BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON. A. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON. A. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi"

Transkripsi

1 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON A. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Secara etimologis antara kata konstitusi, konstitusional, dan konstitusionalisme ini segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang- Undang, Peraturan Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah situasi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. 45 Konstitusi memiliki dua pengertian yaitu Konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan Konstitusi tidak tertulis (Konvensi). Negara Inggris merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis. 46 Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (Konstitusionalisme) terdiri dari : 1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum. 2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. 3. Peradilan yang bebas dan mandiri. 4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (Akuntabilitas Publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1991), halaman M.Solly Lubis, Asas- Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978), halaman Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 2.

2 Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan maskot bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi. 48 Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Groundwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan ground berarti tanah atau dasar. 49 Mencermati dikotomi antara istilah Constitution dengan Grondwet (Undang Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau Grondwet (Undang Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan Constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M., dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang Undang Dasar. 50 Penyamanan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana 48 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1995), halaman Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Op.Cit, halaman Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), halaman 1.

3 kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. 51 Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. 52 Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti bersama dengan... sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan. Dengan demikian bentuk tunggal 51 Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), halaman H.Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Op.Cit, halaman 8.

4 (Constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (Constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. 53 Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. 54 Konstitusi memiliki fungsi-fungsi yang oleh Jimly Asshididiqie, guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia diperinci sebagai berikut: Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. 2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. 3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara. 4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. 5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara. 6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation), serta sebagai center of ceremony. 7. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi. 8. Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform). Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja constituer dalam bahasa Perancis, yang berarti membentuk, dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala 53 Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya ProJustina, 0.2 V, 1987, halaman Taufiqurrohman Syahruni, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan Undang- Undang Dasar di Indonesia , (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), halaman Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), halaman 33.

5 macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama negara. 56 Istilah konstitusi sebenarnya tidak dipergunakan untuk menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia, selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah Undang- Undang Dasar. Demikian juga di Belanda, di samping dikenal istilah groundwet (Undang-Undang Dasar), dikenal pula istilah constitutie. 57 Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas dari pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan negara, dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat dan cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara. 58 Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu bentuk pengujian materi dari undang-undang yang diajukan permohonan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan karenanya merugikan hak konstitusional yang dimiliki sebagai warga negara. Hasil rekapitulasi perkara pengajuan undang-undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tahun 56 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), halaman C.A.J.M Kortmann, Constitutionalrecht, Kluwer, Deventer, 1960, halaman Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), halaman 27.

6 2003 sampai dengan 10 Agustus 2009 adalah 272 perkara, putusan yang diterima adalah 62 perkara, yang ditolak adalah 62 perkara, yang tidak diterima adalah 48 perkara, yang ditarik kembali adalah 21 perkara,sehingga jumlah keseluruhan putusan adalah 181 perkara dan sisanya masih sedang berjalan. Ada dua jenis metode penyelesaiannya yang dilakukan untuk perkaraperkara ini, yakni dalam bentuk ketetapan dan keputusan. Ketetapan merupakan suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan yang isinya di luar dari substansi permohonan, misalnya, ketetapan tentang ketidakwenangan untuk memeriksa permohonan perkara atau tentang penerimaan permohonan pembatalan perkara. Keputusan merupakan suatu kesimpulan bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan yang isinya tentang pengabulan atau penolakan permohonan suatu perkara. Sedangkan jenis lainnya adalah kewenangan mengenai perselisihan hasil pemilihan umum, baik untuk calon anggota legislator maupun eksekutif. Perselisihan hasil pemilu merupakan perkara yang diajukan Pemohon karena ia mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan hasil perhitungan yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum dan memberikan hasil perhitungan yang benar menurut permohonan pada suatu tahapan pemilihan umum. Perselisihan hasil pemilu ini untuk pemilu legislatif maupun pemilu presiden putaran pertama dan kedua. Satu tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu 2004 terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dari Pemilu Legislatif (5 April

7 2004), Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama (5 Juli 2004) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua (20 September 2004). Ada dua tahapan Pemilu 2004 yang kemudian mengalami perselisihan dan telah diperiksa Mahkamah Konstitusi, yakni Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama. Pada Pemilu Legislatif 2004, pemohon yang mengajukan permohonan adalah 23 partai politik (mengajukan perselisihan di 252 daerah) dan 21 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Secara keseluruhan, terdapat 44 perkara yang berkaitan dengan pemilu Legislatif Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama juga menuai permohonan perselisihan hasil pemilu oleh satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dari lima pasangan yang terpilih, ada dua pasangan yang berhak melaju ke putaran kedua, sedangkan tiga pasangan lainnya tersisih. Satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tersisih mengajukan permohonan terhadap penetapan jumlah suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum. Karena itu, secara keseluruhan, terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama, Mahkamah Konstitusi memeriksa dan memutus satu perkara. B. Wewenang Mahkamah Konstitusi Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur didalam Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2), juga diberikan dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasal 24C Ayat (1). Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Mahkamah

8 Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Wewenang Mahkamah Konstitusi ini menyatakan Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar , memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 60 Sedangkan dalam ketentuan lain menyatakan Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 61 Ketentuan-ketentuan tersebut ditegaskan kembali pengaturannya dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan merupakan badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk mengadili perkara pengujian undang-undang, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar 1945, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding atau kasasi terhadap putusan yang 59 Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar

9 dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan wewenang tersebut. Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terhadap dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden. Dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Syarat-syarat untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden adalah seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan/atau wakil presiden. 63 Secara khusus dalam kewenangan ini, Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus bahwa wajib dilalui dalam proses pemberhentian (impeachment) presiden dan atau wakil presiden. Kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum presiden dan wakil presiden. Jika terbukti, putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara otomatis dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden karena hal itu bukan wewenang 62 Pasal 7 B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

10 sepenuhnya Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar, jika putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan terbukti bersalah maka Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan usul pemberhentian itu ke Majelis Perwakilan Rakyat dan persidangan Majelis Perwakilan Rakyat yang nantinya akan menentukan apakah presiden dan/atau wakil presiden yang telah diusulkan pemberhentiannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan atau tidak dari jabatannya. Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah diberikan Undang-Undang Dasar Pengujian Undang-Undang Undang-Undang Dasar telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap undangundang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24C Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945). Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara hukum dan demokrasi 64. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme pengujian 64 Sejarah mengenai hal ini bisa dilihat dalam Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum : Sebuah Sketsa Politik, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, Daniel S Lev; LP3ES, 1990,

11 konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan demokrasi telah mendapatkan penegasannya. Selanjutnya Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan secara formal dan materiil (Pasal 51 Ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi). Pengujian secara formal menelaah apakah pembentukan undang-undang telah memenuhi prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Sedangkan pengujian undang-undang secara materil memeriksa apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Memutus Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara Hak dan kekuasaan ini selengkapnya dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dari rumusan tersebut dapat dijelaskan bahwa sengketa lembaga negara yang menjadi kompetisi Makamah Konstitusi adalah sengketa yang lain. Dan lembaga negara yang diatur dan ditentukan kewenangannya melalui Undang-Undang Dasar Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus sengketa kewenangan lembaga negara adalah untuk menyelesaikan perselisihan hukum atas suatu kewenangan lembaga negara. Artinya, esensi kewenangan konstitusional Mahkamah halaman Lihat pula Konfigurasi Politik dan Kerkuasan Kerhakiman di Indonesia, Benny K. Harman, Elsam, 1997.

12 Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan negara dalam perimbangan kekuasaan lembaga negara merupakan suatu fungsi kontrol dari badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga negara yaitu dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan lembaga negara sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut Undang-Undang Dasar Jika dirinci, lembaga-lembaga yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan diantaranya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Selain itu ada komisi pemilihan umum dan bank sentral dan TNI-POLRI serta pemerintah daerah Kecuali Bank Sentral, seluruh lembaga lainnya diatur kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak ada penegasan dan penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Undang-undang Mahkamah Konstitusi hanya mengatur bahwa pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. 66 Sedangkan dalam hal lainnya dinyatakan bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, halaman Pasal 61 Ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun Pasal 65 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003.

13 Tampaknya, mengenai hal ini, undang-undang memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menafsirkan apa dan siapa lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Didit Hariadi Estiko menyatakan penggunaan penafsiran konstitusi yang berbeda terhadap hal itu dapat berakibat pada perbedaan penentuan lembaga negara yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara. 3. Memutus Pembubaran Partai Politik Kewenangan lain Mahkamah Konstitusi adalah membubarkan partai politik. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dirumuskan syarat atau larangan apa yang mengakibatkan partai politik dibubarkan. Ini berbeda dengan konstitusi Jerman dengan Pasal 21 Ayat (2)-nya menyatakan antara lain bahwa partai politik (parpol) yang berdasarkan tujuan-tujuannya atau tingkah laku yang berkaitan dengan kesetiaannya mengganggu atau menghadapi atau mengurangi atau menghilangkan tata dasar demokrasi yang bebas atau mengancam kelangsungan negara Republik Federal Jerman (RFJ) harus dinyatakan inkonstitusional oleh Pengadilan Mahkamah Konstitusi. 68 Alasan pembubaran partai politik yakni berkaitan dengan ideologi, asas tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Sedangkan pihak yang menjadi pemohon adalah pemerintah. 69 Adapun pelaksanaan partai politik di Indonesia dilakukan dengan 69 Pasal 68 Ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003.

14 membatalkan pendaftaran pada pemerintah dan proses pemeriksaan permohonan pembubaran partai politik wajib diputus paling lambat 60 hari kerja Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, hasil suara yang telah telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat diperkarakan melalui Mahkamah Konstitusi. Perkara yang dimohon itu berkenaan dengan terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum. Dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa yang dapat dimohonkan pembatalannya adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempengaruhi yang diatur dalam Pasal 74 Ayat (2) Undang-undang No. 24 Tahun 2003 yaitu (i) (ii) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden. (iii) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dijelaskan bahwa pihak yang bisa menjadi pemohon dalam pemilu presiden adalah pasangan calon presiden-wakil presiden yang ditetapkan masuk putaran kedua serta terpilihnya presiden-wakil 70 Pasal 71 dan 73 Ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003

15 presiden. Sedangkan pasangan calon yang tidak meraih suara signifikan yang dapat mempengaruhi lolos tindaknya suatu pasangan ke putaran kedua, atau terpilih menjadi presiden - wakil presiden, tidak diperkenankan sebagai pemohon atau memiliki kedudukan hukum yang kuat. Di sisi lain, dalam pemilu Legislatif, pihak yang menjadi pemohon adalah hanya partai politik peserta pemilu. Dalam hal ini permohonan perkara hanya dapat diajukan melalui pengurus pusat partai politik. Anggota partai dan pengurus wilayah atau cabang tidak dapat mengajukan serta perkara perselisihan hasil pemilu. 5. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau wakil presiden Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini merupakan refleksi proses pemberhentian (impeachment) terhadap presiden yang sebelumnya hanya berdasarkan mekanisme dan pertimbangan partai. Penempatan peran Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum. Sesuai ketentuan yang ada maka Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk dugaan Dewan Perwakilan Rakyat atas pelanggaran hukum berupa: (1) Pengkhianatan terhadap negara (2) Korupsi (3) Penyuapan (4) Tindak pidana berat lainnya

16 (5) Perbuatan tercela 71 (6) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Usul pemberhentian berdasarkan alasan-alasan tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara ini dalam waktu 90 hari. Karena kewenangan ini menjadi suatu hal yang diwajibkan, apabila hakim konstitusi dengan sengaja menghambat pelaksanaan kewenangan dapat diberhentikan dengan tidak normal. 72 Selanjutnya bila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden bersalah, Dewan Perwakilan Rakyat meneruskan usul pemberhentian kepada Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai memutuskan apakah presiden dan/atau wakil presiden layak diberhentikan atau tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum dan membuktikan benar-tidaknya dugaan atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Wewenang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden ada pada institusi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses persidangan selanjutnya di Majelis Perwakilan Rakyat yang akan menentukan kemudian apakah presiden dan/atau wakil 71 Pasal 7B Ayat (1) dan Ayat (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun Pasal 23 Ayat 2E Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

17 presiden yang sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi bisa diberhentikan atau tidak. C. Alasan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Yang Diajukan Oleh Pemohon. Dalam hal mengajukan pengujian undang-undang bukan berarti apa yang diujikan langsung dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena Mahkamah Konstitusi memiliki pertimbangan-pertimbangan yang kuat, dimana terlebih dahulu harus lah menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan sebagaimana disebut dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-undang Mahkamah Kostitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 Ayat (1) Undangundang Mahkamah Konstitusi ( Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusanputusan berikutnya), harus memenuhi lima syarat yaitu: a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

18 b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam kasus ini Mahkamah Konstitusi menolak permohonan yang diajukan dari pada Pemohon dengan adanya beberapa alasan yang menurut Mahkamah Konstitusi telah menjadi alasan yang kuat untuk menolak permohonan tersebut. Dimana menurut Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) beserta penjelasan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terhadap Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon (orang tua Pemohon) maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon telah dirugikan, karena ketentuan-ketentuan telah memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas tanah hak milik yang selebihnya dari batas maksimum atau disebut tanah kelebihan tanpa ganti rugi maupun kompensasi apapun, karena perbuatan pidana yang telah dilakukan sebagaimana telah terbukti berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Subang tanggal 24 Maret 1981 Nomor 38/1979/Pidana/PN, Sebagaimana yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung

19 Republik Indonesia di dalam proses pemeriksaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon. Dengan perkataan lain ketentuan telah merampas dan/atau mengambil alih hak milik pribadi secara sewenang-wenang, karenanya ketentuan dianggap bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (4) UUD Karena itu, perlu dipertanyakan apakah benar Pemohon merupakan pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan uji materi Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 pada Mahkamah Konstitusi dengan dalil bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus (spesifik) dan setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena tanah yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah bekas tanah Pak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon yang merupakan selebihnya dari luas maksimum yang statusnya telah menjadi tanah negara, maka jelas tidak relevan lagi kepentingan Pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas ketentuan Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.Jadi, tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dilanggar dan atau Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dengan keberlakuan Undangundang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kecuali apabila status tanah tersebut telah beralih kepada Pemohon sebelum status tanahnya menjadi tanah negara.

20 Dengan kata lain Pemohon tidak mempunyai kualitas untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang mengingat Pemohon bukan sebagai pemilik tanah pertanian yang melebihi batas luas maksimum tersebut. Karena Pemohon mendalilkan adanya perampasan atas sisa tanah pertanian yang dianggap melampaui atau melebihi batas maksimal kepemilikan, yang dilakukan oleh Kejaksaan atas Putusan Pengadilan (Pengadilan Negeri Subang) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), tanpa merinci adanya kerugian yang timbul atas keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, maka Pemerintah juga mempertanyakan maksud dan kapasitas Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang, karena selain Pemohon tidak mempunyai hubungan hukum dengan tanah negara bekas tanah pertanian Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon yang melebihi batas luas maksimum, Pemohon ternyata juga telah menandatangani Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Rugi (STP3) atas tanah kelebihan batas maksimum tersebut. Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti Rugi (STP3) mengandung arti bahwa pemilik tanah pertanian yang melebihi batas luas maksimum telah secara sukarela memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, dalam arti menyerahkan haknya atas tanah kepada negara dan menjadi tanah (yang dikuasai) negara dengan hak untuk memperoleh ganti kerugian. Ketentuan pemberian ganti kerugian atas tanah pertanian yang selebihnya dari luas batas maksimum tersebut diatur di dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-undang

21 Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dengan penandatanganan STP3 tersebut maka status atau legal standing Pemohon mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 atas dasar dan alasan telah terjadi perampasan tanah milik Pemohon sehingga melanggar hak konstitusional sangat tidak jelas atau kabur dan membingungkan serta tidak mempunyai kekuatan hukum jelas hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon.. Selanjutnya dalam permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi Pemohon ternyata mendalilkan dasar dan alasan permohonan adalah agar Pemerintah membayar ganti rugi kepada Pemohon atas tanah pertanian yang selebihnya dari batas Iuas maksimum maka mekanisme untuk memperoleh ganti kerugian seharusnya dilakukan melalui mekanisme administratif dan atau melalui gugatan perdata. Dalam dalil-dalilnya juga Pemohon menyatakan bahwa sanksi yang diatur didalam Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah sanksi yang berat. Pengambilalihan (penyitaan) kelebihan luas tanah oleh negara bukan merupakan suatu sanksi yang sangat berat, karena dalam masalah kepidanaan sesuai dengan hukum pidana formil dan materiil, penyitaan/perampasan barang bukti untuk kemudian dimusnahkan atau dimanfaatkan adalah dimungkinkan. Dalam kasus tanah ini, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 juncto UUPA, tanah adalah berfungsi sosial untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,

22 maka tanah kelebihan dari kepemilikan maksimal seseorang warga negara Indonesia yang melanggar ketentuan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 disita untuk kemudian diredistribusikan kepada rakyat atau warga masyarakat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai pula dengan UUPA, ganti rugi dapat diberikan kalau tanah yang disita negara tersebut diserahkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, kalau tidak, maka tidak ada ganti rugi. Pemohon juga mendalilkan bahwa tidak adanya kepastian hukum dari pada Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 jelas telah memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) sehingga dalil Pemohon tidak dapat diterima. Kalau dalam praktik ada pemilik tanah pertanian tidak/belum melaporkan luasnya padahal dia mengetahui luasnya melebihi 20 hektar dan tidak/belum dikenakan sanksi pidana seperti orang tua Pemohon itu adalah masalah implementasi (penegakan hukum) undang-undang, bukan masalah konstitusionalitas norma undang-undang, sehingga bukan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil Pemohon yang mengatakan penyitaan tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimal yang boleh dimiliki adalah sanksi yang sangat berat tidak beralasan dan tidak dapat diterima.

23 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka apa yang menjadi dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon yang menyatakan telah timbul kerugian dan telah nyata-nyata tidak terjadi baik secara faktual maupun potensial.

BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 21 BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG A. Badan Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. UMUM

I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XV/2017 Mekanisme Pengangkatan Wakil Kepala Daerah yang Berhenti Karena Naiknya Wakil Kepala Daerah Menggantikan Kepala Daerah I. PEMOHON Dr. Ahars Sulaiman, S.H.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata I. PEMOHON Moch. Ojat Sudrajat S. II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014 I. PEMOHON 1. dr. Naomi Patioran, Sp. M (selanjutnya sebagai Pemohon I);

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-77 - - 78 - MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERUBAHAN KETIGA

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Yuda Kusumaningsih (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 POKOK BAHASAN Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 Wewenang Mahkamah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14 1 of 14 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017 Persentase Presidential Threshold Pada Pemilihan Umum I. PEMOHON Habiburokhman, SH., MH. Kuasa Hukum: Kris Ibnu T Wahyudi, SH., Hisar Tambunan, SH., MH.,

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Mas Soeroso, SE. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Wahyu Naga Pratala, SE. (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada I. PEMOHON Dani Muhammad Nursalam bin Abdul Hakim Side Kuasa Hukum: Effendi Saman,

Lebih terperinci

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 129/PUU-VII/2009 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, MA & MK Pengujian UU dan peraturan di bawahnya dalam satu atap I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIV/2016 Konstitusinalitas KPU Sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Pada Rezim Pemilihan Kepala Daerah Bukan Pemilihan Umum I. PEMOHON 1. Muhammad Syukur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri I. PEMOHON 1. Abda Khair Mufti (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Muhammad Hafidz (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota I. PEMOHON 1. Sutrisno, anggota DPRD Kabupaten Pati, sebagai Pemohon I; 2. H. Boyamin, sebagai Pemohon II. KUASA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Achmad Saifudin Firdaus, SH., (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Bayu Segara, SH., (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat Yang Dipilih Oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua Dan Ditetapkan Melalui Mekanisme

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold I. PEMOHON Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dalam hal ini diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana sebagai Ketua Umum

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan I. PEMOHON Nina Handayani selanjutnya disebut sebagai Pemohon; Kuasa Hukum: Dr. Youngky Fernando, S.H.,M.H,

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Puspaningrum *) Abstract : The Constitutional Court

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun I. PEMOHON Harris Simanjuntak II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini diwakili

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya I. PEMOHON 1. Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo, selaku Ketua Umum Partai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI), dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak I. PEMOHON Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak. Kuasa Pemohon: Drs. R.

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan

Lebih terperinci

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 27/PUU-XII/2014 Tugas Dan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Untuk Mengambilalih Dan Menjalankan Segala Hak Dan Wewenang Pemegang Saham Dalam Penanganan Bank Gagal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli

Lebih terperinci

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I; RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 72/PUU-XII/2014 Pembatasan Kewenangan Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik dalam hal Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris I. PEMOHON Tomson Situmeang,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi I. PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

a. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon b. Kewenangan Mahkamah Konstitusi perkara tersebut mengandung unsusr-unsur:

a. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon b. Kewenangan Mahkamah Konstitusi perkara tersebut mengandung unsusr-unsur: 1. Kriteria bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 terkait dengan DPT adalah pada kriteria formal dan kriteria material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA I. PEMOHON Abdul Wahid, S.Pd.I. Kuasa Hukum: Dr. A. Muhammad Asrun, SH., MH., Ai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu I. PEMOHON Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (Partai PPI), diwakili oleh Daniel Hutapea sebagai Ketua Umum

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 114/PUU-XII/2014 Syarat Peserta Pemilu I. PEMOHON 1. Song Sip, S.H., S.Pd., M.H., sebagai Pemohon I; 2. Sukarwanto, S.H., M.H., sebagai Pemohon II; 3. Mega Chandra Sera,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat I. PEMOHON 1. PT. Indikator Politik Indonesia, diwakili oleh Burhanuddin, selaku Direktur Utama, sebagai Pemohon I;

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 22/PUU-XIII/2015 Pertimbangan DPR Dalam Rangka Pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI Berkaitan Dengan Hak Prerogatif Presiden I. PEMOHON 1. Prof. Denny Indrayana,

Lebih terperinci

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak hari Selasa, tanggal 12 April

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh I. PEMOHON Ir. H. Abdullah Puteh. Kuasa Hukum Supriyadi Adi, SH., dkk advokat

Lebih terperinci