ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM AIR PENDINGIN PT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM AIR PENDINGIN PT"

Transkripsi

1 ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM AIR PENDINGIN PT. BADAK NGL DI PERAIRAN BONTANG KALIMANTAN TIMUR K A S M A N PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Bogor, Juli 2011 K a s m a n C

3 ABSTRAK Simulasi buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memprediksi pola sebaran suhu telah dilakukan dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3D dengan mengaplikasikan model POM (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu ( t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T 0 = 28 o C dan S 0 = 32. Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan nilai korelasi 0.97 untuk verifikasi elevasi, korelasi 0.90 untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama serta korelasi 0.87 saat bulan perbani. Hasil simulasi menunjukkan perbedaan pola sebaran suhu permukaan paling ekstrim ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum. Perbedaan terutama terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 o C saat surut maksimum dan 35 o C saat pasang maksimum (ΔT=6 o C). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun C yakni sekitar 2.54 o C untuk skenario musim kemarau dan 2.32 o C untuk skenario musim hujan. Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang dipelajari dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, di mana waktu observasi lapangan untuk fitoplankton disesuaikan dengan waktu cuplik model. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan, jumlah spesies dan indeks keanekaragaman fitoplankton. Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 o C, di mana pada suhu ini jumlah spesies, kelimpahan dan indeks keanekaragaman fitoplankton sangat kecil dibandingkan dengan fitoplankton pada suhu alami. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3 o C akibat buangan air pendingin menyebabkan kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 o C di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang. Kata Kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang

4 ABSTRACT Simulation of cooling-water discharges from PT. Badak NGL was conducted to predict the pattern of thermal dispersion by using hydrodynamic model and 3-D thermal transport by applying POM model (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Driving forces used in this model were tides, flows of cooling water discharge and rivers discharge. Choice of time step ( t)=0.5 second, with 118 grids (west-east) and 187 grids (north-south), grid size Δx=Δy=30 m. Initial value : u=v=ζ=0, T 0 =28 o C and S 0 =32. Verification of elevation and temperature between results of models and direct measurement showed a good suitability with correlation value was 0.97 for elevation verification, correlation 0.90 and 0.87 for thermal verification during spring and neap tides, respectively. Results of simulation revealed the most extreme difference in pattern of surface thermal dispersion that found during spring tide for sampling condition of maximum tide and ebb. Distinct difference was especially found at station 8 (mixing point) i.e. 41 o C during maximum ebb and 35 o C during maximum high tide. Whereas, significantly high thermal difference between upper layer and bottom layer was found at station C i.e. around 2.54 o C for dry season scenario and 2.32 o C for wet season scenario. Effects of elevated water temperature from a thermal discharge on phytoplankton and coral reef was studied by using simulation results, where field observation for phytoplankton was adjusted with the time of output model. The results showed the negative correlation between temperature with abundance, the number of species and diversity index of phytoplankton. Impact of increase in temperature on the phytoplankton is mainly found in the waters with temperature > o C, where at this temperature the number of species, abundance and diversity index of phytoplankton is very small compared with phytoplankton at natural temperature. As for coral reefs results simulation sampled at a location where the coral reefs found. The results showed that the increase of temperature up to 35.3 o C due discharge of cooling water caused the death of the coral reefs. While the temperature rise up to 33.3 o C in front of the Sieca Island cause damage to death of coral reefs. Keywords : POM model, cooling-water and rivers discharges, thermal dispersion, phytoplankton, coral reef

5 RINGKASAN KASMAN Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, ZAINAL ARIFIN, ARIO DAMAR, and I WAYAN NURJAYA. Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut (Poornima et al. 2005) sehingga dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O 2 tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003). Model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Maderich et al. 2008) serta dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000). PT. Badak NGL membuang air pendingin ke perairan Bontang dengan debit buangan air pendingin cukup besar yakni train A-F sebesar m 3 /jam, train G sekitar m 3 /jam, train H sebesar m 3 /jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar o C saat pasang dan o C saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40 o C pada saat pasang dan o C pada saat surut (Pertamina 2003). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi dan menggunakan hasil model tersebut untuk menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL. Metode dalam penelitian meliputi : (i) survei lapangan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk penetapan untuk daerah model; (ii) identifikasi kondisi sebaran biota laut yang terdapat dalam daerah model; (iii) simulasi pola sebaran suhu buangan air pendingin dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model), dimana gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu ( t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T 0 = 28 o C dan S 0 = 32. Simulasi model terdiri dari 4 skenario yakni : skenario musim kemarau dan musim hujan masing-masing untuk kondisi pasut purnama dan perbani; (iv) analisis dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang dengan menggunakan hasil simulasi model dispersi thermal; (v) rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir yang meliputi pengelolaan buangan air pendingin serta arahan kebijakan terkait suhu buangan air pendingin. Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan koefisien korelasi (r) 0.97, kesalahan relatif rata-rata (MRE) 1.32% untuk verifikasi elevasi, r 0.90, MRE 5.17 % untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama dan r 0.87, MRE 7.12% saat bulan perbani. Verifikasi suhu dalam arah vertikal juga menunjukkan kesesuaian yang baik yakni layer-1 r 0.83, MRE 1.56%; layer-2 r 0.79, MRE 2.08%; layer-3

6 r 0.73, MRE 2.36%; dan layer-4 r 0.71, MRE 2.94%. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu baik arah horizontal (permukaan) maupun arah vertikal untuk empat kondisi cuplik hasil model (air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum) baik untuk skenario musim hujan maupun musim kemarau. Perbedaan suhu paling dinamis ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 o C saat surut maksimum dan o C saat pasang maksimum (ΔT=6 o C). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun 8 yakni sekitar 2.54 o C untuk skenario musim kemarau dan 2.32 o C untuk skenario musim hujan. Perbedaan suhu antara outfall 1, kolam pendingin (700 m dari outfall 1), Muara Kanal Pendingin (zona terdampak) (2 100 m dari outfall 1) dan perairan depan Pulau Sieca (3 200 m dari outfall 1) bervariasi menurut kondisi cuplik, dengan kisaran suhu berturut-turut sebagai berikut : o C, o C, o C dan o C. Dengan demikian perbedaan suhu antara kolam pendingin dengan Muara Kanal Pendingin berkisar antara o C, perbedaan tertinggi tercatat saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum dan terendah pada saat pasang maksimum. Sementara perbedaan suhu antara Muara Kanal Pendingin dengan Pulau Sieca berkisar antara o C, tertinggi pada saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum. Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dianalisis dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, dimana waktu dan lokasi pengambilan sampel fitoplankton disesuaikan dengan waktu dan titik cuplik hasil model. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk empat kondisi pengambilan sampel, yang berarti bahwa jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut dan musim. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah spesies Stasiun Kontrol dengan Stasiun A, B dan C. Demikian pula analisis kelimpahan fitoplankton menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan fitoplankton di Stasiun Kontrol dengan stasiun lainnya, kecuali pada Stasiun A, B dan C. Hal ini berarti jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton pada A, B dan C dipengaruhi oleh tingginya suhu di stasiun tersebut, dalam hal ini dampak kenaikan suhu terhadap jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 o C. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3 o C akibat buangan air pendingin menyebabkan kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 o C di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang. Kata kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang

7 @Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM AIR PENDINGIN PT. BADAK NGL DI PERAIRAN BONTANG, KALIMANTAN TIMUR K A S M A N Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka : Ir. Nurul Jannah, MM, PhD Dr. Ir. Endhay Kusnendar, MS

10 Judul Disertasi Nama NRP Program Studi : Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur : Kasman : C : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Ketua Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc Anggota Dr. Ir. Ario Damar, MSi Anggota Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 19 Mei 2011 Tanggal Lulus :...

11 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan petunjuk-nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Sejak awal penyusunan disertasi ini penulis telah diperhadapkan pada berbagai permasalahan baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Namun berkat usaha yang tidak pernah mati dan adanya berbagai dukungan dari pembimbing maka draft disertasi ini dapat dirampungkan. Karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku pembimbing utama dalam penelitian ini yang secara bijaksana telah memberi pandangan yang luas dalam penulisan proposal ini. Demikian juga rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc, Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc, selaku pembimbing anggota yang telah banyak memberi masukan dan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi dalam penulisan disertasi ini. Rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terimakasih yang sedalamdalamnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Unggul Aktani, MSc (almarhum) atas jasa-jasanya membimbing penulis selama ini baik yang bersifat akademik maupun spirituil. Semoga amal baik beliau diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang mulia di sisi-nya, amin. Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat diharapkan adanya kritik dan saran membangun dalam rangka perbaikan yang lebih komprehensif. Bogor, Juli 2011 K a s m a n

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sila-sila, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada tanggal 24 Maret Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan keluarga Bapak H. Muhammad Kasim (Alm) dan Ibu Hj. St. Fatimah. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Polewali Tahun 1992 penulis kemudian melanjutkan pendidikan strata-1 pada Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM), Institut Teknologi Bandung, lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Trunaya Bontang sejak tahun 2002, dengan bidang keilmuan berkonsentrasi pada pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga aktif dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dan pengelolaan wilayah pesisir. Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur merupakan karya ilmiah yang sebagian muatannya diselesaikan di Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT), Jepang. Hal ini berkat diberikannya kesempatan bagi penulis untuk mengikuti Program Sandwich dari Direktorat Pendidikan Tinggi Republik Indonesia tahun 2009 di Universitas tersebut.

13 Glossaries : Ambient level BML ANOVA CFL Cooling Water Grid Intake Isotherm Kepmen LH Layer LNG LPG MRE Mixing point ORITIDE Outfall Outlet Permen LH POM SK Gubernur Titik cuplik Train TC Waktu cuplik = suhu alami = Baku Mutu Lingkungan = Analysis of Variance = Courant-Friedrichs-Levy = air buangan dari proses pendingin = Teknik penyusunan cell dalam model = lokasi dimana air laut diambil sebagai air pendingin = garis yang menghubungkan nilai suhu yang sama = Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup = Lapisan berdasarkan kedalaman perairan = Liquefied Natural Gas = Liquefied Petroleum Gas = Mean Relative Error = Daerah dimana terjadi percampuran antara air buangan dengan air laut = Ocean Research Institute TIDE = lokasi dimana buangan air pendingin dilepas ke perairan = titik dimana buangan air pendingin keluar pertama kali dari pipa sistem pendingin = Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup = Princeton Ocean Model = Surat Keputusan Gubernur = titik dimana hasil model diprint hasilnya = kilang dimana terjadi proses pencairan gas = titik cuplik = waktu dimana hasil model diprint hasilnya

14 DAFTAR ISI 1 DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan (Novelty) Penelitian... Halaman xvii xix xxv TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Gambaran Umum Kota Bontang Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi Kondisi Pasang Surut Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang Kondisi abiotik Perairan Bontang. 1.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya Pengaruh Limbah Panas terhadap Biota Laut Terumbu Karang Fitoplankton Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia 1.5 Model Dispersi Thermal Model Hidrodinamika 3-Dimensi Persamaan-persamaan Dasar Implementasi Teknik Mode Pemisah Penyusunan Grid Penentuan Langkah Waktu Syarat Batas (Boundary Condition). METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Daerah Model Pendekatan Penelitian Tahapan Pelaksanaan Studi Tahap Persiapan Tahap Penelitian Lapangan Survei oseanografi dan debit sungai Analisis sumberdaya pesisir 3.5 Desain dan Skenario Model xiii

15 xiv Desain Simulasi Model Hidrodinamika Elevasi Pasang Surut di Batas Terbuka Model Verifikasi Hasil Model Data Simulasi Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan.. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian Kondisi Pasang Surut Hasil Pengukuran Suhu Suhu Permukaan Suhu Arah Vertikal Kondisi Sungai di Wilayah Penelitian Verifikasi Model Verifikasi Elevasi Pasang Surut Verifikasi Suhu Verifikasi Suhu Permukaan Verifikasi Suhu Arah Vertikal Verifikasi Pola Arus Profil Suhu Hasil Model Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Pasut Perbani Struktur Vertikal Suhu Pola Sebaran Suhu Permukaan Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Pasut Purnama Struktur Vertikal Suhu Pola Sebaran Suhu Permukaan Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Pasut Perbani Struktur Vertikal Suhu Pola Sebaran Suhu Permukaan Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Pasut Perbani Struktur Vertikal Suhu Pola Sebaran Suhu Permukaan Kualitas Buangan Air Pendingin Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL Struktur Vertikal Suhu dan Kondisi Fitoplankton di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton Stasiun A Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun B Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun C Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun D

16 xv Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun E Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun F Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun G (Stasiun Kontrol) Musim Kemarau Musim Hujan Stasiun H Musim Kemarau Musim Hujan Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Profil Suhu di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton Analisis Spesies Fitoplankton Profil Spesies berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim Pengaruh Suhu terhadap Jumlah Spesies Fitoplankton Analisis Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan Fitoplankton berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim Pengaruh Suhu terhadap Kelimpahan Fitoplankton 4.8 Analisis Terumbu Karang Kondisi Terumbu Karang yang Tidak Terkena Dampak Pulau Beras Basah Pulau Melahing Kondisi Terumbu Karang yang Terkena Dampak Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara 4.9 Analisis Kondisi Perairan Berdasarkan Kriteria Suhu untuk Fitoplankton Kondisi Menuju Pasang Kondisi Pasang Maksimum Kondisi Menuju Surut Kondisi Surut Maksimum Arahan Pengelolaan Menurunkan Suhu Buangan Air Pendingin Pendalaman Kolam Pendingin Perluasan Kolam Pendingin Pelebaran Kanal Pendingin

17 xvi Regulasi Buangan Air Pendingin Implikasi Buangan Air Pendingin terhadap Tata Ruang Kota Bontang... KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN

18 DAFTAR TABEL Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang... Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang.. Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan.. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton.. Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Bontang, 13 September Oktober Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan kemarau.. Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret dan September Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Maret Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Agustus Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Halaman xvii

19 xviii Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)... Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2). Jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun... Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun... Kondisi suhu hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan... Kondisi suhu hasil simulasi di Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan... Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik pada saat pasut purnama

20 DAFTAR GAMBAR Halaman Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang... Nilai suhu yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya.. Sistem Koordinat Sigma-σ. Langkah waktu dari teknik mode-splitting... Sistem Grid 3-Dimensi untuk mode eksternal dalam model POM Sistem Grid 2-Dimensi untuk mode internal dalam model POM.. Peta administrasi wilayah Kota Bontang Daerah model lokasi penelitian.. Diagram Kerangka Pemikiran Rencana Penelitian. Diagram Alir Program POM.. Stasiun pengukuran suhu permukaan, suhu arah vertikal, elevasi muka laut dan debit sungai. Stasiun pengambilan sampel fitoplankton dan pengamatan terumbu karang.. Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim.. Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan.. Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober 2008 Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan xix

21 xx pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : (a) hasil pengamatan dengan (b) hasil model Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani.. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum

22 xxi xxi Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut... Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut. Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum... Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A pada musim kemarau (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani... Pola arus permukaan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani.. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Pola arus permukaan pada musim hujan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani

23 xxii Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani.. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.. Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G (a) kondisi pasut purnama; (b) kondisi pasut perbani... Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim purnama di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani... Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Profil suhu beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim.. Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim. Profil suhu dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel.. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim.. Profil suhu dan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel.. Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah... Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Melahing... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2.. Struktur vertikal suhu pada musim kemarau saat purnama untuk titik cuplik (a) PA1 (b) PA

24 xxiii xxiii Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2 Histogram penutupan substrat dasar terumbu karang di depan Pulau Sieca... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2... Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2.. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2... Kondisi perairan pada saat air menuju pasang menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Kondisi perairan pada saat air pasang maksimum menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air menuju surut berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air surut maksimum berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat purnama dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 o C (b) suhu 44 o C. Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat perbani dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 o C (b) suhu 44 o C... Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pendalaman kolam pendingin (a) setelah pendalaman menjadi 4 m (b) sebelum pendalaman Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah perluasan kolam pendingin (a) setelah perluasan kolam pendingin (b) sebelum perluasan kolam pendingin. Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pelebaran kanal pendingin (a) setelah pelebaran kanal (b) sebelum pelebaran kanal

25 DAFTAR LAMPIRAN Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Tanjung Limau selama 29 hari (29 piantan). Sebaran suhu permukaan hasil pengukuran saat purnama (3 Oktober 2008) dan saat perbani (10 Oktober 2008) di beberapa stasiun pengamatan. Hasil pengukuran suhu ( o C) dalam arah vertikal di Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) Suhu permukaan hasil simulasi pada titik verifikasi.. Suhu ( o C) hasil simulasi per-layer pada titik verifikasi model.. Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret 2008 dan September Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar PT Badak NGL (Maret 2008)... Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (September 2008)... Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun D untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah Jenis dan Kelimpahan Plankton di Stasiun D saat air pasang dan air surut untuk kondisi purnama pada musim hujan. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk Halaman xxv

26 xxvi kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk kondisi perbani pada musim hujan.. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan. Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton).. Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel. Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton)... Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel... Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei

27 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi tentang buangan air pendingin dari sistem air pendingin (cooling water system) dengan menggunakan integrasi model hidrodinamika dan model dispersi thermal 3-dimensi telah mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Shahidi et al. 2010; Maderich et al. 2008), serta digunakan untuk menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh meningkatnya suhu perairan akibat aktifitas industri (You dan Li 2009; Abbaspour et al. 2005). Banyak kesulitan yang ditemukan dalam observasi langsung terhadap karakteristik distribusi kenaikan suhu dapat dikurangi dengan menggunakan model numerik. Model dapat menjelaskan proses dinamik selama periode observasi lapangan dengan simulasi dan dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000). Adanya kegiatan PT. Badak NGL di Pesisir Bontang yang membuang air pendingin ke perairan memerlukan kajian terhadap pola sebaran suhu mengingat debit buangan air pendingin beberapa train yang beroperasi di perusahaan tersebut cukup besar yakni train A-F sebesar m 3 /jam, train G sekitar m 3 /jam, train H sebesar m 3 /jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar o C saat pasang dan o C saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40 o C pada saat pasang dan o C pada saat surut (Pertamina 2003). Buangan limbah air pendingin di perairan tropis dengan kisaran suhu tersebut berpotensi merusak kehidupan biota laut, karena biota tropis hidup pada suhu yang dekat dengan batas atas toleransi suhu (Roessler dan Zieman 1969; Kolehmainen et al. 1974). Suhu merupakan salah satu variable lingkungan paling penting yang mempengaruhi keberlangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi organisme akuatik. Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut

28 2 (Poornima et al. 2005). Apabila kadar O 2 sedikit saat suhu air naik, maka hal tersebut dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O 2 tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003). Sumberdaya pesisir yang kemungkinan terkena dampak akibat naiknya suhu perairan yang disebabkan oleh buangan air pendingin dari PT. Badak NGL di Perairan Bontang diantaranya adalah mangrove, terumbu karang, plankton, bentos dan lain-lain. Biota laut ini secara langsung terpapar oleh buangan air pendingin yang menyebabkan kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda tergantung jarak mereka terhadap sumber buangan air pendingin (outfall) dan kemampuan bertahan terhadap kenaikan suhu (Pertamina 2003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu 2 C diatas suhu maksimum tahunan dapat menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella) pada terumbu karang dan kenaikan 4-5 C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang (Coles et al. 1976). Adapun untuk fitoplankton, o kenaikan suhu hingga C menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah klorofil-a sekitar 15-50% (Poernima et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi untuk melihat pola sebaran suhu dari buangan air pendingin ke badan air serta melakukan identifikasi sumberdaya pesisir yang ada di sekitar PT. Badak NGL. Selanjutnya pola sebaran suhu yang diperoleh dari hasil simulasi digunakan untuk menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap sumberdaya pesisir tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Tingginya suhu buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL yang dilepas ke Perairan Bontang dapat menyebabkan terganggunya berbagai biota laut yang ada di sekitarnya. Di antara biota laut yang berpotensi terkena dampak dari kenaikan suhu perairan tersebut adalah terumbu karang, lamun, mangrove, bentos, berbagai jenis ikan, plankton dan lain-lain. Untuk meminimalkan dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka perlu diketahui kondisi suhu dimana biota laut tersebut ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa permasalahan yang harus dipecahkan adalah :

29 3 1. Bagaimana pola sebaran suhu yang terjadi akibat adanya buangan air pendingin yang dilepaskan ke Perairan Bontang oleh PT. Badak NGL. 2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh buangan air pendingin dari proses industri terhadap terumbu karang dan fitoplankton di sekitarnya. 3. Bagaimana kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang timbul pada wilayah penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL. 2. Menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan menggunakan hasil model dispersi thermal 3-dimensi. 3. Menganalisis kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL berdasarkan hasil analisis kenaikan suhu dan dampaknya terhadap fitoplankton dan terumbu karang serta menganalisis luasan perairan yang terkena dampak menurut baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal : 1. Pengembangan ilmu khususnya bidang biofisik kelautan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. 2. Memberi kontribusi bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi pembangunan di wilayah perairan sekitar kawasan air buangan PT. Badak NGL secara optimal dan berkelanjutan. 3. Menjadi acuan bagi perusahaan yang menggunakan sistem air pendingin misalnya PLTU dalam mengelola buangan air pendingin yang dihasilkan, dengan kata lain memudahkan manajemen perusahaan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan perairan di sekitarnya. 4. Memberi kontribusi bagi pihak yang berkompeten merumuskan regulasi tentang buangan air pendingin ke wilayah perairan.

30 4 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Pola sebaran suhu dikaji dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model) yang dikembangkan oleh Mellor Model ini telah digunakan secara luas dalam mempelajari daerah pesisir dan laut karena akurat dan efisien (Aoki dan Isobe 2007). Dalam penelitian ini digunakan gaya pembangkit pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Tidak dimasukkanya angin sebagai gaya pembangkit model mengingat daerah model merupakan perairan semi tertutup (semi enclosed) sehingga stress permukaan yang ditimbulkan oleh angin dapat diabaikan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya oleh Aoki dan Isobe 2007 di Teluk Fukuoka, Shahidi et al di Teluk Persia, Maderich et al di Sungai Waal dan beberapa penelitian lainnya. Wilayah studi dibatasi dengan memperhatikan aspek keterwakilan wilayah terkena dampak, potensial kena dampak, dan tidak terkena dampak di sekitar wilayah pembuangan air pendingin proses industri PT. Badak NGL. Dalam penelitian ini analisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang berada di sekitar buangan air pendingin dibatasi pada terumbu karang dan fitoplankton. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hasil model 3-dimensi yang digunakan dapat menjelaskan kondisi suhu kedua biota laut tersebut, dimana sebaran suhu arah horizontal hasil model dapat menjelaskan kondisi fitoplankton, sementara arah vertikal dapat menjelaskan kondisi suhu di zona terumbu karang. 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian ini melakukan sinkronisasi antara model fisis dengan analisis biota laut untuk digunakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hal ini merupakan sesuatu yang baru mengingat selama ini antara permodelan fisis dengan analisis biota laut dilakukan secara parsial. Kebaruan ini semakin nyata mengingat metode sinkronisasi tersebut diimplementasikan dalam paradigma ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu.

31 5 2. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian yang berhubungan dengan kenaikan suhu di wilayah penelitian telah banyak dilakukan baik oleh manajemen perusahaan PT. Badak NGL, Pemerintah Kota Bontang, maupun oleh peneliti dari berbagai perguruan tinggi. Walaupun demikian dari hasil penelusuran literatur, penulis belum menemukan adanya penelitian tentang model dispersi thermal secara spesifik yang mengarah pada dampak buangan air pendingin industri terhadap ekosistem di sekitarnya dan bagaimana menggunakan hasil model dispersi thermal tersebut untuk menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut. 2.1 Gambaran Umum Kota Bontang Kota Bontang merupakan sebuah kota kecil yang terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayah Kota Bontang hanya ± Ha yang terdiri dari daratan seluas ± Ha (29.70%) dan lautan seluas ± Ha (70.30%) dengan panjang garis pantai 24.4 km. Wilayah administrasi Kota Bontang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar, Kalimantan Timur 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Luas daratan Kota Bontang Ha, meliputi : Kawasan Hutan Lindung seluas Ha (11.96%), PT. Pupuk Kaltim Ha (4.04%), PT. Badak NGL Ha (3.15%) dan kawasan pemukiman penduduk seluas Ha (10.56%). Wilayah ini dilalui oleh garis khatulistiwa yang beriklim tropika basah, yakni wilayah tropis yang beriklim panas tetapi memiliki curah hujan yang tinggi dengan suhu udara bervariasi antara o C. Hasil interpretasi peta rupa bumi menunjukkan bahwa Kota bontang didominasi oleh bentuk wilayah yang datar hingga bergelombang dengan

32 6 kemiringan lahan antara 0-8%. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa penutupan vegetasi berupa kebun campuran, semak belukar, alang-alang dan hutan sekunder dapat dijumpai di semua kecamatan, sedangkan hutan bakau hanya dijumpai di Kecamantan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Selatan di sekitar bibir pantai dan pulau-pulau kecil (Bappeda Kota Bontang 2005) Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi Kota Bontang dipengaruhi oleh iklim muson tropis, dimana periode muson barat daya terjadi sekitar bulan Desember-Februari dan muson tenggara dari Juni- Agustus, periode waktu lainnya merupakan periode transisi. Pada periode Maret- Mei angin bergerak dari arah baratdaya ke tenggara, dan pada periode September- Nopember bergerak dari arah tenggara ke baratdaya. Muson baratdaya biasa disebut dengan muson basah atau musim penghujan, dimana angin bertiup dari arah baratdaya ke tenggara membawa hujan lebat. Sebaliknya, muson tenggara dicirikan dengan kondisi yang kering, sehingga disebut muson kering atau musim kemarau. Namun fenomena ini tampaknya tidak terjadi di daerah Bontang, hal ini karena di daerah studi tidak ada perbedaan musim yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau, yaitu dicirikan oleh terjadinya hujan hampir sepanjang tahun (Gambar 1). Gambar 1 Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, periode (Sumber : Lab. PT. Badak NGL 2008). Curah hujan bulanan tercatat berfluktuasi dari tahun ke tahun namun secara rata-rata jumlah curah hujan agak rendah selama bulan Juli-September (Gambar 2). Fenomena ketidakteraturan curah hujan di daerah Bontang diduga

33 7 berkaitan dengan aktifitas PT. Pupuk Kalimantan Timur yang memproduksi urea dan amonia. Selama proses produksi kemungkinan ada komponen urea atau amonia yang lolos ke udara sebagai debu dan merupakan partikel yang baik sebagai inti kondensasi uap air. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya hujan di wilayah Bontang karena presipitasi atau hujan sangat tergantung pada keberadaan uap air, sedangkan inti kondensasi dalam hal ini debu-debu urea selalu siap. Dengan demikian maka dapat dimaklumi bila jumlah curah hujan tidak menentu setiap bulannya atau dengan kata lain berfluktuasi (Sasongko dan Rahmat 2004). Gambar 2 Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, periode (Sumber : hasil olah data Lab. PT. Badak NGL 2008) Kondisi Pasang Surut Kondisi pasang surut di Perairan Bontang dijelaskan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang Tahun 2008 dan dari peramalan pasang surut global yang disebut ORITIDE yang dikembangkan oleh Ocean Reserch Institut (ORI), University of Tokyo, bekerjasama dengan National Astronomical Observatory (NAO), JAPAN untuk tahun yang sama. Indeks Formzahl (F) dari hasil pengamatan dan peramalan tersebut adalah sebesar Nilai indeks demikian digolongkan sebagai tipe pasang surut campuran dominasi ganda (mixed tide, predominantly semi-diurnal) (Wyrtki 1961) Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang Pengukuran suhu di Perairan Bontang menunjukkan sebaran yang cenderung homogen atau tidak banyak berbeda yakni bervariasi antara o C untuk sebaran arah horizontal dan secara vertikal bervariasi antara o C

34 8 dari permukaan hingga kedalaman 41 m. Hasil pengukuran suhu secara vertikal menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat lapisan yang homogen sampai kedalaman meter dengan suhu sekitar 29 o C (Pertamina 2003) Kondisi Abiotik Perairan Bontang Hasil survei kondisi abiotik pada beberapa lokasi di Perairan Bontang menunjukkan nilai yang relatif sama untuk beberapa parameter baik parameter fisik maupun kimia. Parameter yang relatif berbeda secara ekstrim dari beberapa lokasi pengamatan adalah parameter suhu di Stasiun a1 (Gambar 3), yakni berbeda sekitar 8-11 o C dibanding dengan suhu di stasiun lain. Stasiun a1 merupakan outlet buangan air pendingin PT. Badak NGL. e1 g1 d1 i1 j1 h1 B o n t a n g a1 c1 b1 f1 Keterangan : Stasiun : a1=outlet PT. Badak; b1=p. Beras Basah; c1=p. Tihik-tihik; d1=p. Segajah; e1=p. Gusung; f1=pelabuhan PT. Indominco; g1=muara Bontang Kuala; h1=tambak Bontang Kuala; i1=sungai Api-api Gambar 3 Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang (sumber : DKP Kota Bontang 2005).

35 9 Hasil survei beberapa parameter abiotik dibeberapa stasiun yang dianggap dapat mewakili Perairan Bontang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang No Stasiun Parameter a1 b1 c1 d1 e1 f1 g1 h1 i1 1 Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph DO (gr/l) Arus (m/detik) Kecerahan (m) (sumber : DKP Kota Bontang 2007) 2.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL Dari hasil pengukuran suhu saat survei tanggal 11 Juli 2002 di sekitar LNG Badak, ditemukan bahwa suhu pada buangan (outfall) Train A/B (Stasiun 1), Train C/D (Stasiun 2) dan Train E/F (Stasiun 3) bervariasi antara o C. Suhu air pada outfall Train G/H (Stasiun 4) adalah 41.5 o C baik saat air pasang maupun saat air surut. Sebelum masuk ke kanal pendinginan, air pendingin dari outfall Train A/B/C/D/E/F bergabung sepanjang sejauh lebih kurang 3 km melalui Stasiun 5, 6 dan 7 lalu masuk ke kolam pendingin melalui Stasiun 8. Setelah mengalir sekitar 1 km, suhu mulai turun menjadi 44 o C di Stasiun 7 dan setelah tiba di muara kanal Train A/B/C/D/E/F (Stasiun 8) suhu telah mengalami penurunan sampai 43 o C saat air pasang dan 42.5 o C saat air surut. Adapun muara kanal G/H (Stasiun 9) suhu telah mengalami penurunan dengan suhu rata-rata 38 o C tahun (Gambar 4). Pada Stasiun 13 yang merupakan muara dimana buangan air pendingin memasuki perairan Teluk Bontang, suhu air pada saat survei berkurang menjadi 30.5 o C (saat air pasang) dan 32.3 o C (saat air surut). Hasil pengukuran pada Stasiun 13 yang dilakukan sejak menunjukkan suhu yang konsisten yakni berkisar antara o C, dengan suhu rata-rata tahun sebesar o C saat air surut dan o C saat air pasang (Pertamina 2003).

36 10 L a u t D a r a t 7 4 D a r a t L a u t 11 D a r a t Keterangan : 1. Outfall Train A/B 2. Outfall Train C/D 3. Outfall Train E/F 4. Outfall Train G/H 5. Jembatan TOP 6. Jembatan TON 7. Sebelah barat Plant #34 8. Muara kanal Train A/B/C/D/E/F 9. Muara Air Pendingin Train G/H 10. Muara Sungai Sekambing 11. Pelabuhan Sekambing Baltim 12. Pertemuan Air Pendingin Train A-H 13. Muara Sungai Sekangat 14. Sebelah Selatan Loading Dock II 15. Basin Cooling Water Intake 16. Pantai Sebelah Barat Berbas 17. Perairan Sekitar Pulau Tihi-Tihi 18. Perairan Sekitar Pulau Selangan Gambar 4 Nilai suhu ( o C) yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002 (Sumber : Pertamina 2003).

37 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya Sebaran buangan air pendingin yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya telah disimulasikan dengan menggunakan model numerik. Sebaran peningkatan suhu di Perairan PLTU/PLTGU Tambak Lorok dilakukan dengan skenario kondisi angin calm, T outlet sebesar 9 o C dan debit outlet sebesar m 3 /dt, dengan suhu alami 29 o C. Hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi yakni saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik tersebut. Pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah. KONDISI PASUT KONDISI PASUT PERBANI PERBANI KONDISI PASUT KONDISI PASUT PERBANI PERBANI Gambar 5 Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya (Sumber : Mihardja 2006) Pengaruh Limbah Panas terhadap beberapa Biota Laut Terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang hampir ditemukan di seluruh perairan dunia, meskipun hanya di perairan tropis dapat berkembang dengan baik. Distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa

38 12 parameter fisika, diantaranya adalah suhu. Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu antara o C, namun suhu diluar kisaran tersebut masih bias ditolerir oleh spesies tertentu dari terumbu karang untuk dapat berkembang biak dengan baik (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang rentan terhadap kenaikan suhu perairan. Respon terumbu karang terhadap tekanan lingkungan berupa kenaikan suhu dapat dikelompokkan menjadi : (1) respon fisiologis secara langsung terhadap faktor tunggal, (2) respon interaktif terhadap beberapa faktor lingkungan, (3) akibat tidak langsung yang terjadi pada interaksi komunitas (Smith dan Buddemeier 1992). Peningkatan suhu perairan diyakini menjadi pemicu terjadinya pemutihan (bleaching) terumbu karang dan organisma lainnya yang bersimbiosis dengan zooxanthella dan selanjutnya akan dapat menyebabkan kematian. Namun menurut Smith dan Buddemeier (1992) kepekaan terumbu karang terhadap suhu sangat adaptif, tergantung spesies dan tergantung pula pada sejarah panjang fluktuasi suhu lingkungan sekitarnya. Faktor suhu yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan apabila mengalami kenaikan 3-4 C di atas suhu maksimum alami selama 2-3 hari pemaparan atau sekitar 1-2 C selama pemaparan beberapa minggu. Selanjutnya dinyatakan bila suhu naik sampai lebih dari 4 C maka akan menyebabkan kematian lebih dari 90% populasi terumbu hanya dalam beberapa hari (Smith dan Buddemeier 1992). Sub-lethal efek suhu pada terumbu karang dapat terjadi pada penurunan respon makan, menurunkan laju reproduksi, menambah pengeluaran lendir, mempercepat keluarnya simbion zooxanthelae dan menurunkan perbandingan fotosintesis/respirasi (Grigg dan Dollar 1990). Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5 o C. Akan tetapi pengaruh suhu terhadap binatang karang yang harus dihindari adalah adanya perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level), karena menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 o C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya.

39 13 Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5 o C dan dibawah 16.5 o C. Walaupun terdapat beberapa karang yang dapat bertahan hidup pada suhu yang tinggi, seperti jenis Acropora yang dapat hidup pada perairan dengan kisaran suhu musiman o C. Pada dasarnya pengaruh suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu minimum dan maksimum saja, namun lebih kepada perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 o C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya. Salah satu akibat dari tekanan yang terjadi pada terumbu karang adalah peristiwa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan Karang (menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat degenerasi atau hilangnya zooxanthellae dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al. 1999). Tekanan penyebab pemutihan karang antara lain tingginya suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan, sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi. Selain perubahan suhu, perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup terumbu karang. Brown et al menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland runoff) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai di lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 o C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10m

40 14 dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 o C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1984). Coles (1985) mempelajari dampak peningkatan suhu pada keberhasilan settlement dari larva planula karang di sekitar pembangkit tenaga listrik di Hawai. Berdasarkaan kepadatan settlement dari juvenile pada berbagai gradient suhu Coles (1985) menyimpulkan suhu optimum jangka pendek 33 C sampai 34 C untuk planula (Poillopora damicornis) menetap di Hawai yang berkisar antara 6-7 C lebih tinggi daripada suhu maksimum tahunan sebesar 27 C di perairan lepas pantai Hawai. Kenaikan suhu 6-7 C bagi planula karang di wilayah yang suhu ambien maksimumnya lebih tinggi dari Hawai untuk spesies karang sejenis atau lainnya mungkin dapat dihipotesiskan bahwa respon dari planula karang akan bergeser sesuai dengan kondisi suhu lingkungannya. Suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia adalah C. Karang dewasa lebih sensitif terhadap kenaikan suhu, dimana kenaikan suhu sebesar 3-5 C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik (Coles 1975; Neudecker 1981). Neudecker (1981) mempelajari pertumbuhan dan kelulusan hidup berbagai spesies karang batu yang dipapar pada limbah air pendingin pembangkit tenaga listrik di Guam. Peningkatan suhu 4-6 C di atas suhu ambien mempengaruhi pertumbuhan karang, dimana spesies karang yang tumbuhnya lambat lebih tahan terhadap kenaikan suhu daripada spesies karang yang tumbuhnya cepat. Coles (1975) melakukan studi dampak limbah bahang Electrical Company Kobe Generating Station, Hawai selama 2 tahun terhadap terumbu karang, hasilnya menunjukkan bahwa suhu absolut atas yang berkepanjangan jauh lebih kritis sebagai faktor yang menyebabkan kerusakan dan kematian daripada kenaikan suhu yang cepat di atas suhu lethal atas yakni 34ºC (4ºC diatas suhu ambien) Coles et al. (1976) mempelajari intensitas dan durasi kenaikan suhu alami maksimum dari berbagai jenis karang tropis (Eniwetak, Atoll, Marshall Islands) dan subtropis (Kaneohe Bay, Oahu, Hawai). Paparan dalam waktu lama pada suhu di atas 32.7 C, menemukan bahwa suhu tersebut mendekati nilai kritis. Suhu maksimum ambien tahunan di Hawai 26.5 C, sementara suhu di Eniwetak 2 C

41 15 lebih tinggi daripada di Hawai. Kenaikan suhu 2 C di atas suhu maksimum tahunan ternyata menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella), sedangkan kenaikan 4-5 C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di kedua lokasi. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang Taxon/ Ekosistem Terumbu karang Terumbu karang Terumbu karang Karang Lokasi West Indies Kahe Point, Hawai Kahe Point, Hawai Tanguisson Point, Guam (Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984) ΔT (ºC) Jenis Dampak Hilangnya pigmen zooxanthella, dan mortalitas tinggi Kematian karang pada +4-5 o C, efek sublethal pada +2-3 o C Kematian karang Suhu kritis ( o C) Fitoplankton Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Salah satu parameter perairan yang berperan penting dalam menentukan keberadaan fitoplankton adalah suhu. Distribusi suhu di permukaan laut sangat berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran fitoplankton (Bouman et al. 2003). Suhu berpengaruh langsung terhadap laju fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan, sementara pada hewan berpengaruh terhadap proses fisiologi khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Selain itu suhu dapat berperan dalam menentukan suksesi jenis fitoplankton pada suatu perairan. Suhu berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO 2 yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O 2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut. Daya larut O 2 akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan. Toleransi terhadap suhu bervariasi pada setiap spesies. Adaptasi organisme dapat terjadi

42 16 terhadap perubahan suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu normalnya (Poornima et al. 2005). Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplanton terutama dapat ditemukan di sekitar industri yang membuang air pendingin mereka ke perairan di sekitarnya. Hasil penelitian yang dilakukan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom Madras di India menunjukkan bahwa fitoplankton dan klorofil-a mengalami penurunan selama melewati sistem air pendingin (cooling water system) dari tempat pengambilan air laut (intake) ke tempat pembuangan air pendingin (outfall), sementara pada daerah percampuran (mixing point) jumlah klorofil-a mengalami recovery secara signifikan. Suhu intake tercatat maksimum 29.6 o C pada bulan Maret dan minimum pada bulan Januari yakni 26.9 o C. Adapun suhu di outfall menunjukkan T bervariasi antara o C dan pada daerah mixing point T bervariasi antara o C (Poernima et al. 2005) Jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara 35-70% dibandingkan dengan di intake. Sementara pada daerah mixing point klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50% dibandingkan dengan di intake (Poernima et al. 2005). Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton juga dilakukan dengan uji laboratorium, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton yang berada pada suhu 42 o C dengan waktu kontak menit tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam kandungan klorofil-a dibandingkan dengan suhu kontrol (28 o C). Percobaan laboratorium juga menunjukkan dalam waktu kontak tersebut produktifitas primer fitoplankton mengalami pengurangan sebesar 19% dibandingkan dengan suhu kontrol (Poernima et al. 2005). Penelitian sejenis juga telah dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan. Perbedaan suhu antara daerah intake dan suhu daerah outfall sepanjang musim dari Pembangkit Listrik ini adalah ±10 o C. Hasil penelitian menunjukkan Klorofil-a fitoplankton di daerah intake secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di daerah outfall. Perbedaan antara daerah intake dan daerah outfall paling besar terjadi pada musim semi, dimana nilai rata-rata klorofil-a fitoplankton di daerah intake sebesar 0.67 mg m -3 sedangkan di daerah outfall sebesar 0.44 mg m -3 (Chuang et al. 2009).

43 17 Hasil penelitian tentang dampak buangan air pendingin terhadap fitoplankton menunjukkan bahwa buangan air pendingin tidak mempengaruhi sebaran parameter lingkungan yang lain seperti salinitas, ph, DO dan nutrien (nitrat, nitrit, amoniak, posfat dan silikat) di perairan pesisir (Poernima et al. 2005). Tidak ada perbedaan signifikan dalam monitoring faktor-faktor lingkungan yang dideteksi antara daerah intake sampai outfall kecuali suhu air (Chuang et al. 2009). Variabel lingkungan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan Site Intake Outlet Winter Spring Summer Autumn Winter Spring Summer Autumn Water temperature ( o C) 18.7±0.5 Salinity (psu) 33.0±1.0 DO (mgl -1 ) 7.6±0.2 ph 7.8±0.0 Linght extinction (m -1 ) 1.1±0.2 (Sumber : Chuang et al. 2009) 24.4± ±0.0 73± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±0.2 Beberapa eksperimen dan studi lapangan pada beberapa lokasi yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap kehidupan fitoplankton diberikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton Taxon/ Ekosistem Fitoplankton Diatom : Gyrosigma spenceri Lokasi Mediteranean Martigues- Ponteau Eksperimen (Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984) ΔT (ºC) Jenis Dampak Berkurangnya 10-60% jumlah sel Tidak ada, T 0 =12 o C Tidak ada, T 0 =16 o C Faktor Lain yang dapat Mempengaruhi Fitoplankton Suhu kritis ( o C) Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton secara langsung atau tidak langsung adalah karakteristik hidrooseanografi termasuk sifat 39

44 18 fisik perairan. Perairan pantai menunjukkan variabilitas fitoplankton yang sangat tinggi, hal ini disebabkan perairan pantai memiliki dinamika fisik yang kompleks yang dicirikan sebagai perairan dangkal, kaya nutrien, dan adanya pengaruh arus pasang surut serta penerima beban sungai (May et al. 2003). a. Distribusi dan Ketersediaan Nutrien N, P dan Si Secara spasial, distribusi vertikal nutrient N, P dan Si pada kolom air memiliki nilai yang rendah di lapisan permukaan laut dan berlimpah di lapisan lebih dalam (Thurman 1993). Penyebab rendahnya nutrient di permukaan karena diserap oleh alga dan bakteri di zona fotik. Adapun sebaran horizontal, nutrien memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di daerah paparan benua (dekat daratan) jika dibandingkan dengan di luar paparan benua (laut lepas) (Zuzuki at al. 1997). Distribusi nutrien secara temporal berhubungan dengan proses-proses fisika seperti percampuran vertikal dan upwelling. Kelimpahan klorofil-a di Selat Malaka sangat ditentukan oleh terbentuk tidaknya tidal front di Perairan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa proses fisika berupa gaya turbulensi yang cukup besar di suatu perairan merupakan salah satu faktor yang menentukan kesuburan suatu perairan (Kasman 2006). b. Intensitas Cahaya Cahaya matahari merupakan salah satu faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton dalam perairan. Cahaya berfungsi sebagai sumber energi pada proses fotosintesis (Lalli dan Pearsons 1995). Makin dalam penetrasi cahaya pada kolom perairan maka lapisan dimana proses fotosintesis dapat berlangsung akan semakin besar, dengan demikian konsentrasi oksigen terlarut masih memiliki nilai yang tinggi pada kolom air yang lebih dalam. Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan. Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat ditemukan mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya minimum 1%, lapisan ini disebut zona eufotik (Nontji 1984). Kedalaman lapisan ini dapat dihitung dengan menggunakan Hukum Lambert-Beer (Parsons et al. 1984) yakni dengan menghitung koefisien peredupan cahaya sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya tinggal 1%.

45 19 Zona di bawah dari zona tersebut adalah kedalaman kompensasi (titik kompensasi) dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan. Pada lapisan ini laju fotosintesis sama dengan laju respirasi. Zona di bawah titik kompensasi disebut zona disfotik yang mempunyai laju fotosintesis lebih kecil dari laju respirasi. Perubahan laju fotosintesis merupakan hasil dari respon fitoplankton terhadap variabilitas cahaya (Hood et al. 1991). c. Kekeruhan Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optic air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton pada perairan. d. Karakteristik Hidrodinamika Oseanografi (Flushing) Pada sistem akuatik yang mengandung biomassa hidup, nutrient, zat pencemar, gas-gas terlarut dan partikel tersuspensi yang terbawa dalam medium fluida, maka proses-proses hidrodinamika yang mengangkut air beserta material yang dikandungnya penting untuk dipahami. Salah satu yang berhubungan dengan hal itu adalah pemahaman tentang flushing time. Flushing time adalah waktu yang diperlukan suatu badan perairan untuk bergerak ke suatu badan perairan lainnya (Sumich 1992). Hal ini berarti bahwa dengan adanya pergerakan air menyebabkan material lainnya ikut terbawa dalam aliran tersebut. Implikasi dari pergerakan air tersebut menyebabkan terjadinya perubahan biota perairan seperti kelimpahan fitoplankton dari waktu ke waktu. fitoplankton memiliki kelimpahan yang rendah di daerah muara karena adanya pembilasan yang cepat dari arus-arus riverin ke arah laut. Salah satu faktor penting penyebab terjadinya flushing adalah pasang surut. Pada saat pasang, plankton perairan pantai dapat terbawa memasuki estuaria, sementara pada saat surut plankton (termasuk jenis-jenis payau) dapat terbawa ke laut. Fenomena flushing ini yang menyebabkan kelimpahan fitoplankton menjadi berfluktuasi.

46 20 e. Salinitas Salinitas mempunyai peranan penting terhadap keberadaan fitoplankton di perairan. Salinitas selain dapat mempengaruhi proses produksi fitoplankton (Baroon et al. 2003), juga dapat merubah struktur komunitas fitoplankton sejalan dengan perubahan salinitas (Ayadi et al dalam Tambaru 2008). Laju fotosintesis fitoplankton yang hanya mampu bertahan pada salinitas rendah (stenohaline) di daerah estuari sangat dipengaruhi oleh variasi salinitas di daerah tersebut. Salinitas yang sesuai bagi fitoplankton untuk dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri serta aktif melaksanakan proses fotosintesis adalah di atas 20 (Sachlan 1972). 2.4 Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia Pengelolaan buangan air pendingin (cooling water) di Indonesia cukup mendapat perhatian, hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang menetapkan baku mutu parameter suhu. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup telah melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak lingkungan laut dengan menetapkan baku mutu air laut termasuk baku mutu parameter suhu untuk biota laut yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Lampiran 3 (Tabel 5). Keputusan Menteri tersebut memberi batasan bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah pesisir agar tidak membuang limbah pada perairan yang ditemukan adanya biota laut di atas ambang batas yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, kebijakan ini menimbulkan masalah dalam implementasinya mengingat aktifitas industri di wilayah pesisir selama ini menggunakan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat yang bersifat sangat longgar, sehingga beberapa industri telah melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri tersebut. Untuk menangani masalah ini, pemerintah kemudian mengaturnya di dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Pasal 5 (2) yang berbunyi Dalam hal daerah telah menetapkan baku mutu air laut lebih longgar sebelum ditetapkannya keputusan ini, maka baku mutu air laut tersebut perlu disesuaikan dengan

47 21 keputusan ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya Keputusan ini. Dalam hal ini pemerintah daerah harus segera melakukan evaluasi terhadap Surat Keputusan tentang Baku Mutu Air Laut yang selama ini diberlakukan untuk disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup di atas. Tabel 5 Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 No Parameter Satuan Baku mutu 1 Kecerahan a m coral : >5 mangrove : - lamun : >3 3 alami 2 Suhu c o C 3( c) alami coral : (c) mangrove: (c) lamun: (c) 3 Salinitas e %o 3( e) alami coral: (e) mangrove: s/d 34 (e) lamun: (e) 4 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5 5 BOD5 mg/l 20 (Sumber : Diadaptasi dari Lampiran 3 Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) Keterangan : 2. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman Masalah lain yang timbul berkaitan dengan buangan air pendingin adalah adanya kebijakan pemerintah khusus bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu, dalam hal ini Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu (Tabel 6). Peraturan ini pada kasus

48 22 tertentu akan bertentangan dengan Kepmen LH No. 51 tahun 2004 terutama terkait penetapan baku mutu parameter suhu dengan kadar maksimum 45 o C. Pertentangan tersebut terjadi ketika outlet di mana buangan air pendingin dilepas dengan suhu tinggi oleh suatu perusahan terletak pada lokasi di mana ditemukan adanya kehidupan biota laut seperti terumbu karang, mangrove dan lainnya. Dalam kasus semacam ini disatu sisi perusahaan telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Permen LH No. 4 Tahun 2007 (suhu maksimum 45 o C), namun di sisi lain telah melanggar baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (kenaikan suhu <2 o C). Tabel 6 Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu. No JENIS AIR LIMBAH PARAMETER KADAR MAKSIMUM METODE PENGUKURAN 1 Air Limbah Proses Minyak dan Lemak 25 mg/l SNI Residu Chlorine 2 mg/l Standard Method 4500-Cl Suhu 45 o C SNI ph 6-9 SNI (sumber : Permen LH No. 4 Tahun 2007) Keterangan : Apabila air limbah drainase tercampur dengan air limbah proses, maka campuran air limbah tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah proses 2.5 Model Dispersi Thermal Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat (Eriyatno 1999). Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang memiliki sifat beragam. Dari batasan-batasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variabel) penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dispersi thermal telah dijadikan sebagai salah satu alat pendukung dalam tahap disain perusahaan yang bertujuan untuk menentukan metode dan penempatan yang optimal dari intake buangan air pendingin (cooling water) dan

49 23 untuk menghindari naiknya suhu alami diatas baku mutu yang diizinkan. Karena itu model merupakan suatu alat yang wajib bagi perusahaan untuk mendapatkan surat izin operasional melalui studi penilaian dampak buangan air pendingin yang berkenaan dengan dibebaskannya panas ke lingkungan terutama pada air permukaan (Maderich et al. 2008) Model Hidrodinamika 3-Dimensi Studi ini mengikuti prinsip Numerical Ocean Model yang telah dikembangkan oleh Mellor (1987) yaitu penyelesaian numerik dengan menggunakan persamaan primitif 3-dimensi model POM atau dikenal sebagai Princeton Ocean Model. Beberapa prinsip dasar dalam model POM adalah : - Menggunakan model koordinat sigma (σ), yang diskalakan terhadap kedalaman kolom air. - Koefisien percampuran vertikal dihitung dengan sub model olakan (turbulensi) tertutup. - Menggunakan sistem kisi Arakawa C pada kisi horizontal dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas. - Menggunakan skema eksplisit dalam perhitungan arah horizontal, dan skema implisit untuk arah vertikal. - Menggunakan model pemisah langkah waktu dalam memperhitungkan elevasi permukaan. Oleh karena itu, dalam perhitungan model dipisahkan dalam dua bagian, yakni : pertama, pada bagian internal dilakukan perhitungan untuk dua dimensi dengan langkah waktu lebih pendek yang dibatasi oleh kondisi stabilitas. Kedua, bagian eksternal, melakukan perhitungan untuk tiga dimensi menggunakan langkah waktu lebih panjang, juga didasarkan pada kondisi stabilitas dan laju gelombang eksternal Persamaan-persamaan Dasar Di dalam model POM dilakukan transformasi persamaan pengatur dalam arah vertikal dari sistem koordinat kartesian ke koordinat-σ. Transformasi ini dibuat untuk mendapatkan hasil simulasi yang lebih baik di lapisan permukaan dan dasar. Sistem koordinat ini akan mengikuti bentuk topografi dasar perairan sebagaimana terlihat pada Gambar 6.

50 24 Persamaan transformasi yang digunakan adalah: (2.1) dimana x, y, z adalah koordinat kartesian; η = H + D adalah kedalaman total dengan H(x,y) adalah topografi dasar dan η(x,y,t) adalah elevasi permukaan air. Koordinat-σ merubah interval kolom air dari permukaan (z = η) ke dasar (z = -H) menjadi kedalaman yang seragam dari 0 sampai -1. Gambar 6 Sistem Koordinat Sigma-σ (Sumber : Mellor 1998). Persamaan-persamaan pembangun model sirkulasi arus 3-Dimensi yang sudah ditransformasikan kedalam sistem koordinat -σ adalah : Persamaan kontinuitas: (2.2) Persamaan gerak dalam arah x,y, dan z : M F x U D K d x D D x gd x gd fvd U y UVD x D U t UD + = σ σ σ σ ρ σ ρ ρ η σ ω σ (2.3) M F y V D K d y D D y gd y gd fud V y D V x UVD t VD + = σ σ σ σ ρ σ ρ ρ η σ ω σ (2.4a) z P g = ρ (2.4b) Persamaan transpor suhu : η Z =0 z = H(x,y) σ = 0 σ = -1 = t y DV x DU η σ ω t t H z y y x x = + = = = *, ; * ; * η η σ

51 25 TD TUD TVD Tω KH = t x y σ σ D Persamaan transpor salinitas : T R + FT σ z (2.5) dimana : SD SUD SVD Sω = t x y σ K σ D S σ H + F S U dan V : masing-masing komponen kecepatan arus untuk arah x dan y; ω : kecepatan vertikal dalam koordinat-σ ; t : waktu; f : parameter Coriolis; g : percepatan gravitasi; η : elevasi permukaan air; ρ o : densitas referensi air; ρ : nilai fluktuasi dari densitas air; K M : viskositas eddy vertikal; F x dan F y : suku difusi dan viskositas horisontal dalam arah x dan y; T : suhu; S : salinitas; K H : koefisien difusivitas eddy vertikal untuk suhu dan salinitas; F T dan F S : suku difusi dan viskositas horisontal untuk suhu dan salinitas; R : fluks radiasi gelombang pendek. (2.6) Persamaan (2.3) dan (2.4) mengandung suku perubahan lokal kecepatan, adveksi, pengaruh coriolis, gradien tekanan, gradiens densitas, tegangan (stress) permukaan dan dasar, serta olakan. Persamaan (2.5) merupakan persamaan untuk suhu yang mengandung suku perubahan lokal suhu, adveksi, difusi horisontal, difusi vertikal, dan pengaruh fluks radiasi gelombang pendek (R). Persamaan (2.6) merupakan persamaan untuk salinitas yang mengandung suku perubahan lokal salinitas, adveksi, difusi horizontal, dan difusi horizontal. Simbol ω pada persamaan di atas merupakan kecepatan horizontal dalam koordinat-σ. Secara fisis ω adalah komponen kecepatan normal ke permukaan sigma (σ). Kecepatan arus dalam arah vertikal di dalam koordinat Cartesian adalah : W D η D η D η = ω + U σ + + V + + x x σ + y y σ t t (2.7) Model POM menggunakan teknik penyelesaian mode pemisah (modesplitting technique) yang berguna untuk mereduksi sejumlah besar pekerjaan

52 26 komputasi dalam model 3D. Langkah waktu (time step) perhitungan dalam teknik ini ada dua macam, yaitu: langkah waktu pendek dipakai untuk menyelesaikan persamaan dua dimensi (2D) yang dintegrasikan secara horizontal (mode eksternal) dan langkah waktu yang lebih panjang dipakai untuk persamaan tiga dimensi (mode internal). Mode eksternal diselesaikan dengan menggunakan persamaan yang diintegrasikan terhadap kedalaman, yaitu: Persamaan kontinuitas: D U x DV + y η + = 0 t (2.8) Persamaan gerak dalam arah x dan y : U t U + x 2 UV + y fv η τ = g + x sx τ ρ D 0 bx + A H U (2.9) dimana: V UV + t x 2 V + y η τ sy τ + fu = g + y ρ D 0 by + A U dan V : komponen kecepatan arus yang dirata-ratakan terhadap kedalaman masing-masing untuk arah x dan y; τ sx dan τ sy : stress permukaan masing-masing untuk arah x dan y; τ bx dan τ by : stress dasar masing-masing untuk arah x dan y; A : viskositas eddy horizontal; H 2 2 = + 2 x y 2 : operator Laplace 2-dimensi. H V (2.10) Implementasi Teknik Mode Pemisah Komputasi dari persamaan-persamaan di atas dilakukan dalam dua tahap, yaitu : perhitungan 2D (mode eksternal, Persamaan 2.8, 2.9, dan 2.10) dengan menggunakan langkah waktu pendek ( t 2D ) yang sesuai dengan kriteria CFL (Courant-Frederick-Lewy), dan perhitungan 3D (mode internal, Persamaan. 2.2, 2.3, 2.4, dan 2.7) dengan menggunakan langkah waktu yang lebih panjang ( t 3D ), dimana. Biasanya M bernilai antara 10 sampai 80 (Mellor 1998). t3d = M t2d Dengan kata lain perhitungan 3D tidak perlu dilakukan untuk setiap langkah waktu ( t 2D ), tetapi setiap ( t 3D ) sehingga dapat mempercepat proses perhitungan.

53 27 Ilustrasi sederhana dari iterasi waktu perhitungan model 2D dan 3D diperlihatkan pada Gambar 7. Gambar 7 Langkah waktu dari teknik mode-splitting (Sumber : Mellor 1998) Penyusunan Grid Penyusunan grid (staggered grid) untuk mode eksternal dan mode internal dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Diagram dalam gambar-gambar tersebut berguna untuk mengerti sistem perhitungan horisontal maupun perhitungan vertikal. Gambar 8 Sistem Grid 3-Dimensi untuk mode eksternal dalam model POM (Sumber : Hydroqual 2002).

54 28 Tampak mendatar Tampak vertikal Gambar 9 Sistem Grid 2-Dimensi untuk mode internal dalam model POM (Sumber : Hydroqual 2002) Penentuan Langkah Waktu Penentuan langkah waktu untuk perhitungan persamaan dalam mode eksternal (vertically integrated) dilakukan berdasarkan pada syarat stabilitas komputasi Courant-Friedrichs-Levy (CFL) dengan perumusan sebagai berikut : t 1 / te + (2.11) 2 2 C x y dimana C t = 2(gH) 1/2 + U max ; U max adalah kecepatan maksimum yang mungkin terjadi. Terdapat syarat-syarat pemilihan langkah waktu yang lain namun untuk kepraktisan maka digunakan syarat stabilitas CFL yang cukup ketat. Pembatasan langkah waktu yang digunakan model POM umumnya 90 % sesuai dengan syarat stabilitas ini. Mode internal mempunyai langkah waktu yang lebih panjang selama efek mode eksternal telah dihilangkan. Kriteria penentuan langkah waktu yang digunakan untuk mode ini analog dengan mode eksternal: t I 1 C t 1 x y 2 1/ 2 (2.12) dimana C t = 2C + U max ; C t adalah kecepatan maksimum gelombang gravitasi internal yang umumnya dalam orde 2 m/detik, dan U max adalah kecepatan advektif

55 29 maksimum. Untuk kondisi lautan tertentu, perbandingan antara langkah waktu internal dan langkah waktu eksternal t I / t E = DTI/DTE adalah sebesar Terdapat pembatasan tambahan dalam penentuan langkah waktu mode internal karena dilibatkannya difusi horisontal dari momentum atau disimbolkan dalam skalar A = A M atau A = A H. Kriteria yang digunakan adalah: t I 1 4A 1 x y 2 1 (2.13) Kriteria penentuan langkah waktu mode internal akibat adanya rotasi adalah 1 1 t < = (2.14) f 2Ω sinφ dimana Ω adalah kecepatan sudut rotasi bumi (rad/det) dan Φ adalah lintang tempat ( o ). Dua kriteria penentuan langkah waktu diatas tidak seketat kriteria penentuan langkah waktu berdasarkan kriteria CFL Syarat Batas (Boundary Condition) Syarat Batas Lateral Pada batas darat digunakan syarat batas tertutup dimana kecepatan yang datang tegak lurus pantai sama dengan nol (zero flow normal), sedangkan pada batas terbuka digunakan syarat batas radiasi Sommerfeld berdasarkan teknik penjalaran gelombang. Pendekatan syarat batas radiasi tersebut direpresentasikan oleh persamaan adveksi berikut (Chapman 1985 dalam Hadi 2000), φ φ ± c = 0 t x (2.15) dimana φ dapat merupakan kecepatan arus atau elevasi permukaan air, dan c adalah kecepatan adveksi dan kecepatan fasa. Tanda pada bagian atas dan bawah (+ dan -) masing-masing bersesuaian dengan batas terbuka pada sisi kanan dan kiri. Bentuk numerik dari persamaan (2.15) dapat ditulis sebagai, n+ 1 n φb + φb 2 t 1 n+ 1 ( φb + φ ± c x n 1 B = 0 (2.16) dimana subskrip B menyatakan batas, dan superskrip n-1, n, n+1 menyatakan tingkat waktu.

56 30 Selanjutnya persamaan (2.16) dapat ditulis dengan, n 1 [ φ 1 µ ) + 2µφ ]/(1 µ ) n+ 1 n φ B = B ( B± 1 + (2.17) n+1 dimana φ B adalah nilai yang diprediksi di batas (dapat merupakan kecepatan arus atau elevasi permukaan air). Dalam penelitian karena kasus sirkulasi dibangkitkan oleh pasut, elevasi diberikan dibatas Syarat Batas Vertikal Syarat batas permukaan (σ = 0) dan dasar (σ = -1) dalam system σ- koordinat dapat ditulis sebagai, ω(x,y,0,t) = ω(x,y,-1,t)=0 (2.16) Di dasar laut, syarat batas yang digunakan adalah : ρk D M U V + = σ σ dimana U h dan V h dasar. h h ( τ, τ ) = ρcz[ U + V ] 1/ ( U, V ), x y h h h h di σ = -1 (2.17) adalah kecepatan dekat dasar, C z adalah koefisien gesekan

57 31 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2008 sampai Oktober 2010 di wilayah Perairan Bontang, Kotamadya Bontang, Provinsi Kalimantan Timur, yang secara geografis terletak pada posisi antara 0º º14 Lintang Utara dan 117º23-117º38 Bujur Timur (Gambar 10). 117 o o o o o o o 38 BT Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Kutai Kartanegara Gambar 10 Peta administrasi wilayah Kota Bontang dan daerah model (dalam kotak hitam) (Sumber : DKP Kota Bontang 2005). 3.2 Daerah Model Penelitian ini dilakukan di perairan sekitar buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL. Daerah model meliputi zona terkena dampak dan tidak terkena dampak kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL Selat Makassar 0 o 02 LU 0 o 04 0 o 06 0 o 08 0 o 10 0 o 12

58 32 (Gambar 11). Adapun batas wilayah dan letak geografis daerah model adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Pantai Marina ( LU) Sebelah Selatan : Kelurahan Bontang Lestari (0 Sebelah Barat : Kelurahan Bontang Lestari (117 0 Sebelah Timur : Selat Makassar ( BT ) LU) BT) 1 PT. Badak NGL Selat Makassar Lintang Utara (derajat) Kel. Bontang Lestari Kel. Bontang Lestari 4 Bujur Timur (derajat) Keterangan : 1 = kanal pendingin train A-F (outfall 1) 6 = Pulau Sieca 2 = kanal pendingin train G/H (outfall 2) 7 = Pantai Marina 3 = kolam pendingin 8 = Intake 4 = kanal pendingin train A-H 9 = Teluk Nyerakat 5 = Muara Kanal Pendingin Gambar 11 Daerah model dan kontur batimetri (dalam meter) lokasi penelitian. Penetapan daerah model di atas didasarkan pada hasil survei awal yang menunjukkan bahwa daerah ini dapat merepresentasikan zona terkena dampak

59 33 dan zona yang tidak terkena dampak kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL. Luas wilayah penelitian adalah sekitar ha, dimana untuk arah utara-selatan sekitar m dan arah barat-timur sekitar m. 3.3 Pendekatan Penelitian Kerangka utama penelitian ini adalah bahwa dengan mengetahui pola sebaran suhu di wilayah perairan, maka dapat diprediksi gangguan yang dapat ditimbulkan dengan masuknya buangan air pendingin pada suatu perairan, sehingga upaya untuk mencegah rusaknya lingkungan perairan akibat buangan air pendingin tersebut dapat dilakukan (Maderich et al. 2008). Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut. Langkah pertama, melakukan pengukuran suhu di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memperoleh data lapangan tentang pola sebaran dan kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin tersebut. Data ini untuk menentukan zona pesisir yang kena dampak dan tidak kena dampak, sehingga penetapan untuk daerah model dapat dilakukan. Langkah kedua, melakukan identifikasi kondisi sebaran biota laut yang terdapat dalam daerah model. Dalam penelitian ini identifikasi dilakukan terhadap fitoplankton dan terumbu karang. Langkah ketiga, melakukan simulasi pola sebaran suhu buangan air pendingin (cooling water) dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model). Dari hasil simulasi diperoleh informasi tentang pola dan magnitude suhu di wilayah studi. Langkah keempat, menganalisis dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang dengan menggunakan hasil simulasi model dispersi thermal. Langkah kelima, membuat rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir yang meliputi pengelolaan buangan air pendingin serta arahan kebijakan terkait suhu buangan air pendingin (cooling water). Pengelolaan buangan air pendingin dilakukan dengan membuat skenario debit dan suhu buangan air pendingin ketika memasuki wilayah perairan, sementara arahan kebijakan didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap terumbu karang dan fitoplankton. Diagram kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 12 dan diagram alir POM pada Gambar 13.

60 34 PERSIAPAN : - PUSTAKA - KOORDINASI - PERIZINAN - SURVEI AWAL PENETAPAN BATAS WILAYAH STUDI INDUSTRI INPUT BUANGAN AIR PENDINGIN Model POM PROSES verifikasi OUTPUT POLA SEBARAN ZONA TERDAMPAK ZONA BELUM TERDAMPAK ZONA TIDAK TERDAMPAK ANALISIS BIOTA LAUT SKENARIO INPUT MODEL FITOPLANKTON TERUMBU KARANG Waktu dan T. Cuplik KONDISI BIOTA LAUT PROFIL SUHU overlay DAMPAK KENAIKAN SUHU PADA BIOTA LAUT LUAS PERAIRAN TERKENA DAMPAK BERDASARKAN HASIL PENELITIAN LUAS PERAIRAN TERKENA DAMPAK BERDASARKAN KEPMEN LH NO REKOMENDASI PENGELOLAAN Gambar 12 Diagram Kerangka Pemikiran Rencana Penelitian.

61 35 START Set Parameters Initial Values 9000 Print STOP ADVCT BAROPG 8000 IEXT=1,I Adjust Integral of U,V to match UT, VT VERTVL BCOND(5) ADVQ(Q2) ADVQ(Q2L) PROFQ BCOND(6) ADVT(T) ADVT(S) PROF(T) PROF(T) BCOND(4) ADVU ADVV PROFU PROFV BCOND(3) Compute EL BCOND(1) ADVAVE Compute UA, VA Compute UT, VT For use in Internal Mode BCOND(2) 8000 STOP Gambar 13 Diagram Alir Program model POM (Sumber : Mellor 1998).

62 Tahapan Pelaksanaan Studi Tahap Persiapan Kegiatan pada tahap ini meliputi survei lokasi pra penelitian yang dilakukan sejak Maret 2008 sampai Juli 2008, survei ini telah menghasilkan penentuan stasiun pengamatan yang dianggap dapat mewakili wilayah penelitian. Selain itu dilakukan studi pustaka berkaitan dengan kondisi lokasi penelitian terutama aspek lingkungan. Pengurusan perizinan untuk akses memasuki wilayah operasional PT. Badak NGL yang mencakup wilayah penelitian ini merupakan bagian penting dari tahap persiapan Tahap Penelitian Lapangan Kegiatan pada tahap ini meliputi survei lapangan untuk pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian. Survei dilakukan pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan yakni di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dan beberapa lokasi yang dianggap dapat mewakili daerah yang tidak terkena dampak buangan limbah air pendingin (Gambar 14) Survei Oseanografi dan Debit Sungai a. Pengukuran elevasi muka laut Elevasi muka laut diukur di Pelabuhan Sekangat (Stasiun 12) dengan menggunakan mistar pasut yang dipancang di tiang pelabuhan setelah sebelumnya diketahui posisi muka laut pada saat surut maksimum. Pengukuran ini dilakukan selama 29 hari yakni sejak 13 September 2008 sampai dengan 11 Oktober 2008 di Pelabuhan Sekangat, dengan interval waktu pencatatan 1 jam. Dalam studi ini penentuan muka laut rata-rata pasang surut di wilayah penelitian dilakukan dengan menggunakan metode admiralty, dimana permukaan air laut rata-rata diperoleh dengan menghitung komponen harmonik pasut. Adapun klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, dengan persamaan sebagai berikut : Nilai Formzahl (F) (3.1) K1 : Komponen luni bulan harian M2 : Komponen utama bulan (pasut ganda) S2 : Komponen utama matahari (pasut ganda) O1 : Komponen utama matahari harian

63 37 1 PT. Badak NGL Lintang Utara (derajat) 5 Kel. Bontang Lestari s1 10 s Selat Makassar SI s3 s5 Kel. Bontang Lestari s4 Keterangan : = Stasiun pengukuran suhu permukaan = Stasiun pengukuran suhu permukaan dan elevasi muka laut = Stasiun pengukuran suhu permukaan dan suhu arah vertikal = Stasiun pemantauan debit sungai = Titik running ramalan pasut ORITIDE Gambar 14 Stasiun pengukuran suhu permukaan, suhu arah vertikal, elevasi muka laut dan debit sungai. b. Pengukuran suhu permukaan Bujur Timur (derajat) Pengukuran suhu permukaan dilakukan pada Stasiun 1 (outfall 1) sampai Stasiun 15 (belakang Pulau Sieca). Pengukuran suhu permukaan dilakukan dua kali yakni pada bulan purnama dan bulan perbani dengan menggunakan SCT meter YSI model 33. Pengukuran suhu permukaan untuk kondisi pasut purnama dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2008 jam pada saat air pasang sampai jam Sementara untuk kondisi pasut perbani dilakukan pada tanggal 10

64 38 Oktober 2008 jam sampai jam Pengukuran dilakukan dengan mengambil Stasiun 1 sebagai titik awal pengukuran, kemudian dilanjutkan ke stasiun berikutnya sesuai nomor urut stasiun sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Mengingat data ini selanjutnya akan digunakan untuk verifikasi hasil model, maka pengukuran dilakukan dengan memperhitungkan waktu dari stasiun pertama sampai stasiun terakhir agar distorsi antara waktu simulasi dengan waktu pengambilan data dapat diminimalkan. Dalam hal ini pengukuran suhu dilakukan dengan selang waktu 30 menit dari stasiun satu ke stasiun berikutnya. c. Pengukuran suhu menurut kedalaman Pengukuran suhu arah vertikal dilakukan di Stasiun 8 pada kedalaman 6 meter selama 48 jam yang dimulai pada tanggal 5 Oktober 2008 jam sampai 7 Oktober 2008 jam menggunakan CTD SBE19. Pencatatan suhu dilakukan pada setiap kedalaman 1 meter setiap jam. d. Pengukuran debit sungai Debit sungai adalah volume aliran yang mengalir pada suatu penampang basah persatuan waktu (m 3 /det). Debit sungai terutama di sekitar PT. Badak NGL merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap pola sebaran suhu akibat adanya buangan limbah air pendingin dari perusahaan ini. Penentuan besar debit dari suatu penampang sungai sebagai data input model dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan persamaan berikut : Q = A.V (3.2) Keterangan : Q = debit (m 3 /det) V = Kecepatan aliran rata-rata (m/det) A = luas penampang basah (m 2 ) (Soewarno 1991) Pengukururan debit sungai dilakukan pada lima muara sungai, yakni Sungai Sekambing (s1), Sungai Muara Sekambing (s2), Sungai Baltim (s3), Sungai Nyerakat (s4) dan Sungai Selangan (s5) (Gambar 14). Pengukuran suhu dan debit sungai dilakukan dua kali yakni pada Tanggal 12 Mei 2008 dan 19 Oktober Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui suhu dan debit sungai ratarata untuk musim kemarau dan musim hujan.

65 Analisis Sumberdaya Pesisir Untuk mengetahui dampak kenaikan suhu akibat adanya buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka inventarisasi terhadap biota laut yang ada di sekitar perusahaan perlu dilakukan. Diantara biota laut yang diamati dalam penelitian ini adalah terumbu karang dan fitoplankton. a. Survei dan Pengamatan Terumbu Karang Survei dan pengamatan terumbu karang dilakukan pada tanggal 19 dan 20 Oktober 2010 pada beberapa lokasi yang dapat mewakili zona terkena dampak dan tidak terkena dampak. Pengamatan zona terkena dampak dilakukan pada Stasiun I dan H, sementara zona yang tidak terkena dampak dilakukan di sekitar Pulau Melahing dan Pulau Beras Basa (Gambar 15). Data kondisi terumbu karang diamati secara visual melalui kegiatan penyelaman dan didokumentasi dengan menggunakan underwater camera. Kondisi terumbu karang diukur dengan mencari nilai tingkat penutupan karang hidup (percent coverage) berdasarkan metode bentuk pertumbuhan (Benthic Life-form Transect). Pengamatan dilakukan dengan menarik garis transek sepanjang 50 meter pada kedalaman 3 meter sesuai dengan kontur kedalaman. Pemilihan stasiun pengamatan (transek) didasarkan pada sampling pertimbangan, yaitu dipilih pada areal terumbu karang yang kondisinya paling bagus berdasarkan manta tow (English et al. 1994). Nilai persen tutupan karang hidup, sebagai penduga kondisi terumbu karang dapat dikategorikan sebagai berikut : Sangat bagus : persen tutupan karang hidup antara % Bagus : persen tutupan karang hidup antara % Sedang : persen tutupan karang hidup antara % Buruk : persen tutupan karang hidup antara % b. Lokasi dan Metode Sampling Fitoplankton Lokasi sampling fitoplankton ditentukan berdasarkan hasil simulasi model dispersi thermal yang dilakukan untuk verifikasi model. Hal ini dimaksudkan agar lokasi sampling yang dipilih dapat mewakili perairan baik yang terkena dampak maupun yang tidak terkena dampak kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL. Dalam hal ini dipilih 8 stasiun, dimana 2 stasiun berada dalam kolam pendingin, 3 di depan muara kanal pendingin, 1 di dekat Pulau Sieca dan 2

66 40 lainnya di laut. Lokasi pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 15. PT. Badak NGL P.Melahing A B H Selat Makassar P.B.Basa G Lintang Utara (derajat) Kel. Bontang Lestari C D D SM1 I SM2 E F PA1 J PA2 Kel. Bontang Lestari Bujur Timur (derajat) Keterangan : = Stasiun pengambilan sampel fitoplankton = Stasiun pengamatan terumbu karang dalam daerah model = Stasiun pengamatan terumbu karang pada suhu alami = Titik cuplik hasil model Gambar 15 Stasiun pengambilan sampel fitoplankton dan pengamatan terumbu karang Selain penentuan lokasi sampling, waktu pengambilan sampel juga dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian antara waktu cuplik hasil model dengan waktu pengambilan sampel. Untuk itu pengambilan sampel dari stasiun satu ke stasiun lainnya dilakukan dengan selang waktu 30 menit atau 1 jam, agar dapat disesuaikan dengan langkah waktu simulasi.

67 41 Metode Sampling Fitoplankton Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan sebanyak empat kali untuk empat kondisi pada masing-masing stasiun, yakni : Kondisi I (musim kemarau saat pasut purnama) dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2009; Kondisi II (musim kemarau saat pasut perbani) dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2009; Kondisi III (musim hujan saat purnama) dilakukan pada tanggal 20 Maret 2010; Kondisi IV (musim hujan saat perbani) dilakukan pada tanggal 28 Maret Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan dengan menggunakan jaring plankton ukuran mesh 20µm dan berdiameter 20 cm hingga diperoleh 100 ml dari 100 liter air, kemudian diawetkan dengan lugol 4%. Identifikasi fitoplankton dilakukan hingga tingkat genus menggunakan mikroskop binokuler dan bilik Sedwgwick Rafter counting cell. Acuan identifikasi fitoplankton dengan menggunakan buku Yamaji 1979 dan buku Jomes Kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan metode mikrotransect menurut Sachlan (1972) dan dihitung berdasarkan rumus : N = Σ {A/B x C/D x 1/E x ni} (3.3) Keterangan : N = Jumlah plankton tiap liter A = Luas cover glass B = Luas lapang pandang C = Volume sampel setelah disaring (ml) D = Volume sampel yang diamati (ml) E = Volume sampel yang diambil (liter) ni = Jumlah jenis i yang ditemukan 3.5 Desain dan Skenario Model Desain Simulasi Model Hidrodinamika Penelitian ini menggunakan model hidrodinamika dan transpor suhu 3- dimensi untuk melihat sebaran suhu baik horizontal maupun vertikal. Gaya pembangkit (driving forces) yang digunakan adalah elevasi muka laut, debit buangan air pendingin dan debit air sungai, dengan langkah waktu t = 0.5 detik, dibagi dalam 4 lapisan (layer) arah vertikal, 118 grid (barat-timur), 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m dengan sistem kisi Arakawa C pada kisi horizontal untuk meningkatkan stabilitas. Nilai awal : u=v=ζ=0 (diasumsikan pada saat mulai simulasi perairan berada dalam keadaan tenang), T 0 (T alami ) = 28 o C dan S 0 = 32. Perlakuan di syarat batas : batas terbuka, kecepatan arus pada

68 42 sel terluar sama dengan kecepatan pada sel sebelah dalamnya (gradien kecepatan arus dianggap sangat kecil sehingga dapat diabaikan). Pada batas tertutup, digunakan kondisi batas semi-slip, yakni kecepatan arus dalam arah tegak lurus pantai sama dengan nol, sedangkan kecepatan arus tangensialnya tidak harus nol. Adapun skenario model yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Simulasi dengan inputan data pasut dan angin konstan. Dilakukan selama 30 hari dengan menggunakan input pasut yang diperoleh dari ramalan pasut ORITIDE yang waktunya disesuaikan dengan data hasil pengukuran. Selanjutnya dalam model diskenariokan pencuplikan hasil simulasi untuk : - verifikasi elevasi muka laut - verifikasi suhu dan salinitas permukaan - verifikasi suhu berdasarkan kedalaman (struktur suhu arah vertikal) 2. Simulasi selama 30 hari dilakukan dengan input pasut ORITIDE bulan Agustus 2009, debit buangan air pendingin dan limpasan air sungai dengan pendekatan debit air sungai pada musim kemarau. Dalam simulasi model dilakukan beberapa pencuplikan hasil simulasi diantaranya : - Hasil simulasi model dicuplik untuk kondisi pasut purnama dan pasut perbani pada saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan pola sebaran suhu, pola arus dan pola sebaran salinitas permukaan pada musim kemarau untuk masing-masing kondisi tersebut. Selain itu output tersebut juga untuk mengetahui struktur vertikal suhu dan salinitas pada lokasi yang ditemukan adanya terumbu karang. - Hasil simulasi dicuplik berdasarkan waktu dan stasiun pengambilan sampel fitoplankton. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui struktur vertikal suhu dan salinitas di stasiun pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau serta pola arus pada saat bersamaan. 3. Skenario dibuat sama dengan skenario kedua dengan pendekatan debit air sungai pada musim hujan dan input pasut ORITIDE bulan Maret Demikian pula hasil simulasi dicuplik untuk kondisi pasut purnama dan pasut perbani pada saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan

69 43 surut maksimum. Selanjutnya pencuplikan hasil simulasi dilakukan dengan prinsip yang sama dengan skenario Simulasi dengan skenario perubahan volume input debit dan suhu buangan air pendingin. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh volume dan suhu buangan air pedingin terhadap luas wilayah yang terkena dampak kenaikan suhu Elevasi Pasang Surut di Batas Terbuka Model Data elevasi muka laut untuk syarat batas terbuka model merupakan data yang diperoleh dari ramalan pasut ORITIDE. Adapun pemberian nilai awal (initial value) untuk elevasi muka laut diberikan pada syarat batas terbuka model yang diperoleh pada titik koordinat SI (Gambar 14). 3.6 Verifikasi Hasil Simulasi Untuk mengetahui apakah suatu model dapat dijadikan sebagai representasi realitas atau tidak, maka model tersebut perlu diuji keabsahannya melalui verifikasi hasil model dengan kondisi faktual objektif di lapangan. Tingkat kesesuaian antara hasil simulasi dengan hasil pengukuran ditentukan berdasarkan uji statistik berikut : a. Uji Korelasi Uji statistik ini harus dilakukan untuk memenuhi persyarakat model matematis: sesama peubah bebas tidak boleh saling berkorelasi, sedangkan antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas harus ada korelasi yang kuat (baik positif maupun negatif). Persamaan 3.2 merupakan persamaan uji korelasi yang mempunyai nilai r (-1 r +1). Nilai r yang mendekati -1 mempunyai arti bahwa kedua peubah tersebut saling berkorelasi negatif (peningkatan nilai salah satu peubah akan menyebabkan penurunan nilai peubah lainnya). Sebaliknya, jika nilai r yang mendekati +1 mempunyai arti bahwa kedua peubah tersebut saling berkorelasi positif (peningkatan nilai salah satu peubah akan menyebabkan peningkatan nilai

70 44 peubah lainnya). Jika nilai r mendekati 0, tidak terdapat korelasi antara kedua peubah tersebut. b. Mean Relative Error (MRE) Keterangan : RE = Relative Error (%) MRE = Mean Relative Error C = data hasil simulasi X = data lapangan n = jumlah data Dalam penelitian ini verifikasi hasil model dilakukan terhadap elevasi pasang surut, suhu permukaan dan suhu vertikal serta verifikasi pola arus permukaan yang diperoleh dari hasil pengukuran. 1) Verifikasi elevasi muka laut Elevasi muka laut hasil simulasi diverifikasi dengan data elevasi pasang surut hasil pengukuran di lapangan, dimana elevasi muka laut hasil simulasi dicuplik pada waktu dan titik yang sama dengan waktu dan titik pengukuran di lapangan. Verifikasi dilakukan dengan melakukan uji korelasi dan menghitung nilai Mean Relative Error (MRE) dari keduanya. 2) Verifikasi suhu Dalam penelitian ini verifikasi hasil simulasi sebaran suhu dilakukan untuk arah horizontal dan arah vertikal. dimana suhu hasil simulasi dicuplik pada waktu dan titik yang sama dengan waktu dan titik pengukuran di lapangan. Adapun data untuk verifikasi arah horizontal dilakukan pada stasiun 1 sampai stasiun 15 dan untuk arah vertikal dilakukan pada stasiun 8 (Gambar 13). Verifikasi dilakukan dengan melakukan uji korelasi dan menghitung nilai Mean Relative Error (MRE) dari keduanya. 3) Verifikasi arus Untuk mengetahui bahwa pola arus hasil model dapat mewakili pola arus empirik wilayah model, maka pola arus hasil model diverifikasi dengan pola arus hasil pengamatan. Dalam hal ini digunakan data yang diperoleh dari

71 45 Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang dan dari hasil pemantauan lingkungan hidup PT. Badak NGL. 3.7 Data Simulasi Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode survei lapang (visual recall). Data input yang digunakan dalam simulasi model hidrodinamika dan transpor suhu adalah data batimetri daerah model, data elevasi muka laut di batas terbuka, data debit buangan air pendingin (cooling water) dan data debit air sungai yang memasuki Perairan Bontang. 1) Batimetri Data batimetri (peta kedalaman) perairan yang digunakan untuk model diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang, data DISHIDROS dan data pengukuran PT. Badak NGL. Data ini selanjutnya diolah dengan menggunakan software Transform versi 3.3 dan software PFE (Programmer s File Editor) 32-bit edisi 0.07 untuk memperoleh data batimetri sesuai dengan batas daerah model yang ditentukan (Gambar 11). 2) Data elevasi muka laut di batas terbuka model Data elevasi muka laut yang digunakan sebagai input di syarat batas terbuka model diperoleh dari hasil running program ORITIDE dengan memasukkan titik koordinat yang dikehendaki. 3) Data debit air buangan (cooling water) Data besarnya debit buangan air pendingin setiap saat yang memasuki wilayah perairan Bontang diperoleh dari PT. Badak NGL. Debit air buangan PT. Badak NGL adalah sebagai berikut (Pertamina 2003) : Train A-F sebesar m 3 /jam Train G sebesar m 3 /jam Train H sebesar m 3 /jam Total debit dalam detik = m 3 /detik Data ini selanjutnya digunakan sebagai input di titik outfall untuk simulasi model (Gambar 11), dimana untuk outfall 1 input debit sebesar 40 m 3 /det dan pada outfall 2 sebesar 20 m 3 /det.

72 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengaruh kenaikan suhu perairan, pasang surut dan musim terhadap fitoplankton. Untuk mengetahui apakah musim dan pola pasang surut berpengaruh terhadap fitoplankton maka dilakukan uji statistik menggunakan ANOVA dua arah (two-way ANOVA) dengan hipotesa awal (H 0 ) adalah tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton untuk empat kondisi pengambilan sampel fitoplankton pada tingkat kesalahan 5% atau pada tingkat kepercayaan 95%. Kondisi pasut yang dianalisis adalah kondisi pada saat pasut purnama dan pasut perbani, masingmasing untuk musim hujan dan musim kemarau. Dengan demikian ada empat kondisi yang dianalisis, yakni : Kondisi I, musim kemarau pada saat pasut purnama, Kondisi II, musim kemarau saat pasut perbani, Kondisi III, musim hujan saat pasut purnama dan Kondisi IV, musim hujan saat perbani. Sementara untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah (one-way ANOVA) dengan hipotesa awal (H o ) adalah tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton di stasiun yang mengalami kenaikan suhu dengan stasiun kontrol pada tingkat kesalahan 5% atau pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis dengan menggunakan ANOVA telah banyak digunakan diantaranya dalam Saravanan et al untuk membedakan populasi bakteri pada beberapa lokasi dengan suhu yang berbeda di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir. Poernima et al dan Poernima et al juga menggunakan ANOVA untuk menentukan perbedaan respon produktifitas fitoplankton terhadap suhu. 3.9 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang Dalam penelitian ini analisis pengaruh suhu terhadap terumbu karang dilakukan dengan mencuplik suhu hasil model pada titik dimana terumbu karang ditemukan (Gambar 15). Suhu hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi, yakni : Kondisi I, musim kemarau pada saat pasut purnama, Kondisi II, musim kemarau saat pasut perbani, Kondisi III, musim hujan saat pasut purnama dan Kondisi IV, musim hujan saat perbani. Pengaruh kenaikan suhu akibat buangan

73 47 air pendingin PT. Badak NGL terhadap terumbu karang dilakukan dengan menganalisis kondisi terumbu karang yang diperoleh dari hasil pengamatan berdasarkan karakteristik suhu yang diperoleh dari hasil simulasi. Selain itu kondisi terumbu karang yang mengalami kenaikan suhu dibandingkan dengan kondisi terumbu karang yang ditemukan pada kondisi suhu alami perairan Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan Dalam penelitian ini digunakan beberapa kriteria suhu perairan untuk menentukan kondisi perairan, kriteria tersebut adalah : 1. Penentuan kondisi perairan berdasarkan pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang menetapkan diperbolehkannya terjadi perubahan suhu sampai dengan <2 o C dari suhu alami, baik untuk perairan pelabuhan, wisata bahari maupun untuk biota laut. 2. Penentuan kondisi perairan berdasarkan kenaikan suhu perairan dan hasil analisis dampak kenaikan suhu akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang.

74 48

75 49 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian Kondisi Pasang Surut Hasil pengamatan pasang surut di Perairan Bontang yang dilakukan selama 29 hari (29 piantan) sejak 13 September Oktober 2008 di Pelabuhan Sekangat dengan pencatatan setiap jam dapat dilihat pada Lampiran 1, sementara pola sinusoidal disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim. Berdasarkan analisis data hasil pengamatan diketahui bahwa perbedaan kedudukan air tinggi dengan air rendah atau tunggang air (range of tide) mencapai 2.37 m, dimana air tinggi (high water) mencapai puncaknya pada kedudukan 1.32 m dari muka air rata-rata (mean sea level) pada saat bulan purnama sementara kedudukan terendah (low water) berada di titik 1.07 m dari mean sea level juga tercatat pada saat bulan purnama. Penelitian ini menggunakan Metode Admiralty dalam menentuan muka laut rata-rata pasang surut di wilayah penelitian, dimana permukaan air laut rata-rata diperoleh dengan menghitung komponen harmonik pasut. Adapun hasil perhitungan komponen harmonik pasut dengan menggunakan Metode Admiralty disajikan dalam Tabel 7 berikut.

76 50 Tabel 7 Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Kota Bontang, 13 September Oktober 2008 So M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 A cm G Sumber : Hasil analisis (2008) Keterangan : A : Amplitudo G : Beda fase M2 : Komponen utama bulan (pasut ganda) P1 : Komponen utama bulan harian S2 : Komponen utama matahari (pasut ganda) K2 : Komponen luni bulan ganda N2 : Komponen eliptik besar bulan (pasut ganda) K1 : Komponen luni bulan harian M4 : Komponen utama perempat harian MS4 : Komponen perairan dangkal bulan-matahari perempat harian O1 : Komponen utama matahari harian Tabel di atas menunjukkan bahwa komponen harmonik pasut dominan adalah M2 (principal lunar) (Pond and Pickard, 1981). Adapun klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, sebagaimana diberikan pada persamaan (3.1). Dengan memasukkan nilai amplitudo komponen pasut kedalam persamaan (3.1), maka diperoleh nilai F = Nilai ini menunjukkan bahwa tipe pasut di perairan Bontang adalah tipe pasang campuran (ganda dominan) dimana pasang surut dalam waktu 24 jam terjadi dua kali air tinggi dan dua kali air rendah (semi diurnal tide). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wirtky Hasil Pengukuran Suhu Suhu Permukaan Hasil pengukuran suhu permukaan pada beberapa stasiun pengamatan menunjukkan adanya kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan pola sebaran yang berbeda pada saat air pasang dan saat air surut baik pada pasut purnama maupun pasut perbani. Dalam hal ini sebagian stasiun menunjukkan suhu yang lebih tinggi pada saat purnama dibanding saat perbani,

77 51 sementara pada beberapa stasiun lainnya menunjukkan sebaliknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kondisi pasang surut sangat menentukan pola sebaran suhu di Perairan Bontang akibat adanya buangan air pendingin dari perusahaan tersebut. Suhu yang lebih tinggi pada saat air pasang dibanding saat air surut ditemukan di Pelabuhan Baltim (Stasiun 3), Sekambing Bulu (Stasiun 5), Sekambing Muara 1 (Stasiun 10) dan Sekambing Muara 2 (Stasiun 11). Tingginya suhu pada saat air pasang dibanding saat air surut di Stasiun 3 dan 5 disebabkan oleh adanya gerakan massa air dari laut ke dalam kolam pendingin sehingga massa air panas yang keluar dari outfall terdorong ke stasiun tersebut. Adapun kenaikan suhu pada Stasiun 10 dan 11 disebabkan oleh adanya dorongan massa air yang keluar dari muara kanal pendingin ke arah stasiun tersebut akibat air pasang. Stasiun lainnya mengalami peningkatan suhu yang lebih tinggi pada saat air surut disebabkan aliran massa air pendingin yang keluar dari outfall bergerak ke stasiun-stasiun tersebut mengikuti air yang sedang surut. Dalam hal ini luas perairan yang mengalami kenaikan suhu yang lebih tinggi terjadi pada saat air surut. Hasil pengukuran suhu permukaan dan hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran Suhu Arah Vertikal Hasil pengukuran suhu arah vertikal di Stasiun 8 menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi di lokasi ini, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi daripada suhu di lapisan bawahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. 2001, yang didasari oleh teori bahwa air dengan densitas lebih rendah berada di atas massa air yang berdensitas lebih tinggi. Suhu pada setiap lapisan juga senantiasa berubah menurut kondisi pasang surut dengan fenomena suhu lebih tinggi pada saat air surut dan lebih rendah pada saat air pasang. Suhu arah vertikal hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran Kondisi Sungai di Wilayah Penelitian Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kondisi kelima sungai yang bermuara ke daerah model memiliki karakteristik yang hampir sama dalam hal debit dan suhu air baik untuk musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini disebabkan selain

78 52 karena sungai-sungai tersebut memiliki luas penampang yang kecil, juga karena kondisi hulu dari sungai-sungai tersebut relatif sama. Tabel 8 di bawah menunjukkan suhu dan debit sungai rata-rata untuk musim kemarau dan musim hujan. Tabel 8 Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan musim kemarau St. s1 s2 s3 s4 s5 Muara Sungai Baltim Muara Sekambing Sekangat Nyerakat Selangan Sumber : Hasil pengamatan (2008) Musim Hujan Musim Kemarau Suhu Debit Suhu Debit rata-rata ( o C) rata-rata (m 3 /det) rata-rata ( o C) rata-rata (m 3 /det) Verifikasi Model Verifikasi Elevasi Pasang Surut Hasil verifikasi untuk elevasi pasang surut menunjukkan bahwa elevasi dan fasa hasil simulasi secara umum telah mempunyai kesesuaian yang cukup baik dengan elevasi dan fasa dari data hasil pengukuran di lapangan, dimana antara hasil simulasi dengan data lapangan menunjukkan elevasi dan fasa dengan besaran dan pola yang relatif sama. Amplitudo hasil simulasi jika dibandingkan dengan amplitudo hasil pengukuran menunjukkan selisih yang cukup kecil dengan rata-rata 0.11 m, nilai korelasi 0.97 dan Kesalahan Relatif Rata-rata (Mean Relative Error/MRE) 1.32% dengan persamaan regresi y = 0.927x Perbedaan antara hasil simulasi dan hasil observasi kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan data batimetri, tidak dimasukkannya angin sebagai gaya pembangkit (driving force) dalam model, atau karena keterbatasan model yang digunakan. Hasil verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan disajikan dalam Gambar 17 di bawah. Dengan demikian model ini dianggap cukup representatif untuk menggambarkan kondisi pasang surut di wilayah model.

79 53 Gambar 17 Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan Verifikasi Suhu Secara umum pola sebaran dan besaran suhu hasil pengukuran di lapangan baik arah horizontal maupun arah vertikal menunjukkan kedekatan yang baik dengan pola sebaran dan besaran suhu hasil simulasi. Dengan demikian model hidrodinamika dan transpor suhu POM 3-Dimensi dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suhu di wilayah penelitian. Hasil verifikasi suhu baik suhu permukaan maupun struktur vertikal suhu diuraikan pada bagian berikut Verifikasi Suhu Permukaan Verifikasi suhu permukaan hasil model dengan suhu permukaan hasil pengukuran pada saat purnama dan pada saat perbani dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19 pada beberapa stasiun pengamatan. Hasil verifikasi menunjukkan kedekatan yang baik, dimana nilai korelasi untuk kondisi purnama sebesar 0.90, MRE 5.17 % dengan persamaan regresi y = 0.851x Sementara pada saat perbani nilai korelasi yang diperoleh adalah 0.87, MRE 7.12% dengan persamaan regresi y = 1.391x Selisih suhu terbesar dengan hasil simulasi lebih tinggi dibanding hasil pengukuran ditemukan di Stasiun 5 (Sekambing Bulu) yakni 4.3 o C pada saat purnama dan 4.8 o C pada saat perbani. Selisih suhu yang cukup besar ini disebabkan oleh adanya aliran sungai yang bermuara ke Sekambing Bulu namun tidak

80 54 dimasukkan sebagai input dalam model. Sungai tersebut meskipun tidak sebesar dengan sungai yang lain namun pada waktu tertentu cukup berpengaruh terhadap suhu perairan di Sekambing Bulu akibat limpasan air sungai yang relatif lebih dingin. Suhu permukaan hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 4. stasiun waktu Gambar 18 Verifikasi suhu permukaan antara hasil simulasi dengan hasil observasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober stasiun waktu Gambar 19 Verifikasi suhu permukaan antara hasil simulasi dengan hasil observasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober Selain faktor tersebut, secara umum perbedaan antara hasil simulasi dan hasil pengukuran disebabkan oleh faktor teknis yakni sulitnya menyamakan antara waktu cuplik model dengan pangambilan data lapangan.

81 Verifikasi Suhu Arah Vertikal Verifikasi suhu dalam arah vertikal menunjukkan adanya kesesuaian yang baik antara suhu hasil simulasi dan suhu hasil observasi baik pada lapisan permukaan maupun pada lapisan bawah, dimana untuk layer-1 korelasi 0.83, MRE 1.56%, layer-2 korelasi 0.79, MRE 2.08%, layer-3 korelasi 0.73, MRE 2.36%, dan layer-4 korelasi 0.71, MRE 2.94%. Persamaan regresi untuk layer-1, 2, 3 dan 4 masingmasing adalah y = 1,007x 0,613, y = 0,702x + 10,68, y = 0.877x dan y = 0.666x Perbedaan nilai korelasi untuk tiap kedalaman kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan data input batimetri atau input data debit buangan air pendingin. Hasil verifikasi untuk masing-masing layer diberikan dalam Gambar 20, 21, 22 dan 23 di bawah ini. Adapun suhu arah vertikal hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 5. jam tanggal Gambar 20 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober jam tanggal Gambar 21 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober 2008.

82 56 jam tanggal Gambar 22 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober jam tanggal Gambar 23 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober Verifikasi Pola Arus Pola arus permukaan hasil model menunjukkan kesesuaian yang baik dengan hasil pengamatan, dimana pada saat surut menuju pasang, pola arus permukaan di Teluk Bontang bergerak dari timur ke arah PT. Badak NGL sementara pada kondisi pasang menuju surut arus bergerak menjauhi PT. Badak NGL menuju Selat Makassar (DKP Bontang 2007). Kondisi tersebut sesuai dengan pola arus hasil model yang dicuplik untuk kondisi air menuju pasang dan saat air menuju surut. Selain itu pola aliran air panas pada saat air surut hasil pengamatan PT. Badak NGL 2008 (Gambar 24a) juga menunjukkan pola yang sama dengan pola arus hasil model yang dicuplik pada saat air surut (Gambar 24b).

83 57 (a) (b) DARATAN P. SIECA Sumber : PT. Badak NGL 2008 (c) (d) DARATAN Sumber : PT. Badak NGL 2008 P. SIECA Keterangan : = aliran air panas dominan saat surut = arah arus saat pasang = aliran air panas dengan volume lebih kecil = aliran air laut dengan volume kecil Gambar 24 Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : (a) hasil pengamatan dengan (b) hasil model, untuk kondisi saat air surut dan antara (c) hasil pengamatan dengan (d) hasil model, untuk kondisi saat air pasang.

84 Profil Suhu Hasil Model Secara umum hasil model menunjukkan pola sebaran suhu akibat buangan air pendingin PT Badak NGL relatif sama untuk skenario musim kemarau (Agustus 2009) dengan skenario musim hujan (Maret 2010). Perbedaan pola sebaran suhu terlihat untuk empat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum) pada saat pasut purnama. Demikian pula untuk empat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum) pada saat pasut perbani menunjukkan pola sebaran suhu yang berbeda untuk keempat kondisi cuplik tersebut, meskipun tidak sebesar pada saat pasut purnama. Penjelasan tentang hal ini diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Kondisi Pasut Perbani Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi sebaran suhu dengan menggunakan model POM 3-Dimensi menunjukkan adanya perbedaan suhu permukaan dengan suhu di lapisan bawah, dimana suhu pada lapisan permukaan relatif lebih besar dan pada lapisan bawah relatif lebih kecil. Hasil simulasi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kolluru et al Besarnya perbedaan suhu secara vertikal ini bervariasi menurut jarak dari sumber buangan air pendingin. Gambar 25 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44 o C, untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu vertikal yang kecil yakni o C, dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal. Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.5 o C dimana suhu permukaan adalah o C dan pada lapisan bawah o C. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11, 12 dan 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara o C, dengan suhu permukaan bervariasi antara o C dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C. Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu

85 59 permukaan bervariasi antara o C dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C. Outfall 1 Muara Kanal P. Sieca 0-2 kedalaman (m) Dasar Perairan Dasar Perairan titik cuplik ( o C ) Keterangan : Titik Cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = m TC 6 = m TC 7 = m TC 8 = m TC 9 = m TC 10= m TC 11 = m TC 12 = m TC 13 = m TC 14 = m TC 15= m TC 16= m TC 17= m TC 18= m TC 19= m TC 20= m Gambar 25 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani. Dengan demikian struktur vertikal suhu dari buangan air pendingin ke laut lepas dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi, dimana lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas, dengan daerah permukaan relatif lebih luas. Lapisan homogen yang terjadi pada kolam pendingin sampai di muara kanal pendingin terjadi karena perairan ini cukup dangkal sehingga dengan proses difusi dan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh arus pasang surut menyebabkan air dapat bercampur secara homogen. Sementara lapisan homogen yang terbentuk pada bagian

86 60 tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca disebabkan massa air panas dari buangan air pendingin telah mengalami proses pendinginan baik oleh proses difusi maupun oleh besarnya gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh pasut begitu keluar dari muara kanal pendingin, sehingga suhu ketika sampai di lokasi tersebut telah mendekati suhu alami perairan dan cenderung bersifat homogen. Adapun struktur vetikal suhu dari muara kanal pendingin sampai bagian tengah perairan menunjukkan terjadinya lapisan terstratifikasi disebabkan tiga faktor utama, yakni : pertama, dalam kaitan dengan suhu, air memiliki sifat dimana massa air dengan suhu lebih tinggi akan cenderung berada di lapisan bagian atas massa air yang bersuhu lebih rendah. Kedua, proses percampuran antara massa air panas dan air dingin oleh gaya turbulensi tidak cukup kuat, sementara proses difusi tidak efektif untuk kondisi yang dinamis dimana pergantian massa air terjadi cukup cepat. Ketiga, adanya perubahan kedalaman dari muara kanal pendingin ke laut, menyebabkan massa air panas dari muara kanal pendingin ketika masuk ke laut hanya berada pada lapisan atas tidak sampai ke dasar perairan Pola Sebaran Suhu Permukaan Secara umum pola sebaran suhu untuk pasut perbani menunjukkan pola dan besaran yang relatif sama untuk keempat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum). Hal ini disebabkan oleh perubahan elevasi muka laut yang cenderung kecil pada pasut perbani untuk keempat kondisi tersebut. Selisih elevasi muka laut untuk kondisi pasang maksimum dan surut maksimum terbesar yang tercatat dari hasil pengamatan adalah 0.72 m. Kondisi ini menyebabkan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh pasang surut relatif sama sehingga pola sebaran suhu relatif sama. Penjelasan tentang hal ini diuraikan berdasarkan hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik sebagai berikut Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu pada saat air menuju pasang dapat dilihat pada Gambar 26, dimana suhu dari outfall 1 buangan air pendingin hingga muara outfall 1 adalah

87 61 sebesar 44 o C. Hal ini dapat diketahui dari pola garis isoterm yang menunjukkan suhu yang sama sepanjang garis tersebut. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam pendingin) suhu bervariasi antara o C, dimana suhu 38 o C ditemukan di daerah aliran Sungai Sekambing, suhu 39 o C ditemukan di muara Sungai Sekambing, dan radius 30 m dari muara sungai suhu menjadi 40 o C. Suhu di muara Sungai Sekambing relatif lebih dingin karena adanya limpasan air sungai dengan massa air yang lebih dingin. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 26 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang. Suhu perairan dalam kanal hingga ujung kanal pendingin bervariasi antara o C. Selanjutnya setelah keluar ke muara kanal pendingin suhu mengalami penurunan secara gradual hingga mencapai suhu alami perairan. Berdasarkan garis isoterm pada bagian tengah perairan diketahui bahwa buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah selatan daerah

88 62 model. Hal ini disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang Kondisi Pasang Maksimum Pola sebaran suhu pada saat air pasang maksimum dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola sebaran suhu pada saar air pasang maksimum sama dengan pola pada saat air menuju pasang, dimana garis isoterm menunjukkan pola yang sama. Meskipun demikian dari hasil simulasi diketahui bahwa untuk titik cuplik yang sama di sekitar muara Sungai Sekambing, suhu pada saat air menuju pasang relatif lebih besar dibanding pada saat air pasang maksimum. Hal ini disebabkan pada kondisi air pasang maksimum massa air dari Sungai Sekambing yang lebih dingin lebih sedikit yang sampai ke muara sungai dibanding pada saat air menuju pasang. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 27 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.

89 63 Pola isotherm yang sama antara kondisi air menuju pasang dengan pasang maksimum juga ditemukan di muara kanal pendingin, meskipun menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Adapun hasil simulasi untuk titik cuplik yang sama di muara kanal pendingin menunjukkan nilai suhu yang tinggi pada saat air pasang maksimum dibanding dengan saat air menuju pasang. Hal ini disebabkan massa air yang lebih dingin dari laut yang sampai ke muara kanal pendingin pada saat pasang maksimum lebih besar dibanding pada saat air menuju pasang. Suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, dimana suhu 41 o C ditemukan di muara kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian terdispersi ke arah utara, selatan dan timur perairan. Suhu dari di luar kanal pendingin pada kondisi ini bervariasi antara 41 o C sampai suhu alami perairan. Pada kondisi pasang maksimum panas lebih terdispersi ke bagian selatan perairan mengikuti pola arus permukaan. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa garis isoterm pada bagian tengah perairan untuk kondisi pasang maksimum memiliki pola yang sama dengan kondisi menuju pasang, dimana buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah selatan daerah model. Hal ini juga disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang Kondisi Menuju Surut Pola sebaran suhu pada kondisi pasut menuju surut dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola sebaran suhu pada saar air menuju surut hampir sama dengan pola pada kondisi air menuju pasang. Meskipun demikian dari hasil simulasi diketahui bahwa untuk titik cuplik yang sama di sekitar muara Sungai Sekambing, suhu pada saat air menuju surut relatif lebih kecil dibanding pada saat air pasang maksimum. Hal ini disebabkan pada kondisi air menuju surut massa air dari Sungai Sekambing lebih dominan di daerah ini, sementara massa air dari kolam pendingin cenderung tidak sebesar pada saat pasang maksimum. Suhu dari outfall 1 buangan air pendingin hingga muara outfall 1 bersifat homogen dengan suhu sebesar 44 o C. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam

90 64 pendingin) suhu bervariasi antara o C, dimana suhu 39 o C ditemukan di daerah aliran Sungai Sekambing, suhu 39 o C ditemukan di muara Sungai Sekambing, dan radius 30 m dari muara sungai suhu menjadi 40 o C. Suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, dimana suhu 41 o C ditemukan di muara kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian terdispersi ke arah utara, selatan dan timur perairan. Suhu di luar kanal pendingin pada kondisi ini bervariasi antara 41 o C sampai suhu alami perairan. Pada kondisi menuju surut, panas lebih terdispersi ke bagian selatan perairan mengikuti pola arus permukaan. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 28 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut. Garis isotherm pada bagian tengah perairan untuk kondisi menuju surut memiliki pola yang sama dengan kondisi pasang maksimum, dimana buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah

91 65 selatan daerah model. Hal ini juga disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang Kondisi surut maksimum Pola sebaran suhu pada kondisi surut maksimum menunjukkan pola yang sama dengan kondisi pasut menuju surut (Gambar 29), dimana suhu dari outfall 1 limbah air pendingin hingga muara outfall 1 bersifat homogen dengan suhu sebesar 44 o C. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam pendingin) suhu bervariasi antara o C, dimana suhu 39 o C ditemukan di daerah aliran Sungai Sekambing, suhu 39 o C ditemukan di muara Sungai Sekambing, dan radius 30 m dari muara sungai suhu menjadi 40 o C. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 29 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum. Suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, dimana suhu 41 o C ditemukan di muara kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa

92 66 panas kemudian terdispersi ke arah utara, selatan dan timur perairan. Suhu di luar kanal pendingin pada kondisi ini bervariasi antara 41 o C sampai suhu alami perairan. Pada kondisi surut maksimum, panas terdispersi dengan luasan lebih kecil di wilayah perairan dibanding dengan kondisi menuju surut. Hal ini dapat dilihat pada isoterm di belakang Pulau Sieca, dimana isoterm dengan suhu 30 C untuk kondisi pasut menuju surut menunjukkan cakupan yang lebih luas daripada kondisi surut maksimum Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Kondisi Pasut Purnama Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu dengan kondisi cuplik yang sama (surut menuju pasang), menunjukkan adanya kesamaan pola untuk kondisi perbani dan kondisi purnama namum mempunyai besaran yang berbeda. Perbedaan suhu dengan stasiun cuplik yang sama untuk kedua kondisi pasut ini bervariasi antara o C, dimana suhu pada kondisi pasut purnama relatif lebih besar untuk stasiun cuplik dari kolam pendingin sampai hulu kanal pendingin. Selanjutnya di laut lepas, sebaran suhu baik horizontal maupun vertikal untuk kondisi pasut perbani lebih besar dibanding kondisi pasut purnama untuk stasiun cuplik yang sama. Sama dengan kondisi perbani, besarnya perbedaan suhu secara vertikal bervariasi menurut jarak dari sumber limbah air pendingin. Gambar 30 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44 o C (=pasut perbani), untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu yang kecil yakni o C (=pasut perbani) dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal (=pasut perbani). Meskipun variasi suhu antara pasut perbani sama dengan pasut purnama, namun nilai suhu pada saat purnama lebih besar dibanding saat pasut perbani. Hal ini disebabkan karena hasil simulasi untuk pasut perbani dicuplik pada saat air pasang sedangkan untuk pasut purnama dicuplik pada saat air surut, sehingga massa air laut dari muara kanal lebih banyak yang masuk sampai ke titik cuplik ini pada pasut perbani dibandingkan pasut purnama. o

93 67 Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.4 o C (<pasut perbani) dimana suhu permukaan adalah 41.6 o C (>pasut perbani) dan pada lapisan bawah 41.2 o C (>pasut perbani). Variasi suhu lebih besar pada saat perbani menunjukkan adanya fenomena pasang surut yang berbeda antara waktu cuplik saat purnama dengan saat perbani. Sementara nilai suhu pada saat purnama lebih besar disebabkan karena hasil simulasi untuk pasut perbani dicuplik pada saat air pasang sedangkan untuk pasut purnama dicuplik pada saat air surut. Outfall 1 Muara Kanal P. Sieca dasar perairan Dasar Perairan dasar perairan Dasar Perairan ( o C ) Keterangan : titik cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = m TC 6 = m TC 7 = m TC 8 = m TC 9 = m TC 10= m TC 11 = m TC 12 = m TC 13 = m TC 14 = m TC 15= m TC 16= m TC 17= m TC 18= m TC 19= m TC 20= m Gambar 30 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11, 12 dan 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara o C (>pasut perbani),

94 68 dengan suhu permukaan bervariasi antara o C (<pasut perbani) dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C (<pasut perbani). Variasi suhu arah vertikal pada saat purnama lebih besar dibanding saat perbani pada titik cuplik ini juga disebabkan oleh perbedaan waktu cuplik kedua kondisi pasut tersebut. Sementara suhu permukaan pada saat purnama lebih kecil dibanding saat perbani disebabkan limpasan air dari laut ke titik cuplik ini pada saat purnama lebih besar. Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara o C dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C. Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika pola dispersi thermal di Perairan Bontang sangat ditentukan oleh pasut. Dengan demikian struktur vertikal suhu dari sumber buangan air pendingin ke laut lepas untuk waktu cuplik pasut purnama juga dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi. Lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan limbah air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas Pola Sebaran Suhu Permukaan Secara umum pola sebaran suhu untuk pasut purnama menunjukkan pola dan besaran yang relatif berbeda untuk keempat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum). Hal ini disebabkan oleh perubahan elevasi muka laut yang cenderung besar pada pasut purnama untuk keempat kondisi tersebut. Selisih elevasi muka laut untuk kondisi pasang maksimum dan surut maksimum terbesar yang tercatat dari hasil pengamatan adalah 2.37 m. Kondisi ini menyebabkan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh pasang surut relatif berbeda untuk keempat kondisi cuplik tersebut sehingga pola sebaran suhu juga relatif berbeda. Penjelasan tentang hal ini diuraikan berdasarkan hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik sebagai berikut Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu pada kondisi menuju pasang menunjukkan adanya perbedaan suhu dibeberapa lokasi dalam kolam pendingin (lihat Gambar 31). Dimana

95 69 suhu di muara Sungai Sekambing Baltim (Sekambing Baltim I) mencapai 39 o C, selanjutnya radius 30 meter dari muara sungai suhu berkisar antara o C dan suhu o C ditemukan dalam radius meter dari muara sungai. Adapun suhu di Sekambing Baltim II ( m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran o C dan selanjutnya kisaran suhu o C ditemukan di Sekambing Baltim III. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 31 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang. Suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju pasang berada dalam kisaran o C, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara o C. Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, dimana suhu 38 o C ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 41 o C ditemukan di hulu kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian lebih banyak terdispersi ke arah selatan menuju Selat Nyerakat.

96 70 Di depan muara kanal hingga radius 30 meter suhu tercatat mengalami penurunan menjadi 37 o C termasuk di sebagian Sekambing Muara I yang sebagian lagi menunjukkan suhu antara o C. Adapun Sekambing Muara II mempunyai kisaran suhu antara o C, dan dari Sekambing Muara II hingga bagian dalam Teluk Sekangat suhu terus mengalami penurunan yang bervariasi antara o C. Sementara itu di depan Pulau Sieca suhu bervariasi antara o C, dan di belakang Pulau ini suhu berada pada kondisi alami yakni berkisar antara o C Kondisi Pasang Maksimum Pola sebaran suhu pada kondisi pasang maksimum menunjukkan pola yang sama dengan kondisi menuju pasang terutama suhu dalam kolam pendingin, namun demikian suhu pada kondisi pasang maksimum menunjukkan nilai yang relatif lebih rendah pada stasiun yang sama (Gambar 32). Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 32 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.

97 71 Pada kondisi pasang maksimum, suhu di muara Sungai Sekambing mencapai 38 o C, selanjutnya radius 30 meter dari muara sungai suhu berkisar antara o C dan suhu o C ditemukan dalam radius meter dari muara sungai. Adapun suhu di Sekambing Baltim II ( m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran o C dan selanjutnya kisaran suhu o C ditemukan di Sekambing Baltim III. Suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju pasang berada dalam kisaran o C, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara o C. Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, suhu 35 o C ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 41 o C ditemukan di hulu kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian lebih banyak terdispersi ke arah selatan menuju Selat Nyerakat. Di depan muara kanal hingga radius 30 meter suhu tercatat mengalami penurunan menjadi 34 o C termasuk di sebagian Sekambing Muara I yang sebagian lagi menunjukkan suhu antara o C. Adapun Sekambing Muara II mempunyai kisaran suhu antara o C, dan dari Sekambing Muara II hingga bagian dalam Teluk Sekangat suhu terus mengalami penurunan yang bervariasi antara o C Kondisi Menuju Surut Pada kondisi menuju surut massa buangan air pendingin lebih jauh terdorong dari outfal, yang ditandai oleh naiknya suhu di dalam kolam pendingin dan di muara kanal pendingin (Gambar 33). Hal ini diakibatkan oleh pergerakan massa air menuju laut lepas pada kondisi pasut menuju surut. Namun demikian suhu di hulu Sungai Sekambing justru menunjukkan adanya penurunan suhu mencapai 36 o C, hal ini disebabkan oleh limpasan air sungai dengan suhu lebih rendah lebih terdorong masuk ke kolam pendingin. Adapun suhu di Sekambing Baltim II ( m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran o C dan selanjutnya kisaran suhu o C ditemukan di Sekambing Baltim III. Sementara suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju surut berada dalam kisaran o C, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara o C.

98 72 Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, suhu 41 o C ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 42 o C ditemukan di hulu kanal pendingin. Lintang Utara (derajat) ( o C ) 30 Bujur Timur (derajat) Gambar 33 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian lebih banyak terdispersi ke arah timur menuju Pulau Sieca yang menyebabkan suhu di depan pulau ini bervariasi antara o C, sementara suhu di belakang pulau tercatat bervariasi antara o C. Adapun suhu di Sekambing Muara I bervariasi antara o C, Sekambing Muara II mempunyai kisaran suhu antara o C, dan dari Sekambing Muara II hingga bagian dalam Teluk Sekangat suhu terus mengalami penurunan yang bervariasi antara o C Kondisi Surut Maksimum Pada kondisi surut maksimum kolam pendingin mengalami kenaikan suhu, hal ini dapat dilihat dari perubahan isoterm dengan suhu 42 o C lebih melebar sampai

99 73 ke Sekambing Bulu, demikian pula isoterm dengan suhu 43 o C lebih meluas ke arah kanal pendingin. Gambar 34 di bawah menunjukkan bahwa pola suhu di wilayah Sekambing Baltim I, II dan III pada kondisi surut hampir sama dengan pola pada kondisi pasut sebelumnya, meskipun nilai suhu lebih tinggi pada kondisi surut maksimum untuk titik yang sama. Lintang Utara (derajat) ( o C ) 30 Bujur Timur (derajat) Gambar 34 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum. Sementara itu di Sekambing Muara I menunjukkan suhu bervariasi antara o C, Sekambing Muara II bervariasi antara o C, Teluk Sekangat bervariasi antara o C, bagian depan Pulau Sieca o C dan bagian belakang Pulau Sieca bervariasi antara suhu alami sampai suhu 30 o C.

100 Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Kondisi Pasut Perbani Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu pada musim hujan berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan model POM 3-Dimensi menunjukkan adanya perairan terstratifikasi dimana terjadi perbedaan suhu secara vertikal. Sama dengan pada musim kemarau, pada musim hujan juga ditemukan bahwa perbedaan suhu secara vertikal bervariasi menurut jarak dari sumber limbah air pendingin. Gambar 35 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 sampai 2 atau sekitar 210 meter dari outfall menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44 o C, untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu yang kecil yakni o C (> musim kemarau), dan titik cuplik 8 sampai 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal. Outfall 1 Muara Kanal P. Sieca Dasar perairan Dasar Perairan Dasar perairan Dasar Perairan ( o C ) Keterangan : titik cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = m TC 6 = m TC 7 = m TC 8 = m TC 9 = m TC 10= m TC 11 = m TC 12 = m TC 13 = m TC 14 = m TC 15= m TC 16= m TC 17= m TC 18= m TC 19= m TC 20= m Gambar 35 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani.

101 75 Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.41 o C (<musim kemarau) dimana suhu permukaan adalah o C (<musim kemarau) dan pada lapisan bawah o C (<musim kemarau). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya limpasan air sungai dengan debit yang berbeda, baik dari Sungai Baltim maupun dari Sungai Sekambing Muara, dimana debit sungai pada musim hujan lebih besar dari musim kemarau. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11 sampai 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara o C (>musim kemarau). Sementara untuk grid selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara o C (>musim kemarau) dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C (>musim kemarau). Dengan demikian struktur vertikal suhu dari sumber limbah air pendingin ke laut lepas dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi, dimana lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan limbah air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas Pola Sebaran Suhu Permukaan Secara umum pola sebaran suhu untuk pasut perbani menunjukkan pola dan besaran yang relatif sama untuk keempat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum). Hal ini disebabkan oleh perubahan elevasi yang relatif kecil pada pasut perbani untuk keempat kondisi tersebut. Meskipun demikian ditemukan adanya perbedaan nilai suhu pada stasiun yang sama pada lokasi tertentu antara musim kemarau dan musim hujan untuk kondisi pasut perbani, dimana suhu pada musim kemarau relatif lebih besar dibandingkan dengan pada musim hujan. Hal ini disebabkan pada skenario musim hujan debit sungai relatif besar dibandingkan dengan skenario musim kemarau.

102 Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu pada saat air menuju pasang dapat dilihat pada Gambar 36, dimana suhu dari outfall 1 buangan air pendingin hingga muara outfall 1 adalah sebesar 44 o C (=musim kemarau). Hal ini dapat diketahui dari pola garis isoterm yang menunjukkan suhu yang sama sepanjang garis tersebut. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam pendingin) suhu bervariasi antara o C sama dengan musim kemarau, meskipun pola isoterm dari keduanya menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini terutama terlihat pada pola isoterm dengan suhu 42 o C, dimana sebaran suhu pada musim kemarau dengan suhu 42 o C memiliki luasan yang lebih besar dibanding musim hujan. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya limpasan air yang lebih dingin dari Sungai Sekambing yang relatif lebih besar pada musim hujan dibanding pada musim kemarau. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 36 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang.

103 77 Suhu perairan dalam kanal hingga ujung kanal pendingin bervariasi antara o C (=musim kemarau). Selanjutnya setelah keluar ke muara kanal pendingin suhu mengalami penurunan secara gradual hingga mencapai suhu alami perairan. Berdasarkan garis isoterm pada bagian tengah perairan diketahui bahwa buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah selatan daerah model. Hal ini disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang Kondisi Pasang Maksimum Hasil model sebaran suhu menunjukkan adanya perbedaan sebaran suhu pada musim hujan dan musim kemarau baik dalam kolam pendingin, maupun setelah keluar dari muara kanal pendingin (Gambar 37). Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 37 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.

104 78 Perbedaan yang nyata terlihat pada isoterm di Sungai Sekambing, dimana suhu pada musim hujan di lokasi ini lebih rendah akibat adanya limpasan air sungai dengan debit yang lebih besar masuk ke kolam pendingin. Hal yang sama terlihat dibagian tengah kolam pendingin, pada musim hujan isoterm bernilai 42 o C tidak sampai ke Sekambing Bulu, yang berarti suhu pada musim ini relatif lebih kecil. Di luar kanal pendingin, pola sebaran suhu pada musim hujan menunjukkan pola yang relatif sama dengan pada musim kemarau, meskipun demikian nampak bahwa cakupan luasan dengan suhu lebih tinggi ditemukan lebih luas pada musim kemarau. Hal ini jelas terlihat pada isoterm di Teluk Nyerakat, depan dan belakang Pulau Sieca Kondisi Menuju Surut Pola sebaran suhu pada saat air menuju surut dapat dilihat pada Gambar 38. Pada kondisi ini massa buangan air pendingin lebih jauh terdorong dari outfall. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 38 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut.

105 79 Suhu di Sekambing Baltim II ( m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran o C dan selanjutnya kisaran suhu o C ditemukan di Sekambing Baltim III. Sementara suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju surut berada dalam kisaran o C, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara o C. Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara o C, suhu 41 o C ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 42 o C ditemukan di hulu kanal pendingin Kondisi Surut Maksimum Pola sebaran suhu pada saat air surut maksimu dapat dilihat pada Gambar 39. Pada kondisi ini massa buangan air pendingin lebih jauh terdorong dari outfall. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 39 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum. Besarnya debit air sungai yang memasuki perairan pada musim hujan dibanding musim kemarau mengakibatkan luasan sebaran suhu pada musim hujan

106 80 lebih kecil. Hal ini disebabkan air pendingin dengan suhu tinggi yang keluar dari outfall bercampur dengan air dingin dari sungai, sehingga suhu air pendingin tersebut menjadi turun dan luasan perairan yang terpapar juga menjadi lebih kecil dibanding musim kemarau Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Kondisi Pasut Purnama Struktur Vertikal Suhu Untuk mengetahui pengaruh musim terhadap pola dispersi thermal di Perairan Bontang, maka dilakukan perbandingan antara hasil simulasi pada musim kemarau dengan musim hujan untuk kondisi pasut yang sama, dalam hal ini pasut purnama. Sama dengan pada musim kemarau, besarnya perbedaan suhu secara vertikal pada musim hujan juga bervariasi menurut jarak dari sumber buangan air pendingin. Gambar 40 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44 o C (=musim kemarau). Adapun untuk titik cuplik 3 pada musim hujan menunjukkan lapisan homogen sementara pada musim kemarau tidak. Untuk titik cuplik 4 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu yang kecil yakni o C (<musim kemarau) dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal (=musim kemarau). Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.1 o C (<musim kemarau) dimana suhu permukaan adalah o C (<musim kemarau) dan pada lapisan bawah o C (>musim kemarau). Variasi suhu arah vertikal, suhu permukaan yang lebih kecil dan suhu pada lapisan bawah yang lebih besar pada musim hujan dibandingkan dengan pada musim kemarau di titik cuplik ini menunjukkan adanya pengaruh limpasan air sungai terhadap suhu Perairan Bontang meskipun sangat kecil. Pada titik cuplik 11, 12 dan 13, variasi suhu secara vertikal bervariasi antara o C (>musim kemarau), dengan suhu permukaan bervariasi antara o C (>musim kemarau) dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C (<musim kemarau). Variasi suhu arah vertikal pada musim hujan lebih besar dibanding pada musim kemarau pada titik cuplik ini menunjukkan limpasan air

107 81 sungai yang memasuki perairan Bontang bergerak ke dasar perairan, yang mengakibatkan suhu di lapisan bawah lebih rendah pada musim hujan. Outfall 1 Muara Kanal P. Sieca Dasar Dasar perairan Perairan Dasar perairan Dasar Perairan ( o C ) Keterangan : titik cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = m TC 6 = m TC 7 = m TC 8 = m TC 9 = m TC 10= m TC 11 = m TC 12 = m TC 13 = m TC 14 = m TC 15= m TC 16= m TC 17= m TC 18= m TC 19= m TC 20= m Gambar 40 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama. Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara o C dan suhu lapisan bawah bervariasi antara o C. Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika pola dispersi thermal di Perairan Bontang sangat ditentukan oleh pasut Pola Sebaran Suhu Permukaan Berbeda dengan pola sebaran suhu permukaan pada saat pasut perbani, pada saat pasut purnama ditemukan adanya perbedaan yang ekstrim untuk empat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum)

108 82 terurama perbedaan antara saat air pasang dengan saat air surut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tunggang pasut yang cukup besar untuk ke-4 kondisi cuplik tersebut pada saat pasut purnama. Perbedaan ini menyebabkan proses turbulensi dan pergeseran massa air relatif sangat dinamis Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu permukaan pada saat purnama untuk kondisi menuju pasang menunjukkan adanya limpasan air dari laut lepas ke wilayah pantai, akibatnya massa air panas dari outfall terdorong kembali ke arah kolam pendingin, hal ini dapat dilihat dengan rendahnya suhu di muara kanal pendingin dari suhu normal yakni 38 o C (Gambar 41). Sementara di bagian selatan daerah model nampak massa air panas lebih terdorong ke arah Teluk Nyerakat, sebaliknya di bagian utara massa air panas cenderung terdorong ke arah muara kanal pendingin. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 41 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang.

109 Kondisi Pasang Maksimum Rendahnya suhu di muara kanal pendingin (35 o C) pada kondisi pasang maksimum menunjukkan massa air panas dari outfall semakin terdorong kembali ke arah kolam pendingin oleh massa air dari laut lepas. Demikian pula massa air panas di bagian utara daerah model terdorong ke muara kanal pendingin terlihat dari pola isoterm dengan suhu tinggi bergerak ke arah utara (Gambar 42). Sementara massa air panas di dalam kolam pendingin semakin terdorong ke arah muara Sungai Sekambing yang menyebabkan suhu di daerah ini meningkat dari suhu sebelumnya. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan pola isoterm antara Gambar 40 dengan Gambar 41, dimana Gambar 41 menunjukkan pola isoterm dengan nilai 42 o C cenderung lebih terdorong kearah outfall dan isoterm 41 o C lebih terdorong ke muara Sungai Sekambing dibandingkan dengan Gambar 40. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 42 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.

110 Kondisi Menuju Surut Pola sebaran suhu permukaan pada saat menuju surut ditunjukkan dalam Gambar 43 berikut. Pada kondisi ini terlihat bahwa massa buangan air pendingin lebih terdorong ke muara kanal dan laut lepas. Hal ini diketahui dengan meningkatnya suhu di muara kanal pendingin (41 o C) dan bergesernya isoterm ke arah laut lepas. Adapun pola sebaran suhu di bagian selatan model menunjukkan pergeseran ke arah utara model. Lintang Utara (derajat) ( o C ) Bujur Timur (derajat) Gambar 43 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut. Pada saat air menuju surut pola sebaran suhu cenderung bergeser ke arah selatan. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan pola sebaran suhu pada Gambar 42 dengan gambar sebelumnya untuk kondisi musim hujan saat pasut purnama. Terlihat bahwa pada Gambar 42 pola isoterm suhu 30 o C di selatan lebih bergeser ke utara, sedangkan isoterm 30 o C di utara relatif bergeser ke selatan.

111 Kondisi Surut Maksimum Pada saat surut maksimum terlihat bahwa massa air panas semakin jauh terdorong ke arah laut lepas, hal ini tampak dari isoterm yang bergeser ke arah laut lepas. Sebaliknya pola sebaran suhu di bagian selatan semakin bergeser ke arah utara (Gambar 44). Suhu dalam kolam pendingin mengalami kenaikan, hal ini dapat dilihat dari perubahan isoterm dengan suhu 42 o C lebih melebar sampai ke Sekambing Bulu, demikian pula isoterm dengan suhu 43 o C lebih meluas ke arah kanal pendingin. Lintang Utara (derajat) ( o C ) 30 Bujur Timur (derajat) Gambar 44 Pola sebaran suhu ( o C) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum. 4.4 Kualitas Buangan Air Pendingin Parameter utama untuk limbah air pendingin adalah suhu, salinitas, ph, klorin dan minyak/lemak. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009 untuk musim hujan dan musim kemarau diketahui bahwa parameterparameter tersebut semuanya masih memenuhi standar Baku Mutu Lingkungan

112 86 (BML) berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Timur No. 6 Tahun 2002 Lampiran I. Meskipun demikian, salah satu parameter limbah air pendingin yaitu suhu menunjukkan perbedaan yang relatif besar dengan suhu alami air laut yakni sekitar o C. Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin untuk musim hujan dan musim kemarau tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 6. Adapun kualitas air pendingin tahun 2009 disajikan dalam Tabel 9 di bawah. Dari hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin di atas, diketahui bahwa parameter yang paling melampaui kondisi ambien perairan adalah parameter suhu. Kondisi yang sama juga ditunjukkan dari hasil pemantauan kualitas abiotik perairan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang tahun 2007 (Tabel 1), dimana parameter suhu di outlet PT. Badak NGL menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dari suhu alami perairan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi sumberdaya pesisir di sekitar PT. Badak NGL sangat ditentukan oleh adanya kenaikan suhu akibat buangan air pendingin dari perusahaan tersebut. Untuk itu penelitian ini dibatasi pada analisis dampak kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin terhadap fitoplankton dan terumbu karang. 4.5 Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL Untuk menguatkan hipotesis bahwa suhu memiliki peranan yang paling dominan terhadap keberadaan biota laut di perairan sekitar PT. Badak NGL, maka dilakukan pengukuran berbagai parameter kualitas air dengan memilih stasiun pengukuran di dalam lokasi penelitian dan di sekitar lokasi penelitian yang tidak terkena dampak oleh limbah tersebut. Dalam hal ini pengukuran kualitas air dilakukan di Muara Kanal Pendingin (MKP) untuk mewakili wilayah yang kena dampak secara langsung, Cooling Water Intake (CWI) untuk mewakili wilayah yang relatif kena dampak dan Berbas Barat Pantai (BBP) untuk mewakili wilayah yang tidak kena dampak. Hasil pengukuran berbagai parameter kualitas air sepanjang tahun pada musim hujan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa secara umum wilayah ini masih berada dalam Baku Mutu Lingkungan yang telah ditetapkan berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I, baik pasang maupun surut.

113 87 Tabel 9 Hasil pemantauan kualitas buangan air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret dan September 2009 No Parameter Satuan Kode Sampel A/B C/D E/F G/H MKP BML Bulan Maret 2009 Kondisi Air Laut Pasang 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd Minyak/Lemak mg/l Kondisi Air Laut Surut 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 2 5 Minyak/Lemak mg/l Bulan Agustus 2009 Kondisi Air Laut Pasang 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph mg/l Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd Minyak/Lemak mg/l Kondisi Air Laut Surut 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 2 5 Minyak/Lemak mg/l Sumber : PT. Badak NGL 2009 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi BML=Baku Mutu Lingkungan (SK Gubernur Kalimantan Timur No. 26 Tahun 2002 Lampiran I) A/B = Outfall train A & B; C/D = Outfall train C & D; E/F = Outfall train E & F; G/H = Outfall train G & H; MKP = Muara Kanal Pendingin (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4) Perbandingan antara parameter kualitas air dalam daerah model dengan parameter kualitas air di sekitar daerah model menunjukkan nilai yang relatif sama kecuali parameter suhu yang berbeda secara ekstrim. Kondisi ini dapat dilihat dalam Tabel 10 untuk Maret 2009 dan dalam Lampiran 7 untuk kondisi air laut Maret 2008.

114 88 Tabel 10 Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL Bulan Maret 2009 No Parameter Satuan Fisika 1 Suhu o Air Laut Pasang Sampel Air Laut Surut MKP BBP CWI MKP BBP CWI BML C alami 2 Bau tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak 3 Sampah nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 4 Lapisan minyak nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 5 Salinitas o / 31.7 oo alami 6 Kecerahan m Kimia 7 ph H 2 S mg/l NH 3 N mg/l DO mg/l >4 11 BOD mg/l COD mg/l PO 4 -P mg/l Lemak mg/l ttd 5 15 Total Phenol mg/l Hidrokarbon mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd - 17 PCB mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd - 18 Tri Butil Tin µg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd - 19 Raksa (Hg) mg/l ttd 3 20 Seng (Zn) mg/l Sumber : PT. Badak NGL 2009 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi = sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4) Kondisi yang sama ditunjukkan pada musim kemarau, dimana parameter kualitas air relatif masih berada dalam kriteria Baku Mutu Lingkungan kecuali suhu.

115 89 Kondisi ini dapat dilihat dalam Tabel 11 untuk bulan Agustus 2009 dan pada Lampiran 8 untuk kondisi September Tabel 11 Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (Agustus 2009) No Parameter Satuan Fisika Sampel Air Laut Pasang Air Laut Surut MKP BBP CWI MKP BBP CWI BML 1 Suhu o C alami 2 Bau tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak 3 Sampah nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 4 Lapisan minyak nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 5 Salinitas o / 32.5 oo alami 6 Kecerahan m Kimia 7 ph H 2 S mg/l NH 3 N mg/l DO mg/l >4 11 BOD mg/l COD mg/l PO 4 -P mg/l Lemak mg/l Total Phenol mg/l Deterjen mg/l ttd 0.01 ttd ttd ttd ttd 1 17 Hidrokarbon mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd - 18 PCB mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd - 19 Tri Butil Tin mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd - 20 Raksa (Hg) µg/l 2.5 ttd ttd ttd ttd ttd 3 21 Seng (Zn) mg/l Sumber : PT. Badak NGL 2009 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi = sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)

116 90 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter kualitas air yang paling dominan mempengaruhi kualitas lingkungan perairan akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL ke laut adalah parameter suhu. 4.6 Struktur Vertikal Suhu dan Kondisi Fitoplankton di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton Untuk mengetahui dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dengan menggunakan model dispersi thermal, maka waktu dan titik cuplik simulasi untuk struktur vertikal suhu dan pola arus disesuaikan dengan waktu dan titik pengambilan sampel fitoplankton. Dalam hal ini periode cuplik hasil simulasi dilakukan untuk 2 musim yakni bulan Agustus 2009 (musim kemarau) dan Maret 2010 (musim hujan) dengan memperhatikan kondisi pasut purnama atau perbani. Pola arus hasil simulasi dalam penelitian ini dicuplik untuk setiap kondisi pengambilan sampel fitoplankton. Namun demikian, dalam disertasi ini gambar pola arus dari hasil cuplik tersebut tidak ditampilkan kecuali pada Stasiun A Stasiun A Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun A pada bulan Agustus 2009 (musim kemarau) menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan di bawahnya. Untuk menyesuaikan dengan waktu pengambilan sampel fitoplankton, maka hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) = atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Ada perbedaan antara suhu hasil simulasi dengan suhu hasil pengukuran, dimana suhu permukaan hasil simulasi pada saat purnama adalah o C lebih besar dari suhu hasil pengukuran yakni o C. Demikian pula pada saat perbani terdapat perbedaan dimana suhu permukaan hasil simulasi adalah o C sedangkan hasil

117 91 pengukuran sebesar o C. Struktur vertikal suhu pada musim kemarau dapat dilihat pada Gambar 45 di bawah. (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 45 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A pada musim kemarau (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani. Sementara suhu rata-rata di Stasiun A hasil simulasi pada musim kemarau diberikan dalam Tabel 12 berikut. Suhu rata-rata ini diperoleh dari hasil cuplik empat kondisi pasut yakni pada saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Tabel 12 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun A pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun A Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) MP PM MS SM Suhu rata-rata ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Hasil simulasi pola arus pada saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau saat pasut purnama menunjukkan arus bergerak dari laut ke Muara Kanal dan masuk ke Kolam Pendingin yang berarti kondisi perairan sedang pasang,

118 92 sementara saat pasut perbani pola arus menunjukkan arah sebaliknya. Adapun pola arus hasil simulasi untuk kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 46. (a) (b) Latitude (degree) Latitude (degree) = 0, m/s > 0,05 0,10 m/s > 0,10 vmax m/s = 0, m/s > 0,05 0,10 m/s > 0,10 vmax m/s Longitude (degree) Longitude (degree) Gambar 46 Pola arus permukaan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 4 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 228 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak dari arah Muara Kanal Pendingin ke Outfall 1 dengan kecepatan berkisar antara m/det. Sementara untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 2 dengan kelimpahan sebanyak 76 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus di Stasiun A pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung berbalik arah dari Outfall 1 ke Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis

119 93 demikian sangat kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama (lihat Lampiran 9). Di Stasiun A jumlah jenis yang ditemukan relatif sedikit mengingat terjadi kenaikan suhu yang sangat tinggi di stasiun ini yakni mencapai 14 o C dari suhu ambien (ΔT=14 o C). Sementara jumlah jenis dan kelimpahan pada waktu sampling purnama lebih besar dari waktu sampling perbani disebabkan karena pada waktu sampling purnama terjadi pasang sehingga kemungkinan ada perpindahan fitoplankton yang dibawah oleh arus dari arah Muara Kanal Pendingin ke stasiun ini Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu Pada musim hujan hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni atau tanggal 20 Maret 2010 jam saat air pasang (purnama), sedangkan pada kondisi perbani dilakukan saat air surut dicuplik pada langkah waktu internal (iint) = atau tanggal 28 Maret 2010 jam Berbeda dengan musim kemarau, pada musim hujan suhu permukaan lebih kecil daripada suhu pada lapisan bawah, yakni 0.01 o C saat purnama dan 0.04 o C saat perbani. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 47. (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 47 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.

120 94 Sementara suhu rata-rata di Stasiun A hasil simulasi pada musim hujan diberikan dalam Tabel 13 berikut. Tabel 13 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun A pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun A Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Adapun pola arus hasil simulasi pada musim kemarau dapat dilihat pada Gambar 48 berikut. (a) (b) Latitude (degree) Latitude (degree) = 0, m/s > 0,05 0,10 m/s > 0,10 vmax m/s = 0, m/s > 0,05 0,10 m/s > 0,10 vmax m/s Longitude (degree) Longitude (degree) Gambar 48 Pola arus permukaan pada musim hujan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton di Stasiun A pada bulan Maret 2010 (musim hujan) untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 4 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 176 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae

121 95 dan Cyanophyceae (Lampiran 10). Pada saat pengambilan sampel, pola arus di stasiun ini cenderung bergerak dari arah Outfall 1 ke Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Adapun kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 3 dengan kelimpahan 114 ind/liter yang juga terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus di Stasiun A pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung berbalik arah dari Outfall 1 ke Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Sama dengan musim kemarau, pada musim hujan di stasiun ini juga mengalami kenaikan suhu yang sangat tinggi yakni ΔT=±14 C. Faktor inilah yang kemungkinan menyebabkan fitoplankton yang ditemukan di stasiun ini relatif kecil jika dibanding dengan Stasiun Kontrol Stasiun B Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Untuk Stasiun B hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) = atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masingmasing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun B pada waktu cuplik menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan di bawahnya, yakni 0.29 o C saat purnama dan 0.24 o C saat perbani (Gambar 49). Sementara suhu rata-rata di Stasiun B hasil simulasi pada musim kemarau diberikan dalam Tabel 14 berikut. o Tabel 14 Suhu rata-rata ( C) hasil simulasi di Stasiun B pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun B Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum o

122 96 (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 49 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Kondisi Fitoplankton 28 Agustus 2009 jam iint.eq Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C teridentifikasi sebanyak 3 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 472 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae (Lampiran 11). Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini cenderung bergerak ke arah sungai dengan kecepatan berkisar antara m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu C jumlah jenis yang ditemukan ada 4 dengan kelimpahan 770 ind/liter dan hanya terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus di Stasiun ini pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung bergerak kearah Kolam Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian sangat kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu Di Stasiun B pada musim hujan, hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni o

123 atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat air pasang dan iint= atau tanggal 28 Maret 2010 jam (perbani) saat air surut. Hasil simulasi pada waktu cuplik menunjukkan adanya perbedaan suhu antara lapisan permukaan dengan lapisan bawah baik saat air pasang maupun saat air surut. Pada saat air pasang suhu permukaan mencapai o C dan pada lapisan bawah o C, sementara pada saat air surut suhu menjadi lebih rendah yakni o C dan lapisan bawah sebesar o C. Struktur verikal suhu pada saat air pasang dan saat air surut dapat dilihat pada Gambar 50. (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 50 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Gambar di atas menunjukkan suhu lapisan permukaan pada saat air pasang lebih tinggi daripada saat air surut. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan massa air dari kolam pendingin dengan suhu yang lebih tinggi ke arah muara sungai. Dengan kata lain pada saat air pasang suhu air di Stasiun B lebih dominan dipengaruhi oleh massa air yang keluar dari Outfall 1, sementara pada saat air surut suhu kemungkinan sedikit dipengaruhi oleh adanya limpasan air dari laut yang masuk melalui kanal pendingin dengan suhu yang relatif lebih dingin.

124 98 Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 15 berikut. Tabel 15 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun B Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton di Stasiun B untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 728 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 12). Pada saat pengambilan sampel, pola arus di stasiun ini cenderung bergerak ke arah sungai dengan kecepatan berkisar antara m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 4 dengan kelimpahan 280 ind/liter yang juga terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus di Stasiun B pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah kolam pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian sangat kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama. Di stasiun B pada waktu sampling fitoplankton menunjukkan kenaikan suhu yang cukup tinggi yakni ΔT=±13 o C Stasiun C Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun C pada musim kemarau dan musim hujan menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani (Gambar 50). Untuk Stasiun C pada musim kemarau hasil simulasi dicuplik

125 99 pada langkah waktu internal (iint) atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Hasil simulasi pada waktu cuplik pasut purnama menunjukkan adanya lapisan yang relatif homogen (mixed layer), dimana teradapat perbedaan suhu yang sangat kecil anatara lapisan atas dengan lapisan bawah (Gambar 51a). Sementara waktu cuplik pasut perbani menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi (Gambar 51b). (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 51 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 16 berikut. Tabel 16 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun C Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum

126 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C teridentifikasi sebanyak 7 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 988 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 13). Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 5 dengan kelimpahan 608 ind/liter terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus di stasiun ini pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung bergerak ke arah Pulau Sieca dengan kecepatan berkisar antara m/det. Kenaikan suhu di Stasiun C bervariasi cukup ekstrim yakni ΔT=±7 o C pada waktu sampling purnama dan ΔT=±11 o C pada waktu sampling perbani Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu Pada musim hujan, hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Maret 2010 jam (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan terbentuknya lapisan homogen (mixed layer) untuk kondisi cuplik pasut purnama, dimana perbedaan suhu antara lapisan permukaan dan lapisan bawah relatif kecil. Fenomena suhu dilapisan permukaan tinggi, kemudian lebih rendah pada layer 2 dan 3 dan selanjutnya naik lagi mendekati suhu permukaan pada layer 4 (Gambar 52a) disebabkan oleh adanya pertemuan massa air yang berasal dari arah Outfall dengan massa air dari laut dengan kecepatan arus yang berbeda. Sementara pada kondisi cuplik pasut perbani, struktur vertikal suhu menunjukkan perbedaan suhu yang besar antara lapisan permukaan dan lapisan di bawahnya (Gambar 52b).

127 101 (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 52 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Adapun suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 17 berikut. Tabel 17 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun C Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 760 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det (Lampiran 14).

128 102 Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 3 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 475 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian juga masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama. Pola arus di stasiun ini pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Kenaikan suhu di stasiun C pada musim hujan bervariasi cukup ekstrim yakni ΔT=±6 o C pada waktu sampling purnama dan ΔT=±12 o C pada waktu sampling perbani Stasiun D Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun D pada musim kemarau menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani (Gambar 53). Untuk Stasiun D pada musim kemarau hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 18 berikut. Tabel 18 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata Stasiun 4 MP PM MS SM ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum

129 103 (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 53 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C teridentifikasi sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1805 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Sungai dengan kecepatan berkisar antara m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D dapat dilihat dalam Lampiran 15. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 12 dengan kelimpahan 4085 ind/liter dan juga hanya terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak menjauhi garis pantai dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kedekatan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol.

130 Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu Untuk menunjukkan struktur vertikal suhu di Stasiun D pada saat pengambilan sampel fitoplankton, maka hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Maret 2009 jam (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan suhu yang relatif kecil antara lapisan permukaan dan lapisan bawah baik saat purnama maupun saat perbani (Gambar 54). Suhu pada lapisan permukaan pada waktu cuplik purnama lebih kecil dari waktu cuplik perbani disebabkan karena pada waktu cuplik purnama kondisi air sedang menuju surut, sehingga ada pengaruh limpasan air sungai terhadap suhu di Stasiun D ini. Sebaliknya, pada waktu cuplik perbani kondisi air bergerak dari surut menuju pasang, sehingga terjadi dorongan massa air yang keluar dari Muara Kanal Pendingin ke Stasiun D, akibatnya suhu menjadi lebih tinggi di Stasiun tersebut. (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 54 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.

131 105 Adapun suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 19 berikut. Tabel 19 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun D Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1425 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak menjauhi muara sungai dengan kecepatan berkisar antara m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu C jumlah jenis yang ditemukan ada 7 dengan kelimpahan 1425 ind/liter 2280 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke muara sungai dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D dapat dilihat dalam Lampiran Stasiun E Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Di Stasiun E ditemukan adanya lapisan terstaritifikasi baik pada saat purnama maupun saat o

132 106 perbani, dimana suhu permukaan menunjukkan perbedaan yang relatif besar yakni ±1 o C untuk kedua kondisi tersebut (Gambar 55). (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 55 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Adapun suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 20 berikut. Tabel 20 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun E Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 4 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 190 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar

133 107 antara m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E dapat dilihat dalam Lampiran 17. Sementara untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 3 dengan kelimpahan 304 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak meninggalkan Muara Kanal Pendingin menuju Pulau Sieca dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu dan Pola Arus Permukaan Penentuan struktur vertikal suhu di Stasiun E pada saat pengambilan sampel fitoplankton dilakukan dengan mencuplik hasil simulasi pada langkah waktu internal (iint) sama dengan atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat kondisi air pasang dan iint = atau tanggal 28 Maret 2009 jam (perbani) saat kondisi air surut. Hasil simulasi menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi di Stasiun E untuk waktu cuplik saat pasut purnama dimana suhu permukaan tercatat lebih tinggi yakni o C sementara suhu pada lapisan bawah o C (Gambar 56a). Demikian pula untuk waktu cuplik pasut perbani menunjukkan fenomena yang sama dengan perbedaan suhu antara lapisan permukaan dengan lapisan bawah tercatat sebesar 0.71 o C (Gambar 56b). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 21 berikut. Tabel 21 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata Stasiun E MP PM MS SM ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum

134 108 (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 56 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 32.5 o C ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1456 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C sebanyak 4 jenis dengan kelimpahan 916 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 18). Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian relatif lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. Hasil simulasi yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat pengambilan sampel pola arus bergerak dari arah selatan (Muara Kanal Pendingin) ke arah utara (Teluk Nyerakat) dengan kecepatan berkisar antara m/det.

135 Stasiun F Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun F untuk waktu cuplik purnama dan waktu cuplik perbani cenderung membentuk lapisan homogen (mixed layer), dimana selisih suhu permukaan dengan lapisan di bawahnya sangat kecil. Struktur vertikal suhu di Stasiun F pada saat pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 57. (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 57 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) menunjukkan bahwa pada stasiun ini masih terpengaruh oleh adanya buangan air pendingin. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F diberikan dalam Tabel 22.

136 110 Tabel 22 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun F Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1558 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Jumlah jenis fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah Thallasiotrix sp. kemudian Nitzchia sp. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F dapat dilihat dalam Lampiran 19. Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi cuplik perbani pada saat pasang o dengan suhu C ada sebanyak 5 jenis dengan kelimpahan 1558 ind/liter dan 722 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Jumlah jenis fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah pada kondisi ini Nitzchia sp. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah Pulau Sieca dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu Penentuan struktur vertikal suhu di Stasiun F pada saat pengambilan sampel fitoplankton dilakukan dengan mencuplik hasil simulasi pada langkah waktu internal (iint) sama dengan atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat air pasang dan iint= atau tanggal 28 Maret 2009 jam (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di Stasiun F pada

137 111 saat purnama cenderung homogen, dimana selisih suhu permukaan dengan lapisan di bawahnya sangat kecil yakni 0.06 o C. Sementara hasil simulasi pada saat perbani menunjukkan adanya lapisan homogen pada stasiun F dengan suhu sebesar o C. Struktur vertikal suhu di Stasiun F pada saat pengambilan sampel fitoplankton dalam musim hujan dapat dilihat pada Gambar 58. (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 58 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) menunjukkan bahwa pada Stasiun F masih dipengaruhi oleh buangan air pendingin (melebihi suhu alami perairan). Suhu ratarata hasil simulasi di Stasiun F diberikan dalam Tabel 23 berikut. Tabel 23 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun F Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) MP PM MS SM Suhu rata-rata ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum

138 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 7 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 570 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Pulau Sieca yang menunjukkan air sedang menuju surut dengan kecepatan berkisar antara m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F dapat dilihat dalam Lampiran 20. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C ada sebanyak 9 jenis dengan kelimpahan 1824 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kesamaan dengan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol Stasiun G (Stasiun Kontrol) Stasiun G dijadikan sebagai Stasiun Kontrol mengingat stasiun ini relatif paling tidak terpengaruh oleh aktifitas manusia (antrophogenic) baik di darat maupun di laut. Hal ini terjadi karena Stasiun G masih berada dalam kawasan yang senantiasa dipantau oleh patroli laut PT. Badak NGL.Selain itu stasiun ini juga tidak berada di sekitar muara sungai sehingga tidak terpengaruh oleh kandungan yang mungkin terbawa oleh aliran air sungai Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di Stasiun G hasil simulasi

139 113 menunjukkan terbentuknya lapisan homogen (mixed layer) baik untuk waktu cuplik pasut purnama maupun waktu cuplik pasut perbani. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa suhu pada waktu cuplik purnama sedikit lebih kecil dibanding suhu waktu cuplik perbani yakni masing-masing o C dan o C. Struktur vertikal suhu di Stasiun G hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 59. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) menunjukkan bahwa pada Stasiun F tidak dipengaruhi oleh buangan air pendingin (sama dengan suhu alami perairan). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F diberikan dalam Tabel 24. (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 59 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G (a) kondisi pasut purnama; (b) kondisi pasut perbani. o Tabel 24 Suhu rata-rata ( C) hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata Stasiun G MP PM MS SM ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum

140 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 2130 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah utara stasiun yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara m/det. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C ada 6 jenis dengan kelimpahan 1615 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah utara yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kesamaan dengan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G dapat dilihat dalam Lampiran Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun G pada saat pengambilan sampel fitoplankton ditunjukkan dengan mencuplik hasil simulasi pada langkah waktu internal (iint) sama dengan atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Maret 2009 jam (perbani) saat air surut. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 25 berikut. Tabel 25 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata Stasiun G MP PM MS SM ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum

141 115 Struktur vertikal suhu pada musim hujan di Stasiun G hasil simulasi untuk waktu cuplik purnama dan perbani menunjukkan adanya lapisan homogen dengan nilai suhu yang sama yakni o C (Gambar 60). (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 60 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 9 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1064 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah timur stasiun yang menunjukkan air sedang dalam kondisi pasang dengan kecepatan berkisar antara m/det. Adapun untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C jumlah jenis yang ditemukan ada 11 dengan kelimpahan 2565 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah pantai yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kesamaan dengan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun

142 116 Kontrol. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G dapat dilihat dalam Lampiran Stasiun H Musim Kemarau Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) atau tanggal 20 Agustus 2009 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Agustus 2009 jam (perbani) masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun H hasil simulasi relatif homogen (mixed layer) baik untuk waktu cuplik pasut purnama maupun waktu cuplik pasut perbani, dimana perbedaan antara suhu lapisan atas dengan suhu lapisan bawah relative kecil yakni sekitar 0.07 o C untuk pasut purnama dan 0.35 o C untuk pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun H hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 61. (a) (b) 20 Agustus 2009 jam iint.eq Agustus 2009 jam iint.eq Gambar 61 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim purnama di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.

143 117 Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun H pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (a) dan perbani (b) menunjukkan bahwa pada Stasiun H tidak dipengaruhi oleh buangan air pendingin (sama dengan suhu alami perairan). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun H pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (a) dan perbani (b) diberikan dalam Tabel 26 berikut. Tabel 26 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun H pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (a) dan perbani (b) Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata Stasiun H MP PM MS SM ( o C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 9 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1425 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 23). Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah timur stasiun (Selat Malaka) dengan kecepatan berkisar antara m/det. Sementara itu untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu C jumlah jenis yang ditemukan ada 9 dengan kelimpahan 6939 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak dari arah Pulau Sieca ke arah utara stasiun dengan kecepatan m/det Musim Hujan Struktur Vertikal Suhu dan Pola Arus Permukaan Struktur vertikal suhu di Stasiun H pada saat pengambilan sampel fitoplankton diperoleh dari hasil simulasi yang dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan atau tanggal 20 Maret 2010 jam (purnama) saat air pasang dan iint = atau tanggal 28 Maret 2009 jam (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan suhu antara lapisan atas dan o

144 118 lapisan bawah sebesar 0.28 o C pada saat purnama dan 0.29 o C pada saat perbani (Gambar 62). (a) (b) 20 Maret 2010 jam iint.eq Maret 2010 jam iint.eq Gambar 62 Profil suhu vertikal ( o C) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun H pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 27 berikut. Tabel 27 Suhu rata-rata ( o C) hasil simulasi di Stasiun H pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun H Suhu pada masing-masing kondisi cuplik ( o C) Suhu rata-rata MP PM MS SM ( C) Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai o C ditemukan sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1330 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 24). Pada

145 119 saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah timur stasiun (Selat Malaka) dengan kecepatan berkisar antara m/det. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o C ada sebanyak 11 jenis dengan kelimpahan 5040 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak dari arah Pulau Sieca ke arah utara stasiun dengan kecepatan m/det. 4.7 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dalam penelitian ini dianalisis dengan menghitung jumlah spesies dan keanekaragaman fitoplankton pada suatu stasiun dan pada saat bersamaan suhu di stasiun tersebut diketahui. Analisis dilakukan selain untuk mengetahui dampak kenaikan suhu juga untuk mengetahui pengaruh musim dan kondisi pasang surut terhadap jumlah spesies dan keanekaragaman fitoplankton Profil Suhu di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton Profil suhu pada 8 stasiun pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 63 di bawah. Gambar 63 Profil suhu ( o C) beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim. Profil suhu dicuplik untuk empat kondisi yakni musim kemarau saat purnama, musim kemarau saat perbani, musim hujan saat purnama dan musim hujan saat perbani. Perbedaan suhu yang relatif kecil untuk keempat kondisi cuplik ditemukan

146 120 pada Stasiun A, B, G dan H. Hal ini menunjukkan bahwa pada Stasiun A dan B suhu tidak dipengaruhi oleh musim dan sedikit dipengaruhi oleh pasang surut. Tingginya suhu di Stasiun A dan B untuk keempat kondisi tersebut juga menunjukkan bahwa massa air di stasiun ini lebih didominasi oleh air yang berasal dari buangan air pendingin. Untuk Stasiun G dan H perbedaan suhu yang relatif kecil juga menunjukkan kecilnya pengaruh musim pada stasiun ini, namun sepanjang tahun massa air di stasiun ini hampir tidak dipengaruhi oleh massa air dari buangan air pendingin. Perbedaan suhu yang lebih besar ditemukan pada Stasiun D, E dan F dengan selisih mencapai 0.6 o C untuk Stasiun D dan E serta 1.15 o C pada Stasiun F. Perbedaan suhu untuk keempat kondisi cuplik terbesar ditemukan pada Stasiun C dengan selisih mencapai 6 o C Analisis Jumlah Spesies Fitoplankton Profil Spesies Fitoplankton Berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara keempat kondisi cuplik, yang berarti bahwa jumlah spesies tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut dan musim. Tabel hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 25. Adapun jumlah spesies pada beberapa stasiun pengambilan sampel fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim disajikan dalam Gambar 64 di bawah. Gambar 64 Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim.

147 121 Setelah diketahui bahwa pengaruh musim (musim hujan dan musim kemarau) dan kondisi pasut (pasut purnama dan pasut perbani) pada saat pengambilan sampel fitoplankton tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies, selanjutnya diuji pengaruh suhu terhadap jumlah spesies fitoplankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan tersebut. Adapun hasil analisis pengaruh suhu terhadap jumlah spesies akan dijelaskan pada bagian berikut Pengaruh Suhu terhadap Jumlah Spesies Fitoplankton Jumlah total spesies yang ditemukan selama penelitian adalah 39 spesies yang didominasi oleh Bacillariophyceae diikuti oleh Cyanophyceae. Hal yang sama dilaporkan oleh Naik et al yang menemukan dominansi Bacillariophycea di Perairan Mahanadi, India. Bacillariophyceae dominan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL kemungkinan karena fitoplankton dari kelas ini bersifat eurythermal yakni dapat bertahan pada interval suhu yang luas (Huang et al. 2004). Hasil analisis menunjukkan nilai korelasi antara suhu dengan jumlah spesies fitoplankton untuk kondisi I (musim kemarau saat purnama) adalah -0.62, untuk kondisi II (musim kemarau saat perbani) -0.56, untuk kondisi III (musim hujan saat purnama) dan untuk kondisi IV (musim hujan saat perbani) sebesar Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Li et al yang melaporkan kontribusi diatom (Bacillariophyceae) pada jumlah total fitoplankton memiliki korelasi negatif yang signifikan (R 2 >0.65). Perbedaan nilai korelasi untuk keempat kondisi tersebut disebabkan oleh adanya variasi suhu pada stasiun yang sama pada saat pengambilan sampel fitoplankton. Adapun penjelasan tentang adanya variasi suhu pada stasiun yang sama telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Gambar 65 di bawah menunjukkan hubungan antara suhu dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel. Adapun hasil uji ANOVA untuk masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan nyata, yang berarti ada perbedaan jumlah spesies akibat pengaruh suhu pada stasiun pengamatan tersebut, sehingga perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui stasiun mana saja yang jumlah spesiesnya berbeda

148 122 nyata dengan Stasiun Kontrol. Jumlah spesies fitoplankton pada stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel disajikan pada Lampiran 26. Gambar 65 Profil suhu ( o C) dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel

149 123 Hasil uji ANOVA juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara jumlah spesies Stasiun Kontrol dengan Stasiun A, B dan C. Hal ini berarti jumlah spesies pada Stasiun A, B dan C dipengaruhi oleh suhu. Sementara untuk Stasiun D, E, F dan H menunjukkan adanya kesamaan jumlah spesies dengan Stasiun Kontrol. Analisis pengaruh suhu terhadap jumlah spesies fitoplankton lebih lanjut diuraikan berdasarkan karakteristik suhu pada masing-masing stasiun pengamatan. Jumlah spesies untuk masing-masing stasiun juga bervariasi. Stasiun A dengan suhu rata-rata o C ditemukan jumlah spesies bervariasi antara 2-4 spesies yang berasal dari kelas Bacillariophyceae dengan jumlah total spesies sebanyak 6 spesies yakni Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Hemialus sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Thallasiotrix sp. Stasiun B dengan suhu rata-rata o C ditemukan jumlah spesies antara 3-5 spesies dari kelas Bacillariophyceae dengan jumlah total spesies sebanyak 6 spesies yakni Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp. Spesies yang ditemukan baik di Stasiun A maupun di Stasiun B adalah Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., dan Navicula sp. Untuk Stasiun C dengan suhu maksimun o C, minimum o C dan rata-rata o C ditemukan 3-7 jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 12 spesies masing-masing 10 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan 2 spesies dari kelas Cyanophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Navicula sp., Nitzchia sp., Pleurosigma sp., Streptotheca sp., Synedra sp., Tabellaria sp., Thallasiosira sp., Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dan Spirulina sp. dari kelas Cyanophyceae. Namun demikian dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada suhu o C ditemukan 5-7 spesies dan suhu antara o C ditemukan 3-5 spesies. Jumlah spesies di Stasiun D tidak berbeda nyata dengan Stasiun Kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa untuk suhu perairan antara o C tidak mempengaruhi jumlah spesies fitoplankton di stasiun tersebut. Jumlah spesies di Stasiun D dengan suhu maksimum o C, minimum o C dan rata-rata o C

150 124 ditemukan sebanyak 5-12 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 18 spesies masing-masing 16 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan 2 spesies dari kelas Cyanophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Bacillaria sp., Bacteriastrum sp., Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Diatoma sp., Dithylium sol, Gyrosigma sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Pinnularia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan frauenfeldii dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Jumlah spesies yang ditemukan di Stasiun E dengan suhu maksimum o C, minimum o C dan rata-rata o C bervariasi antara 5-7 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 13 spesies masing-masing 12 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan 2 spesies dari kelas Cyanophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Biddulphia sp., Chetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cymbella sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2, Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Stasiun F dengan suhu maksimum o C, minimum o C dan rata-rata o C, jumlah spesies yang ditemukan bervariasi antara 6-9 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 13 spesies masing-masing 11 spesies dari kelas Bacillariophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Eucampia sp., Hemialus sp., Milosera sp., Navicula sp., Nitzchia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan Thallasiosira sp. Stasiun Kontrol (Stasiun G) menunjukkan suhu alami rata-rata perairan yakni 28.3 o C ditemukan jumlah spesies bervariasi antara 6-11 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies ada 19, yakni : Bacteriastrum sp., Odontella sp., Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Chaetoceros sp.3, Chaetoceros sp.4, Chaetoceros sp.5, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Coscinodiscus sp.3, Coscinodiscus sp.4, Dithylium sp.,

151 125 Eucampia sp., Navicula sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2 dan Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Stasiun H dengan suhu maksimum o C, minimum o C dan rata-rata o C ditemukan jumlah spesies bervariasi antara 8-11 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies ada 15, yakni : Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Cymbella sp., Frustulia sp., Louderia sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Rhizosolenia sp., Synedra sp.1 dan Thallasi osira sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Tabel 28 di bawah menunjukkan jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun. Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa untuk perairan dengan suhu antara dapat ditemukan jumlah spesies yang jauh lebih sedikit (6 spesies) dibandingkan dengan jumlah spesies pada suhu alami (15-19 spesies). Untuk suhu perairan antara o C ditemukan jumlah spesies yang hampir sama dengan jumlah spesies pada suhu alami yakni antara spesies. Dengan demikian jumlah spesies fitoplankton di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL hanya dipengaruhi oleh kenaikan suhu >37.91 o C ( T>8.61 o C). Sementara suhu antara o C ( T<7.65 o C) tidak menunjukkan penurunan jumlah spesies secara signifikan. Semua spesies yang ditemukan pada kisaran suhu antara o C juga ditemukan pada kisaran suhu dibawahnya. Sementara spesies yang ditemukan pada kisaran suhu antara o C dan tidak ditemukan pada suhu >37.91 o C ada sebanyak 12 spesies, yakni : Streptotecha sp., Tabellaria sp., Chaetoceros sp., Bacillaria sp., Bacteriastrum sp., Diatoma sp., Dithylium sp., Gyrosigma sp., Pinnularia sp., Pleurosigma sp., Eucampia sp., Milosera sp. Spesies yang ditemukan hampir disemua stasiun adalah Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Hemialus sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Thallasiotrix sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp., dan Pleurosigma sp. Hal ini menunjukkan bahwa fitoplankton ini bersifat mampu bertahan hidup pada range suhu yang panjang (eurythermal). o C

152 126 Tabel 28 Jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun Stasiun Klasifikasi suhu ( o C) Jumlah spesies Nama spesies yang ditemukan A Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Hemialus sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Thallasiotrix sp. B C C D E F G H Cyclotella sp., Coscinodiscus sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp Coscinodiscus sp., Pleurosigma sp., Synedra sp., Nitzchia sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dan Spirulina sp. dari kelas Cyanophyceae Navicula sp., Streptotheca sp., Tabellaria sp., Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Thallasiotrix sp., Thallasiosira sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae Bacillaria sp., Bacteriastrum sp., Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cyclotella sp, Diatoma sp., Dithylium sp., Gyrosigma sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Pinnularia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae Odontella sp., Chetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cymbella sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2, Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Eucampia sp., Hemialus sp., Milosera sp., Navicula sp., Nitzchia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp. Bacteriastrum sp., Odontella sp., Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Chaetoceros sp.3, Chaetoceros sp.4, Chaetoceros sp.5, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Coscinodiscus sp.3, Coscinodiscus sp.4, Dithylium sp., Eucampia sp., Navicula sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2 dan Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Cymbella sp., Frustulia sp., Louderia sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan Thallasiosira sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae

153 127 Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat diketahui bahwa jumlah spesies sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, dimana jumlah spesies berkurang dengan meningkatnya suhu perairan, dalam hal ini pengaruh suhu terhadap jumlah spesies secara signifikan terutama terlihat pada suhu >37.91 o C ( T>8.61 o C). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Poernima et al, 2005 yang meneliti dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom Madras, Teluk Bengal, India dan Chuang et al yang meneliti pengaruh buangan air pendingin di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir II, Teluk Kuoseng, Taiwan. Keduanya menemukan bahwa peningkatan suhu perairan berkorelasi negatif dengan kelimpahan klorofil-a Analisis Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan Fitoplankton Berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim Hasil uji F (ANOVA) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelimpahan untuk keempat kondisi pengambilan sampel fitoplankton (Tabel hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 27). Hal ini berarti bahwa musim dan kondisi pasut tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton pada stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 28. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim disajikan dalam Gambar 66 di bawah. Gambar 66 Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim.

154 Pengaruh Suhu terhadap Kelimpahan Fitoplankton Hasil uji ANOVA untuk masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan nyata, yang berarti ada perbedaan kelimpahan akibat pengaruh suhu pada stasiun pengamatan tersebut, sehingga perlu analisis lebih lanjut untuk mengetahui stasiun mana saja yang kelimpahannya berbeda nyata dengan Stasiun Kontrol. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelimpahan fitoplankton di Stasiun Kontrol dengan stasiun lainnya, kecuali pada Stasiun A, B dan C. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya suhu di stasiun A, B dan C berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu perairan berkorelasi negatif dengan kelimpahan klorofil-a (Poernima et al, 2005, Poernima et al. 2006, Chuang et al. 2009). Dalam hal ini Naik et al melaporkan adanya korelasi positif antara kelimpahan fitoplankton dengan klorofil-a. Oleh karena itu penelitian ini mengasumsikan bahwa jumlah klorofil-a juga berkorelasi positif dengan kelimpahan fitoplankton. Pengaruh suhu terhadap kelimpahan fitoplankton menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu perairan maka kelimpahan fitoplankton akan berkurang. Hal ini diketahui dari hasil uji statistik dengan menghitung nilai korelasi antara parameter suhu dengan kelimpahan fitoplankton, dimana terjadi korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan untuk empat kondisi sampling. Hasil analisis menunjukkan nilai korelasi antara suhu dengan kelimpahan fitoplankton untuk kondisi I (musim kemarau saat purnama) adalah -0.76, untuk kondisi II (musim kemarau saat perbani) -0.67, untuk kondisi III (musim hujan saat purnama) dan untuk kondisi IV (musim hujan saat perbani) sebesar Perbedaan nilai korelasi untuk keempat kondisi tersebut disebabkan oleh adanya variasi suhu pada stasiun yang sama pada saat pengambilan sampel fitoplankton. Adapun penjelasan tentang adanya variasi suhu pada stasiun yang sama telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Gambar 67 menunjukkan hubungan antara suhu

155 129 dengan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel. Gambar 67 Profil suhu ( o C) dan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel.

156 130 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Poernima et al yang melaporkan bahwa jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara 35-70% dibandingkan dengan di intake, dimana T antara outfall dan intake bervariasi antara o C. Sementara pada daerah mixing point klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50% dibandingkan dengan di intake, dimana T keduanya bervariasi antara o C. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Chuang et al juga menunjukkan hal yang sama, dimana antara outlet dan intake dengan T bervariasi 8-12 o C memiliki nilai rata-rata klorofil-a yang berbeda yakni 0.67 mg m -3 di daerah intake dan 0.44 mg m -3 di daerah outlet. Kelimpahan fitoplankton untuk klasifikasi suhu perairan antara o C (Stasiun A, B dan C1) jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan pada suhu alami perairan (Stasiun G dan H). Sementara untuk klasifikasi suhu antara o C (Stasiun C2 dan D) menunjukkan kelimpahan yang relatif sama dengan kelimpahan pada suhu alami perairan. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun Stasiun Klasifikasi suhu ( o C) Kelimpahan (ind/ltr) A B C C D E F G H

157 Analisis Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang tersebar hampir di seluruh bagian pesisir dan pulau-pulau Kota Bontang. Pada umumnya ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir dan laut Bontang yang berada dalam radius mil laut dan berhadapan dengan pabrik PKT dan PT. Badak NGL, rata-rata persentase tutupan karang dalam kategori sedang (berkisar 30-50%). Sedangkan untuk lokasi yang lebih dari 2 mil laut, persentase tutupan karang lebih dari 50% (DKP Bontang 2007). Hasil survei menunjukkan bahwa jenis-jenis karang yang ditemukan diantaranya adalah karang (Hard Coral) dan karang lunak (Soft Coral). Secara umum karang keras lebih dominan ditemukan dibanding karang lunak. Beberapa jenis karang keras yang ditemukan yaitu Acropora, Montiphora euphylia, Plerogyra, Fungia, Heliofungia, Caulastrea, Pectinia, Goniopora, Millepora. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap ekosistem terumbu karang, maka dilakukan survei terhadap terumbu karang yang berada dalam wilayah terdampak dan yang tidak kena dampak kenaikan suhu (perairan dengan suhu alami) oleh adanya buangan limbah air pendingin PT. Badak NGL. Untuk merepresentasikan kondisi terumbu karang sebagai pembanding untuk terumbu karang yang terkena dampak kenaikan suhu dari buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka dipilih lokasi terumbu karang yang hidup pada suhu alami perairan dan tidak tereksploitasi secara berlebihan oleh aktifitas manusia. Karena itu dalam penelitian ini dipilih terumbu karang yang berada di Pulau Beras Basah dan Pulau Melahing (Gambar 15), yang akan diuraikan pada bagian berikut Kondisi Terumbu Karang yang Tidak Terkena Dampak Pulau Beras Basah Pengamatan substrat dasar terumbu karang di Pulau Beras Basah dilakukan pada satu titik pengamatan. Pada titik pengamatan ini diperoleh nilai tutupan karang keras atau karang hidup sebesar 49.34%. Bentuk pertumbuhan karang yang banyak dijumpai pada daerah ini adalah bentuk pertumbuhan Coral Submassive, Coral Massive, Acropora Tabulate, dan Acropora Branching. Sedangkan genus karangnya berupa

158 132 Echinopora, Pachyseris, Porites, Pectinia dan Acropora. Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah disajikan dalam Gambar 68 di bawah. Kondisi terumbu karang di Pulau Beras Basah disajikan pada Lampiran 29. Gambar 68 Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah Pulau Melahing Hasil pengamatan terumbu karang di lokasi Melahing menunjukkan nilai tutupan karang hidup sebesar 51% dan tergolong kedalam kondisi baik atau sehat menurut Gomez dan Yap (1988). Bentuk pertumbuhan karang yang banyak dijumpai pada daerah ini adalah bentuk pertumbuhan Coral Foliose, Coral Branching, dan Coral Soliter. Sedangkan genus karangnya berupa Echinopora, Pachyseris, Porites, Fungia dan Acropora. Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah disajikan dalam Gambar 69 di bawah. Dokumentasi kondisi terumbu karang di Pulau Melahing dapat dilihat pada Lampiran 13. Gambar 69 Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Melahing.

159 Kondisi Terumbu Karang yang Terkena Dampak Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, diketahui bahwa ada dua lokasi yang terkena dampak dimana ditemukan adanya terumbu karang. Kedua lokasi tersebut adalah di depan Pulau Sieca dan di Sekambing Muara (Gambar 15). Adapun profil suhu dan kondisi terumbu karang di kedua lokasi tersebut akan diuraikan pada bagian berikut Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau saat Perbani Profil suhu di depan Pulau Sieca dimana ditemukan adanya terumbu karang diperoleh dari hasil simulasi yang dicuplik pada dua titik, yakni dibagian selatan (PA2) dan bagian utara (PA1) Stasiun J (Gambar 15). Struktur vertikal suhu di depan Pulau Sieca menunjukkan adanya perbedaan suhu antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Perbedaan suhu tersebut relatif kecil, dimana untuk Pulau Sieca A1=0.01 o C dan Pulau Sieca A2=0.05 o C. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 70. (a) (b) Gambar 70 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2

160 134 Adanya perbedaan suhu antara lapisan permukaan (upper layer) dan lapisan bawah (lower layer) dengan suhu yang lebih rendah pada lapisan bawah, menunjukkan bahwa pada lokasi ini masih ditemukan adanya pengaruh buangan air pendingin meskipun relatif kecil Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau saat Purnama Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di depan Pulau Sieca saat pasut purnama memiliki pola yang sama dengan pada saat pasut perbani, dimana keduanya memiliki suhu yang berbeda antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya (stratificated). Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan di Pulau Sieca A1=0.01 o C (=saat perbani) dan di Pulau Sieca A2=0.01 o C (<saat perbani). Struktur vertikal suhu untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 71. (a) (b) Gambar 71 Struktur vertikal suhu ( o C) pada musim kemarau saat purnama untuk titik cuplik (a) PA1 (b) PA Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Perbani Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di depan Pulau Sieca pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani memiliki pola yang sama

161 135 dengan pada musim kemarau untuk kondisi pasut yang sama, dimana terdapat perbedaan yang sangat kecil antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan pada saat perbani di titik cuplik PA1=0.01 o C (=musim kemarau) dan pada titik cuplik PA2=0.04 o C (<musim kemarau). Dengan kata lain terbentuk lapisan homogen (mixed layer) baik pada titik cuplik PA1 maupun pada titik cuplik PA2. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing titik cuplik dapat dilihat pada Gambar 72. (a) (b) Gambar 72 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Purnama Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan di titik cuplik PA2 adalah homogen (musim kemarau = 0.01 o C). Struktur vertikal suhu yang unik pada musim hujan ditemukan di titik cuplik PA2, dimana suhu pada lapisan atas sama dengan suhu pada lapisan bawah namun lebih kecil dari suhu pada lapisan tengah (middle layer). Fenomena ini

162 136 kemungkinan terjadi akibat adanya pertemuan massa air dari arah muara kanal pendingin dengan massa air dari laut. Struktur vertikal suhu hasil simulasi untuk kondisi cuplik di atas menunjukkan bahwa pengaruh musim di depan Pulau Sieca dimana ditemukan terumbu karang relatif kecil. Hal ini juga terlihat dari suhu permukaan yang relatif sama untuk kedua kondisi tersebut. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing titik cuplik dapat dilihat pada Gambar 73. Sementara Kondisi suhu hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan disajikan dalam Tabel 30. (a) (b) Gambar 73 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2. o Tabel 30 Kondisi suhu ( C) hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan Suhu ( o C) Lokasi Musim Kemarau Musim Hujan Perbani Purnama Perbani Purnama P. Sieca A1 min 33.2 max 33.3 min 32.1 max 32.9 min 33.0 max 33.2 min 32.2 max 32.7 ratarata 33.2 ratarata 32.5 ratarata 33.1 ratarata 32.4 P. Sieca A Suhu rata-rata sepanjang tahun = o C

163 Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca Pengamatan substrat dasar terumbu karang dilakukan di depan Pulau Sieca dengan kedalaman ±4 meter. Di lokasi ini ditemukan nilai penutupan karang hidup (Hard Coral) sebesar 6.48%. Untuk jenis karang lunak (Soft coral) memiliki nilai sebesar 18,78%. Bentuk pertumbuhan karang yang banyak dijumpai berupa Coral Massive dan Acropora Brancing. Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di depan Pulau Sieca disajikan dalam Gambar 74 di bawah. Dokumentasi kondisi terumbu karang di Depan Pulau Sieca dapat dilihat pada Lampiran 8. Gambar 74 Histogram penutupan substrat dasar terumbu karang di depan Pulau Sieca Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Perairan Bontang untuk perairan dengan suhu maksimum 33.3 o C, suhu minimum 30.3 o C dan suhu rata-rata o C sepanjang tahun, memiliki tutupan karang hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan tutupan karang di perairan yang memiliki suhu alami (terumbu karang di Beras Basah dan Melahing). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu perairan sampai 33.3 o C ( T=4-5 o C) akibat baungan air pendingin PT. Badak NGL dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang di perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coles 1975 dan Neudecker 1981 yang menyatakan bahwa kenaikan suhu sebesar 3-5 C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik.

164 Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau Saat Perbani Struktur vertikal suhu di Sekambing Muara dimana ditemukan adanya terumbu karang diperoleh dari hasil simulasi yang dicuplik pada dua titik, yakni di bagian selatan (SM1) dan bagian utara (SM2) Stasiun I (Gambar 15). Struktur vertikal suhu menunjukkan adanya perbedaan suhu yang relatif kecil antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Dalam hal ini suhu pada lapisan permukan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada lapisan di bawahnya yang bervariasi antara o C. Gambar 75 di bawah menunjukkan Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik SM1 dan SM2. (a) (b) Gambar 75 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau Saat Purnama Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan di SM1 sekitar 0.1 o C (<saat perbani) dan SM2 = 0.05 o C (<saat perbani), dimana suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di lapisan bawah. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik SM1 dan SM2 dapat dilihat pada Gambar 76 di bawah.

165 139 (a) (a) (b) Gambar 76 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Perbani Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan pada saat perbani di Sekambing Muara 1 sekitar 0.11 o C (<musim kemarau) dan Sekambing Muara 2 = 0.09 o C (>musim kemarau). Struktur vertikal suhu untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 77. (a) (b) Gambar 77 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2

166 Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Purnama Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan pada titik cuplik SM1 sekitar 0.11 o C (>musim kemarau), sementara pada titik cuplik SM2=0.05 o C (=musim kemarau). Dengan kata lain terbentuk lapisan yang relatif homogen pada titik cuplik SM1 dan SM2. Struktur vertikal suhu hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik yang menunjukkan adanya perbedaan suhu yang sangat kecil antara lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) sebagaimana diuraikan di atas, mengindikasikan bahwa pengaruh musim di Sekambing Muara di mana ditemukan terumbu karang sangat kecil. Dengan kata lain adanya limpasan air sungai dari Sungai Muara Sekambing tidak berpengaruh terhadap kondisi perairan di lokasi ini. Hal ini juga terlihat dari adanya nilai suhu yang relatif sama untuk keempat kondisi tersebut. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing titik cuplik dapat dilihat pada Gambar 78. Sementara Kondisi suhu hasil simulasi di Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan disajikan dalam Tabel 31. (a) (b) Gambar 78 Struktur vertikal suhu ( o C) hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2.

167 141 Tabel 31 Kondisi suhu ( o C) hasil simulasi Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan Suhu ( o C) Lokasi Musim Kemarau Musim Hujan Perbani Purnama Perbani Purnama min max min max Min max min max ratarata ratarata ratarata ratarata S. Muara 1 S. Muara , Suhu rata-rata sepanjang tahun = o C Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara Hasil survei yang dilakukan terhadap terumbu karang di Sekambing Muara menunjukkan kondisi terumbu karang di lokasi ini telah mengalami kematian secara keseluruhan. Kematian terumbu karang di lokasi ini dapat dipastikan disebabkan oleh adanya kenaikan suhu yang tinggi sebagai akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL. Lokasi ini merupakan lokasi yang terisolir dari aktifitas penduduk akibat adanya pengawasan dari pihak perusahaan, sehingga kematian terumbu karang di lokasi ini tidak berhubungan dengan eksploitasi terumbu karang oleh penduduk seperti yang terjadi pada lokasi lain di Perairan Bontang. Kesimpulan akan matinya terumbu karang akibat kenaikan suhu perairan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengingat suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia menurut Neudecker 1981 adalah C. Selain itu Coles et al 1976 menemukan bahwa kenaikan suhu hingga 4-5 C diatas suhu ambien menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di daerah tropis (Eniwetak, Atoll, Marshall Islands) dan subtropis (Kaneohe Bay, Hawai). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan suhu maksimum o C, suhu minimum o C dan suhu rata-rata o C ( T=5-6 o C) sepanjang tahun di Sekambing Muara telah mengakibatkan kematian terumbu karang secara keseluruhan di lokasi tersebut. Dokumentasi kondisi terumbu karang di Sekambing Muara dapat dilihat pada Lampiran 13.

168 Analisis Kondisi Perairan Berdasarkan Kriteria Suhu untuk Fitoplankton Untuk mengetahui kondisi perairan akibat buangan air pendingin, maka penentuan kriteria perairan dalam penelitian ini mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut dan hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang sebagaimana yang telah dibahas dalam subbab 4.7 dan 4.8, serta beberapa referensi dari penelitian sebelumnya. Adapun kriteria tersebut ditetapkan sebagai berikut : 1. Batas zona terdampak adalah suhu >37.90 o C ( T>9.60 o C). Nilai ini didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton yang menunjukkan adanya perbedaaan yang nyata antara fitoplankton pada Stasiun Kontrol (suhu alami) dengan fitoplankton pada suhu >37.90 o C. Selain itu nilai ini juga didasarkan pada hasil penelitian Poernima et al yang menunjukkan jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton berkurang 35-70% dengan kenaikan suhu T> o C dan Chuang et al yang menemukan klorofil-a fitoplankton berkurang secara signifikan dengan kenaikan suhu ±10 o C. 2. Batas zona potensial besar kena dampak berkisar o C ( T>5.70 o C). Nilai ini didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton yang menunjukkan jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton relatif berkurang dan Laporan Gesamp 1984 yang menunjukkan berkurangnya jumlah sel fitoplankton 10-60% dengan meningkatnya suhu hingga 7 o C. 3. Batas zona potensial kena dampak berkisar antara o C. Nilai ini didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton yang telah dilakukan dan hasil penelitian Poernima et al yang menunjukkan jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton berkurang 15-50% dengan kenaikan suhu o C, serta hasil penelitian Li et al yang menemukan berkurangnya diatom dari 82.0% menjadi 53.1% akibat peningkatan suhu 3.7 o C dari suhu ambien. 4. Batas zona terdampak adalah pada suhu >30.30 o C ( T>2.00 o C). Hal ini didasarkan pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang menetapkan diperbolehkannya terjadi perubahan suhu sampai dengan <2 o C dari

169 143 suhu alami baik untuk perairan pelabuhan, wisata bahari maupun untuk biota laut. Sementara suhu alami Perairan Bontang berkisar antara o C. Mengingat pola sebaran suhu di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut, maka analisis kondisi perairan dilakukan dengan melihat pola sebaran suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk 4 kondisi cuplik dengan perbedaan yang relatif ekstrim untuk masing-masing kondisi seperti telah dibahas dalam subbab 4.3 sebelumnya. Keempat kondisi tersebut adalah saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum, yang dicuplik pada saat pasut purnama Kondisi Menuju Pasang Hasil simulasi menujukkan bahwa pada kondisi air menuju pasang kondisi Perairan Bontang yang terkena dampak kenaikan suhu lebih cenderung ke arah selatan perairan (Teluk Nyerakat), hal ini disebabkan adanya pergerakan massa air dari laut yang mengangkut buangan air pendingin yang keluar dari muara kanal pendingin ke wilayah ini. Kawasan zona terdampak (>37.90 o C) hanya ditemukan tepat di ujung muara kanal pendingin, sementara zona yang berpotensi besar terkena dampak ( o C) lebih cenderung menyebar ke arah selatan daerah model (Gambar 79). Hasil simulasi juga menunjukkan zona terdampak berdasarkan baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No.51 Tahun 2004 (30.30 o C) lebih luas sekitar ±17.19 Ha dibandingkan dengan luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air menuju pasang pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel 32.

170 144 Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Keterangan : suhu <30.30 o C (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak ( o C) zona berpotensi besar terkena dampak ( o C) zona terdampak (>37.90 o C) Gambar 79 Kondisi perairan pada saat air menuju pasang menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Kondisi Pasang Maksimum Kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL pada saat air pasang maksimum untuk pasut purnama dapat dilihat pada Gambar 80 di bawah.

171 145 Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Keterangan : suhu <30.30 o C (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak ( o C) zona berpotensi besar terkena dampak ( o C) zona terdampak (>37.90 o C) Gambar 80 Kondisi perairan pada saat air pasang maksimum menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Berbeda dengan saat air menuju pasang, pada saat air pasang maksimum wilayah perairan yang terkena dampak kenaikan suhu (>37.90 o C) bergeser ke arah kolam pendingin sampai ke ujung kanal pendingin, sementara zona yang berpotensi

172 146 besar terkena dampak ( o C) lebih menyempit ke arah muara kanal pendingin. Fenomena ini terjadi akibat adanya pengaruh air pasang yang bergerak dari arah lepas pantai (offshore) menuju kolam pendingin yang semakin kuat dan menyebabkan buangan air pendingin lebih terdorong masuk ke dalam kolam pendingin. Hasil analisis luasan zona terdampak pada saat air pasang maksimum menunjukkan adanya perbedaan luasan antara zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur dengan zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sekitar ±7.1 Ha. Luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur untuk kondisi cuplik pasang maksimum lebih kecil ± Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik menuju pasang, sementara luas zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 pada saat air pasang maksimum lebih kecil ±56.51 Ha dibandingkan dengan saat air menuju pasang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas perairan yang terkena dampak secara keseluruhan pada saat pasang maksimum lebih kecil dibandingkan dengan saat air menuju pasang. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air pasang maksimum pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel Kondisi Menuju Surut Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada saat air menuju surut, wilayah perairan yang terkena dampak kenaikan suhu (>37.90 o C) bergeser lebih jauh dari muara kanal pendingin dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan pasang maksmimum. Sementara zona yang berpotensi besar terkena dampak ( o C) lebih menyempit ke arah muara kanal pendingin dibanding saat air menuju surut, namun lebih luas dibanding dengan saat air pasang maksimum (Gambar 81). Hasil analisis luasan zona terdampak pada saat air menuju surut menunjukkan adanya perbedaan luasan antara zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur dengan zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sekitar ± Ha. Luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan

173 147 studi literatur untuk kondisi cuplik ini lebih kecil ±32.57 Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik menuju pasang namun lebih luas ± dibandingkan dengan kondisi cuplik saat air pasang maksimum. Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Keterangan : suhu <30.30 o C (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak ( o C) zona berpotensi besar terkena dampak ( o C) zona terdampak (>37.90 o C) Gambar 81 Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air menuju surut berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.

174 148 Luas zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 pada saat air menuju surut lebih kecil ± Ha dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan lebih besar ± Ha dibandingkan dengan saat air pasang maksimum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas perairan yang terkena dampak secara keseluruhan pada saat menuju surut lebih kecil dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan lebih luas dibandingkan dengan saat air mencapai pasang maksimum. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air menuju surut pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel Kondisi Surut Maksimum Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada saat air surut maksimum, wilayah perairan yang terkena dampak kenaikan suhu (>37.90 o C) bergeser lebih jauh dari muara kanal pendingin dibandingkan dengan ketiga kondisi cuplik sebelumnya. Demikian pula zona yang berpotensi besar terkena dampak ( o C) untuk kondisi ini lebih luas dibanding saat air menuju surut dan saat air pasang maksimum namun lebih kecil dibanding dengan saat air menuju pasang. Gambar 82 di bawah menunjukkan bahwa pada saat surut maksimum pola isotherm untuk kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 di bagian timur daerah model lebih bergeser menuju offshore, hal ini disebabkan massa air pada saat air surut bergerak menjauhi garis pantai ke arah timur perairan. Sementara pola isotherm di Teluk Nyerakat menunjukkan adanya pergeserak ke arah utara, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan massa air dari ujung Teluk Nyerakat yang lebih dangkal ke arah utara daerah model yang lebih dalam. Hasil analisis luasan zona terdampak pada saat air surut maksimum menunjukkan adanya perbedaan luasan antara zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur dengan zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sekitar ± Ha. Luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur untuk kondisi cuplik ini lebih kecil ±17.43 Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik menuju pasang namun lebih luas

175 149 ± Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik saat air pasang maksimum serta lebih luas ±15.14 Ha untuk kondisi air surut maksimum. Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Keterangan : suhu <30.30 o C (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak ( o C) zona berpotensi besar terkena dampak ( o C) zona terdampak (>37.90 o C) Gambar 82 Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air surut maksimum berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun Luas zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 pada saat air surut maksimum lebih kecil ±10.32 Ha dibandingkan

176 150 dengan saat air menuju pasang dan lebih luas ±46.19 Ha dibandingkan dengan saat air pasang maksimum serta lebih luas ± Ha dibandingkan dengan saat air menuju surut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas perairan yang terkena dampak secara keseluruhan pada saat air surut maksimum lebih kecil dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan lebih luas dibandingkan dengan saat air pasang maksimum dan menuju surut. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air surut maksimum pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel Arahan Pengelolaan Hasil analisis pengaruh suhu terhadap terumbu karang dan fitoplankton menunjukkan bahwa kenaikan suhu akibat buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL di Perairan Bontang mengakibatkan menurunnya kualitas perairan yang berdampak pada terganggunya komunitas fitoplankton dan terumbu karang di perairan tersebut. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh buangan air pendingin tersebut, maka perlu upaya untuk mengurangi tingkat kenaikan suhu akibat buangan air pendingin tersebut. Sementara pencegahan dampak dari buangan air pendingin dapat dilakukan dengan menerapkan atau membuat regulasi yang ketat yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah pesisir dimana buangan air pendingin itu dibuang. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin diantaranya adalah sebagai berikut : Menurunkan Suhu Buangan Air Pendingin Sistem air pendingin (cooling water system) yang digunakan oleh PT Badak NGL adalah sistem sekali alir atau dikenal sebagai once through system. Syarat utama dari pemilihan sistem sekali alir adalah tersedianya sumber air pendingin dalam jumlah besar, seperti air laut, danau, atau sungai besar. Pada sistem ini PT. Badak NGL menggunakan air laut untuk mendinginkan proses-proses di dalam pabrik.

177 151

178 Tabel 32 Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik pada saat pasut purnama No Kondisi Perairan Luas Perairan (Ha) MP PM MS SM 1 Zona terdampak ± ± ± ± Zona berpotensi besar terkena dampak ± ± ± ± Zona berpotensi terdampak ± ± ± ± Total luasan ± ± ± ± Baku mutu (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) ± ± ± ± Keterangan : MP = Kondisi air menuju pasang PM = Kondisi air pasang maksimum MS = Kondisi air menuju surut SM = Kondisi air surut maksimum 152

179 153 Setelah melalui sistem pendingin, air laut yang telah mengalami kenaikan suhu tersebut selanjutnya dibuang kelaut melalui outfall yang telah disediakan. Kenaikan suhu air laut setelah melalui sistem pendingin berbeda-beda tergantung teknologi sistem pendingin yang digunakan. PT. Badak NGL dalam hal ini menggunakan dua teknologi sistem pendingin dengan suhu buangan air pendingin yang berbeda. Untuk Train A-F menggunakan teknologi yang menghasilkan suhu buangan air pendingin di outfall sebesar o C (pemilihan 44 o C dalam input model disesuaikan dengan daerah model), sementara Train G-H menghasilkan suhu buangan air pendingin sebesar 41.5 o C (pemilihan o C dalam input model disesuaikan dengan daerah model). Atas dasar tersebut penelitian ini mengkaji pola sebaran suhu dan dampaknya jika suhu buangan air pendingin dari Train A-F diturunkan hingga sama dengan Train G-H. Untuk mengetahui pola sebaran suhu jika suhu buangan air pendingin diturunkan maka dilakukan simulasi menggunakan input buangan air pendingin dengan suhu yang lebih rendah dari suhu yang sebenarnya. Gambar 83a dan 83b serta 84a dan 84b di bawah diperoleh dari hasil simulasi untuk skenario musim hujan pada saat purnama dan saat perbani dengan mengubah input buangan air pendingin dari suhu 44 o C menjadi 38 o C, sementara input parameter-parameter lain seperti input debit air sungai, salinitas, pasut serta perlakuan di syarat batas terbuka dibuat sama. Penurunan suhu yang cukup signifikan juga terjadi di Sekambing Muara lokasi dimana ditemukan adanya terumbu karang dari rata-rata 34 o C menjadi 32 o C. Kisaran suhu ini memungkinkan terumbu karang dapat bertahan hidup sebagaimana terumbu karang yang berada di depan Pulau Sieca. Dengan kata lain penurunan suhu sebesar 6 o C dari buangan air pendingin PT. Badak NGL akan dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap ekosistem di sekitarnya khususnya terumbu karang, meskipun Coles et al menemukan adanya efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella) akibat kenaikan suhu 2 C di atas suhu maksimum tahunan, sedangkan kenaikan 4-5 C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di daerah tropis dan subtropis.

180 154 (a) (b) Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Bujur Timur (derajat) ( o C ) Gambar 83 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat purnama dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 o C (b) suhu 44 o C Perbandingan pola isotherm antara Gambar 83a dengan 83b dan antara 84a dengan 84b di atas menunjukkan bahwa dengan menurunkan suhu buangan air pendingin sebesar 6 o C (38 o C), maka suhu di dalam Kolam Pendingin dan di Muara Kanal Pendingin dapat diturunkan hingga 6 o C dari suhu eksisting.

181 155 (a) (b) Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Bujur Timur (derajat) Gambar 84 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat perbani dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 o C (b) suhu 44 o C Pendalaman Kolam Pendingin Pengaruh pendalaman kolam pendingin dari 2 m menjadi 4 m terhadap sebaran suhu di perairan sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dapat diketahui dengan membandingkan Gambar 85a dan 85b di bawah. Dimana Gambar 85a menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario setelah dilakukan pendalaman, sementara Gambar 85b menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi sebelum dilakukan pendalaman. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu antara sebelum dan sesudah pendalaman kolam pendingin. Perbedaan terutama terlihat di dalam kolam dan di muara kanal pendingin dengan suhu lebih rendah untuk kondisi setelah dilakukan pendalaman. Dimana pada bagian tengah kolam pendingin pada ( o C )

182 156 skenario setelah dilakukan pendalaman suhu dominan adalah 42 o C sementara untuk skenario sebelum pendalaman suhu dominan di lokasi ini adalah 41 o C (perhatikan garis isothermal untuk masing-masing gambar). Kondisi yang sama juga ditemukan di Muara Kanal Pendingin, dimana suhu di lokasi ini lebih rendah untuk skenario setelah pendalaman. Penurunan suhu akibat pendalaman kolam pendingin ini terjadi karena massa air laut yang berasal dari muara kanal pendingin yang masuk ke dalam kolam pendingin lebih besar sementara volume buangan air pendingin tetap sehingga proses percampuran buangan air pendingin dengan air yang lebih dingin tersebut semakin banyak terjadi. (a) (b) Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Bujur Timur (derajat) Gambar 85 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pendalaman kolam pendingin (a) setelah pendalaman menjadi 4 m (b) sebelum pendalaman ( o C )

183 Perluasan Kolam Pendingin Pengaruh perluasan kolam pendingin terhadap sebaran suhu di perairan sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dapat diketahui dengan membandingkan Gambar 86a dan 86b di bawah. Dimana Gambar 86a menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario setelah dilakukan perluasan kolam pendingin, sementara Gambar 86b menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi sebelum dilakukan perluasan kolam pendingin. (a) (b) Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Bujur Timur (derajat) ( o C ) Gambar 86 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah perluasan kolam pendingin (a) setelah perluasan kolam pendingin (b) sebelum perluasan kolam pendingin Komparasi dari kedua gambar tersebut menunjukkan adanya penurunan suhu yang relatif besar setelah dilakukan perluasan kolam pendingin, hal ini terutama

184 158 terlihat pada pola isotherm di muara kanal pendingin dimana sebelum perluasan suhu yang tercatat adalah 40 o C dan setelah perluasan suhu tercatat turun menjadi 37 o C. Penurunan suhu ini disebabkan oleh volume buangan air pendingin yang sampai ke muara kanal setelah perluasan kolam pendingin lebih kecil dibandingkan sebelum perluasan kanal, dimana dengan perluasan kolam pendingin maka sebagian massa air pendingin akan bergerak mengisi kolam pendingin yang telah diperluas tersebut Pelebaran Kanal Pendingin Untuk mengetahui pengaruh pelebaran kanal pendingin terhadap sebaran suhu di perairan sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka dilakukan simulasi dengan input data dimana kanal pendingin dilebarkan dan selanjutnya hasil simulasi tersebut dibandingkan dengan hasil simulasi sebelum pelebaran kanal pendingin. Gambar 87a di bawah menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario setelah dilakukan pelebaran kanal pendingin, sementara Gambar 87b menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi sebelum dilakukan pelebaran kanal pendingin. Perbandingan antara Gambar 87a dengan Gambar 87b di bawah menunjukkan terjadinya penurunan suhu yang cukup signifikan dengan melakukan pelebaran kanal. Penurunan suhu ini dapat dilihat terutama di muara kanal pendingin, dimana pola isotherm yang tercatat sebelum pelebaran kanal (87b) adalah 39 o C dan setelah pelebaran kanal suhu turun menjadi 36 o C (87a), dengan kata lain terjadi penurunan suhu hingga ±3 o C setelah dilakukan pelebaran kanal. Terjadinya penurunan suhu setelah dilakukan pelebaran kanal pendingin disebabkan oleh adanya pengaruh gaya pasut (T) yang cukup kuat sebanding dengan limpasan air dari buangan air pendingin (RR) yang menyebabkan muara kanal berosilasi. Energi pasut yang kuat dan melawan gesekan dasar akan menimbulkan turbulen eddy. Turbulen eddy yang terjadi kehilangan energi kinetik melawan gradien densitas sehingga meningkatkan energi potensial kolom air laut. Turbulen eddy mengangkat air laut ke atas dan energi potensial membawa air tawar ke bawah. Dalam hal ini terjadi proses dua arah (2 ways process) sehingga menyebabkan terjadinya percampuran yang lebih kuat antara buangan air pendingin dengan air laut.

185 159 (a) (b) Lintang Utara (derajat) Bujur Timur (derajat) Bujur Timur (derajat) ( o C ) Gambar 87 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pelebaran kanal pendingin (a) setelah pelebaran kanal pendingin (b) sebelum pelebaran kanal pendingin Regulasi Buangan Air Pendingin Selama ini PT. Badak NGL melakukan evaluasi hasil pemantauan kualitas air limbah dengan menggunakan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang mengacu pada SK Gubernur Kalimantan Timur No. 26 Tahun 2002 Lampiran I butir 30 (Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Pengilangan LNG dan LPG Terpadu) (PT. Badak NGL 2008). SK Gubernur ini diberlakukan dari outfall buangan air pendingin sampai Muara Kanal Pendingin. Hal ini karena pihak perusahaan menganggap wilayah tersebut masih merupakan bagian dari proses pengolahan buangan air pendingin.

186 160 SK Gubernur Kaltim No. 26 Tahun 2002 ini menetapkan baku mutu limbah cair untuk parameter suhu bagi kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu sebesar 45 o C. Penetapan baku mutu untuk parameter suhu dalam SK Gubernur ini masih memenuhi kriteria baku mutu untuk parameter suhu yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2007 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu, yang menetapkan batas suhu maksimum yang sama yakni 45 o C. Dengan demikian suhu buangan air pendingin PT. Badak NGL yang mencapai suhu 42 o C dalam kolam pendingin dan 41 o C di muara kanal pendingin (zona terdampak) dianggap memenuhi standar baku mutu yang ada. Penerapan SK Gubernur Kaltim oleh PT. Badak NGL dalam pemantauan kualitas air limbah di dalam Kolam Pendingin sampai Muara Kanal Pendingin ini bertentangan dengan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 terutama Lampiran III (untuk Biota Laut) mengingat di lokasi buangan air pendingin tersebut terdapat biota laut yakni mangrove. Dimana dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran III hanya diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami, dalam kasus ini suhu alami Perairan Bontang berkisar antara o C. Dengan kata lain kenaikan suhu air laut di Kolam Pendingin sampai Muara Kanal Pendingin telah jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH ini. Dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan SK Gubernur di dalam Kolam Pendingin sampai Muara Kanal Pendingin adalah terganggunya ekosistem mangrove. Hal ini didasarkan pada dokumen Pertamina 2003 yang melaporkan bahwa sekitar m 2 mangrove mengalami kematian akibat buangan air pendingin, dengan rincian panjang areal mangrove (antara Sekambing Baltim sampai pertemuan outfall kanal A-H) yang mati m dan lebar sekitar 50 m. Selain itu pemberlakuan SK Gubernur tersebut juga berdampak pada terganggunya komunitas fitoplankton di Kolam Pendingin, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dari penelitian ini. Dengan demikian pemberlakuan regulasi untuk limbah cair dalam hal ini buangan air pendingin PT.

187 161 Badak NGL khususnya parameter suhu perlu dievaluasi kembali oleh pihak yang berkompeten. Berbeda dengan evaluasi Baku Mutu Limbah Cair, untuk evaluasi hasil pemantauan kualitas air laut, PT. Badak NGL menerapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran I (untuk Perairan Pelabuhan) (PT. Badak NGL 2008). Kepmen LH ini diberlakukan pada perairan di luar Muara Kanal Pendingin, termasuk pelabuhan dan sekitarnya. Baku Mutu yang ditetapkan untuk parameter suhu dalam Lampiran I (untuk Perairan Pelabuhan) dan Lampiran III (untuk Biota Laut) dari Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 adalah sama yakni diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak dipermasalahkan penggunaan Lampiran I tersebut untuk evaluasi kualitas air laut meskipun terdapat permasalahan mengingat perairan yang di dalamnya terdapat biota laut lebih luas dibandingkan dengan luas pelabuhan PT. Badak NGL itu sendiri. Berdasarkan hasil simulasi dan hasil pengukuran yang diperoleh untuk parameter suhu, maka jika Kepmen LH tersebut diberlakukan, setengah daerah model telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Kepmen LH tersebut (lihat pola isotherm pada gambar-gambar bagian Subbab 4.3). Dimana suhu yang diperbolehkan di Perairan Bontang menurut penafsiran Kepmen LH ini adalah >31.3 o C (suhu alami Perairan Bontang berkisar antara o C). Terdapat dua sisi yang perlu ditinjau dalam kasus ini, yakni : dari sisi teknologi, rancangan pembuangan air pendingin dari perusahaan sudah mencapai titik keekonomisan. Pada titik ini, kenaikan temperatur air paling rendah selama proses pembuangan panas sudah tertentu. Pertimbangan utama penetapan kenaikan temperatur air adalah dimensi alat pembuangan panas yang disebut sebagai kondensor. Jika kenaikan ini terlalu rendah atau diturunkan, dimensi kondensor akan menjadi sangat besar yang menyebabkan biaya produksi gas menjadi tinggi (Ardiansyah 2006). Di sisi lain, pembuangan panas oleh perusahaan ke lingkungan akan menyebabkan terganggunya biota di sekitarnya.

188 162 Salah satu yang menjadi landasan pertimbangan dikeluarkannya Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 adalah untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut dengan melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak lingkungan laut (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004). Dalam hal ini untuk meminimalisasi dampak negatif dari buangan air pendingin, keputusan tersebut mensyaratkan kenaikan temperatur maksimal untuk biota laut sebesar 2 C. Jadi dalam hal ini, terdapat dua sisi yang saling bertolak belakang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan suhu hingga o C ( T=6-7 o C) di Sekambing Muara telah menyebabkan kematian terhadap terumbu karang, sementara kenaikan suhu sampai o C ( T=4-5 o C) hanya menyebabkan gangguan sedang hingga matinya terumbu karang. Sementara untuk fitoplankton, gangguan terhadap komunitas ini terjadi pada perairan yang mengalami kenaikan suhu hingga o C ( T= o C). Dengan demikian baku mutu untuk parameter suhu yang diatur dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 yang menetapkan hanya diperbolehkan terjadi perubahan suhu <2 o C dari suhu alami untuk biota laut menurut hasil penelitian ini terlalu ketat khususnya bagi terumbu karang dan fitoplankton. Berdasarkan hasil penelitian diatas (hasil simulasi pola sebaran suhu) dan kondisi faktual di lokasi penelitian, maka suhu di perairan dimana buangan air pendingin dilepas (outfall 1 dan outfall 2) perlu dilihat sebagai suhu ambien karena selain wilayah perairan ini masih dipengaruhi oleh kondisi pasang surut perairan sehingga tidak dapat dikategorikan sabagai bagian dari Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), di perairan ini juga ditemukan adanya biota laut. Sehingga peraturan yang harus diterapkan berkaitan dengan suhu buangan air pendingin adalah peraturan yang memandang wilayah perairan tersebut berkedudukan sebagai perairan dengan suhu ambien. Dalam konteks ini peraturan yang tepat diberlakukan di wilayah buangan air pendingin (outfall 1 dan outfall 2) tersebut adalah Kepmen LH No. 52 Tahun 2004 yang membatasi kenaikan suhu akibat buangan air pendingin maksimal 2 o C dari suhu alami perairan. Terkait adanya dua regulasi yang mengatur tentang buangan air pendingin dan lingkungan perairan seperti diuraikan diatas, maka PT. Badak NGL dalam perspektif

189 163 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu, masih memenuhi standar suhu maksimum yang ditetapkan yakni suhu maksimum 45 o C. Namun dalam perspektif Kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang hanya memperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami, keberadaan buangan air pendingin PT. Badak NGL tersebut menjadi bermasalah, hal ini disebabkan oleh fakta yang menunjukkan bahwa terjadi kenaikan suhu >2 o C (melebihi baku mutu) akibat buangan air pendingin ke perairan dengan suhu ambien. Dengan kata lain dalam kasus ini disatu sisi PT. Badak NGL telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Permen LH No. 4 Tahun 2007 (suhu maksimum 45 o C), namun di sisi lain tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (kenaikan suhu <2 o C) Implikasi Buangan Air Pendingin Terhadap Tata Ruang Kota Bontang Luas wilayah Kota Bontang relatif sangat kecil yakni ±49 757Ha yang terdiri dari daratan seluas ±14 780Ha (29.70%) dan lautan seluas Ha (70.30%). Wilayah daratannya hampir tidak memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan, selain karena sebagian besar diantaranya merupakan wilayah perusahaan, hutan lindung dan permukiman, juga karena memiliki tingkat kesuburan tanah yang relatif kurang baik. Satu-satunya potensi sumberdaya alam yang dimiliki Kota Bontang adalah wilayah pesisir dan laut yang kaya akan sumber daya laut seperti ikan, rumput laut, padang lamun, hutan mangrove, teripang, dan biota laut lainnya. Kondisi inilah yang menjadikan pemerintah Kota Bontang menjadikan sektor kelautan sebagai sumberdaya alternatif untuk pembangunan Kota Bontang secara berkelanjutan. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan Kota Bontang dapat dilakukan dengan memperhatikan segala aspek yang dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya wilayah perairan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini eksistensi PT. Badak NGL sebagai perusahaan yang membuang limbahnya berupa air pendingin (cooling water) ke wilayah perairan perlu dikaji untuk selanjutnya

190 164 dipertimbangkan dalam penyusunan tata ruang Kota Bontang, sehingga pemanfaatan ruang dapat dioptimalkan sebaik mungkin. Hasil simulasi dengan menggunakan model POM berupa pola dispersi panas secara spasial dan temporal yang diperoleh dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di sekitar buangan air pendingin secara optimal. Dalam hal ini hasil simulasi dapat memberi informasi tentang identifikasi ruang pesisir mana yang masih dapat dimanfaatkan dan yang tidak dapat dimanfaatkan. Dalam perspektif buangan air pendingin, dapat diketahui bahwa untuk kawasan Teluk Nyerakat dari tengah hingga ujung teluk masih memiliki kondisi suhu yang relatif sama dengan suhu alami perairan sehingga potensi pemanfaatan ruang untuk aktifitas budidaya masih baik seperti budidaya rumput laut seperti yang dilakukan saat ini. Demikian pula dengan perairan di bagian utara daerah model masih dapat dilakukan pemanfaatan terbatas tanpa terganggu oleh pengaruh fluktuasi kenaikan suhu. Sementara untuk perairan di depan muara kanal pendingin hingga Pulau Sieca (arah timur) dan sebelum memasuki Teluk Nyerakat (arah selatan) dengan kondisi suhu yang relatif lebih tinggi dari suhu alami perairan hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu yang tidak beresiko terhadap fluktuasi kenaikan suhu perairan. Optimalisasi pemanfaatan ruang di sekitar buangan air pendingin dapat pula dilakukan dengan menggunakan buangan air pendingin tersebut untuk aktifitas budidaya perairan. Hal ini dapat dilakukan mengingat beberapa jenis ikan memerlukan kondisi suhu yang stabil untuk dapat tumbuh secara optimal. Pemanfaatan buangan air pendingin untuk budidaya ikan telah dilakukan untuk kepentingan komersial pada sebuah kanal buangan pembangkit listrik di Teluk Colorado, Texas Barat (Pilgrim 1975). Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan energi panas dari buangan air pendingin dengan mengkonversi energi tersebut untuk mengontrol suhu yang tepat bagi pertumbuhan ikan selama musim gugur, musim dingin dan musim semi.

191 165

192 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Pola sebaran suhu permukaan dan struktur vertikal suhu akibat buangan air pendingin (cooling water) di Perairan Bontang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut perairan terutama pada saat pasut purnama, dimana pada saat surut massa buangan air pendingin dominan bergerak ke arah lepas pantai (offshore), sementara pada saat pasang bergerak ke arah kolam pendingin. 2. Kenaikan suhu perairan di sekitar PT. Badak NGL pada level tertentu berdampak negatif terhadap fitoplankton dan terumbu karang. Kenaikan suhu perairan hingga o C menyebabkan berkurangnya jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton secara signifikan. Sementara suhu rata-rata tahunan sebesar o C dengan suhu maksimum 35.3 o C dan suhu minimum 33.2 o C menyebabkan kematian terumbu karang, dan suhu rata-rata tahunan sebesar o C dengan suhu maksimum 33.3 o C dan suhu minimum 30.3 o C menyebabkan kerusakan sedang hingga mati. 3. Kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL menunjukkan adanya zona terdampak baik berdasarkan hasil analisis maupun berdasarkan baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 dengan luasan yang berbeda untuk setiap kondisi pasut. 5.2 Saran 1. Perlu pengembangan model dispersi thermal dengan mengintegrasikan indikatorindikator biota laut dalam model untuk merumuskan kebijakan yang efisien berhubungan dengan buangan air pendingin (cooling water) di wilayah pesisir. 2. Metode penelitian ini perlu diterapkan pada daerah dimana terdapat biota laut yang lebih kompleks di sekitar buangan air pendingin, sehingga konsep pengelolaan wilayah pesisir dengan metode ini dapat dirumuskan secara lebih komprehensif. 165

193 Perlu kajian yang lebih komprehensif tentang buangan air pendingin (cooling water) terutama berkaitan dengan parameter suhu sehingga dalam tataran aplikasi tidak saling kontradiktif antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya.

194 168 DAFTAR PUSTAKA Abbaspour, M., A.H. Javid, P. Moghimi, and K. Kayhan Modeling of Thermal Pollution in Coastal Area and its Economical and Environmental Assessment. Journal of Environmental Scince and Technology 2: Aoki, K., A. Isobe Application of Finite Volume Coastal Ocean Model to Hindcasting the Wind-Induced Sea-Level Variation in Fukuoka Bay. Journal of Oceanography 63: Ardiansyah, W Pengaruh Kenaikan Temperatur Air Pendingin terhadap Karakteristik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Workshop Dampak Sirkulasi Air Pendingin pada Ekosistem Laut. Bandung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bontang (Bappeda Kota Bontang) Penyusunan Master Plan Kawasan Pesisir Kota Bontang. Bontang. Barron, S., C. Weber, R. Marino, E. Davidson, G. Tomasky and R. Howart Effect of Varying Salinity on Phytoplankton Growth in a Low-Salinity Coastal Pond Under Two Nutrient Conditions. Biology Bulletin 203: Bouman, H. A., T. Platt, S. Sathyendranath, W. K. W. Li, V. Stuart, C. F Yaco, H. Maasss, E. P. W. Horne, O. Ulloa, V. Lutz, and M. Kyewalyangan Temperature as Indicator of Optical Properties and Community Structure of Marine Phytoplankton: Implications for Remote Sensing. Journal of Marine Ecology 258: Brown, B. E., I. Ambarsari, M.E. Warner, W.K. Fitt, R.P. Dunne, S.W. Gibb, and D.G. Cummings Diurnal changes in photochemical efficiency and xanthophyll concentrations in shallow water reef corals: evidence for photoinhibition and photoprotection. Coral Reefs 18: Chuang, Y., H. Yang, and H. Lin Effect of a Thermal Discharge from a Nuclear Power Plant on Phytoplankton and Periphyton in Subtropical Coastal Waters. Journal of Sea Research 61: Coles, S.L The effect of elevated temperature on reef coral planula settlement as related to power station entraintment. Proceedings of the Fifth International Coral Reff Congress 4: Coles, S.L Comparasion of effects of elevated Temperature fluctuations on reef corals at Kahe Point, Oahu. Pacific Science 29: Coles, S.L., P.L. Jokiel and C.R. Lewis Thermal Tolerance in Tropical Versus Subtropical Pacific Reef Corals. Pacific Science 30:

195 169 Dahuri R, J. Rais, P.G. Sapta, M. Sitepu Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara terpadu (Edisi Revisi). Saptodadi. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang (DKP Kota Bontang) Penyusunan Database Pesisir dan Laut Kota Bontang. Bontang Effendi, H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta 167 English, S., C. Wilkinson, and Baker Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Eriyatno Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor GESAMP Thermal Discharge in the Environment. Report of studies GESAMP (24) : 44. Grigg, R.W. & S.J. Dollar Natural and Anthropogenic Disturbance on Coral Reefs. In: Coral reefs (Z. Dubinsky ed.). Science Publisher. 21: Hadi, S Pengembangan Model Matematik dan Penerapan SIG untuk Menunjang Rencana Strategis Penanggulangan Tumpahan Minyak Di Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Makassar. Laporan Akhir RUT VII, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional Hamrick, J.M. & W.B. Mills Analysis of Water Temperatures in Conowingo Pond as Influenced by the Peach Bottom Atomic Power Plant Thermal Discharge. Journal of Environmental Science and Policy 3: Hood, R.R., M.R. Abbott and A. Huyer Phytoplankton and Photosinthetic Light Response in the Coastal Transition Zone off Nothern California in June Journal of Geophysical Research 96: HydroQual, Inc User Manual a Primer for POM, Version 1.3, Mahwah, New Jersey, USA. Huang, L., W. Jian, X. Song, X. Huang, S. Liu, P. Qian, K. Yin, and M. Wu Spesies Diversity and Distribution for Phytoplankton of the Pearl River Estuary During Rainy and Dry Season. Marine Pollution 49: Hutabarat, S., S.M. Evans Pengantar Oseanografi. UI-Press. Jakarta. Jomes, C Identifying Marine Phytoplankton, Academic Press Harcourt Brace and Company, San Diego California. Kasman Prediksi Tidal Front di Selat Malaka. Tesis. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

196 170 Kolehmainen, S.E., T.O. Morgan, and R. Castro Mangrove Root Communities in a Thermally Altered Area in Guayanita Bay, Puerto Rico. Proceeding Aec. Conference : Laboratorium PT. Badak NGL (Lab. PT Badak NGL) Laporan Data Curah Hujan. Bontang. Lalli, C.M., and T.R. Pearsons Biologycal Oceanography, an Introduction. Butterworth-Heinemann, Oxford. Li, T., S. Liu, L. Huang, H. Huang, J. Lian, Y. Yan, and S. Lin., Diatom to Dinoflagellate Shift in the Summer Phytoplankton Community in a Bay Impacted by Nuclear Power Plant Thermal Effluent. Marine Ecology Progress Series 424: Ma, S.W.Y., C.S.W. Kueh, G.W.L. Chiu, S.R. Wild, and J.Y. Yip., Environmental Management of Coastal Cooling Water Discharges in Hong Kong. Water Science and Technology 38: 8-9. Mellor, G.L., Users Guide for a Three-Dimensional, Primitive Equation, Numerical Ocean Model, Program in Atmospheric and Oceanic Sciences, Princeton University. Mihardja D.K., Presentasi Seminar Dampak Sirkulasi Air Pendingin terhadap Ekosistem Laut, Aula Barat ITB. Maderich, V., R. Bezhenar, I. Brovchenko, R. Heling, H. Jenner, A. Kuschan, Koshebutskyy, and K. Terletska Development and Application of 3D Numerical Model THREETOX to the Prediction of Cooling Water Transport and Mixing. Hydrological Process 22: May, C.L, J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer Effects of Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton Blooms. Journal of Marine Ecology Progress 254: Naik, S., B.C. Acharya and A. Mohapatra Seasonal Variations of Phytoplankton in Mahanadi Estuary, East Coast of India. Indian Journal of Marine Science 38: Nontji, A Biomassa dan Produktifitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta serta Keterkaitannya dengan Factor-Faktor Lingkungan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Neudecker, S Growth and survival of scleractinion corals exposed to thermal effluents at Guam. Proc. Fourth International Coral Reef Symposium. Manila, Philippines. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 4 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi. Pilgrim, L Aquaculture in Power Plant Effluent. Texas Water Resources 1: 11

197 171 Poornima, E.H., M. Rajadurai, T.S. Rao, B. Anupkumar, R. Rajamohan, S.V. Narasimhan, V.N.R. Rao, V.P. Venugopalan Effect of Thermal Discharge from a Tropical Coastal Power Plant on Phytoplankton. Journal of Thermal Biology 30: Poornima, E.H., M. Rajadurai, V.N.R. Rao, S.V. Narasimhan, V.P. Venugopalan Use of Coastal Waters as Condenser Coolant in Electric Power Plants : Impact on Phytoplankton and Primary Productivity. Journal of Thermal Biology 31: Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina) Proyek Perluasan Kilang LNG (Train-I), Bontang Kalimantan Timur. Laporan Akhir Analisis Dampak Lingkungan. Jakarta PT. Badak NGL Laporan Akhir, Pemantauan Lingkungan Hidup di PT. Badak NGL Bontang Tahun Bontang PT. Badak NGL Laporan Akhir, Pemantauan Lingkungan Hidup di PT. Badak NGL Bontang Tahun Bontang Roessler, W.W. and J.C. Zieman Jr The effects of thermal additions on the biota of southern Biscayne Bay, Florida. Prociding Gulf Caribbean 22: Sahlan, M Planktonologi. Correspondence Cource Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. Saravanan, P., A.M. Priya, B. Sundarakrisnan, V.P. Venugopalan Effect of Thermal Discharge from Nuclear Power Plant on Culturable Bacteria at a Tropical Coastal Location in India. Journal of Thermal Biology 33: Sasongko dan Rahmat Pemetaan sebaran amonia dan debu urea di udara sekitar PT Pupuk Kaltim, Kota Bontang, Propinsi Kalimantan Timur. Kerjasama antara PT Pupuk Kaltim Tbk dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian, Universitas Diponegoro. Shahidi, A.E., M.J. Zoghi, M. Saeedi An Alternative Data Driven Approach for Prediction of Thermal Discharge Initial Dilution Using Tee Diffusers. International Journal Environmental Science and Technology. 7(1): Smith, S.V., and R.W. Buddemeier Global Change and Coral Reef Ecosystems. Annual Revolution Ecologycal System 23: Soewarno Hidrologi. Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Nova. Bandung Sumich, J.L An Introduction to The Biology Marine Life. Fifth Edition. WCB WM.C. Brown Publisher. Tambaru, R Dinamika Komunitas Fitoplankton Dalam Kaitannya dengan Produktifitas Perairan di Perairan Pesisir Maros, Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

198 172 Thurman, H.V Essential of Oceanography. Macmillan Publishing Company. Wyrtki, K Physical Oceanography of the Southeast Asian Water. Naga Report (2) University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jalla, California. Wu, J., E.M. Buchak, J.E. Edinger, and V.S. Kolluru Simulation of Cooling Water Discharges from Power Plants. Journal of Environmental Management 61: Yamaji, I Ilustration of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Osaka Japan. You, J., H. Li CFD-Based Prediction on Thermal Pollution. Journal of Environtal Science&Technology 978: 1-4 Zuzuki, K., N. Handa, H. Kiyosawa, and J. Ishizaka Temporal and Spatial Distribution of Phytoplankton Pigment in the Central Pacific Ocean along 175 o E during the Boreal Summers of 1992 and Journal of Oceanography 53:

199 Lampiran 1. Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Sekangat selama 29 hari (29 piantan) Latitude : 00 o N o Longitude : E Kedalaman laut : 0.9 m diukur pada saat surut maksimum Jam Tanggal 13-Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep

200 Lampiran 1. (Lanjutan) Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Sekangat selama 29 hari (29 piantan) Latitude : 00 o N o Longitude : E Kedalaman laut : 0.9 m diukur pada saat surut maksimum Jam Tanggal 01-Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct

201 175 Lampiran 2 Sebaran suhu permukaan hasil pengukuran saat purnama (3 Oktober 2008) dan saat perbani (10 Oktober 2008) di beberapa stasiun pengamatan No Stasiun Koordinat Waktu 1 Outfall 1 2 Outfall 2 3 Pelabuhan Baltim 4 Muara Outfall 1 5 Sekambing Bulu 6 Muara outfall 1 dan 2 7 Kanal Pendingin 8 M. Kanal Pendingin 9 Depan Dermaga 10 Sekambing Muara 1 11 Sekambing Muara 2 12 Teluk Sekangat 13 Stasiun Pulau Sieca Depan 15 Pulau Sieca Belakang N: 00 o E:117 o :00 N: 00 o E:117 o :30 N: 00 o E:117 o :00 N: 00 o E:117 o :30 N: E:117 o :00 N: E:117 o :30 N: E:117 o :00 N: E:117 o :30 N: E:117 o :00 N: E:117 o :30 N: E:117 o :00 N: E:117 o :30 N: E:117 o :00 N: E:117 o :30 N: E:117 o :00 Suhu ( o C) Purnama Perbani

202 176 Lampiran 3 Hasil pengukuran suhu ( o C) dalam arah vertikal di Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) o Latitude : N o Longitude : E Kedalaman laut : 8 meter Waktu (jam) Kedalaman (m) Waktu Kedalaman (m) (jam) : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

203 177 Lampiran 3 : (Lanjutan) Hasil pengukuran suhu ( o C) dalam arah vertikal di Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) 3: : : : : : : : : : : :

204 178 Lampiran 4 Suhu permukaan hasil simulasi pada titik verifikasi No Stasiun Outfall 1 Outfall 2 Pelabuhan Baltim Muara Outfall 1 Sekambing Bulu Muara Outfall 1&2 Pertengahan Kanal Muara Kanal Depan Pelabuhan Sekambing Muara 1 Sekambing Muara 2 Teluk Sekangat Stasiun 13 Pulau Sieca Depan Pulau Sieca Belakang Suhu ( o C) Purnama Perbani

205 179 Lampiran 5 Suhu ( o C) hasil simulasi per-layer pada titik verifikasi model Hari ke-1 (Jam) Suhu hasil simulasi per-layer Hari Suhu hasil simulasi per-layer ke (Jam) : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

206 180 Lampiran 6 Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret 2008 dan September 2008 No Parameter Satuan Kode Sampel A/B C/D E/F G/H MKP BML Bulan Maret 2008 Kondisi Air Laut Pasang 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 2 5 Minyak/Lemak mg/l td ttd ttd 25 Kondisi Air Laut Surut 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 2 5 Minyak/Lemak mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 25 Bulan September 2008 Kondisi Air Laut Pasang 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 2 5 Minyak/Lemak mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 25 Kondisi Air Laut Surut 1 Suhu o C Salinitas alami 3 ph Klorin (Cl 2 ) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 2 5 Minyak/Lemak mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 25 Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi BML=Baku Mutu Lingkungan (SK Gubernur Kalimantan Timur No. 26 Tahun 2002 Lampiran I) A/B = Outfall train A & B, C/D = Outfall train C & D, E/F = Outfall train E & F, G/H = Outfall train G & H, MKP = Muara Kanal Pendingin (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)

207 181 Lampiran 7 Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar PT Badak NGL (Maret 2008) No Parameter Satuan Fisika 1 Suhu o Air Laut Pasang Sampel Air Laut Surut MKP BBP CWI MKP BBP CWI BML C alami 2 Bau tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak 3 Sampah nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 4 Lapisan minyak nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 5 Salinitas o / 31.6 oo alami 6 Kecerahan m (d) (d) 2.85 Kimia 8 ph H 2 S mg/l NH 3 -N mg/l DO mg/l >4 12 BOD mg/l COD mg/l PO 4 -P mg/l Lemak mg/l Total Phenol mg/l Deterjen mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd 1 18 Raksa (Hg) µg/l ttd ttd ttd ttd 3 19 Seng (Zn) mg/l Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi = sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai, CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)

208 182 Lampiran 8 Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (September 2008) Sampel No Parameter Satuan Air Laut Pasang Air Laut Surut BML MKP BBP CWI MKP BBP CWI Fisika 1 Suhu o C alami 2 Bau tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak 3 Sampah nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 4 Lapisan minyak nihil nihil nihil nihil nihil nihil nihil 5 Salinitas o / oo alami 6 Kecerahan m Kimia 7 ph H 2 S mg/l NH 3 N mg/l Lemak mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd 5 11 DO mg/l >4 12 BOD5 mg/l COD mg/l PO 4 -P mg/l Total Phenol mg/l Deterjen mg/l Raksa (Hg) µg/l Seng (Zn) mg/l Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : Ttd = Tidak terdeteksi = Sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai, CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)

209 183 Lampiran 9 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp. Cyclotella sp. Hemialus sp. Nitzchia sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Stasiun A Purnama Perbani Jumlah Jenis 4 2 Kelimpahan Lampiran 10 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Navicula sp. Thallasiotrix sp. Stasiun A Purnama Perbani Jumlah Jenis 4 3 Kelimpahan (ind/ltr)

210 184 Lampiran 11 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Coscinodiscus sp.3 Coscinodiscus sp.4 Synedra sp. Thallasiosira sp. Stasiun B Purnama Perbani Jumlah Jenis 3 4 Kelimpahan (ind/ltr) Lampiran 12 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Navicula sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp.1 Synedra sp.2 Cyanophyceae Lyngbia sp. Stasiun B Purnama Perbani Jumlah Jenis 5 4 Kelimpahan

211 185 Lampiran 13 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun C saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Pleurosigma sp. Streptotheca sp. Synedra sp. Tabellaria sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Spirulina sp. Stasiun C Purnama Perbani Jumlah Jenis 7 5 Kelimpahan (ind/ltr) Lampiran 14 Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun C saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetocesros sp. Coscinodiscus sp. Nitzchia sp. Synedra sp. Thallasiotrix sp. Thallasiosira sp. Stasiun C Purnama Perbani Jumlah Jenis 5 3 Kelimpahan (ind/ltr)

212 186 Lampiran 15 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun D saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacillaria sp. Chaetoceros sp. Cyclotella sp. Coscinodiscus sp. Diatoma sp. Dithylium sp. Gyrosigma sp. Navicula sp. Nitzchia sp.1 Nitzchia sp.2 Pinnularia sp. Pleurosigma sp. Synedra sp. Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Stasiun D Purnama Perbani Oscillatoria sp Jumlah Jenis 8 12 Kelimpahan (ind/ltr)

213 187 Lampiran 16 Jumlah Jenis dan Kelimpahan Plankton di Stasiun D saat air pasang dan air surut untuk kondisi purnama pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacteriastrum sp. Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Diatoma sp. Gyrosigma sp. Navicula sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Synedra ocus Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Purnama Stasiun D Perbani Jumlah Jenis 5 7 Kelimpahan (ind/ltr)

214 188 Lampiran 17 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun E saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Biddulphia sp. Chetoceros sp. Coscinodiscus sp. Cymbella sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Lyngbia sp. Stasiun E Purnama Perbani Jumlah Jenis 7 6 Kelimpahan (ind/ltr) Lampiran 18 Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun E saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Biddulphia sp. Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Synedra sp.1 Synedra sp.2 Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Stasiun E Purnama Perbani Jumlah Jenis 6 5 Kelimpahan (ind/ltr)

215 189 Lampiran 19 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetocesros sp. Coscinodiscus sp. Eucampia sp. Milosera sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp. Thallasiotrix sp. Thallasiosira sp. Stasiun F Purnama Perbani Jumlah Jenis 8 6 Kelimpahan (ind/ltr) Lampiran 20 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chetocesros sp. Coscinodiscus sp. Hemialus sp. Milosera sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp. Stasiun F Purnama Perbani Jumlah Jenis 7 9 Kelimpahan (ind/ltr)

216 190 Lampiran 21 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacteriastrum sp. Biddulphia sp. Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Coscinodiscus sp.3 Coscinodiscus sp.4 Dithylium sp. Synedra ocus Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Purnama Stasiun G Perbani Jumlah Jenis 8 6 Kelimpahan (ind/ltr)

217 191 Lampiran 22 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacteriastrum sp. Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Chaetoceros sp.3 Chaetoceros sp.4 Chaetoceros sp.5 Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Eucampia sp. Navicula sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp.1 Synedra sp.2 Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Stasiun G Purnama Perbani Jumlah Jenis 9 11 Kelimpahan (ind/ltr)

218 192 Lampiran 23 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun H saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Coscinodiscus sp. Cymbella sp. Frustulia sp. Louderia sp. Navicula sp. Nitzchia sp.1 Nitzchia sp.2 Rhizosolenia sp. Synedra sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Stasiun H Purnama Perbani Jumlah Jenis 9 9 Kelimpahan (ind/ltr)

219 193 Lampiran 24 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun H saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Coscinodiscus sp. Cymbella sp. Frustulia sp. Navicula sp. Nitzchia sp.1 Nitzchia sp.2 Rhizosolenia sp. Synedra sp. Thallasiosira sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Stasiun H Purnama Perbani Jumlah Jenis 8 11 Kelimpahan (ind/ltr)

220 194 Lampiran 25 Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton) Pengaruh pasang surut dan suhu terhadap jumlah spesies fitoplankton ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Rows Columns Error Total Keterangan : Rows = analisis pengaruh suhu terhadap fitoplankton Columns = analisis pengaruh pasut terhadap kelimpahan fitoplankton Pengaruh suhu terhadap jumlah spesies (pengujian antara stasiun pengamatan dengan stasiun kontrol) Stasiun A dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun B dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun C dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total

221 195 Lampiran 25 (Lanjutan) Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton) Stasiun D dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun E dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun F dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total 20 7 Stasiun H dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total

222 196 Lampiran 26 Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel Stasiun A B C D E F G H Koordinat Kedalaman (m) N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: Keterangan : I = Musim kemarau saat pasut purnama II = Musim kemarau saat pasut perbani III = Musim hujan saat pasut purnama IV = Musim hujan saat pasut perbani Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa kondisi I II III IV

223 197 Lampiran 27 Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton) Pengaruh pasang surut dan suhu terhadap kelimpahan fitoplankton ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Rows Columns Error Total Keterangan : Rows = analisis pengaruh suhu terhadap fitoplankton Columns = analisis pengaruh pasut terhadap kelimpahan fitoplankton Pengaruh suhu terhadap kelimpahan fitoplankton (pengujian antara stasiun pengamatan dengan stasiun kontrol) Stasiun A dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun B dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun C dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total

224 198 Lampiran 27 (Lanjutan) Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton) Stasiun D dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun E dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun F dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total Stasiun H dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups Within Groups Total

225 199 Lampiran 28 Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel Stasiun A B C D E F G H Koordinat Kelimpahan fitoplankton pada beberapa kondisi I II III IV N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: N: 00 o o E: Keterangan : I = Musim kemarau saat pasut purnama II = Musim kemarau saat pasut perbani III = Musim hujan saat pasut purnama IV = Musim hujan saat pasut perbani

226 200 Lampiran 29 Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei Foto Kondisi Terumbu Karang di Pulau Beras Basah Foto Kondisi Terumbu Karang di Pulau Melahing Foto Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca

227 Foto Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara 201

Gambar 10 Peta administrasi wilayah Kota Bontang dan daerah model (dalam kotak hitam) (Sumber : DKP Kota Bontang 2005).

Gambar 10 Peta administrasi wilayah Kota Bontang dan daerah model (dalam kotak hitam) (Sumber : DKP Kota Bontang 2005). 31 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2008 sampai Oktober 2010 di wilayah Perairan Bontang, Kotamadya Bontang, Provinsi Kalimantan Timur, yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

Studi Pola Sebaran Buangan panas PT. Pertamina Up V Balikpapan Di Perairan Kampung Baru, Teluk Balikpapan

Studi Pola Sebaran Buangan panas PT. Pertamina Up V Balikpapan Di Perairan Kampung Baru, Teluk Balikpapan ISSN : 2089-3507 Studi Pola Sebaran Buangan panas PT. Pertamina Up V Balikpapan Di Perairan Kampung Baru, Teluk Balikpapan Rizkiyah, Denny Nugroho S, Purwanto Program Studi Oseanografi, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

KAJIAN ARUS PERAIRAN PANTAI SEMARANG PENDEKATAN PEMODELAN NUMERIK TIGA DIMENSI DISERTASI

KAJIAN ARUS PERAIRAN PANTAI SEMARANG PENDEKATAN PEMODELAN NUMERIK TIGA DIMENSI DISERTASI KAJIAN ARUS PERAIRAN PANTAI SEMARANG PENDEKATAN PEMODELAN NUMERIK TIGA DIMENSI DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung Oleh FATHURRAZIE

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI Oleh: ABDULLAH AFIF 26020110110031 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG F1 08 Nurul Latifah 1)*), Sigit Febrianto 1), Churun Ain 1) dan Bogi Budi Jayanto 2) 1) Program Studi

Lebih terperinci

PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI TUGAS AKHIR

PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI TUGAS AKHIR PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN HIDRODINAMIKA DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS : PESISIR MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT) TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM

PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM 1. Daerah dan Skenario Model Batimetri perairan Jepara bervariasi antara 1 meter sampai dengan 20 meter ke arah utara (lepas pantai). Secara garis besar,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Oleh. Muhammad Legi Prayoga

Oleh. Muhammad Legi Prayoga PEMETAAN ARUS DAN PASUT LAUT DENGAN METODE PEMODELAN NUMERIK DAN PEMANFAATANNYA DALAM ANALISIS KERENTANAN WILAYAH PESISIR TERHADAP ABRASI (STUDI KASUS: PESISIR KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT) TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Simulasi pemodelan arus pasang surut di kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menggunakan perangkat lunak SMS 8.1 (Surface-water Modeling System 8.

Simulasi pemodelan arus pasang surut di kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menggunakan perangkat lunak SMS 8.1 (Surface-water Modeling System 8. 48 Maspari Journal 01 (2010) 48-52 http://masparijournal.blogspot.com Simulasi pemodelan arus pasang surut di kolam Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menggunakan perangkat lunak SMS 8.1 (Surface-water Modeling

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Oleh: Pratiwi Fudlailah

Oleh: Pratiwi Fudlailah Oleh: Pratiwi Fudlailah 4309100011 Laut biasanya digunakan sebagai tempat pembuangan limbah panas dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 tahun 2009

Lebih terperinci

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PERILAKU SEDIMENTASI 4.1 UMUM Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan matematika dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SMS versi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Studi Peningkatan Kinerja Ocean Outfall pada Pembuangan Limbah Cair di Wilayah Pesisir

Studi Peningkatan Kinerja Ocean Outfall pada Pembuangan Limbah Cair di Wilayah Pesisir Jihannuma Adibiah Nurdini 4308 100 049 Dosen pembimbing: Prof. Mukhtasor, M.Eng, Ph.D Ir. Hasan Ikhwani, M.Sc Studi Peningkatan Kinerja Ocean Outfall pada Pembuangan Limbah Cair di Wilayah Pesisir Teknik

Lebih terperinci

WORKING PAPER PKSPL-IPB

WORKING PAPER PKSPL-IPB ISSN: 2086-907X WORKING PAPER PKSPL-IPB PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Center for Coastal and Marine Resources Studies Bogor Agricultural University STUDI MODEL HIDRODINAMIKA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Pengaruh Angin Dan Kelembapan Atmosfer Lapisan Atas Terhadap Lapisan Permukaan Di Manado

Pengaruh Angin Dan Kelembapan Atmosfer Lapisan Atas Terhadap Lapisan Permukaan Di Manado JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 3 (1) 58-63 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Pengaruh Angin Dan Kelembapan Atmosfer Lapisan Atas Terhadap Lapisan Permukaan Di Manado Farid Mufti

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Kelautan - FTK

Jurusan Teknik Kelautan - FTK Oleh : Gita Angraeni (4310100048) Pembimbing : Suntoyo, ST., M.Eng., Ph.D Dr. Eng. Muhammad Zikra, ST., M.Sc 6 Juli 2014 Jurusan Teknik Kelautan - FTK Latar Belakang Pembuangan lumpur Perubahan kualitas

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF. The development of a wave-tide-circulation coupled model and its upwelling simulation application in the Indonesian Seas

RINGKASAN EKSEKUTIF. The development of a wave-tide-circulation coupled model and its upwelling simulation application in the Indonesian Seas RINGKASAN EKSEKUTIF The development of a wave-tide-circulation coupled model and its upwelling simulation application in the Indonesian Seas Sebagai negara penghasil ikan yang cukup besar, Indonesia masih

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa)

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) Martono Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Junjunan No 133 Bandung 40173 E-mail

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI

POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI POTENSI PENGGUNAAN KEMBALI AIR LIMBAH: STUDI KASUS INDUSTRI POLIPROPILENA PT. TRIPOLYTA INDONESIA, TBK ANDINA BUNGA LESTARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada Program

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KINERJA OTT PS 1 SEBAGAI ALAT PENGUKUR PASANG SURUT AIR LAUT DI MUARA BINUANGEUN, PROVINSI BANTEN. Oleh: Try Al Tanto C

KINERJA OTT PS 1 SEBAGAI ALAT PENGUKUR PASANG SURUT AIR LAUT DI MUARA BINUANGEUN, PROVINSI BANTEN. Oleh: Try Al Tanto C KINERJA OTT PS 1 SEBAGAI ALAT PENGUKUR PASANG SURUT AIR LAUT DI MUARA BINUANGEUN, PROVINSI BANTEN Oleh: Try Al Tanto C64104006 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh MARTONO NIM : 22405001 Program Studi Sains Kebumian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS L A M P I R A N 46 Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS KOLAKA Posisi 4 3'6.65" 121 34'54.5" waktu GMT + 08.00 Gerakan pasut diramalkan terhadap suatu Muka Surutan yang letaknya 9 dm di bawah

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PRESENTASI SEMINAR TUGAS AKHIR

PRESENTASI SEMINAR TUGAS AKHIR PRESENTASI SEMINAR TUGAS AKHIR OLEH : FIQYH TRISNAWAN WICAKSONO 4309 100 073 Dosen Pembimbing: Prof. Ir. Widi Agus Pratikto, M.Sc, Ph.D NIP. 195308161980031004 Dan Suntoyo, ST., M.Eng, Ph.D. NIP. 197107231995121001

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 329-336 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose POLA SEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI BERDASARKAN MODEL POLA ARUS PASANG SURUT DI

Lebih terperinci

ABSTRAK Desty Maryam. Pengaruh kecepatan arus terhadap komponen desain jaring millenium (percobaan dengan prototipe dalam flume tank

ABSTRAK Desty Maryam. Pengaruh kecepatan arus terhadap komponen desain jaring millenium (percobaan dengan prototipe dalam flume tank PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP KOMPONEN DESAIN JARING MILLENIUM (Percobaan dengan Prototipe dalam Flume Tank) Desty Maryam SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG. 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang. Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG. 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang. Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang 51 IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang 52 Kota Bontang terletak antara 117 23 BT - 117 38 BT dan 0 01 LU - 0 12 LU atau berada pada

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis dan mempunyai karakteristik yang beragam pada setiap wilayah di kabupaten/kota. Wilayah pesisir itu sendiri merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 45 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah perairan laut Selat Rupat yang merupakan salah satu selat kecil di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara

Lebih terperinci

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp.

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. GESHA YULIANI NATTASYA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN

PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT

KANDUNGAN LOGAM BERAT KANDUNGAN LOGAM BERAT Cu, Zn, DAN Pb DALAM AIR, IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DALAM KERAMBA JARING APUNG, WADUK SAGULING SHITA FEMALA SHINDU DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci