PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO"

Transkripsi

1 PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) BERDASARKAN KEBERADAAN SARANG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU KABUPATEN DONGGALA PROPINSI SULAWESI TENGAH LINIKO MEKHRADA LABAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 Population, Habitat Preferential, and Dispersion Pattern of Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) due to Nesting Pit Existence in Lore Lindu National Park, Donggala Central Sulawesi By : Laban, Liniko Mekhrada Advisor : Kartono, Agus Priyono Ir. M. Si. ABSTRACT Maleo is one of the unique, rare and endemic megapode species in Sulawesi. This species is severely threatened by habitat fragmentation and over exploitation of it eggs. The most important component for their habitat is nesting ground, because maleo do not incubate their egg by themselves but bury it in the deep soil which has heat from the sun or geothermal activity. This reaserch had been done in Lore Lindu National Park (LLNP) Central Sulawesi from April-June The nesting pit data was collected with line transect and point of abundance method. It was aim to (1) estimate the population and density of maleo by the existence of their nesting pit using nest count method, (2) determine maleos preferential habitat for their nesting ground using Neu indeks method, and (3) to find out the patern of their nesting pit dispersion using indeks of dispersion method. Maleo at LLNP use heat from geothermal activity to hatch their egg.there were 6 different type of habitat use by maleo in LLNP to bury their egg, which are (1) secondary forest habitat (HS), (2) coppice habitat (SB), (3) clump and bush habitat (SP), (4) river banks habitat (SS), (5) bamboo plantation habitat (TB), and (6) cacao plantation habitat (TC). The result showed population in each habitat type were: 487,10 ± 62,38 ind. (HS), 471,14 ± 122,78 ind. (SB), 1379,25 ± 114,64 ind. (SP), 1425,70 ± 137,67 ind. (SS), 524,88 ± 57,98 ind. (TB), and 266,37 ± 107,91 ind. (TC). Density in each habitat type were: 252,38 ± 32,32 ind/ha (HS), 161,90 ± 42,19 ind/ha (SB), 188,68 ± 15,68 ind/ha (SP), 149,76 ± 14,46 ind/ha (SS), 237,50 ± 26,23 ind/ha (TB), 214,81 ± 87,03 ind/ha (TC). Maleo seems have preference to selected habitat type. If sorted according to an index value of habitat election the result were: HS ( w=1,34), TB ( w=1,28), TC ( w=1,17), SP ( w=1,04), SB ( w=0,94) and also SS ( w=0,82). Examination to index election of habitat require to be conducted using test of chi-square. Result of examination show value λ 2 equal to 15,076 and λ 2 0,05 equal to 11,071, it meant there are election to selected habitat type for maleo to lay eggs. Pattern of dispersion was determined by the amount of sample unit found. The analysis result showed a clumped dispersion pattern at every type of habitat. Maleos population are going down. Most of the nesting ground habitat recently was not appropriate for maleo to bury their egg. This matter show that maleo need a few requirement for habitat to lay their eggs.

3 RINGKASAN Liniko Mekhrada Laban. E Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. (Dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M. Si) Populasi maleo sebagai salah satu burung yang unik, langka dan endemik di Sulawesi terancam akibat kerusakan habitat serta eksploitasi terhadap daging dan telur oleh masyarakat. Komponen habitat yang terpenting bagi maleo adalah sarang (nesting pit) pada lokasi peneluran (nesting ground), mengingat maleo tidak mengerami sendiri telurnya melainkan memendamnya di dalam tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga kepadatan populasi maleo, menentukan preferensi maleo terhadap tipe habitat pada lokasi peneluran dan pola sebaran maleo berdasarkan keberadaan sarang. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah selama kurang lebih 3 bulan yaitu dari bulan April hingga Juni Pendugaan populasi maleo didasarkan atas inventarisasi terhadap lubang sarang pengeraman telur dengan menggunakan kombinasi metode transek garis (line transect) dan titik pengamatan (point of abundance). Penarikan contoh pada lokasi penelitian dilakukan secara systematic sampling with random start, dengan pertimbangan tidak adanya informasi pendahuluan tentang luas dari setiap tipe vegetasi hutan di lokasi penelitian. Lokasi tempat bertelur maleo di TNLL beserta areal pendukung terdapat di 6 tipe habitat dengan luasan yang berbeda, yaitu (1) hutan sekunder, (2) sempadan sungai, (3) semak belukar, (4) tanaman bambu, (5) tanaman coklat, (6) semak dan perdu. Hasil analisis data terhadap jumlah sarang maleo menghasilkan dugaan kepadatan populasi di (1) habitat hutan sekunder sebesar 252,38 ± 32,32 ekor/ha, (2) semak belukar 161,90 ± 42,19 ekor/ha, (3) semak dan perdu 188,68 ± 15,68 ekor/ha, (4) sempadan sungai 149,76 ± 14,46 ekor/ha, (5) tanaman bambu 237,50 ± 26,23 ekor/ha, dan (6) tanaman coklat 214,81 ± 87,03 ekor/ha. Dugaan populasi total maleo di TNLL sebesar 4554,73 ± 8,55 ekor dengan kepadatan 181,32 ± 0,34 ekor/ha. Hasil tersebut adalah dugaan populasi dan kepadatan maleo pada kelompok kelas umur dewasa dengan perbandingan jumlah antara individu jantan dan betina sebesar 1 : 1 pada setiap sarang.

4 Populasi dan perbandingan jenis kelamin pada kelas umur anak dan muda sangat sulit diketahui dari jumlah dan keberadaan sarang. Hasil pengujian terhadap 6 tipe habitat yang digunakan maleo sebagai lokasi peneluran, menunjukkan bahwa burung maleo memiliki preferensi terhadap tipe habitat tertentu. Menurut Bibby et al. (1998), jika nilai indeks pemilihan habitat lebih dari 1 (w>1), maka tipe habitat yang bersangkutan disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w<1) maka tipe habitat akan dihindari. Bila diurutkan menurut besarnya nilai indeks pemilihan habitat, tampak jelas bahwa tipe habitat yang paling disukai oleh burung maleo di kawasan TNLL berturutturut adalah (1) habitat hutan sekunder (w=1,34), (2) tanaman bambu (w=1,28), (3) tanaman coklat (w=1,17), (4) semak dan perdu (w=1,04), (5) semak belukar (w=0,94), serta (6) sempadan sungai (w=0,82). Pengujian terhadap indeks pemilihan habitat perlu dilakukan menggunakan uji chi-square (λ 2 hit) dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya pemilihan atas tipe habitat tertentu. Kriteria uji yang digunakan adalah jika λ 2 hit λ 2 0,05, maka tidak terdapat pemilihan habitat dan jika λ 2 hit > λ 2 0,05, maka terdapat pemilihan habitat. Hasil pengujian menunjukkan nilai λ 2 hit sebesar 15,076 dan λ 2 0,05 sebesar 11,071, maka terdapat pemilihan terhadap tipe habitat tertentu bagi maleo untuk digunakan sebagai lokasi peneluran. Connell (1963) menyatakan bahwa pola sebaran merupakan karakteristik yang penting dari komunitas ekologi. Pola ini merupakan salah satu sifat dasar dari suatu kelompok organisme kehidupan. Pola sebaran ditentukan pada jumlah unit contoh yang ditemukan pada masing-masing tipe habitat. Hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi-square dan uji statistik menghasilkan pola sebaran maleo pada tiap tipe habitat berbentuk kelompok.

5 PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) BERDASARKAN KEBERADAAN SARANG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU KABUPATEN DONGGALA PROPINSI SULAWESI TENGAH LINIKO MEKHRADA LABAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

6 Judul Penelitian : PENDUGAAN POPULASI, PREFERENSI HABITAT PENELURAN DAN POLA SEBARAN MALEO (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) BERDASARKAN KEBERADAAN SARANG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU KABUPATEN DONGGALA PROPINSI SULAWESI TENGAH. Nama Mahasiswa NRP Departemen : LINIKO MEKHRADA LABAN : E : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Disetujui Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Pembimbing Diketahui Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 1981 dari pasangan ayah Banjar Yulianto Laban dan ibu Gagarini Rustiati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Pendidikan awal penulis dimulai pada tahun 1986 di Taman Kanak-kanak Kuncung Baciro Yogyakarta. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Katolik Kanisius Baciro Yogyakarta pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SMPN 6 Bogor, lulus pada tahun Tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN 5 Bogor dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI Selama masa perkuliahan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, penulis aktif dalam keanggotaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) dan Kelompok Pemerhati Goa (KPG) Hira. Praktek Pengenalan dan Pengolahan Hutan (P3H) dijalani pada tahun 2002 dengan lokasi Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Wisata Alam Gunung Papandayan, KPH Ciamis dan BKPH Banjar Selatan. Pada tahun berikutnya penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di HPH PT. International Timber Corporation Indonesia (ITCI) Kartika Utama, Propinsi Kalimantan Timur. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M. Si

8 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah dalam Yesus Kristus yang telah memberikan kesehatan dan ketabahan kepada saya dalam melakukan penelitian serta penulisan skripsi berjudul Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Orang tua dan adik-adikku atas segala perhatian, doa, kesabaran dan dukungan mereka yang senantiasa bersama penulis. 2. Ir. Agus Priyono Kartono, M. Si selaku pembimbing yang telah memberikan pengertian dan motivasi bagi penulis. 3. Dra. Sri Rahayu, M. Si dan Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc selaku penguji yang telah memberikan masukan serta koreksi terhadap hasil penelitian ini. 4. Pimpinan IPB, jajaran pimpinan dan staf Fakultas Kehutanan yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis menempuh pendidikan. 5. Pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah yang telah memberikan ijin dan bantuan yang tak ternilai sehingga penelitian ini dapat berjalan sesuai dengan waktunya. 6. Lembaga Pecinta Alam Awam Green dan Yayasan Jambata atas seluruh bantuan mental, moral dan material 7. Bapak Ali Kamisi beserta warga desa Pakuli dan Saluki atas kerjasama yang telah terjalin dengan indah selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal atas jasa dan budi baik mereka. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka harapan atas saran dan kritik yang konstruktif masih dibutuhkan demi berkembangnya ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang konservasi sumberdaya hayati. Bogor, Januari 2007 Penulis Liniko Mekhrada Laban

9 KATA PENGANTAR Salah satu alasan perlindungan kawasan konservasi seperti taman nasional adalah keberadaan fenomena alam, atau hidupan liar (flora dan fauna) yang dilindungi karena nilai kelangkaan atau eksistensinya yang terancam punah. Hampir di setiap taman nasional terdapat satwa-satwa yang terancam keberadaannya akibat faktor-faktor alam seperti perubahan iklim atau ekosistem maupun faktor-faktor manusia, seperti perburuan, perladangan, penggembalaan dan perambahan. Burung maleo merupakan salah satu fauna endemik Sulawesi yang sangat unik dan banyak menarik perhatian. Penyebarannya relatif terbatas pada beberapa kawasan konservasi yang memiliki kesesuaian habitat bagi kelangsungan hidup maleo. Dari beberapa penelitian yang telah lebih dahulu dilakukan, diketahui bahwa satwa ini sekarang sedang mengalami penurunan populasi akibat pengurangan dan fragmentasi habitat, serta eksploitasi terhadap telurnya yang memiliki ukuran rata-rata 5 kali telur ayam. Melalui penelitian berjudul Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi segala upaya untuk menjaga keberadaan burung maleo sebagai sumber daya hayati yang dapat dimanfaatkan guna kesejahteraan manusia Bogor, Januari 2007 Penulis Liniko Mekhrada Laban

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi Populasi dan Penyebaran Habitat Perkembangbiakan Perilaku Makan Reproduksi Respon Terhadap Gangguan Interaksi Sosial IIII. KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL LORE LINDU Sejarah Perkembangan Kawasan TNLL Kondisi Fisik Kawasan Letak Topografi dan tanah Iklim Hidrologi Kondisi Biotik Vegetasi Satwaliar Masyarakat Obyek wisata IV. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat Penelitian Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Metode Pengolahan dan Analisis Data Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo Pendugaan Populasi Maleo Preferensi Habitat Peneluran Maleo Pola Sebaran Spasial Sarang Maleo i iii iv v

11 Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo Pendugaan Populasi Maleo Preferensi Habitat Peneluran Maleo Pola Sebaran Spasial Sarang Maleo VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 36

12 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Jumlah Unit Contoh Berdasarkan Luas Secara Proposional Luasan masing-masing tipe habitat dan unit contoh berdasarkan luas secara proposional pada areal penelitian Dugaan populasi dan kepadatan maleo berdasarkan jumlah sarang pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL Proporsi luas areal pengamatan, jumlah sarang yang ditemukan dan indeks pemilihan habitat peneluran maleo Jumlah sarang teramati dan harapan sarang maleo Analisis pola sebaran horizontal sarang maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Peta penyebaran lokasi peneluran maleo dalam kawasan TNLL Inventarisasi lubang sarang maleo dengan kombinasi metode transek garis dan titik pengamatan Kepadatan maleo pada masing-masing tipe habitat di kawasan TNLL... 27

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Rekapitulasi hasil pengamatan terhadap keberadaan sarang maleo di kawasan TNLL... 37

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia menduduki peringkat keempat negara-negara yang kaya akan spesies burung setelah Columbia, Zaire dan Brasilia serta menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies endemik. Di Indonesia dijumpai 1539 spesies burung yang merupakan 17% dari seluruh spesies burung di dunia, dan 381 spesies di antaranya merupakan spesies burung endemik Indonesia (Andrew 1994). Kekayaan jenis burung yang tinggi tersebut disebabkan oleh keberadaan hutan hujan tropis dan letak Indonesia pada dua wilayah penyebaran fauna besar yaitu wilayah Australia dan wilayah Oriental. Sulawesi merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai jenis hewan menarik, membentang di daerah transisi biogeographic yang disebut Wallacea, diantara daerah Oriental bagian barat dan daerah Australo-Papua di bagian timur (Whitten et al. 1987). Dalam zona Wallacea, Sulawesi merupakan yang terkaya, paling banyak jenis endemiknya dan dunia burung yang sangat berbeda dengan tempat lain (Coates et al. 1997). Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) merupakan salah satu jenis burung endemik Sulawesi yang sangat unik dan banyak menarik perhatian. Spesies ini telah dimasukkan ke dalam kategori satwa yang terancam punah akibat semakin menurunnya populasi dan banyak hilangnya habitat peneluran (Collar et al. 1994). Burung maleo tergolong jenis satwaliar langka yang dilindungi di Indonesia. Berdasarkan SK Mentan No. 421/Kpts/UM/8/1970 dan SK Mentan No. 90/Kpts/UM/2/1977. Jenis ini juga dilindungi berdasarkan UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, SK Menhut No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 serta PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Penyebaran maleo di Sulawesi relatif luas, terutama di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Salah satu kawasan konservasi yang dikenal sebagai habitat maleo adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Populasi maleo di TNLL terancam akibat kerusakan habitat, eksploitasi oleh masyarakat dan predator.

16 Komponen habitat yang terpenting bagi maleo adalah habitat penelurannya karena maleo tidak mengerami sendiri telurnya melainkan memendamnya di dalam tanah pada kedalaman tertentu. Keberadaan sarang maleo yang semakin berkurang diduga sangat dipengaruhi oleh rusaknya kondisi dan banyak hilangnya habitat peneluran yang sesuai untuk melakukan regenerasi. Penelitian mengenai keberadaan dan jumlah sarang maleo pada setiap tipe habitat sangat perlu dilakukan karena hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga populasi, preferensi habitat dan pola sebaran maleo sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam upaya konservasi satwa tersebut Tujuan Penelitian Penelitian mengenai pendugaan populasi, preferensi habitat peneluran dan sebaran spasial maleo berdasarkan keberadaan sarang di kawasan TNLL Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah ini bertujuan untuk: 1. Menduga populasi maleo di kawasan TNLL 2. Menentukan preferensi maleo terhadap tipe habitat peneluran di TNLL 3. Menentukan pola sebaran spasial sarang maleo di TNLL 1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk membangun suatu pemahaman mengenai status dan ekologi maleo. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi tentang populasi, habitat dan penyebaran maleo di kawasan TNLL yang berguna dalam menentukan kebijakan pengelolaan untuk pelestarian maleo di alam.

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Burung maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) oleh Grzimek (1972) diklasifikasikan ke dalam: Klas Aves, Sub Klas Neonirthes, Ordo Galliformes, Sub Ordo Galli, Famili Megapodidae, Sub Famili Crocoide, Genus Macrocephalon, spesies Macrocephalon maleo Sal Muller Menurut Jones et al. (1995), PPA (1994) dan del Hoyo et al. (1994), burung maleo dikenal dengan nama daerah senkawor, sengkawur, songkel, maleosan (Minahasa), saungke (Bintauna), tuanggoi (Bolaang Mongondow), tuangoho (Bolaang Itang), bagoho (Suwawa), mumungo, panua (Gorontalo), molo (Sulawesi Tenggara). Jenis ini dikenal pula dengan nama asing megapode maleo (Perancis), hammerhuhn (Jerman), talegalo maleo (Spanyol), maleo fowl, gray s brush turkey (Inggris) Morfologi Jones et al. (1995) menyatakan bahwa maleo adalah hewan yang berjalan seperti ayam, lebih banyak di darat (tidak terbang seperti kebanyakan burung lain), bila sedang terbang gerakan sayapnya keras. Hal ini disebabkan bobot tubuhnya yang cukup besar dibandingkan dengan lebar sayap, sehingga untuk mencapai jarak relatif pendek harus hinggap dulu pada cabang-cabang pohon yang satu ke cabang pohon lainnya. Burung maleo termasuk spesies burrow nester, yaitu burung pembuat lubang atau liang. Besarnya hampir sama dengan ayam betina piaraan, berbobot 1,6 kg, dengan panjang sayap jantan 292 mm dan betina 302 mm (PPA 1994) Anak maleo yang baru menetas mempunyai berat gram (Argelo 1991). Dinyatakan juga umur burung maleo bisa mencapai tahun dan mencapai usia dewasa produktivitas setelah 4 tahun. Menurut Dekker (1990), di dalam penangkaran, maleo dapat mencapai umur 20 tahun lebih. Warna burung maleo dewasa, baik jantan maupun betina umumnya sama, yaitu mengkilap di bagian sayap dan ekor. Pada bagian dada berwarna kuning bercampur putih, bila dilihat dari dekat dada betina berwarna sawo matang. Pada bagian kepalanya terdapat benjolan besar menyerupai helm (mahkota) berwarna kelabu kehitam-hitaman. Mahkota pada jantan lebih besar dibandingkan dengan mahkota betina.

18 Mata burung maleo berwarna merah cerah. Paruhnya besar, kokoh, dan lancip, berwarna hitam dengan bagian ujungnya merah kekuning-kuningan. Paruh yang besar berguna untuk membantu memecah makanannya yang keras dan besar. Burung maleo mempunyai pengaturan suhu tubuh yang tetap (homoithermal) dan kelengkapan bulu badan yang cukup tebal (Nurhayati 1986, Santoso 1990). Kaki burung maleo yang besar dan kuat dipergunakan untuk menggali lubang guna keperluan bertelur. Panjang kaki burung ini mencapai ± 25 cm, jarijari cakar memiliki panjang sekitar 8-5 cm (Hendro 1974). Ukuran telurnya kirakira sama dengan 5 telur ayam kampung. Dalam keadaan segar telur maleo berwarna merah jambu dan lama-kelamaan berubah menjadi kecoklat-coklatan (Hendro 1974, Nurhayati 1986, Santoso 1990) Populasi dan Penyebaran Sampai saat ini diketahui burung maleo hanya hidup di pulau Sulawesi dan menurut hasil penelitian paling banyak ditemukan di daerah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara (Santoso 1990). Pada tahun 1978 populasi maleo diperkirakan ekor, namun angka ini didasarkan pada produksi telur tahunan yaitu 30 butir per burung (MacKinnon 1978). Produktivitas sekarang diperkirakan 8-12 butir telur per burung (Dekker 1990). Sebagai perbandingan pada tahun 1947 Uno (1949) dalam Gunawan (2000) mencatat perolehan telur burung maleo sebanyak butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara dengan jumlah terbanyak diperoleh pada bulan April yakni butir dan paling sedikit pada bulan Juli yakni 82 butir Habitat Burung maleo hidup secara liar terutama di dalam belukar mulai dari pantai datar yang panas dan terbuka hingga ke hutan pegunungan yang lebat dengan batas ketinggian yang belum jelas (Nurhayati 1986). Di hutan pantai, sebaran maleo hampir seluruhnya terkonsentrasi di habitat tempat bertelur, selain itu juga digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas mencari makan dan istirahat (Wiriosoepartho 1980). Burung maleo umumnya bertelur di areal pantai yang tidak terlalu lebat hutannya dan letaknya agak tinggi dari garis pantai, pada pasir yang tidak padat dan bebas dari batu-batuan. Persyaratan lain yang penting adalah adanya sumber panas vulkanik dan sumber panas bumi (Santoso 1990). Menurut Jones

19 et al. (1995) lubang pengeraman terletak di tanah vulkanik dan pantai yang terekspos matahari, tepi danau, tepi sungai dan bahkan jalan berdebu sepanjang tepi pantai. Luas lubang sangat bervariasi dalam ukuran dan kedalaman tergantung substrat dan temperatur tanah. Luas lubang dapat mencapai 300 cm 2 dengan kedalaman tempat meletakkan telur lebih dari 100 cm. Masa inkubasi hari pada kondisi temperatur tanah C (del Hoyo et al. 1994). Pemilihan tempat bertelur oleh burung maleo dilakukan dengan cara berorientasi sambil mematuk-matukkan paruhnya ke permukaan tanah. Biasanya tempat bertelur dipilih pada areal yang lebih banyak penyinaran matahari. Demikian pula dengan keadaan tekstur tanah, karena hal ini erat hubungannya dengan lamanya penggalian lubang dan keadaan posisi telur di dalam lubang (Wiriosoepartho 1979). Kedalaman lubang sarang pengeraman telur burung maleo ditentukan oleh kuatnya pengaruh dari sumber panas. Apabila pengaruh dari sumber panas bumi cukup kuat maka kedalaman lubang pengeraman tidak terlalu dalam antara cm, tetapi bila panas bumi kurang maka lubang digali cukup dalam antara cm. Luas lubang sarang pengeraman telur dipengaruhi oleh kedalaman lubang dan tekstur tanah, semakin dalam lubang yang digali semakin bertambah luasnya (Jones et al. 1995). Berdasarkan jarak antar sarang terdapat dua jenis sarang yaitu: (1) sarang tunggal dan (2) sarang komunal (communal). Sarang tunggal adalah sarang yang letaknya sendiri-sendiri, sedangkan sarang komunal adalah beberapa sarang yang terletak bersama-sama dalam suatu lokasi yang merupakan areal bersarang bagi maleo. Sarang komunal bukanlah sebuah sarang besar yang dipakai bersama-sama oleh beberapa induk dalam waktu yang bersamaan. Di dalam sarang komunal setiap induk tetap menggunakan sarangnya sendirisendiri. Sarang komunal terbentuk akibat terbatasnya areal yang cocok (suitable) untuk membuat sarang (del Hoyo et al. 1994) Menurut Gunawan (2000), terdapat tujuh lokasi yang sering digunakan maleo sebagai sarang pengeraman telur (nesting pit), yakni: 1. Sarang pengeraman di tempat terbuka, adalah sarang yang dibuat di tempat yang langsung mendapat sinar matahari sepanjang siang, umumnya ditemukan di habitat pantai dimana sumber panas pengeraman berasal dari radiasi matahari.

20 2. Sarang pengeraman di bawah naungan tajuk, adalah sarang yang dibuat di bawah tajuk dengan fungsi sebagai pelindung sinar matahari dan hujan. Tipe sarang ini umum dijumpai di habitat tempat bertelur yang bersumber panas bumi (geothermal). Tajuk bambu atau rumpun rotan menjadi naungan yang disukai maleo untuk bersarang. 3. Sarang pengeraman di bawah lindungan pohon tumbang, adalah sarang yang dibuat di bawah batang pohon tumbang. Maleo cenderung memilih pohon dengan diameter batang yang mampu melindungi sarang dari sinar matahari, hujan dan longsor. 4. Sarang pengeraman di bawah naungan tebing atau batu, adalah sarang yang dibuat di samping batu-batu yang miring, di celah-celah batu atau di samping tebing. 5. Sarang pengeraman di dalam goa, adalah sarang yang dibuat di dalam lubang-lubang goa di daerah karst sehingga sarang tersebut terlindung dari sinar matahari dan hujan. 6. Sarang pengeraman diantara perakaran pohon, adalah sarang yang dibuat dengan salah satu sisinya menempel pada sistem perakaran tumbuhan sehingga pada sisi tersebut terhindar dari longsor. 7. Sarang pengeraman diantara banir pohon adalah sarang yang dibuat di selasela banir atau sistem perakaran yang rumit sehingga sarang tersebut terhindar dari satwa predator. MacKinnon (1978) membagi tipe sarang pengeraman telur menjadi 3 berdasarkan naungan tajuk vegatasi yaitu: (1) sarang di tempat yang ternaungi tajuk seluruhnya, (2) sarang di tempat yang ternaungi tajuk sebagian, dan (3) sarang di tempat yang tidak ternaungi tajuk seluruhnya. Sedangkan Mallo (1998) mengelompokkan sarang pengeraman telur maleo yang bersumber panas geothermal ke dalam 4 tipe berdasarkan letaknya yaitu: (1) di tanah datar, (2) di tanah miring, (3) di tepi sungai, dan (4) menempel pada dinding tebing. Berdasarkan tipe sarang pengeraman, dapat diketahui bahwa burung maleo membuat sarangnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman dan perlindungan yang efektif bagi telur serta kemudahan bagi anak maleo yang baru menetas untuk dapat mencapai permukaan dengan selamat (Gunawan 2000).

21 2.5. Perkembangbiakan Musim bertelur burung maleo di berbagai tempat bervariasi dari bulan ke bulan (Jones et al. 1995). Masa dimana maleo lebih banyak bertelur diperkirakan sebagai puncak musim bertelur. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk maleo tidak diketahui secara pasti tetapi diduga burung maleo bertelur setiap hari sekali atau sekitar 30 telur per tahun (MacKinnon 1978). Menurut Dekker (1990) produksi telur burung maleo berkisar antara 8-12 butir per tahun. Guilemard (1886) dalam Jones et al. (1995) memperkirakan jumlah telur per induk berkisar antara butir per tahun berdasarkan pemeriksaan ovari. Di Sulawesi Utara pada bulan November sampai Januari produksi telur lebih banyak 3 sampai 4 kali dari bulan-bulan yang lainnya. Peningkatan yang nyata ini terjadi karena pada bulan-bulan tersebut pohon-pohon penghasil bahan pakan maleo berbuah sehingga produksi telur meningkat tajam dibanding bulanbulan saat pohon belum berbuah (Nurhayati 1986). Berat telur berkisar antara gr dengan panjang 92,1-112,6 mm dan diameter 57,6-65,5 mm (Dekker & Brom 1990). Masa pengeraman tergantung pada temperatur tanah yaitu berkisar antara hari (Dekker 1990). Apabila tidak busuk, pecah, dimakan predator atau diambil manusia, maka telur maleo akan menetas. Anak maleo yang baru menetas akan menggali pasir untuk keluar dari lubang. Anak maleo memerlukan waktu 1-2 hari untuk memecah kulit telur dan menggali lubang untuk keluar (MacKinnon 1978) Perilaku Makan Menurut Jones et al. (1995), Megapodes mencari makan dengan cara menggaruk dan mencakar serasah di permukaan tanah dan memakan makanan yang kebetulan ditemukannya. Berbagai jenis makanan pernah dilaporkan, baik bagian dari tanaman maupun hewan. Dua jenis makanan yang paling disebut adalah invertebrata (meliputi berbagai jenis serangga, siput darat dan siput air tawar) dan material tumbuhan (terutama buah dan biji). Menurut Wiriosoepartho (1979), berdasarkan pembedahan temboloknya, burung maleo selain makan buah-buahan dan biji-bijian, juga makan serangga hutan, siput dan kepiting. Buah yang sering dimakan adalah buah pohon rao (Dracontomelon mangiferum), Macaranga rhizinoides dan Ficus spp. Dalam penangkaran di kebun binatang Ragunan, burung maleo diberi makan gabah, kacang ijo, kacang tanah, tauge, kangkung, ulat hongkong dan pepaya.

22 Pada burung maleo, yang jantan memberikan makanan kepada yang betina. Bagi jantan, kebutuhan nutrisi sangat nyata untuk memberi masukan energi agar dapat melakukan pekerjaannya membuat, menjaga dan mempertahankan tempat pengeraman telur. Lokasi tempat bertelur juga mempengaruhi aktivitas mencari makan. Tempat bertelur dengan sumber panas vulkanik (geothermal) beberapa diantaranya jauh dari tempat mencari makan yang layak, oleh karena itu burung maleo hanya datang secara singkat ke lokasi bertelur, segera setelah bertelur kembali kedaerah tempat mencari makan di hutan terdekat (Jones et al. 1995) Burung maleo aktif mencari makan mulai dari matahari terbit (± 05.00) sampai dengan matahari terbenam. Hutan dataran rendah sangat penting bagi burung maleo. Di komplek hutan dataran rendah di Cagar Alam Panua sering terlihat banyak burung maleo mencari makan. Di tempat tersebut banyak terdapat jenis-jenis pohon yang menghasilkan buah dan biji yang disukai oleh maleo. Jenis-jenis pohon yang mendominasi lokasi tersebut antara lain Drypetes sp, Terminalia coletica, Pterospermum javanicum dan Bridelia monaica. Pada hutan dataran rendah ini jarang terlihat burung maleo langsung menempel di pohon, tetapi lebih banyak memunguti buah dan biji yang telah jatuh di permukaan tanah. Kebiasaan ini terlihat dengan sering dijumpainya maleo berjalan di tanah sambil mematuk-matuk makanan yang jatuh (Wiriosoepartho 1980) Reproduksi Burung maleo tampaknya bersifat monogami dan memelihara ikatan dengan pasangannya sepanjang tahun (del Hoyo et al. 1994). Dalam penangkaran, kopulasi diawali dengan jantan mencakar-cakar tanah dengan keras dan penuh semangat sambil melemparkan material pasir dan daun ke udara kemudian diselingi dengan gerakan melingkar sambil tetap mencakar tanah. Setelah beberapa saat maju kemudian kembali mundur sambil mencakar lagi, lalu ujung sayap jantan dihadapkan ke betina, ekornya agak naik dan dadanya menegak. Betina membiarkan jantan ketika berjalan melewatinya tetapi kemudian ia sendiri mulai mencakar tanah dengan semangat untuk beberapa saat dan diikuti oleh jantan, selanjutnya jantan mendekati betina yang telah merendahkan perut dan ekornya ke tanah, jantan menaiki betina dan terjadilah kopulasi yang hanya berlangsung beberapa detik. Sejak jantan menunjukkan tingkah laku mencakar-

23 cakar tanah dan mengitari betina sampai terjadi kopulasi menghabiskan waktu setidaknya 4 menit. Setelah kopulasi, jantan mengambilkan makanan dari tanah dan memberikannya kepada betina pasangannya. Pada habitat aslinya, bila akan bertelur burung maleo akan selalu datang bersamaan, walaupun kadang-kadang betina hanya terlihat sendirian saja. Pada musim bertelur, maleo aktif sekitar jam Burung maleo mulai turun dari tempat bertengger manuju tempat peneluran. Suara yang khas mengawali kegiatan burung maleo pada hari tersebut, auwurrr... auwerrr... auwerrr... sebagai tanda teritorinya. Setelah itu burung maleo mulai bergerak secara berpasangan sambil bersuara tak henti-hentinya menuju tempat makan dan minum. Dilanjutkan dengan pemilihan tempat bertelur yang biasanya dilakukan oleh betina, sedangkan jantan hanya mengikuti dari belakang. Bila tempat bertelur telah ditemukan, pasangan burung maleo akan menggali lubang untuk bertelur.pertama-tama betina melakukan penggalian lubang dengan menggunakan kaki yang kuat, maka berhamburan pasir dan kerikil dari lubang. Setelah betina lelah pekerjaan dilanjutkan oleh jantan. Betina berganti tugas menjaga dan mengawasi keadaan sekelilingnya dari kemungkinan adanya pemangsa yang berkeliaran. Penggalian ini dilakukan berulang-ulang sampai kedalaman tertentu yang diangap sesuai untuk peletakkan telurnya. Sesudah telur diletakkan, mereka menimbun kembali dengan pasir galiannya. Setelah selesai menimbun dibuatlah sarang-sarang tipuan untuk mengelabui pemangsa (Wiriosoepartho 1979). Induk maleo membuat 3-4 lubang sarang palsu untuk mengelabui predator, tetapi lubang ini sangat tidak efektif untuk mengelabui pencuri telur. Lubang sarang palsu sangat berbeda dengan lubang sarang asli, lubang sarang palsu dibuat dengan asal-asalan, seringkali hanya berupa cakaran-cakaran galian tanpa ada penimbunan, sedangkan lubang sarang asli sangat jelas terdapat timbunan yang rapi dan seringkali ada bekas-bekas jejak kaki atau kotoran. Penggalian sarang berlangsung antara 1-2 jam, berbeda menurut lokasi peneluran, tergantung pada tingkat kesulitan tanah digali, kedalaman sarang yang diperlukan dan kondisi keamanan di sekitarnya. Pergantian penggalian antara induk jantan dan betina dilakukan antara menit, sambil menggali sarang, kedua induk maleo secara teratur mengambil tanah dengan tonjolan di kepalanya, hal ini diduga untuk mengukur temperatur tanah (Dekker 1990).

24 Respon Terhadap Gangguan Di habitat alamnya burung maleo selalu menyembunyikan diri di semak belukar atau hutan apabila ada hal-hal yang dianggap membahayakan keselamatannya. Pendengaran burung maleo kurang baik sehingga dapat didekati bila memperhatikan arah angin dan posisi burung maleo (Santoso 1990). Jika datang gangguan dari manusia atau hewan pemangsa, burung maleo bersembunyi di bawah tegakan yang rapat atau bertengger di cabang pepohonan yang paling tinggi. Pada waktu musim kemarau maleo lebih senang bersembunyi di tempat yang teduh, begitu pula jika dalam keadaan hujan yang lebat (Nurhayati 1986). Menurut Gunawan (1994), satwaliar yang menjadi pemangsa (predator) burung maleo dan telurnya antara lain soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), biawak (Varanus sp), ular Phyton spp., babi hutan (Sus spp.), burung elang dan anjing kampung (Canis familiaris) yang menjadi liar. Apabila burung maleo terganggu sewaktu bertelur, mereka tidak akan pernah kembali mengulang pekerjaan tersebut. Perasaan takut atau cemas dengan kehadiran manusia atau pemangsa diekspresikan dengan gerakan yang selalu curiga dan sesudah hinggap di cabang pohon selalu menggerak-gerakkan ekornya ke atas dan ke bawah berulang-ulang (Wiriosoepartho 1979) Interaksi Sosial Burung maleo hidupnya selalu berpasangan dan kelihatannya seperti pasangan setia dalam melakukan aktivitas hidupnya seperti makan, minum, tidur, membuat sarang, dan berlindung. Jika bertengger di atas pohon kelihatannya sangat mesra, cara bertenggernya sangat berdekatan seolah-olah berhimpitan. Dengan posisi demikian dapat dijadikan sasaran yang menyenangkan bagi pemburu (Nurhayati 1986). Sifat burung maleo terhadap keturunannya adalah masa bodoh, karena telurnya dibiarkan menetas sendiri dalam lingkungan alam tanpa dierami (Nurhayati 1986). Setelah menetas anak burung maleo tersebut keluar kepermukaan dari dalam timbunan pasir dengan menggali jalan sendiri, menghadapi bahaya, dan langsung mencari makan untuk dirinya (Jones et al. 1995). Menurut Gunawan (2000), selain untuk bertelur, habitat tempat bertelur burung maleo juga merupakan arena untuk bersosialisasi dengan individu sejenis yang lain, mereka berbaur satu sama lain sehingga tidak dapat lagi dibedakan pasangan yang satu dengan pasangan lainnya.

25 Antar individu tampaknya berkomunikasi dan melakukan interaksi dengan individu dari pasangan lain. Sambil berjalan mondar-mandir antara jantan dan betina mengeluarkan suara secara teratur dengan bunyi seperti mengerang yang oleh Dekker (tanpa tahun) dalam Jones et al. (1995) digambarkan berbunyi mmmm, mm-mm, mm-mm. Ketika jantan dan betina terpisah karena terganggu, jantan mengeluarkan suara khas seperti suara orang berkumur air di tenggorokan yang berbunyi kee-ourrrrrrrrrr berulang-ulang. Suara ini dimaksudkan untuk memberitahu pasangannya tentang posisinya. Kadang-kadang tampak adanya pertengkaran dan usaha saling mengusir antar individu dari pasangan lain dengan mengeluarkan bunyi gak-gak-gak mirip suara bebek. Tingkah laku agresif terhadap pasangan lain di areal peneluran terjadi ketika antara dua pasangan menggali sarang dengan jarak berdekatan atau pasangan yang satu berusaha merebut sarang pasangan lain. Tampaknya tingkah laku mengusir tersebut merupakan tingkah laku teritorial dengan maksud menjaga teritori sarangnya dari gangguan pasangan lain. Teritori yang dipertahankan sewaktu bertelur hanya mencakup areal dalam radius sekitar 4 m dari sarangnya.

26 III. KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL LORE LINDU 3.1. Sejarah Perkembangan Kawasan TNLL Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) resmi ditetapkan sebagai salah satu taman nasional di Indonesia pada tanggal 23 Juni 1999 setelah mengalami beberapa perubahan status kawasan dan pengelolaannya. Pada awalnya TNLL merupakan penggabungan dari beberapa kawasan lindung meliputi: Suaka Margasatwa Lore Kalamata (SK. Mentan No. 522/Kpts/Um/1973); Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau Lindu (SK. Mentan No. 46/Kpts/Um/1978); dan Suaka Margasatwa Lore Lindu (SK. Mentan No. 1012/Kpts/Um/1981). Dasar keputusan penentapan kawasan tersebut sebagai TNLL adalah deklarasi penggabungan kawasan lindung tersebut sebagai taman nasional pada waktu kongres taman nasional sedunia di Denpasar Bali tahun 1982, melalui SK Mentan No. 736/Mentan/X/1982. Selanjutnya ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK. Menhut No.593/Kpts-II/1993 dengan luas hektar. Keputusan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tata batas definitif dan dikukuhkan Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui SK. Menhutbun No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas ,18 hektar. Kawasan TNLL memiliki nilai yang sangat tinggi, tidak hanya karena pesona alamnya yang khas atau budaya masyarakat di sekitarnya yang unik, akan tetapi kawasan ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi Kondisi Fisik Kawasan Letak Secara geografis TNLL terletak pada posisi koordinat BT dan LS. Berdasarkan administratif pemerintahan terletak di dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Donggala (Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru, Palolo) dan Kabupaten Poso (Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore Tengah) Propinsi Sulawesi Tengah. Di bagian utara TNLL dibatasi oleh dataran Palolo, bagian timur oleh dataran Napu, bagian selatan dibatasi dataran Bada, serta bagian barat oleh sungai Lariang dan hulu sungai Palu (lembah Kulawi) Topografi dan Tanah TNLL terletak pada ketinggian meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi adalah Gunung Tokosa/Rorekatimbu (2610 mdpl). Bentuk topografi bervariasi mulai dari datar, landai agak curam, curam hingga sangat

27 curam. Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan asam seperti gneisses, schists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap erosi. Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan dangan bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metamorfosa dan granit. Bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfosa dan granit. Jenis tanah di TNLL bervariasi dari entisol, inseptisol, alfisol dan sebagian kecil ultisol Iklim Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson, bagian utara kawasan TNLL mempunyai tipe iklim C/D dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara mm/tahun. Bagian timur bertipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun dan bagian barat bertipe iklim A dengan curah hujan rata-rata tahunan 1200 mm/tahun. Secara keseluruhan curah hujan di TNLL bervariasi dari mm/tahun. Suhu berkisar antara C dengan kelembaban udara 98% dan kecepatan angin rata-rata 3,6 km/jam Hidrologi TNLL mempunyai fungsi tangkapan air yang penting, didukung oleh dua sungai besar yaitu sungai Gumbasa di bagian utara yang bergabung dengan sungai Palu di bagian barat serta sungai Lariang di bagian timur dan selatan. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar kawasan dan penduduk Sulawesi Tengah umumnya Kondisi Biotik Vegetasi TNLL memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi di pulau Sulawesi. Diperkirakan 5000 spesies tumbuhan tinggi terdapat di dalamnya. Flora di dalam TNLL umumnya diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis vegetasi utama berdasarkan ketinggian, meskipun bentuk lahan, topografi dan iklim juga memegang peranan penting. Pada ketinggian mdpl, hutan dataran rendah berkembang dengan baik. Jenis-jenis yang dapat dijumpai antara lain: Mussaendopsis beccariana, Dysoxylum sp., Ficus sp., Myristica spp., Caryota spp., Elmerilia ovalis, Strychnos axillaris, Celtis sp., Pterospermum subpeltatum, Canangium odoratum, dan Durio zibethinus. Pada hutan pegunungan rendah dengan

28 ketinggian mdpl dijumpai jenis-jenis Castanopsis argentea, Lithocarpus spp., Dacrydium falcifolia, Phyllocladus hypophyllus, Tristania sp., Calophyllum spp., Garcinia spp., serta berbagai jenis epifit, termasuk di dalamnya puluhan spesies anggrek dan pakis yang tumbuh di dahan-dahan pohon. Pada ketinggian di atas 1600 mdpl, kanopi pohon menjadi semakin seragam dengan dominasi dari jenis Podocarpus neriifolia, Podocarpus imbricatus dan Nepthenes sp. Jenis herba yang umum dijumpai antara lain Orthosiphon aristatus, Curcuma longa, dan Pangium edule. Tumbuhan yang khas di TNLL salah satunya adalah Eucalyptus deglupta, dikenal dengan nama lokal leda. Pohon ini banyak ditemukan dan mudah dikenali dengan ciri kulit batang yang licin, berpola mencolok, berwarna hijau kemerahan serta mampu tumbuh hingga mencapai tinggi 60 m dengan lingkar batang 150 cm Satwaliar TNLL memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Dari jenis mamalia langka dapat dijumpai Anoa quarlesi, Anoa depressicornis, Babyrousa babyrusa, Sus celebensis, Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, Phalanger celebensis, Tarsius spectrum dan Cervus timorensis. Kawasan ini juga terkenal akan keanekaragaman jenis burungnya. Sekitar 224 jenis burung yang ditemukan, 97 diantaranya merupakan endemik di Sulawesi, seperti Tanygnatus sumatrana, Loriculus exilis, Trichoglossus platurus, Cacatua sulphurea, Buceros rhinoceros, Aceros cassidix, Anhinga rufa, Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo dan Megapodius freycynet. Selain itu, terdapat pula jenis reptil seperti Phyton reticulatus, Ophiophagus hannah dan Elaphe erythrura. Jenis serangga antara lain Papilio blumei, Graphium androcles dan Appies spp Masyarakat Dari 117 desa di sekitar TNLL, 70 desa diantaranya secara fisik berbatasan langsung dan 1 desa terletak di dalam kawasan taman nasional. Desa-desa tersebut umumnya dihuni oleh keturunan para pendatang yang tiba sekitar 4000 tahun yang lalu, terdiri atas suku Bada, suku Behoa, suku Pekurehua (Napu) dan suku Kaili yang terbagi 7 berdasarkan dialeknya yaitu: Kaili Ledo, Kaili Ija, Kaili Ado, Kaili Moma, Kaili Tohulu, Kaili Uma dan Kaili Da a.

29 Semula masyarakat hidup dalam kelompok kecil yang sering berperang dan melakukan perladangan berpindah. Pada akhir abad ke-17, sistem menanam padi di sawah yang dialiri mulai dikenal, hingga saat ini kebanyakan penduduk melaksanakan pola pertanian menetap pada lahan rata di lembahlembah. Pengenalan sistem bersawah yang sangat produktif diperkirakan telah menyelamatkan habitat-habitat alam pegunungan dari perambahan untuk perluasan pertanian ekstensif. Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan taman nasional memiliki ketergantungan terhadap hutan dan menganggap wilayah mereka sebagai warisan leluhur yang harus dikelola secara arif dan berkelanjutan seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya Obyek Wisata Kawasan TNLL memiliki beberapa jenis obyek wisata yang khas, antara lain: pemandian air panas di Kadidia; situs megalit yang tersebar di lembah Besoa; sejumlah air terjun dengan ketinggian antara m di Kulawi, Kamarora dan Wuasa; jalur pendakian menuju puncak Nokilalaki (2355 mdpl) dan Tokosa/Rorekatimbu (2610 mdpl); pemanfaatan Sungai Lariang untuk arung jeram; panorama danau Lindu dan Tambing; penangkaran kupu-kupu di Kamarora; penetasan tradisional telur maleo di Saluki dan pengobatan tradisional di Pakuli yang dilakukan oleh Sando (dukun) menggunakan tumbuhan obat.

30 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi peneluran maleo di kawasan TNLL Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama ± 3 bulan, dari bulan April hingga Juni Gambar 1. Peta penyebaran lokasi peneluran maleo dalam kawasan TNLL

31 4.2. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Global Positioning Systems (GPS), peta kawasan skala 1:50.000, kompas brunton, teropong binokuler, pita meter, altimeter, tambang plastik, kamera foto, field guide, dan tally sheet Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder: 1. Data Primer Data ini diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Pada penelitian ini data primer yang dikumpulkan meliputi jumlah sarang maleo yang terdapat di dalam kawasan TNLL. 2. Data Sekunder Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari berbagai sumber terkait. Data ini mencakup data mengenai bio-ekologi maleo dan kondisi umum habitat peneluran maleo Metode Pengumpulan Data Data Primer Pengumpulan data primer pada penelitian ini diawali dengan melakukan orientasi lapangan guna mengetahui kondisi areal penelitian, mencocokan peta kerja dengan kondisi lapangan serta menentukan titik awal pengamatan. Pendugaan populasi, preferensi habitat dan sebaran spasial maleo didasarkan atas inventarisasi terhadap sarang maleo dengan menggunakan kombinasi metode transek garis dan titik pengamatan (point of abundance). P X X P X X R X X Keterangan: P = titik pengamatan, X = posisi lubang sarang maleo, R = radius pengamatan Gambar 2. Inventarisasi Lubang Sarang maleo dengan Kombinasi Metode Transek Garis dan Titik Pengamatan

32 Jarak antar titik pengamatan 20 m. Penarikan contoh pada lokasi penelitian dilakukan secara acak dengan alokasi luasan yang proporsional. Luas areal TNLL ,18 Ha, akan tetapi wilayah hutan yang digunakan maleo untuk bertelur hanya 25,12 Ha dan terbagi ke dalam enam tipe habitat yakni hutan sekunder, semak belukar, semak dan perdu, sempadan sungai, tanaman bambu, dan tanaman coklat. Klasifikasi tipe habitat peneluran maleo berdasarkan atas jenis vegetasi dominan yang ditemukan di areal penelitian. Dengan mempertimbangkan kondisi lapangan, intensitas sampling yang digunakan adalah 20%. Luas daerah yang teramati adalah 5,46 Ha. Unit contoh berbentuk lingkaran dengan radius 10 m dan luas ± 0,03 Ha. Jumlah unit contoh menurut luasan secara proporsional untuk setiap tipe habitat disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Jumlah unit contoh berdasarkan luas secara proposional. No Tipe Penutupan Lahan Luasan (Ha) Nh nh 1 Hutan Sekunder 1, Semak Belukar 2, Semak dan Perdu 7, Sempadan Sungai 9, Tanaman Bambu 2, Tanaman Coklat 1, TOTAL 25, Keterangan: Nh=jumlah unit contoh total; nh=jumlah unit contoh Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur dari pustaka, jurnal dan karya ilmiah lain yang dapat dipercaya serta wawancara dengan kelompok masyarakat setempat dan pihak pengelola TNLL Metode Pengolahan dan Analisis Data Kondisi Umum Habitat Peneluran Maleo Lokasi dan tipe habitat peneluran maleo diketahui berdasarkan informasi pihak TNLL. Data yang diperoleh bersifat deskriptif berdasarkan pengamatan terhadap kondisi umum masing-masing tipe habitat Pendugaan Populasi Maleo Pendugaan populasi maleo dihitung dengan menggunakan metode nest count, yakni metode inventarisasi satwaliar yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah sarang yang dibuat oleh setiap individu satwaliar. Pada

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Burung maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) oleh Grzimek (1972) diklasifikasikan ke dalam: Klas Aves, Sub Klas Neonirthes, Ordo Galliformes, Sub Ordo Galli, Famili

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK

IV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK 17 IV. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK 4.1. Sejarah dan Status Kawasan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu berasal dari tiga fungsi kawasan konservasi, yaitu : a. Suaka Margasatwa Lore Kalamanta yang ditunjuk

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH Indrawati Yudha Asmara Fakultas Peternakan-Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan lindung sebagai kawasan yang mempunyai manfaat untuk mengatur tata air, pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar, sumber plasma nutfah serta fungsi

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Indentitas Flora dan Fauna Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran: BAB 4 PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Tujuan Pembelajaran: Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat: 1. Mengetahui berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang mendekati kepunahan. 2. Menjelaskan pentingnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SATWA BURUNG MALEO/MOMOA (EULIPOA WALLACE) DI MALUKU.

RENCANA PENGELOLAAN SATWA BURUNG MALEO/MOMOA (EULIPOA WALLACE) DI MALUKU. RENCANA PENGELOLAAN SATWA BURUNG MALEO/MOMOA (EULIPOA WALLACE) DI MALUKU. Oleh Ir. A. A. Tuhumury. MS Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unpatti A. Latar belakang Burung maleo (Macrocephalon maleo

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci