BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pidana dan Tujuan Pemidanaan a. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata straf yang berarti suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara. Istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljanto mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari straf dan istilah dihukum yang berasal dari wordt gestraf merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata straf dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata wordt gestraf. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu. 14

2 15 Istilah pidana ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah hukuman sering digunakan dalam istilah sehari-hari. Oleh karena itu istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu pidana harus berdasarkan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, karena dalam pengertian hukuman, di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Walaupun demikian, kedua istilah tersebut tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatarbelakang pada tata nilai, baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dan sebagainya. Seseorang yang dijatuhi pidana atau terpidana adalah orang yang bersalah atau melanggar suatu peraturan hukum pidana. Akan tetapi, seseorang juga dapat dihukum karena melanggar suatu ketentuan yang bukan hukum pidana. Dalam hal tujuan pidana, mengutip pernyataan Plato dan Aristoteles, mengemukakan bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 5). Demikian pula menurut Herbert L. Packer, berpendapat bahwa tingkatan atau derajat ketidakenakan atau kekejaman bukanlah ciri yang membedakan punishment dan treatment. Perbedaan antara punishment (pidana) dan treatment (tindakan perlakuan) harus dilihat dari tujuannya, seberapa jauh peranan dari si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan perlakuan. Menurut Herbert L. Packer, tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau akan yang datang, akan tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan

3 16 kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari treatment adalah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Dengan demikian tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang bersangkutan. Sedangkan punishment menurut Herbert L. Packer, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah ( the prevention of crime or undersired conduct orofending conduct); 2) Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar ( the deserved infliction of suffering on evildoers/ retribution for perceived wrong doing). Pada masalah pidana, titik beratnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku. Dengan perkataan lain, perbuatan itu mempunyai peranan yang besar dan merupakan syarat yang harus ada untuk terjadinya punishment. Menurut Muladi dan Barda Nawawi, dengan melihat dasar orientasi dari dua tujuan di atas, maka Packer memasukkan adanya dua tujuan itu ke dalam definisinya sebagai punishment. Dalam hal perbedaan secara tradisional antara pidana dan tindakan, Sudarto mengemukakan pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi secara dogmatis, menurut Sudarto, pidana itu ditujukan untuk orang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana dan terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 6-8).

4 17 b. Jenis-Jenis Sanksi dalam Sistem Hukum Pidana Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana. Bentuk-bentuk sanksi pidana antara lain: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan yang merupakan pidana pokok, serta pidana berupa pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak tersebar di luar KUHP, walaupun dalam KUHP sendiri mengatur juga bentukbentuknya, yaitu berupa perawatan dirumah sakit dan dikembalikan pada orang tuanya atau walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44). Hal ini berbeda dengan bentuk-bentuk sanksi tindakan yag tersebar di luar KUHP yang lebih variatif sifatnya, seperti pencabutan surat ijin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi, dan perawatan di suatu lembaga. Kedua jenis sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanksi tindakan) dalam teori hukum pidana lazim disebut dengan double track system (sistem dua jalur), yaitu sistem sanksi dalam hukum pidana yang menempatkan sanksi pidana dan sanksi tindakan sebagai suatu sanksi yang mempunyai kedudukan yang sejajar dan bersifat mandiri. Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2012:194). Mengenai jenis-jenis pidana tercantum di dalam ketentuan Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar

5 18 KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP, jenis-jenis pidana dibedakan sebagai berikut: 1) Pidana Pokok a) Pidana mati, b) Pidana penjara, c) Kurungan, d) Denda, dan e) Tutupan (ditambah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946). 2) Pidana Tambahan a) Pencabutan hak-hak tertentu, b) Perampasan barang tertentu, dan c) Pengumuman putusan hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia mengenal pidana pokok dan pidana tambahan. Salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yaitu pidana mati. Pidana mati adalah pidana yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Menurut Saleh, pidana mati dikatakan sebagai sanksi pidana terberat karena pelaksanaannya berupa perampasan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada ditangan Tuhan. Pidana mati merupakan upaya radikal untuk melenyapkan individuindividu yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi dan juga merupakan pidana yang paling berat dan menyedihkan diantara bentuk pidana lainnya (Roeslan Saleh, 1978: 13). Indonesia adalah negara yang bersifat retensionis (mempertahankan) pidana mati baik secara deyure maupun defacto. Perdebatan terhadap eksistensi pidana mati sebagai salah satu sanksi pidana, merupakan masalah klasik yang tidak pernah berhenti, baik oleh kaum ilmuwan maupun masyarakat awam. Dalam skala global tidak sedikit negara masih

