BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian berikut : Subekti memberikan defenisi mengenai perjanjian adalah sebagai Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbul timbal balik suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) adalah sama artinya. 12 Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, defenisi tentang perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian itu dapat dituangkan dalam tulisan atau surat dan dapat pula terjadi secara lisan. Jadi perjanjian itu merupakan suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis yaitu salah satu pihak menawarkan atau mengajukan usul dan pihak lain menerima atau menyetujui usul oleh pihak-pihak yang bersangkutan maka timbullah perjanjian yang mengakibatkan ikatan hukum bagi para pihak. 12 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1965, hal.1.

2 2. Syarat Sahnya Perjanjian Suatu kontrak oleh hukum dianggap mengikat kedua belah pihak, apabila perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang terpada pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari : (1) Kecakapan Kecakapan yang dimaksud di sini adalah kemampuan membuat perjanjian, yaitu setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas oleh hkum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti: gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: a. Orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. (2) Sepakat mereka yang membuat perjanjian Kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian merpakan unsur esensil atau utama sebagai syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan dalam perikatan/ kontrak dapat terjadi dalam bentuk

3 lisan, tertulis, dengan simbol-simbol tertentu serta berdiam diri. Perikatan dapat menjadi batal (dapat dibatalkan) jika saja terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal, diantaranya kekhilafan/ kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan keadaan. Cacat kehendak karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam Pasal 1321 BW yang menegaskan tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kemudian diatur juga dalam Pasal 1449 BW yang menegaskan perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. (3) Perihal Tertentu Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum (nuul and void). Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW prestasi itu dapat berupa: a. Menyerahkan sesuatu; b. Berbuat sesuatu; c. Tidak berbuat sesuatu.

4 Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat sesuatu, dan berdiam diri untuk tidak berbuat sesuatu seperti berjanji untuk tidak membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetetangga. 13 (4) Sebab yang halal Sebab yang halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud 13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Jakarta: Rajawali Press, hal 30

5 dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri Pengertian Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian kredit berasal dari Bahasa Inggris, yaitu contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money 15. Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain: Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apa pun, bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit ; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor: 2/539/UPK/Pemb/1996; 3. Surat Edaran Bank Negara Indonesua Nomor : 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. R. Subekti berpendapat: 17 Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalamm Kitab Undangundang Hukum Perdata Pasal 1754 sampai dengan pasal diakses pada hari/tanggal : selasa, 2 Mei 2012 pada pukul WIB. 15 H. Salim., Op.Cit., hal Ibid., hal Ibid., hal.78

6 Pendapat yang sama dikemukakan Marhainis Abdul Hay: Perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjammeminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman : 18 Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. Tetapi pendapat ini disangkal oleh pakar hukum lainnya. Menurut Hartono Soerja Pratiknyo: 19 Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang piutang (perjanjian pijam mengganti). Sedang perjanjian hutang pitutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Jadi arti pendahuluan pada perjanjian kredit diibedakan dengan asti pelaksanaan perjanjian hutang piutang. 4. Ciri Perjanjian Kredit Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan tiga ciri perjanjian kredit kredit, sebagai berikut: Rachmadi Usman, Aspek., hal Hartono Soerja Praktinyo, Hutang Piutang, Yogyakarta : Mustika, 1989, hal.3.

7 1.1 Bersifat konsensual Sifat konsensual suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam-meminjam uang yang bersifat riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsepsual, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit ditandatangani menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya setelah ditandatanganinya kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit. 1.2 Penggunaaan kredit tidak dapat digunakan secara leluasa Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan 20 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hal

8 pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding kredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam-meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab XIII Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 1.3 Syarat cara penggunaannya Hal yang membedakan perjanjian kredit dari perjanjian peminjaman uang adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak diisyaratkan cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank kedalam kekuasaan mutlak nasabah debitur.

9 Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu berada dalam pengawasan bank Bentuk Perjanjian Kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata seperti telah diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di Bank maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian sebagai alat bukti. 22 Berdasarkan Pasal 1 butir (11) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit. Meskipun pada umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis (asalkan kedua belah pihak sepihak, H. Salim HS., Op.Cit., hal Sutarno, Aspek Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Jakarta: Alfabeta, 2003, hal.

10 cakap hukum, tentang suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang membolehkan kesepakatan pada perjanjian dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun tulisan) namun kiranya kesepakatan pada perjanjian perbankan harus dibuat dalam sebuah perjanjian tertulis. Ketentuan ini terdapat pada penjelasan Pasal 8 Undang-undang Perbankan yang mewajibkan kepada Bank pemberi kredit untuk membuat perjanjian secara tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tulisan telah ditetapkan dalam pokok-pokok ketentuan perkreditan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undangundang Perbankan. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1996 tanggal 10 Oktober Dalam instruksi tersebut ditegaskan Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit Ibid, hal. 99.

11 Perjanjian yang dibuat secara tertulis dalam praktek perbankan dibedakan lagi menjadi dua bentuk perjanjian yaitu : Akta di bawah tangan; dan 2. Akta autentik. berikut: Kedua bentuk perjanjian (akta) tersebut dapat dijadikan sebagai 5.1. Akta Di Bawah Tangan Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. 25 Apabila calon nasabah debitur tidak berkenan terhadap klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan bukan oleh petugas perbankan yang 24 Badriyah Harun,Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010, hal Sutarno, Op.Cit., hal.100.

12 berhadapan langsung dengan calon nasabah debitur. Sehingga seperti yang telah disinggung sebelumnya, mau tidak mau, calon nasabah yang hendak mengajukan kredit, harus menyetujui segala syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagai kreditur Akta Otentik Akta otentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandantangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh Undangundang, dibuat dan/atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat. Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kepada kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (lebih dari satu kreditur), dan lain-lain. Dalam praktiknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh dan/atau di hadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat dalam akta dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris ke dalam akta. 26 B. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku 26 Badriyah Harun, Op.Cit., hal. 38.

13 Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah : suatu kontrak yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplace) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan-perubahan dalam klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi take it or leave it. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. 27 Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku. Ciri perjanjian baku, yaitu : Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian; 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 27 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik Buku Keempat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standaard), Perkembangannya di Indonesia, Bandung : Alumni, 1980.

14 4. Bentuk tertentu (tertulis); 5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif. Sutan Remi Sjahdeini juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku. Perjanjian baku adalah : perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku. 29 Setelah mengetahui definisi-definisi perjanjian baku berdasarkan pendapat para sarjana, maka adapun jenis-jenis perjanjian baku tersebut adalah : 1. Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. 2. Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur). Secara formal debitur ikut serta untuk menetapkan isi perjanjian tetapi secara materiil debitur hanya mengikat diri sebagai anggota serikat atau perkumpulan tersebut. 3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek-objek atas tanah. 29 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hal. 74.

15 4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan di notaris, yang konsepnya semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris Beberapa pakar hukum menolak keberadaan perjanjian baku ini karena dinilai: 30 a. Kedudukan pengusaha dalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta atau (legio particulure wetgever), karenanya perjanjian baku bukan perjanjian; b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract); c. Negara-negara common law system menerapkan doktrin unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian dianggap meniadakan keadilan. Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena: 31 a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu; 30 Rachmadi Usman, Aspek., hal Ibid., hal. 266.

16 b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin sesseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya; c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Keabsahan perjanjian baku terletak pada persetujuan kedua belah pihak guna menunjang dan menjamin keberlangsungan usaha. Meskipun pada umumnya di dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak setara antara pihak yang telah mempersiapkan (bank) dengan pihak yang disodorkan (nasabahdebitur), biasanya nasabah debitur menerimanya dengan segala konsekuensi yang timbul di kemudian hari. Dengan sendirinya pihak yang telah mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan kewajiban-kewajiban yang tidak setara. 32 C. Isi Perjanjian Kredit Bank Setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing- 32 Ibid.

17 masing bank untuk menetapkannya, namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 33 a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank. b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud. 1. Komposisi/Susunan Perjanjian Kredit Setiap membuat perjanjian kredit apakah perjanjian otentik (dibuat Notaris) atau perjanjian kredit di bawah tangan (dibuat para pihak sendiri), pada umumnya mempunyai komposisi sebagai berikut: 34 a. Judul b. Komparisi c. Substantif a. Judul Judul yang digunakan di dalam praktek perbankan untuk membuat perjanjian kredit berbeda-beda. Ada yang menggunakan judul Perjanjian Kredit, Perjanjian Membuka Kredit, Perjanjian Pinjaman, Perjanjian Pinjam Uang. Judul disini berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat tersebut, 33 Rachmadi Usman, Aspek., hal Ibid., hal

18 setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank. 35 b. Komparisi Komparisi adalah bagian dari suatu akta yang digunakan untuk mengawali suatu bagian dari pembukaan pembuatan akta yang memuat keterangan mengenai orang atau pihak yang menghadap untuk menandatangani akta itu. Keterangan mengenai orang atau pihak yang menghadap berarti mengidentifikasi dari pihak atau orang yang terlibat dan mengikatkan diri dalam akta tersebut. Jadi dalam suatu akta komparisi itu berupa : 36 1) Uraian terinci mengenai identitas dari pihak-pihak atau orang yang menghadap Notaris atau Pejabat Negara lainnya untuk menandatangani akta. Identitas meliputi nama, alamat. 2) Dasar hukum yang memberikan kewenangan yuridis bagi para pihak yang menghadap Notaris untuk menandatangani akta. 3) Kedudukan para pihak yang menghadap apakah bertindak untuk diri sendiri atau sebagai kuasa orang lain atau mewakili perusahaan yang berbadan hukum. Para pihak yang diuraikan dalam komparisi perjanjian kredit yaitu: 37 1) Bank sebagai Kreditur. Bank adalah badan hukum berarti sebagai subyek hukum. Sebagai badan hukum Bank tidak dapat menjalankan sendiri aktivitasnya, karena badan hukum bersifat abstrak sehingga 35 Sutarno, Op.Cit., hal Ibid. hal Ibid.

19 tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri maka harus diwakili oleh organnya. Menurut Anggaran Dasar organ yang mewakili Bank adalah Direksi atau pejabat lain yang mewakili Direksi sebagai kuasanya. Komparisi dari Bank atau Kreditur adalah identitas Bank meliputi nama Bank, alamat/domisili Bank, nama dan alamat yang mewakili Bank yaitu Direksi atau pejabat lain selaku kuasa Direksi. 2) Sedangkan jika Debitur perorangan identitas meliputi nama, alamat, rumah atau kantor dan jika Debitur perorangan tersebut telah menikah maka dalam komparisi harus ditambah surat persetujuan dari istrinya. c. Substantif Sebuah perjanjian perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus memuat maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara pembayaran kredit, agunan kredit, opensbaar clause, dan pilihan hukum Klausul-Klausul Dalam Perjanjian Kredit Perjanjian kredit yang baik seyogyanya sekurang-kurangnya bersisi klausula-klausula sebagai berikut: 39 a. Klausula-klausula tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; b. Klausula-klausula tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik; 38 Rachmadi Usman,Aspek., hal H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi, 2000, hal.47-50

20 c. Klausula tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah kreditur; d. Klausula tentang representations and warranties, yaitu klausula yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah kreditur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah kreditur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut; e. Klausula tentang conditions precedent, yaitu klausula tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah kreditur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah kreditur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut; f. Klausula tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan; g. Klausula tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan Rekening Koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan; h. Klausula tentang affirmative covenants, yaitu klausula yang berisi janjijanji nasabah kreditur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku; i. Klausula tentang negative covenants, yaitu klausula yang berisi janji-janji nasabah kreditur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku;

21 j. Klausula tentang financial covenants, yaitu klausula yang berisi nasabah kreditur untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu; k. Klausula tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan penyelesaian kredit; l. Klausula tentang events of default, yaitu klausula yang menentukan suatu peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit; m. Klausula tentang arbitrase, yaitu klausula yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan diantara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional; n. Klausula-klausula bunga rampai atau miscellaneous provisions atau boilerplate provisions, yaitu klausula-klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-klausula lain; termasuk di dalam klausula-klausula ini adalah klausula yang disebut Pasal Tambahan, yaitu klausula yang berisi syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur di dalam pasal-pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku.

22 Menurut Ch. Gatot Wardoyo ada beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yaitu: Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause). Klausula ini menyangkut: a. Pembayaran provisi, premi asuransi kredit dan asuransi barang jaminan serta biaya pengikatan jaminan secara tunai; b. Penyerahan barang jaminan dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut; c. Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi di luar kesalahan kreditur maupun kreditur. 2. Klausula mengenai maksimum kredit (amount clause). Klausula ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu : a. Merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru; b. Merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak kreditur untuk melakukan penarikan pinjaman; c. Merupakan penetapan berapa besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi atau commitment fee; 40 Rachmadi Usman, Aspek., hal.270

23 d. Merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (over draft). 3. Klasula mengenai jangka waktu kredit. Klausula ini penting dalam beberapa hal, yaitu: a. Merupakan batas waktu bagi bank kapan keharusan menyediakan dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah; b. Merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran-teguran kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya; c. Merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan tinjauan atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali. 4. Klausula mengenai bunga pinjaman (interest clause). Klausula ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk: a. Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama, karena bunga merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut; b. Pengesahan pemungutan bunga di atas 60 % per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis. 5. Klausula mengenai barang agunan kredit

24 Klausula ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak lain 6. Klausula asuransi (insurance clause) Klausula ini bertujuan untuk pengalihan resiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya, keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya. 7. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause). Klausula ini terdiri dari atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengaman kepentingan bank sebagai tujuan utama. 8. Tigger clause atau opeisbaar clause Klausula ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir. 9. Klausula mengenai denda (penalty clausul) Klausula ini dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya. 10. Expence Clause Klausula ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang, dan penagihan kredit. 11. Debet Autho Rization Clause

25 Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitu. 12. Representation and Warranties/Material Adverse Change Clause Klausula ini dimaksudkan bahwa pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan. 13. Klausula ketaatan pada ketentuan bank Klausula ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi dipandang perlu, maka sudah dianggap tekah diperjanjikan secara umum. 14. Miscellaneous/Boiler Plate Provision Pasal-pasal tambahan. 15. Dispute Settlement (Alternatif Dispute Resolution) Klausula mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dan kreditur bila terjadi. 16. Pasal-Pasal Penutup Pasal penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian. Sehingga dalam sebuah perjanjian kredit bank minimal seyogjanya memuat klausula-klausula yang berhubungan dengan: Ibid., hal.271

26 1. Ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, diantaranya tentang jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; 2. Suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit, diantaranya bea materai, provisi/commitment fee dan denda kelebihan tarik; 3. Kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan/atau rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban peenerima kredit; 4. Representation dan warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna pelunasan kredit; 5. Conditions precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit untuk pertama kalinya; 6. Agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan; 7. Affirmative dan negative covenants, yaitu kewajiban-kewajiban dan pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian kredit; 8. Tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelamatan kredit; 9. Events of defaults/ wanprestasi/ cidera janji/ trigger clause/ opeisbaar clause, yaitu tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian

27 kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul. 10. Pilihan domisili/ forum/ hukum apabila terjadi pertikaian di dalam penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit; 11. Ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatanganan perjanjian kredit. D. Berakhirnya Perjanjian Kredit Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu. Jadi perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, juga harus tunduk pada ketentuanketentuan umum yang termuat di dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 42 Berakhirnya atau hapusnya perjanjian diterangkan oleh Pasal 1381 KUH Perdata bahwa hapusnya atau berakhirnya perjanjian disebabkan peristiwaperistiwa sebagai berikut: 43 a. Karena pembayaran Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah diadakan. Dengan adanya pembayaran oleh seorang 42 Rachmadi Usman, Aspek., hal Sutarno, Op.Cit., hal, 84-90

28 debitur atau pihak yang berhutang berarti Debitur telah melakukan prestasi sesuai perjanjian. Dengan dilakukannya pembayaran oleh Debitur maka perjanjian kredit/hutang menjadi hapus atau berakhir. b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan atau dalam bahasa Belanda dinamakan consignatie. Prestasi Debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan dapat mengakhiri atau menghapuskan perjanjian. Untuk menerangkan maksud kalimat ini perlu diberikan contoh, misalnya seorang Debitur bernama X memperoleh pinjaman dari Bank 5 juta rupiah dengan bunga 6% pertahun dan jangka waktu satu tahun. Sebelum jangka waktu berakhir Debitur memiliki uang yang cukup sehingga menawarkan kepada Kreditur untuk melunasi hutang pokok tersebut sebelum jangka waktu berakhir. Jika Kreditur menyetujui tawaran Debitur tersebut maka terjadilah pembayaran tunai yang mengakhiri perjanjian. Tetapi kalau Kreditur menolak tawaran tersebut maka Debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan di Pengadilan Negeri. Ketentuan pembayaran tunai yang diikuti penitipan ini prosedurnya diatur dalam pasal 1404 s/d 1412 KUH Perdata. Tetapi hanya berlaku untuk perjanjian yang prestasinya memberi barang-barang bergerak sedangkan untuk memberi barang tidak bergerak Undang-undang tidak mengatur.

29 c. Novasi atau pembaruan utang Novasi merupakan salah satu cara untuk menghapuskan atau mengakhiri suatu perjanjian. Novasi atau pembaruan utang adalah suatu perjanjian baru yang menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang sama memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama. Pasal 1413 KUH Perdata menetapkan 3 (tiga) macam cara untuk terjadinya Novasi: 1) Novasi subyektif aktif adalah suatu perjanjian yang bertujuan menggantikan Kreditur lama dengan seorang Kreditur baru. Misalnya Bank A memberikan kredit atau pinjaman uang kepada seorang bernama Ali. Bank A sebagai Kreditur menjual piutangnya kepada B, maka disini terjadi pergantian Kreditur Bank A diganti Kreditur baru Bank B. Pergantian Kreditur dapat secara sepihak dilakukan Kreditur tanpa sepengetahuan Debitur. 2) Novasi subyektif pasif adalah suatu perjanjian yang bertujuan mengganti Debitur lama dengan Debitur baru dan membebaskan Debitur lama dari kewajibannya. Misalnya Bank A (Kreditur) memberikan kredit kepada seorang bernama PT. Ali (debitur). Karena PT. Ali sebagai debitu tidak mampu melunasi hutangnya maka Bank A mengadakan perjanjian dengan PT. Tono untuk meneruskan kewajiban hutang Ali, dengan demikian PT. Tono berstatus sebagai Debitur baru menggantikan PT. Ali. PT. Ali sebagai Debitur lama dibebaskan Bank A dari hutangnya.

30 3) Novasi obyektif suatu perjanjian antara Kreditur dengan Debitur untuk memperbaharui atau merubah obyek atau isi perjanjian. Pembaruan obyek perjanjian ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari Debitur diganti dengan prestasi lain. Misalnya kewajiban menyerahkan suatu barang diganti dengan menyerahkan uang. d. Kompensasi atau perjumpaan utang Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generische ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun kreditur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut. 44 Untuk dapat dilakukan perjumpaan utang atau kompensasi pasal 1427 KUH Perdata memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1) Kedua utang harus sama-sama mengenai utang atau barang yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama. 2) Kedua utang seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang sedangkan utang lainnya baru dapat satu bulan yang akan datang maka kedua utang itu tidak dapat diperjumpakan. e. Percampuran utang 44 Rachmadi Usman,Op.Cit., hal. 280.

31 Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan Kreditur dan Debitur bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu percampuran utang terjadi dan perjanjian ini menjadi hapus atau berakhir. Contoh terjadinya pernikahan antara Kreditur dan Debitur dan ada persatuan harta pernikahan maka terjadi percampuran hutang. f. Pembebasan utang Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang dilakukan Kreditur dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran hutang dari Debitur. Artinya Kreditur memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada Debitur bahwa Kreditur membebaskan kepada Debitur untuk tidak membayar lagi hutangnya. Jadi pembebasan hutang ini dapat dilakukan secara sepihak yang berupa pernyataan atau pemberitahuan tertulis kepada Debitur yang isinya Kreditur membebaskan hutangnya dan Debitur menerima pemberitahuan itu atau membalas surat Kreditur yang menyetujui pembebasan hutang tersebut. g. Musnahnya barang yang terhutang Apabila barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya barang bukan kesalahan Debitur dan sebelum Debitur lalai menyerahkan barangnya kepada Kreditur. Apabila Debitur dibebaskan untuk memenuhi perjanjian yang disebabkan peristiwa musnahnya atau hilangnya barang, namun jika Debitur mempunyai

32 hak-hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi atas barang tersebut maka Debitur diwajibkan menyerahkan kepada Kreditur. h. Pembatalan perjanjian Jika syarat subyektif (Sepakat dan Cakap) tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat menggunakan hak untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk membatalkan. Bila syarat obyektif (obyek tertentu dan sebab yang halal) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUH Perdata). Akibat hukum suatu perjanjian dibatalkan karena syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian tidak dipenuhi atau karena dibatalkan salah satu pihak karena wanprestasi yaitu: i. Hak dan kewajiban para pihak kembali kepada keadaan semula sebelum adanya perjanjian ii. Para pihak harus mengembalikan hak-hak yang telah dinikmati misalnya Debitur yang telah menerima uang pinjaman maka Debitur segera mengembalikan sebesar uang yang diterimanya. Pembeli yang telah menerima barangnya segera mengembalikan barangnya. Penjual yang

33 telah menerima pembayaran segera mengembalikan uang (Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata). i. Berlakunya suatu syarat batal Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu masih belum tentu terjadi. Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Apabila syarat batal dipenuhi maka akan menghentikan perjanjian itu dan membawa kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada perjanjian, akibatnya semua pihak dalam perjanjian itu harus mengembalikan ke dalam keadaan semula. Misalnya, seorang yang berutang telah menerima uangnya, dan Kreditur menerima jaminannya, maka si berutang harus mengembalikan hutangnya dan Kreditur memberikan dokumen jaminannya (pasal 1265 KUH Perdata).

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan paling pokok dalam kehidupan manusia. Rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca sekaligus sebagai tempat tumbuh kembang

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku, meskipun di dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah membubuhkan tanda tangannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. ditujukan kepada masyarakat bahwa memberi kredit dalam bentuk apapun bankbank

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. ditujukan kepada masyarakat bahwa memberi kredit dalam bentuk apapun bankbank BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Kredit Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat bahwa memberi kredit dalam

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan

Lebih terperinci

Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-prinsip Pemberian Kredit dan Tolak Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak

Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-prinsip Pemberian Kredit dan Tolak Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-prinsip Pemberian Kredit dan Tolak Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak Yenny Eta Widyanti 1 Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengaturan Surat Berharga Sebelum kita sampai pada pengaturan mengenai surat berharga, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui pengertian dari surat berharga, mengenai pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. usaha kredit, yaitu berupa bunga dan provisi. Salah satu kegiatan usaha

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. usaha kredit, yaitu berupa bunga dan provisi. Salah satu kegiatan usaha BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT E. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan yang paling utama karena pendapatan terbesar dari usaha bank

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT PERJANJIAN KREDIT Yang bertanda tangan di bawah ini : I. ------------------------------------- dalam hal ini bertindak dalam kedudukan selaku ( ------ jabatan ------- ) dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT. namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT. namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Di dalam memahami pengertian kredit banyak pendapat dari para ahli, namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

Bab IV PEMBAHASAN. A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada

Bab IV PEMBAHASAN. A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada Bab IV PEMBAHASAN A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Yogyakarta Safe Deposit Box yaitu merupakan suatu jasa pelayanan

Lebih terperinci

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Perjanjian Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai istilah perjanjian. Mengenai istilah perjanjian dalam hukum perdata Indonesia yang berasal dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu : 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu : 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan perlindungan adalah tempat berlindung, perbuatan melindungi. 1 Pemaknaan kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak 11 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian berbeda dengan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan antara dua orang

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Pengertian dan Dasar Hukum Tentang Jaminan Kredit Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur yang merumuskan pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan P engertian mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan Pembangunan Nasional, peranan pihak swasta dalam kegiatan pembangunan semakin ditingkatkan juga. Sebab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata : BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang ataulebih. Syarat

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Koperasi Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata co yang artinya bersama dan operation yang artinya bekerja

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

SYARAT DAN KETENTUAN

SYARAT DAN KETENTUAN SYARAT DAN KETENTUAN 1. DEFINISI (1) Bank adalah PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk., yang berkantor pusat di Bandung, dan dalam hal ini bertindak melalui kantor-kantor cabangnya, meliputi kantor cabang,

Lebih terperinci

BAB II KESEPAKATAN BERSAMA MENGENAI PENYELESAIAN PINJAMAN ANTARA PT. BANK CIMB NIAGA TBK DENGAN PT MESTIKA SAWIT

BAB II KESEPAKATAN BERSAMA MENGENAI PENYELESAIAN PINJAMAN ANTARA PT. BANK CIMB NIAGA TBK DENGAN PT MESTIKA SAWIT BAB II KESEPAKATAN BERSAMA MENGENAI PENYELESAIAN PINJAMAN ANTARA PT. BANK CIMB NIAGA TBK DENGAN PT MESTIKA SAWIT INTIJAYA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Tentang Kesepakatan Bersama

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D 101 09 185 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Bank.

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan, mempunyai sifat sistem terbuka. Maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu menunjukkan arah untuk menyatukan ekonomi global, regional ataupun lokal, 1 serta dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PEMBERIAN FASILITAS KREDIT RUMAH

SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PEMBERIAN FASILITAS KREDIT RUMAH SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PEMBERIAN FASILITAS KREDIT RUMAH SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PEMBERIAN FASILITAS KREDIT RUMAH Syarat dan ketentuan umum pemberian fasilitas kredit rumah ini merupakan syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba

BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba 3.1.1 Alasan Penerapan Buyback dari Pemberi Waralaba Perjanjian Waralaba merupakan perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali )

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Serta Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. 1 Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan

Lebih terperinci

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU ANALISA HUKUM TERHADAP BEBERAPA KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KEANGGOTAAN KARTU KREDIT PERBANKAN DITINJAU DARI SUDUT KUH PERDATA DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: IRDANURAPRIDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract) Definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemberian Kredit kepada masyarakat dilakukan melalui suatu perjanjian kredit antara pemberi dengan penerima kredit sehingga terjadi hubungan hukum antara keduanya. Seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, sosial dan politik, telah mendudukkan masyarakat Indonesia pada posisi yang sulit. Hanya segelintir orang

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum untuk Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth 1. Definisi Syarat dan Ketentuan Umum ANGSURAN adalah suatu

Lebih terperinci

Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit

Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit Maria Kaban Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pada masa sekarang dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

Dokumen Perjanjian Asuransi

Dokumen Perjanjian Asuransi 1 Dokumen Perjanjian Asuransi Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut akan dapat diketahui berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 10 November 1998 tentang perbankan, menyatakan bahwa yang dimaksud

BAB II LANDASAN TEORI. 10 November 1998 tentang perbankan, menyatakan bahwa yang dimaksud 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Bank Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. KUHPerdata sehingga disebut perjanjian tidak bernama. Dalam Buku III

BAB I PENDAHULUAN. KUHPerdata sehingga disebut perjanjian tidak bernama. Dalam Buku III BAB I PENDAHULUAN Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. 1 Dalam kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA http://www.thepresidentpostindonesia.com I. PENDAHULUAN Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci