BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dengan penelitian sejenis sebelumnya. Berkaitan dengan ruang lingkup Bali dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dengan penelitian sejenis sebelumnya. Berkaitan dengan ruang lingkup Bali dan"

Transkripsi

1 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Setiap penelitian dipandang penting untuk mengaitkan penelitian tersebut dengan penelitian sejenis sebelumnya. Berkaitan dengan ruang lingkup Bali dan Indonesia, sejauh ini tidak banyak kajian yang bertalian dengan penelitian majas dan gender. Hal ini menyebabkan pustaka-pustaka yang digunakan dalam penelitian ini lebih didominasi oleh karya-karya yang berasal dari luar negeri. Semuanya bertalian dengan makna gaya bahasa atau majas (makna literal dan non-literal), dan gender. Peninjauan kepustakaan ini pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh gambaran teoretis yang jelas tentang model serta temuan yang telah dicapai dan celah-celah yang dapat dilengkapi dalam penelitian ini. Berikut ini rangkuman dari beberapa sumber yang mengemukakan perbedaan antara makna literal dan non-literal. Pemaparan berikut sekaligus menjelaskan konsep metafora yang menjadi pokok bahasan analisis ungkapan BB. Pertama-tama ungkapan menghadirkan makna eksplisit (literal) dan implisit (nonliteral). Menurut Kerbrat-Orecchioni (1986: 94), semua jenis makna yang mengandung makna implisit (nonliteral) dalam konteks tertentu mencirikan kehadiran majas. Menurut pendapatnya, majas hanya suatu kasus khusus dari fungsi implisit. Dalam majas, bentuk yang implisit bersifat denotatif dan bentuk yang menggantikannya bersifat

2 12 konotatif. Berkaitan dengan pemahaman makna majas dipandang sangat penting memahami unsur leksikal (UL) yang menampilkan dua makna, yakni literal mengacu makna nyata dan nonliteral mengacu pada makna abstrak. Berikut pernyataan beberapa ahli tentang makna literal dan non-literal, sebagai berikut. (1) Steen (2002: 24) Steen (2002: 24) mengganti istilah non-literal dengan makna metaforis. Ia mengatakan bahwa makna literal adalah makna yang dapat digunakan secara langsung dalam pembicaraan mengenai pengalaman, sedangkan makna metaforis memerlukan proses pemindahan dari satu ranah ke ranah lain. Seiring dengan Steen, Lee (2001:6) merumuskan metafora sebagai sarana yang melibatkan konsep dari ranah pengalaman satu ke pengalaman lain. Banyak konsep mereka merupakan fondasi dalam pengembangan teori metafora konseptual dengan pendekatan linguistik kognitif. (2) Tutescu (1979) Tutescu (1979) sependapat dengan pernyataan Steen (2002) bahwa dalam studi semantik ada dua teori yang membahas makna kata, yaitu teori fitur dan teori berdasarkan pengetauan. Artinya, setiap kata mempunyai wilayah makna tertentu yang terdiri atas sejumlah komponen makna, yaitu satuan makna terkecil. Apabila

3 13 dua kata atau lebih disandingkan, maka ada kemungkinan bahwa satu kata memiliki sejumlah komponen makna penyama dengan wilayah makna dari kata yang dibandingkan dan pasti ada komponen makna yang berbeda pada sisi lainnya (Tutescu, I979: ). Pada dasarnya ada dua macam komponen makna, yaitu komponen makna penyama dan komponen makna pembeda. Hal ini akan membantu uraian penelitian ini untuk menguraikan pemahaman makna ungkapan. (3) Knowles (2006:4) Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut. (1) makna literal mengacu pada sesuatu yang nyata, yaitu sesuatu yang memiliki bentuk di alam semesta, sedangkan makna nonliteral mengacu pada sesuatu yang tidak nyata. Menurut saya, pendapat ini masih naif karena ada hal abstrak yang nyata, seperti udara, kesejahteraan. Sebaliknya, tidak semua makna metaforis mengacu pada sesuatu yang abstrak, misalnya bibir pantai, mata hati, ekor mata, dan lain-lain yang berasal dari kata harfiah. (2) Makna denotatif adalah makna yang secara spontan dikemukakan ketika seseorang menjelaskan makna sebuah UL tanpa konteks; artinya hubungan kata dan konsepnya terpisah dari wilayah makna kata lainnya, sedangkan makna konotatif memerlukan konteks. (3) Makna denotatif ada lebih dahulu daripada makna konotatif; sedangkan makna konotatif merupakan hasil dari proses. Menurut saya, hal ini berkaitan dengan makna samping, artinya makna yang bergerak dari satu makna ke makna lainnya yang merupakan bagian dari kognisi penutur yang diperoleh dari pengalaman (experience). (4) Metafora, yang merupakan salah satu gejala kebahasaan dengan makna

4 14 nonliteral, melibatkan persamaan. Contoh, Gadis itu adalah matahariku, Gadis itu diasosiasikan dengan matahari. Itu berarti bahwa gadis dan matahari memiliki kesamaan ciri. (4) Evans (2006: 287) Pertentangan makna literal dengan makna nonliteral diajukan oleh Evans (2006: 287). Menurut Evans, konsep literality secara tradisional stabil dan tidak taksa. Jadi, makna literal jelas. Akan tetapi, menurut saya, UL menjadi taksa secara leksikal (lexical ambiguity) karena kata tidak bisa berdiri sendiri dan dapat mengacu lebih dari satu makna sehingga memerlukan konteks. Sebagai contoh, UL pada bunga hanya mengacu pada fitur alami yang dimiliki. Akan tetapi, pergeseran makna UL terjadi dalam kalimat Bunga datang ke kebun untuk memetik bunga. Demikian juga dalam kalimat Hati Bunga berbunga-bunga karena bunga tabungannya bertambah. Kata bunga mengalami pergeseran makna dari makna pusat ke makna samping (Halliday, 1976). Evans setuju dengan Knowles dengan catatan tambahan bahwa konteks tidak hanya berupa konteks sintagmatis, tetapi juga latar belakang pengetahuan ensiklopedis yang kaya dari pengalaman penutur secara individu atau melalui kesepakatan antara mitra tutur untuk dapat memahami konsep metafora. Selanjutnya, hubungan gender dengan bahasa yang menjadi landasan pokok bahasan analisis gender dalam penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut.

5 15 (5) Brown (1978) Hubungan perempuan dan laki-laki dalam pemakaian bahasa merupakan variasi stilistik, yaitu orang yang berbicara dengan cara yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor biologis (nature) dan proses belajar (nurture). Brown (1978) menjelaskan bahwa perempuan menggunakan partikel yang lebih kencang ketika berbicara dengan sesama perempuan yang bertujuan untuk mencari perhatian dan ingin dipuji oleh lawan bicaranya. Lebih lanjut, perempuan menggunakan partikel yang lebih melemah ketika mereka berbicara dengan laki-laki untuk tidak diremehkan. Ketika perempuan berbicara dengan perempuan lainnya, mereka cenderung menggunakan lebih banyak partikel daripada bila laki-laki berbicara pada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh adanya kealamiahan sikap bahasa yang dipengaruhi oleh budaya atau lingkungan pendukung lainnya. (6) Coates (1986) Berkaitan dengan pernyataan tentang variasi stilisitik di atas, Coates (1986) menjelaskan bahwa variasi sosial berstruktur yang dijumpai dalam masyarakat bahasa yang berhubungan dengan perlakuan berdasarkan gender dapat diinterprestasikan lebih dari satu cara. Pertama, mengacu pada faktor kodrat (nature) dan lingkungan yang membentuk munculnya isu gender maka muncul dua pendekatan pada perbedaan jenis kelamin dalam bahasa yang mencerminkan dua pandangan status

6 16 perempuan sebagai sebuah kelompok, yaitu (1) pendekatan perbedaan dan (2) pendekatan dominasi. Pendekatan perbedaan menekankan pada pemikiran bahwa wanita dan pria berasal dari unit budaya yang terpisah yang sering disebut bahasa perempuan (BP) dan bahasa laki-laki (BL). Menurut pendekatan dominasi, di mana wanita sebagai kelompok tertindas tercermin dalam perbedaan kebahasaan dalam bahasa wanita dan pria sebagai cerminan dominasi pria dan ketertindasan wanita. Kedua pendekatan ini memaparkan pandangan yang bernilai tentang kealamiahan perbedaan jenis kelamin dalam bahasa. (7) O Barr dan Atkins (1980) Dalam penelitian di Karolina Utara O Barr dan Atkins (1980) menjelaskan bahwa (1) fitur BP bukan karakteristik ujaran semua perempuan, (2) fitur bahasa perempuan tidak terbatas pada ujaran pembicara perempuan, (3) skor pembicaraan menunjukkan bahwa laki-laki memiliki skor lebih rendah daripada perempuan. Dalam dominant theory dinyatakan bahwa perbedaan gender dalam gaya bahasa mencerminkan BP sebagai bahasa kurang kuat (kuasaless language) dibandingkan dengan perbedaan kuasa fisik dan kekuasaan. Mereka menjelaskan bahwa perspektif gender menempatkan gaya bahasa laki-laki bersifat normative, sedangkan gaya bahasa perempuan bersifat inferior.

7 17 (8) Tannen (1994) Tannen (1994:19--46) menjelaskan bahwa penutur dan pendengar memiliki beberapa strategi liguistik. Strategi linguistik tersebut diterapkan untuk menyatakan suatu maksud yang ada dalam dua kontinum, yaitu kuasa dan solidaritas antara penutur laki-laki dan perempuan. Tannen (1994: 10) mengelompokkan beberapa prinsip dasar yang terdapat dalam sosiolinguistik interaksional, yaitu (1) peranan diciptakan dalam pergaulan atau interaksi, (2) konteks terdapat dalam pembicaraan atau aksi tuturan nyata, (3) interaksi tidak bisa berlangsung oleh satu pihak, tetapi melalui interaksi dari individu-individu dalam mengasilkan makna, (4) unsur-unsur linguistik (interupsi, volume pembicaraan, ketidaklangsungan) tidak dapat diluruskan. Dari semua pandangan tentang makna majas, yakni literal dan nonliteral atau denotatif dan konotatif yang dipaparkan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa pembahasan makna majas merujuk pada hubungan antara pembentuk makna literal dan non-literal melalui hubungan penanda, petanda, dan acuan. Selanjutnya, pemaparan tentang perbedaan gender dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk bahasa yang berdasarkan gender sangat erat berkaitan dengan faktor biologis dan faktor bentukan serta konstruksi budaya penutur bahasa.

8 Konsep Untuk menghindari kesalahpahaman di pihak pembaca, maka pada bagian ini perlu dibahas beberapa konsep yang merupakan kata-kata kunci, yaitu (1) ungkapan dan (2) wacana. Konsep-konsep tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut Ungkapan Secara umum, ungkapan bahasa atau gaya bahasa dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang digunakan untuk memberikan penekanan dalam menyampaikan pikiran dan perasaan melalui perbedaan bentuk dan struktur dari frasa, klausa, kalimat, bahkan nada yang tersirat dalam wacana dan menunjukkan lebih dari makna harfiah (Keraf, 2009: ). Berkaitan dengan makna yang ditunjukkan, makna bentuk ungkapan yang tersusun dari gabungan dua kata atau lebih tidak dapat diturunkan dari makna kata-kata yang membentuknya, seperti buah bibir. Dalam penggunaan bentuk figuratif tersebut, Leech dan Short (1981) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, dan untuk tujuan tertentu. Bentuk figuratif BB disebut dengan peribasa, yaitu variasi bentuk kata UBB yang digunakan untuk membumbui suatu pembicaraan agar lebih menarik untuk disimak (Ginarsa, 1985). Peribahasa BB dapat dibedakan menjadi wewangsalan tamsil, peparikan pantun, sesonggan pepatah, sesenggakan ibarat sesawangan

9 19 atau bebladbadan metafor, seloka (bidal), dan lain-lain (Simpen, 1980), seperti dijelaskan di bawah ini. (1) Sesonggan Pepatah Sesonggan adalah ungkapan untuk melambangkan sikap atau perilaku manusia dengan barang atau binatang. Misalnya, Abias pasih tak terhitung jumlahnya, Lelipi ngalih gegitik mencari masalah (2) Sesenggakan Ibarat Sesenggakan digunakan sebagai perumpamaan atau sindiran tentang perilaku manusia dengan keadaan atau perilaku binatang atau benda. Contoh Buka benange, kadung suba maceluban, yang artinya melakukan sesuatu harus sampai selesai, baik senang maupun tidak. (3) Wewangsalan Tamsil Wewangsalan digunakan untuk menyindir perilaku atau keadaan seseorang yang sesungguhnya. Ungkapan ini terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama memiliki arti tersembunyi yang sengaja dibuat oleh pengarangnya, sedangkan kalimat kedua sebagai penjelas dari makna sesungguhnya. Misalnya, Asep menyan majegau, nakep lengar aji kau Menutup-nutupi kesalahan.

10 20 (4) Peparikan Pantun Peparikan terdiri dari empat baris kalimat yang merupakan karangan dalam bentuk pantun. Peparikan digunakan untuk melukiskan keadaan atau perilaku manusia yang merupakan sindiran dari keadaan nyata. Paparikan disusun dengan pola urutan huruf a-b, a-b, Sebagai contoh, Meli jukut aji lima, meli tabia ane lalah, beli takut melali kema, nyai suba ade ne ngelah (5) Sloka Bidal Sloka sama dengan bidal dalam bahasa Indonesia. Sloka sama dengan sesonggan yang maknannya masih tersembunyi yang biasanya diawali dengan Buka slokane, Sebagai contoh, Buka slokane apa ane pamula, keto ane kapupu Apa yang ditanam, itulah yang akan dipetik 6) Sesawangan Perumpamaan Sesawangan berasal dari kata sawangan yang artinya mirip yang digunakan untuk melukiskan apa saja yang terlihat, kemudian dirasakan dalam pikiran, dan dibandingkan dengan perilaku manusia. Sesawangan sering diawali oleh kata buka, ibarat, amunan seperti, kadi seperti, tan pendah kadi tiada beda seperti, waluya kadi bagaikan seperti, luir seperti, alah sama untuk mengumpamakan keadaan sekeliling lingkungan dengan keadaan manusia. Sebagai contoh, Buka bulane kalemahan; kembang lemlem Seperti bulan kesiangan, pucat pasi.

11 21 (7) Papindan Perumpamaan Sama halnya dengan sesawangan, papindan digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan perilaku manusia. Papindan tidak menggunakan kata pembanding, buka, sekadi seperti, tetapi memakai anu suara seperti Alise madon intaran Alisnya seperti daun intaran (8) Cecangkitan Olok-olokan Cecangkitan merupakan UBB yang sering digunakan untuk bersendagurau bahkan untuk mengolok-olok. Ungkapan ini terdiri atas kalimat yang mengingkari maknanya. Misalnya, Padange sing dadi arit rumputnya tidak jadi sabit (9) Raos Ngempelin Lawakan Raos ngempelin adalah kalimat yang berhimpitan artinya satu kalimat bermakna ganda. Yang pertama menunjukkan arti sesungguhnya, kalimat yang kedua bermakna berbeda, misalnya, nyelengin memiliki makna menabung uang dalam celengan dan menolong orang yang kepalanya miring. (10) Sasimbingan Sindiran Sasimbingan adalah salah satu jenis UBB yang digunakan untuk menyindir mitra tutur sehingga mereka menjadi sedih atau marah. Ungkapan sindiran ini sering menggunakan perumpamaan yang maknanya tersembunyi dengan penggunaan perumpamaan manusia, binatang, atau benda yang makna katanya sering terbalik. Contoh, Semune nyucuk langit sombong.

12 22 Bentuk-bentuk ungkapan yang ditemukan dalam GSI adalah sesenggakan, papindan, sesawangan, dan sesimbingan. Bentuk-bentuk ini lebih lanjut dijabarkan dan dijelaskan di bab IV Wacana Ada sekian banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang wacana, tetapi semuanya mengandung makna yang sama tergantung dari sudut mana mereka mengkajinya. Dari sudut pengertian linguistik, wacana adalah kesatuan makna semantis antarbagian di dalam suatu bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Selain dibangun atas hubungan makna antarsatuan bahasa, wacana juga terikat dengan konteks. Konteks inilah yang dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi. Menurut Hawthorn (1992), wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Di pihak lain Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya. Ini berarti bahwa semua jenis komunikasi bersumber pada nilai-nilai yang tertanam pada masyarakat yang disampaikan melalui saluran bahasa, baik lisan maupun tulisan.

13 23 Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, definisi yang paling mendekati dalam menjelaskan wacana, adalah pendapat yang dikemukaan oleh Badudu (2000) yang memaparkan wacana sebagai rentetan kalimat yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi yang lainnya dalam membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap, tertinggi, atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi. Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang dituturkan dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sebaliknya, wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan. Berkaitan dengan sumber data yang diteliti, GSI berdasarkan cara pemaparannya merupakan jenis wacana naratif yang menuturkan suatu kisah atau cerita. 2.3 Kerangka Teori Teori-teori relevan yang bisa dijadikan pijakan untuk menjabarkan bentuk, fungsi, makna ungkapan dan bias gender dalam penulisan ini adalah teori fungsional, teori fungsi bahasa, teori semantik, dan teori gender. Semua teori yang diterapkan untuk mengkaji bentuk, fungsi, makna dan ungkapan bernuansa bias gender BB dalam GSI saling berkaitan satu sama lainnya.

14 24 Ungkapan bahasa dalam karya sastra ini tidak terlepas dari keinginan pengarang untuk menceritakan pengalaman dirinya kepada pembaca melalui makna bahasa yang ditampilkan oleh bentuk-bentuk bahasa tersebut. Makna-makna yang digunakan untuk merepresentasikan maksud yang tersirat dalam ungkapan BB adalah makna metaforis atau makna konotatif yaitu hubungan antara bentuk dan makna harfiah atau makna figuratif. Berkaitan dengan fungsi ungkapan, pemaknaan sebuah bentukbentuk bahasa mencerminkan tujuan pengarang dalam menyampaikan pesan yang bertujuan mengungkapkan kesadaran diri (ideasional), menjalin hubungan (interpersonal) melalui konteks keadaan dan konteks keindahan pesan atau fungsi tekstual (Halliday, 1978). Selanjutnya, bahasa sebagai sarana untuk menjalin hubungan antara penutur laki-laki dan perempuan memiliki gaya bahasa berbeda sesuai dengan keadaan biologisnya (teori nature) dan porses belajar atau bentukan (teori nurture) dalam usaha memperoleh pengakuan sosial melalui strategi linguistik (Tannen, 1994). Strategi linguistik mengacu pada cara penutur, baik laki-laki maupun perempuan, menunjukkan kuasa dalam mendominasi percakapan dan solidaritas dalam menjaga hubungan. Semua strategi linguistik ini terdapat dalam kehidupan nyata pengarang yang diadopsi melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Adapun strategi linguistik tersebut adalah ketidaklangsungan, interupsi, diam vs banyak bicara, pengajuan topik, dan kekerasan verbal. Penentuan analisis bentuk, fungsi, dan makna UBB bias gender yang terdapat dalam GSI dikaitkan dengan situasi tuturannya, seperti di mana, kapan, dan

15 25 bagaimana peristiwa tutur itu berlangsung dan budaya Bali yang melatarinya. Dari penjabaran singkat tentang teori yang diterapkan dalam mengkaji bentuk ungkapan BB dalam GSI, dapat disimpulkan bahwa keempat teori ini dapat menjabarkan keempat rumusan masalah penelitian ini. Gambaran penalaran tentang penggunaan kajian bentuk, fungsi, makna, dan bias gender dapat dilihat pada diagram berikut. Skema Penerapan Teori Fungsional, Fungsi bahasa, Makna dan Gender Geguritan Sampik-Ingtai UBB BG Bentuk Majas Kajian Fungsi Kajian Makna Kajian Gender Teori fungsional Richards & Rodgers (2001) Teori Fungsi Wacana (Halliday, 1978) Fungsi Ideasional Fungsi Interpersonal Fungsi Tekstual Teori Majas Semiotik (de Saussure (1973) Metafora Tutescu (1979: 98) Ogden & Richards (1923: 11) Teori Gender Nature/Nurture Indeksikalitas (Budiman1981), Strategi Linguistik (Tannen, 1994) Temuan Diagram 1

16 26 Dari penalaran diagram analisis bentuk, fungsi, makna, dan gender dalam UBB dalam GSI dapat dijabarkan sebagai berikut. GSI disusun dengan beberapa ungkapan majas yaitu sesawangan (simile) sesenggakan (metafora), papindan (simile), dan sesimbingan (ironi). Bentuk ungkapan dijabarkan melalui penerapan teori fungsional yakni pembahasan ungkapan tidak memfokuskan pada unsur gramatikal, tetapi lebih menekankan fungsi bahasa sebagai perangkat komunikasi melalui pemahaman makna semantik. Fungsi ungkapan tersusun dari fungsi ideasional meliputi fungsi ekspresif, fungsi interpersonal mengacu pada direktif, dan fungsi tekstual mengacu pada fungsi keindahan pesan. Kajian makna semiotik, metafora, dan segitiga semantik majas metafora menjabarkan makna yang tersirat dalam ungkapan. Selanjutnya masalah yang mengacu pada ungkapan bias gender dalam wacana percakapan dijelaskan dengan teori nurture dan nature serta strategi linguistik. Tiap-tiap teori dapat dijabarkan sebagai berikut Teori Fungsional Teori fungsional adalah suatu pandangan bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan makna fungsional. Teori ini lebih banyak menekankan dimensi semantik atau makna tuturan dan fungsi komunikatif bahasa daripada karakteristik unsur-unsur gramatikal bahasanya (Richards & Rodgers, 1923: 11). Ini berarti bahwa tujuan akhir dari pengasilan tuturan mengacu pada makna apa yang ingin

17 27 disampaikan, bukan seberapa rumit susunan sintaksis, gramatikal, atau kaidah fonologisnya. Munculnya teori fungsional dipicu oleh adanya perdebatan antara kelompok penganut paham tradisional dan Transformational Generative Grammar (GTT). Penganut paham fungsional tidak sependapat dengan pandangan kaum strukturalis yang menyatakan bahwa semua pengetahuan linguistik termasuk fonologi dan semantik dikategorikan dalam kerangka struktural (Mey, 1994:21). Teori fungsional diterapkan dalam penelitian ini karena esensi bahasa merupakan alat untuk menyampaikan makna dan memahami maksud pertuturan, baik secara lisan maupun tulisan yang kontekstual. Proses komunikasi akan berlangsung jika antarpenutur saling memahami makna tuturan berdasarkan konteks yang ada, yaitu melibatkan tempat, waktu, dan kepada siapa tuturan ditujukan. Selain itu, teori fungsional lebih banyak berkaitan dengan faktor-faktor sosial dan budaya daripada proses psikologis yang rumit dalam bahasa. Dengan demikian, penggunaan bahasa memiliki ketergantungan terhadap masyarakat penutur bahasa dan sama sekali tidak tergantung pada sistem yang melekat di dalamnya. Salah satu pandangan kaum strukturalis yang sulit diubah, yaitu bahwa gagasan kebahasaan selalu dikaitkan dengan logika atau kognisi penuturnya. Dengan kata lain, penggunaan bahasa harus menyentuh hukum-hukum logika. Penganut paham fungsional menentang pendapat semacam itu karena mereka berkeyakinan bahwa pemaknaan yang dihubungkan dengan hukum logika terkadang tidak

18 28 berterima. Misalnya, pernyataan Pacaran dan lulus sarjana. Menurut hukum logika, pernyataan di atas bernilai sama. Demikian juga dengan kalimat berikut, Lulus sarjana dan pacaran lebih baik dari pada Pacaran dan lulus sarjana Secara logika, kedua kalimat di atas dapat dibenarkan tetapi maknanya berbeda. Kalimat Lulus sarjana kemudian pacaran lebih menekankan pada peristiwa pacaran setelah lulus sarjana yang artinya tidak akan pacaran kalau tidak lulus sarjana. Sebaliknya, kalimat Pacaran sebelum lulus sarjana lebih menekankan peristiwa Sebelum lulus sarjana pacaran dulu atau pacaran lebih diutamakan dari pada lulus sarjana. Makna kalimat tersebut akan berkonotasi edukatif jika dinyatakan Lulus sarjana kemudian pacaran lebih baik daripada pacaran dulu dan lulus sarjana. Penerapan teori fungsional dalam penelitian ini dipercaya dapat menjabarkan makna fungsional ungkapan BB dalam GSI yang bernuansa gender, yaitu dengan lebih banyak menekankan aspek komunikatif dan dimensi semantik gaya bahasa dari pada elemen-elemen pembentuk kebahasaannya Teori Fungsi Bahasa Sebuah pendekatan fungsional bahasa berarti mengetahui bagaimana bahasa digunakan. Ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa dapat menunjukkan fungsi bahasa tersebut. Misalnya, bentuk imperatif berfungsi untuk memengaruhi orang lain untuk

19 29 melakukan sesuatu. Fungsi bahasa dasar ini disebut dengan fungsi regulatori dan fungsi interaksional. Artinya, kedua fungsi ini merupakan alat untuk mengontrol perilaku orang lain (Halliday, 1978: 12). Penjabaran fungsi bahasa dalam kajian ini berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai sarana mengungkapkan perasaan atau pengalaman diri, berinteraksi dengan orang lain yang berhubungan dengan konteks sosial dalam masyarakat bahasa. Halliday dan Hasan memaparkan fungsi bahasa yang dimulai dengan pendapat Malinowski (1923), Buhler (1934) sampai dengan pendapat Morris (1967) dan menyempurnakan pendapat-pendapat pendahulunya dengan pembagian fungsi bahasa yang lebih terperinci. Paparan Halliday dan Hasan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut. Pragmatic Magical Malinowski (1923) Narrative Representational (3 rd person) Conative (2 nd person) expressive (1 st peron) Active Bühler (1934) Transanctional Expressive Poetic Britton (1970) Informative Information Talking Grooming Talking conative Mood Talking Exploratory Talking Morris (1967) Informative uses interactive uses Imaginative uses Control other Model Halliday dan Hasan (1985) mutual support Express self ritual Poetic

20 30 Dari tabel di atas, diketahui Halliday (1978: 12) menjelaskan bahwa fungsi bahasa mencakup tiga aspek, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengacu pada kemampuan seseorang menggunakan bahasa untuk semua tujuan khusus dan semua jenis konteks yang ada atau dibangun dalam menyampaikan pengalaman. Fungsi ideasional merupakan fungsi makro yang memiliki unsur makna utama pada sistem bahasa dalam semua penggunaan bahasa. Pemahaman dan ungkapan bahasa berasal dari proses yang berbeda dari dunia luar termasuk material, sedangkan proses mental yang bersifat abstrak merupakan unsur ideasional dari tata bahasa. Struktur yang mengungkapkan makna-makna ideasional jelas berasal dari makna asalnya, yaitu unsur-unsur yang tidak berbeda dari tujuan dan hasrat yang ditampilkan dari pemahaman pengalaman. Fungsi interpersonal merupakan fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk semua bentuk khusus tentang ungkapan pribadi dan interaksi sosial. Untuk menghubungkan antara seorang penutur dengan penutur lain, kita melibatkan hubungan interpersonal dalam memilih strategi semantik, umpamanya untuk merujuk, membujuk, memikat, meminta, memerintah, menyarankan, menegaskan, memaksa, meragukan, dan sebagainya. Sebagai prasyarat dari kedua fungsi di atas adalah fungsi tekstual, di mana bahasa menjadi teks yang berkaitan dengan bahasa itu sendiri dari konteks

21 31 penggunaannya. Tanpa makna dari unsur-unsur tekstual, kita tidak akan bisa menggunakan bahasa sama sekali. Dari penjelasan ketiga teori fungsi bahasa dari Halliday (1978) di atas, diketahui bahwa pengarang GSI telah mengadopsi teori tersebut melalui susunan baitbait yang tentunya dapat menjembatani imaji pembaca Teori Majas Makna kata dapat dibahas melalui teori fitur dan teori berdasarkan pengetahuan. Kedua teori ini menjabarkan bagaimana kata (penanda) disimpan karena berbagai faktor, yaitu berdasarkan keseringan, ketergambarannya, kemiripan fonetiknya, kedekatan semantiknya, dan kategori sintaktiknya. Fitur semantik memegang peranan penting karena kedekatan antara satu entitas dengan entitas lainnya disebabkan oleh jumlah fitur yang sama atau mirip. Cakupan teori yang digunakan untuk membahas makna ungkapan bahasa Bali dalam GSI yang bernuansa bias gender adalah semiotik, metafora, dan semantik Semiotik Semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan, baik maksud, perasaan, maupun informasi.

22 32 Ranah semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indra yang kita miliki ketika tandatanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (Morris, 1979). Konsep semiotik diperkenalkan oleh De Saussure (1973: ) melalui dikotomi sistem tanda signified petanda dan signifier penanda yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara yang ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa sehingga tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri sehingga merupakan suatu ranah linguistik. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dapat digambarkan sebagai berikut.

23 33 Signified Signified signified Signifier Signifier Signifier De Saussure (1973: ), menjabarkan bahwa penanda dan petanda dalam diagram bentuk oval di atas memiliki wilayah makna sendiri. Walaupun demikian, tiap-tiap kata juga terikat dengan kata-kata lainnya dalam bahasa yang sama. Wilayah makna sebuah kata tidak hanya berasal dari apa yang dimaknai, tetapi juga dari hubungan dengan kata lain dalam konteks tertentu. Berkaitan dengan penelitian ini, teori semiotik diterapkan karena pada dasarnya setiap kata merupakan rangkaian dari tanda, penanda, dan petanda yang merupakan kesepakatan penutur Metafora Metafora merupakan dasar mutlak dari pikiran manusia yang terungkap dalam berbahasa. Lakof dan Johnson (1980:3) menyatakan bahwa metafora meresap di dalam kehidupan sehari-hari manusia, tidak hanya di dalam bahasa, tetapi juga dalam pikiran dan tingkah laku; pikiran manusia tidak hanya berisi unsur inteligensi, tetapi juga berfungsi mengatur hidup manusia sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.

24 34 Penelitian yang berlandaskan kognisi mengatakan bahwa manusia menggunakan pikiran untuk mengatur pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman hidup, antara lain melalui proses metaforis. Salah satu prinsip dasar metafora adalah adanya kesepakatan dalam asosiasi metaforis antara dua konsep, misalnya dalam masyarakat penutur bahasa yang dikenal dengan istilah experential motivation. Artinya, tidak ada metafora yang dapat dipahami atau ditampilkan secara jelas tanpa dasar pengalaman. Dalam Linguistik Kognitif (LK) metafora merupakan persoalan konsep yang terdapat di dalam pikiran (Steen 2002: 24)). Teori kognitif (TK) menjelaskan metafora dalam kerangka pengalaman hidup (Lakoff dan Johnson, 1980). Pengalaman ini bukan pengalaman individu, melainkan pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman sosial budaya dan historis dari suatu komunitas. Sebagai contoh, dalam ungkapan bahasa Bali; Bunga angsana, wawu mekar, kembangnyane nedeng miyik Bunga angsana yang sedang mekar, harum semerbak. Orang Bali mengasosiasikan bunga (petanda awal atau makna pusat) dengan seorang gadis (petanda akhir atau makna samping) yang disepakati oleh masyarakat setempat melalui pengamatan dari pengalaman mereka. Jadi, dalam metafora tidak terjadi substitusi makna, tetapi interaksi makna (I.A. Richards dalam Todorov, 1970: 29) seperti yang digambarkan berikut ini.

25 35 Signifié de départ Signifié d arrivée (Petanda awal) [bunga] gadis itu (Petanda akhir) Intermédiaire Lingkaran yang berada di sebelah kiri merupakan wilayah makna bunga menunjukkan petanda awal (signifié de départ), sedangkan lingkaran yang berada di sebelah kanan merupakan interaksi makna dalam metafora menunjukkan wilayah makna gadis itu sebagai petanda akhir (signifié d arrivée). Ini dapat terjadi berkat adanya perantara (Intermédiaire) yang merupakan komponen makna penyama Teori Ogden & Richards (Semantik Segitiga Makna ) Untuk menjelaskan hal ini, perlu diingat kembali segitiga semantik yang dikemukakan oleh Ogden & Richards (1923: 11) dengan menambah unsur acuan pada teori penanda dan petanda yang telah dikemukakan oleh De Saussure (1973: ). Penanda adalah imaji akustik atau bentuk bahasa, sedangkan petanda adalah konsepnya. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, yaitu berdasarkan konvensi masyarakat pendukung bahasa. Acuan sebenarnya berada di luar ranah bahasa, yakni berasal dari dunia pengalaman. Ogden & Richard (1923: 11) menekankan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penanda dan acuannya atau antara bahasa dan dunia luar. Hubungan itu harus melalui konsep yang berada dalam

26 36 pikiran manusia. Hubungan antara penanda, petanda, dan acuannya digambarkan sebagai berikut. Konsep Lambang reference,.,., Dalam diagram segitiga semantik majas metafora di atas, terdapat hubungan tidak langsung antara penanda dan acuannya yang digambarkan dengan garis terputus-putus. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman tentang suatu lambing, maka konsep ini kekecilan untuk menampung sekian banyak acuan. Sebenarnya, dari beberapa tulisan tentang teori linguistik mengenai majas, selalu berkisar antara penanda dan petanda dengan tidak memasukkan unsur acuan. Meskipun demikian, beberapa pakar, antara lain Georges Lakoff dan Mark Johnson (1980: ) menyinggung unsur acuan ini telah dimasukkan ke segitiga semantik majas metafora seperti yang digambarkan berikut. Konsep1 Konsep 2 [Simbol] Acuan 1 Acuan 2 Gambar di atas merupakan gabungan dari penanda 1 dan penanda 2. Makna kata pertama ditampilkan dengan segitiga bergaris terputus-putus tidak hilang, tetapi

27 37 berada di latar belakang makna metaforis. Yang dibandingkan adalah bergaris titiktitik (implisit). Ini berarti bahwa konsep penanda 1 berinteraksi dengan konsep petanda 2. Itulah sebabnya dikatakan bahwa dalam metafora terjadi penyimpangan makna. Dengan demikian, bentuk-bentuk bahasa yang tersusun melalui proses kebahasan menampilkan makna harfiah, sedangkan makna ungkapan menyiratkan makna figuratif atau makna kiasan yang bersumber dari makna harfiah. Hal itu terjadi karena metafor merupakan majas yang maknanya melalui proses denominasi, yaitu perluasan makna dari makna harfiah dengan tujuan persamaan makna (Beardsley, 1958). Ungkapan dalam kajian ini hanya memfokuskan pada makna denotatif, konotatif atau metaforis, makna agama, dan makna budaya. Makna budaya adalah makna yang ditangkap oleh pembaca atau pendengar yang memahami tata bahasa Bali dan konteks sosial budaya Bali. Makna budaya terbentuk karena adanya kesepahaman konteks sosial budaya antara pencipta dan pendengar. Makna konotatif atau makna kiasan adalah makna yang muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan, dilihat, atau apa yang didengar. Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna denotatif yang mendapat tambahan komponen lain, seperti unsur-unsur psikis, kondisi sosial, politis, budaya, dan spiritual. Makna-makna konotatif sifatnya lebih profesional dan operasional daripada makna denotatif. Sebagai contoh, Hatinya berbunga-bunga bermakna seseorang yang sedang berbahagia.

28 38 Makna spiritual adalah makna yang ditangkap oleh pembaca dan pendengar GSI karena pengaruh pemahaman pemirsa terhadap nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat Bali, yaitu agama Hindu. Seseorang akan menjadi sulit memahami isi atau makna nilai-nilai jika tidak memahami makna spiritual, seperti Sang Hyang Surya, Semara-Ratih, Kala Rawu, dan lain-lain. Penerapan teori majas dalam menganalisis makna ungkapan bertujuan untuk mengetahui makna-makna kias (konotatif) pada majas dari makna aslinya. Pemaknaan sebuah ungkapan tentu tidak terlepas dari budaya dan agama yang melatarinya Teori Gender Beberapa teori yang diterapkan untuk menjabarkan bias gender dari ranah bahasa dan budaya tentu memiliki pandangan berbeda tentang gender sesuai dengan paradigma yang melatar belakanginya. Berkaitan dengan analisis bahasa dan gender dari Brown (1978), O Barr dan Atkins (1980), dan Coates (1986), teori-teori yang digunakan sebagai dasar untuk menjabarkan fenomena bias gender adalah teori nature (kealamiahan), teori nurture (proses bentukan atau bimbingan), teori fungsional dan indeksikalitas (Arief Budiman, 1981) yang dijabarkan di bawah ini. a. Teori nature menjabarkan bahwa perbedaan psikologis antara penutur laki-laki dan perempuan disebabkan oleh fakor biologis yang melekat sejak lahir. Ini dapat diartikan apa pun yang dihasilkan atau dikonstruksikan pada mereka

29 39 mengacu pada kelemahan, termasuk bentuk-bentuk bahasanya (O Barr dan Atkins, 1980) b. Teori nurture dapat menjelaskan perbedaan psikologis penutur laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi faktor bentukan atau proses belajar. Ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk bahasa dilekatkan pada penutur yang berbeda bukan karena proses kealamiahan (Brown, 1978) c Indeksikalitas menjabarkan penggunaan tanda yang memiliki hubungan mutlak dengan acuannya (referent) (Duranti, 1997). Berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin penutur, pengindeksan bentuk-bentuk lingual sesuai dengan sistem budaya tertentu. Misalnya, sistem budaya patrilineal, di mana laki-laki sebagai pengontrol tindakan (aktor) dalam subjek beberapa verba aktif, sedangkan perempuan sebagai penerima tindakan dalam verba kalimat pasif. Berhubungan dengan gender dan wacana, Tannen (1994: ) menjabarkan bahwa memahami maksud suatu ujaran atau ungkapan bahasa tidak bisa ditentukan dari bentuk linguistik saja, tetapi ada faktor lain yang mengikuti bentuk itu misalnya konteks situasi dan konteks budaya dari pendengar dalam berinteraksi. Tannnen, (1994:19--46) menjelaskan bahwa penutur dan pendengar memiliki beberapa strategi liguistik. Strategi linguistik tersebut diterapkan untuk menyatakan suatu maksud yang ada dalam dua kontinum, yaitu kuasa dan solidaritas antara penutur laki-laki dan perempuan.

30 40 Berkaitan dengan gender dan wacana GSI, teori relativitas strategi linguistik dianggap bisa menjelaskan fenomena bias gender BB dalam wacana percakapan dalam teks tulis. Untuk menguraikan pola-pola gender yang terdapat dalam UBB tersebut diterapkan teori relativitas strategi linguistik yang dicetuskan oleh Tannen (1994: ) dalam Gender and Discourse. kuasa dan solidaritas menunjukkan pola-pola bahasa yang melibatkan perbedaan gender diuraikan melalui penerapan teori relativitas strategi linguistik dalam aspek-aspek ketidaklangsungan (indirekness), selaan (interruption), diam (silence), pengajuan topik (topic rasing), dan kekerasan verbal (verbal aggression). Pola-pola bentuk bahasa yang memiliki nuansa bias gender dalam BB tersusun karena konteks budaya dan gaya percakapan. Berikut ini adalah model yang menunjukkan posisi strategi linguistik antara penutur laki-laki dan perempuan dalam komunikasi. Model Unidimensional (Tannen, 1994: 27) kuasa Ketidakselarasan Hirarki Jarak Ketidaklangsungan selaan diam VS banyak bicara pengajuan topik kekerasan verbal Solidaritas Keselarasan Kesamaan Kedekatan

31 41 Seseorang dapat dikatakan memiliki kuasa atas mitra tutur apabila dapat mengatur perilaku yang melibatkan paling tidak dua orang dan tidak berlaku timbal balik, artinya penutur tidak dapat mengatur orang lain bersamaan. Satu penutur menunjukkan kuasa, sedangkan mitra tutur lainnya menunjukkan solidaritas, seperti yang digambarkan dalam model bahwa kuasa dan solidaritas berada berseberangan dengan unsur masing-masing. Analisis gender dalam wacana percakapan yang terdapat dalam GSI mengacu pada strategi linguistik untuk menunjukkan kuasa dan solidaritas serta bentuk- bentuk linguistik yang menunjukkan ketidaksetaraan dalam penggunaan bahasa oleh penutur laki-laki dan perempuan melalui indeksikalitas.

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi pilihan setiap penutur suatu bahasa untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa sistem

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa sistem lambang bunyi yang bermakna dan dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2004:1), sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial perlu untuk berinteraksi untuk bisa hidup berdampingan dan saling membantu. Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk berinteraksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia merupakan salah satu aset kebudayaan bagi bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia merupakan salah satu aset kebudayaan bagi bangsa 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan salah satu aset kebudayaan bagi bangsa Indonesia. Salah satu ragam bahasa di Indonesia adalah peribahasa. Berbicara mengenai peribahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang ampuh untuk mengadakan hubungan komunikasi dan melakukan kerja sama. Dalam kehidupan masyarakat, bahasa menjadi kebutuhan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang berbentuk lisan dan tulisan yang dipergunakan oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh masyarakat umum dengan tujuan berkomunikasi. Dalam ilmu bahasa dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa menjadi bagian penting bagi manusia secara mayoritas dan menjadi milik masyarakat pemakainya. Salah satu aplikasi bahasa sebagai alat komunikasi adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia memerlukan sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam kehidupan pasti tidak akan terlepas untuk melakukan komunikasi dengan individu lainnya. Dalam berkomunikasi diperlukan adanya sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk,

BAB I PENDAHULUAN. Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari bagaimana satuan bahasa terbentuk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mempelajari bahasa Inggris terutama yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam setiap unsur suatu bahasa, semantik merupakan ilmu yang menjadi pengukur

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menjelaskan gagasan, pemikiran atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh para peneliti terdahulu yang berhubungan

Lebih terperinci

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda.

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda. semiotika Modul ke: Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda. Fakultas 12Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting

Lebih terperinci

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Analisis Wacana Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang mengkaji satuan bahasa di atas tataran kalimat dengan memperhatikan konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam kelangsungan hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain untuk hidup bersama. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pembicaraan orang dan umumnya mengenai objek-objek dan kejadiankejadian.

BAB I PENDAHULUAN. dari pembicaraan orang dan umumnya mengenai objek-objek dan kejadiankejadian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Bloom dan Lahey struktur bahasa adalah suatu sistem dimana unsur-unsur bahasa diatur dan dihubungkan satu dengan yang lain. Dalam menghubungkan unsur-unsur

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah

METODOLOGI PENELITIAN. kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitin deskriptif adalah penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana ialah satuan bahasa yang terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 2006: 49). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sepanjang hidupnya, manusia tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi tersebut, manusia memerlukan sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide,

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide, maupun isi pikiran kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak terlepas dengan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak terlepas dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak terlepas dengan manusia yang lain. Ia selalu berhubungan dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Hubungan ini dapat

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara masalah wacana, peneliti menjadi tertarik untuk melakukan penelitian yang bertemakan analisis wacana. Menurut Deese dalam Sumarlam (2003: 6) mengatakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun tulisan. Bahasa juga memegang peranan penting dalam kehidupan sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun tulisan. Bahasa juga memegang peranan penting dalam kehidupan sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki kedudukan sebagai penunjang aktualisasi pesan, ide, gagasan, nilai, dan tingkah laku manusia, baik dituangkan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, kajian bahasa merupakan suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibicarakan karena dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dengan menggunakan perantara. Komunikasi bahasa tulis

BAB I PENDAHULUAN. informasi dengan menggunakan perantara. Komunikasi bahasa tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat merupakan pemakai bahasa dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sebagai bentuk komunikasi, mereka menggunakan media yang berbeda-beda. Secara garis besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra anak masih terpinggirkan dalam khazanah kesusastraan di Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang sastra anak. Hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai salah satu alat primer dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan bantuan orang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Bahasa sangat penting untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian atau metode riset berasal dari Bahasa Inggris. Metode berasal dari kata method, yang berarti ilmu yang menerangkan cara-cara. Kata penelitian merupakan terjemahan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA (2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang kategorisasi dan pemetaan metafora konseptual kata penyakit dalam bahasa Indonesia. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang 59 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk membuat deskripsi tentang suatu fenomena atau deskripsi sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013 BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan diuraikan, latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan tersebut dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide,

Lebih terperinci

BAHASA INDONESIA KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA. Drs. SUMARDI, M. Pd. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS

BAHASA INDONESIA KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA. Drs. SUMARDI, M. Pd. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS BAHASA INDONESIA Modul ke: KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Drs. SUMARDI, M. Pd Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id A. Pengertian Bahasa 1. Bloch & Trager Bahasa adalah

Lebih terperinci

ANALISIS WACANA LIRIK LAGU OPICK ALBUM ISTIGFAR (TINJAUAN INTERTEKSTUAL, ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL)

ANALISIS WACANA LIRIK LAGU OPICK ALBUM ISTIGFAR (TINJAUAN INTERTEKSTUAL, ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL) ANALISIS WACANA LIRIK LAGU OPICK ALBUM ISTIGFAR (TINJAUAN INTERTEKSTUAL, ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan manusia dengan sesama anggota masyarakat lain pemakai bahasa itu. Bahasa berisi gagasan, ide, pikiran, keinginan atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan judul. Hasil suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan judul. Hasil suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul. Hasil suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah dipertanggungjawabkan,

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X SMK SWASTA DHARMA PATRA PANGKALAN SUSU TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017

ANALISIS KESALAHAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X SMK SWASTA DHARMA PATRA PANGKALAN SUSU TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017 ANALISIS KESALAHAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA KELAS X SMK SWASTA DHARMA PATRA PANGKALAN SUSU TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017 Oleh Siti Sumarni (Sitisumarni27@gmail.com) Drs. Sanggup

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut pakar Jalaludin Rahmat penelitian deskriptif adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab 1, peneliti akan memaparkan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi operasional. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa, seperti dikemukakan oleh para ahli, memiliki bermacam fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa, seperti dikemukakan oleh para ahli, memiliki bermacam fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa, seperti dikemukakan oleh para ahli, memiliki bermacam fungsi dalam kehidupan masyarakat. Fungsi-fungsi itu misalnya dari yang paling sederhana

Lebih terperinci

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007 PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan

Lebih terperinci

2015 METAFORA DALAM TUTURAN KOMENTATOR INDONESIA SUPER LEAGUE MUSIM : KAJIAN SEMANTIK KOGNITIF

2015 METAFORA DALAM TUTURAN KOMENTATOR INDONESIA SUPER LEAGUE MUSIM : KAJIAN SEMANTIK KOGNITIF BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepak bola menjadi cabang olahraga yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain pertandingannya yang menarik terdapat pula fenomena bahasa

Lebih terperinci

PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU BAHASA INDONESIA SD. Oleh: BAHAUDDIN AZMY UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA 2012

PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU BAHASA INDONESIA SD. Oleh: BAHAUDDIN AZMY UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA 2012 PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU Oleh: BAHAUDDIN AZMY BAHASA INDONESIA SD UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA 2012 A. TUJUAN Setelah mempelajari modul ini, peserta diharapkan mampu: Menguasai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat komunikasi. Manusia dapat menggunakan media yang lain untuk berkomunikasi. Namun, tampaknya bahasa

Lebih terperinci

12 Universitas Indonesia

12 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai bahasa dan gender banyak dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, penelitian mengenai bahasa dan gender yang dikaitkan dengan persepsi belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada komunikasi tulisan oleh sebab itu, komunikasi lisan dianggap lebih penting dibandingkan komunikasi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kurikulum dalam pendidikan di Indonesia terus berkembang dari waktu ke waktu. Tentunya perkembangan ini terjadi untuk terus meningkatkan mutu pendidikan, bahkan perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungan masyarakat. Ada dua cara untuk dapat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia yang lain. Kebutuhan akan bahasa sudah jauh sebelum manusia mengenal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Dalam kasus ini, peneliti menggunakan sudut pandang konstruktivis yang merupakan landasan berpikir secara kontekstual dengan bertumpu pada tujuan,

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 8 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.1. Tiga Pendekatan Semiotika Berkenaan dengan studi semiotik pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam lingkungan. manusia untuk saling menyampaikan pesan dan maksud yang akan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam lingkungan. manusia untuk saling menyampaikan pesan dan maksud yang akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan sarana komunikasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam lingkungan masyarakat. Adanya suatu bahasa sebagai sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini karena fungsi bahasa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis atau kalimat yang

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis atau kalimat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata merupakan alat penyalur gagasan atau ide yang akan disampaikan kepada orang lain. Kata-kata dijalin-satukan melalui penggabungan dalam suatu konstruksi yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca.

BAB I PENDAHULUAN. alam pikiran sehingga terwujud suatu aktivitas. dalam pikiran pendengar atau pembaca. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi sehari-hari oleh para penuturnya. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses berpikir maupun dalam kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wujudnya berupa aneka simbol, isyarat, kode, dan bunyi (Finoza, 2008:2). Hal

BAB I PENDAHULUAN. yang wujudnya berupa aneka simbol, isyarat, kode, dan bunyi (Finoza, 2008:2). Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya maupun dengan penciptanya. Saat berkomunikasi

Lebih terperinci

ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI

ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI PADA NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI PADA NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA PENANDA KOHESI SUBSTITUSI PADA NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Disusun Oleh :

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Burhan Bungin (2003:63) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan ciri yang paling khas manusia yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan bahasa manusia dapat mengadakan komunikasi, sebab bahasa adalah alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik sistemik fungsional berperan penting memberikan kontribusi dalam fungsi kebahasaan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa mempunyai fungsi dan peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Bahasa juga dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

Scientific News Magazine Edisi April 2017

Scientific News Magazine Edisi April 2017 Metafor (Simile) dalam Bahasa Bali: Ancangan dalam Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia Ni Ketut Ratna Erawati 1, I Ketut Ngurah Sulibra 2 1 ) Prodi Sastra Jawa Kuno Fak. Ilmu Budaya Univ. Udayana 2)

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana naratif bahasa Indonesia. Berdasarkan teori Halliday dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian ini menggunakan pendekatan kritis melalui metode kualitatif yang menggambarkan dan menginterpretasikan tentang suatu situasi, peristiwa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menulis adalah salah satu kemampuan bahasa bukanlah kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Menulis adalah salah satu kemampuan bahasa bukanlah kemampuan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menulis adalah salah satu kemampuan bahasa bukanlah kemampuan yang diwariskan secara turun-temurun. Menyusun suatu gagasan menjadi rangkaian bahasa tulis yang teratur,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis danpendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan fokus penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pergeseran makna pada BT, oleh sebab itu seorang penerjemah harus

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pergeseran makna pada BT, oleh sebab itu seorang penerjemah harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan adalah pengalihan makna dari bahasa sumber (BS) ke bahasa target (BT) dan makna BS harus dapat dipertahankan sehingga tidak terjadi pergeseran makna pada

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI

PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa ini harus dibinakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterbitkan kurang begitu memperhatikan aspek gramatikal bahkan masih

BAB I PENDAHULUAN. diterbitkan kurang begitu memperhatikan aspek gramatikal bahkan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Majalah merupakan salah satu sumber data yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian. Sudah sering sekali majalah dicari para peneliti untuk dikaji segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat

BAB I PENDAHULUAN. beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bentuk karya sastra berupa novel. Novel dibangun melalui beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia nyata

Lebih terperinci

KELOMPOK 1 Teknik Mesin UB DIKSI DAN KATA BAKU. Makalah Bahasa Indonesia

KELOMPOK 1 Teknik Mesin UB DIKSI DAN KATA BAKU. Makalah Bahasa Indonesia KELOMPOK 1 Teknik Mesin UB DIKSI DAN KATA BAKU Makalah Bahasa Indonesia KATA PENGANTAR Syukur alhamdulilah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat yang telah di limpahkannya. Sehingga penyusunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak

BAB II KAJIAN TEORI. Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian mengenai makna simbol dalam sastra lisan telah banyak dilakukan antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Dewi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap komunitas masyarakat selalu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lain. Proses interaksi tersebut terjadi karena adanya komunikasi antar anggota masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu masalah diantaranya: pertama; pandangan dari objek yang utama, kedua;

BAB I PENDAHULUAN. satu masalah diantaranya: pertama; pandangan dari objek yang utama, kedua; BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian metafora merupakan analogi atau perbandingan suatu yang memiliki kemiripan dengan sesuatu yang lainya. Sebagai contoh sifat manusia yang dianalogikan atau diperbandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Pengkajian teori tidak akan terlepas dari kajian pustaka atau studi pustaka karena teori secara nyata dapat dipeoleh melalui studi atau kajian kepustakaan.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada aspek pendidikan (pesan) yang disampaikan pengarang melalui karya-karyanya dengan menggunakan kajian semiotika. Adapun subjek penelitiannya,

Lebih terperinci

2015 UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PENGALAMAN (EXPERIENTIAL LEARNING)

2015 UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PENGALAMAN (EXPERIENTIAL LEARNING) BAB III Metodologi Penelitian A. Metodologi Penelitian Dalam penelitian diperlukan suatu metode dan teknik penelitian yang sesuai dengan masalah yang diteliti sehingga hasil penelitian bisa dipertanggungjawabkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan. wacana. Tindak tutur dapat pula disebut tindak ujar.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan. wacana. Tindak tutur dapat pula disebut tindak ujar. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak tutur terdapat dalam komunikasi bahasa. Tindak tutur merupakan produk dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk 8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Membaca Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui bahasa tulis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Dalam Bab 1 ini, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian. Selanjutnya dalam Bab 1 ini, penulis juga menjelaskan tentang identifikasi masalah, pembatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada dua proses yang terjadi, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.

BAB I PENDAHULUAN. ada dua proses yang terjadi, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Simanjuntak:1987:157).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. raga, mempunyai ruang hidup kementalan, memiliki dimensi hidup kerohanian

BAB I PENDAHULUAN. raga, mempunyai ruang hidup kementalan, memiliki dimensi hidup kerohanian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan dalam arti seluas-luasnya selalu memerlukan saling berhubungan atau saling berinteraksi antara anggota masyarakat yang satu dan anggota masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau persamaan; misal kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia (Harimurti, 2008: 152).

BAB 1 PENDAHULUAN. atau persamaan; misal kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia (Harimurti, 2008: 152). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai sistem komunikasi merupakan alat untuk mengekspresikan pikiran kita, perasaan kita, dan pendapat kita. Tentunya ketika berbicara kepada seseorang tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga 2.1 Kepustakaan yang Relevan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik dalam bidang pendidikan, pemerintahan, maupun dalam berkomunikasi

Lebih terperinci