6 19 mempertahankan pidana mati, baik secara deyure maupun defacto. Bagi negara yang masih mempertahankan pidana mati, berbagai cara dilakukan untuk mengeliminir dampak negatif pelaksanaan pidana mati, baik yang berhubungan dengan cara pelaksanaan eksekusi pidana mati maupun persyaratan pengenaan pidana mati. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, muncul cara-cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati yang bersifat lebih manusiawi dan tidak menyakitkan, disamping menggunakan persyaratan yang sangat ketat ( limitative) dan bersifat pengecualian (eksepsional) dalam penerapannya (Pujiyono, 2007: 1-2). Menurut ketentuan-ketentuan dalam KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu: Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP), Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat (2) KUHP), Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat (3) KUHP), Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP), Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat (3) KUHP), Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat (4) KUHP), Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 K UHP), dan Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat (2) dan Pasal 149 O Ayat (2) KUHP). Selain yang disebutkan di atas, masih ada ancaman pidana mati berdasarkan ketentuan-ketentuan di luar KUHP, yaitu terdapat didalam: Tindak Pidana Ekonomi (Undang -Undang Nomor 7/Drt/1955), Tindak Pidana Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Tindak Pidana Korupsi (Undang -Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia

7 20 (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000), dan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003). c. Tujuan Pemidanaan Menurut Barda Nawawi, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi, bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan perundang-undangan ( the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundang-undangan ( statutory rules) di bidang hukum pidana substantive tersebut terdiri dari aturan umum ( general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum (Barda Nawawi, 2003: 136). Di Indonesia, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih

8 21 dalam tataran yang bersifat teoritis. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan yaitu: 1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak ( generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (spesiale preventif), atau 2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat (Wirjono Prodjodikoro, 1981: 16). Akan tetapi, dalam rancangan KUHP tahun 2008 telah menetapkan tujuan pemidanaan yang tercantum pada Pasal 54, yaitu: (1) Pemidanaan bertujuan a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insyaf dan dapat menjadi warga negara yang baik (Bambang Waluyo, 2000: 3). Tujuan pemidanaan diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat

9 22 manusia. Menurut Lamintang, pada dasarnya terdapat tiga pokok tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: 1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, 2) Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (Lamintang, 2012: 11). Berdasarkan konsep pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Teori-teori pemidanaan dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dalam buku Zainal Abidin, teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan ( revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa: Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan (Zainal Abidin Farid, 2007: 11)

10 23 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini hanya berorientasi untuk pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Setiap kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang harus diikuti dengan pidana yang seimbang untuk mencapai kepuasan hati, tanpa memikirkan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari penjatuhan pidana. 2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien) Menurut teori ini pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa: Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan tujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan (Zainal Abidin Farid, 2007: 11). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan dalam teori ini adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat dengan cara menciptakan peraturan perundang-undangan pidana yang bersifat menakut-nakuti sehingga pelaku kejahatan menjadi jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi dan masyarakat tidak berani melakukan tindak kejahatan karena mengingat adanya ancaman pidana. 3) Teori Gabungan atau Teori Modern (Vereningings Theorien) Menurut teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda,

11 24 dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah, sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Menurut Grotius dalam bukunya Frans Maramis, menyatakan bahwa kodrat mengajarkan bahwa barangsiapa melakukan kejahatan, ia akan terkena derita (aspek a bsolut), tetapi dalam menetapkan berat ringannya derita yang dikenakan tergantung pada kemanfaatan sosial (aspek relatif) (Frans Maramis, 2013: 234). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat. 2. Tindak Pidana Narkotika sebagai Kejahatan Transnasional a. Pengertian Narkotika Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan (Ikin A. Ghani, 1985: 5). Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya kedalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia,

12 25 seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain (Soedjono Dirdjosisworo, 1987: 3). Pengertian narkotika juga dimuat dalam Pasal 1 butir 1 Undang- Undang Narkotika yang menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1) Narkotika Golongan I Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Heroin, Kokain, Opium, Ganja, Katinon, MMDA/Ecstasy dan lebih dari 65 macam jenis lainnya. 2) Narkotika Golongan II Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon dan lain-lain. 3) Narkotika Golongan III Narkotika golongan tiga, berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Codein, Buprenorfin, Etilmorfina, Kodeina,

13 26 Nikokodina, Polkodina, Propiram dan ada 13 macam termasuk beberapa campuran lainnya. b. Tindak Pidana Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan salah satu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana di luar KUHP. Dalam undang-undang ini mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan narkotika. Tindak pidana narkotika akan diuraikan dalam tabel di bawah ini. Pasal Tindak Pidana Narkotika Sanksi 111 Ayat (1) 111 Ayat (2) 112 Ayat (1) 112 Ayat (2) 113 Ayat (1) Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan bukan tanaman Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan bukan tanaman Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I dalam bentuk - Pidana penjara 4-12 tahun - Pidana denda 800 juta-1 milyar - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 5-20 tahun - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 4-12 tahun - Pidana denda 800 juta-8 milyar - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 5-20 tahun - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 5-15 tahun - Pidana denda 1-10 milyar

14 Ayat (2) 114 Ayat (1) 114 Ayat (2) 115 Ayat (1) 115 Ayat (2) 116 Ayat (1) 116 Ayat (2) tanaman dan bukan tanaman Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan bukan tanaman Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan bukan tanaman Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 5-20 tahun Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 5-20 tahun - Pidana denda 1-10 milyar - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 6-20 tahun - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 4-12 tahun - Pidana denda 800 juta-8 milyar - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 5-20 tahun Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 5-15 tahun - Pidana denda 1-10 milyar - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 5-20 tahun

15 Ayat (1) 128 Ayat (1) Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain Narkotika Golongan II, narkotika golongan III bagi diri sendiri Perbuatan Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor 129 Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. 130 Ayat (1) 130 Ayat (2) Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi 131 Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika - Pidana denda maksimum Ayat (1) ditambah 1/3 - Pidana penjara 1-4 tahun - Pidana kurungan 6 bulan - Pidana denda maksimum 1 juta - Pidana penjara 4-20 tahun - Pidana denda maksimum 5 milyar Pengurus: - Pidana penjara - Pidana denda Korporasi: - Pidana denda pemberatan 3 kali Korporasi: - Pencabutan izin usaha - Pencabutan status badan hukum - Pidana penjara maksimum 1 tahun - Pidana denda maksimum 50 juta

16 Ayat Perbuatan menyuruh, memberi atau (1) menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika 135 Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud daam Pasal Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika dimuka sidang pengadilan 142 Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum 143 Saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dimuka sidang pengadilan - Pidana mati - Pidana penjara seumur hidup - Pidana penjara 5-20 tahun - Pidana denda 2-20 milyar - Pidana penjara 1-7 tahun - Pidana denda 40 juta-400 juta - Pidana penjara maksimum 7 tahun - Pidana denda maksium 500 juta - Pidana penjara maksimum 7 tahun - Pidana denda maksium 500 juta - Pidana penjara 1-10 tahun - Pidana denda juta 146 Ayat Warga Negara Asing yang melakukan - Pengusiran keluar (1) tindak pidana narkotika dan/atau tindak wilayah Negara pidana prekursor narkotika dan telah menjalani pidananya Republik Indonesia Tabel 1. Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Dalam Undang-Undang Narkotika terdapat kekhususan mengenai penjatuhan sanksi pidana, antara lain: 1) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda), pidana tambahan (pencabutan izin

17 30 usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing) 2) Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 (empat) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun dan seumur hidup. 3) Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda) 4) Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda) 5) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive). Tindak pidana narkotika termasuk dalam tindak pidana transnasional. hal ini dikarenakan tindak pidana narkotika saat ini dilakukan secara terorganisir dan melintasi batas-batas negara lain. Menurut Mehmet Zulfu Oner, memberikan pernyataan bahwa: The definition of transnational crime has evolved, reflecting the increasing complexity and international nature of the phenomenon. The term transnational is used most often to mean the movement of information, money, physical objects, people, or other commodities across national boundaries, when at least one of the actors involved in the transaction is nongovernmental. Various countries have different definitions of transnational crime depending on very different law systems and philosophies. By definition, transnational crime is crime that violates the laws of more than one state, or transnational crimes are criminal acts or transactions that span national borders, thus, violating the laws of more than one country (Mehmet Zulfu Oner, 2014: 60). Terjemahan bebas: definisi kejahatan transnasional telah berevolusi, mencerminkan peningkatan kompleksitas dan sifat internasional suatu

18 31 kejadian. Istilah transnasional sering digunakan untuk merujuk pada pergerakan informasi, uang, benda, manusia, atau komoditas lain melintasi batas Negara, dengan paling tidak salah satu pelaku yang terlibat berasal dari luar pemerintah. Berbagai negara memiliki definisi berbeda terhadap kejahatan transnasional bergantung pada sistem dan filosofi hukum yang juga sangat berbeda. Kejahatan transnasional dapat diartikan sebagai kejahatan yang melanggar hukum lebih dari satu negara, atau dapat pula diartikan sebagai tindakan kriminal atau transaksi yang melewati batas negara, sehingga melanggar hukum lebih dari satu negara. Menurut Siswanto, tindak pidana transnasional yang terorganisasi merupakan kejahatan internasional yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut, pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya. Oleh sebab itu, diperlukan kerjasama internasional perlu dibentuk dan ditingkatkan guna mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi (Siswanto, 2012: 89-90). bahwa: Menurut Pierre Hauck dan Sven Peterke, memberikan pernyataan Organized crime is a very pithy term that has become part of the vocabulary of many politicians and the broader public as well. It is often applied without a clear reference point and is, in fact, highly indeterminate and vague. This lack of clarity also affects the relevant academic debate. On the one hand, the term can be used to refer to certain types of more sophisticated criminal activities embedded, in one form or another, in complex illicit markets. Arms, drug, and human

19 32 trafficking are often correlated with a set of enabling activities such as (the threat of) violence, corruption, and money laundering. One group of authors assumes that the former constitute core activities of organized crime; another refers to the latter. In both cases the offences can usually be categorized as serious crimes. It may be more accurate to use the term organized criminality (Pierre Hauck dan Sven Peterke, 2010: ). Terjemahan bebas: kejahatan yang terorganisasi merupakan istilah yang sangat ringkas yang telah menjadi bagian dari kamus banyak politisi dan juga publik pada umumnya. Istilah tersebut sering digunakan tanpa rujukan yang jelas serta bersifat samar/ambigu dan tidak menentukan. Kurangnya kejelasan tersebut juga mempengaruhi perdebatan akademis terkait. Di satu sisi, istilah tersebut dapat digunakan untuk merujuk jenisjenis tindakan kriminal tertentu yang lebih rumit/pelik yang terkait, dalam suatu bentuk atau bentuk lain, dengan pasar gelap yang kompleks. Perdagangan senjata, narkotika, dan manusia sering dihubungkan dengan seperangkat kegiatan yang memungkinkan seperti (ancaman) kekerasan, korupsi, dan pencucian uang. Suatu grup penulis mendiha bahwa kegiatankegiatan perdagangan tersebut merupakan kegiatan inti dari kejahatan terorganisasi sedangkan kelompok lain menduga kekerasan, korupsi, dan pencucian uang sebagai aktifitas utama dari kejahatan terorganisasi. Dalam kedua kasus tersebut, kejahatan yang terjadi dapat digolongkan sebagai kejahatan serius. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Dari bab-bab Undang-Undang Narkotika, terdapat perbuatanperbuatan yang dianggap tindak pidana. Perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana, antara lain: 1) Tindak pidana menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I, II, dan III baik

20 33 berupa tanaman maupun bukan tanaman secara tanpa hak dan melawan hukum (Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113 Ayat (1), Pasal 117, dan Pasal 122). 2) Tindak pidana dibidang produksi narkotika serta ilmu pengetahuan Narkotika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi tertentu yang telah memperoleh ijin khusus dari Menteri Kesehatan. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/mengubah bentuk narkotika (Pasal 1 angka 3). Untuk memproduksi narkotika dimungkinkan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industri farmasi, tetapi dilakukan secara selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan narotika dapat lebih mudah dilakukan. Ancaman pidana bagi mereka yang memproduksi narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum diatur dalam (Pasal 113 A yat (1) dan (2) untuk narkotika golongan I, Pasal 118 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika golongan II, Pasal 123 Ayat (1) dan (2) untuk narkotika golongan III). Lembaga ilmu pengetahuan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang kegiatannya secara khusus atau salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian, dan pengembangan dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan. Akan tetapi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari menteri kesehatan. Ancaman pidana dalam ketentuan Pasal 147 dikenakan bagi: a) Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

21 34 b) Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. c) Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. d) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. 3) Tindak pidana dibidang ekspor, impor, pengangkutan, dan transito a) Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dan prekursor narkotika dari daerah pabean. (Pasal 1 angka 5, selanjutnya diatur dalam bab V bagian kedua) b) Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika dan prekursor narkotika kedalam daerah pabean. (Pasal 1 angka 4, selanjutya diatur dalam bab V bagian kesatu) c) Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apapun. (Pasal 1 angka 9, selanjutnya diatur dalam bab V bagian ketiga) d) Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari satu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan. (Pasal 1 angka 12, selanjtnya diatur dalam bab V bagian keempat). Ketentuan pidana mengenai pelanggaran ketentuan dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam (Pasal 113 A yat

22 35 (2), Pasal 115 Ayat (1) dan (2), Pasal 118 Ayat (1) dan (2), Pasal 120 Ayat (1) dan (2), Pasal 123 A yat (1) dan (2), Pa sal 125 Ayat (1) dan (2)). 4) Tindak pidana dibidang peredaran narkotika Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peredaran narkotika tersebut meliputi penyaluran, penyerahan. Sedangkan pengertian peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Ketentuan pidana mengenai tindak pidana dibidang peredaran narkotika diatur dalam (Pasal 114 Ayat (1) dan (2), Pasal 119 A yat (1) dan (2), Pasal 124 Ayat (1) dan (2), Pasal 147 huruf (a) dan (d)). 5) Tindak pidana dibidang labeling dan publikasi narkotika Industri farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika, label pada kemasan sebagaimana dimaksud dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya. Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label harus lengkap dan tidak menyesatkan. Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai labeling dan publikasi, diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam (Pasal 135). 6) Tindak pidana di bidang pengobatan dan rehabilitasi (Pasal 134).

23 36 7) Tindak pidana berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri maupun orang lain (Pasal 116 Ayat (1) dan (2), Pasal 121 A yat (1) dan (2), Pasal 126 Ayat (1) dan (2), Pasal 127 Ayat (1)). 8) Tindak pidana pelaporan penyalahguna narkotika (Pasal 128 A yat (1), (2), (3), dan (4)). 9) Tindak pidana prekursor narkotika Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima milyar rupiah). Dengan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut: a) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika, b) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan precursor untuk pembuatan narkotika, c) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan precursor narkotika untuk pembuatan narkotika, d) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor narkotika untuk pembuatan narkotika. c. Ketentuan Pidana Mati dalam Undang-Undang Narkotika Tindak pidana dibidang narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus. Dalam undang-undang ini, mengenai sanksi pidana mati terdapat pada Pasal 113 Ayat (2), Pasal 114 Ayat (2), Pasal 118 Ayat (2), Pasal 119 Ayat (2), Pasal 121 Ayat (2), dan Pasal 133 Ayat (1) Undang -Undang Narkotika, sebagai berikut: 1) Pasal 113 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud

24 37 pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 2) Pasal 114 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 3) Pasal 116 (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 4) Pasal 118 (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana de nda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 5) Pasal 119 (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk

25 38 tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahu n dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 6) Pasal 121 (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 7) Pasal 133 (1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua miliar rupiah) dan palin g banyak Rp ,00 (dua puluh miliar rupiah). 3. Grasi dan Eksekusi Pidana Mati a. Pengertian Grasi Undang-Undang Grasi yang berlaku di Indonesia adalah Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi (Undang-Undang Grasi). Dalam Pasal 1 Ayat (1), memberikan pengertian bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pasal 1 Ayat (2) menentukan secara

26 39 tegas bahwa terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengenai subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan grasi diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 6. Dalam Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Sedangkan Pasal 6 menyatakan bahwa permohonan grasi dapat diajukan oleh: 1) Terpidana atau kuasa hukumnya, 2) Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, dan 3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. Adapun dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kata dapat dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi. Kemudian, pengertian keluarga dalam penjelasan Pasal 6 angka 2 dibatasi secara tegas, yaitu hanya istri, suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara kandung terpidana. Yang dimaksudkan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah: 1) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang telah ditentukan oleh undangundang tentang hukum acara pidana, 2) Putusan tingkat banding, yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana, atau 3) Putusan pengadilan (Lamintang, 2012: 281). Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana. Dalam Pasal 2 Ayat (2) telah diatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana

27 40 dimaksud pada Ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Kemudian, Pasal 2 Ayat (3) menyatakan bahwa permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian, Pasal 7 Ayat (2) menyatakan bahwa permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengajuan permohonan grasi tidak berarti menunda pelaksanaan putusan, hal ini tertuang dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Pengajuan permohoan grasi diatur dalam Pasal 8 Ayat (2) menentukan bahwa pengajuan permohonan grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan/atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Adapun dalam Ayat (3) dan A yat (4) menentukan bahwa dalam hal permohonan grasi diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan dan salinannya, berkas perkara terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung. Penyelesaian permohonan grasi diatur dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam Pasal 10 juga menetapkan waktu secara limitatif, yaitu dalam jangka waktu

28 41 paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salin an permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Kemudian, dalam Pasal 11 juga menetapkan limit waktu, yaitu: 1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, 2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi, 3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Selanjutnya, penyelesaian permohonan grasi diatur dalam Pasal 12 sebagai berikut: 1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) disampaiakan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. 2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan kepada: a) Mahkamah Agung, b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana, dan d) Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. b. Eksekusi Pidana Mati Pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati yang mana putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yaitu: 1) Pasal 1 Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.

29 42 2) Pasal 2 (1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 Ayat (1)). (2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu. 3) Pasal 3 (1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. (2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam Ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu. (3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam Ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alatalat yang diperlukan untuk itu. 4) Pasal 4 Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 Ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya. 5) Pasal 5 Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4. 6) Pasal 8 Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta

Lebih terperinci

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA UU 22/1997, NARKOTIKA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/1997, NARKOTIKA *9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Lampiran 1 KATA PENGANTAR Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Sekarang saya sedang menyusun sebuah Skripsi dengan judul Survei Mengenai Self Efficacy pada Warga Binaan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.96, 2013 KESEHATAN. Narkotika. Penggunaan. Larangan. Aturan Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 43 BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA A. Sejarah Undang-undang Narkotika Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.hukumonline.com UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Penyalahgunaan narkoba yang di lakukan anak adalah merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 108, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana Dosen Pengampu: Ahmmad Bahiej, S.H., M.Hum. PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Pidana dalam KUHP Pidana merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA www.legalitas.org UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Ketentuan Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Narkotika Hukuman atau pidana yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT PANITIA PUSAT SELEKSI CASIS DIKTUKPA/BA TNI AD TA 2015 UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 PETUNJUK

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci