal bersudut, ph masam sampai agak masam (3-6), kejenuhan basa rendah dan berkembang dari tufa volkan (Anonim 2005) Iklim dan hidrologi Wilayah Kamojang merupakan daerah pegunungan yang dicirikan oleh kondisi iklim khas pegunungan. Wilayah Kamojang memiliki suhu udara maksimum sebesar 26,8 C pada bulan September sedangkan kondisi terendah terjadi pada bulan Desember. Suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 5,4 C dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 10,7 C. Kelembaban relatif (RH) wilayah Kamojang termasuk tinggi yaitu sebesar 82-94%, sehingga lama penyinaran hanya 33-64% dalam sehari. Sepertiga hingga dua per tiga hari sering terjadi kabut atau hujan teutama pada bulan November dan Januari (Anonim 2005). Cagar Alam Kamojang secara hidrologis terletak di daerah hulu dari daerah aliran sungai (DAS) besar di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum di bagian baratutara dan Sungai Cimanuk di bagian selatan. Masing-masing hulu DAS tersebut membentuk sub DAS dan yang terletak di Cagar Alam Kamojang diantaranya sungai Cikaro, Ciharus dan Ciwelirang Flora dan fauna Ekosistem Cagar Alam Kamojang dapat dibedakan menjadi ekosistem terestrial dan ekosistem akuatik. Ekosistem terestrial terdiri dari ekosistem hutan cagar alam dan ekosistem hutan lindung, sedangkan ekosistem akuatik terdiri dari ekosistem danau Ciharus dan danau Cibeureum. Secara umum kondisi vegetasi yang terdapat di Cagar Alam Kamojang didominasi oleh famili Juglandaceae, Theaceae, Lauraceae dan Fagaceae. Komposisi vegetasi yang terdapat di dalam kawasan berupa kihujan (Engelhardia spicata), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus lutea), Lauratus nobilis dan Litsea

40 25 cubeba. Hasil analisis vegetasi yang dilaksanakan di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kamojang diperoleh dominansi dan keanekaragaman spesies pada tiap tingkat pertumbuhan seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Dominansi dan nilai keanekaragaman spesies pada setiap tingkat pertumbuhan No. Tingkat Pertumbuhan Spesies tumbuhan INP (%) H 1 Pohon Engelhardia spicata 30,94 1,144 Schima wallichii 29,44 Sloanea sigun 25,04 2 Tiang Litsea javanica 81,56 1,183 Villebruinea rubescens 37,66 Engelhardia spicata 18,95 3 Pancang Plectronia glabia 43,38 1,274 4 Semai/tumbuhan bawah Sumber: Anonim (2005) Pterocarpus indicus 33,33 Litsea javanica 32,67 Ageratina riparia 50,54 1,293 Dicksonia sp. 29,04 Achasma coccineum 28,53 Spesies satwa liar yang terdapat di Cagar Alam Kamojang antara lain walik (Treron grisscipilla), kadanca (Ducula sp), walet (Collocalia vulconorum), saeran gunung (Dicrurus macocarpus), ayam hutan (Gallus g. speciosa), lutung (Presbytis Pyrrhus), musang (Paradoxurus hermaproditus), babi (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Hystrix sp), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), surili (Presbytis comata), kancil (Tragulus javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing (Callociurus notatus), macan tutul (Panthera pardus), ular sanca (Phyton sp), Trenggiling (Manis javanica), londok (Callotes notatus) dan kodok buduk (Bufo melanoticus). Diantara spesies satwa liar yang ditemukan di wilayah CA Kamojang terdapat 27 spesies satwa dilindungi yang terdiri dari 11 spesies mamalia, 14 spesies burung dan 2 spesies reptil. Selain itu, Cagar Alam Kamojang memiliki satwa endemik yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), wergan jawa (Alcippe pyrroptera) dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) yang penyebarannya hanya terbatas di Pulau Jawa.

41 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Sekitar Kawasan Masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Kamojang meliputi desa-desa di wilayah Kecamatan Ibun, Kecamatan Paseh, Kecamatan Pacet yang berada di Kabupaten Bandung dan Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Pasir Wangi serta Kecamatan Leles yang berada di Kabupaten Garut. Anonim (2005) menyatakan jumlah penduduk yang berada di sekitar kawasan cagar alam sekitar ± jiwa dan tersebar di wilayah Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut sebagai petani dan buruh tani. Mata pencaharian warga di sekitar kawasan cagar alam berupa pedagang, buruh bangunan dan pegawai negeri sipil. Penggunaan lahan yang berada di sekitar kawasan cagar alam sebagian besar masih berupa hutan lindung. Lahan di sekitar kawasan pun digunakan untuk hutan produksi terbatas, hutan dapat dikonversi, sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, perkebunan dan pemukiman. Keberadaan lahan hutan yang telah ada sejak dahulu mulai terganggu akibat konversi lahan menjadi lahan pertanian. 4.4 Pemanfaatan Sumberdaya Panas Bumi di CA/TWA Kamojang Ladang panas bumi Kamojang merupakan salah satu daerah kerja Pertamina Unit EP III yang berlokasi di daerah Jawa Barat. Daerah potensial panas bumi Kamojang memiliki luas wilayah ± 21 Km 2. Kaldera Kamojang merupakan wilayah vulkanis yang berada di dalam gugusan Gunung Guntur dan Masigit. Pada tanggal 29 Januari 1983, daerah panas bumi Kamojang diresmikan oleh Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina menjadi Lapangan Panas Bumi Kamojang sebagai lapangan produksi panas bumi pertama dan dimulainya era pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Ladang panas bumi Kamojang dikelola oleh PT. Pertamina Area Geothermal sebagai unit bisnis dari Pertamina Direktorat Hulu yang memproduksi dan mendistribusi uap ke konsumen yaitu Perusahaan Listrik Negara (Indonesian Power) sebagai single buyer. Area produksi panas bumi kamojang yang memiliki luas daerah potensial sebesar 21 Km 2 meliputi kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang. Untuk mengoptimalkan produksi panas bumi dari kawah Kamojang, maka pihak pertamina mengajukan izin pemanfaatan pada kawasan konservasi

42 27 tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.022/Kpts II/84 tentang Ijin Penggunaan Sebagian Cagar Alam Kamojang Untuk Kegiatan Eksplorasi dan Produksi Panas Bumi Oleh Pertamina unit EP III. Ketetapan tersebut memutuskan untuk memberikan izin kegiatan eksplorasi dan produksi panas bumi di dalam Cagar Alam Kamojang selama lima belas tahun dengan status pinjam pakai dan dapat diperpanjang kembali selama PT. Pertamina melaksanakan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahun 1996, Pertamina mengajukan kembali pemanfaatan kawasan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang seluas ± 12 Ha melalui Surat No.1141/Kwl 6/1995 dan disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 341/Menhut VII/1996 dengan status pinjam pakai selama 20 tahun dan diadakan evaluasi paling sedikit setiap lima tahun sekali (Anonim 2005). 4.5 Permasalahan Kawasan Beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan Cagar Alam Kamojang baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal yaitu (Anonim 2005): a. Adanya Perambahan areal hutan untuk pertanian kemudian ditinggalkan oleh penggarap (sistem pertanian ladang berpindah) sehingga menyebabkan areal hutan terbuka dan menyebabkan fungsi kawasan berkurang. b. Kesadaran masyarakat di sekitar kawasan terhadap lingkungan masih rendah. Hal ini dilatarbelakangi juga oleh rata-rata tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam di sekitar kawasan cukup tinggi. c. Perambahan dan kebakaran hutan akibat krisis moneter dan tidak teralokasinya masyarakat untuk ikut serta dalam program tumpangsari di lahan hutan produksi. Tingkat perambahan paling tinggi terjadi di tepi kawasan terutama di sekitar Blok Cihijo. d. Pencurian kayu terjadi di daerah berhutan lebat kawasan Cagar Alam Kamojang. Kayu-kayu yang menjadi sasaran pencurian diantaranya saninten (Castanopsis argentea), rasamala (Altingia excelsa), kibeureum (Toona sureni), puspa (Schima wallichii), tebe (Sloanea sigun).

43 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Tumbuhan Komposisi famili dan spesies Komposisi tumbuhan berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi sebanyak 86 spesies tumbuhan dari 50 famili (Lampiran 1). Sebagian besar spesies yang teridentifikasi merupakan famili Poaceae dengan jumlah spesies sebanyak 6 spesies sedangkan famili yang lainnya memiliki jumlah spesies yang berkisar diantara 3 sampai dengan 5 spesies (Gambar 4). Famili Rubiaceae Moraceae Meliaceae Melastomaceae Fagaceae Euphorbiaceae Arecaceae Lauraceae Urticaceae Asteraceae Poaceae Jumlah spesies Gambar 4 Sebelas famili yang memiliki jumlah spesies 3. Spesies yang termasuk kedalam famili Poaceae di lokasi penelitian diantaranya alang-alang (Imperata cylindrica), jampang (Eleusine indica), jampang kawat (Cynodon dactylon), jampang piit (Panicum colonum), jukut lampuyang (Panicum repens) dan kaso (Saccharum spontaneum). Menurut Sastroutomo (1990) beberapa spesies dari famili Poaceae merupakan gulma bagi tanaman perkebunan seperti alang-alang (I. cylindrica), jampang (E. indica), jampang kawat (C. dactylon), jukut lampuyang (P. repens) dan jukut pait (Axonopus compressus).

44 Indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman Indeks nilai penting (INP) yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi menunjukkan pada setiap tingkat pertumbuhan didominasi oleh spesies yang berbeda. Pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, spesies tumbuhan bawah teklan (Ageratina riparia) memiliki INP tertinggi sebesar 46,15%. Pada tingkat pancang, semak dan terna, INP tertinggi terdapat pada spesies kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) sebesar 67,37%. Tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, spesies kuray (Trema orientalis) mendominasi dengan INP masing-masing tingkat sebesar 85,06% dan 91,64%. Spesies yang memiliki INP cukup tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 No. Indeks nilai penting dan keanekaragaman spesies setiap tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan dan habitus Nama Spesies INP (%) H 1 Pohon Trema orientalis 91,64 2,17 Sloanea sigun 48,55 Macropanax sp. 40,50 2 Tiang Trema orientalis 85,06 2,51 Toona sureni 34,48 Sloanea sigun 20,86 3 Pancang, semak dan terna Austroeupatorium inulifolium Saccharum spontaneum 30,46 Musa acuminata 15,69 67,37 2,52 4 Semai dan tumbuhan bawah Ageratina riparia 46,15 3,27 Imperata cylindrica 13,33 Clidemia hirta 8,78 Spesies tumbuhan teklan (A. riparia) dan kirinyuh (A. inulifolium) merupakan spesies dengan INP tertinggi pada tingkat pertumbuhan semai/tumbuhan bawah dan pancang, semak dan terna. Kedua spesies ini memiliki kerapatan individu dan frekuensi perjumpaan yang tinggi pada plot pengamatan sehingga kedua spesies tersebut lebih dominan daripada spesies lain di dalam komunitasnya.

45 30 Nilai indeks keanekaragaman pada umumnya memiliki nilai lebih dari nol. Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008) menyatakan indeks keanekaragaman (H ) dikategorikan rendah (H < 1), sedang (1<H <3) dan tinggi (H > 3). Keanekaragaman spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan di Cagar Alam Kamojang menunjukkan kategori keanekaragaman berada pada kategori sedang sampai tinggi. Tingkat pertumbuhan semai dan habitus tumbuhan bawah memiliki kategori keanekaragaman yang tinggi sedangkan tingkat pertumbuhan dan habitus yang lainnya berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekosistem hutan Cagar Alam Kamojang yang sudah terganggu dengan kondisi yang relatif terbuka sehingga semai atau tumbuhan bawah lebih banyak ditemukan sebagai spesies pionir atau sebagai penutup lantai hutan pada kondisi tutupan hutan yang terbuka (Indriyanto 2006) Dominansi spesies tumbuhan Indriyanto (2006) menyatakan untuk mengetahui tingkat terpusatnya dominansi (penguasaan) spesies dalam komunitas dapat dilakukan dengan menghitung indeks dominansinya (C). Dominansi spesies dalam komunitas dapat terpusat pada satu spesies, beberapa spesies atau pada banyak spesies dengan memperkirakan tinggi rendahnya nilai indeks dominansi (Indriyanto 2006). Nilai indeks dominansi yang diperoleh untuk masing-masing tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Indeks dominansi (C) di lokasi penelitian Tingkat Pertumbuhan/habitus Indeks Dominansi (C) Semai dan tumbuhan bawah 0,15 Pancang, semak dan terna 0,30 Tiang 0,13 Pohon 0,19 Besarnya nilai indeks dominansi pada berbagai tingkat pertumbuhan berkisar diantara 0,13 0,30. Dominansi oleh satu spesies di dalam komunitasnya akan terlihat apabila nilai indeks dominansi bernilai 1 atau mendekati 1 sedangkan apabila beberapa spesies yang mendominasi secara bersama-sama maka nilai C akan bernilai rendah atau mendekati nol (Indriyanto 2006). Nilai indeks

46 31 dominansi pada setiap tingkat pertumbuhan yang berkisar antara 0,13 0,30 menunjukkan dominansi atau penguasaan spesies terhadap komunitasnya di Cagar Alam Kamojang tersebar pada beberapa spesies. Soerianegara dan Indrawan (2008) menyatakan dominansi spesies dapat diketahui menggunakan parameter indeks nilai penting (INP). Spesies tumbuhan dinilai mendominasi apabila INP untuk tingkat semai dan pancang lebih dari 10% sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15% (Sutisna 1981 diacu dalam Rosalia 2008). Dominansi oleh beberapa spesies terhadap komunitasnya di Cagar Alam Kamojang juga ditunjukkan oleh INP yang cukup tinggi. Spesies yang memiliki indeks nilai penting lebih dari 10% disajikan pada Gambar 5. Spesies M. tanarius E. spicata Macropanax sp S. sigun T. orientalis S. pendula S. sigun M. blumei M. tanarius T. sureni T. orientalis L. camara M. acuminata S. spontaneum A. inulifolium I. cylindrica A. riparia Semai/ t.bawah Pancang, semak dan terna Tiang Pohon INP (%) Gambar 5 Spesies dengan INP > 10% pada setiap tingkat pertumbuhan di lokasi pengamatan. Spesies yang dominan merupakan spesies yang mampu mengoptimalkan sumberdaya yang terdapat di lingkungannya. Spesies-spesies tersebut mampu bersaing dengan spesies lainnya dan dapat beradaptasi dengan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, spesies teklan (A. riparia), kirinyuh (A. inulifolium), kaso (S. spontaneum), kuray (T. orientalis), suren (T. sureni), cerem (Macropanax sp) dan tebe (S. sigun) yang memiliki INP tinggi di dalam komunitasnya mampu

47 32 mengoptimalkan sumberdaya dibandingkan spesies yang lainnya sehingga pertumbuhannya mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang. Salah satu spesies yang cukup mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang adalah kaso (Saccharum spontaneum). Hal ini ditunjukkan oleh INP S. spontaneum di lokasi pengamatan yang mencapai 30,46%. Spesies S. spontaneum merupakan tumbuhan asli India dan sangat banyak ditemukan di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Tumbuhan ini dapat beradaptasi pada lingkungan yang beragam mulai dari wilayah tropis sampai subtropis. Tempat alami bagi pertumbuhan S. spontaneum berupa lahan yang terdegradasi akibat kebakaran atau penggunaan lahan yang berlebihan (Hammond 1999). Gambar 6 Spesies kaso (Saccharum spontaneum) yang cukup mendominasi di Cagar Alam Kamojang. Spesies S. spontaneum merupakan gulma serius pada lahan pertanian di Thailand, Philipina, India dan Indonesia yang bersaing pada lahan yang terganggu (Holm et al diacu dalam DHAOGTR 2004). Di luar wilayah Asia seperti Panama, S. spontaneum menjadi spesies tumbuhan asing invasif pada hutan yang terdegradasi (Hammond 1999). Wishnie et al. (2002) menyatakan bahwa S. spontaneum merupakan tumbuhan semak belukar yang mampu menghambat pertumbuhan spesies tumbuhan berkayu dan bersifat resisten terhadap upaya pengendalian gulma pada spesies yang memiliki sistem perakaran yang dalam dan menyebar luas. Upaya reboisasi pada lahan yang telah terinvasi oleh S. spontaneum memerlukan upaya pengendalian gulma secara intensif meliputi kombinasi pengendalian secara mekanik dan kimia (Wishnie et al. 2002).

48 33 Meskipun spesies S. spontaneum tidak termasuk sebagai spesies tumbuhan asing invasif berdasarkan Webber (2003) dan Invasive Species Specialist Group (ISSG) (2005), namun menurut Pacific Island Ecosystems at Risk Project (PIER) (2011) spesies ini merupakan salah satu spesies yang berpotensi menjadi invasif di Indonesia. 5.2 Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Asing Invasif Jumlah spesies tumbuhan asing invasif Spesies yang teridentifikasi sebagai tumbuhan asing invasif di lokasi penelitian terdapat sebanyak 13 spesies tumbuhan. Apabila dibandingkan dengan jumlah total spesies yang teridentifikasi, maka jumlah spesies tumbuhan invasif masih tergolong sedikit. Daftar spesies yang termasuk tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang No. Nama Spesies Famili Habitus Sumber 1. Ageratum conyzoides Asteraceae Terna 2 2. Rubus moluccanus Rosaceae Terna merambat 2 3. Clidemia hirta Melastomataceae Perdu 1,2 4. Cynodon dactylon Poaceae Terna 1,2 5. Panicum repens Poaceae Terna 1,2 6. Mimosa pudica Fabaceae Semak 2 7. Mimosa pigra Fabaceae Perdu 1,2 8. Austroeupatorium inulifolium Asteraceae Semak 2 9. Passiflora edulis Passifloraceae Terna merambat 1,2 10. Lantana camara Verbenaceae Perdu 1,2 11. Mikania micrantha Asteraceae Terna 1,2 12. Piper aduncum Piperaceae Perdu 1,2 13. Ageratina riparia Asteraceae Semak 1,2 Sumber: 1) Webber (2003), 2) ISSG (2005) Spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang termasuk ke dalam delapan famili. Famili Asteraceae merupakan famili terbanyak yang ditemukan di lokasi penelitian dengan jumlah spesies tumbuhan asing invasif sebanyak empat spesies yaitu babadotan (A. conyzoides), kirinyuh (A. inulifolium), sembung rambat (M. micrantha) dan teklan (A. riparia). Pada umumnya spesies dari famili Asteraceae merupakan tumbuhan liar dan mudah untuk tersebar di beberapa habitat (Pujowati 2006) dan merupakan salah satu spesies gulma yang berbahaya (Sastroutomo 1990).

49 34 Sebagian besar habitus dari spesies tumbuhan asing invasif yang teridentifikasi merupakan terna atau herba. Tercatat sebanyak tujuh spesies dari spesies tumbuhan asing invasif berhabitus terna (herba). Sementara itu, spesies tumbuhan asing invasif yang berhabitus pohon seperti mahoni (Swietenia macrophylla) tidak ditemukan di lokasi penelitian. Daftar yang dimuat oleh ISSG (2005) menyebutkan sebagian besar spesies tumbuhan asing invasif merupakan tumbuhan bawah dan memiliki habitus terna dan semak. Selain teridentifikasi spesies tumbuhan asing invasif, teridentifikasi juga spesies lokal namun bersifat invasif yaitu Imperata cylindrica (Gambar 7). ISSG (2005) dan Holm et al. (1977) diacu dalam Collins (2005) menyatakan bahwa I. cylindrica merupakan spesies yang berasal dari wilayah Asia Tenggara dan dapat ditemukan pada wilayah tropis yang hangat mulai dari Jepang sampai Cina Tenggara. Keberadaan I. cylindrica di Cagar Alam Kamojang cukup dominan yang ditunjukkan dengan INP sebesar 13,33%. Dominansi I. cylindrica yang cukup tinggi di Cagar Alam kamojang disebabkan kondisi kawasan cagar alam yang sudah terganggu sehingga spesies ini menjadi tumbuhan pionir yang memiliki daya adaptasi tinggi dan menjadi invasif pada areal hutan yang terbuka. Gambar 7 Alang-alang (Imperata cylindrica). Meskipun I. cylindrica berasal dari wilayah Asia, namun spesies ini menjadi gulma penting di berbagai negara tropis dan sub-tropis terutama di daerah yang memiliki curah hujan tinggi di Asia Tenggara dan Afrika Barat. I. cylindrica dapat berkembangbiak secara generatif dengan biji dan secara vegetatif dengan rimpang. Tumbuhan ini mampu menghasilkan 3000 biji per tanaman sehingga

50 35 memungkinkan untuk menyebar serta mendominasi daerah-daerah lain yang cukup jauh, memiliki kontribusi dalam kebakaran lahan dan mengakibatkan rusaknya tanaman muda (Suryaningtyas 1996). Sebaran jumlah individu I. cylindrica pada plot pengamatan di Cagar Alam Kamojang tidak terlalu tersebar merata. Spesies I. cylindrica memiliki INP sebesar 13,33% sehingga penyebarannya di plot pengamatan tidak begitu banyak dibandingkan dengan A. inulifolium dan A. riparia yang memiliki nilai INP yang tinggi. Jumlah individu I. cylindrica berdasarkan hasil interpolasi berkisar diantara 2 sampai dengan 15 individu atau sekitar individu per hektar. Pola sebaran spasial I. cylindrica berdasarkan jumlah individunya disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Peta sebaran spasial Imperata cylindrica di Cagar Alam Kamojang. Di Cagar Alam Kamojang, I. cylindrica lebih banyak tersebar pada kondisi lahan yang terbuka dibandingkan kondisi yang lebih tertutup oleh tajuk pohon. ISGG (2005) menyatakan bahwa I. cylindrica dapat ditemukan pada kondisi habitat yang beragam seperti pada hutan yang terdegradasi dan lahan yang terbuka, kondisi kemasaman tanah yang cukup tinggi (ph 4,7) dan kondisi iklim

51 36 yang bervariasi. Kondisi tersebut diduga menyebabkan sebaran jumlah individu I. cylindrica tidak dipengaruhi oleh jarak dari jalan (Lampiran 6D) Dominansi spesies tumbuhan asing invasif Invasi oleh spesies tumbuhan asing dapat ditunjukkan dengan dominansi yang tinggi dari spesies tersebut terhadap komunitasnya. Dominansi oleh spesies tumbuhan asing invasif terjadi akibat spesies tersebut mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada di lingkungan meskipun di luar habitat alaminya (Alpert et al. 2000). Dominansi oleh spesies tumbuhan asing invasif juga ditunjukkan oleh INP beberapa spesies tersebut yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan spesies lainnya. Nilai INP masing-masing spesies tumbuhan asing invasif disajikan pada Gambar 9. Spesies Mimosa pudica Rubus moluccanus Passiflora edulis Panicum repens Mimosa pigra Ageratum conyzoides Piper aduncum Mikania micrantha Cynodon dactylon Clidemia hirta Lantana camara Ageratina riparia Austroeupatorium inulifolium INP (%) Gambar 9 Indeks nilai penting spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang. Spesies tumbuhan asing invasif yang mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang diantaranya kirinyuh (A. inulifolium), teklan (A. riparia) dan saliara (L. camara). Ketiga spesies ini cukup mempengaruhi spesies yang lainnya dengan nilai INP > 10%. Dominansi yang tinggi dari spesies tumbuhan asing invasif dipengaruhi oleh kondisi kawasan Cagar Alam Kamojang yang mengalami kerusakan akibat gangguan berupa pembalakan liar (Gambar 10).

52 37 Gambar 10 Pembalakan liar yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Kamojang menyebabkan kawasan terbuka. Kondisi kawasan yang terbuka akibat pembalakan liar merangsang tumbuhan bawah muncul sebagai vegetasi pionir dari proses suksesi sekunder. Soerianegara dan Indrawan (2008) menyatakan tumbuhan bawah seperti alangalang (I. cylindrica), jukut riut (M. pudica), babadotan (A. conyzoides), saliara (L. camara), dan Seuseureuhan (P. aduncum) merupakan vegetasi pionir yang tumbuh pada proses suksesi sekunder di lahan yang terdegradasi oleh pembalakan liar, kebakaran lahan atau sistem ladang berpindah. Spesies tersebut mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang lebih baik pada kondisi lahan yang terbuka sehingga berkembang secara pesat dan mampu mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya (Alpert et al. 2000).

53 Bioekologi spesies tumbuhan asing invasif 1. Babadotan (Ageratum conyzoides) Ageratum Conyzoides (Gambar 11) tersebar secara alami di Amerika Tengah, Amerika Utara dan Amerika Selatan (Webber 2003). Spesies ini merupakan herba semusim yang tumbuh di atas tanah-tanah pertanian, perkebunan dan di tepi jalan dan merupakan salah satu spesies tumbuhan asing invasif (Webber 2003). A.conyzoides tersebar pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan dan termasuk spesies tumbuhan asing paling invasif di India, China, Thailand, Indonesia dan Australia (Kohli et al. 2009). Biotrop (2011) menyatakan A. conyzoides pertama kali diintroduksi ke Indonesia sekitar tahun 1900-an dan sampai saat ini telah tersebar ke seluruh wilayah Indonesia. Di Cagar Alam Kamojang, spesies ini tidak terlalu dominan dengan INP sebesar 5,25%. Gambar 11 Babadotan (Ageratum conyzoides). Spesies A. conyzoides yang telah dewasa mampu menghasilkan benih berukuran kecil dengan jumlah biji mencapai benih, dapat tersebar oleh angin atau air dan mampu tumbuh dengan baik pada kondisi yang beragam (Holm et al diacu dalam Kohli et al. 2009). Benih A. conyzoides diketahui mengandung zat alelopati dan dapat menekan pertumbuhan spesies lain. Invasi oleh A. conyzoides di beberapa wilayah mampu menurunkan jumlah spesies tumbuhan lainnya, kepadatan dan biomassa sehingga mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi alami serta menurunkan keanekaraman hayati (Singh et al diacu dalam Kohli et al. 2009). A. conyzoides merupakan spesies yang

54 39 bersifat intoleran sehingga pertumbuhannya dapat tertekan apabila berada di bawah naungan. 2. Harees (Rubus moluccanus) Rubus moluccanus (Gambar 12) termasuk semak belukar merambat, tumbuh mengikat dan mengkompetisi dengan cara menaungi tumbuhan yang dirambatinya (Ang et al. 2010). R moluccanus tersebar secara luas di Asia Tenggara dan wilayah pasifik pada hutan alam, hutan tanaman, area yang terganggu atau di lahan basah (ISSG 2005). Spesies ini tumbuh alami di kawasan Himalaya (meliputi Malaysia sampai Australia), Pulau Solomon, New Caledonia, Kepulauan Fiji dan diintroduksi di wilayah Indonesia, Philipina, Thailand, Vietnam, Andaman dan Kepulauan Nicobar (ISSG 2005). Di Cagar Alam Kamojang, spesies ini memiliki nilai INP sebesar 3,17% dan tidak mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya. Rendahnya nilai INP R. moluccanus di Cagar Alam Kamojang disebabkan oleh dominansi spesies lainnya yang cukup menguasai komunitas tumbuhan yang lainnya. Gambar 12 Harees (Rubus moluccanus). Ang et al. (2010) menyatakan biji dari dari R. moluccanus dapat tersebar oleh burung dan mamalia terestrial sehingga penyebarannya cukup luas. Spesies ini menyebar terbatas di daerah pantai, daerah pedalaman hutan dan sebagian terdapat di tepi hutan dan hutan sekunder yang relatif terbuka (Ang et al. 2010). Meskipun bersifat invasif di luar distribusi alaminya, R. moluccanus dilaporkan terancam terinvasi oleh introduksi spesies asing lainnya (Ang et al. 2010).

55 40 3. Harendong bulu (Clidemia hirta) Clidemia hirta merupakan spesies yang memiliki sebaran distribusi alami di wilayah Amerika Utara terutama di Meksiko dan Amerika Selatan (Gambar 13). Menurut Biotrop (2011) C. hirta menyebar secara luas ke seluruh wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa. Sumber: Walt (2003) Gambar 13 Sebaran geografis C. hirta pada habitat alami (lingkaran) dan daerah introduksinya (kotak). Keberadaan C. hirta di kawasan Cagar Alam Kamojang tidak terlalu mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan INP C. hirta sebesar 8,78%. Spesies ini ditemukan di lokasi-lokasi yang relatif terbuka dengan akses cahaya matahari yang cukup. Wester dan wood (1977) diacu dalam Walt (2003) menyatakan C. hirta tumbuh pada area yang terganggu baik secara alami maupun akibat gangguan manusia dengan kondisi iklim yang hampir sama dengan habitat alaminya. Gambar 14 Harendong bulu (Clidemia hirta).

56 41 Prinando (2011) menyatakan bahwa spesies ini memiliki dominansi yang cukup mempengaruhi komunitas tumbuhan bawah lainnya di Kampus IPB Darmaga. Spesies C. hirta merupakan spesies pionir yang cepat tumbuh dan bersifat intoleran (Webber 2003). Kemampuan menghasilkan biji yang banyak dan didukung oleh persebaran biji yang dapat dilakukan oleh satwa memungkinkan spesies ini dapat menyebar secara luas. Walt (2003) menyatakan C. hirta dikenal sebagai spesies yang agresif dan mampu merusak pada area hutan yang terbuka di Kepulauan Hawai, Amerika, Fiji, dan Asia Tenggara. 4. Jampang kawat (Cynodon dactylon) Cynodon dactylon (Gambar 15) memiliki sebaran distribusi yang luas dan diketahui berasal dari Afrika (Halvorson 2003). Spesies ini dapat ditemukan pada daerah perairan atau lahan basah (ISSG 2005). Keberadaan C. dactylon di Cagar Alam Kamojang memiliki INP sebesar 6,85%. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan asing invasif ini tidak mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang. Rendahnya INP C. dactylon diduga akibat spesies ini tidak mampu bersaing dengan teklan (Ageratina riparia). Gambar 15 Jampang kawat (Cynodon dactylon) Halvorson (2003) menyatakan C. dactylon sangat membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk perkembangannya dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada area yang ternaungi. Proses invasi C. dactylon disebabkan oleh sistem regenerasi yang menyebar dengan cepat melalui rhizoma dan stolon kemudian menyingkirkan spesies asli dan mencegah regenerasi alaminya (Webber 2003). ISSG (2005) menyatakan spesies ini diduga dapat ditemukan di wilayah tropis

57 42 dengan curah hujan mm/tahun. C. dactylon dikenal sebagai tumbuhan yang banyak digunakan untuk berbagai tujuan seperti pengendali erosi, sumber pakan ternak, dan obat herbal (ISSG 2005). Meskipun C. dactylon dapat dimanfaatkan untuk beberapa tujuan, namun spesies ini termasuk gulma penting dalam lahan-lahan yang dibudidayakan (Sastroutomo 1990). 5. Jukut lempuyang (Panicum repens) Panicum repens (Gambar 16) merupakan gulma penting di wilayah Asia Tenggara (Holm et al diacu dalam PIER 2010). Spesies ini diperkirakan berasal dari daerah tropis Afrika (Afrika Utara) atau daerah Mediterania (ISSG 2005). Spesies P. repens tersebar secara luas di daerah tropis dan subtropis dan diintroduksi ke wilayah Jawa pada tahun 1850 (Anonim 2011). Tingkat dominansi spesies ini di Cagar Alam Kamojang tidak terlalu menguasai komunitas tumbuhan di lingkungannya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai INP P. repens sebesar 4,03%. Rendah tingkat dominansi P. repens di Cagar Alam Kamojang disebabkan dominansi spesies tumbuhan invasif yang lainnya seperti teklan (A. riparia) atau kirinyuh (A. inulifolium). Gambar 16 Jukut lampuyang (Panicum repens). Holm et al. (1977) diacu dalam PIER (2010) menyatakan bahwa spesies ini tercatat sebagai gulma pertanian di 27 negara. Spesies P. repens memiliki pertumbuhan yang agresif dalam kondisi yang menguntungkan untuk menjadi invasif. Smith et al. (1993) menyatakan pertumbuhan agresif pada P. repens ditunjang oleh sistem rizoma yang luas. Spesies ini mampu menggantikan spesies tumbuhan asli terutama pada daerah perairan dangkal (Smith et al. 1993).

58 43 6. Jukut riut (Mimosa pudica) Mimosa pudica (Fabaceae) merupakan semak kecil yang bersifat sensitif dengan ciri daun yang dapat menutup dengan sendirinya saat disentuh dan membuka kembali setelah beberapa lama. M. pudica diketahui berasal dari Amerika Selatan dan diintroduksi ke beberapa negara sebagai tanaman hias (ornamental) (ISSG 2005). Biotrop (2011) menyatakan M. pudica pertama kali ditemukan di Kebun Tembakau Deli, Sumatera Utara dan saat ini telah menyebar ke seluruh Indonesia. Keberadaan M. pudica di Cagar Alam Kamojang tersebar di tepi jalan PLTP Kamojang dengan INP sebesar 2,14%. Hal ini diduga frekuensi pertemuan dengan M. pudica di Cagar Alam Kamojang hanya ditemukan di tepi jalan (Gambar 17b). Selain itu, spesies ini bersifat intoleran sehingga tidak mampu tumbuh dibawah vegetasi yang lebih tinggi atau dibawah kanopi hutan (ISSG 2005). a b Gambar 17 (a) Jukut riut (Mimosa pudica), (b) Lokasi M. pudica sering ditemukan (tanda merah). Spesies M. pudica tumbuh pada tanah yang berdrainase baik dan memiliki konsentrasi nutrisi yang rendah. Holms et al.(1977) diacu dalam ISSG (2005) menyatakan bahwa spesies ini mampu tumbuh pada ketinggian mdpl dengan curah hujan sekitar mm/tahun. Di Philipina, spesies ini berbunga sepanjang tahun dan diduga setiap tanaman memproduksi 675 biji per tahunnya ( Holms et al diacu dalam Anonim 2011). Kemampuan reproduksi yang sangat tinggi pada spesies ini diduga menjadi faktor yang menunjang M.

59 44 pudica menjadi gulma lahan pertanian di 38 negara terutama di wilayah Asia Tenggara (Holms et al diacu dalam Anonim 2011). Pengendalian M. Pudica di beberapa tempat dilakukan dengan cara pembakaran. ISSG (2005) menyatakan kebakaran yang berulang merangsang M. pudica untuk menyebar luas pada tipe ekosistem savana. Beberapa penelitian telah mencoba untuk mengendalikan penyebaran M. pudica dengan cara mengintroduksi musuh alaminya seperti serangga Lophocampa catenulata (Yaseen 1971 diacu dalam Anonim 2011). 7. Kalimusa (Mimosa pigra) Mimosa pigra (Gambar 18) merupakan gulma invasif yang memiliki distribusi sebaran yang luas. ISSG (2005) mengklasifikasikan spesies ini sebagai 100 spesies tumbuhan paling invasif. Spesies ini diketahui berasal dari wilayah tropis Amerika yaitu Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan menginvasi secara luas ekosistem di Afrika, Asia Tenggara dan Australia (ISSG 2005, Beilfuss 2007, Thomas 2007). Keberadaan M. pigra di Cagar Alam Kamojang ditunjukkan dengan INP sebesar 4,42%. INP M. pigra yang kurang dari 10% menunjukkan bahwa spesies ini tidak mendominasi komunitas tumbuhan di lingkungannya. Sama halnya seperti Mimosa pudica, rendahnya nilai INP M. pigra diduga akibat spesies ini lebih banyak tersebar di tepi jalan sehingga tidak tercakup ke dalam plot pengamatan. Gambar 18 Kalimusa (Mimosa pigra).

60 45 Spesies M. pigra berpotensi menyebar luas melalui ekosistem padang rumput alami dan mengubahnya menjadi semak belukar yang tidak produktif sehingga memiliki tingkat keanekaragaman yang rendah (Thomas 2007). Di beberapa wilayah Asia Tenggara seperti Vietnam, M. pigra telah menginvasi ekosistem yang khas di dalam kawasan yang dilindungi yang mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut (Thomas 2007). Proses invasi oleh M. pigra di luar distribusi alaminya tidak lepas dari kemampuan berkembangbiaknya. Thomas (2007) menyatakan M. pigra dapat berkembangbiak sepanjang tahun pada kondisi tanah yang basah tetapi tidak tergenang. Proses perkecambahan dan pembungaan berkisar antara 4 sampai 12 bulan. Lonsdale (1992) diacu dalam Thomas (2007) menyatakan setiap tumbuhan M. pigra rata-rata menghasilkan biji lebih dari 9000 biji per tahunnya. Pengendalian terhadap spesies tumbuhan asing invasif M. pigra telah banyak dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya upaya pembakaran, penggunaan herbisida dan pemberantasan secara manual (Beilfuss 2007). Selain upaya tersebut, upaya pengendalian menggunakan musuh alami M. pigra juga dilakukan dengan mengintroduksi serangga Macaria pallidata dan Leuciris fimbriaria (Heard et al. 2010). 8. Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) Austroeupatorium inulifolium merupakan salah satu spesies dari golongan Eupatorium yang telah menginvasi dan bernaturalisasi di wilayah Indonesia dan Sri Lanka (McFayden 2003). Sebaran distribusi alami dari spesies ini terdapat di daerah tropis Amerika (Biotrop 2011). A. inulifolium ditemukan pertama kali di Kebun Raya Bogor kemudian menyebar secara liar dan bernaturalisasi di perkebunan teh (Biotrop 2011). Penyebaran spesies ini ditemukan juga di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat dan menyebar luas di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera pada ketinggian tempat yang cukup tinggi (Biotrop 2011). ISSG (2005) menyatakan spesies ini tumbuh dengan baik di daerah yang terbuka (savana, daerah yang terganggu, tepian hutan) dengan ketinggian 100 sampai dengan 2100 mdpl.

61 46 Gambar 19 Komunitas A. inulifolium yang mendominasi di Cagar Alam Kamojang. Keberadaan A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang tergolong tinggi dengan INP sebesar 67,37%. INP A. inulifolium menunjukkan spesies tersebut mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya dan menginvasi kawasan Cagar Alam Kamojang (Gambar 19). Kemampuan menginvasi A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang dipengaruhi juga oleh kondisi kawasan yang terganggu. Hsu et al. (2006) menjelaskan bahwa A. inulifolium merupakan spesies semak belukar yang agresif dan merupakan spesies pionir yang tumbuh cepat pada lahan yang terdegradasi (terbuka dari naungan). Bunga A. inulifolium yang ringan dapat tersebar dengan mudah oleh angin sehingga memiliki kemampuan untuk menginvasi daerah-daerah yang terbuka dalam jangka waktu yang pendek (ISSG 2005). Kerapatan A. inulifolium yang tinggi pada area hutan yang terbuka dapat menghambat pertumbuhan dari spesies lokal. Spesies ini dapat berkompetisi dengan spesies lokal secara agresif dengan menggunakan zat alelopati sehingga menekan regenerasi dan pertumbuhan spesies lokal (Hsu et al. 2006; Bosu et al. 2009). Upaya pengendalian terhadap A. inulifolium sudah banyak dilakukan di beberapa negara dengan memanfaatkan musuh alaminya. Upaya kontrol biologi dilakukan dengan mengintroduksi Pareuchaetes pseudoinsulata dan Cecidochares connexa (Muniappan 2011).

62 47 9. Nagri (Passiflora edulis) Passiflora edulis (Gambar 20) merupakan salah satu spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di Cagar Alam Kamojang. Spesies P. edulis diketahui berasal dari Amerika Selatan (ISSG 2005, Biotrop 2011). Distribusi P. edulis di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi (Biotrop 2011). Heriyanto dan Sawitri (2006) menyatakan spesies ini ditanam pada tahun 1930 di Kebun Raya Cibodas sebagai tanaman percobaan. Di Cagar Alam Kamojang, P. edulis hanya memiliki INP sebesar 3,89% berbeda dari famili Passifloraceae lainnya yaitu konyal (P.ligularis) yang memiliki INP sebesar 8,09%. Gambar 20 Nagri (Passiflora edulis). Spesies P. edulis merupakan tumbuhan tahunan yang hidup merambat. Sastrapradja (1977) diacu dalam Heriyanto dan Sawitri (2006) menyatakan bahwa di Indonesia, P. edulis banyak terdapat di hutan pegunungan sebagai tumbuhan liar pada ketinggian minimal 1000 mdpl. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji atau stek batang. Buah dari P. edulis bersifat edibel (dapat dimakan) dan menjadi salah satu sumber pakan satwa di hutan sehingga penyebaran bijinya dapat dilakukan oleh satwa (Heriyanto & Sawitri 2006). Di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, spesies ini berpotensi menjadi spesies tumbuhan asing invasif karena berasosiasi kuat dengan spesies-spesies asli seperti Castanopsis argentea, Altingia excelsa, Villebrunea rubescens dan Schima Walichii (Heriyanto & Sawitri 2006).

63 Saliara (Lantana camara) Lantana camara merupakan tumbuhan semak belukar yang memiliki distribusi alami di daerah tropis Amerika Selatan dan Amerika Utara (Webber 2003). Spesies ini diintroduksi sebagai tanaman hias kemudian menyebar secara cepat dan menjadi tumbuhan pengganggu yang serius di daerah tropis dan subtropis (Gambar 21) (Kohli et al. 2009). Berdasarkan data ISSG (2005) Lantana camara termasuk ke dalam 100 spesies tumbuhan asing paling invasif di dunia. Sumber: Day et al.2003 Gambar 21 Distribusi geografi alami (hijau) dan daerah introduksi (merah) Lantana camara. Penyebaran L. camara di Indonesia pertama kali ditemukan Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Biotrop 2011). Keberadaan spesies ini di Cagar Alam Kamojang memiliki INP sebesar 15,37% dan merupakan spesies yang cukup berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan yang lainnya. Di Cagar Alam Kamojang, terutama daerah yang terbuka, spesies ini ditemukan tumbuh dengan spesies lainnya seperti kaso (S. spontaneum) dan kirinyuh (A. inulifolium) sehingga menyebabkan spesies lokal yang lainnya terkompetisi (Gambar 22).

64 49 Gambar 22 Saliara (L. camara) yang tumbuh bersama kaso (S. spontaneum) dan kirinyuh (A. inulifolium). Sebaran distribusi L. camara yang luas dan beragam menunjukkan spesies ini memiliki toleransi terhadap kondisi ekologi yang tinggi. Day et al. (2003) menyatakan L. camara dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang terbuka seperti pada tanah yang tidak diolah, daerah hutan yang terbakar atau daerah bekas penebangan. Di beberapa wilayah, L. camara menginvasi daerah-daerah yang terganggu seperti kawasan hutan yang terbuka, lahan pertanian dan ladang penggembalaan (Kohli et al. 2009). Sharma et al. (2005) diacu dalam Fan et al. (2010) menguraikan faktor biologi dan ekologi seperti kandungan alelopati, sifat toleran terhadap api dan interaksi dengan berbagai satwa mendukung L. camara menjadi invasif di daerah yang terganggu. Kemampuan L. camara memproduksi biji pada kondisi yang optimal sangat tinggi mencapai biji per tanaman dan dapat tersebar secara luas melalui satwa atau aktivitas manusia (Kohli et al. 2009). Di luar habitat alaminya, L. camara dapat menekan pertumbuhan spesies lokal dengan memproduksi senyawa alelopati dan senyawa kimia lainnya (Kohli et al. 2009). 11. Sembung rambat (Mikania micrantha) Mikania micrantha (Gambar 23) merupakan tumbuhan merambat yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dan termasuk ke dalam 100 spesies tumbuhan asing paling invasif (ISSG 2005). Menurut Webber (2003) M. micrantha tersebar alami di Amerika Utara (Meksiko) dan Amerika Selatan. Spesies ini pertama kali

65 50 diintroduksi ke Indonesia melalui Kebun Raya Bogor pada tahun 1949, kemudian menyebar luas di seluruh Indonesia dan diketahui telah menggantikan Mikania cordata yang merupakan spesies asli Indonesia (Biotrop 2011). Keberadaan M. micrantha di Cagar Alam Kamojang memiliki INP 6,83% dan menunjukkan spesies ini tidak mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya di Cagar Alam Kamojang. M. micrantha ditemukan di daerah yang terbuka dan merambat pada spesies-spesies pohon di sekitarnya. Menurut Webber (2003) spesies ini tumbuh alami pada hutan yang terbuka dan daerah-daerah di sekitar mata air. Gambar 23 Sembung rambat (Mikania micrantha). Meskipun M. micrantha tidak mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya di Cagar Alam Kamojang, namun spesies ini mampu menghambat petumbuhan pohon yang dirambatinya dengan menutupi seluruh tajuknya. Yau- Lun (2011) menjelaskan ketika M. micrantha menutupi seluruh tajuk pohon maka tidak hanya mempengaruhi proses fotosintesis tumbuhan tetapi juga mengganggu habitat burung. Regenerasi M. micrantha dilakukan secara generatif dan secara vegetatif. Regenerasi secara generatif dilakukan dengan memproduksi biji dalam jumlah banyak dan dapat tersebar oleh angin, air atau satwa sehingga mampu tersebar secara luas (Webber 2003). M. micrantha merupakan spesies yang bersifat intoleran terhadap naungan sehingga benih dari M. micrantha tidak dapat bertahan pada intensitas cahaya kurang dari 2% (Yau-Lun 2011). Pengendalian terhadap

66 51 spesies tumbuhan asing invasif M. micrantha dilakukan secara manual (pemotongan, pencabutan dan penggalian) atau dengan menggunakan herbisida yang biasa digunakan untuk mengendalikan M. micrantha. Selain upaya tersebut, pengendalian M. micrantha di daerah yang terinvasi dilakukan dengan menggunakan serangga musuh alaminya (Abraham et al. 2002). 12. Seuseureuhan (Piper aduncum) Piper aduncum (Gambar 24) merupakan tumbuhan yang memiliki distribusi alami di daerah tropis Amerika Tengah dan Selatan (dari Meksiko sampai Bolivia) (Jan et al. 2002). Backer et al. (1963) diacu dalam Jan et al. (2002) menyatakan P. aduncum diintroduksi ke Indonesia pada tahun Keberadaan P. aduncum di Cagar Alam Kamojang tidak begitu mendominasi dengan INP sebesar 5,91%. Rendahnya INP P. aduncum dipengaruhi oleh jumlah individu dan frekuensi perjumpaan pada plot pengamatan yang rendah. Gambar 24 Seuseureuhan (Piper aduncum). Di beberapa wilayah seperti Papua New Guinea, P. aduncum adalah spesies tumbuhan asing yang telah menginvasi wilayah tersebut selama tiga dekade terakhir (Jan et al. 2002). Berdasarkan Jan et al. (2002) menyatakan P. aduncum menjadi spesies asing yang mampu menekan spesies pionir yang lainnya dan memiliki dominansi yang tinggi terhadap habitatnya. Menurut Hiratsuka et al. (2006) diacu dalam Tan et al. (2008) P. aduncum memiliki relung ekologi yang sama dengan Macaranga gigantea, M. hypoleuca, Mallotus panniculatus, melastoma malabathricum dan Trema cannabina di hutan Kalimantan Timur sehingga berpotensi menjadi invasif. Faktor-faktor yang mempengaruhi P.

67 52 aduncum sukses menginvasi suatu wilayah disebabkan spesies ini memiliki distribusi geografi alami yang luas, mengkolonisasi pada area yang terganggu secara agresif, memiliki biji yang relatif kecil, periode anakan yang pendek (cepat dewasa), produksi biji yang tinggi setiap tahun dan mudah tersebar oleh angin atau satwa (Jan et al. 2002, Haetmink 2001). 13. Teklan (Ageratina riparia) Ageratina riparia (Gambar 25) merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika Tengah dan menjadi spesies tumbuhan asing invasif yang mengancam di beberapa daerah tropis yang beriklim hangat (Fröhlich et al. 2000). A. riparia diintroduksi ke beberapa daerah tropis sebagai tumbuhan hias sebelum tersebar sangat luas dan menjadi invasif di daerah tersebut (Barreto & Evans 1988 diacu dalam Zancola et al. 2000). Di Cagar Alam Kamojang, A. riparia merupakan spesies dengan INP tertinggi kedua setelah A. inulifolium yaitu sebesar 46,15% dan merupakan spesies yang mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya. Keberadaan A. riparia yang dominan di Cagar Alam Kamojang diduga akibat pertumbuhan spesies ini yang agresif dan cepat tumbuh pada kondisi daerah yang terbuka. Fröhlich et al. (2000) menyatakan A. riparia merupakan tumbuhan yang bersifat semi toleran terhadap naungan sehingga spesies ini masih tetap mendominasi kawasan cagar alam meskipun ternaungi oleh A. inulifolium dan spesies lainnya. Gambar 25 Teklan (Ageratina riparia). Kemampuan spesies ini untuk menginvasi suatu ekosistem didukung oleh kemampuan memproduksi biji yang tinggi. Barreto dan Evans (1988) diacu dalam

68 53 Zancola et al. (2000) menyatakan bahwa satu tanaman A. riparia dapat menghasilkan 7000 sampai dengan biji per musim dan dapat tersebar dengan luas oleh angin, air atau satwa. Fröhlich et al. (2000) menyatakan A. riparia menginvasi beragam habitat termasuk hutan alam dan dapat menggantikan spesies yang langka dan regenerasi yang terbatas. Kontrol biologi A. riparia dilakukan dengan menggunakan jamur putih (Entyloma ageratinae) dan serangga Procecidochares alani atau Oidaematophorus beneficus yang hanya menyerang A. riparia (Fröhlich et al. 2000; Barton et al. 2007). 5.3 Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif Pola penyebaran spesies berdasarkan indeks Morisita Penyebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang ditentukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu dengan menggunakan Indeks Morisita dan menggunakan interpolasi terhadap jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif dominan yang ditemukan di lapangan. Indeks Morisita digunakan untuk mengetahui kecenderungan bentuk penyebaran dari spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang. Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif berdasarkan nilai Indeks Morisita disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai indeks Morisita spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang No. Nama Spesies Indeks Morisita Pola Penyebaran 1. Ageratum conyzoides 0,55 Ip > 0 Mengelompok 2. Rubus moluccanus 0,55 Ip > 0 Mengelompok 3. Clidemia hirta 0,52 Ip > 0 Mengelompok 4. Cynodon dactylon 0,53 Ip > 0 Mengelompok 5. Panicum repens 0,56 Ip > 0 Mengelompok 6. Mimosa pudica 0,68 Ip > 0 Mengelompok 7. Mimosa pigra 0,58 Ip > 0 Mengelompok 8. Passiflora edulis 0,54 Ip > 0 Mengelompok 9. Lantana camara 0,52 Ip > 0 Mengelompok 10. Mikania micrantha 0,52 Ip > 0 Mengelompok 11. Piper aduncum 0,52 Ip > 0 Mengelompok 12. Ageratina riparia 0,50 Ip > 0 Mengelompok 13. Austroeupatorium inulifolium -0,50 Ip < 0 Merata Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang berdasarkan Indeks Morisita cenderung mengelompok (clumped) kecuali pada spesies A. inulifolium yang memiliki kecenderungan penyebaran merata di Cagar

69 54 Alam Kamojang. Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif yang mengelompok terkait dengan karakteristik spesies tersebut. Spesies tumbuhan asing invasif berkembang secara masif pada daerah-daerah yang sudah terganggu seperti daerah hutan yang terbuka. Sifat sebagian besar spesies tumbuhan asing invasif yang tidak dapat tumbuh di bawah naungan (intoleran) diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk sebaran spesies tumbuhan asing invasif mengelompok pada kondisi daerah tertentu (Rejmanek 2000 diacu dalam Radosevich et al. 2007). Spesies A. inulifolium yang menyebar merata berdasarkan indeks Morisita diduga disebabkan oleh kemampuan spesies ini yang telah berhasil bernaturalisasi dan menginvasi di Indonesia termasuk ekosistem vegetasi di Cagar Alam Kamojang (McFayden 2003) Perbandingan hasil interpolasi dengan menggunakan metode IDW dan metode kriging Metode interpolasi merupakan metode pendugaan nilai dari suatu daerah yang tidak diamati berdasarkan nilai pada daerah yang diamati (Pramono 2008). Pendugaan nilai sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif dilakukan dengan menggunakan dua metode interpolasi yaitu metode interpolasi inverse distance weighted (IDW) dan metode kriging. Perbandingan kedua metode interpolasi ini dalam menduga sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif di Cagar Alam Kamojang ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) (Lampiran 4). Nilai koefisien determinasi kedua metode interpolasi pada masing-masing spesies tumbuhan asing invasif yang dominan ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai koefisien determinasi metode interpolasi IDW dan kriging pada masing-masing spesies tumbuhan asing invasif yang dominan No. Spesies tumbuhan asing invasif Koefisien determinasi (R 2 ) dominan IDW Kriging 1. Austroeupatorium inulifolium 0,903 0, Ageratina riparia 0,874 0, Lantana Camara 0,849 0,808 Koefisien determinasi yang dihasilkan oleh metode interpolasi IDW pada setiap spesies tumbuhan asing invasif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai koefisien determinasi pada metode interpolasi kriging. Pendugaan sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif dengan menggunakan metode IDW

70 55 mampu menjelaskan keragaman jumlah individu yang sebenarnya dengan cukup tinggi daripada metode kriging sehingga lebih sesuai untuk digunakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Prasasti et al. (2005) dan Pramono (2008) yang menyatakan bahwa metode interpolasi IDW memberikan hasil interpolasi yang akurat dibandingkan dengan metode interpolasi kriging. Metode interpolasi IDW yang lebih baik dalam menduga sebaran jumlah individu spesies tumbuhan asing invasif diduga karena sampel data sebaran jumlah individu yang digunakan cukup rapat dan teratur Pola sebaran spasial spesies tumbuhan asing invasif dominan 1. Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) Pola sebaran spasial dari spesies A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang memiliki pola sebaran yang merata di seluruh areal pengamatan. Pola sebaran spasial A. inulifolium yang merata di areal pengamatan dapat dilihat dari jumlah individu yang berkisar diantara 20 sampai dengan 39 individu per plot pengamatan atau sekitar individu per hektar. Pendugaan jumlah individu A. inulifolium pada areal pengamatan berdasarkan hasil interpolasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26. Gambar 26 Peta sebaran spasial Austroeupatorium inulifolium di Cagar Alam Kamojang.

71 Jumlah Individu 56 Hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu A. inulifolium dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil analisis regresi linier sederhana menunjukkan hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu difungsikan seperti pada Gambar Jumlah Individu = Jarak S R-Sq 8.3% R-Sq(adj) 6.3% Jarak Gambar 27 Hasil analisis regresi linier pada hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang. Model persamaan yang diperoleh dari hasil analisis regresi pengaruh jarak jalan terhadap sebaran jumlah individu A. inulifolium yaitu y = 20,91 + 0,055x dengan distribusi sisaan tersebar normal (Lampiran 5A). Pengujian f dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa model persamaan yang diperoleh signifikan dengan nilai signifikansi sebesar 0,043 (lebih kecil dari nilai α sebesar 5%) (Lampiran 6A). Model persamaan yang signifikan diinterpretasikan bahwa jarak dari jalan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sebaran jumlah individu A. inulifolium. Model persamaan yang menunjukkan adanya pengaruh jarak jalan terhadap sebaran jumlah individu A. inulifolium diperkuat oleh uji t- student yang menghasilkan nilai signifikansi lebih kecil daripada nilai taraf kepercayaan 95% sehingga diperoleh kesimpulan bahwa sebaran jumlah individu A. inulifolium dipengaruhi oleh jarak dari jalan.

72 57 2. Teklan (Ageratina riparia) Pola sebaran spasial A. riparia di Cagar Alam Kamojang berdasarkan hasil interpolasi mengelompok pada daerah tertentu dengan jumlah individu yang cukup bervariasi (Gambar 28). Jumlah individu A. riparia di area pengamatan berdasarkan hasil interpolasi sebagian besar berjumlah sekitar 8 sampai dengan 32 individu per plot pengamatan atau sekitar individu per hektar (Gambar 28). Jumlah individu A. riparia yang sangat banyak didukung oleh kemampuan reproduksi dari spesies ini yang sangat baik yaitu mampu menghasilkan 7000 sampai dengan biji per musim dapat tersebar dengan luas oleh angin, air atau satwa (Zancola et al. 2000). Gambar 28 Peta sebaran spasial Ageratina riparia di Cagar Alam Kamojang. Hubungan antara peubah jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu A. riparia berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana menghasilkan model persamaan yaitu Ln y = ,45 Ln x. Fungsi lon (Ln) pada persamaan yang dihasilkan merupakan transformasi data untuk menghasilkan data sisaan (residual) yang terdistribusi secara normal (Lampiran 5).

73 Ln jumlah ind Ln jumlah ind. = Ln Jarak S R-Sq 0.3% R-Sq(adj) 0.0% Ln Jarak Gambar 29 Hasil analisis regresi linier pada hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu A. riparia di Cagar Alam Kamojang. Model persamaan yang dihasilkan tidak memiliki signifikansi yang nyata berdasarkan nilai signifikansi yang diperoleh dari pengujian f dan pengujian t. Nilai signifikansi pada uji f dan uji t sebesar 0,709 lebih besar dari nilai α sebesar 0,05 sehingga diperoleh kesimpulan bahwa peubah jarak dari jalan dalam model persamaan yang dihasilkan tidak mempengaruhi sebaran jumlah individu A. riparia (Lampiran 6B). Penyebaran spasial A. riparia yang tidak dipengaruhi oleh faktor jarak dari jalan diduga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor kemampuan penyebaran benih, ketinggian tempat atau penutupan lahan. Fröhlich et al. (2000) menyatakan bunga A. riparia dapat tersebar dengan mudah oleh air dan angin sehingga dapat menyebar dengan cepat ke daerah yang lebih luas. Spesies A. riparia yang terdapat di Cagar Alam Kamojang diduga memiliki kemampuan penyebaran biji yang optimal sehingga telah menyebar dengan luas ke daerah lain dan tidak dipengaruhi oleh faktor jarak dari jalan. 3. Saliara (Lantana camara) Spesies L. camara pada area pengamatan di Cagar Alam Kamojang memiliki pola sebaran spasial yang berbeda dari spesies A. inulifolium. Spesies L. camara merupakan salah satu spesies tumbuhan asing invasif yang cukup

74 59 dominan di Cagar Alam Kamojang, namun pola sebaran spasial L. camara berkelompok di beberapa area pengamatan dengan kondisi tertentu. Sebaran jumlah individu L. camara berdasarkan hasil interpolasi lebih didominasi pada kisaran 2 sampai dengan 7 individu per plot pengamatan atau sekitar individu per hektar (Gambar 30). Gambar 30 Peta sebaran spasial Lantana camara di Cagar Alam Kamojang. Spesies L. camara memiliki pola sebaran yang mengelompok pada kondisi area yang terbuka dengan ketinggian tempat yang tidak terlalu tinggi. Di Cagar Alam Kamojang, L. camara banyak ditemukan di lokasi yang berdekatan dengan sumur gas atau di tepi jalan. Pada Gambar 30, sebaran jumlah individu L. camara terlihat lebih banyak ditemukan pada tiga segmen plot pengamatan daripada daerah dua segmen plot pengamatan yang lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh dominansi dari spesies tumbuhan asing invasif lainnya seperti A. inulifolium sehingga spesies L. camara tidak mampu bersaing pada kondisi habitat yang telah diinvasi oleh spesies tersebut. Hubungan antara jarak dari jalan dengan sebaran jumlah individu L. camara berdasarkan analisis regresi menghasilkan model persamaan Ln y = Ln 3,545 0,302 Ln x (Gambar 31). Nilai signifikansi pada pengujian f dan pengujian t

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spesies Invasif Secara ekologi, invasi didefinisikan sebagai pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN (2) METODOLOGI 4/4/2012 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDAHULUAN (2) METODOLOGI 4/4/2012 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KEANEKARAGAMAN DAN POLA PENYEBARAN SPASIAL SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM KAMOJANG ANGGA ZAELANI HIDAYAT E34070032 Dosen Pembimbing: Dr.Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan dilindungi yang pengelolaannya lebih diarahkan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alpert dkk., 2000). Menurut Indriyanto (2006), Invasi merupakan proses masuknya

BAB I PENDAHULUAN. Alpert dkk., 2000). Menurut Indriyanto (2006), Invasi merupakan proses masuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara ekologi, invasi merupakan pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju ke area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian secara perlahan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari tiga taman nasional yang ada di Sumatera yang dapat mewakili prioritas tertinggi unit konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse No.1959, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Jenis Invasif. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG JENIS INVASIF

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara yang kaya akan keanekaragaman jenis flora di dunia. Keanekaragaman hayati di Indonesia jauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988). 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dibuktikan dengan terdapat berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan endemik yang hanya dapat

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Materi ( Bahan dan Alat) Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian berupa jenis tumbuhan bawah dan alkohol 70%.

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai luas 1,3% dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

Di Indonesia, spesies asing invasif diketahui telah menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah Mikania micrantha Kunth (Asteraceae) yang

Di Indonesia, spesies asing invasif diketahui telah menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah Mikania micrantha Kunth (Asteraceae) yang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Spesies Asing Invasif (Znvasive AIien Species) Spesies invasif adalah suatu spesies yang muncul, sebagai akibat dari aktivitas manusia, melampaui penyebaran normalnya dan mengancam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District Ridwansyah, Harnani Husni, Reine Suci Wulandari Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 17 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Dramaga, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat (Gambar 4.1). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yakni dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan suatu obyek sesuai

Lebih terperinci