BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN"

Transkripsi

1 BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN A. Perkembangan Peraturan-Peraturan yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Penerbangan sebelum Lahirnya UU No.1 Tahun 2009 Pengaturan tindak pidana penerbangan terdapat dalam beberapa Konvensi Internasional seperti Konvensi Tokyo tahun , Konvensi The Hague , Konvensi Montreal , dan terakhir Konvensi Montreal Konvensi Tokyo 1963 yang sering disebut dengan konvensi tentang pemabajakan udara tersebut pada pokoknya mengatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang terjadi di dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang terhadap tindakantindakan untuk mencegah penguasaan pesawat udara secara melawan hukum. Menurut Bab II konvensi Tokyo 1963, Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara adalah Negara pendaftar pesawat udara. Di samping itu dalam konvensi tersebut juga diatur kewajiban Negara untuk mengekstradisikan pembajak kepada Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana tanpa memperhatikan apapun motif 23 Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September Konvensi The Hague 1970 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft,Signed at the Hague on December Konvensi Montreal 1971 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation ditandatangani di Montreal tanggal 23 September Konvensi Montreal 1991 tentang Convention on the Marking of Plastic Eksplosive for the Purpose of Detection yang ditandatangani di Montreal 1 Maret 1991

2 pembajakan udara. Dalam perkembangannya konvensi Tokyo 1963 masih belum mampu menanggulangi tindakan pidana di dalam pesawat udara, khususnya yang menyangkut pembajakan udara, karena sejak 1969 tingkat pembajakan secara kuantitatif ataupun kualitatif semakin meningkat. Di berbagai kawasan dunia pembajakan udara meningkat dengan tajam, sehingga pada tahun 1970 dikeluarkan konvensi The Hague Konvensi The Hague 1970 yang dapat disebut sebagai penyempurna Kovensi Tokyo 1963 tersebut pada prinsipnya mengatur agar setiap Negara tempat pembajak ditemukan wajib mengadili dan memberi hukuman yang berat kepada pelaku pembajakan. Dalam hal Negara tersebut tidak mau mengadili pembajak, Negara tersebut wajib mengekstradisi pembajak kepada Negara yang mempunyai yurisdiksi tindak pidana. Apabila Negara yang bersangkutan tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi The Hague 1970 dapat dipakai sebagai dasar hukum ekstradisi pembajak. Dalam konvensi The Hague diatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan secara internasional bersamasama (International Join Operation) dengan semikian Negara tersebut wajib menunjuk salah satu Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara. Keberhasilan Kovensi Tokyo 1963 yang disempurnakan dengan Konvensi The Hague 1970 mengakibatkan tidak ada tempat bagi pembajakan udara, sehingga sasaran tindak pidana dialihkan pada objek-objek fasilitas pendukung keselamatan penerbangan, seperti peralatan telekomunikasi penerbangan, navigasi penerbangan, kabel listrik serta bangunan-

3 bangunan lain yang merupakan fasilitas pendukung. Dengan demikian dikeluarkan Konvesi Montreal 1971, yang mengatur tindak pidana atau perbuatanperbuatan melanggar hukum yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil. Indonesia juga menyadari betapa pentingnya mencegah dan menanggulangi ancaman pemabajakan udara yang merupakan salah satu tindak pidana penerbangan sipil. Indonesia secara aktif ikut serta menegakkan dan mematuhi konvensi internasional dengan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal Selain meratifikasi konvensi tersebut diatas untuk mencegah tindak pidana penerbangan, Indonesia juga mengeluarkan UU No.4 Tahun 1976 yang memperluas berlakunya KUHP terhadap tindak pidana penerbangan dan terakhir UU No.15 Tahun 1992 memberi wewenang kepda kapten penerbang untuk mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan peberantasan tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara. A.1. Undang-Undang No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan Undang-Undang ini terdiri dari 8 (delapan) BAB dan 28 (dua puluh delapan) pasal yang mengatur mengenai penerbangan dan segala tindakan yang diancamkan hukuman pidana dalam penerbangan. 1. Pasal 13 ayat 1 Pesawat udara yang tidak mempunyai surat tanda kelaikan yang syah, dan awak pesawat udara atau siapapun yang tidak mempunyai surat tanda kecakapan yang sah tidak boleh melakukan penerbangan

4 Pasal in menyatakan bahwa seseorang yang tidak memiliki surat tanda kelaikan yang sah tidak dapat melakukan penerbangan, surat tanda kelaikan yang sah adalah surat atau tanda sertifikasi yang menyatakan seseorang telah pantas dan layak melakukan penerbangan udara sipil, apabila hal tersebut dilakukan maka akan dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda sebanyak-banyak nya sepuluh ribu rupiah. Undang-Undang penerbangan pertama yang berlaku Indonesia ini tidak menguraikan dan mengatur secara jelas mengenai tindak pidana yang memungkinkan terjadi dalam suatu penerbangan. Undang-Undang kebanyakan mengatur hal-hal yang membahayakan dalam penerbangan dan hal-hal yang dilarang dalam dunia penerbangan, yang dimana apabila melanggar ketentuanketentuan atau pasal-pasal yang mengatur hal tersebut dalam undang-undang No.83 Tahun 1958 akan dikenakan sanksi pidana berupa hukuman kurungan dibawah satu tahun ataupun dikenakan denda. Dengan ancaman hukuman seperti tersebut dalam ketentuan pidana undang-undang No.83 Tahun 1958, ancaman hukuman tersebut termasuk ancaman hukuman dalam tindak pidana ringan. A.2. UU No.4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

5 Selain undang-undang penerbangan No.83 Tahun 1958 dengan perubahan menjadi undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang penerbangan yang mengatur mengenai tindak pidana dalam penerbangan, ada juga undang-undang yang lain yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu undang-undang No.4 Tahun 1976 sebagai perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana bertalian dengan dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Dalam KUHP melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 diatur suatu tindakan karena kealpaan yang menyebabkan tanda atau alat untuk pengaman penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau tidak dapat bekerja atau menyebabkan kekeliruan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan sehingga mengakibatkan celakanya pesawat udara, yang diatur dalam Pasal 479 a sampai dengan d KUHP. Pasal 479 a dan b KUHP mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan pengrusakan bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara. Perbedaan dari kedua pasal tersebut adalah kalau Pasal 479a KUHP dilakukan dengan sengaja, maka dalam Pasal 479 b KUHP terjadi karene alpanya seseorang. Yang dimaksud bangunan adalah fasilitas penerbangan yang digunakan untuk pengamanan dan pengaturan lalu-lintas udara seperti : terminal, menara,dll. Dalam Pasal 479 c dan d KUHP diatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penghancuran alat atau alat untuk pengamanan penerbangan. Beda dari kedua pasal tersebut adalah Pasal 479 c dilakukan secara sengaja dam melawan hukum sedangkan Pasal 479 d karena kealpaan seseorang. Yang dimaksud dengan

6 tanda atau alat dalam ayat tersebut adalah fasilitas penerbangan yang digunakan oleh atau bagi pesawat udara untuk lepas landas (take off) dan mendarat (landing) dengan aman seperti: tanda atau alat landasan (runway-marking) termasuk garis di tengah landasan (runway-counterline-marking). 2. tanda penunjuk/koordinat landasan (runway-designation-marking). 3. tanda ujung landasan (runway-thereshold-marking). 4. tanda adanya rintangan landasan (obstacle-marking), termasuk lampu tanda gedung stasiun udara dan lain sebagainya. Dalam Pasal 479 e sampai dengan g diatur mengenai kejahatan yang mengakibatkan hancurnya pesawat udara dan apabila Kecelakaan dalam arti luas dapat pula disebabkan adanya faktor kesengajaan. Dalam kecelakaan pesawat udara yang terjadi karena faktor kesengajaan, sehingga mengakibatkan luka berat atau matinya orang lain atau membahayakan nyawa orang lain diatur dalam Pasal 479 f KUHP, yang berbunyi sebagai berikut : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara, dipidana : a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain. 27 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya (Surabaya: Usaha Nasional,1981),h.482

7 b. dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk selama-lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. Adapun unsur kesengajaan adalah dengan sengaja. Dengan demikian, tindakan sabotase adalah suatu tindakan yang dapat dijangkau dengan menggunakan Pasal 479 f KUHP. Kemungkinan-kemungkinan bahwa sabotase merupakan sebab kecelakaan pesawat udara merupakan sebab suatu kecelakaan yang sekali-kali tidak boleh diabaikan. Sabotase dapat berbentuk macam-macam kemungkinan, antara lain : 1. adanya bahan peledak 2. pengotoran terhadap sistim bahan bakar 3. pengotoran terhadap sistim pelumas 4. pengubahan terhadap salah satu komponen vital dari pesawat 5. keadaan baut yang tidak dikencangkan sebagaimana mestinya 6. pengikat-pengikat pipa yang sengaja dilonggarkan 7. dan hal-hal lainnya yang dengan sengaja dilanggar Selanjutnya, juga diatur tindak pidana dalam kecelakaan pesawat udara yang bermotifkan tanggungan asuransi, hal tersebut diatur dalam Pasal 479 h KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penganggung asuransi menimbulkan kebekaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan

8 atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan terhadap bahaya tersebut diatas atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya sembilan tahun. 2. Apabila yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. 3. Barang siapa dengan maksud untik menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi, menyebabkan penumpang pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya, mendapat kecelakaan, dipidana : a. dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu menyebabkan luka-luka. b. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang. Selain pasal-pasal di atas diatur pula Pasal 479 k ayat (1) huruf d suatu ketentuan pemberatan pidana terhadap perbuatan perampasan atau penguasaan pesawat udara dalam penerbangan secara melawan hukum (Pasal 479 i KUHP) dan perampasan atau penguasaan pengendalian pesawat udara dalam penerbangan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 479 j KUHP) yang mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga membahayakan

9 keamanan penerbangan, yaitu dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Kemudian dalam Pasal 479 k ayat (2) dikatakan bahwa jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Dengan demikian, Pasal 479 k KUHP merupakan ketentuan pemberatan pidana dari Pasal 479 i dan Pasal 479 j KUHP. Pasal 479 i dan Pasal 479 j KUHP selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 479 i KUHP Barang siapa di dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 479 j KUHP Barang siapa di dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima belas tahun. Dalam penjelasan Pasal 479 j KUHP dikatakan bahwa : ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana kejahatan penerbangan yang lazim dikenal dengan nama pembajakan pesawat udara. Rumusan Pasal 479 j KUHP tersebut mengacu kepada pasal 1 Konvensi The Hague 1970 yang memberikan batasan tindak

10 pidana penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, apabila seseorang di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan melakukan perbuatan secara melawan hukum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan beberapa bentuk ancaman, merampas atau menguasai pengendalian pesawat udara atau mencoba melakukan tindakan demikian tersebut. Unsur kesalahan dalam pasal ini adalah dolus, hal ini dapat disimpulkan dari kalimat dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman bentuk lainnya, merampas, mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara. Hal ini merupakan indikasi adanya kehendak yang kuat dari pelaku pembajakan pesawat udara. Insiden yang paling mencekam adalah drama pembajakan DC-9 Woyla Garuda Indonesian Airways jurusan Jakarta-Palembang- Medan dibajak 25 mil sebelum Pekanbaru dan dialihkan ke Penang, Malaysia 29 Maret Setelah isi bahan bakar dan lepas landas dari Penang, dibawah ancaman akan diledakkan pesawat dipaksa menuju bandara Don Muang, Bangkok, Thailand. Pasukan Komando yang didatangkan dari Jakarta, Selasa dinihari 31 Maret berhasil membebaskan para sandera, menewaskan dan menawan para pembajaknya. 28 Tindakan atau perbuatan pembajakan pesawat udara tersebut harus terjadi pada suatu tempat, waktu, dan keadaan sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 143 ayat (2) hutuf b KUHP. Dalam ketentuan Pasal 479 j KUHP sebagai tindak pidana pembajakan pesawat udara mempersyaratkan adanya unsur tempat, yaitu dalam pesawat udara (on board), unsur keadaan yaitu 28 Majalah Angkasa No.4 Januari 2000 Tahun X

11 dalam penerbangan (in flight). Adapun yang dimaksud dengan dalam penerbangan adalah seperti apa yang terdapat dalam Pasal 95 b KUHP, yaitu Sejak saat pintu luar pesawat ditutup, setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka (disembarkasi). Dalam hal pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tenggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya. Kecelakaan pesawat udara dapat pula disebabkan oleh tindakan-tindakan lain secara melawan hukum yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, seperti : melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, tindakan merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan ataupun menempatkan bahan atau alat yang dapat menghancurkan atau merusak pesawat udara dalam dinas. Dalam perluasan Pasal 4 angka 4 KUHP berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, antara lain tersebut beberapa kejahatan yang dapat dikualifikasi sebagai kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, yaitu Pasal 479 huruf l, m, n dan o KUHP. Berikut penjelasan mengenai pasal-pasal tersebut. Pasal 479 l KUHP Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun

12 Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 l KUHP ini adalah sebagai berikut : a. Subjek adalah barang siapa. b. Bentuk kesalahan adalah dolus, yang dirumuskan dengan kata dengan sengaja. c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara. d. Keadaan pesawat udara harus dalam penerbangan, yang pengertiannya sesuai dengan Pasal 95 b KUHP Pasal 479 m KUHP Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 479 m KUHP adalah sebagai berikut : a. Unsur subjek adalah barang siapa b. Bentuk kesalahan adalah dolus yang dapat diketahui dari perumusan kata dengan sengaja c. Unsur bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas d. Tindakan yang dilarang adalah : (1) merusak pesawat udara atau (2) menyebabkan kerusakan atas pesawat udara yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan. Maka

13 dengan demikian sasaran tindak pidana (objek) adalah pesawat udara dalam dinas. e. Keadaan pesawat tersebut adalah dalam dinas Pasal 479 n KUHP Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 n KUHP adalah sebagai berikut : a. Subjek barang siapa b. Bentuk kesalahan dolus c. Unsur bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas d. Tindakan yang dilarang adalah menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan kejahatan dengan cara menempatkan bahan peledak dalam pesawat udara atau meledakkan pesawat udara dalam penerbangan adalah salah satu jenis kejahatan

14 penerbangan yang sering terjadi. Kejahatan terorisme dengan cara meledakkan pesawat udara atau membuat celaka pesawat udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang sangat tidak berprikemanusiaan. Beratus-ratus jiwa manusia yang tidak berdosa menjadi korban kejahatan tersebut. Sebagai upaya mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara, dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 telah diatur tindak pidana yang bersifat preventif. Dalam Bab XXIX A KUHP, khususnya Pasal 479 p sampai dengan r KUHP telah diatur tindak pidana yang bila dicermati rumusan perbuatan yang dilarang lebih mengarah untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara atau meniadakan atau mencegah adanya tindakan tertentu yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 479 p KUHP Barang siapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Dalam penjelasan pasal 479 p KUHP dijelaskan bahwa yang diatur oleh pasal ini adalah tindakan yang sering terjadi seperti pemberitahuan adanya ancaman bom lewat telepon atau alat komunikasi lainnya. Ancaman bom lewat telepon atau alat komunikasi lainnya dapat mengganggu konsentrasi dan ketenangan jiwa dari pilot dan para awak lainnya. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 479 p KUHP adalah sebagai berikut :

15 a. Subjek dirumuskan denagan barang siapa b. Bentuk kesalahan adalah dengan sengaja yang dapat diketahui dari perumusan yang diketahuinya c. Tindakan yang dilarang adalah memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang nyata-nyata membahayakan keamanan penerbangan seperti membuka pintu darurat atau pintu yang utama, merusak alatalat keselamatan. Pasal 479 q KUHP Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Unsur-unsur tindak pidana dalam pesawat udara tersebut adalah sebagai berikut : a. Subjek dirumuskan dengan barang siapa b. Bentuk kesalahan adalah dolus yang dapat diketahui dari perumusan melakukan perbuatan c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan, seperti membuka pintu darurat pada saat pesawat sedang terbang. d. Keadaan pesawat udara dipersyaratkan dalam penerbangan dan pelaku berada di dalam pesawat udara tersebut.

16 Yang dimaksud dengan perbuatan yang nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban dan tata tertib dalam pesawat udara, antara lain mabuk-mabukan, membuat onar, kegaduhan, merokok,dan lain sebagainya. Pasal 479 r KUHP Barang siapa dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya satu tahun. Unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 479 r KUHP tersebut adalah sebagai berikut : a. Subjek dirumuskan dengan barang siapa. b. Bentuk kesalahan adalah dolus yang dapat diketahui dari rumusan melakukan. c. Tindakan yang dilarang adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan, seperti membuat onar, gaduh dan mabuk-mabukan. d. Perbuatan tersebut dilakukan di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan. Undang-undang No.4 Tahun 1976 dibuat karena sebelum tahun 1976 Hukum Pidana Indonesia tidak berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Indonesia memperluasnya sehingga berlaku Hukum Pidana Indonesia terhadap pesawat

17 udara yang berada diluar wilayah Indonesia 29. Hal ini termasuk pula terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun di dalam pesawat udara Indonesia, walaupun pesawat udara tersebut berada diluar wilayah Indonesia. Dan sampai sekarang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai perluasan Hukum Pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap pesawat udara Indonesia baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. A.3. Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Undang-undang No.15 Tahun1992 merupakan perubahan undangundang penerbangan yang lama yaitu undang-undang No.83 Tahun Terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap kedua undang-undang ini. Undang- undang No.83 Tahun 1958 yang hanya terdiri dari 8 bab dan 28 pasal menjadi 15 bab dan 75 pasal. Dalam undang-undang No.15 Tahun 1992 semakin banyak hal-hal dalam dunia penerbangan yang diatur dengan lebih detail dan dengan cakupan yang lebih luas. Perubahan ini dilakukan karena undang-undang No.83 Tahun 1958 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Perkembangan yang jelas terlihat dalam UU ini adalah di dalam Pasal 23 diatur mengenai tindak pidana penerbangan. Dikatakan bahwa kapten penerbang 30 yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan. Tindakan keamanan yang boleh 29 Tien saefullah, Peledakan Pesawat KAL 858 dan Pelaksanaan Konvensi Montreal, 1971 (Hukum Angkasa dan Perkembangannya), (Bandung: Remaja Karya, 1988). 30 Istilah yang terdapat dalam Annex 9 konvensi Chicago 1944 tentang Facilitation adalah Pilot in Command, sedangkan dalam konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft istilah yang dipakai Aircraft Commander

18 dilakukan oleh kapten penerbang tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintahan. Apabila UU No.15 Tahun 1992 dibandingkan dengan UU No.83 Tahun 1958 maka ketentuan pencegahan tersebut merupakan hal baru yang belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, walaupun tindak pidana pada umumnya telah diatur dalam UU No.4 Tahun dan UU No.2 Tahun , tetapi kedua UU tersebut belum ada yang mengatur pemberian kapten penerbang untuk melakukan tindakan pencegahan tindak pidana penerbangan. Dalam Pasal 23 UU No.15 Tahun 1992, Pemerintah mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menetapkan pengaturan bagi pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penerbangan. Selain Pasal 23 UU No.15 Tahun 1992 dimana kapten penerbang memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dalam pesawat udara selama penerbangan berlangsung, ada pasal lain yang menyatakan tentang suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan dan apabila dilakukan akan diancam dengan sanksi pidana,yang dimana ketentuan-ketentuan tersebut berupaya untuk mengurangi tingkat kecelakaan pesawat udara yaitu : 1. Pasal 60 UU No.15 Tahun 1992, 31 UU no.4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan 32 UU no.2 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963,Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971

19 Dilarang menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi tingginya Rp ,- (enam puluh juta rupiah). Yang dimaksud dengan menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, barang dan penduduk misalnya adalah apabila seorang pilot menerbangkan pesawat di bawah ketinggian dan kecepatan yang telah ditentukan. Sebagai contoh adalah kasus pesawat militer AS yang menabrak gantole di Italia, hal tersebut terjadi karena pilot tersebut melanggar batas ketinggian dan kecepatan yang telah ditetapkan. 2. Pasal 62 UU No. 15 Tahun 1992 Dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 ditentukan bahwa setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan. Sertifikat kecakapan ini adalah sebagai tanda bahwa pilot masih boleh menerbangkan pesawat. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut seorang pilot harus melalui beberapa tes, diantaranya tes kesehatan yang dilakukan secara rutin. Untuk memperkuat ketentuan ini agar dipatuhi, dalam Pasal 62 diatur ketentuan pidananya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

20 Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp ,- 3. Pasal 63 UU No. 15 Tahun 1992 Untuk melindungi keamanan dan keselamatan penerbangan agar tidak terjadi suatu kecelakaan pesawat udara, dalam Pasal 19 ayat 1 juga ditentukan bahwa setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara. Dengan adanya ketentuan ini maka setiap pesawat udara yang akan beroperasi diharapkan sudah mendapat pemeriksaan yang seksama sehingga layak terbang atau tidak. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap pesawat secara berkala dan didampingi oleh pihak dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Selengkapnya Pasal 63 berbunyi adalah sebagai berikut : Barang siapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki kelaikan udara sebagaimana dimaksud dakam Pasal 19 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda setinggitingginya Rp Pasal 64 UU No. 15 Tahun 1992

21 Fasilitas dan peralatan penunjang penerbangan wajib memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, misalkan penerangan yang ada di landasan harus baik sehingga pesawat dapat mendarat dengan aman pada waktu malam hari. Terhadap setiap pihak yang mengoperasikan fasilitas dan peralatan penunjang penerbanagn yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangn diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 64 UU No. 15 Tahun 1992 yang berbunyi sebagai berikut : Barang siapa mengoperasikan fasilitas dan / atau peralatan penunjang penerbangn yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp ,- 5. Pasal 66 UU No. 15 Tahun 1992 Dalam Pasal 28 UU No. 15 Tahun 1992 melarang seseorang untuk berada di sekitar bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan di dalam maupun di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan berada di sekitar bandar udara adalah tempat dimana orang atau bangunan tidak boleh ada, misalkan di daerah run way, taxi way atau mendirikan bangunan di dekat landasan pesawat sehingga dapat mengganggu setiap pesawat yang akan mendarat atau akan take off. Untuk memperkuat agar

22 ketentuan ini dipatuhi, diatur ketentuan pidananya dalam Pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut : Barang siapa tanpa hak berada di tempat-tempat tertentu di bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di dalam atau di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp ,- B. Jenis Tindak Pidana Penerbangan dan Ketentuan Hukumnya menurut UU No.1 Tahun 2009 Undang-undang yang dipaparkan sebelumnya adalah undang-undang yang selama ini telah berlaku dalam dunia penerbangan. Dan setelah undangundang No.15 Tahun 1992 dicabut digantikan dengan UU No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan. Sangat banyak perubahan yang terjadi dalam undangundang ini, penambahan bab dan pasal yang semakin banyak. Dalam undangundang No.15 Tahun 1992 hanya terdiri dari 15 bab dan 76 pasal, sedangkan dalam undang-undang No.1 Tahun 2009 terdiri dari 24 bab dan 466 pasal. Dengan demikian terlihat banyak terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam undangundang penerbangan yang baru ini. Semakin banyak hal-hal yang diatur dalam dunia penerbangan, demikian juga dengan tindak pidana yang mungkin terjadi selama dalam penerbangan baik itu dilakukan oleh awak pesawat yang terdiri dari kapten terbang (pilot), co-pilot, teknisi pesawat udara, tenaga ruang penerangan (briefing office), tenaga operasi pengawas lalu lintas udara (Air Traffic Control-

23 ATC), dan penumpang daripada pesawat itu sendiri semakin baik diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini dimuat mulai dari Pasal Pasal 443. Ada banyak tindak pidana yang diatur dalam undangundang ini dengan ancaman hukuman pidana ataupun denda,yaitu : 1. Pasal 401 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). Yang dimaksud dengan kawasan udara terlarang adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan Pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan 33. Kawasan udara terlarang ditetapkan oleh masing -masing Negara. 2. Pasal 402 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4). Yang dimaksud dengan kawasan udara terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan Pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku 33 Rosyidi Hamzah, Hukum Udara dan Ruang angkasa, (Riau,2009),

24 pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang melalui ruang udara tersebut. 3. Pasal 403 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1). Sertifikat Produksi adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil yang diberikan kepada pabrikan dalam hal pembutan dan perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat udara dan/atau komponen pesawat udara. Sertifikat produksi ini adalah penting untuk menajamin keamanan dan keselamatan penerbangan. 4. Pasal 404 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Yang dimaksud dengan tanda pendaftaran adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan pendaftaran pesawat udara untuk masuk ke dalam daftar pesawat udara sipil Republik Indonesia sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil. Setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memiliki tanda pendaftaran baik sebagai pesawat Indonesia ataupun milik asing, sehingga jelas status hukum daripada pesawat tersebut 5. Pasal 405 UU No.1 Tahun 2009

25 Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Setiap pesawat udara yang masuk maupun keluar dari wilayah Republik Indonesia harus memiliki identitas dan tanda pendaftaran pesawat udara yang jelas untuk mencegah terjadinya kejahatan penerbangan dengan misalnya masuknya teroris ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. 6. Pasal 406 UU no.1 tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34. Untuk melindungi keamanan dan keselamatan penerbangan agar tidak terjadi suatu kecelakaan pesawat udara, dalam pasal 34 ayat 1 ditentukan bahwa setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikudaraan. Dengan adanya ketentuan ini maka setiap pesawat udara yang akan beroperasi diharapkan sudah mendapat pemeriksaan yang seksama sehingga layak terbang atau tidak. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pemerintah terhadap setiap pesawat secara berkala dan didampingi oleh pihak dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. 7. Pasal 407 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).

26 Sertifikat operator pesawat udara adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil dalam hal mengoperasikan pesawat udara secara komersil. Yang dimaksud dengan mengoperasikan pesawat udara adalah menerbangkan pesawat udara untuk angkutan niaga. Angkutan niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan menarik bayaran. Sertifikat ini sangat penting karena termasuk salah satu syarat untuk menjamin kemanan dan keselamatan penerbangan. 8. Pasal 408 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) Sertifikat pengoperasian pesawat udara diperuntukkan kepada orang yang menerbangkan pesawat udara sipil untuk pengakutan udara bukan niaga. Angkutan udara bukan niaga adalah kegiatan angkutan udara untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan kegiatan pokoknya bukan di bidang angkutan udara. 9. Pasal 409 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayt (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling peswat udara dan komponennya. Yang bisa melakukan perawat terhadap seluruh komponen pesawat udara hanya orang yang memiliki sertifikat dan lisensi bahwa dia mampu dan

27 layak melakukan perawatan terhadap komponen pesawat tersebut dan memiliki keahlian dalam bidangnya, karena tidak semua orang bisa, mampu, dan mengerti dalam melakukan perawatan terhadap komponen pesawat tersebut yang nantinya akan berdampak pada keamanan dan keselamatan penerbangan. 10. Pasal 410 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari Bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52. Maksud daripada pasal ini adalah bahwa setiap pesawat yang ingin lepas landas dan mendarat harus dari Bandar udara yang telah ditetapkan dalam izin pengoperasian pesawat udara, contohnya : pesawat Garuda Indonesia dengan tujuan Jakarta, lepas landas dari Bandara Polonia Medan. Pesawat ini tidak diperkenankan mendarat di Bandar Udara Fatmawati Bengkulu,kecuali dalam keadaan darurat. 11. Pasal 411 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk taua merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 53.

28 Yang dimaksud dengan menerbangkan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang, barang dan penduduk misalnya adalah apabila seorang pilot menerbangkan pesawat di bawah ketinggian dan kecepatan yang telah ditentukan. Sebagai contoh adalah kasus pesawat militer AS yang menabrak gantole di Italia, hal tersebut terjadi karena pilot tersebut melanggar batas ketinggian dan kecepatan yang telah ditetapkan Dan contoh di Indonesia adalah pesawat Garuda Indonesia yang tergelincir di bandara adi sucipto Jogjakarta yang mendarat tidak sesuai dengan prosedur pendaratan yang seharusnya yang mengakibatkan matinya orang lain dan kehilangan harta benda. 12. Pasal 412 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan, melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan selama penerbangan, mengganggu ketenteraman, mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan. Setiap pesawat udara memiliki peraturan dan tata tertib yang mengharuskan para penumpang ataupun awak pesawat menaati peraturan tersebut karena peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan seluruh orang yang ada dalam

29 pesawat udara tersebut. Contoh :dilarang merokok selama penerbangan berlangsung baik di dalam kabin maupun di dalam toilet. Pesawat udara memiliki serangkaian peralatan baik itu radar maupun navigasi pesawat yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan. Apabila diantara alat alat tersebut diambil maka keamanan dan keselamatan penerbangan akan terancam. Dalam setiap penerbangan, pramugari selalu mengingatkan untuk mematikan perangkat elektronik karena ketika pesawat telah mencapai ketinggian sekitar kaki, mode autopilot dinonaktifkan.untuk menyebabkan kekacauan penerbangan serius hanya dibutuhkan sedikit sinyal nyasar pada waktu yang tepat. Sinyal nyasar inilah yang berpotensi memicu berbagai kekacauan teknologi pada kokpit. Contoh sederhananya, membuat instrumen di kokpit berfungsi tidak semestinya. Sebagai contoh, sebuah ponsel yang sedang aktif akan terus memancarkan sinyal elektromagnetik. Maka pada saat posisi pesawat berada di ketinggian kaki, sinyal tersebut sanggup menembus jarak radius 35 Km di bawah pesawat (di pusat kota Jakarta pada radius 35 Km terdapat ± 600 BTS). Itu artinya, selain mengganggu sistem kemudi & navigasi pesawat, juga menggangu BTS yang mampu terjangkau oleh ponsel tersebut. Ponsel dan alat elektronik banyak bergantung kepada gelombang radio atau gelombang elektromagnetik untuk menjalankan berbagai tugas

30 atau fungsi, termasuk berkomunikasi dengan menara kontrol, navigasi atau penerbangan, dan pengaturan udara di dalam kabin. 13. Pasal 413 UU No.1 Tahun 2009 Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1). Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 ditentukan bahwa setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan. Sertifikat kecakapan ini adalah sebagai tanda bahwa pilot masih boleh menerbangkan pesawat. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut seorang pilot harus melalui beberapa tes, diantaranya tes kesehatan yang dilakukan secara rutin. 14. Pasal 414 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2). Pesawat udara asing dapat dioperasikan di wilayah NKRI apabila tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia, tidak tersedianya jenis atau kemampuan pesawat udara Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan udara, terjadinya bencana alam, dan adanya bantuan kemanusian dari pihak asing. Dan untuk melakukan hal tersbut harus memperoleh izin terlebih dahulu dari kementrian. Namun pengoperasian pesawat asing tersebut tidak dapat terus berlangsung, hanya dapat beroperasi untuk

31 beberapa waktu sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu tersebut oleh pesawat udara Indonesia. 15. Pasal 415 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4). Sama sepertinya halnya pesawat udara Indonesia yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian juga pesawat sipil asing yang diopersikan di wilayah NKRI harus tetap memenuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan Nasional, salah satunya adalah memenuhi standar kelaikudaraan. 16. Pasal 416 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84. Angkutan udara niaga dalam negeri dalam dilakukan dengan memperoleh izin dari menteri untuk mengoperasikan pesawat udara sebagai angkutan udara niaga. Apabila tidak memiliki izin tersebut maka angkutan udara niaga tidak dapat dilakukan. 17. Pasal 417 UU No.1 Tahun 2009

32 Setiap orang yang melakukan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1). Yang dimaksud dengan angkutan udara niaga berjadwal adalah penerbangan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, dengan jadwal yang teratur sesuai dengan jadwal penerbangan yang telah ditetapkan. Biasanya dilakukan lebih dari satu kali penerbangan. Dengan melakukan penerbangan ini harus memiliki izin pengakutan dan izin terbang terlebih dahulu. 18. Pasal 418 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1). Angkutan udara niaga tidak berjadwal adalah penerbangan yangn tidak dengan jadwal yang telah ditetapkan. Penerbangan ini tidak memiliki pembatan rute penerbangan. Angkutan udara niaga tidak berjadwal tidak hanya mengangkut orang namun juga bisa barang. Sama halnya dengan pengakutan udara niaga berjadwal, pengakutan udara tidak berjadwal luar negeri harus memiliki izin terlebih dahulu dari menteri. 19. Pasal 419 UU No.1 Tahun 2009

33 Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1). Yang dimaksud dengan barang khusus adalah berupa hewan, ikan, buahbuahan, sayur-mayur, daging, peralatan olahraga, dan alat musik. Barangbarang tersebut tidak dapat hanya asal dibawa dalam pengangkutan udara namun harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan pengakutan barnag terlebih dahulu, karena barang-barang yang dibawa tersebut bukan tidak memungkinkan dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat udara. 20. Pasal 420 UU No.1 Tahun 2009 Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan udaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2). Barang khusus atau berbahaya memiliki ketentuan tersendiri hingga dapat dimuat dalam pesawa udara, untuk barang berbahaya badan usaha angkutan udara niaga harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan barang tersebut sehingga tidak membahayakan penerbangan. Dalam membawa barang khusus datau berbahaya diwajibkan melapor kepada pengelola pergudangan atau pengelola badan usaha angkutan udara.

34 21. Pasal 421 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara dan membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 210. Dalam Pasal 210 UU No.1 Tahun 2009 melarang seseorang untuk berada di sekitar bandar udara, atau melakukan kegiatan di dalam maupun di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan berada di sekitar bandar udara adalah tempat dimana orang tidak boleh ada, misalkan di daerah run way, taxi way atau mendirikan halangan/bangunan di dekat landasan pesawat sehingga dapat mengganggu setiap pesawat yang akan mendarat atau akan take off. 22. Pasal 422 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 217 ayat (1). Tidak hanya pesawat yang harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan, namun Bandar udara yang digunakan untuk proses penerbangan juga harus memnuhi standar keamanan dan keselamatan

35 sebelum digunakan pesawat udara untuk landing maupun take off. Mengenai ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah 34. Dan apabila hal perbuatan yang dimaksud dalam pasal 1 tersebut menimbulkan kerugian harta benda seseorang dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (dua miliar rupiah) sedangkan apabila menyebabkan matinya orang dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (lima miliar rupiah). 23. Pasal 423 UU No.1 Tahun 2009 Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (1). Personel bandar udara adalah orang-orang yang bertugas mengoperasikan mengoperasikan dan memelihara fasilitas bandar udara seperti menara pengawas, pemandu garis, dan lain sebagainya. Tidak semua orang bisa menjadi pesonel Bandar udara, harus ada lisensi dan sertifikat yang membuktikan bahwa orang tersebut mampu dan memiliki keahlian dalam memelihara dan mengoperasikan Bandar udara. Lisensi tersebut diberikan oleh Menteri. 24. Pasal 424 UU No.1 Tahun PP nomor 3 tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan

36 Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a dan Pasal 240 ayat (1). Yang dimaksud badan usaha bandar udara adalah badan usaha baik milik Negara ataupun milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum. Badan usaha bandar udara memiliki peran penting dalam pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga yang rnenggunakan jasa pelayanannya. Dan apabila karena hal tersebut pihak ketiga mengalami kerugian maka badan usaha bandar udara berkewajiban untuk memberikan ganti rugi atas apa yang dialami oleh pihak ketiga. 25. Pasal 425 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 426 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1).

37 Bandar udara khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya. 27. Pasal 427 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari menteri. Dalam Pasal 249 telah dinyatakan bahwa bandar udara khusus tidak izinkan melayani penerbangan dari dan/atau ke luar negeri,kecuali dalam keadaan tertentu dan mendapat izin dari menteri atau untuk sementara waktu. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah untuk tujuan medical evacuation atau penanggulangan bencana. Hal ini dikarenakan bandar udara udara khusus yang ebrsifat private bisa menjadi jalur masuknya teroris ataupun penyelundupan barang-barang berbahaya kedalam NKRI apabila tidak diawasi keamanannya. 28. Pasal 428 UU No.1 Tahun 2009 Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk keperntingan umum tanpa izin dari menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250. Bandar udara khusus bersifat private dan untuk kepentingan pribadi maka dari itu bandara ini tidak diizinkan untuk melayani keperntingan umum, jika harus melayani kepentingan umum, hal tersebut dapat dilakukan dengan

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum berlaku dalam pesawat udara Indonesia ;

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum berlaku dalam pesawat udara Indonesia ; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA) Sumber: LN 1976/26; TLN NO. 3080 Tentang: PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391]

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391] UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391] BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 35 Setiap perbuatan yang dilakukan tanpa hak dan dengan sengaja untuk mengubah jaringan telekomunikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480]

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480] UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3610) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 284 Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN BANDAR UDARA ABDULRACHMAN SALEH MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II Ada banyak hal yang termasuk kategori pelanggaran lalu lintas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Dan sudah seharusnya masyarakat mengetahui jenis

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat dari aksi-aksi teror yang terjadi dewasa ini seolah-olah memberi gambaran bahwa kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman yang disebut era globalisasi membuat semakin banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan sarana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881] BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 47 11 ayat (1) 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN [LN 2007/65, TLN 4722]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN [LN 2007/65, TLN 4722] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN [LN 2007/65, TLN 4722] BAB XVII KETENTUAN PIDANA Pasal 187 (1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1963 NOMOR 66) MENJADI

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA) Sumber: LN 1989/11; TLN NO. 3391 Tentang: TELEKOMUNIKASI Indeks: PERHUBUNGAN. TELEKOMUNIKASI.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.496, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara. Tidak Berjadwal. Pesawat Udara. Sipil Asing. NKRI. Kegiatan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 66 TAHUN 2015

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus 46 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ATC merupakan pengatur lalu lintas udara sejak pesawat itu akan terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus membuat flat planning

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa bandar udara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

KETENTUAN HUKUM DALAM PENGGUNAAN DRONE DI INDONESIA

KETENTUAN HUKUM DALAM PENGGUNAAN DRONE DI INDONESIA KETENTUAN HUKUM DALAM PENGGUNAAN DRONE DI INDONESIA Drone, pesawat udara mini tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control dan frekuensi radio, semakin diminati para pecinta teknologi di seluruh

Lebih terperinci

BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara Paragraf 1 Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasal 212 (1) Setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RUU KUHP - Draft II 2005 BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA. Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

RUU KUHP - Draft II 2005 BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA. Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara Paragraf 1 Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasal 212 (1) Setiap

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. bahwa Pemerintah Daerah perlu menjamin iklim usaha yang

Lebih terperinci

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengacu pada regulasi penerbangan yang terdiri atas Annex dan Dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar

Lebih terperinci

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT BAHAN PAPARAN Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT PENGERTIAN ISTILAH 1. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG SERTIFIKASI DAN REGISTRASI KENDARAAN DI ATAS AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti -3-1.26. 1.27. 1.28. 1.29. 1.30. 1.31. 1.32. 1.33. 1.34. 1.35. 1.36. 1.37. 1.38. Perusahaan angkutan udara asing dan badan usaha angkutan udara yang melaksanakan kerjasama penerbangan pada rute luar negeri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan-peraturan mengenai telekomunikasi yang berlaku dewasa ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Lebih terperinci

UU 15/1992, PENERBANGAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:25 MEI 1992 (JAKARTA) Tentang:PENERBANGAN

UU 15/1992, PENERBANGAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:25 MEI 1992 (JAKARTA) Tentang:PENERBANGAN UU 15/1992, PENERBANGAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:25 MEI 1992 (JAKARTA) Tentang:PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 22-2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1992 (ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Kendaraan. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan-peraturan penerbangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia pada

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8)

2015, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8) BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1431, 2015 KEMENHUB. Keamanan Penerbangan Nasional. Darurat. Penanggulangan. Program. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 140 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ASURANSI

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ASURANSI 32 BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ASURANSI A. Syarat-syarat Pengajuan Klaim Asuransi Dalam dunia perasuransian, penyebutan kata klaim menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, 1 WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa angkutan jalan sebagai salah

Lebih terperinci

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan.

Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan penilaian pelanggaran terhadap hasil pemeriksaan. -7- (2) Hasil pemeriksaan ulang dan arahan dari Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Penerbangan menetapkan penanganan lebih lanjut. (3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Inspektur Penerbangan

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.156, 2013 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5448) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075); 3. Peraturan Pemerintah Nomor No.1212, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pelanggaran Bidang Penerbangan. Pengenaan Sanksi Administratif. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 78 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 313 ayat 3

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 313 ayat 3 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA ^ PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 30 TAHUN 2015 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PELANGGARAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG T E R M I N A L DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 17-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 98, 1992 (PERHUBUNGAN. Laut. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci