Ind p T I H U SA DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI JAKARTA 2012

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ind p T I H U SA DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI JAKARTA 2012"

Transkripsi

1 BA K DA Ind p T I H U SA DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI JAKARTA 2012

2 Ind p Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI ISBN Judul I. HOSPITAL REFERRAL II. EMERGENCY SERVICE, HOSPITAL III. HEALTH SERVICES ORGANIZATION AND ADMINISTRATION

3 BAKTI HUSADA DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI JAKARTA 2012

4

5 KATA PENGANTAR Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-nya, telah selesai buku, merupakan petunjuk teknis dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Dengan tersusunnya Pedoman Sistem Rujukan diharapkan mampu untuk menjembatani berbagai peraturan terkait dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan menjadi pedoman tertulis bagi Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Sistem rujukan (rujukan dan rujukan balik) dan penetapan rujukan tidak dilaksanakan dengan baik sehingga berbagai pola rujukan muncul. Hal ini terjadi karena kebijakan sistem rujukan yang ada tidak dilengkapi dengan prosedur dan mekaniskme teknis. Pada akhirnya akan terjadi inefisiensi sistem pelayanan kesehatan yang tidak hanya berdampak kepada pembiayaan yang tinggi namun juga tingkat keselamatan pasien yang rendah. Evaluasi terhadap pedoman ini telah dilakukan secara berkala dan akan terus disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pedoman ini tersusun atas kerjasama Kementerian Kesehatan, Organisasi Profesi, Praktisi kesehatan,ahli kesehatan masyarakat serta dukungan dari berbagai pihak. Dengan diterbitkannya buku ini, diharapkan adanya kesamaan pandangan dan memperkuat layanan rujukan setiap fasilitas layanan kesehatan dalam melaksanakan Sistem Rujukan. Buku ini akan disesuaikan dengan kebijakan dan perkembangan program di Rumah Sakit dan akan dilakukan evaluasi untuk perbaikan layanan kesehatan dimasa yang akan datang. Jakarta, 2012 Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan Dr. Chairul. R. Nasution, SpPD, K-GEH, FINASIM, FCAP, M.Kes i

6 ii

7 SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, bidang kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota dan pertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diwilayahnya dalam rangka mewujud kan kesejahteraan yang diinginkan. Rumah Sakit sebagai unit yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu Rumah Sakit Umum dan Swasta dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu serta professional sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu diperlukan petunjuk teknis, ini telah tersedia dan bisa dilaksanakan secara horizontal, vertikal atau kedua-duanya dari tingkat dasar seperti Polindes/ Poskesdes, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan swasta sampai ketingkat yang lebih tinggi seperti Rumah Sakit Kabupaten/ Kota dan Provinsi. Dengan demikian prosedur pelaksanaan sistem rujukan kesehatan di semua jenjang sarana kesehatan di Indonesia diharapkan sesuai standar, sehingga pelayanan kesehatan khususnya penanganan kasus-kasus kegawatdarurat bisa tertangani dengan baik dan selamat. Akhirnya kepada semua pihak yang telah berperan dan memberikan kontribusi dalam proses penyusunan buku ini kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Buku ini bisa bermanfaat dan pengalaman penerapannya akan bermanfaat untuk perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan pada masa yang akan datang. Jakarta, 2012 Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS iii

8 iv

9 Tim Penyusun Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, M.Si, Sp.F (K) (Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan Dan Globalisasi) Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM, Sp.F(K), Sp.KP (Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Mediko Legal) dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan) Dr. drg. Nurshanty S. Andi Sapada, M.Sc (Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan) dr. Chairul. R. Nasution, SpPD, KGEH, FINASIM, FCAP, M.Kes (Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan) Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS (Kepala Subdit Bina Upaya Kesehatan Rujukan di RS Publik) Wachju M. Nadjib, SH (Kementerian Dalam Negeri) DR. Paudah, M.Si (Kementerian Dalam Negeri) dr. Krisnajaya, MS (Ketua Adinkes) Dr. Sutirto Basuki, SpKK, M.Kes (ARSADA) Prof. Ascobat Gani dr. Broto Wasisto, MPH PT Askes dr. Andriani Vita Hutapea (Subdit Bina Upaya Kesehatan Rujukan di RS Publik) dr. Sri Hastuti Dr. Mundiharno dr. Syanti Ayu Anggraini, MPH v

10 Kontributor: Direktur Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisan Medik Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Direktur Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Direktur Bina Kesehatan Anak Direktur Bina Kesehatan Ibu Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan Direktur Utama RSUP dr. M. Hoesin Palembang Direktur Utama RSUP dr. Kariadi Semarang Direktur Utama RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung Direktur Utama RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Direktur RSUD dr. Soetomo Surabaya Direktur RSUD Tangerang Direktur RSUD dr. M. Haulussy Ambon Direktur RSUD Mataram Direktur RSUD dr. Soedarso Pontianak Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Banten Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Barat Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat dr. Ady Iswandi Thomas (Kepala Seksi Standarisasi, Subdit RS Publik) dr. Arsal Hasan, MPH (Kepala Seksi Bimbingan dan Evaluasi, Subdit RS Publik) dr. Achmad Agus Fauriza (Subdit Bina Upaya Kesehatan Rujukan di RS Publik) dr. Vika Wahyudi (Subdit Bina Upaya Kesehatan Rujukan di RS Publik) vi

11 DAFTAR ISTILAH Alkes : Alat Kesehatan Askes : Asuransi Kesehatan BPJS : Badan Pelaksana Jaminan Sosial BUK : Bina Upaya Kesehatan BUMN : Badan Usaha Milik Negara Dinkes : Dinas Kesehatan Ditjen : Direktorat Jenderal DoA : Death on Arrival e-health : Informasi kesehatan berbasis elektronik dengan memanfaatkan jaringan internet Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan Gakin : Asuransi khusus keluarga miskin IGD : Instalasi Gawat Darurat INA-CBG : Case based Group di Indonesia Iniciating facility : Fasilitas pelayanan kesehatan yang merujuk/ mengirim rujukan Jamsoskes : Jaminan Sosial Kesehatan Kadinkes : Kepala Dinas Kesehatan Kemenkes : Kementerian Kesehatan Mapping : Pemetaan wilayah MDGs : Millenium Development Goals Nakes : Tenaga Kesehatan Non-askes : Bukan Askes PPGD : Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Receiving Facility : Fasilitas pelayanan kesehatan yang menerima rujukan RS : Rumah sakit SDM : Sumber Daya Manusia SIRS : Sistem Informasi Rumah Sakit SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional SKN : Sistem Kesehatan Nasional SMF : Staf Medik Fungsional SOP : Standar Operasional Prosedur Supervisor : Badan yang memantau dan menilai proses rujukan TNI/POLRI : Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia tradkom : Pengobatan tradisional komplemeter UKP : Upaya Kesehatan Perorangan vii

12 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... KATA SAMBUTAN... i iii SK MENTERI KESEHATAN RI... vii TIM PENYUSUN... KONTRIBUTOR... v vi DAFTAR ISTILAH... vii DAFTAR ISI... viii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang dan Masalah... 1 B. Tujuan... 3 C. Ruang Lingkup... 4 D. Sasaran... 4 E. Landasan Hukum... 4 F. Dasar Pengembangan Sistem Rujukan... 7 G. Pelaksanaan Sistem Rujukan Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional... 8 BAB II PENGORGANISASIAN SISTEM RUJUKAN A. B. Organisasi dan Pengelolaan dalam Pelaksanaan Sistem Rujukan Membangun Sistem Rujukan Kesehatan Perseorangan Dan Supervisinya C. Pembiayaan BAB III TATACARA PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN A. Tata Laksana Sistem Rujukan Pada Fasyankes Tingkat... Pertama Rujukan Dari Fasyankes Tingkat Pertama ke Tingkat Dua Tindak Lanjut Atas Rujukan-Balik dari Fasyankes Tingkat Dua viii

13 B. Tatalaksana Sistem Rujukan Pada Fasyankes Tingkat Dua Prosedur Klinis Prosedur administratif Prosedur operasional merujuk pasien C. Tatalaksana Sistem Rujukan Pada Fasyankes Tingkat Tiga D. Pelayanan Pada Pasien Meninggal E. Rujukan Pemeriksaan Spesimen dan Penunjang Diagnostik Lainnya Prosedur standar pengiriman rujukan pemeriksaan penunjang diagnostik/specimen Prosedur standar menerima rujukan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya Prosedur standar mengirim balasan rujukan hasil pemeriksaan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya F. Rujukan Pengetahuan dan Tenaga Ahli/Dokter Spesialis G. Rujukan Horisontal BAB IV PRINSIP PELAYANAN RUJUKAN KEGAWAT - DARURATAN A. Prinsip dan Kewenangan setiap fasilitas pelayanan B. Prinsip Merujuk dan Menerima Pasien Gawat Darurat C. Prinsip menerima pasien gawat darurat bagi receiving facility BAB V PENCATATAN DAN PELAPORAN A. Pencatatan B. Pelaporan BAB VI MONITORING DAN EVALUASI A. Pengertian Monitoring dan Evaluasi Internal B. Tujuan Monitoring dan Evaluasi Internal C. Prosedur Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Sistem Rujukan BAB VII PENUTUP DAFTAR PUSTAKA ix

14 LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN x

15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan Kesehatan diselenggarakan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat, dengan perhatian khusus diberikan kepada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia, dan keluarga miskin. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 5 ayat (2) bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau, dan dalam pasal 30 ayat (1) menyatakan fasilitas pelayanan Kesehatan menurut jenis pelayanannya terdiri dari Pelayanan Kesehatan Perseorangan dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat, ayat (2) fasilitas-fasilitas pelayanan Kesehatan terdiri dari pelayanan Kesehatan tingkat pertama, tingkat dua dan tingkat ketiga. Upaya-upaya Kesehatan, dalam hal ini upaya Kesehatan perseorangan, diselenggarakan melalui upaya-upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan, pemulihan dan paliatif yang ditujukan pada perseorangan, dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, berkesinambungan, dan didukung sistem rujukan yang berfungsi secara mantap. Sistem rujukan dalam upaya Kesehatan perseorangan disebut sebagai sistem rujukan medik, yang berkaitan dengan upaya pengobatan dan pemulihan. Sistem rujukan medik tersebut dapat berupa pengiriman pasien, spesimen, pemeriksaan penunjang diagnostik, dan rujukan pengetahuan tentang penyakit. Rujukan medik diselenggarakan dalam upaya menjamin pasien dapat menerima pelayanan Kesehatan perseorangan secara berkualitas dan memuaskan, pada fasilitas pelayanan Kesehatan yang terdekat dari lokasi tempat tinggalnya, pada tingkat biaya yang paling sesuai (low cost) sehingga terjangkau 1

16 pasien umumnya, sehingga pelayanan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Diharapkan pelayanan yang diberikan dimulai dari institusi pelayanan Kesehatan tingkat dasar sudah harus berkualitas dan pasien merasa puas menerima pelayanan di fasilitas pelayanan Kesehatan dasar, sehingga hanya kasus yang benar-benar tidak mampu ditangani di tingkat pelayanan dasar yang akan dirujuk. Hal ini penting, selain untuk mencegah terjadinya fenomena bypass, juga sekaligus akan dapat mendorong berfungsinya sistem rujukan medik secara efektif, efisien dan mantap. Kondisi demikian akan dapat diwujudkan kalau Sistem Kesehatan Daerah khususnya di tingkat Kabupaten/kota (District Health Sistem), sudah dapat difungsikan dengan baik, yang sekaligus juga akan mendukung penguatan kualitas pelayanan Kesehatan perseorangan melalui model pendekatan Primary Health Care (PHC). Dan menyongsong diterapkannya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor 24 tahun 2011, diharapkan bahwa pelayanan Kesehatan perseorangan yang didukung dengan sistem rujukan medik yang efektif dan efisien serta mantap, dapat diimplementasikan secara baik, benar, serta memuaskan pesertanya. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi petunjuk teknis untuk Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan yang menggantikan SK Menteri Kesehatan RI No.032/BIRHUB/1972 tanggal 2 September 1972 tentang Refferal Sistem yang sudah tidak sesuai lagi dengan era desentralisasi yang sedang berlangsung saat ini. Pedoman ini diharapkan dapat mengarahkan proses penyelenggaraan pelayanan Kesehatan perseorangan yang berkualitas dan berkesinambungan dalam satu sistem rujukan medik yang berfungsi secara efektif, efisien dan mantap. Pengalaman negara lain dapat dijadikan acuan untuk mengembangkannya. Sistem rujukan yang efektif menjamin hubungan yang akrab antar tingkat sistem Kesehatan dan menjamin pasien untuk menerima perawatan yang paling sesuai dan terjangkau dari tempat tinggalnya dan biaya yang tepat guna. 2

17 B. Tujuan Tujuan umum: Terlaksananya prosedur rujukan pelayanan Kesehatan perseorangan mengikuti standar mutu 1 dan keselamatan pasien sesuai dengan kriteria rujukan, di semua tingkat fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan di Indonesia. Tujuan khusus: 1. Meningkatnya kemampuan fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan, sehingga masyarakat bersedia memanfaatkan sebagai kontak pertamanya, dalam mengawali proses pelayanan Kesehatan perseorangan. 2. Tertatanya alur pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama, dua dan ketiga secara berkesinambungan, mengikuti prosedur di setiap tingkatan, sesuai dengan kompetensi, kewenangan dan proporsi masing-masing tingkatan, sehingga pelayanan dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna. 3. Meningkatnya akses dan cakupan pelayanan Kesehatan perseorangan secara merata dan menyeluruh (universal coverage), yang didukung oleh sistem jaminan Kesehatan sebagaimana diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS Kesehatan dan peraturan pelaksananya. 4. Menjamin terselenggaranya pelayanan Kesehatan perseorangan yang merata, berkualitas dan memuaskan, serta berkelanjutan (continuum of care), dalam upaya mencapai target sasaran MDGs di Indonesia. 5. Memberikan petunjuk yang jelas dan kepastian hukum bagi Fasyankes dalam memberikan pelayanan Kesehatan yang bermutu. 1 Yang dimaksud dengan mutu adalah terpenuhinya standar, yang meliputi standar pelayanan (Technical quality of the outcome, personnal quality of the process) dan standar biaya. 3

18 C. Ruang Lingkup Ruang lingkup pedoman ini meliputi: rujukan pasien, rujukan material (spesimen), rujukan dokumen, rujukan SDM dan rujukan teknologi. Dalam hal ini yang tidak dimasukkan dalam pembahasan ini adalah upaya Kesehatan yang bersifat promotif dan preventif pada sasaran masyarakat atau UKM. Ruang lingkup rujukan meliputi rujukan horisontal dan rujukan vertikal. Pelayanan pengobatan tradisionalkomplementer termasuk hal yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan kecuali terbukti dan diakui melalui HTA (PerPres Nomor 12 tahun 2013 pasal 43). D. Sasaran Sasaran buku, adalah: Penyelenggara pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama, milik pemerintah dan atau swasta, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan Propinsi, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kemeterian Kesehatan RI dan jajarannya, BPJS Kesehatan dan seluruh jejaringnya, Pemerintahan Daerah (Kabupaten/Kota, Propinsi) serta Pemerintah Pusat, Masyarakat pengguna jasa pelayanan Kesehatan perseorangan. E. Landasan Hukum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3237); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 4

19 4. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 6. Undang-undang No. 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik; 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 8. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3609); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8737); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan; 15. Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional; 5

20 16. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009, tentang Pedoman Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat; 17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/ VII/2008, tentang SPM Bidang Kesehatan Kabupaten/kota; 18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 657/MENKES/Per/ VIII/2009 tentang Pengiriman dan Penggunaan Spesimen Klinik, Materi Biologik dan Muatan Informasinya; 19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 658/MENKES/Per/VIII/2009 tentang Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New- Emerging dan Re-Emerging; 20. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/ III/2010, tentang Kelasifikasi Rumah Sakit; 21. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411/MENKES/Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik; 22. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penataan Tatalaksana (Business Process); 23. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/Per/I/2011 tentang Klinik; 24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Kesehatan Perseorangan; 25. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 462/MENKES/SK/V/2002 Tentang Safe Community (Masyarakat Hidup Sehat dan Aman). 26. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 106/MENKES/SK/I/2004 Tentang Tim Pengembangan Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)/General Emergency Life Support (GELS) Tingkat Pusat; 27. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/MENKES/SK/IX/2008 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/kota; 28. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374/MENKES/SK/V/2009 Tentang Sistem Kesehatan Nasional

21 F. Dasar Pengembangan Sistem Rujukan Terdapat beberapa landasan yang harus dipegang dalam mengembangkan dan menerapkan sistem rujukan ini. Landasan atau dasar tersebut adalah keselamatan pasien yang juga mencakup mutu pelayanan, efisiensi, ketertiban, persaingan global, keadilan dan implementasi Sistem Kesehatan Nasional (Sistem Kesehatan Nasional). Suatu sistem rujukan yang baik sudah pasti mengedepankan dan mengutamakan keselamatan pasien di atas hal-hal lainnya. Semua keputusan terkait merujuk harus dibuat demi keselamatan pasien. Keselamatan pasien merupakan bagian integral dari semua tahap pelayanan Kesehatan yang bermutu. Sistem rujukan diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan Kesehatan secara bermutu, sehingga tujuan pelayanan tercapai tanpa harus menggunakan biaya yang mahal. Hal ini disebut efektif sekaligus efisien. Efisien yang dimaksud disini juga diartikan dengan berkurangnya waktu tunggu dalam proses merujuk dan berkurangnya rujukan yang tidak perlu karena sebenarnya dapat ditangani di Fasyankes asal, baik dengan bantuan teknologi mutakhir ataupun teknologi tepat guna atau low cost technology, yang tetap masih dapat dipertanggung-jawabkan. Sistem pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan sebagaimana disebutkan akan berlangsung dengan baik jika ada ketertiban dalam pelaksanaannya. Artinya segala sesuatu yang dilaksanakan harus mengikuti pedoman yang telah dibuat. Karena itu perlu terlebih dahulu disusun satu pedoman yang dapat digunakan di seluruh Indonesia dengan baik, dan dapat diperbaiki dari waktu ke waktu. Persaingan global juga menjadi salah satu dasar pemikiran dalam mengembangkan sistem rujukan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, berbatasan dengan beberapa negara lain baik langsung di perbatasan daratan ataupun tidak langsung pada pulau-pulau kecil terluar. Penduduk Indonesia yang bermukim di perbatasan negara tetangga tersebut ada yang secara geografis lebih dekat dan lebih mudah untuk mengakses pelayanan Kesehatan dan atau rujukan ke Fasyankes di negara tetangga dibandingkan dengan Fasyankes yang merupakan tujuan rujukan di Indonesia, belum lagi pertimbangan kualitas 7

22 layanan di negara lain seringkali diasumsikan lebih baik dari pada pelayanan fasyankes di Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional 2009 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Sistem Kesehatan Nasional 2012, disusun dengan landasan idiel Pancasila, landasan konstitusionil Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan landasan operasionail Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Selanjutnya Sistem Kesehatan Nasional 2012 sebagai dokumen kebijakan pengelolaan Kesehatan akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan pembangunan Kesehatan, sekaligus mempertegas makna pembangunan Kesehatan dalam rangka pemenuhan Hak Asasi Manusia. Sistem Kesehatan Nasional yang disusun juga memperhatikan inovasi atau terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan Kesehatan secara luas termasuk penguatan sistem rujukan. Tersusunnya Pedoman Sistem Rujukan Nasional, akan memperjelas langkah-langkah dalam membangun sistem rujukan dan pelaksanaan rujukannya, yang dapat difungsikan secara mantap dan berkesinambungan mulai dari pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama sampai pada tingkat rujukan yang tertinggi. G. Pelaksanaan Sistem Rujukan Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Dengan adanya UU SJSN dan UU BPJS Kesehatan maka pelayanan Kesehatan perorangan yang ada akan dilakukan dalam skema jaminan Kesehatan. Berdasarkan UU BPJS Kesehatan, mulai 1 januari 2014 seluruh penyelenggaraan jaminan Kesehatan sosial akan dikelola oleh BPJS Kesehatan. Jaminan Kesehatan yang semula dikelola oleh PT Askes (untuk PNS/Pensiunan), PT Jamsostek (untuk pekerja swasta), Jamkesmas (untuk penduduk miskin dan tidak mampu) dan anggota TNI/Polri akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Dengan demikian peran BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan Kesehatan, termasuk didalamnya sistem rujukan, sangat besar. Berdasarkan Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan bahwa pada tahun 2019 seluruh penduduk (yang ketika itu jumlahnya diperkirakan 257 juta jiwa) akan dicakup dalam jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Dengan 8

23 demikian maka implementasi sistem rujukan akan sangat dipengaruhi oleh jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Dalam jaminan Kesehatan ada tiga pihak yang saling terkait yaitu (a) peserta yang wajib membayar iuran kepada BPJS Kesehatan dan berhak memperoleh pelayanan Kesehatan dari fasilitas pelayanan Kesehatan; (b) BPJS Kesehatan yang menerima dan mengelola iuran peserta dan membayar kepada fasilitas pelayanan Kesehatan; (c) fasilitas pelayanan Kesehatan yang memberikan pelayanan kepada peserta dan memperoleh pembayaran dari BPJS Kesehatan. Dalam kaitan tersebut ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana sistem penyelenggaraan pelayanan Kesehatan yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan pada fasilitas pelayanan Kesehatan. Kedua, bagaimana mekanisme pembayaran BPJS Kesehatan kepada fasilitas pelayanan Kesehatan. Sesuai dengan (rancangan) Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, pelayanan Kesehatan yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan menganut sistem rujukan yang dimulai dari fasilitas Kesehatan dasar yang berperan sebagai gatekeeper dan penapis layanan rujukan. Fasilitas pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan diwajibkan menerapkan sistem rujukan. Peserta jaminan Kesehatan yang berobat ke fasilitas pelayanan Kesehatan, pertama-tama harus datang ke fasilitas pelayanan Kesehatan tingkat pertama atau fasilitas Kesehatan primer. Dalam hal peserta memerlukan pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan, fasilitas Kesehatan tingkat pertama harus merujuk ke fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdekat sesuai dengan sistem rujukan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sistem rujukan dikecualikan bagi peserta yang berada di luar wilayah fasilitas Kesehatan tingkat pertama atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis. Pemanfaatan pelayanan Kesehatan yang tidak didasarkan pada sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Dengan dianutnya sistem rujukan oleh BPJS Kesehatan maka kepatuhan fasyankes dalam mengimplementasikan sistem rujukan akan meningkat dan mantap. Dalam mekanisme jaminan Kesehatan, 9

24 BPJS Kesehatan dapat memaksa fasilitas pelayanan Kesehatan untuk menerapkan sistem rujukan dan memberikan layanan yang berkualitas. BPJS Kesehatan dapat mendorong fasilitas pelayanan Kesehatan untuk menerapkan sistem rujukan. Apabila fasilitas Kesehatan tidak mau menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan tidak akan menggunakan fasilitas pelayanan Kesehatan dalam sistem pelayanan Kesehatan. Peran BPJS Kesehatan dalam mendorong implementasi sistem rujukan tersebut dimungkinkan mengingat BPJS Kesehatan yang membayar kepada fasilitas pelayanan Kesehatan. Mekanisme pembayaran BPJS Kesehatan kepada fasilitas pelayanan Kesehatan mengarah pada sistem pembayaran prospektif (prospective payment). Pembayaran pelayanan Kesehatan pada fasilitas pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan SJSN dilakukan dengan mengutamakan prinsipprinsip kendali mutu dan kendali biaya yang bertujuan terwujudnya efektivitas dan efisiensi pelayanan Kesehatan. Pola pembayaran yang diimplementasikan adalah pola pembayaran yang bersifat prospektif yaitu: kapitasi pada fasilitas pelayanan Kesehatan primer dan INA- CBGs (Indonesia Case Based Groups) pada fasilitas pelayanan Kesehatan sekunder dan tersier. Pada pembayaran kapitasi, dimana besaran kapitasi merupakan besaran kapita per orang per bulan, harus memperhitungkan semua jenis pelayanan Kesehatan yang diberikan di fasilitas pelayanan primer sehingga terwujud pembiayaan Kesehatan yang adil. Sedangkan pada pembayaran dengan INA-CBGs, dimana dilakukan pengelompokan beberapa diagnosis dan prosedur/tindakan berdasarkan ciri klinis dan menghabiskan biaya perawatan yang hampir sama, dihitung biaya (costing) pada fasilitas pelayanan Kesehatan dengan memperhitungkan semua biaya sehingga diperoleh besaran tarif yang mengakomodir semua biaya yang dihabiskan di fasilitas pelayanan Kesehatan. Pembayaran INA-CBGs berupa pembayaran paket yang mencakup untuk pelayanan pemeriksaan medis, pelayanan penunjang, obat, alat Kesehatan, bahan medis habis pakai, biaya pemeliharaan dan sebagainya, dengan demikian pembayaran tidak berdasarkan per pelayanan Kesehatan (fee for services). Dengan diterapkannya pola pembayaran prospektif diharapkan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya moral hazard dibandingkan dengan pola pembayaran fee for services, dimana pembayaran dilakukan atas seberapa banyak 10

25 pelayanan Kesehatan yang diberikan. Semakin banyak pelayanan Kesehatan yang diberikan fasilitas pelayanan Kesehatan, semakin besar mendapatkan pembayaran. Dengan sistem pembayaran kapitasi maka BPJS Kesehatan berkepentingan agar fasilitas Kesehatan tingkat pertama atau fasilitas Kesehatan primer akan mengikuti ketentuan sistem rujukan. Jika fasilitas Kesehatan primer merujuk secara berlebihan dan tidak proporsional, maka BPJS Kesehatan akan dirugikan karena akan banyak membayar kasus-kasus rujukan di fasilitas pelayanan Kesehatan sekunder dan tertier. Oleh karena itu BPJS Kesehatan punya kepentingan untuk memastikan bahwa kasus-kasus yang dirujuk adalah kasus-kasus yang memang benar harus dirujuk. BPJS Kesehatan akan melakukan kontrol, melalui review utilisasi (utilization review), kepada fasilitas pelayanan Kesehatan tentang kepantasan tingkat rujukan yang dilakukan oleh masing-masing fasilitas pelayanan Kesehatan. Dengan demikian untuk pengendalian mutu dan pengenbalian biaya, BPJS Kesehatan memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa sistem rujukan berjalan dengan baik dalam pelayanan Kesehatan, baik rujukan pasien, spesimen maupun rujukan ahli, baik secara vertikal maupun horisontal. Penerapan sistem rujukan mengacu pada tingkat kompetensi fasyankes. Dengan peran yang demikian besar, maka perlu ada koordinasi antara BPJS Kesehatan dengan Dinas Kesehatan serta fasilitas pelayanan Kesehatan. Impelementasi sistem pelayanan rujukan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah (cq Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan) tetapi juga BPJS Kesehatan. Koordinasi tersebut dilakukan baik dalam pengembangan sistem dan prosedur rujukan, pembinaan sistem rujukan kepada fasilitas pelayanan Kesehatan maupun dalam pelaporan pelaksanaan sistem rujukan. 11

26 12

27 BAB II PENGORGANISASIAN SISTEM RUJUKAN A. Organisasi dan Pengelolaan dalam Pelaksanaan Sistem Rujukan Agar sistem rujukan ini dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan organisasi dan pengelolaannya. Mata rantai kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing unit pelayanan yang terlibat harus jelas, termasuk aturan pelaksanaan dan koordinasinya. Sistem rujukan akan berjalan dengan baik dan harus dapat memberikan manfaat, tidak hanya untuk institusi yang merujuk namun juga untuk institusi yang menerima rujukan, dengan mengutamakan manfaat bagi pasien yang dirujuk. Harus ada sanksi yang disepakati oleh semua pihak sehubungan dengan pengaturan dalam merujuk. 1. Organisasi atau Lembaga yang terlibat di dalam sistem rujukan Selain fasilitas pelayanan Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien, juga terdapat organisasi atau lembaga yang terlibat di dalam sistem rujukan ini. Organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan sistem rujukan adalah: a. Pemilik dan penyelenggara fasilitas pelayanan Kesehatan dengan penanggung-jawabnya b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Propinsi c. Kementerian Kesehatan, melalui Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan d. BPJS Kesehatan dengan jejaringnya e. Organisasi profesi tenaga-tenaga Kesehatan yang terlibat dalam pelayanan Kesehatan perseorangan. f. Lembaga Pendidikan Kedokteran, Keperawatan, Farmasi, dan lembaga pendidikan tenaga Kesehatan lainnya yang terkait dengan pelayanan Kesehatan perseorangan. 13

28 2. Fasyankes dari semua tingkat sistem rujukan sebagai simpul-simpul sistem rujukan Di era desentralisasi, peran serta daerah terutama Kabupaten/ kota, menjadi sangat penting dalam upaya memfungsikan sistem rujukan yang dibangun sesuai dengan ketentuannya. Titik awal dari suatu proses rujukan Kesehatan perseorangan kecuali untuk kasus emergensi adalah fasyankes yang difungsikan sebagai Gate keeper, yaitu: a. Puskesmas dan Klinik-klinik Pratama milik pemerintah dan swasta, b. Praktek Swasta Dokter/Dokter Gigi dan Praktek Dokter/ Dokter Pelayanan Primer, yang berada dalam wilayah administrasi pemerintahan daerah kabupaten/kota. Rujukan selanjutnya akan melalui tahapan awal mula dari sistem rujukan di tingkat Kabupaten/kota dimaksud. B. Membangun Sistem Rujukan Kesehatan Perseorangan dan Supervisinya 1. Pemetaan (mapping) wilayah dan alur rujukan Untuk dapat membangun suatu sistem rujukan Kesehatan perseorangan secara baik, mantap dan berkesinambungan, perlu terlebih dahulu dibuat pemetaan wilayah dan alur rujukan di masing-masing tingkat sistem rujukan, yang selanjutnya digabungkan menjadi satu sistem rujukan nasional dengan satuan-satuan sistem rujukan didalamnya. Tugas melakukan pemetaan (mapping) sistem rujukan di tingkat kabupaten/kota menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, BPJS Kesehatan dan jejaringnya (kantor cabang, divre). Sedangkan untuk sistem rujukan ditingkat propinsi dan yang lebih tinggi, yang bertanggung-jawab melakukan pemetaan (mapping) adalah Dinas Kesehatan Propinsi dan Kementerian Kesehatan khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan (BUKR). Apabila belum berhasil dilakukan pemetaan (mapping) wilayah dan alur rujukan dalam suatu sistem rujukan timbal balik secara 14

29 berkesinambungan, maka institusi pelayanan medik bersangkutan, wajib berkonsultasi kepada tingkat diatasnya secara berjenjang. Dalam kondisi tertentu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) harus dapat memfasilitasi dan memberikan solusi terbaiknya. Selanjutnya Ditjen BUK juga mempunyai kewajiban memampukan daerah dalam memfungsikan sistem rujukan di wilayahnya, secara terkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Agar sistem rujukan dapat dibangun dan selanjutnya difungsikan dengan baik, maka pemetaan (mapping) wilayah dan alur sistem rujukan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya serta teliti, didukung data yang lengkap dan akurat, tentang: a. Data geografis wilayah, data sarana dan prasarana sistem transportasi; baik transportasi darat, laut dan atau udara b. Data fasyankes, lokasi dan tingkat kemampuan/kompetensinya dalam memberikan pelayanan Kesehatan perseorangan, dikaitkan dengan fungsinya sebagai pusat rujukan medik pada tingkat dan area wilayahnya. c. Data ketersediaan sarana, prasarana, peralatan, bahan/obat, ketersediaan pembiayaan dan tenaga Kesehatan menurut jenis dan jumlah serta tingkat pendidikan dan kompetensinya, dikaitkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditentukan untuk fasyankes bersangkutan sebagai pusat rujukan di tingkatnya, dalam mendukung berfungsinya sistem rujukan di wilayahnya. d. Data ketersediaan perangkat dan sistem operasional serta penguasaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT (Information Communication Tecnology), yang memungkinkan untuk dikembangkannya sistem rujukan yang mampu memberikan layanan rujukan jarak jauh/ tidak langsung secara cepat melalui telemedicine, e-health, u-health, khususnya untuk melayani rujukan daerah terpencil dan wilayah yang luas, dengan kualitas yang tetap dapat dipertanggung-jawabkan. 15

30 2. Pembagian wilayah pelayanan sistem rujukan mengikuti kriteria sebagaimana tersaji pada Bagan 1 berikut ini Propinsi-2 difasilitasi Pusat memetakan Wilayah dan Alur Sis-tem Rujukan Medis Utama Nasional dan Rujukan Medik Regio-nal Nasional berdasarkan kemudahan dan kecepatan merujuk serta kompetensi Pusat Rujukan Utama dan Regional Nasional yang ditetapkan dalam memberikan layanan rujukan secara berkualitas dan memuaskan para pengirim rujukan dan pasien yang dirujuk Seluruh Kabupaten & Kota difasilitasi Propinsi masing-2, memetakan Wilayah dan Alur Sistem Rujukan Medis Utama propinsi dan Rujukan Medik Regional Propinsi berdasarkan kemudahan dan kecepatan merujuk serta kompetensi Pusat Rujukan Utama dan Regional Propinsi yang ditetapkan, dalam memberikan layanan rujukan secara berkualitas dan memu-askan para pengirim rujukan dan pasien yang dirujuk Seluruh kecamatan difasilitasi Kabupaten/Kota masing-2 memetakan Wilayah dan Alur Sistem Rujukan Medis Utama Kabupaten/kota dan Rujukan Medik Regional (Rujukan-Antara) Kabupaten/kota (Khusus di wilayah DTPK tertentu atau Perkotaan padat penduduk), berdasarkan kemudahan dan kecepatan merujuk serta tingkat kompetensi Pusat Rujukan Utama dan Rujukan Regional (Rujukan-Antara) yang ditetapkan di wilayah kabupaten/kota dalam memberikan layanan rujukan Spesialistik/Spesialistik Terbatas secara berkualitas dan memuaskan para pengirim rujukan & pasien yang dirujuk Hasil pemetaan Wilayah dan Alur Sistem Rujukan Medis di masing-masing daerah administrative dan regional wilayah, harus dikomunikasikan kepada para pemang-ku kepentingan (stakeholders) dalam penyelenggaraan pelayanan Kesehatan per-seorangan tingkat pertama, dua, ketiga, dan penanggung-jawab sistem rujukan Bagan 1. Pembagian wilayah dan alur sistem rujukan berdasarkan kemudahan dan kecepatan mengakses pusat rujukan medik Kementerian Kesehatan telah memiliki tools di dalam SIRS on-line (Sistem Informasi Rumah Sakit On Line) yang dapat dimanfaatkan untuk mempermudah proses pemetaan dan juga menciptakan keseragaman secara nasional. Untuk itu setiap Fasyankes diwajibkan untuk mengisi data-data yang diperlukan. Penertiban dalam hal pengisian tersebut akan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi masing-masing. 16

31 3. Pengembangan pusat-pusat rujukan Dari hasil pemetaan tersebut, untuk suatu kesatuan wilayah tertentu dengan tingkat kompetensinya masing-masing, secara terkoordinasi dapat disusun sistem rujukan sekaligus alur rujukannya, dan selanjutnya dikomunikasikan secara jelas kepada semua pihak berkepentingan, terutama untuk fasyankes pemberi layanan asuransi Kesehatan sosial, agar dapat dijelaskan kepada para pesertanya (PMK 001/2012, pasal 5 ayat 1). Di setiap regional dari suatu wilayah administrasi pemerintahan (Kabupaten/kota, Propinsi, Nasional) yang letaknya strategis dan mudah diakses dari wilayah sekitarnya serta pusat-pusat administratif pemerintahan, dimungkinkan untuk dibangun pusat-pusat rujukan medik yang mudah diakses untuk merujuk kasus dari wilayah sekitarnya serta dapat menampung rujukan dari suatu sistem rujukan (Regional Kabupaten/kota dan Kabupaten/kota, Regional Propinsi dan Propinsi, Regional Nasional dan Nasional). Proses rujukan dapat dilaksanakan baik secara fisik langsung mengirim pasien atau specimen, maupun melalui Telemedicine/ e-health/u-health, dengan bantuan TIK/ICT, dan difungsikan secara berkesinambungan, sebagaimana digambarkan dalam Bagan 2. Untuk dapat memfungsikan suatu fasyankes sebagai pusat rujukan seperti diharapkan dengan kompetensi sesuai tingkatan masing-masing dalam suatu sistem rujukan, perlu ditetapkan: a. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai ketentuan untuk Fasyankes sebagai Pusat Rujukan di tingkatnya dan atau regulasi/peraturan internal Rumah Sakit/Hospital bylaws). Pimpinan Fasyankes bersangkutan bertanggung-jawab atas terpenuhinya SPM sesuai persyaratan sebagai pusat rujukan medik di tingkatnya. b. SPO (Standar Prosedur Operasional) Fasyankes dengan sistem rujukannya, serta mekanisme pelaksanaan rujukan, langsung ataupun dengan bantuan TIK/ICT c. Sumber daya standar (Sarana, Prasarana, Alat dan Bahan, Tenaga, serta Dana), yang akan mendukung penyelenggaraan 17

32 d. pelayanan medik dan penunjang medik sebagai fasyankes yang mampu memberikan layanan rujukan sesuai dengan ketentuannya sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Sistem Manajemen, didukung Sistem Informasi yang dapat difungsikan dengan baik 4. Sistem Rujukan dapat digambarkan seperti pada bagan berikut dibawah ini: a. Sistem rujukan yang melibatkan banyak fasyankes Dalam bagan 2 berikut, rujukan emergensi akan berjalan sesuai kebutuhan layanan kegawat-daruratan saat itu, sedangkan rujukan konvensionil akan berlangsung secara berjenjang, diikuti rujukan baliknya, sebagaimana diuraikan berikut ini: iuraikan berikut ini: R U J U K A N E M E R G E N S I RS KELAS A TINGKAT RS KELAS B TINGKAT RS KELAS C TINGKAT KAB/KOTA PUSKESMAS TANPA RAWAT INAP RS KELAS A/B(+) TKT REGIONAL PROPINSI RS KELAS B/C(+) TKT REGIONAL KAB/KOTA RS KELAS D/ D PRATAMA/ PUSKESMAS RAWAT INAP R U J U K A N K O N V E N S I O I N I L RS KELAS A/B(+) TKT REGIONAL PROPINSI Bagan 2. Sistem Rujukan Pada Banyak Fasyankes 18

33 Keterangan Bagan 2: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Pada tingkat Regional Kabupaten/kota di Kecamatan yang letaknya paling strategis untuk dapat difungsikan sebagai Pusat Rujukan Medik Spesialistik-Terbatas/ Pusat Rujukan-Antara untuk berbagai Klinik (Puskes, Pemerintah, Swasta) dari satu wilayah tangkapan/ catchment area sistem rujukan, atau khusus di Kabupaten DTPK, yang mana pusat rujukan tersebut dapat berupa RS Kelas D Pratama atau Puskesmas dengan Fasilitas Rawat Inap, karena letaknya jauh dari pusat rujukan spesialistik Kabupaten/kota. Pusat rujukan medik Spesialistik di Kabupaten/ kota, berupa RS Kelas C/RS Kelas D, termasuk Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM). Pusat rujukan medik Spesialistik Regional Propinsi, berupa RS Kelas B Non Pendidikan di Kabupaten/ kota, Pusat rujukan medik Spesialistik Umum/Khusus di Propinsi berupa RS Kelas B Pendidikan, termasuk Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) dan Balai Besar Kesehatan Mata Masyarakat (BBKMM). RS Kelas A di Propinsi, sebagai pusat rujukan regional Pusat rujukan medik Nasional Kelas A, Umum dan Khusus, berada di tingkat nasional. Bagan 2 di atas menunjukkan bahwa sistem rujukan dapat berlangsung berjenjang begitu pula dengan rujukan balik. Fasyankes tempat rujukan dapat menentukan apakah pasien dapat dirawat oleh fasyankes tersebut, dirujuk ke fasyankes yang lebih mampu, atau dirujuk balik ke fasyankes yang merujuk disertai dengan saransaran dan ataupun obat yang diperlukan untuk kasuskasus tertentu. Alur rujukan balik dapat langsung ke fasyankes yang pertama kali menerima pasien (gate keeper) apabila fasyankes pada strata yang lebih tinggi menilai dan menyatakan pasien layak untuk dilayani ataupun dirawat disana. 19

34 b. Sistem rujukan antar dua fasyankes SUPERVISOR INPUT PROSES RUJUK OUTPUT A B OUTPUT PROSES INPUT SUPERVISOR Bagan 3 Sistem Rujukan antar 2 fasyankes Setiap fasilitas pelayanan Kesehatan dapat berlaku sebagai perujuk atau Initiating facility ataupun sebagai terujuk atau Receiving facility. Standar masing-masing pelayanan Kesehatan rujukan dapat dilihat pada lampiran 1. Fasyankes dalam bagan 3 di atas tidak dilihat berdasarkan strata dalam Kelasifikasi fasilitas pelayanan Kesehatan. Dalam rangkaian sistem rujukan antar 2 fasyankes, terdapat komponenkomponen sistem rujukan, yaitu: Input, proses dan Output. Keterangan Bagan 3: 1) Input dan Output Bagan 3 berikut menggambarkan peran masing-masing komponen dari suatu sistem rujukan antar dua (2) fasyankes. Fasyankes A dapat berperan sebagai input dan Fasyankes B berperan sebagai output pada proses rujuk, sebaliknya Fasyankes B berperan sebagai input dan Fasyankes A berperan sebagai output pada proses rujuk balik. Dalam pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia, setiap fasilitas pelayanan Kesehatan dikategorikan kedalam salah satu dari 3 tingkat pelayanan Kesehatan perseorangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 1, PMK No. 001/ Tahun Setiap fasilitas pelayanan Kesehatan 20

35 baik sektor publik maupun privat, harus mengklarifikasi tingkat dan peran masing-masing dalam sistem penyelenggara pelayanan Kesehatan perseorangan. Tabel 1. Klasifikasi fasilitas pelayanan Kesehatan dalam sistem rujukan Jenjang Rujukan Pengertian Fasilitas Pelayanan Kesehatan Monitoring dan Evaluasi oleh Fasyankes Mampu memberikan pelaya- 1. Klinik Puskes (di 1. Ka. Dinkes Kab/ Tingkat yanan Kesehatan Perseora- Pus kesmas & kota Pertama ngan/medik Tk. Pertama Pusk. TT) 2. Organisasi (Ayat 2, Ps 2 di-laksankan oleh dokter/ dok- 2. Klinik Pratama Profesi Cabang dan 3) ter gigi dan khusus untuk pe- (Pe merintah & Kab/ kota layanan maternal & neonatal Swasta) phisiologis dan kondisi ter- 3. Praktek tentu ditolong Bidan Perseorangan Dr/Drg 4. RS Sakit Pratama Fasyankes Tkt Mampu memberikan layan- 1. RS Kelas D atau 1. Kadinkes Prop. dua (Ayat 2, an Kesehatan perseorangan Kelas C 2. Organisasi Pasal 4) spesialistik 2. RS Kelas B Non profesi cabang Pendidikan, (Milik pro-pinsi Pemerintah ABRI/ POLRI/BUMN, Swasta Fasyankes Tkt Mampu memberikan layanan 1. RS kelas B 1. Dir. BUKR tiga (Ayat 2, Kesehatan per seorangan Sub Pendidikan/A, di 2. Dirjen BUK, Pasal 5) spesialistik Propinsi, 3. Organisasi pro- 2. RS A Rujukan fesi, Uta-ma Umum/ 4. Institusi Pendd Khusus Nasional, di Pusat Di masing-masing tingkat dari suatu sistem rujukan, Dinas Kesehatan dari tingkat bersangkutan, harus mendata nama-nama tenaga Kesehatan yang berhak atau berwenang melayani pasien dalam Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) di Fasyankes wilayahnya sesuai dengan ketentuannya, serta tenaga Kesehatan penggantinya apabila tenaga Kesehatan berwenang tersebut berhalangan. 21

36 Asas keadilan harus dijalankan dengan menyeimbangkan kekuatan, dan untuk regio Provinsi yang dalam wilayahnya terdapat regio yang lebih lemah, wajib untuk membuat kebijakan khusus untuk memeratakan kekuatannya. 2) Proses Setiap rujukan yang dikirim baik secara langsung sebagaimana gambaran dalam bagan 2 dan 3 diatas, maupun melalui bantuan perangkat TIK/ICT dalam suatu sistem rujukan yang dibangun dan disepakati, wajib dijawab oleh pusat-pusat penerima rujukan (Fasyankes terujuk) sesuai tingkatannya dalam wilayah dan alur rujukan bersangkutan, mulai dari pusat rujukan regional/rujukan-antara kabupaten/kota, sampai dengan pusat rujukan Kesehatan perseorangan utama tertinggi Nasional di tingkat pusat. Dengan dibangunnya sistem rujukan Kesehatan perseorangan sebagaimana disebutkan, Dinas Kesehatan dan Tim BPJS Kesehatan bersama fasyankes dalam sistem rujukan pada tingkatannya, wajib melibatkan profesi yang terkait yang akan diperankan sebagai Supervisor, atau akan disebut sebagai Binwas Teknis Perujukan, yang bertanggung-jawab melakukan pembimbingan, pemantauan dan pengawasan proses rujukan dari luar fasyankes, untuk mencegah dan menjaga terhadap kemungkinan terjadinya tindakan pelanggaran dari profesi yang tergabung dalam sistem rujukan di tingkatnya. Selanjutnya, hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan rujukan serta rujuk baliknya: a) Alasan melakukan rujukan (1) Fasyankes bersangkutan mengalami keterbatasan sumber daya (sarana, prasarana, alat, tenaga, anggaran/uang) dan kompetensi serta kewenangan untuk mengatasi suatu kondisi, baik yang sifatnya sementara ataupun menetap. (2) Pasien tertentu membutuhkan pelayanan Kesehat an spesialistik/sub spesialistik, tambahan 22

37 (3) (4) pelayanan atau pelayanan yang berbeda yang tidak dapat diberikan di fasyankes perseorangan bersangkutan, termasuk diantaranya kasus dengan kondisi emergensi. Pasien membutuhkan pelayanan rawat inap dan penatalaksanaan selanjutnya, sementara di fasyankes semula tidak tersedia. Untuk melayani pasien tertentu, dibutuhkan peralatan diagnostik dan atau terapetik, sementara di fasyankes bersangkutan tidak tersedia. b) Uraian dan urutan kegiatan fasyankes pada peran sebagai perujuk (1) Pada Pasien emergensi, diterima di IGD fasyankes rujukan bersangkutan, sesuai urutan penanganan: (a) (b) (c) (d) provider berwenang akan segera memeriksa pasien secara teliti, sesuai prosedur dan menetapkan diagnosis pasien, secara simultan menangani dan menstabilkan kondisi pasien sesuai prosedur tetap/ SPO pelayanan pada fasyankes ditingkatnya, dan berkomunikasi dengan fasyankes tujuan rujukan untuk memastikan pasien dapat diterima di tempat rujukan yang tepat dalam waktu yang cepat tanpa harus mengikuti jenjang rujukan secara konvensinal, sebagaimana digambarkan dalam bagan 2 sebelumnya. Fasyankes perujuk sedapat mungkin juga berkonsultasi dalam mepersiapkan pasien rujukan dengan fasyankes rujukan, untuk persiapan dan ketepatan merujuk pasien. mencatat secara lengkap setiap pemeriksaan, pelayanan/ tindakan, dalam dokumen rekam medik serta register pasien di IGD 23

38 (e) (f) (g) (h) (i) Memberikan penjelasan kepada pasien/ keluarga tentang penyakitnya, alasan/ perlunya pasien dirujuk, kemana akan dirujuk, risiko apabila tidak dirujuk, dan keuntungan bila dirujuk, persiapan keluarga dalam merujuk pasien, dan penjelasan atas berbagai pertanyaan pasien/ keluarga, dan lain-lain. Keputusan akhir merujuk pasien ada pada pasien/keluarga, menyetujui rencana rujukan ataupun menolak, yang dinyatakan dengan pembubuhan tanda tangan pada format Informed Concent oleh pasien/keluarga yang berwenang mewakili, dan provider Kesehatan yang berwenang menangani pasien bersangkutan. Dalam hal pasien atau keluarga menolak dirujuk, diminta untuk mengisi form penolakan yang telah tersedia, dan pasien pulang paksa atau dirawat di fasyankes. Mempersiapkan dokumen rujukan selengkapnya, yang memuat tentang identitas lengkap pasien, hasil pemeriksaan awal, pelayanan/ tindakan yang sudah dilaksanakan, follow-up atas hasil tindakan pra rujukan dan kondisi akhir keadaan pasien pra rujukan, sedangkan form rujukan dapat menjadi sarana komunikasi dua arah proses rujukan. Fasyankes seharusnya selalu siap dengan sarana transportasi rujukan berikut peralatan medis untuk pasien rujukan emergensi serta petugas pendamping rujukan yaitu tenaga Kesehatan yang mampu melakukan resusitasi dan atau tindakan emergensi di perjalanan. Apabila fasyankes dalam sistem rujukan telah dilengkapi perangkat Teknologi Komunikasi Informasi (ICT) seperti telemedicine, e-health, u-health, maka proses rujukan 24

39 dapat memanfaatkan teknologi dimaksud, sehingga memberi kemudahan bagi banyak pihak mendukung kelancaran proses rujukan, termasuk dalam mengatasi kendala geografi dan kesulitan lainnya yang tidak memungkinkan pasien dapat dirujuk ataupun dalam kondisi pasien tidak transportable. (2) Pada pasien non emergensi (a) (b) (c) Untuk pasien tertentu, baik pada pasien yang baru datang, pasien setelah berulang ditangani di unit rawat jalan, ataupun pasien dari unit rawat inap, atas hasil pemeriksaan ataupun hasil follow up penanganan penyakitnya, kemungkinan membutuhkan layanan di fasilitas rujukan tingkat diatasnya untuk menuntaskan masalahnya. Pasien dengan indikasi rujukan untuk penyakit yang ditemukan dan tidak mampu ditangani di fasyankes karena berbagai keterbatasan, dipersiapkan untuk dirujuk ke fasyankes rujukan yang lebih mampu/ lebih baik menangani penyakitnya/masalah Kesehatan nya, baik melalui prosedur rujukan horisontal ke fasyankes lain setingkat maupun rujukan vertikal ke fasyankes rujukan dengan kemampuan lebih tinggi. Rujukan horisontal secara internal di fasyankes yang sama tidak akan diuraikan disini, karena sudah merupakan SPO penanganan pasien di satu fasyankes. Proses selanjutnya adalah mempersiapkan rujukan mengikuti prosedur rujukan kasus non emergensi, mulai dengan penjelasan sesuai prosedur informed concent sebagai m- ana telah dijelaskan, petugas yang berwenang menangani pasien dan pasien/keluarga yang berwenang mewakili pasien, akan menandatangani format informed concent, baik 25

40 (d) (e) (f) ketika pasien/keluarga menyetujui ataupun menolak rencana rujukan. Petugas yang berwenang akan mempersiapkan surat rujukan untuk pasien/keluarga yang menyetujui untuk dirujuk, disertai resume hasil pemeriksaan, penanganan/pengobatan yang telah diberikan, dan masalah/kendala yang dihadapi dalam penanganan pasien. Untuk pasien yang diperkirakan perlu rawat inap, fasyankes perujuk perlu memastikan tempat tersedia di fasyankes rujukan. Fasyankes perujuk dapat menyediakan transportasi rujukan untuk mengantarkan pasien ke fasyankes tujuan rujukan, atau keluarga dapat membawa sendiri pasien rujukan, tanpa harus didampingi petugas fasyankes perujuk. c) Uraian dan Urutan Kegiatan Fasyankes Pada Peran Sebagai Terujuk (1) Persiapan menerima rujukan. (a) Menerima informasi tentang adanya pasien yang akan dirujuk dengan kejelasan kondisi pasien, emergensi atau non emergensi (b) Memastikan kepada pengirim rujukan bahwa pasien dapat diterima dan dilayani di tempat rujukan, terutama tersedianya tempat rawat inap apabila diperlukan (c) Apabila karena sesuatu sebab tenaga dokter spesialis yang diharapkan akan menerima rujukan sedang tidak berada ditempat, atau fasilitas dan atau alat tidak dapat difungsikan untuk melayani rujukan ataupun tempat rawat inap, maka fasilitas terujuk harus menjelaskan kepada fasilitas pengirim rujukan kondisi senyatanya, dan berusaha memberi solusi atau alternatif terbaik untuk mengatasi permasalahan pasiennya. 26

41 (2) (3) (4) (d) Mengantisipasi kedatangan pasien, mempersiap kan kelengkapan peralatan yang diperlukan pada kasus emergensi, formatformat yang diperlukan dalam pelayanan, serta rencana tindak-lanjutnya termasuk tempat perawatan setelah disimpulkan pasien perlu rawat inap. Menerima pasien rujukan dan menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur operasional serta kondisi dan kebutuhan pelayanan Selanjutnya, memberikan pelayanan berupa: (a) Pemeriksaan awal dan lanjutan sesuai kondisi/kebutuhan pasien (b) Melengkapi rekam medik pasien dan mencatat hasil pemeriksaan, diagnosis dan pelayanan/ tindakan medik yang dilaksanakan. (c) Pada pasien tertentu, setelah ditangani sesuai SPO diputuskan untuk: mengembalikan pasien kepada institusi yang mengirim rujukan, dengan saran rencana tindak lanjut, biasanya pada pasien rujukan non emergensi tertentu, atau menindak-lanjuti penanganan pasien melalui pelayanan rawat jalan dan observasi, sebelum pasien dirujuk balik ke fasyankes perujuk, atau merawat pasien, untuk pelayanan pengobatan dan atau tindakan medik di fasilitas pelayanan medik rujukan, Mengevaluasi dan menyimpulkan hasil pelayanan/tindakan selama pasien berada dalam pelayanan fasyankes rujukan, baik sebagai pasien rawat inap ataupun pasien rawat jalan, melalui pemantauan/ pengamatan kondisi pasien serta catatan pelayanan dalam rekam medik dan selanjutnya memutusan untuk: 27

42 (5) (a) Tetap merawat pasien di fasyankes rujukan, dilanjutkan dengan penanganan pemulihan mengikuti rencana yang disusun, atau (b) Mengeluarkan pasien dari perawatan tetapi masih menindaklanjuti dengan pelayanan rawat jalan di fasilitas rujukan, sebelum dikembalikan ke fasilitas pengirim rujukan. (c) Mengirim kembali pasien dengan memberikan umpan balik/feedback kepada fasilitas pelayanan Kesehatan yang semula mengirim pasien, dengan informasi diagnosis akhir penyakitnya, pelayanan/tindakan yang dilakukannya, kesimpulan hasil atas pelayanan/tindakan yang dilakukan, tindaklanjut pelayanan yang masih harus diberikan, dan rencana follow-up selanjutnya. (d) Merujuk pasien ke fasyankes yang lebih tinggi atau fasilitas pelayanan rujukan yang lebih tepat, karena hasil follow up disimpulkan tidak dapat ditangani di fasyankes bersangkutan, disertai surat rujukan yang dilampiri data lengkap, berupa resume pelayanan di fasyankes selama pasien dilayani sebagai pasien rawat inap atau rawat jalan, untuk mengatasi masalah/penyakitnya, dapat berupa konsultasi penanganan ataupun memindahkan penanganan dan perawatan pasien selanjutnya. Rekam medik atas semua kasus yang diterima, dilayani, dirujuk balik dan atau dirujuk ke fasilitas pelayanan Kesehatan lainnya, harus dikelola secara baik, lengkap, tidak hilang, karena akan digunakan sebagai data/informasi, untuk mengevaluasi proses penyelenggaraan pelayanan Kesehatan pasien bersangkutan ataupun keperluan manajemen pelayanan pasien secara keseluruhan di fasyankes bersangkutan, dan rencana tindak-lanjutnya. 28

43 d) Uraian dan Urutan Kegiatan Binwas Teknis Perujukan (Supervisor) (1) Memantau dan menilai proses pengiriman rujukan: (a) Dari jumlah kasus yang akan dirujuk, dinilai: Tingkat keberhasilan memotivasi pasien dan keluarga untuk menyetujui pelaksanaan rujukan Persentase atas ketepatan diagnosis dari kasus yang dirujuk, dibandingkan dengan diagnosis dari fasyankes rujukan Ketepatan tindakan pra rujukan, Ketepatan waktu merujuk, dan ketepatan tujuan rujukan Proses pendampingan rujukan dan pelayanan yang diberikan. (b) (c) Dari jumlah kasus yang dirujuk: Berapa persen benar-benar melakukan rujukan ke lokasi yang disarankan (cek di fasilitas pelayanan rujukan) Bila tidak ke tempat pasien dikirimkan, pernahkan dicari sebabnya Dari yang melakukan rujukan, berapa persen lapor kembali membawa balasan rujukan Dari hasil evaluasi diri di fasilitas pengirim rujukan, berapa persen masih terjadi kesenjangan ketepatan diagnosis dan atau persiapan pra rujukan Dari kasus yang perlu tindak lanjut atas saran dari fasilitas rujukan: Berapa persen datang kembali untuk dilayani di fasilitas pengirim rujukan Masalah dan hambatan apa yang dijumpai dalam menindak-lanjuti saransaran yang diberikan 29

44 Konsistensi dan kepatuhan menindaklanjuti saran yang diberikan fasilitas pelayanan rujukan Kemampuan dan ketelitian mencatat dan mendokumentasikan setiap pelayanan/ tindakan yang dilakukan pada pasien, baik yang dirujuk maupun yang kembali dari rujukan Kemampuan memanfaatkan data dan informasi yang ada, untuk perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan rujukan. (d) (e) Atas hasil penilaian yang dilakukan melalui supervisi dan pengamatan langsung kinerja petugas di fasyankes perseorangan dan atau secara keseluruhan atas hasil penilaian akreditasi fasyankes, dapat disusun rencana pembinaan petugas, berupa: Tindak-lanjut pembinaan petugas Kesehatan melalui pembinaan dan atau pembekalan, berdasarkan kesenjangan kemampuan teknis (technical quality of the outcome) dan atau kemampuan proses pelaksanaan pelayanan secara memuaskan (Functional quality of the process). Program pelatihan dan atau praktek kerja/magang bagi petugas, sesuai kebutuhannya. Pemberian umpan balik/ feedback ke pusat, hanya untuk mengevaluasi secara garis besar proses pengembangan sistem rujukan (2) Atas hasil kompilasi yang dikumpulkan di pusat, dapat dibahas upaya-upaya perbaikan dalam proses pengembangan sistem rujukan, sekaligus perbaikan dan peningkatan kualitas teknik (technical quality of the outcome) dan kualitas proses pelayanan (fuctional quality of the process). 30

45 Sehingga citra/image penyelenggaraan pelayanan dan sistem rujukan menjadi lebih baik sampai dengan prima (excellent). 3) Koordinasi rujukan antar sarana Kesehatan a) Fasyankes Pengirim Rujukan (Perujuk) (1) Untuk memberikan kepastian bahwa merujuk pasien adalah berupaya untuk dapat memberikan layanan yang lebih baik dan sekaligus bertujuan untuk menjaga keselamatan pasien, mempercepat proses penyembuhan dan pemulihannya, maka sebelum melakukan rujukan fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan sebagai fasilitas perujuk, harus menghubungi fasyankes terujuk, melalui perangkat komunikasi yang tersedia dan termudah digunakan, memastikan bahwa fasyankes terujuk dapat dan siap menerima pasien yang akan segera dirujuk. (2) Melalui jejaring perangkat komunikasi, fasilitas pengirim rujukan juga dapat meminta saran untuk mempersiapkan pasien dalam perjalanan menuju fasilitas rujukan, dengan menjelaskan status/kondisi pasien saat itu, hasil pemeriksaan dan pelayanan/tindakan serta obat yang sudah diberikan. (3) Apabila fasyankes perseorangan sudah dapat memanfaatkan TIK/ICT, melalui prosedur rujukan telemedicine/e-health, maka informasi tentang kondisi umum dan spesifik pada pasien yang akan dirujuk sudah terlebih dahulu dilaporkan, atau dimintakan saran-saran kepada terujuk, sehingga tindakan pra rujukan dapat dilakukan dengan benar. (4) Rujukan pasien harus disertai dengan surat pengantar rujukan, dengan menggunakan format khusus pengiriman pasien rujukan, untuk disampaikan kepada penanggung-jawab penerima pasien di fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan dimana pasien akan dirujuk. 31

46 b) Fasyankes Penerima Rujukan (Terujuk) (1) Fasilitas terujuk wajib memberikan informasi mengenai kesiapan fasilitas menerima rujukan, antara lain adanya tenaga yang kompeten untuk melayani, didukung adanya sarana, prasarana, obat dan peralatan lainnya, yang akan digunakan dalam pelayanan sebagaimana tujuan pasien tersebut di rujuk. (2) Fasilitas terujuk juga diharuskan memberi informasi kepada perujuk mengenai perkembangan keadaan pasien setelah selesai diberikan pelayanan, yang disampaikan secara tertulis melalui surat jawaban rujukan balik. Selain keterangan mengenai kondisi dan terapi pasien, surat jawaban rujukan balik juga harus berisi saran untuk pembinaan teknis maupun sistem/ manajemen bagi perujuk. C. Pembiayaan Pembiayaan Kesehatan pada pelayanan Kesehatan di fasilitas pelayanan Kesehatan dalam strukturisasi sistem rujukan pada penyelenggaran Jaminan Kesehatan dalam SJSN dilakukan dengan mengutamakan prinsip-prinsip kendali biaya dan kendali mutu yang bertujuan terwujudnya efektivitas dan efisiensi pelayanan Kesehatan. Pola pembayaran yang terpilih dalam implementasi SJSN adalah pola pembayaran yang bersifat prospektif yaitu kapitasi pada fasyankes perseorangan tingkat pertama dan INA-CBG pada fasyankes tingkat dua dan tiga (sekunder dan tersier). Pada pembayaran kapitasi, dimana besaran kapitasi merupakan besaran kapita per orang per bulan, harus memperhitungkan semua jenis pelayanan Kesehatan yang diberikan di fasilitas pelayanan primer sehingga terwujud pembiayaan Kesehatan yang adil. Sedangkan pada pembayaran dengan INA-CBG, dimana dilakukan pengelompokan beberapa diagnosis dan prosedur/tindakan berdasarkan ciri klinis dan menghabiskan biaya perawatan yang hampir sama, dihitung biaya (costing) pada 32

47 fasilitas pelayanan Kesehatan dengan memperhitungkan semua biaya sehingga diperoleh besaran tarif yang mengakomodir semua biaya yang dihabiskan di fasilitas pelayanan Kesehatan. Pembayaran INA-CBG berupa pembayaran paket yang memenuhi semua jenis pelayanan yaitu pemeriksaan medis, pelayanan penunjang, obat, alat Kesehatan, bahan medis habis pakai, biaya pemeliharaan dan sebagainya, dengan demikian pembayaran tidak berdasarkan per pelayanan Kesehatan (fee for services). Dengan diterapkannya pola pembayaran prospektif diharapkan fasyankes, maka terjadinya moral hazard diharapkan lebih sedikit dibandingkan dengan pola pembayaran fee for services, dimana pembayaran dilakukan atas seberapa banyak pelayanan Kesehatan yang diberikan. Semakin banyak pelayanan Kesehatan yang diberikan oleh fasyankes, akan semakin besar mendapatkan pembayaran, sehingga unsur efisiensi sudah tidak terwujud. Struktur biaya harus diperjelas secara adil, dalam komponen biaya harus dimasukkan biaya barang habis pakai, honor tenaga Kesehatan dan transportasi rujukan. Biaya transportasi rujukan merupakan bagian dari jasa pelayanan yang menjadi tanggung jawab pihak penjamin (Askes, Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek dan Assuransi lain). Bagi pasien korban kecelakaan lalulintas, biaya rujukan ditanggung oleh PT Asuransi Jasa Raharja sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perusahaan asuransi tersebut. Diupayakan, jangan sampai sistem penyelenggaraan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan mengorbankan kepentingan provider/ tenaga Kesehatan serta penyelenggara pelayanan Kesehatan. 33

48 34

49 BAB III TATACARA PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN A. Tata Laksana Sistem Rujukan Pada Fasyankes Tingkat Pertama Proses rujukan dalam sistem rujukan di fasyankes tingkat dua terdiri atas proses merujuk ke fasyankes tingkat dua ataupun fasyankes rujukan-antara ke puskesmas perawatan, RS Kelas D Pratama dan RS Kelas D, serta menerima rujukan balik vertikal dari fasyankes tingkat dua. Proses di fasyankes tingkat pertama tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Rujukan Dari Fasyankes Tingkat Pertama ke Tingkat Dua Pasien dengan masalah Kesehatan/penyakit yang berobat ke fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama, milik pemerintah ataupun swasta dan memenuhi kriteria/alasan untuk dirujuk, akan dirujuk ke Fasilitas rujukan terdekat yang mampu memberikan layanan yang dibutuhkan pasien, sebagai solusi atas penyakit/masalah Kesehatan nya, seperti di Unit Rawat Inap Puskesmas daerah terpencil, atau RS kelas D Pratama, atau RS Kelas D, atau RS Kelas C, dengan mempertimbangkan jenis penyakitnya dan kondisi umumnya, serta kemudahan untuk mengakses fasyankes rujukan terdekat. Pasien yang telah dilayani di Fasyankes tingat pertama sesuai dengan kebutuhan dalam mengatasi masalah /penyakitnya, apabila dapat diselesaikan secara tuntas di fasyankes rujukan, harus dikembalikan ke fasyankes yang merujuk, disertai resume proses dan hasil pelayanan serta saran-saran tindak lanjutnya. Akan tetapi bila ternyata di fasyankes rujukan dipertimbangkan pasien harus dirujuk ke fasyankes yang lebih mampu, maka prosedur rujukan kasus dilaksanakan sesuai dengan 35

50 ketentuannya. Proses rujukan kasus dari fasyankes tingkat pertama ke fasyankes rujukan dua dan rujukan baliknya, digambarkan sebagai berikut: a. Proses merujuk pasien 1) Syarat merujuk pasien Pasien yang akan dirujuk sudah diperiksa, dan disimpulkan bahwa kondisi pasien layak serta memenuhi syarat untuk dirujuk, tanda-tanda vital (vital sign) berada dalam kondisi baik/stabil serta transportable, memenuhi salah satu syarat berikut untuk dirujuk: a) Hasil pemeriksaan pertama sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi secara tuntas di fasyankes b) Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata pasien tidak mampu diatasi secara tuntas ataupun tidak mampu dilayani karena keterbatas kompetensi ataupun keterbatasan sarana/prasarana. c) Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan. d) Apabila telah diobati di fasyankes tingkat pertama dan atau dirawat di fasyankes perawatan tingkat pertama di Puskesmas perawatan/rs D Pratama, ternyata masih memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan di fasyankes rujukan yang lebih mampu, untuk dapat menyelesaikan masalah/ Kesehatan nya dan dapat dikembalikan ke fasyankes perujuk. 2) Prosedur standar merujuk pasien a) Prosedur klinis: (1) Pada kasus non emergensi, maka proses rujukan mengikuti prosedur rutin yang ditetapkan. Provider Kesehatan yang berwenang menerima pasien di fasyankes tingkat pertama, melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik yang mampu dilakukan di 36

51 (2) (3) (4) (5) (6) fasyankes tingkat pertama, untuk menentukan Diagnosa Utama/Diagnosis Kemungkinan, dan Diagnosis Banding, disertai kelengkapan kode diagnosis untuk fasyankes tingkat pertama 2. Dalam kondisi pasien saat kedatangan dalam kondisi emergensi dan membutuhkan pertolongan kedaruratan medik, petugas yang berwenang segera melakukan pertolongan segera (prosedur life saving) untuk menstabilkan kondisi pasien di fasyankes, sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) Menyimpulkan bahwa kasusnya telah memenuhi syarat untuk dirujuk, sebagaimana tercantum pada salah satu kriteria dalam syarat merujuk pasien diatas. Untuk mempersiapkan rujukan, kepada pasien/ keluarga perlu diberikan penjelasan dengan bahasa yang dapat dimengerti pasien/keluarga, dan informed concent sebagai bagian dari prosedur operasional yang sangat erat kaitannya dengan prosedur teknis pelayanan pasien harus dilakukan. Penjelasan diberikan berkaitan dengan: (a) Penyakit/masalah Kesehatan pasien dan kondisi pasien saat ini, (b) Tujuan dan pentingnya pasien harus dirujuk, (c) Kemana pasien akan dirujuk, (d) Akibat atau risiko yang mungkin terjadi pada kondisi Kesehatan pasien ataupun keluarga/lingkungannya apabila rujukan tidak dilakukan, dan keuntungan apabila dilakukan rujukan, Rencana dan proses pelaksanaan rujukan, serta tindakan yang mungkin akan dilakukan di fasyankes rujukan, 2 Kode diagnosis pada fasyankes tingkat pertama, akan mengikuti ICPC (International Clasification of Primary Care), bilamana Kementerian Kesehatan telah memberlakukan. 37

52 (7) (8) (9) Hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh pasien/ keluarga, Penjelasan-penjelasan lain yang berhubungan dengan proses rujukan termasuk berbagai persyaratan secara lengkap, untuk memberi kesempatan kepada pasien/keluarga mengambil keputusan secara cerdas dalam mengatasi penyakit/masalah Kesehatan pasien. Putusan akhir atas rencana pelaksanaan rujukan seperti dijelaskan, ada pada pasien/ keluarga sendiri, apakah yang berkepentingan setuju ataukah menolak untuk dirujuk ke salah satu fasyankes rujukan sesuai dengan alur sistem rujukan yang ditetapkan 3. Kesepakatan akhir atas hasil penjelasan dinyatakan dengan pembubuhan tanda-tangan dua belah pihak dalam format Informed concent sesuai prosedur. (10) Atas persetujuan rujukan dari pasien/keluarga, provider berwenang mempersiapkan rujukan dengan memberikan tindakan pra rujukan sesuai kondisi pasien sebelum dirujuk berdasarkan SPO. (11) Menghubungi kembali unit pelayanan di fasyankes tujuan rujukan, untuk memastikan sekali lagi bahwa pasien dapat diterima di fasyankes rujukan atau harus menunggu sementara ataupun mencarikan fasyankes rujukan lainnya sebagai alternatif. 3 Bila pasien/keluarga tidak sepakat dengan saran rujukan sesuai alur sistem rujukan yang sudah ditetapkan, maka ketika sistem pembiayaan SJSN sudah diterapkan, pasien sebagai peserta sistem pembiayaan SJSN akan kehilangan haknya, untuk dicakup kedalam pembiayaan sistem; Kemungkinan lain adalah pasien/keluarga menolah untuk dirujuk karena berbagai alasan, walaupun sebenarnya memerlukan rujukan. 38

53 (12) Untuk pasien gawat darurat, dalam perjalanan rujukan ke fasyankes yang dituju, harus didampingi provider yang kompeten dibidangnya yang dapat memantau kondisi pasien sekaligus mengambil tindakan segera bilamana diperlukan, dan sedapat mungkin selalu menjalin komunikasi dengan fasyankes tujuan rujukan. Bagi pasien bikan gawat darurat, perjalanan rujukan tidak perlu didampingi petugas Kesehatan (13) Selama perjalanan pasien gawat-darurat, dalam kendaraan pengantar petugas Kesehatan pendamping rujukan perlu melengkapi kebutuhan obat dan peralatan medis/emergensi yang diperkirakan dibutuhkan pasien selama dalam perjalanan rujukan (14) Kendaraan Puskesmas Keliling atau ambulans dan Provider pendamping rujukan harus tetap menunggu pasien di IGD tujuan sampai ada kepastian pasien tersebut mendapat pelayanan dan keputusan apakah harus dirawat inap atau rawat jalan di Fasyankes rujukan, atau dapat dipulangkan langsung dengan saransaran tindak-lanjut penanganan oleh fasyankes perujuk. (15) Apabila tersedia perangkat Teknologi Komunikasi (Radio medik)/teknologi Informasi Komunikasi (Tele Medikine/e-health/u-health) dalam suatu Sistem Rujukan, dapat dimanfaatkan untuk kelancaran merujuk pasien: (a) Untuk mendapatkan saran-saran dalam mempersiapkan rujukan pasien, melakukan tindakan pra-rujukan, sebelum pasien dirujuk, (b) Proses konsultasi melalui Radio-komunikasi Medik ataupun Tele Medikine/e-Health, dapat dilanjutkan selama perjalanan rujukan ke fasyankes rujukan bila pasien dapat dirujuk (transportable), 39

54 (c) (d) Bila kondisi pasien tidak dapat dirujuk (tidak transportable), atau kondisi geografis tidak memungkinkan melakukan rujukan segera, maka fasyankes rujukan dapat memberikan saran atas permintaan rujukan dari fasyankes perujuk, dan atau panduan atas tindakan yang terpaksa harus dilakukan segera pada pasien bersangkutan. Langkah-langkah dan ketentuan melakukan rujukan menggunakan perangkat teknologi dimaksud akan diatur tersendiri, melengkapi pedoman sistem rujukan. b) Prosedur administratif rujukan (1) Dilakukan sejalan dengan prosedur teknis pada pasien, (2) (3) Melengkapi catatan rekam medis pasien, setelah tindakan untuk menstabilkan kondisi pasien pra-rujukan, Setelah provider berwenang memberikan penjelasan secara lengkap dan pasien/keluarga telah memberikan keputusan akhir, setuju ataupun menolak untuk dirujuk, maka format informed concent secara prosedur administratif rujukan harus dichek ulang kelengkapannya, antara lain adanya tanda tangan dua-belah pihak, provider berwenang dan pasien/keluarga, baik bagi pasien/keluarga yang setuju dirujuk maupun yang menolak untuk dirujuk. (4) Selanjutnya format informed concent yang telah ditanda-tangani tersebut disimpan dalam rekam medik pasien bersangkutan. Bila telah digunakan perangkat TIK/ICT, format informed concent dapat dilengkapi dengan foto, rekaman pembicaraan proses pengambilan keputusan, dan lainnya. (5) Apabila pasien/keluarga setuju untuk dirujuk, maka fasyankes perujuk membuat surat rujukan pasien rangkap 2 (form 1). 40

55 (6) (7) (a) Lembar pertama dikirim ke fasyankes rujukan bersama pasien. (b) Lembar dua disimpan sebagai arsip, bersama rekam medik pasien bersangkutan. Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien, Administrasi pengiriman pasien harus diselesai kan, ketika pasien akan segera dirujuk. c) Prosedur operasional merujuk pasien (1) (2) Menyiapkan sarana transportasi rujukan, dan akan lebih baik bila dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio ataupun TIK/ICT yang dapat menghubungkan fasyankes tujuan rujukan dengan fasyankes-fasyankes perujuk termasuk Puskesmas Keliling/Ambulans yang sedang berjalan merujuk pasien Setiba pasien di fasyankes penerima rujukan, bila selanjutnya diputuskan bahwa pasien akan ditangani di Fasyankes rujukan, maka provider pendamping rujukan secara formal akan menyerahkan tanggung-jawab penanganan pasien pada provider berwenang di fasyankes rujukan. 2. Tindak Lanjut Atas Rujukan-Balik dari Fasyankes Tingkat Dua a. Prosedur klinis 1) Menerima kembali rujukan balik di fasyankes tingkat pertama, dari fasyankes tingkat dua, dapat dilakukan sebagai berikut: a) Fasyankes tingkat pertama seharusnya sudah menerima informasi tentang rencana rujukan balik pasien dari fasyankes terujuk, melalui perangkat komunikasi yang tersedia (telephon, radio-medik, TIK/ICT, dan lainnya), b) Atas informasi yang didapat dari surat rujukan balik yang diserahkan pasien/keluarga, fasyankes tingkat 41

56 c) d) e) f) g) petama, menyusun rencana tindak lanjut pelayanan pasien berdasar saran-saran dalam surat jawaban rujukan balik Dilakukannya pelayanan pasien rujukan balik sesuai rencana Menindak-lanjuti saran fasyankes rujukan yang berkaitan dengan penyakit/ masalah Kesehatan pasien yang kemungkinan berkaitan ataupun berdampak terhadap Kesehatan masyarakat dan Kesehatan lingkungannya Dalam memantau kondisi perkembangan Kesehatan pasien, maka dokter dan tenaga keperawatan serta tenaga Kesehatan lainnya di fasyankes tingkat pertama, akan berkolaborasi dalam pelayanan tindaklanjut pasien dan lingkungannya, baik pelayanan di fasyankes tingkat pertama ataupun tindak lanjutnya di rumah pasien. Pada waktu yang ditentukan untuk pasien rujukan balik yang harus dirujuk ulang, fasyankes tingkat pertama mempersiapkan pasien/ keluarganya untuk dapat dirujuk ulang ke fasyankes rujukan Apabila TIK/ICT telah dimanfaatkan, penerimaan kembali pasien rujukan balik akan lebih mudah serta cepat, sehingga tindak lanjut pelayanan akan lebih mudah disusun dan diikuti pelaksanaannya. 2) 3) Atas pasien yang dinyatakan kurang/tidak tepat dirujuk, dan telah dilayani di fasyankes tingkat dua sebelum dirujuk balik, diupayakan untuk : a) Mengevaluasi diri atas ketelitian dalam melakukan pemeriksaan dan menegakkan diagnosis b) Mengetahui batasan-batasan yang ditetapkan untuk pelayanan di tingkat pertama dan batasan untuk merujuk c) Melaporkan dan berkonsultasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, bilamana dianggap perlu Atas pasien yang pulang paksa dan telah dilaporkan oleh fasyankes tingkat dua: 42

57 4) a) Pasien yang dirujuk, setelah mendapatkan pelayanan di klinik, dalam periode pelayanan rawat jalan, ataupun selama periode rawat inap, kemungkinan dapat keluar dari fasyankes dengan pulang paksa karena berbagai alasan. b) Atas informasi yang diperoleh dari fasyankes rujukan, provider Kesehatan tingkat pertama perlu menelusuri/ melacak keberadaan pasien pulang paksa tersebut dan mengetahui alasan mengapa pasien/keluarga memilih untuk pulang paksa c) Berupaya untuk membantu pasien/keluarga mencari solusi terbaik atas masalah yang dihadapi sehubungan dengan kejadian pulang paksa tersebut, sekaligus mengevaluasi dan memperbaiki penyelenggaraan pelayanan sekaligus sistem rujukannya pada fasyankes tingkat pertama dan rujukan. Kejadian tersebut perlu menjadi topik bahasan dalam rapat koordinasi. Atas pasien yang meninggal, tergantung penyebab kematiannya dan saran dari fasyankes rujukan: a) Dilakukan telusur/identifikasi masalah untuk kasus tertentu yang dipandang perlu untuk diketahui latar belakang masalahnya, dalam upaya promotif dan preventif di keluarga maupun dikomunitasnya/ di masyarakatnya, seperti misalnya fenomena 3 T(erlambat) pada kematian maternal, yaitu Terlambat mengambil keputusan di keluarga, Terlambat dalam transportasi rujukan dan Terlambat mendapatkan pertolongan di fasyankes rujukan, termasuk penyakit-penyakit lainnya khususnya dalam kondisi emergensi. b) Untuk kondisi tertentu dapat ditindak-lanjuti dengan pelayanan Kesehatan pada keluarga, kelompok dan masyarakat serta lingkungannya c) Kematian akibat penyakit menular, perlu segera dilaporkan sejak pasien didiagnosis, dan khusus untuk kematian tertentu, pemulasaran jenazah perlu dijelaskan pada keluarga 43

58 5) d) Kasus kematian akan menjadi topik bahasan dalam rapat bulanan fasyankes perujuk, fasyankes terujuk, maupun rapat koordinasi, dan bilamana dipandang perlu menjadi topik bahasan lintas sektoral. e) Kasus kematian pasien rujukan dengan penyakit- penyakit menular yang perlu diberitahukan kepada fasyankes tingkat pertama bukan hanya dari fasyankes tingkat dua melainkan juga dari fasyankes tingkat tiga. Atas pasien yang hilang berdasarkan laporan dari fasyankes rujukan, perlu dilakukan telusur oleh penanggung-jawab wilayah binaan di fasyankes tingkat pertama puskesmas ataupun fasyankes tingkat pertama non puskesmas lainnya. b. Prosedur administratif 1) Dilakukan sejalan dengan prosedur teknis pada pasien rujukan balik: a) Melengkapi catatan rekam medis dan keperawatan pasien semula saat dirujuk, dengan: (1) Catatan dari balasan surat rujukan balik fasyankes rujukan (2) Catatan dari pelayanan tindak lanjut yang dilakukan fasyankes tingkat pertama atas saran yang diberikan dalam surat balasan rujukan balik b) Memasukkan dalam register pelayanan pasien sebagai dokumentasi serta bahan penyusunan laporan fasyankes perujuk. c) Membuat laporan penyelenggaraan sistem rujukan, khususnya rujukan balik pasien dari fasyankes dua dan lainnya 2) Data yang berhubungan dengan pengiriman pasien rujukan dan data tentang pasien rujukan balik, akan menjadi bahan untuk melakukan evaluasi kinerja baik secara mandiri maupun dengan bantuan supervisor, dalam rangka perbaikan dan peningkatan kinerja. 44

59 c. Prosedur operasional 1) Setiap pasien yang dirujuk ke fasyankes yang lebih mampu perlu dipantau kemajuan/penanganannya di fasyankes tujuan rujukan, sehingga fasyankes tingkat pertama mengetahui kondisi pasien yang dirujuk dan berupaya untuk tahu kapan akan dirujuk balik dari fasyankes tingkat dua, dalam kondisi bagaimana, yang datanya dapat diperoleh dari fasyankes rujukan. 2) Dengan demikian fasyankes tingkat pertama siap menerima kembali rujukan balik pasien yang dikirimkan sebelumnya. Fasyankes tingkat pertama bersama fasyankes tingkat kedua memfasilitasi pasien dalam proses rujukan balik pasien 3) Memfasilitasi berfungsinya sistem rujukan secara timbal balik berkesinambungan melalui pemantauan penyelenggaraan rujukan pasien dan rujukan baliknya B. Tatalaksana Sistem Rujukan Pada Fasyankes Tingkat Dua Proses rujukan dalam sistem rujukan di fasyankes tingkat dua terdiri atas proses menerima rujukan dari fasyankes tingkat pertama, melayani pasiennya, melakukan rujukan horisontal ke fasyankes setingkat, rujukan vertikal ke fasyankes tingkat tiga, serta menerima rujukan balik horisontal dan vertikal, dan merujuk balik ke fasyankes tingkat pertama. Proses rujukan dalam sistem rujukan di fasyankes tingkat dua tersebut dijelaskan berikut ini. 1. Prosedur Klinis. a. Menerima pasien rujukan dari fasyankes tingkat pertama dan tindak lanjutnya. Atas komunikasi yang dibangun bersama fasyankes perujuk melalui teknologi komunikasi yang tersedia, telah diketahui kondisi pasien, sehingga memungkinkan pasien akan dapat dilayani di fasyankes rujukan, untuk hal tersebut fasyankes rujukan akan mempersiapkan diri menerima pasien dengan sebaik-baiknya, selanjutnya melayani sesuai dengan kondisi pasien pada saat kedatangannya, untuk pasien non emergensi 45

60 atau emergensi. Pasien yang dirujuk akan diterima di fasyankes rujukan, sesuai jenis rujukannya akan segera dilayani menurut standar prosedur operasional (SPO) yang berlaku di fasyankes bersangkutan. Pasien non emergensi akan dilayani di Klinik Fasyankes rujukan sesuai tujuan pada jam buka yang telah ditentukan setelah melalui prosedur administrasi untuk pelayanan klinik sedangkan pasien emergensi dilayani di IGD yang harus siap melayani 24 jam/7 hari. 1) Pasien non emergensi a) Sesuai SPO pasien akan mendapatkan pemeriksaan untuk menetapkan diagnosis awal, dan disimpulkan bahwa: (1) Sebenarnya tidak/belum ada indikasi untuk merujuk pasien ke fasyankes rujukan, akan tetapi: (a) Pasien tetap dilayani, untuk selanjutnya pasien akan dirujuk balik ke fasyankes perujuk disertai penjelasan dan saran-saran. (b) Apabila pasien adalah peserta Asuransi Sosial, pasien akan tetap dilayani dan prosedur administrative dan pembiayaan yang dijalankan sesuai pedoman dalam Asuransi Sosial. (2) Sudah ada indikasi untuk merujuk pasien, sehing ga: (a) Fasyankes menindak-lanjuti dengan penjelasan tentang kondisi pasien, penyakitnya, pemeriksaan yang akan dilakukan, kemungkinan pelayanan atau tindakan yang diperlukan berdasarkan hasil pemeriksaan, (b) keputusan akhir tentang akan dilaksanakannya pelayanan dan atau tindakan, ada di tangan pasien/keluarganya, yang baru dianggap syah setelah ditanda-tanganinya format Informed concent oleh pasien/ keluarga dan provider Kesehatan berwenang. b) Setelah ada persetujuan dari pasien/keluarga dan telah ditanda-tanganinya format informed concent oleh 46

61 c) dua belah pihak berkepentingan, maka pelayanan dilakukan sesuai SPO di fasyankes rujukan, mulai dari kelengkapan pemeriksaan dan pelayanan/ tindakan yang diperlukan. Atas dasar semua hasil pemeriksaan yang diperoleh, dan pelayanan atau tindakan yang diberikan serta follow-up atas hasilnya, spesialis yang melayani di fasyankes tingkat dua akan memutuskan: (1) Pasien dapat segera dirujuk balik langsung ke fasyankes perujuk, disertai penjelasan kepada pasien dan surat jawaban rujukan untuk fasyankes perujuk, sebagaimana diuraikan sebelumnya: (a) (b) Penjelasan kepada pasien/keluarga, tentang: Berbagai saran kepada pasien/keluarga yang harus dipatuhi pasien dan keluarga sehubungan dengan penyakitnya Tanggung-jawab pasien dan keluarga dalam menindak-lanjuti penanganan penyakitnya Menyerahkan surat rujukan balik ke fasyankes perujuk (tingkat pertama) Informasi melalui surat jawaban rujukan balik kepada fasyankes tingkat pertama, tentang: Resume semua hasil pemeriksaan dan diagnosis penyakitnya, Pelayanan/tindakan yang sudah diberikan, Obat-obatan yang diberikan, Saran-saran tindak-lanjut berupa: Pelayanan pasien di fasyankes perujuk untuk pasiennya sendiri dan keluarganya, bilamana masih diperlukan Pelayanan di fasyankes perujuk bagi komunitas atau masyarakat dan lingkungannya, seperti kasus penyakit menular/tidak menular 47

62 tertentu, yang perlu ditindak-lanjuti dengan survailans. Saran untuk mengirimkan rujukan ulang pada kasus tertentu yang memerlukan follow-up (2) (3) Semua dokumen pelayanan pasien disimpan dalam file rekam medis di fasyankes rujukan, sebagai arsip. (a) Kemungkinan pasien dianjurkan untuk meneruskan kunjungan rawat jalan di fasyankes rujukan, sebelum dirujuk balik ke Fasyankes perujuk, dengan pertimbangan: (b) Pasien masih memerlukan beberapa peme ri k saan yang lebih lengkap, namun dipertimbangkan bahwa kondisi pasien tidak perlu dirawat (c) Selanjutnya, apabila pemeriksaan sudah lengkap, dan diagnosis telah ditegakkan menurut hasil-hasil pemeriksaan, pengobatan/tindakan medis sudah diberikan, dan hasil pemantauan terhadap Kesehatan pasien memungkinkan untuk dilayani di fasyankes tingkat pertama, maka pada waktu yang ditetapkan pasien dapat dirujuk balik ke fasyankes perujuk (d) Prosedur selanjutnya sebagaimana tercantum dalam butir rujukan balik pasien yang dirujuk. Pada pasien yang menjalani pelayanan rawat jalan, dalam follow-up selanjutnya diputuskan untuk mendapatkan layanan rawat inap sebagai kelengkapan pelayanannya, karena: (a) Hasil-hasil pemeriksaan, pelayanan dan atau tindakan selama rawat jalan dan observasinya mengindikasikan untuk ditindak-lanjuti dengan pelayanan yang lebih intensif di rawat inap. 48

63 (4) (5) (b) Penanganan rawat inap akan lebih memudahkan bagi kedua belah pihak, pasien dan Tim inter-profesi yang menangani kasusnya, termasuk mempermudah prosedur rujukan internal di fasyankes yang sama. (c) Layanan rawat inap akan mulai dilaksanakan setelah pasien/keluarga memperbaharui kesepakatan atas semua rencana yang telah dibuat sebelumnya dalam informed concent sesuai prosedur. Pasien akan mendapatkan pelayanan dan atau tindakan yang dilakukan untuk mengatasi penyakit/masalah Kesehatan nya, sampai akhirnya pasien dikeluarkan dari rumah sakit (fasyankes tingkat dua), dengan berbagai alasan: (a) Penyakitnya sudah berhasil diatasi secara tuntas, pasien sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit dalam keadaan sembuh, dan akan dirujuk balik ke fasyankes yang semula merujuk, melalui prosedur mengembalikan pasien rujukan (b) Penyakitnya secara umum sudah berhasil diatasi dan tidak perlu lagi harus dirawatinap namun masih harus ditindak-lanjuti melalui pelayanan rawat jalan di rumah sakit ini untuk menyelesaikan pengobatannya (c) Sebagian penyakitnya sudah dapat diatasi akan tetapi untuk masalah lainnya belum dapat diatasi karena adanya keterbatasan kemampuan fasyankes rujukan, sehingga pasien perlu dirujuk ke fasyankes tingkat dua (rumah sakit) rujukan horisontal yang lebih mampu mengatasi sebagian masalah yang belum terselesaikan Setelah dilayani dan atau dilakukan tindakan sebagaimana tertuang dalam kesepakatan kedua belah pihak pada format informed concent, 49

64 (6) (7) fasyankes rujukan masih menghadapi masalah dan hambatan dalam menangani kasusnya, dan dipandang perlu untuk menindak-lanjuti penanganan pasien dengan merujuk ke fasyankes tingkat tiga yang lebih kompeten. Uraian tentang rujukan pasien ke fasyankes tingkat tiga akan diuraikan pada bagian lain. Pasien karena berbagai alasan ataupun pertimbangan, memutuskan untuk pulang paksa, yang dapat terjadi karena: (a) Program pelayanan pasien sebagaimana disepakati dalam informed concent belum dapat diselesaikan sesuai rencana yang disusun, akan tetapi pasien/keluarga memutus kan untuk pulang paksa, atau (b) Karena alasan lain pasien/keluarga mempunyai pertimbangan untuk keluar dari pelayanan, (c) Untuk kondisi demikian, maka pasien/ keluarga harus menanda-tangani Format Pulang Paksa yang disediakan fasyankes, (d) Pasien pulang paksa harus diberitahukan kepada fasyankes perujuk (e) Untuk fasyankes yang telah tergabung dalam satu sistem rujukan yang memanfaatkan TIK/ICT, pada event-event tertentu seperti keputusan untuk pulang paksa, didokumentasikan sebagai arsip. Ketika pasien sampai di fasyankes rujukan dan mendapatkan pelayanan di klinik, karena berbagai alasan memutuskan untuk tidak meneruskan pengobatan/pemeriksaan lanjutannya di fasyankes rujukan, sehingga menjadi pasien yang hilang, dan kemungkinannya: (a) Pasien yang hilang dari fasyankes rujukan, juga tidak melakukan kontak balik dengan fasyankes perujuk, sehingga keduanya kehilangan data pasien bersangkutan. 50

65 (8) (b) Pasien yang hilang dari fasyankes rujukan, kembali ke fasyankes perujuk karena berbagai alasan Atas kejadian pasien pulang paksa dan pasien hilang, Supervisor atau Binwas Teknik Perujukan dari pihak fasyankes perujuk dan fasyankes terujuk secara bersama-sama harus dapat menyimpulkan penyebab mengapa pasien pulang paksa / hilang dari proses rujukan, agar pelayanan di fasyankes perujuk dan fasyankes terujuk dapat diperbaiki. 2) Untuk pasien emergensi: Pasien emergensi datang ke fasyankes tingkat dua, kemungkinan datang atas rujukan dari fasyankes tingkat pertama ataupun langsung tanpa surat rujukan sebagaimana lazimnya, dan pasien datang ke IGD: a) Akan diterima di IGD, yang siap melayani pasien 24 jam/7 hari, dengan SPO yang telah ditetapkan untuk memastikan pasien emergensi dilayani cepat. b) Fasyankes rujukan segera melakukan stabilisasi pasien rujukan emergensi sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO), sejak kedatangan pasien di IGD sampai dengan tempat pelayanan yang tepat sesuai kondisi dan masalah Kesehatan pasien c) Provider berwenang memberi layanan akan menuliskan diagnosis kerja (working diagnosis) pada status pasien bersangkutan beserta code diagnosis yang diberlakukan di fasyankes bersangkutan, d) Selanjutnya, memberikan penjelasan, sesuai prosedur Informed Concent, diakhiri dengan penanda-tanganan oleh pasien/keluarga serta provider yang berwenang memberi layanan, tentang: (1) Kondisi penyakitnya saat ini, tindakan dan atau pelayanan medis dan penunjang medis selanjutnya yang akan dilaksanakan, (2) Risiko bila tidak dilakukan sekaligus keuntungannya bila dilakukan pada waktunya yang tepat 51

66 (3) Penjelasan-penjelasan lain sehubungan dengan penyakit dan kondisi pasien saat ini, serta penjelasan atas pertanyaan pasien/keluarga. e) Atas penjelasan yang diberikan, pasien/keluarga akan memutuskan: (1) Menyetujui untuk menindaklanjuti proses pelayanan sesuai rencana pelayanan/tindakan yang akan dilakukan, dengan pembubuhan tandatangan bersama pada format informed concent, pasien/keluarga yang berwenang mewakili dan provider yang berwenang memberikan pelayanan di fasyankes, sesuai prosedur yang berlaku. (2) Menolak mendapatkan layanan berikutnya, dan pasien pulang paksa atau pindah layanan sehingga kesinambungan proses rujukan di fasyankes tujuan rujukan terhenti. Atas keputusan akhir dari pasien/keluarga, menolak pelayanan lanjutan di fasyankes rujukan, dan keputusan tersebut wajib segera diberitahukan ke fasyankes perujuk, Apabila pasien/keluarga menyetujui rancangan pela- yan an selanjutnya, yang dinyatakan dalam format informed concent, maka pasien akan dikirim ke: (1) Ruang tindakan khusus sesuai dengan kasusnya, atau (2) Ruang perawatan elektif untuk perawatan dan pengobatan selanjutnya, f) g) (3) Atau meneruskan pasien ke sarana Kesehatan yang lebih mampu untuk dirujuk lanjut, sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya. Selanjutnya provider yang bertanggung-jawab melayani akan: (1) Melengkapi pemeriksaan lanjutan yang masih diperlukan dan menyimpulkan hasilnya untuk menetapkan diagnosis medis pasien, yang kemudian dituliskan sesuai code diagnosis sebagai 52

67 h) satu ketentuan, serta diagnosis keperawatan oleh perawat yang melayani. (2) Melakukan tindakan/pelayanan medis dan penunjang medis serta keperawatan, berdasarkan rencana masing-masing yang disusun atas diagnosis medis dan keperawatan, sekaligus memberikan obat sesuai standard dan seterusnya sesuai kebutuhan pasien (3) Masing-masing pemberi layanan (dokter, perawat, penunjang medis) akan mencatat semua pelayanan, tindakan dan hasil-hasilnya. (4) Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien, sepanjang pasien berada dalam tanggung-jawab fasyankes rujukan. Setelah pasien dimungkinkan untuk dikeluarkan dari RS karena memenuhi indikasi, maka pasien harus dikembalikan ke fasyankes yang semula merujuk, dan bila pasien datang tanpa rujukan karena kondisi awalnya datang sebagai pasien emergensi, maka surat rujukan balik dialamatkan ke fasyankes tingkat pertama di lokasi terdekat tempat tinggal pasien, dengan melampirkan beberapa informasi penting berupa: (1) Diagnosis akhir yang ditetapkan berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan lanjutan sepanjang pasien dirawat (2) Resume dari pemeriksaan yang dilakukan dan hasilnya, pelayanan/tindakan yang dilakukan dan hasil akhirnya, serta obat-obat yang telah diberikan dan yang masih diberikan (3) Saran-saran yang perlu untuk dipatuhi pasiennya, (4) Saran-saran tindak lanjut yang masih harus dilakukan oleh fasyankes perujuk untuk pemulihan Kesehatan pasien, maupun tindakan apa saja yang harus dilakukan pasien/keluarga dengan atau tanpa bantuan provider Kesehatan 53

68 (5) (6) Rencana pelayanan/kunjungan ulang berikutnya, ke fasyankes rujukan, pada kasus tertentu yang memerlukan Semua dokumen pelayanan pasien disimpan dalam file rekam medis di fasyankes rujukan, sebagai arsip. b. Merujuk pasien ke fasyankes tingkat tiga yang lebih mampu, 1) Sejak kedatangan pasien (non emergensi atau emergensi) baik yang diperiksa di Klinik/di IGD ataupun pasien rujukan rawat jalan dan rawat inap, setelah dilakukan pengamatan (observasi) dan pemantauan serta pertimbangan secara cermat, pasien perlu dirujuk ke fasyankes tingkat ketiga yang lebih mampu, dengan kriteria: a) Kondisi penyakit pasien menyebabkan pasien harus memperoleh pelayanan sub-spesialisti di fasyankes tingkat tiga. b) Pasien memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan. 2) Adapun tujuan merujuk ke fasyankes tingkat tiga adalah: a) Mengalihkan pelayanan pasien ke fasyankes tingkat tiga, dan proses rujukan akan mengikuti SPO yang berlaku disertai penjelasan tentang: (1) Kondisi penyakitnya saat ini dan diagnosis yang ditegakkan, (2) Pemeriksaan yang sudah dan sedang dilakukan, serta hasilnya (3) Obat yang sudah diberikan dan tindakan yang sudah dilakukan b) Merujuk pasien untuk pemeriksaan spesialis/sub- spesialis yang lebih kompeten, dimana pasien masih tetap dirawat di fasyankes tingkat dua dengan saransaran dari spesialis/sub spesialis c) Melengkapi pemeriksaan penunjang medik yang tidak dapat dilakukan dan pasien tetap ditangani di di fasyankes tingkat dua, 54

69 d) Hanya mengirimkan specimen laboratorium untuk diperiksa dan diperoleh hasilnya, atau merujuk pemeriksaan foto Röntgen untuk ekspertisinya, mengirim pembacaan hasil EKG, dan lainnya. 3) Kepada pasien/keluarga perlu dijelaskan tentang penyakit pasien dan kondisinya, perlunya pasien dirujuk ke fasyankes yang lebih mampu sesuai kebutuhannya, antara lain perlu pemeriksaan penunjang medis sehingga pasien, rancangan dan prosedur pengiriman pasien/ rujukan, persiapan keluarga untuk memenuhi persyaratan rujukan, dan lainnya sebagaimana prosedur informed concent, keputusan akhir akan ditentukan oleh pasien/keluarga. a) Apabila keputusannya berupa: (1) Penolakan untuk dirujuk, maka kemungkinan pasien akan keluar dari pelayanan, dan dalam kondisi demikian fasyankes rujukan tetap harus memberitahu fasyankes perujuk tentang keputusan pasien/keluarga bersangkutan (2) Rencana rujukan disetujui, selanjutnya prosedur pelaksanaan rujukan dipersiapkan, demikian pula kebutuhan dukungan Sumber dayanya. b) Atas persetujuan rujukan, provider pemberi layanan akan membuat surat rujukan rangkap dua, satu untuk fasyankes tujuan dan satu untuk arsip di fasyankes perujuk, yang disimpan dalam file rekam medik pasien c) Pasien dan pendamping rujukan dipersiapkan dengan baik, dengan kelengkapan peralatan medik, obatobatan yang akan digunakan dalam proses rujukan, dan perangkat komunikasinya, terutama bila tujuan rujukan cukup jauh dan proses rujukan berisiko pada kondisi pasien yang dirujuk d) Pasien segera dirujuk diikuti keluarga, dalam kondisi emergensi didampingi petugas Kesehatan yang berwenang untuk memberikan layanan medik emergensi selama perjalanan, 55

70 e) Dengan perangkat komunikasi yang tersedia, Fasyankes perujuk akan berkoordinasi dengan berbagai pihak, fasyankes tujuan rujukan dan provider yang mendampingi pelaksanaan rujukan, dan sebaliknya, sampai akhirnya pasien diserahkan pada provider di tempat rujukan. 2. Prosedur administratif a) Pada proses penerimaan pasien rujukan: 1) Apabila pasien tersebut dapat memenuhi syarat untuk diterima di fasyankes rujukan dan format informed concent telah ditandatangani, selanjutnya staf administrasi yang bertugas harus melengkapi prosedur administrasi pasien, baik sebagai pasien rawat jalan ataupun rawat inap, dan membuat tanda terima pasien sesuai aturan masingmasing sarana. 2) Petugas melengkapi data pribadi pasien sesuai ketentuan setelah dilakukan pelayanan pasien rujukan non emergensi sedangkan pasien emergensi dilakukan setelah proses stabilisasi kondisi pasien selesai dilaksanakan. 3) Menerima, meneliti dan menandatangani persetujuan penerimaan pasien di fasyankes rujukan, atas surat rujukan pasien dari fasyankes perujuk untuk ditempelkan di kartu status pasien, yang selanjutnya akan dilayani di fasyankes rujukan bersangkutan. 4) Bagi pasien peserta Asuransi Sosial, ASKES, Jamkesmas, atau Jamsostek, petugas administrasi harus memberi penjelasan tentang: (a) Hak-hak sekaligus kewajiban peserta asuransi, dalam memanfaatkan pelayanan di fasyankes, berdasarkan status/kondisi penyakitnya, (b) Pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan layanan asuransi bila kondisi pasien memang tepat untuk dilayani di fasyankes rujukan, atau bila kondisinya yang tidak tepat untuk dirujuk, sehingga pelayanan di fasyankes rujukan tidak ditanggung asuransi. (c) Melampirkan hasil pemeriksaan dan pengobatan/ tindakan serta perawatan pada kartu catatan/rekam 56

71 medis pasien, untuk diteruskan ke tempat perawatan ataupun pelayanan selanjutnya sesuai arahan provider yang memberikan layanan dan kondisi pasien, termasuk ke Dinas Kesehatan untuk pasien yang perlu tindak lanjut survaillans epidemiologi. b) Untuk pasien yang akan dirujuk-balik ke fasyankes perujuk atau pasien yang akan dirujuk ke fasyankes rujukan yang lebih mampu, petugas administrasi: 1) Akan mempersiapkan dan melengkapi semua surat-surat yang telah dibuat provider pemberi layanan, surat rujukan pasien dibuat rangkap 2 (dua), satu untuk dikirim dan satu untuk arsip. 2) Prosedur untuk pasien yang akan dirujuk, dan surat rujukan balik untuk pasien yang akan dikembalikan ke fasyankes perujuk, disertai alamat yang jelas, serta penjelasan kepada pasien/keluarga tentang segala sesuatu berhubungan dengan kebutuhan pelayanannya. 3) Menyimpan pada tempatnya, rekam medis pasien dengan semua kelengkapan yang perlu diarsipkan di fasyankes rujukan bersangkutan 4) Mengisi laporan bulanan, triwulan pada form. 2 (Terlampir). 3. Prosedur operasional merujuk pasien a. Pada fasyankes tingkat dua, prosedur operasional merujuk pasien terdiri atas: 1) Merujuk horisontal ke fasyankes lain setingkat untuk kebutuhan layanan yang tidak dapat dilakukan, atau 2) Merujuk pasien ke fasyankes tingkat ketiga, atau. 3) Merujuk balik pasien ke fasyankes perujuk di tingkat pertama, 4) Rujukan horisontal di fasyankes yang sama atau ke fasyankes setingkat, untuk melengkapi pemeriksaan dan kebutuhan layanan yang tidak dapat dilakukan, untuk ini pasien dapat dikirimkan ke: a) Bagian lain di fasyankes yang sama sesuai tujuan rujukan, disertai permintaan rujukan, yang lazimnya dituliskan dalam dokumen/file rekam medik pasien, 57

72 b) jawaban rujukan juga akan dituliskan pada file yang sama Fasyankes lain setingkat (tingkat dua), yang dapat memberikan layanan sebagaimana dibutuhkan pasien. Lazimnya provider perujuk akan menulis surat rujukan, disertai resume hasil-hasil pemeriksaan dan pelayanan/ tindakan yang sudah dilakukan, bila perlu dilengkapi dengan foto Röntgen, EKG, dan informasi lainnya. Fasyankes rujukan harus memberikan jawaban, saran dan lainnya menurut pertimbangannya 5) Untuk merujuk ke fasyankes rujukan tingkat tiga, maka prosedur operasional yang harus dilalui berupa: a) Menyiapkan sarana transportasi rujukan, dan akan lebih baik bila dilengkapi dengan perangkat TIK/ ICT yang dapat menghubungkan fasyankes tujuan rujukan dengan fasyankes-fasyankes perujuk termasuk ambulans yang mambawa pasien ke fasyankes rujukan yang dituju. b) Setiba pasien di fasyankes ketiga penerima rujukan, bila selanjutnya diputuskan bahwa pasien akan ditangani di Fasyankes rujukan, maka provider pendamping rujukan secara formal akan menyerahkan tanggung-jawab penanganan pasien pada provider berwenang di fasyankes rujukan. c) Pada kondisi pasien yang dirujuk setelah mendapatkan pemeriksaan dan tindakan/layanan di fasyankes rujukan ternyata tidak perlu dirawat, maka provider pendamping akan membawa kembali pasien dengan membawa surat rujukan balik yang disertai saransaran, dan atau obat serta lainnya d) Kemungkinan bila diputuskan bahwa pasien ingin tetap dirawat di fasyankes tingkat dua, maka pasien dapat tetap dirawat dan fasyankes berusaha meminta saran/konsul kepada fasyankes rujukan, dengan bantuan sarana komunikasi yang tersedia ataupun perangkat TIK/ICT bilamana sudah dikembangkan dalam sistem rujukan di wilayahnya. 58

73 b. Merujuk balik ke fasyankes tingkat pertama yang semula mengirim pasien: 1) Pasien dapat dikeluarkan dari perawatan, setelah melalui prosedur klinis dan menyelesaikan prosedur administratif 2) Menginformasikan kepada fasyenkes perujuk semula di tingkat pertama, bahwa pasien sudah memungkinkan untuk dikembalikan ke fasyankes perujuk semula dengan beberapa catatan untuk tindak lanjut, yang akan dituliskan dalam jawaban atas rujukan, dan hal ini harus masuk kedalam SPO dalam pelayanan pasien rujukan di fasyankes tingkat dua. a) Fasyankes rujukan akan mempersiapkan proses rujukan balik pasien beserta kelengkapannya, berupa: (1) Kondisi pasien harus benar-benar sudah siap secara medik untuk dikirim kembali, menggunakan sarana transportasi yang tersedia berupa sarana transportasi non ambulans atau ambulans (darat/ air) atau sarana transportasi lainnya. (2) Pasien telah diberi penjelasan tentang: (a) Kondisi Kesehatan nya saat ini, (b) Obat-obatan yang masih harus digunakan (c) Hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan pasien, (d) Tindak lanjut pelayanan yang masih diperlukannya, baik di tingkat fasyankes tingkat pertama ataupun untuk konsultasi/ rujukan ulangnya ke fasyankes rujukan, dan lainnya yang perlu dijelaskan. b) Untuk merujuk kembali pasien ke fasyankes perujuk di tingkat pertama, maka prosedur operasional yang akan dilalui berupa: (1) Fasyankes bersangkutan memfasilitasi pasien/ keluarga, untuk dapat kembali ke tempatnya semula, apakah kembali ke fasilitas rawat inap fasyankes perujuk, ataupun ke tempat tinggalnya sendiri, sesuai dengan arahan dari fasyankes rujukan. 59

74 (2) (3) (4) Saran memilih kesesuaian sarana transportasi pasien untuk kembali ke tempatnya, persiapan kebutuhan pendampingan oleh petugas apabila masih diperlukan, Mengembalikan pasien kepada fasyankes yang semula mengirim/ merujuk, dengan kelengkapan informasi dan kejelasan proses pelaksanaannya. Rujukan balik pasien disertai jawaban atas rujukan yang dikirimkan semula, disertai resume hasil pemeriksaan dan pelayanan/ tindakan, serta saran-saran tindak lanjut pelayanannya di fasyankes tingkat pertama dan atau rujukan ulangnya pada waktu yang ditetapkan. c. Tindak Lanjut Atas Rujukan-Balik dari Fasyankes Tingkat Tiga. 1) Menerima kembali rujukan balik di fasyankes tingkat dua, dari fasyankes tingkat tiga, dapat dilakukan sebagai berikut: a) Fasyankes tingkat dua seharusnya sudah menerima informasi tentang rencana rujukan balik pasien dari fasyankes terujuk, melalui perangkat komunikasi yang tersedia (telephon, radio-medik, TIK/ICT, dan lainnya), b) Atas informasi yang didapat dari surat rujukan balik yang diserahkan pasien/keluarga, fasyankes tingkatdua menyusun rencana tindak lanjut pelayanan pasien berdasar saran-saran dalam surat jawaban rujukan balik c) Dilakukannya pelayanan pasien rujukan balik sesuai rencana d) Menindak-lanjuti saran fasyankes rujukan yang berkaitan dengan penyakit/ masalah Kesehatan pasien yang kemungkinan berkaitan ataupun berdampak terhadap Kesehatan masyarakat dan Kesehatan lingkungannya e) Dalam memantau kondisi perkembangan Kesehatan pasien, maka dokter dan tenaga keperawatan serta tenaga Kesehatan lainnya di fasyankes tingkat dua 60

75 2) 3) dan tingkat pertama dimana pasien tinggal, akan berkolaborasi dalam pelayanan tindak-lanjut pasien dan lingkungannya, baik pelayanan di fasyankes tingkat dua dan tingkat pertama serta tindak lanjutnya di rumah pasien, dalam pengawasan fasyankes tingkat pertama f) Pada waktu yang ditentukan untuk pasien rujukan balik yang harus dirujuk ulang, fasyankes tingkat dua bekerjasama dengan fasyankes tingkat pertama mempersiapkan pasien/ keluarganya untuk dapat dirujuk ulang ke fasyankes rujukan g) Apabila TIK/ICT telah dimanfaatkan, penerimaan kembali pasien rujukan balik akan lebih mudah serta cepat, sehingga tindak lanjut pelayanan akan lebih mudah disusun dan diikuti pelaksanaannya. Atas pasien yang dinyatakan kurang/tidak tepat dirujuk, dan telah dilayani di fasyankes tingkat tiga sebelum dirujuk balik, diupayakan untuk: a) Mengevaluasi diri atas ketelitian dalam melakukan pemeriksaan dan menegakkan diagnosis b) Mengetahui batasan-batasan yang ditetapkan untuk pelayanan di tingkat pertama dan batasan untuk merujuk c) Melaporkan dan berkonsultasi kepada Dinas Kesehat- an Kabupaten/kota dan propinsi, bilamana dianggap perlu Atas pasien yang pulang paksa dan telah dilaporkan oleh fasyankes tingkat tiga: a) Pasien yang dirujuk, setelah mendapatkan pelayanan di klinik, dalam periode pelayanan rawat jalan, ataupun selama periode rawat inap, kemungkinan dapat keluar dari fasyankes dengan pulang paksa karena berbagai alasan. b) Atas informasi yang diperoleh dari fasyankes rujukan, provider Kesehatan tingkat dua bekerjasama dengan fasyankes tingkat pertama perlu menelusuri/ melacak keberadaan pasien pulang paksa tersebut 61

76 c) dan mengetahui alasan mengapa pasien/keluarga memilih untuk pulang paksa Berupaya untuk membantu pasien/keluarga mencari solusi terbaik atas masalah yang dihadapi sehubungan dengan kejadian pulang paksa tersebut, sekaligus mengevaluasi dan memperbaiki penyelenggaraan pelayanan sekaligus sistem rujukannya pada fasyankes tingkat pertama dan rujukan. Kejadian tersebut perlu menjadi topik bahasan dalam rapat koordinasi. 4) Atas pasien yang meninggal, tergantung penyebab kematian nya dan saran dari fasyankes rujukan: a) Dilakukan telusur/identifikasi masalah untuk kasus tertentu yang dipandang perlu untuk diketahui latar belakang masalahnya, dalam upaya promotif dan preventif di keluarga maupun dikomunitasnya/di masyarakatnya, sebagai contoh fenomena 3 T pada kematian maternal yaitu T(erlambat) mengambil keputusan di keluarga, T(erlambat) dalam transportasi rujukan dan T(erlambat) mendapatkan pertolongan di fasyankes rujukan, termasuk penyakit-penyakit lainnya khususnya dalam kondisi emergensi. b) Untuk kondisi tertentu dapat ditindak-lanjuti dengan pelayanan Kesehatan pada keluarga, kelompok dan masyarakat serta lingkungannya c) Kematian akibat penyakit menular, perlu segera dilaporkan sejak pasien didiagnosis, dan khusus untuk kematian tertentu, pemulasaran jenazah perlu dijelaskan pada keluarga, dapat dilakukan fasyankes tingkat pertama d) Kasus kematian akan menjadi topik bahasan dalam rapat bulanan fasyankes perujuk, fasyankes terujuk, maupun rapat koordinasi, dan bilamana dipandang perlu menjadi topik bahasan lintas sektoral. e) Kasus kematian pasien rujukan dengan penyakit- penyakit menular yang perlu diberitahukan kepada fasyankes tingkat pertama bukan hanya dari fasyankes tingkat dua melainkan juga dari fasyankes tingkat tiga. 62

77 5) Atas pasien yang hilang berdasarkan laporan dari fasyankes rujukan, perlu dilakukan telusur oleh penanggung-jawab wilayah binaan di fasyankes tingkat pertama puskesmas ataupun fasyankes tingkat pertama non puskesmas lainnya. C. Tatalaksana Sistem Rujukan Pada Fasyankes Tingkat Tiga Rumah Sakit Kelas A (fasyankes tingkat tiga), RS Swasta setingkat dan fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan lainnya setingkat, yang menerima rujukan pasien harus memberikan laporan informasi medis atau balasan rujukan, ketika pasien keluar dari fasilitas pelayanan Kesehatan yang menerima rujukan antara lain: Secara umum proses penerimaan pasien maupun pengiriman rujukan balik pasien dilaksanakan sama dengan di fasyankes tingkat dua. Yang berbeda adalah tingkat kemampuan/ kompetensi fasyankes dalam memberikan pelayanan medik subspesialistik, termasuk kemampuan fasilitas penunjang medik dan keperawatannya. Selain sebagai tempat rujukan kasus yang memerlukan layanan sub-spesialistik, fasyankes tingkat tiga juga menjadi tempat pendidikan tenaga-tenaga Kesehatan, khususnya calon spesialis dan sub-spesialis. Untuk penyelenggaraan pelayanan medik kasus rujukan baik non emergensi maupun emergensi ke fasyankes tingkat tiga tidak akan dibahas secara khusus, kecuali sebagai tempat pendidikan ataupun perannya dalam bidang rujukan SDM akan dibahas pada bagian lain. D. Pelayanan Pada Pasien Meninggal 1. Pada kondisi pasien kritis, selain tetap mengusahakan pelayanan medis semaksimal mungkin, maka provider berwenang perlu memberikan penjelasan kepada keluarga, sehubungan dengan kondisi senyatanya pasien, bilamana perlu seorang tenaga keperawatan dapat memberikan asuhan keperawatan untuk pasien dan keluarganya. 63

78 2. Setiap kejadian pasien meninggal di fasyankes, baik sebelum 48 jam ataupun sesudah 48 jam kedatangannya, tetap harus diinformasikan kepada fasyankes ataupun klinik perujuk disertai keterangan tentang: a. Diagnosis penyakit dan penyebab kematiannya, b. Saran-saran tindak-lanjut kepada fasyankes perujuk, sehubungan dengan penyakit pasien dan kepentingan fasyankes bersangkutan, pada pasien yang meninggal kurang dari 48 jam dan pasien meninggal setelah 48 jam dari saat kedatangan, yang berhubungan selain karena kondisi penyakitnya sendiri juga dengan ketepatan waktu merujuk, ketepatan penanganan pasien pra rujukan, dan lainnya yang dipandang perlu diinformasikan. c. Laporan ataupun pemberitahuan khususnya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan Puskesmas dimana pasien tersebut tinggal, terutama pada: 1) Pasien meninggal karena penyakit menular yang perlu ditindak-lanjuti dengan upaya pencegahan penyebaran dan penanggulangan penyakit menular (KLB) di sekitar domisili pasien, dan kemungkinan perlunya dilakukan survailans. 2) Kondisi-kondisi lainnya yang perlu diketahui fasyankes perujuk. E. Rujukan Pemeriksaan Spesimen dan Penunjang Diagnostik Lainnya Setiap fasilitas pelayanan Kesehatan perseorangan, sesuai tingkatnya dilengkapi dengan laboratorium klinik/pemeriksaan penunjang diagnosis sesuai dengan standar yang ditetapkan untuk tingkatnya, yang dapat mendukung penegakan diagnosis suatu penyakit dan atau follow-up hasil pelayanan/tindakan. Dalam kondisi persyaratan standar untuk pemeriksaan penunjang diagnostik belum dapat terpenuhi di fasyankes bersangkutan, dan pasien membutuhkan pemeriksaan penunjang, maka dokter harus membuat surat rujukan untuk mengirimkan pasien ataupun spesimen ke fasyankes rujukan, dengan mengikuti prosedur sebagaimana ditentukan: 64

79 1. Prosedur standar pengiriman rujukan pemeriksaan penunjang diagnostik/specimen a. b. Prosedur Klinis: 1) Menyiapkan pasien/specimen, untuk rujukan pemeriksaan penunjang diagnostik yang dibutuhkan. 2) Untuk spesimen, pengambilan bahan/spesiman dilaku kan sesuai prosedur (SPO), dikemas dengan baik sesuai dengan kondisi bahan yang akan dikirim dengan memperhatikan aspek sterilitas dan kelayakan kemasan untuk setiap jenis pemeriksaan yang harus sesuai dengan kondisi yang diinginkan, pencegahan terhadap kontaminasi ataupun penularan penyakit serta memperhatikan keselamatan orang lain, dan diberi identitas secara jelas (dengan barcode, lainnya). 3) Untuk pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya yang memerlukan kehadiran pasiennya ke fasyankes rujukan, memastikan bahwa pasien yang dikirim untuk pemeriksaan penunjang diagnostik, sudah dipersiapkan sesuai dengan prosedur serta kondisi yang ditentukan. Prosedur Administratif 1) Mengisi format dan surat rujukan spesimen/penunjang diagnostik lainnya (lihat format 3) secara cermat dan jelas termasuk nomor surat, dan status kepesertaan sistem asuransi (Jamkesmas, ASKES/ JAMSOSTEK, ASBRI, dan lainnya), informasi jenis specimen atau pemeriksaan penunjang diagnostik lain yang diinginkan, identitas pasien dan diagnosa sementara serta identitas pengirim. 2) Format rujukan pemeriksaan dan jawaban rujukan specimen/penunjang diagnostik lainnya dibuat dalam rangkap dua, satu untuk dikirim ke fasyankes rujukan bersama specimen/pasien, satu sebagai arsip. 3) Mencatat informasi yang diperlukan di buku register pengiriman specimen/ pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya yang ditentukan instansinya. 65

80 c. Prosedur operasional 1) Mengirimkan specimen disertai surat rujukan pemeriksaan, dimana untuk specimen tertentu harus dikirimkan sendiri oleh fasyankes perujuk, tidak boleh dibawa pasien/keluarga. 2) Merujuk pasien untuk pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya, disertai surat rujukan pemeriksaan penunjang diagnostik ke fasyankes rujukan pemeriksaan penunjang diagnostik. 3) Menerima jawaban hasil pemeriksaan specimen atau hasil pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya, bila perlu menanyakan balasan hasil rujukan pemeriksaan spesimen/penunjang diagnostik kepada fasyankes rujukan. 2. Prosedur standar menerima rujukan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya a. b. Prosedur Klinis 1) Menerima dan memeriksa spesimen/penunjang diagnostik lainnya, sesuai dengan tujuan/permintaan rujukan, 2) Untuk pasien ataupun bahan yang diterima, perlu memperhatikan aspek kelayakan specimen untuk pemeriksaan, sterilisasi bahan/spesimen, pencegahan terhadap kontaminasi bahan, pencegahan penularan penyakit dari specimen dan atau pasien, keselamatan pasien sendiri dan orang lain. 3) Memastikan bahwa spesimen yang diterima tersebut layak untuk diperiksa sesuai dengan permintaan sebagaimana diinginkan perujuk. 4) Mengerjakan pemeriksaan laboratories: pathologi klinik atau pathologi anatomi, atau penunjang diagnostik lainnya seperti radiologi, EKG dan lainnya sesuai kebutuhan/permintaan perujuk, dengan mutu pelayanan sesuai standar. Prosedur Administratif 1) Meneliti isi surat rujukan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya yang diterima secara cermat dan jelas 66

81 2) 3) 4) termasuk nomor surat dan status kepesertaan asuransi (Jamkesmas, ASKES, JAMSOSTEK, ASBRI, lainnya), informasi pemeriksaan yang diinginkan, identitas pasien dan diagnosa sementara serta identitas pengirim. Mencatat informasi yang diperlukan di buku register / arsip yang telah ditentukan masing-masing instansinya. Memastikan bahwa kerahasiaan hasil pemeriksaan pasien terjamin. Mengirimkan hasil pemeriksaan tersebut secara tertulis dengan format standar masing-masing sarana kepada pimpinan institusi pengirim. c. Prosedur operasional 1) Pasien dan atau specimen yang dikirim perujuk, diterimakan oleh petugas di instalasi khusus pemeriksaan specimen ataupun penunjang diagnostik lainnya, mengikuti prosedur pelayanan yang ditetapkan di fasyankes bersangkutan 2) Spesimen dan atau pasien diarahkan untuk menuju tempat pelayanan yang dimaksudkan, disertai penjelasan langkah-langkah mendapatkan pelayanan dan hasil/ jawaban atas rujukannya. 3. Prosedur standar mengirim balasan rujukan hasil pemeriksaan spesimen dan penunjang diagnostik lainnya a. b. Prosedur Klinis 1) Memastikan bahwa permintaan pemeriksaan yang tertera di surat rujukan spesimen/ Penunjang diagnostik lainnya yang diterima, telah dilakukan sesuai dengan mutu standar dan lengkap 2) Memastikan bahwa hasil pemeriksaan bisa dipertanggung jawabkan. 3) Melakukan pengecekan kembali (double check) bahwa tidak ada tertukar dan keraguan diantara beberapa spesimen. Prosedur Administratif 1) Mencatat di buku register hasil pemeriksaan untuk arsip. 67

82 2) 3) Mengisi format laporan hasil pemeriksaan sesuai ketentuan masing-masing instansi. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan tersebut tidak tertukar, terjaga kerahasiaannya dan sampai kepada yang berhak untuk membacanya. c. Prosedur operasional 1) Pasien/fasyankes perujuk dipastikan mendapatkan jawaban atas rujukan pemeriksaan specimen dan atau penunjang diganostik, pada waktu yang ditentukan, 2) Hasil pemeriksaan dapat diterima melalui pasien/keluarganya, ataupun langsung oleh fasyankes perujuk, yang dikirimkan melalui perangkat teknologi komunikasi yang ada seperti fax, , atau perangkat TIK/ICT lainnya. F. Rujukan Pengetahuan dan Tenaga Ahli/Dokter Spesialis Kegiatan rujukan pengetahuan dapat berupa kegiatan permintaan dan pengiriman dokter ahli dari berbagai bidang keahlian. Permintaan dapat berasal dari Puskesmas atau Rumah Sakit Umum Kabupaten/ Kota yang ditujukan kepada pihak Rumah Sakit atau Dinas Kesehatan yang memang mampu menyediakan tenaga ahli yang dibutuhkan. 1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan rujukan tenaga ahli / dokter spesialis antara lain: a. Rumah Sakit/Puskesmas yang memerlukan bantuan tenaga ahli, misalnya Rumah Sakit Umum Kabupaten/Kota, atau Puskesmas Rawat Inap di Pusat Gugus Pulau atau Pusat Cluster di Pedalaman. b. Rumah Sakit/Instansi Kesehatan yang mapan/mampu memberikan bantuan tenaga ahli, misalnya Rumah Sakit Umum Provinsi. c. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dimana Rumah Sakit/Puskesmas yang membutuhkan tersebut berada. d. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dimana Rumah Sakit yang akan memberikan bantuan tenaga ahli tersebut berada. 68

83 2. 3. Ruang lingkup rujukan pengetahuan tenaga ahli/dokter spesialis meliputi antara lain: a. Bimbingan klinis untuk: 1) Deteksi dini kasus-kasus rujukan. 2) Melakukan tindakan pra-rujukan. b. Penanganan kasus yang masih menjadi kewenangan dan dapat dilakukan puskesmas, seperti misalnya Pelayanan Obstetri Neonatal Dasar (PONED), Penyakit-penyakit Mata dan Telinga, Kasus penyakit paru (menular/tidak menular), lainnya. c. Supervisi, Monitoring, dan Evaluasi (SME), sekaligus pembinaan penatalaksanaan kasus emergensi/spesialistik terbatas di RS Kelas D, RS Pratama, dan di Puskesmas Rawat Inap di daerah terpencil/sangat terpencil, yang boleh dilakukan oleh Dokter Umum bersama Tim keperawatan/ kebidanan, yang sudah dilatih khusus di pusat pelatihan klinis tertentu dan diberi kewenangan melakukannya. d. Tindak lanjut ( follow up) kasus rujukan balik yang diterima oleh Puskesmas atau Puskesmas Rawat Inap, RS Pratama. e. Kursus singkat atau penyegaran penatalaksanaan klinis kasus-kasus yang sering dijumpai di RS Pratama, Puskesmas dengan rawat inap, Puskesmas, Puskesmas pembantu/ poskesdes. f. Kunjungan pelayanan ke daerah-daerah terpencil yang sulit melakukan rujukan, melalui kegiatan Flying Health Care (FHC), yang dibantu dari tingkat propinsi melalui pengiriman dokter-dokter ahli dan staff pendukungnya. Prosedur standar permintaan rujukan pengetahuan (tenaga ahli) a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memerlukan tenaga ahli membuat surat permintaan tenaga ahli. b. Surat permintaan ditujukan kepada ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi yang bersangkutan sesuai tingkat fasyankes pemohon, dan mengikuti prosedur surat-menyurat yang berlaku, paling lambat 1 bulan dari rencana pelayanan rujukan ahli atau sudah ditetapkan jadwal kunjungan ahli secara berkala. 69

84 c. d. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi melanjutkan permintaan tenaga ahli tersebut ke Direktur Rumah Sakit tujuan dan tembusan kepada Kepala Staf Medik Fungsional (SMF) dan wakil direktur pelayanan yang dituju paling lambat 14 hari sejak surat permintaan diterima, atau telah menyusun rencana kunjungan berkala pelayanan lapangan/kunjungan rujukan tenaga ahli. Fasyankes atau Dinas Kesehatan perujuk: 1) Memberitahukan kepada tenaga ahli penerima rujukan, tentang jenis-jenis kasus yang akan dirujuk dan perkiraan jumlah masing-masing 2) Mempersiapkan penerimaan, termasuk agenda pelayanan rujukan, kasus yang akan dirujuk dan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan, 3) Mempersiapkan akomodasi, transportasi, konsumsi, honor/insentif lainnya sesuai Peraturan Daerah yang bersangkutan atau ketentuan BPJS Kesehatan yang belaku. 4) Memfasilitasi proses pengiriman pasien rujukan, pelayanannya oleh tenaga ahli, proses alih teknologi kepada tenaga Kesehatan di fasyankes perujuk, terutama untuk daerah-daerah terpencil dan rencana pelayanan tindak-lanjutnya (follow-up care) oleh fasyankes perujuk atas arahan tenaga ahli pemberi rujukan, 5) Melakukan monitoring dan evaluasi atas penyelenggaraan pelayanan rujukan tenaga ahli, proses pelaksanaan dan hasil-hasilnya baik pada kasus yang dilayani maupun proses alih pengetahuan dan ketrampilan kepada petugas setempat. 6) Membuat laporan pelaksanaan ke Dinas Kesehatan di wilayahnya dengan tembusan ke Rumah Sakit atau Instansi yang mengirim serta BPJS Kesehatan setempat. 7) Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bersangkutan mengisi laporan Triwulan (Lampiran 5) 70

85 4. Prosedur standar pengiriman tenaga ahli a. Rumah Sakit / Instansi Kesehatan yang akan mengirimkan tenaga ahli berkoordinasi dengan pihak Dinas Kesehatan Provinsi untuk disesuaikan dengan program rujukan di Provinsi tersebut. b. Setelah ada persetujuan dari Dinas Kesehatan Provinsi, maka Rumah Sakit / Instansi tersebut membuat jadwal kunjungan dan surat tugas bagi tenaga ahli yang bersangkutan sesuai permintaan. c. Melakukan evaluasi dan membuat laporan pelaksanaan dan dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi dan arsip. d. Bagi Rumah Sakit, mengisi laporan Triwulan (Lampiran 5) G. Rujukan Horisontal Rujukan horisontal dapat terjadi intra fasyankes maupun dari fasyankes lainnya setingkat. Rujukan horisontal intra fasyankes dapat terjadi antar disiplin ilmu. Contohnya kasus gangrene pada kaki akibat diabetes yang dirawat di SMF Penyakit Dalam, dapat dirujuk ke SMF Bedah dalam fasyankes yang sama, dan selanjutnya dapat dirujuk ke fasyankes tingkat pertama untuk ditindak-lanjuti dengan perawatan secara home care. Rujukan pada kasus ini bersifat horisontal, yang dilanjutkan dengan rujukan balik bersifat vertikal. Contah lainnya dapat digambarkan pada pasien dengan PPOM dari RS Kelas C di satu kabupaten/kota, dapat dirujuk ke BKPM terdekat yang mempunyai peralatan lebih lengkap dan dokter spesialis paru, untuk penanganan/pengobatannya. Banyak kasus lain yang memerlukan rujukan horisontal dengan contoh-contohnya. 71

86 72

87 BAB IV PRINSIP PELAYANAN RUJUKAN KEGAWATDARURATAN Pada rujukan penderita gawat darurat, batas wilayah administrasi (geografis) dapat diabaikan karena yang penting adalah penderita mendapatkan pertolongan yang cepat dan tepat. Proses rujukan emergensi tidak akan mengikuti alur rujukan sebagaimana umumnya berjenjang menurut urutan tingkat fasilitas pelayanan. Dengan kata lain pada kasus gawat darurat hirarki fasilitas pelayanan sesuai prosedur tidak berlaku. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa fasilitas pelayanan Kesehatan pengirim rujukan telah melakukan bypass dalam proses rujukan, karena pasien dengan emergensi harus secepatnya mencapai fasilitas pelayanan yang dapat memberikan pertolongan segera dalam satu periode waktu yang sangat menentukan (golden period). Titik temu pelayanan pada waktu yang sangat tepat dalam suatu proses pelayanan rujukan pasien emergensi disebut the moment of truth, dan kepedulian serta rasa tanggung-jawab dari manajemen penyelenggara pelayanan dalam periode ini sangat menentukan keberhasilan pelayanan sekaligus menentukan citra (image) dari pelayanan fasyankes bersangkutan, dan bila ini terlewatkan maka hasilnya akan sangat berbeda, baik pada keselamatan pasiennya maupun image pelayanan bahkan image fasyankesnya secara luas. Periode waktu tempuh ke fasilitas pelayanan rujukan selama 2 jam, untuk kasus emergensi tidak berlaku, karena time saving is life and limb saving. Komunikasi dalam rujukan kegawatdaruratan amat sangat penting. Rujukan harus diawali dan diakhiri dengan komunikasi. Prosedur komunikasi mengikuti prosedur rujukan dalam bab 3. A. Prinsip dan Kewenangan setiap fasilitas pelayanan 1. Menentukan kegawat daruratan penderita Fasilitas pelayanan Kesehatan tingkat pertama harus dapat menentukan tingkat kegawat daruratan kasus yang ditemui. Sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, dokter umum 73

88 harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk, sedangkan bidan/perawat hanya akan memberikan pertolongan untuk life saving dan stabilisasi pasien agar dapat segera dirujuk ke fasyankes yang tepat dan terdekat untuk segera dapat ditolong. 2. Menentukan tempat tujuan rujukan Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai kewenangan dan terdekat, termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita. Selain itu harus ada kepastian melalui komunikasi. Tempat tujuan rujukan harus sudah menerima informasi mengenai data pasien dan petugas yang mendampingi. 3. Memberikan Informasi kepada penderita dan keluarganya Penderita dan keluarganya perlu diberi informasi mengenai urgency dilakukannya rujukan serta konsekuensi apabila hal tersebut tidak dilakukan. Penderita atau keluarganya harus menandatangani formulir informed consent mengenai hal ini. Fasilitas pelayanan berkewajiban mempersiapkan formulir informed consent tersebut. Secara rinci tentang hal ini sudah dijelaskan. 4. Memberikan informasi pada tempat rujukan yang dituju. Melalui telepon atau radio komunikasi disampaikan kepada tempat rujukan yang dituju untuk: (a) Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk, (b) Meminta petunjuk apa yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan dan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan, dan (c) Meminta petunjuk cara penanganan untuk menolong penderita bila tidak mungkin dikirim. 5. Persiapan penderita. Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki lebih dahulu. Keadaan umum ini perlu dipertahankan selama dalam perjalanan. Untuk itu infuse maupun obat-obatan yang diperlukan untuk itu perlu disertakan pada waktu pasien diangkut. Surat rujukan perlu disiapkan sesuai dengan format terlampir. Seorang paramedik perlu mendampingi penderita dalam perjalanan, untuk menjaga keadaan umum penderita. 74

89 6. Pengiriman penderita Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut penderita diutamakan yang dapat mempercepat sampai ke tujuan dan dapat mengakomodasi tujuan menjaga kestabilan keadaan umum penderita. 7. Tindak lanjut penderita Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memerlukan tindak lanjut, dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan. B. Prinsip Merujuk dan Menerima Pasien Gawat Darurat 1. Setiap fasilitas pelayanan harus tahu periode emas dalam mengatasi kegawat daruratan medik tertentu, seperti perdarahan <2Jam, Jantung 30 menit, Otak 3 menit. 2. Prinsip merujuk pasien gawat darurat bagi iniciating facility: 3. Harus mempunyai tenaga terlatih PPGD, baik dokter maupun tenaga perawatnya dan dilengkapi peralatan medis sesuai kebutuhannya. 4. Harus tahu fasilitas Kesehatan rujukan tujuan yang paling tepat, paling dekat dan paling singkat, mengirimkan pasiennya yang berada dalam kondisi kegawat-daruratan medik yang dihadapinya, untuk mendapatkan pelayanan sesegera mungkin (lihat bagan 1) 5. Harus mampu memberikan pertolongan pra rujukan sesuai masalahnya 6. Informed consent untuk melakukan tindakan pertolongan tidak selalu dibutuhkan, akan tetapi pemberi pertolongan benar-benar orang yang terlatih dan mampu memberikan pertolongan 7. Mengirimkan pasien dengan pendampingan oleh tenaga yang mempunyai kemampuan memberikan pertolongan darurat selama di perjalanan 8. Telah mendapatkan kepastian dari fasilitas pelayanan Kesehatan terujuk tentang kesiapannya menerima pasien yang akan dikirim 9. Menyerahkan pasien dan menunggu kepastian tentang tindaklanjut pelayanan yang akan diberikan 10. Baru kembali pulang setelah serah terima pelayanan pasien. 75

90 C. Prinsip menerima pasien gawat darurat bagi receiving facility 1. Sama halnya dengan fasilitas pengirim, bahwa setiap kondisi kegawat-daruratan perlu pertolongan sesegera mungkin. 2. Urusan administrasi dapat dilaksanakan setelah pertolongan bantuan hidup (life saving) diberikan. 3. Telah mempersiapkan tenaga, tempat, peralatan, bahan dan obat, untuk pertolongan. 4. Memberikan pelayanan segera, berupa: a. Pemeriksaan awal, menindak-lanjuti informasi yang diberikan melalui kontak komunikasi awal b. Melengkapi pemeriksaan lanjutan, baik fisik dan penunjang, untuk menegakkan diagnosis pasti dan tingkat kegawatdaruratannya c. Membuat rencana tindakan medis dan pengobatan serta monitoring kondisi kegawatdaruratannya d. Memberikan layanan, berupa obat ataupun tindakan medis sejalan dengan hasil pemeriksaan atas kasusnya 5. Sedangkan dari aspek keperawatan, selain berkolaborasi dengan dokter yang menangani aspek medisnya, juga melakukan pengkajian dalam aspek keperawatannya, mendiagnosis dan merencanakan asuhan keperawatan, selanjutnya melaksanakan tindakan keperawatan yang sejalan dengan asuhan medis, sehingga keduanya berjalan sinergis. 6. Melakukan pemantauan dan tindakan sesuai hasilnya, sampai batas waktu tertentu untuk menyimpulkan kemajuannya 7. Melakukan penilaian pada waktu yang ditetapkan, dan menyimpulkan bahwa: a. Pelayanan di fasilitas akan ditindak-lanjuti sesuai kondisinya yang membaik (dubia ad bonam). b. Memberi tahu keluarga, tentang kondisi pasien yang tidak jelas menunjukkan kemajuan dan memberi opsi untuk suatu tindakan/rujukan ke institusi lebih mampu. c. Memberi tahu keluarga tentang kondisi pasien yang memburuk (dubia ad malam), dan memberikan pendampingan keluarga oleh perawat. 76

91 BAB V PENCATATAN DAN PELAPORAN Setiap fasilitas pelayanan Kesehatan wajib memiliki dan mengisi buku register rujukan dan melakukan pencatatan dan pelaporan pasien rujukan. A. PENCATATAN Yang diuraikan dalam buku pedoman ini adalah pencatatan yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan dalam sistem rujukan pasien, sehingga format-format pencatatan di fasyankes bersangkutan secara lengkap tidak akan dijelaskan disini, dan data yang berhubungan dengan pengiriman dan penerimaan pasien rujukan maupun rujukan balik dicatat pada kolom-kolom yang disediakan untuk kepentingan pencatatan aktivitas masingmasing dalam proses rujukan, sebagaimana terlampir. Kolom-kolom dalam register pasien rujukan seharusnya dapat mencakup selengkap mungkin informasi yang perlu dicatat sebagai dokumentasi, baik sebagai format pencatatan manual maupun dalam bentuk soft copy bagi yang telah memiliki perangkatnya. Dengan model pencatatan demikian diaharapkan disetiap fasyankes yang telah memiliki perangkat sistem informasi, akan mempunyai dua arsip pencatatan pasien rujukan di fasyankes, sebagaimana tertulis dalam lampiran tentang register pengiriman/ penerimaan rujukan/rujukan balik pasien di fasyankes, tanpa membedakan tingkat fasyankesnya. Untuk lebih melengkapi data yang diperlukan di masing-masing fasyankes, diberi kelonggaran untuk menambahkan kolom-kolom yang diperlukan fasyankes bersangkutan, sementara pencatatan dalam lembar status pasien harus dibuat selengkap mungkin., yang disesuaikan dengan tingkat fasyankes dalam pelayanan (tingkat I, II, III) Pengisian kolom-kolom dalam register rujukan pasien sedapat mungkin mudah diisi, proses pencatatan diupayakan tidak harus banyak menulis, dan setiap pelayanan harus segera didokumentasikan, baik dalam buku register maupun bentuk soft 77

92 copynya, sejak fasyankes penerima rujukan menerima kepastian bahwa ada pasien yang sudah akan dirujuk dari fasyankes perujuk. Informasi tentang pengiriman pasien dari fasyankes perujuk segera dicatat di kolom yang ditentukan dalam register rujukan, dan akan menjadi peringatan bagi fasyankes rujukan, terutama bila pasien yang dirujuk adalah pasien emergensi, sehingga fasyankes rujukan harus siap siaga apabila dihubungi pendamping pasien di perjalanan, ketika meminta konsultasi dalam penanganan pasien di perjalanan, apabila terjadi masalah/kedaruratan yang memerlukan tindakan. Proses rujukan dapat berjalan dengan baik, selain harus didukung dengan pelayanan yang baik dan segera, juga harus didukung kepatuhan petugas mencatat data pelayanan secara teratur, segera dan tidak menunda untuk setiap pasien yang dilayani. Sementara untuk pasien rujukan balik, pencatatan dalam register rujukan balik pasien selain akan menjadi arsip data pasien yang dirujuk balik, maka informasi yang diberikan kepada fasyankes perujuk semula akan menjadi informasi untuk telusur pasien dalam upaya tindak-lanjut pelayanan pasien secara komprehensif., dan kemungkinan pasien hilang dalam rujukan akan dapat diketahui dan diberitahukan kepada fasyankes perujuk ataupun fasyankes perujuk balik. Tanpa membedakan tingkat fasyankes perseorangan (Tingkat Pertama, Tingkat Dua, Tingkat Tiga) yang melayani pasien rujukan, maka register rujukan akan terdiri atas: a. Register Pengiriman Rujukan Pasien b. Register Penerimaan Rujukan Pasien c. Register Pengiriman Rujukan Balik Pasien d. Register Penerimaan Rujukan Balik Pasien Kolom-kolom dalam register rujukan tersebut diatas dapat dilihat dalam format lampiran register pasien rujukan, dan semua informasi penting yang berhubungan dengan proses mengirimkan dan penerimaan rujukan ataupun rujukan balik harus tercatat dalam buku register berikut soft copy sesuai tempat pelayaannya dalam sistem rujukan, sedangkan setiap data yang diperoleh, baik data tindakan/pelayanan yang sudah dilaksanakan dan follow- 78

93 up atas kemajuan ataupun kemunduran yang terjadi pada setiap pasien rujukan yang dilayani, akan dicatat dalam rekam medik masing-masing pasien. 8. Tim Inter-profesi di setiap fasilitas pelayanan, harus memantau dan mengevaluasi secara mandiri pelaksanaan pelayanan kasus yang dirujuk ataupun pasien rujukan yang diterima dari fasyankes pengirim dan proses tindak-lanjut pelayanannya di fasyanes bersangkutan, demikian pula proses rujukan baliknya dari fasyankes penerima rujukan. Informasi yang diperoleh akan menjadi bahan pembahasan internal fasyankes bersama manajemen. 9. Informasi yang diperoleh dari data yang dicatat baik dari register-register rujukan maupun dari rekapitulasi data lain yang berhubungan dengan proses rujukan dan penyelenggaraan pelayanan serta tindak lanjutnya, termasuk dari Tim Interprofesi yang melayani pasien, setelah diolah dan dianalisis secara lengkap, akan menjadi sumber informasi bagi manajemen fasyankes bersangkutan dalam pengelolaan pasien rujukan. 10. Dengan mempelajari semua informasi yang diperoleh, menelaah adanya masalah dan hambatan kemampuan fasilitas baik dari aspek kemampuan SDM maupun ketersediaan dan kemampuan Sumber daya pendukungnya, manajemen akan dapat memperbaiki bahkan meningkatkan penyelenggaraan pelayanan pasien, khususnya yang berhubungan dengan berfungsinya sistem rujukan di internal dalam fasyankes bersangkutan. 11. Data yang diharapkan ditindak-lanjuti, diolah dan dianalisis lebih lanjut antara lain berupa data pemeriksaan dan pelayanan/ tindakan terhadap pasien-pasien rujukan: a. Kehamilan, persalinan, masa nifas dan neonatal, b. Penyakit yang menjadi perhatian tingkat nasional/global, dalam lingkup MDGs, c. Penyakit yang masih menjadi masalah Kesehatan setempat (local specific) d. Data mortalitas secara umum dan Cause of death untuk Death on arrival (DoA). e. Lain-lain yang dipandang penting 79

94 12. Khusus untuk DoA ( Death on arrival) kelak akan dievaluasi hubungannya dengan proses kecepatan dan ketepatan melakukan rujukan, untuk tujuan perbaikan sistem rujukan. Data juga akan digunakan untuk cost-effective analysis, terutama oleh BPJS Kesehatan, yang dalam periode tahun yang ditetapkan akan menjadi penyelenggara jaminan sosial dalam kaitan ini untuk Kesehatan, untuk menilai efektifitas pelayanan pasien dalam sistem penyelenggaraan pelayanan yang dimilikinya, dan selanjutnya akan diperbaiki dari waktu ke waktu. B. PELAPORAN Secara rutin per triwulan setiap fasilitas pelayanan Kesehatan melaporkan kasus rujukan kepada Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan stratanya. Laporan yang diharapkan adalah sesuai dengan yang terdapat pada lampiran. Alur pelaporan dapat dilihat pada bagan 4 berikut ini. Yang juga penting dalam penyelenggaraan sistem rujukan, adalah berbagi (sharing) informasi tentang pelayanan dan informasi tentang penyakit yang dilayani di fasyankes sebagai data daerah untuk kepentingan semua pihak, walaupun sifatnya bukan laporan. Dinas Kesehatan Kabupaten/kota harus mempunyai data pelayanan dan penyakit dari pasien rujukan yang dilayani di Fasyankes perseorangan tingkat pertama (Klinik Puskes, Klinik Pertama, praktek dokter, dokter gigi,dan fasyankes tingkat kedua (RS Kelas C, Klinik Utama, Balkesmas Pelayanan BKPM, BKMM) milik pemerintah ataupun swasta dalam wilayah Kabupaten/ kota, dan Dinas Kesehatan Propinsi akan menerima informasi dan laporan fasyankes perseorangan tingkat tiga (RS Kelas B Non Pendidikan dan Kelas B Pendidikan, BBKPM, BBKMM, Klinik Utama) milik pemerintah dan swasta yang berada di wilayah propinsi bersangkutan, sedangkan pusat/nasional di Kemenkes RI dalam hal ini Ditjen BUK/Dit BUKR, akan menerima informasi/ laporan dari fasyankes perseorangan tingkat tiga berupa RS Kelas A Regional dan RS Kelas A Nasional,baik sebagai rumah sakit umum maupun khusus. 80

95 4. 5. Selain itu, Fasyankes juga diharapkan melaporkan pelaksanaan kegiatan, hasil-hasil kegiatan, masalah dan hambatan yang dihadapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam pelayanan. Alur pelaporan fasyankes perseorangan dalam proses penyelenggaraan sistem rujukan dapat digambarkan dalam bagan 4 berikut ini: FPK tingkat pertama Dinkes kota/kabupaten setempat Dinkes provinsi sempat Kemenkes FPK tingkat kedua Dinkes provinsi sempat Kemenkes FPK tingkat ketiga Kemenkes Bagan 4. Alur Pelaporan dari Fasyankes Perseorangan 81

96 82

97 BAB VI MONITORING DAN EVALUASI A. Pengertian Monitoring dan Evaluasi Internal Monitoring adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasa lahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Terpadu adalah monitoring dan evaluasi yang direncanakan dan dilaksanakan bersama-sama secara lintas program dengan indikator yang saling terkait. Monitoring dan evaluasi terpadu yang dilakukan berdasarkan pedoman ini adalah terhadap seluruh rangkaian kegiatan pembangunan Kesehatan baik di provinsi maupun kabupaten / kota yang meliputi proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan kegiatan program sesuai Peraturan Pemerintah No. 39 tahun Monitoring dan evaluasi internal (Monevin) merupakan kegiatan rutin yang berkesinambungan dan harus terus menerus dilakukan. Pada dasarnya monevin merupakan kegiatan pemantauan pelaksanaan kegiatan bukan suatu kegiatan untuk mencari kesalahan, tetapi membantu melakukan tindakan perbaikan secara terus menerus. Monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan sebagai usaha untuk menentukan apa yang sedang dilaksanakan dengan cara memantau hasil/prestasi yang dicapai dan jika terdapat penyimpangan dari standar yang telah ditentukan, maka segera diadakan perbaikan, sehingga semua hasil/prestasi yang dicapai dapat sesuai dengan rencana. 83

98 Manfaat dari monev ini adalah diperolehnya informasi tentang gambaran proses manajemen serta penilaian kinerja program pembangunan Kesehatan serta bagaimana cara mengatasinya, agar dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, penggunaan sumber daya yang tersedia. Monitoring dan evaluasi diarahkan untuk: Meningkatkan mutu, akses dan kelangsungan pelayanan Kesehatan serta keselamatan pasien. Memperbaiki ketaatan pelaksanaan sistem rujukan berjenjang oleh fasyankes. Untuk memperbaiki, merencanakan, mengevaluasi sarana dan SDM di pelayanan Kesehatan. Mengembangkan sistem pelayanan rujukan secara nasional. Pembinaan dan pengawasan dilakukan secara berjenjang oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan melibatkan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pembinaan dan pengawasan diarahkan untuk: 1. Meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan 2. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan mencegah penyakit (promotif dan preventif) 3. Melindungi masyarakat dari tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi 4. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat,dokter dan dokter gigi. B. Tujuan Monitoring dan Evaluasi Internal 1. Yang diuraikan dalam pedoman ini adalah pelaksanaan pemantauan dan penilaian (monitoring dan evaluasi, Monev) internal dalam penyelenggaraan pelayanan rujukan Kesehatan perseorangan, dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan, dan merupakan kegiatan rutin dalam manajemen penyelenggaraan pelayanan Kesehatan perseorangan, Adapun tujuan pemantauan dan penilaian internal penyelenggaraan pelayanan rujukan Kesehatan perseorangan disini adalah untuk memperbaiki dan 84

99 meningkatkan fungsi sistem rujukan pelayanan Kesehatan perseorangan termasuk rujukan kasus gawat-darurat. Pada dasarnya proses Monev penyelenggaraan pelayanan rujukan dalam sistem rujukan, bukan suatu kegiatan untuk mencari kesalahan, tetapi merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara berkala dan terus menerus dalam rangka membantu upaya perbaikan dan peningkatan fungsi sistem rujukan. Kegiatan Monev dilakukan sebagai usaha untuk mengetahui apa yang sedang dilaksanakan, bagaimana proses pelaksanaan dan hasilnya ataupun prestasi yang dapat dicapai, dan bila terjadi penyimpangan dari standar yang telah ditentukan, dapat segera diperbaiki, sehingga semua hasil dan atau prestasi dapat dicapai sesuai dengan rencana. Kegiatan Monev sebagai upaya internal manajemen akan berjalan dengan lebih baik, apabila didukung pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh para Pembina fasyankes ditingkatnya secara berjenjang, berturut-turut dari tingkat terdepan oleh supervisor di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai kewenangan masing-masing dengan melibatkan Organisasi Profesi bersangkutan. Adapun pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan sistem rujukan yang dilakukan, bertujuan untuk mendukung fasyankes dalam: a. Mempersiapkan semua fasyankes perseorangan dalam kemampuan teknis penanganan pasien yang memerlukan pelayanan di fasyankes Kesehatan perseorangan di tingkatnya dan kemampuan proses yang berkualitas dalam pelaksanaan pelayanan Kesehatan perseorangan dan rujukannya, serta manajemen penyelenggaraan pelayanan Kesehatan perseorangan, dalam upaya untuk melayani pasien-pasien yang datang memerlukan pelayanan, dan dalam batas-batas yang ditentukan untuk fasyankes menurut tingkatannya, perlu dirujuk ke fasyankes yang lebih mampu dan berwenang menangani kasusnya. b. Mempersiapkan fasyankes penyelenggara pelayanan Kesehatan perseorangan, mampu menerima rujukan kasus dari fasyankes perujuk, memberikan tuntunan 85

100 c. d. e. f. dan arahan kepada fasyankes perujuk dalam menangani kasus prarujukan baik di fasyankes maupun dalam perjalanan rujukan, serta menangani kasus rujukan dalam batas-batas kewenangannya, dan bilamana perlu dapat mempersiapkan pasien untuk dirujuk ke fasyankes yang lebih mampu di, pasien yang datang atas rujukan dari fasyankes perujuk, pasien yang datang dari fasyankes perujuk dan kemudian perlu secepatnya dirujuk, serta pasien yang dirujuk balik dari fasyankes rujukan kembali ke fasyankes perujuk. Pelayanan diharapkan dapat dilaksanakan secara komprehensif, cepat, tepat dan berhasil mengatasi masalah Kesehatannya. Mengarahkan para pelaksana pelayanan mematuhi batas-batas kewenangan yang diperbolehkan sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasai sebagai pemberi layanan Kesehatan perseorangan di tingkatnya, Mengarahkan semua penyelenggara pelayanan Kesehatan perseorangan mematuhi langkah-langkah pelaksanaan rujukan kasus yang memerlukan pelayanan di fasyankes yang lebih mampu sesuai ketentuan, mempersiapkan dukungan ketersediaan Sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan rujukan, sesuai kebutuhan baik ketersediaan tenaga-tenaga Kesehatan yang kompeten dan berwenang menyelenggarakan pelayanan, maupun ketersediaan sarana, pra sarana, peralatan serta dukungan pembiayaannya. Meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan perseorangan baik dalam aspek teknis (technical quality of the outcome) maupun aspek fungsional pelayanan (functional quality of the process), dalam upaya menumbuhkan kepercayaan publik atas kualitas pelayanan yang dapat memberikan hasil yang baik serta layanan yang memuaskan, di semua lini penyelenggaraan pelayanan, mulai dari fasyankes tingkat pertama, kedua dan ketiga, Memastikan bahwa masyarakat akan terlayani dengan baik, berkualitas serta memuaskan, demikian pula proses rujukan akan terlaksana berdasarkan indikasi yang jelas, tepat waktu dan tepat tujuan, adanya kejelasan 86

101 jaminan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan akan terlayani dengan baik dan cepat di fasyankes tujuan, sehingga masyarakat terlindungi dari tindakan yang tidak bertanggung-jawab, baik yang dilakukan oleh tenaga-tenaga Kesehatan maupun oleh fasyankes yang seharusnya melayani dengan baik. g. Memberikan kepastian hukum bagi dokter, dokter gigi, tenaga keperawatan, penunjang medis dan lainnya, dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan pasien. h. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelayanan Kesehatan yang dibutuhkan khususnya dalam upaya penyelesaian masalah Kesehatan /penyakit, dan penyelamatan jiwa pada kondisi emergensi pasien dengan kemampuan mengambil keputusan secara tepat dan cepat, untuk menerima saran dan nasehat dari tenaga Kesehatan berwenang khususnya dalam menghadapi kasus emergensi/kedaruratan medik tertentu, sehingga pelayanan dapat segera diberikan di fasilitas yang tepat, oleh tenaga yang berwenang serta kompeten menangani kasusnya. Hasil-hasil investigasi dengan memanfaatkan data dan informasi hasil pemantauan dan penilaian (Mones) yang dilakukan internal fasyankes, akan menjadi salah satu sumber data/informasi bagi para Pembina dan pengawas untuk mempersiapkan pembinaan maupun pengawasan, dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan pelayanan Kesehatan perseorangan dan rujukan di fasyankes perseorangan pada semua tingkat pelayanan, yaitu tingkat pertama, kedua dan ketiga. Tabel 3. Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi Sistem Rujukan NO HAL PENJELASAN 1 Pengertian Monitoring merupakan proses pengumpulan dan analisis informasi mengenai pelaksanaan sistem rujukan secara terus-menerus, melibatkan apakah sistem rujukan telah dilaksanakan sesuai rencana dan bagaimana pelaksanaannya, sehingga masalah dapat selalu ditemukan, didiskusikan dan dipecahkan bersama. 87

102 NO HAL PENJELASAN 2 Tanggung jawab 1. Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Menteri Kesehatan Dan dilaksanakan oleh tim monitoring dan evaluasi yang ditunjuk. 3 Bahan 1. laporan triwulan dari semua fasilitas pelayanan 2. Kesehatan yang melaksanakan rujukan laporan review secara acak dan kunjungan rumah untuk mengeksplorasi tingkat kepuasan pasien 4 Parameter kualitatif 1. Efisiensi 2. Efektifitas 3. Aksesibilitas 4. Ketepatan 5. Responsivitas 6. Hubungan interpersonal yang baik 5 Parameter kuantitatif Volume atau jumlah kasus yang dirujuk Outcome atau luaran dari rujukan Masalah yang mendasari rujukan dan pelayanan yang diberikan kepada pasien oleh fasilitas yang menerima rujukan Meningkatnya pemanfaatan fasilitas Kesehatan, terutama pada tingkat yang lebih rendah. C. Prosedur Monitoring dan Evaluasi Pelaksana an Sistem Rujukan 1. Monitoring dilakukan: a. b. Secara berkala oleh masing-masing fasilitas, dari sisi pengirim ataupun sebagai terujuk, dari aspek klinik maupun administratif Kesinambungan sistem rujukannya, mulai dari pengirim, menuju fasilitas rujukan, proses pelayanan dan selanjutnya 88

103 c. rujukan balik, penerimaan pasien kembali dan tindak lanjutnya, serta masalah, hambatan dan upaya mengatasinya. Pada periode waktu tertentu, dilakukan bersama dalam satu kesatuan jejaring sistem rujukan, setiap triwulan, difasilitasi unsure pemerintahan daerah ditingkatnya, melibatkan berbagai unsur sebagai stakeholders terkait seperti fasilitas Kesehatan pengirim dan penerima, Dinas Kesehatan setempat, Pemerintah Daerah setempat, Wakil masyarakat (Komite Kesehatan Kabupaten/Konsil Kesehatan Kecamatan) yang sudah terbentuk di daerah masing-masing, Tim BPJS Kesehatan, dan lainnya. 2. Evaluasi dilaksanakan: a. b. Sama dengan diatas, dilaksanakan pada akhir tahun Disimpulkan pelaksanaannya, mencakup proses secara keseluruhannya, hasil-hasilnya, masalah, kendala, dan rancangan upaya perbaikannya di masing-masing titik penyelenggaraan, langkah-langkah pelaksanaannya Pembiayaan dan kelangsungan dari pengiriman pembiayaan- nya c. 3. Hasil monitoring dievaluasi lebih lanjut dan diumpan balikkan pada fasilitas pelayanan Kesehatan yang dimonitor 89

104 90

105 BAB VII PENUTUP Rumah Sakit mampu memberikan pelayanan perawatan yang menentukan sampai dengan 85% dari semua pasien yang mengalami cedera. Sedangkan 15% sisanya adalah pasienpasien yang memerlukan perawatan khusus diluar kemampuan rumah sakit setempat. Untuk itu langkah awal yang diperlukan adalah membantu mengembangkan kemampuan rumah sakit yang ada untuk mengidentifikasi pasien-pasien mana yang memerlukan rujukan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas dan kemampuan perawatan khusus. Sistem rujukan Kesehatan yang berlaku secara nasional saat ini di Indonesia merupakan kebijakan Departemen Kesehatan yang dikeluarkan pada tahun Kertas kebijakan tentang kebijakan menejemen rumah sakit menunjukan bahwa sistem rujukan Kesehatan tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Sistem rujukan (rujukan dan rujukan balik) dan penetapan rujukan tidak dilaksanakan dengan baik sehingga berbagai pola rujukan muncul. Hal ini terjadi karena kebijakan sistem rujukan yang ada tidak dilengkapi dengan prosedur dan mekaniskme teknis. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan ini merupakan pedoman bagi fasilitas Kesehatan dalam mengelola rujukan Kesehatan antar fasilitas Kesehatan baik secara horisontal maupun vertikal. Petunjuk Teknis ini dilengkapi dengan format-format pencatatan dan pelaporan. Semoga hadirnya Buku ini menjadi pedoman penyelenggaraan sistem rujukan Kesehatan di masing-masng provinsi yang akan menyediakan informasi dan data tentang kasus-kasus rujukan yang bisa menjadi bahan perbaikan pelayanan Kesehatan pada umumnya dan penanganan kasus-kasus rujukan pada masa yang akan datang. 91

106 DAFTAR PUSTAKA 1. Kajian Kebijakan Sistem Rujukan Kesehatan. Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan Depkes RI Pedoman Rujukan Medik Puskesmas. Depkes RI Health Referral Manual. USAID. Pasay city Petunjuk Teknis Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Prov.NTB tahun Pedoman Regionalisasi Sistem Rujukan Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan. Dinkesprov Sulsel National Referral Sistem- policy, guideline, protocols. Ministry of Health-Belize (website WHO) revisi tahun Armenian maternal and child referaal sistem study USAID 8. Referral hospital. WHO Referral Sistems - a summary of key processes to guide health services managers. (website WHO) 10. The Health Referral Sistem In Indonesia (website WHO) 11. WHO: module 5 Referral and network development 12. Seri PPGD Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan keempat. Depkes Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung (H5N1) di Rumah Sakit. Kementerian Kesehatan Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca di Indonesia. Depkes

107 LAMPIRAN 1 STANDAR JENIS PELAYANAN SETIAP JENJANG RUJUKAN Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/Per/ III/2010 tentang Kelasifikasi Rumah Sakit, sesuai dengan kapasitas tempat tidur pemerintah membedakan menurut: 1. Rumah Sakit Kelas A adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialis luas, sub spesialis dan rumah sakit pendidikan. 2. Rumah Sakit Kelas B Pendidikan adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialis luas dan sub spesialis terbatas dalam Rumah Sakit Pendidikan. 3. Rumah Sakit Kelas B adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis dan spesialis sekurangkurangnya 11 jenis spesialis. 4. Rumah Sakit Kelas C adalah Rumah Sakit Umum mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialis sekurang-kurangnya 4 spesialis (penyakit dalam, bedah, anak dan kebidanan). 5. Rumah Sakit Kelas D adalah Rumah Sakit Umum mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-kurangnya petugas medis dasar. Sedangkan Rumah Sakit Swasta itu dibagi menurut kemampuannya: 1. Rumah Sakit Swasta Perdana yang memberi pelayanan medis bersifat umum. 2. Rumah Sakit Swasta Madya yang memberikan pelayan medis bersifat umum dan spesialis dengan 4 keahlian. 3. Rumah Sakit Swasta Utama yang memberikan pelayanan medis bersifat umum spesialis dan sub spesialis. A. Pelayanan Rujukan Dasar/Jenjang Rujukan Tingkat I 1. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama a. Pelayanan rawat jalan tingkat pertama yang dimaksud adalah pelayanan Kesehatan yang diberikan oleh Tenagatenaga Kesehatan dalam satu Tim yang terdiri atas dokter, dokter gigi dan tenaga keperawatan, dapat didukung tenaga penunjang sesuai kebutuhan, 93

108 b. Pelayanan dapat diselenggarakan di dalam gedung puskesmas serta jejaring fasilitas pelayanan puskesmas, seperti Posyandu dan fasilitas yang disediakan masyarakat (UKBM), seperti poskesdes, posyandu, Pos UKK, Posbindu, dan lainnya, dengan pelayanan yang diberikan berupa: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Pemeriksaan Kesehatan dan konsultasi Kesehatan Pelayanan pengobatan umum Pelayanan gigi termasuk cabut, tambal, scalling Penanganan gawat darurat Pelayanan gizi kurang/buruk Tindakan medis/operasi kecil Pelayanan imunisasi wajib bagi bayi dan WUS 8) Asuhan keperawatan pada target sasaran individu dalam kontek keluarga, dalam rangka berkolaborasi dengan dokter/dokter gigi 9) Pelayanan Kesehatan ibu dan anak dan Keluarga Berencana (alat kontrasepsi bagi keluarga miskin disediakan BKKBN), termasuk penanganan efek samping dan komplikasi 10) Pelayanan laboratorium dan penunjang diagnostik lainnya 11) Pemberian obat 12) Rujukan c. Penyelenggaraan pelayanan Kesehatan perseorangan rawat jalan tingkat pertama dilakukan oleh: 1) Klinik Puskes dengan jejaring pelayanannya dalam wilayah kerja puskesmas, baik berupa kegiatan pelayanan Kesehatan di dalam gedung maupun kegiatan pelayanan Kesehatan di luar gedung 2) Pelayanan diberikan di: a) Klinik Puskes: Klinik Umum, Gigi, KIA dan Klinik KB, gawat darurat b) Pelayanan rujukan oleh dokter puskesmas di dalam kegiatan Puskesmas Keliling, pelayanan di puskesmas pembantu 94

109 Pelayanan oleh Tenaga Kesehatan di fasilitas milik masyarakat, seperti Posyandu, Poskesdes, Posbindu, Pos UKK, dan lainnya Pelayanan di klinik-klinik pemerintah milik kementarian, BUMN, dan lainnya Pelayanan di klinik-klinik pratama milik swasta Pelayanan yang dilaksanakan melalui praktek perseo- rangan dokter/ dokter keluarga c) d) e) f) 2. Pelayanan Kesehatan Rawat Inap Tingkat Pertama Pada kondisi pasien rawat jalan perlu dilakukan perawatan akan tetapi belum memerlukan pelayanan spesialistik, maka sebagai alternatif untuk memberikan pelayanan rawat inap dapat dilakukan di puskesmas dengan fasilitas rawat inap, atau di dirujuk ke Rumah Sakit yang masih masuk kedalam strata pertama. Pelayanan yang dapat diberikan di fasilitas raat inap puskesmas berupa: a. Penanganan gawat darurat b. Perawatan pasien rawat inap termasuk perawatan gizi buruk c. Perawatan persalinan d. Perawatan satu hari (one day care) e. Tindakan medis yang diperlukan f. Pemberian obat g. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang medis lainnya h. Rujukan 3. Pelayanan Pertolongan Persalinan Pelayanan pertolongan persalinan normal (fisiologis) dapat dilakukan di puskesmas dan jaringannya termasuk sarana UKBM (Poskesdes) oleh bidan, di fasilitas rawat inap puskesmas sedangkan penanganan kasus maternal/neonatal emergensi dalam batas-batas tertentu termasuk persalinan dan nifas, masih dapat dilakukan di fasilitas rawat inap puskesmas mampu PONED. Pelayanan pertolongan persalinan tersebut mencakup: bservasi Proses Persalinan 95

110 a. Pertolongan persalinan normal b. Pertolongan persalinan pervaginam dengan penyulit (puskesmas dengan fasilitas dan mampu PONED) c. Pelayanan gawat darurat persalinan d. Perawatan Nifas (Ibu dan neonatus) e. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang diagnostik lain f. Pemberian obat g. Akomodasi dengan/tanpa penyediaan makanan pasien h. Rujukan Tempat pelayanan pertolongan persalinan dapat dilakukan di sarana pelayanan Kesehatan yaitu puskesmas dan jaringannya, sarana UKBM, bidan praktik, dokter praktik, rumah bersalin maupun di rumah penduduk oleh tenaga Kesehatan yang berkompeten. B. Pelayanan Rujukan Spesialis/Jenjang Rujukan Tingkat II Pada dasarnya Program Jamkesmas di puskesmas dan jaringannya adalah pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama, tetapi dalam rangka peningkatan akses pelayanan Kesehatan lanjutan, beberapa puskesmas di kota besar menyediakan pelayanan spesialistik. Pada prinsipnya pelayanan di klinik puskesmas adalah pelayanan Kesehatan perseorangan tingkat pertama, sehingga apabila puskesmas memiliki fasilitas pelayanan spesialistik, baik berupa pelayanan dokter spesialis yang bersifat tetap atau rawat jalan maupun pelayanan penunjang spesialistik (laboratorium, Radiologi, dan lain lain), maka kegiatan tersebut dapat menjadi bagian kegiatan program Jamkesmas di puskesmas dan jaringannya, tetapi perlu pengaturan secara khusus (perlu pembatasan khususnya berbagai jenis tindakan dengan memperhatikan kondisi sarana, prasarana, kompetensi dan ketersediaan dana). C. Pelayanan Rujukan Sub Spesialis/Jenjang Rujukan Tingkat III Rujukan pelayanan Kesehatan yang dimaksud adalah proses rujukan kasus maupun rujukan spesimen/penunjang diagnostik yang dapat berasal dari fasyankes perseorangan tingkat dua ataupun rujukan 96

111 pasien emergensi dari fasyankes perseorangan tingkat pertama. seperti RS Pratama, RS Kelas D, Klinik puskes, fasilitas rawat inap puskesmas perawatan, klinik-klinik pratama, praktek dokter/dokter gigi swasta, ke Rumah Sakit Kelas B Non Pendidikan/Pendidikan, RS Kelas A Regional Propinsi, BBKPM, BBKMM, atau sarana penunjang medis lainnya. Prosedur rujukan dilaksanakan secara berjenjang dan terstruktur dari fasyankes tingkat dua, dengan prinsip portabilitas, khususnya pada pasien non emergensi, sedangkan pasien emergensi dapat dirujuk dari fasyankes tingkat pertama. Pelaksanaan rujukan harus didasarkan pada indikasi medis sehingga puskesmas dan jaringannya harus dapat melakukan kendali dalam hal rujukan, sehingga puskesmas didukung jejaringnya dapat melakukan filtrasi rujukan kasus, dengan klinik puskes sesuai kompetensi dan batasan kewenangan, berfungsi sebagai gate keeper. Pasien yang tidak perlu dirujuk, harus ditangani di puskesmas dan jaringannya, sedangkan pasien yang perlu dirujuk akan dikirim melalui prosedur rujukan dan disertai dengan surat rujukan. Pengendalian rujukan oleh klinik puskes sebagai gate keeper tersebut akan sangat berdampak pada pengendalian biaya karena dana Jamkesmas yang ada di puskesmas termasuk didalamnya adalah dana transportasi rujukan. Pada kondisi gawat darurat proses rujukan dapat langsung dari fasyankes terdepan ke fasyankes rujukan terdekat. Pelayanan rujukan di atas berupa penyediaan biaya transportasi, mulai dari puskesmas pembantu/poskesdes/polindes ke puskesmas, atau dari puskesmas pembantu/ poskesdes/polindes, dan puskesmas, ke fasilitas Kesehatan rujukan dan biaya rujukan pemeriksaan spesimen/penunjang medis. 97

112 LAMPIRAN 2 Formulir 1. Surat Rujukan Pasien Nama Saryankes: FORM RUJUKAN Asli/copy Dirujuk oleh: Nama: Jabatan: Initiating facility: Nama & alamat Tanggal merujuk: EMERGENCY / rawat jalan Komunikasi telepon YA TIDAK No telp: No fax: Fasilitas Kesehatan yang dituju: Nama & alamat Nama pasien No.identitas Usia: Jenis Kelamin: L P Alamat pasien Anamnesis Pemeriksaan fisik Terapi diberikan Alasan merujuk Dokumen yang disertakan Tanda tangan: Catatan untuk receiving facility: setelah member pelayanan kepada pasien mohon mengisi form rujukan balik berikut ini dan kirimkan kembali bersama pasien atau dikirim melalui surat/fax. 98

113 Rujukan balik Nama fasilitas Kesehatan : Dibalas oleh: (orang yang mengisi form ini) Nama: Jabatan: No telp: Tanggal: No fax: Spesialisasi: Initiating facility: Nama & alamat Nama pasien No.identitas Usia: Jenis Kelamin: L P Alamat pasien Pasien ini diterima oleh: (nama dan spesialisasi) Anamnesis Pada tanggal: Hasil penemuan khusus Diagnosis Terapi/operasi Obat yang diresepkan Mohon diteruskan dengan: (obat, resep, tindak lanjut, perawatan) Dirujuk balik kepada: Pada tanggal: Nama: Tanda tangan: 99

114 100

115 LAMPIRAN 3 Formulir 2. Balasan Rujukan 101

116 LAMPIRAN 4 Formulir 3. Surat Rujukan Pemeriksaan Penunjang 102

117 LAMPIRAN 5 103

118 LAMPIRAN 6 Formulir Register Pengiriman rujukan Pasien REGISTER PENGIRIMAN RUJUKAN PASIEN No NAMA KELUARGA PENDAMPING ALAMAT KONDISI PASIEN PENDAMPINGAN (+/-) KETERANGAN TANGGAL LAHIR DIAGNOSIS SAAT RUJUKAN (KODE) INFORMED CONCENT (+/-) EMG NON EMG INFORMASI PRA RUJUKAN (+/-) RESUME KONDISI PASIEN (+/-) TENAGA KOMPETEN ALAT EMERGENSI WAKTU RUJUKAN FASYANKES TUJUAN RUJUKAN

119 LAMPIRAN 7 Formulir Register Penerimaan Pasien Rujukan REGISTER PENERIMAAN PASIEN RUJUKAN KELUARGA No NAMA ALAMAT PENDAMPING PENDAMPINGAN & TINDAKAN (+/-) DITERIMA DI DILAYANI SBG PASIEN KETERANGAN TANGGAL LAHIR FASYANKES PERUJUK INFORMASI PRA RUJUKAN (+/-) WAKTU KEDATANGAN RESUME KONDISI PASIEN (+/-) DIAGNOSIS DI FASYANKES PERUJUK KONDISI PASIEN EMERGENSI (+/-) TENAGA KOMPETEN ALAT EMERGENSI TINDASKAN EMERGENSI KLINIK IGD DILAKUKAN TINDAK-AN LIFE SAVING (+/-) DIAGNOSIS DI FASYANKES RUJUKAN INFORMED CONCENT RAWAT INAP RAWAT JALAN RUJUK BALIK

120 LAMPIRAN 8 Formulir register Pengiriman rujukan Balik Pasien REGISTER PENGIRIMAN RUJUKAN BALIK PASIEN TANGGAL LAHIR FASYANKES PERUJUK INFORMED CONCENT INFORMASI PRA RUJUK BALIK (+/-) DIAGNOSIS AKHIR DI FASYANKES RUJUKAN ADA RESUME PEMERIKSAAN, TINDAKAN/ THERAPI WAKTU PASIEN DIRUJUK BALIK No NAMA ALAMAT PASIEN DIRUJUK BALIK DARI SARAN TINDAK LANJUT KETERANGAN KLINIK KEDATANGAN PASCA YANKES RAWAT JALAN PASCA YANKES RAWAT INAP RAWAT INAP DI FASYANKES PERUJUK RAWAT JALAN DI FASYANKES PERUJUK DIRUJUK ULANG TANGGAL

121 LAMPIRAN 9 Formulir Register Penerimaan Rujukan Balik pasien REGISTER PENERIMAAN RUJUKAN BALIK PASIEN TANGGAL LAHIR FASYANKES PERUJUK BALIK INFORMASI PRA RUJUK BALIK (+/-) DIAGNOSIS RUJUKAN BALIK SURAT RUJUK BALIK DISERTAI RESUME No NAMA ALAMAT PASIEN DIRUJUK BALIK DARI PASIEN DITERIMA TANGGAL/JAM KONDISI PASIEN RUJUKAN BALIK SARAN UNTUK TINDAK LANJUT PASIEN KETERANGAN KLIINIK KEDATANGAN PASCA RAWAT JALAN PASCA RAWAT INAP SEMBUH PERLU TINJUT DI FASYANKES PERUJUK PERLU RUJUK ULANG TGL RAWAT INAP DI FASYANKES PERUJUK RAWAT JALAN DI FASYANKES PERUJUK DIRUJUK ULANG TANGGAL

122 LAMPIRAN 10 RSU Kelas A / Khusus RSU Provinsi/Swasta Di Ibu kotaprovinsi BLKM RSU Kelas C/Swasta Di Kabupaten/Kota RSU Kelas D/Swasta Di Kabupaten/Kota RS Jiwa RS Khusus BKMM KKP Puskesmas, Puskesmas Perawatan,Puskesmas PONED Dokter praktek umum & Spesialis Polindesa/Poskesdes/ Pustu Klinik RB / Bidan MASYARAKAT UMUM / Posyandu / KADER Ketrangan: Alur pengiriman rujukan Alur rujukan balik Ketentuan Khusus: * Untuk pasien gawat darurat, kasus Kejadian Luar Biasa (KLB), dan keadaan geografis sesuai pemetaan wilayah rujukan, disesuaikan dengan sarana pelayanan Kesehatan yang lebih mampu dan terdekat. Gambar 1 - Bagan Alur Rujukan 108

123 LAMPIRAN 11 GAMBAR 2. Alur rujukan spesimen/ pemeriksaan penunjang diagnosis Pasien membutuhkan pemeriksaan penunjang Dokter membuat surat rujukan untuk pemeriksaan penunjang Hasil pemeriksaan dikirimkan kembali kepada dokter yang merujuk Pasien pergi ke fasilitas pemeriksaan penunjang Apakah Pemeriksaan dapat dilakukan? Ya Pemeriksaan penunjang dilaksanakan ditempat tidak Apakah Fasilitas tersebut mampu mengambil spesimen atau bahan pemeriksaan? tidak Pasien dan dokumen terkait dipersiapkan untuk dirujuk ke fasilitas pemeriksaan penunjang yang lebih mampu Ya Bahan pemeriksaan diambil dan disiapkan untuk dikirim/dirujuk ke fasilitas pemeriksaan penunjang yang lebih mampu Hasil pemeriksaan dikirimkan kembali kepada dokter yang merujuk Bagan 2. Alur Rujukan Pemeriksaan Penunjang 109

124 LAMPIRAN 12 Alur rujukan pengetahuan atau tenaga ahli Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FASYANKES) tingkat pertama atau dua Mengajukan surat permintaan rujukan pengetahuan atau tenaga ahli kepada dinas Kesehatan setempat Mempersiapkan: Penerimaan Tim dokter spesialis/tim Ahli Agenda kegiatan pelayanan dan pelaksanaan rujukan ahli, Akomodasi, konsumsi dan honor atau insentif lainnya sesuai peraturan serta model pembiayaan yang berlaku. Target sasaran (petugas Kesehatan dan masyarakat) penerima manfaat rujukan pengetahuan dan pelayanan dengan memberikan informasi tentang pelaksanaan kegiatan. Menerima tenaga ahli dan melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota/ Kabupaten/Provinsi Melakukan koordinasi dengan FASYANKES tingkat dua atau ketiga untuk menilai ketersediaan sumber daya Membuat surat resmi permintaan tenaga ahli kepada FASYANKES yang memiliki sumber daya Membuat surat tugas untuk tenaga ahli yang dikirim FASYANKES tingkat dua atau ketiga Melakukan koordinasi internal untuk mengakomodasi kebutuhan sesuai dengan permintaan dari Dinkes Memberi jawaban tertulis kepada Dinkes mengenai ketersediaan dan kesediaan sumber daya yang diminta Mengirimkan tenaga ahli /stafnya untuk pergi ke FASYANKES tingkat pertama/dua yang membutuhkan bantuan Bagan 4. Alur Rujukan Pengetahuan atau Tenaga Ahli 110

125 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI Kesehatan REPUBLIK INDONESIA NOMOR 001 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM RUJUKAN PELAYANAN Kesehatan PERORANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI Kesehatan REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3237); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran 111

126 Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3609); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8737); 11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 657/Menkes/Per/ VIII/2009 tentang Pengiriman dan Penggunaan Spesimen Klinik, Materi Biologik dan Muatan Informasinya; 112

127 12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 658/Menkes/Per/ VIII/2009 tentang Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-Emerging; 13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411/Menkes/ Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik; 14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 028/Menkes/ Per/I/2011 tentang Klinik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 16); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI Kesehatan TENTANG SISTEM RUJUKAN PELAYANAN Kesehatan PERORANGAN. 113

128 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: Fasilitas pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan Kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah Kesehatannya untuk memperoleh pelayanan Kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di sarana pelayanan Kesehatan. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi. BAB II PELAYANAN Kesehatan PERORANGAN Pasal 2 (1) Pelayanan Kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu: a. Pelayanan Kesehatan tingkat pertama; b. Pelayanan Kesehatan tingkat kedua; dan c. Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga. 114

129 (2) (3) (4) Pelayanan Kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pelayanan Kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/ lembaga pelayanan Kesehatan, dan rumah sakit pratama. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan Kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan Kesehatan tingkat kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pelayanan Kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi Kesehatan spesialistik. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA (5) Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pelayanan Kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi Kesehatan sub spesialistik. BAB III SISTEM RUJUKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 3 Sistem Rujukan pelayanan Kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayan an Kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan Kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horisontal. 115

130 Pasal 4 (1) (2) (3) (4) (5) Pelayanan Kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan Kesehatan tingkat pertama. Pelayanan Kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan Kesehatan tingkat pertama. Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan Kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/ atau dokter gigi pemberi pelayanan Kesehatan tingkat pertama. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan Kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 5 (1) (2) (3) Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan Kesehatan atau asuransi Kesehatan sosial dan pemberi pelayanan Kesehatan. Peserta asuransi Kesehatan komersial mengikuti aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti pelayanan Kesehatan yang berjenjang. Setiap orang yang bukan peserta jaminan Kesehatan atau asuransi Kesehatan sosial, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti sistem rujukan. 116

131 Pasal 6 Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, pemerataan dan peningkatan efektifitas pelayanan Kesehatan, rujukan dilakukan ke fasilitas pelayanan Kesehatan terdekat yang memiliki kemampuan pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Bagian Kedua Tata Cara Rujukan Paragraf Kesatu Umum Pasal 7 (1) (2) (3) (4) Rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horisontal. Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rujukan antar pelayanan Kesehatan yang berbeda tingkatan. Rujukan horisontal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rujukan antar pelayanan Kesehatan dalam satu tingkatan. Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 8 Rujukan horisontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan Kesehatan sesuai 117

132 dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. Pasal 9 Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila: a pasien membutuhkan pelayanan Kesehatan spesialistik atau sub spesialistik; b perujuk tidak dapat memberikan pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan. Pasal 10 Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila: a. b. c. d. permasalahan Kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan Kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya; kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut; pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan Kesehatan yang lebih rendah dan untuk alas an kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan/atau perujuk tidak dapat memberikan pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan. 118

133 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 11 (1) (2) Setiap pemberi pelayanan Kesehatan berkewajiban merujuk pasien bila keadaan penyakit atau permasalahan Kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis. Pasal 12 (1) (2) (3) Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga Kesehatan yang berwenang. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi: a. b. c. d. e. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan; alasan dan tujuan dilakukan rujukan; risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan; transportasi rujukan; dan risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan. Pasal 13 Perujuk sebelum melakukan rujukan harus: 119

134 a. b. c. melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan; melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 14 Dalam komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, penerima rujukan berkewajiban: a. menginformasikan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga Kesehatan ; dan b. memberikan pertimbangan medis atas kondisi pasien. Pasal 15 Surat pengantar rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c sekurang-kurangnya memuat: a. identitas pasien; b. hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan; c. diagnosis kerja; d. terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan; e. tujuan rujukan; dan f. nama dan tanda tangan tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan. 120

135 Pasal 16 (1) (2) (3) Transportasi untuk rujukan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan ketersediaan sarana transportasi. Pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi oleh tenaga Kesehatan yang kompeten. Dalam hal tidak tersedia ambulans pada fasilitas pelayanan Kesehatan perujuk, rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan dengan menggunakan alat transportasi lain yang layak. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 17 (1) (2) (3) Rujukan dianggap telah terjadi apabila pasien telah diterima oleh penerima rujukan. Penerima rujukan bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan Kesehatan lanjutan sejak menerima rujukan Penerima rujukan wajib memberikan informasi kepada perujuk mengenai perkembangan keadaan pasien setelah selesai memberikan pelayanan Bagian Ketiga Pembiayaan Pasal 18 (1) (2) Pembiayaan rujukan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku pada asuransi Kesehatan atau jaminan Kesehatan. Pembiayaan rujukan bagi pasien yang bukan peserta asuransi Kesehatan atau jaminan Kesehatan menjadi tanggung jawab pasien dan/atau keluarganya. 121

136 BAB IV MONITORING, EVALUASI, PENCATATAN DAN PELAPORAN Pasal 19 (1) (2) Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dinas Kesehatan provinsi, dinas Kesehatan kabupaten/kota dan organisasi profesi. Pencatatan dan Pelaporan dilakukan oleh perujuk maupun penerima rujukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 20 (1) (2) (3) (4) Kepala dinas Kesehatan kabupaten/kota dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan Kesehatan tingkat pertama. Kepala dinas Kesehatan provinsi dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan Kesehatan tingkat kedua. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan Kesehatan tingkat ketiga. Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan Menteri, kepala dinas Kesehatan provinsi dan kepala dinas Kesehatan kabupaten/ 122

137 kota mengikutsertakan asosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi Kesehatan. (5) (6) Dalam rangka melakukan pengawasan, Menteri, kepala dinas Kesehatan provinsi dan kepala dinas kabupaten/kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangan masing-masing. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan izin praktik tenaga Kesehatan dan/atau izin fasilitas pelayanan Kesehatan. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 Seluruh pemberi pelayanan Kesehatan pada semua tingkat harus menyesuaikan dengan peraturan ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 032/Birhup/1972 tentang Referal Sistem dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 123

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.122, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Sistem Rujukan. Pelayanan Kesehatan. Perorangan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 001 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 PEDOMAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN

Lebih terperinci

UU BPJS No.24 Tahun 2011

UU BPJS No.24 Tahun 2011 UU SJSN No.40 Tahun 2004 UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 UU RS No. 44 Tahun 2009 UU BPJS No.24 Tahun 2011 PMK 001 Tahun 2012 ttg Sistem Rujukan Perorangan Meningkatnya kemampuan fasilitas pelayanan Kesehatanperseorangan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA BENGKULU TENTANG SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN.

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA BENGKULU TENTANG SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN. WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 50 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN DI PROVINSI BANTEN

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 50 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN DI PROVINSI BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 50 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN DI PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang :

Lebih terperinci

panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang

panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang 04 02 panduan praktis Sistem Rujukan Berjenjang Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, No.16, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Pelayanan Kesehatan. Di Fasilitas Kawasan Terpencil. Sangat Terpencil. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci

Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Disampaikan pada. Kebumen, 19 September 2013

Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Disampaikan pada. Kebumen, 19 September 2013 Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen Disampaikan pada DIALOG WARGA TENTANG PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Kebumen, 19 September 2013 SISTEM KESEHATAN NASIONAL

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang: a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

- 1 - GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG - 1 - GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero)

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero) DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero) AGENDA KESIAPAN SEBAGAI BPJS TANTANGAN 2 2 PERJALANAN PANJANG ASKES Menkes 1966-1978 Prof Dr GA Siwabessy Cita-cita: Asuransi kesehatan bagi rakyat semesta BPDPK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan merupakan hak bagi setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K) Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan

Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K) Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K) Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan 1. Latar Belakang 2. Sistem Pembiayaan dalam SJSN 3. Contoh dari negara lain (US) 4. Kondisi Yang Diharapkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PUSKESMAS DAN KLINIK

KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PUSKESMAS DAN KLINIK KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PUSKESMAS DAN KLINIK KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Dr. dr. H. Rachmat Latief, Sp.PD. KPTI, M.Kes., FINASIM Disampaikan pada PENINGKATAN KEMAMPUAN TEKNIS PENDAMPING

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI RIAU

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 7 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan. Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes Sekretaris Ditjen Bina Upaya Kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN KLAIM JAMINAN KESEHATAN DAERAH DI KABUPATEN TANAH BUMBU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah berkewajiban melindungi seluruh masyarakat Indonesia dengan segenap kemampuannya, terutama melindungi hak hidup masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa didunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia,

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT SAL GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ketika berobat ke rumah sakit. Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. ketika berobat ke rumah sakit. Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang memiliki risiko jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke rumah sakit. Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Jaminan Kesehatan Nasional a. Definisi dan Dasar Hukum Jaminan Kesehatan Nasional menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2013

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS ADMINISTRASI KLAIM DAN VERIFIKASI PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT 2008 PADA PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN

PETUNJUK TEKNIS ADMINISTRASI KLAIM DAN VERIFIKASI PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT 2008 PADA PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN PETUNJUK TEKNIS ADMINISTRASI KLAIM DAN VERIFIKASI PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT 2008 PADA PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Jaminan Pelayanan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia untuk sepakat mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada

BAB I PENDAHULUAN. di dunia untuk sepakat mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menghimpun beberapa negara di dunia untuk sepakat mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2014. Masyarakat mulai menyadari

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH I. UMUM Memasuki milenium ketiga, Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO, 06 JANUARI 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR 11 S A L I N A N PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 11 TAHUN 2015 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WALUYO JATI KRAKSAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Kepmenkes RI Nomor 128 Tahun 2004 dijelaskan bahwa fungsi puskesmas terbagi menjadi tiga yaitu pertama sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) primer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 2004, Indonesia telah mempunyai Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 (UU SJSN). Jaminan Kesehatan Nasional

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1400, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Jaminan Kesehatan Nasional. Pelayanan. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prinsip dasar pembangunan kesehatan di Indonesia dirumuskan berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG WALIKOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1 menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hak azazi setiap warga negara sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

Lebih terperinci

panduan praktis Pelayanan Ambulan

panduan praktis Pelayanan Ambulan panduan praktis Pelayanan 11 02 panduan praktis Pelayanan Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

RUJUKAN. Ditetapkan Oleh Ka.Puskesmas SOP. Sambungmacan II. Kab. Sragen. Puskesmas. dr.udayanti Proborini,M.Kes NIP

RUJUKAN. Ditetapkan Oleh Ka.Puskesmas SOP. Sambungmacan II. Kab. Sragen. Puskesmas. dr.udayanti Proborini,M.Kes NIP SOP No. Kode Terbitan No. Revisi : : 01 : 00 Ditetapkan Oleh Ka. Halaman : 1-1. dr.udayanti Proborini,M.Kes NIP. 19740409 200312 2 002 1. Pengertian 2. Tujuan 3. Kebijakan 4. Referensi 5. Prosedur Sistem

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi jaminan kesehatan nasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi jaminan kesehatan nasional BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional a. Definisi jaminan kesehatan nasional Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 71 Tahun 2013 jaminan kesehatan

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

PELAKSANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

PELAKSANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PELAKSANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DIAN HASTUTY, APT BPJS Kesehatan Cabang Utama Surabaya 1 Per.Pres. RI Nomor : 111 Tahun 2013 pasal 6 : (1) Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat WAJIB dan mencakup

Lebih terperinci

PRAKTEK SPESIALIS DI ERA SJSN. Aru W. Sudoyo Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia PAPDI

PRAKTEK SPESIALIS DI ERA SJSN. Aru W. Sudoyo Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia PAPDI PRAKTEK SPESIALIS DI ERA SJSN Aru W. Sudoyo Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia PAPDI Jumlah Dokter Spesialis/100.000 penduduk menurut Provinsi 26/10/09 Pendidikan KKI 4 NUMBER OF SPECIALISTS

Lebih terperinci

PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT

PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT Senin, 2 Januari 2014. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI LAY OUT LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 1B TAHUN 2015 TENTANG JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT DAERAH KABUPATEN MADIUN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 3 TAHUN 2009 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin. Untuk itu Negara bertanggung jawab mengatur agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program pemerintah Indonesia yang diluncurkan dalam rangka pencapaian derajat kesehatan yang merata antar penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan sistem kesehatan nasional (SKN), bahwa pembangunan kesehatan harus merata di seluruh wilayah di Indonesia, namun kenyataannya pembangunan pada aspek kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional.

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan haruslah memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BUPATI KEPULAUAN MERANTI BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SUMATERA SELATAN SEMESTA DI RUMAH SAKIT Dr. SOBIRIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pelayanan Medik. dr. Supriyantoro,Sp.P, MARS

Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pelayanan Medik. dr. Supriyantoro,Sp.P, MARS Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pelayanan Medik dr. Supriyantoro,Sp.P, MARS 1 UPAYA DITJEN BINA UPAYA KESEHATAN DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN I. PENGEMBANGAN INSTITUSI 1. Klasifikasi dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SUMATERA SELATAN SEMESTA (JAMSOSKES SUMSEL SEMESTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt.

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. RUMAH SAKIT Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. DASAR HUKUM RUMAH SAKIT UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. PerMenKes RI Nomor 1045/menkes/per/XI/2006 Tentang Pedoman organisasi rumah sakit di lingkungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero)

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero) BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero) DASAR HUKUM 1 JANUARI 2014, PT ASKES (PERSERO) MENJADI BPJS KESEHATAN 1 DASAR HUKUM Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1392, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Penyelenggaraan. Kesehatan. Tarif. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia, pada pasal 25 Ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang diperlukan langkah-langkah peningkatan upaya kesehatan, diantaranya kesehatan ibu dan anak. Angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin (pasal 28H UUD 1945). Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universal Health Coverage merupakan sistem penjaminan kesehatan yang memastikan semua orang dapat menerima pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa harus mengalami

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 18/2014 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG NORMA PENETAPAN BESARAN KAPITASI DAN PEMBAYARAN KAPITASI BERBASIS PEMENUHAN KOMITMEN PELAYANAN PADA FASILITAS KESEHATAN

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN KELAS III PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DAN PEMANFAATAN DANA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS) DAN JAMINAN PERSALINAN (JAMPERSAL) DI PUSKESMAS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Upaya untuk meningkatkan derajat

BAB I PENDAHULUAN. individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Upaya untuk meningkatkan derajat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan suatu komponen vital bagi setiap individu karena kesehatan mempengaruhi berbagai sektor kehidupan. Kesehatan adalah tanggung jawab bersama setiap

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT 1 2 Penanggung Jawab : Sekjen Kemenkes Pimpinan Sidang : Kadinkes Sumatera

Lebih terperinci

panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal

panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal 05 02 panduan praktis Kebidanan & Neonatal Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universal Health Coverage (UHC) yang telah disepakati oleh World

BAB I PENDAHULUAN. Universal Health Coverage (UHC) yang telah disepakati oleh World BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universal Health Coverage (UHC) yang telah disepakati oleh World Health Organizatiaon (WHO) pada tahun 2014 merupakan sistem kesehatan yang memastikan setiap warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia, pada pasal 25 Ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai

Lebih terperinci

PANDUAN PELAYANAN DOTS TB RSU DADI KELUARGA TAHUN 2016

PANDUAN PELAYANAN DOTS TB RSU DADI KELUARGA TAHUN 2016 PANDUAN PELAYANAN DOTS TB RSU DADI KELUARGA TAHUN 2016 RUMAH SAKIT UMUM DADI KELUARGA Jl. Sultan Agung No.8A Purwokerto Tahun 2016 BAB I DEFINISI Sampai saat ini, Rumah Sakit di luar negeri termasuk di

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 54 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN KESEHATAN BAGI MASYARAKAT MISKIN YANG DIBIAYAI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat baik masyarakat umum maupun peserta asuransi kesehatan misalnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan fisik maupun mental. Keadaan kesehatan seseorang akan dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan fisik maupun mental. Keadaan kesehatan seseorang akan dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan yang utama bagi setiap penduduk yang hidup di dunia ini, dan pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut baik kesehatan fisik maupun

Lebih terperinci

Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 59 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan

Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 59 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 59 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan DIY tgl 19 29 November 2012 Latar Belakang Masyarakat Provider/fasyankes

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

Lebih terperinci

Inovasi PERSI dalam Mutu Pelayanan Kesehatan di RS dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional

Inovasi PERSI dalam Mutu Pelayanan Kesehatan di RS dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional Inovasi PERSI dalam Mutu Pelayanan Kesehatan di RS dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional DR Dr.Sutoto M.Kes Dr. Daniel Budi Wibowo M.Kes Forum Mutu IHQN - 2013 Jakarta, 20 November 2013 Visi Persi Persi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Deklarasi pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan hasil kesepakatan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2000

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 22

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 22 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 22 PERATURAN DAERAH BANJARNEGARA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG JAMINAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan Jaminan Sosial dalam mengembangkan Universal Health

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan Jaminan Sosial dalam mengembangkan Universal Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam hal mewujudkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia 4 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

Lebih terperinci