STUDI PERBANDINGAN PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLRES GORONTALO DAN KEJAKSAAN NEGERI GORONTALO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PERBANDINGAN PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLRES GORONTALO DAN KEJAKSAAN NEGERI GORONTALO"

Transkripsi

1

2 STUDI PERBANDINGAN PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLRES GORONTALO DAN KEJAKSAAN NEGERI GORONTALO Iraniasary tabi Pembimbing I: Dr. Fence m. Wantu, SH.,MH Pebimbing II: Dolot Alhasni Bakung, SH.,MH Jurusan ilmu hukum ABSTRAK Proses penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi Di Polres Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Gorontalo, Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Polres Kota Gorontalo melibatkan 4 (empat) orang personil. Jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani pada Tahun 2010 sampai Tahun 2013 yakni berjumlah 1 (satu) kasus. Sedangkan penanganan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Gorontalo melibatkan 3 (tiga) orang personil yang bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Jumlah kasus yang ditangani oleh ke jaksaan sejak Tahun 2010 sampai Tahun 2013 yakni berjumlah 10 (sepuluh) kasus Tindak Pidana Korupsi. Penanganan kasus tindak pidna korupsi di kejaksaan tidak berbeda jauh dengan penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ada di kepolisian. Tujuan penelitian yakni Untuk menganalisis dan mengidentifikasi proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Gorontalo dan untuk menganalisis perbandingan persamaan dan perbedaan proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian, proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Gorontalo yakni sudah berdasarkan ketentuan dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun dilihat dari kenyataan yang ada di masyarkat saat ini proses penyidikan masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Perkara korupsi yang ditangani cenderung bersifat lambat baik dari penegakan hukumnya an penegak hukum itu sendiri. Perbedaan proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Gorontalo yakni sama-sama berlandaskan pada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangakan perbedaanya yakni Jumlah personil penyidik, Jumlah kasus yang ditangani, Proses gelar perkara sebelum pelimpahan berkas ke penuntut umum, Faktor penghambat dalam melakukan penyidikan. Kata Kunci : Penyidikan, Korupsi, Tindak Pidana

3 PENDAHULUAN Dalam penanganan tindak pidana korupsi, tentunya pemerintah melibatkan beberapa penegak hukum yakni penyidik, penuntut umum dan hakim. Dalam tahap penyidikan tindak pidana korupsi yang berwewenang melakukan penyidikan adalah aparat keplisian, kejaksaan dan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK). Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan suatu tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan buktibukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut. penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Kepolisian Kota Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Gorontalo. Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Polres Kota Gorontalo melibatkan 4 (empat) orang personil. Jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani pada Tahun 2010 sampai Tahun 2013 yakni berjumlah 1 (satu) kasus. Penanganan tindak pidana korupsi diawali dengan penyelidikan terhadap informasi kasus korupsi yang diterima, hasil penyelidikan kemudian akan di publikasiakan dan akan dilanjutkan dengan proses penyidikan. Sebelum pelimpahan berkas perkara penyidikan ke jaksa penuntut umum, hasil penyidikan kemudian di publikasikan, yakni tim penyidik akan melakukan gelar perkara terhadap data-data yang diperoleh dalam penyidikan dengan mengundang pihak kejaksaan dan Badan Pengawas Keuangan. Sedangkan penanganan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Gorontalo melibatkan 3 (tiga) orang personil yang bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Jumlah kasus yang ditangani oleh ke jaksaan sejak Tahun 2010 sampai Tahun 2013 yakni berjumlah 10 (sepuluh) kasus Tindak Pidana Korupsi. Penanganan kasus tindak pidna korupsi di kejaksaan tidak berbeda jauh dengan penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ada di

4 kepolisian. Penaganan perkara korupsi juga diawali dengan tahap penyelidikan terhadap informasi-informasi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Hasil penyelidikan kemudian akan dipublikasikan untuk kemudian dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Dari hasil penyidikan akan dilakukan tahap gelar perkara antara tim Penyidik Tindak Pidana Korupsi dan Kepala Kejaksaan Negeri Gorontalo. Dasar hukum yang digunakan oleh penyidik kepolisian dalam menangani kasus tindak pidana korupsi sama halnya dengan dasar hukum yang digunakan dalam penganan tindak pidana korupsi yang ada di kejaksaan, yakni berdasarkan pada Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun prosedur penyidikan tindak pidana korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan terdapat perbedan yang sangat signifikan yakni diantaranya dalam hal jumlah kasus yang di tamgani 3 (tiga) tahun terakhir dan prosedur gelar perkara. Sebagai penyidik, tentunya pihak kepolisian dan kejaksaan juga memiliki cara tersendiri untuk melakukan segala cara agar perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani akan cepat terselesaikan selama cara tersebut tidak keluar dari ketentuan undang-undang yang diberlakukan. Dengan demikian kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi oleh masing-masing kedua instansi juga berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan yang telah diuraikan diatas menumbuhkan minat penulis untuk mengadakan penelitian dan pengkajian tentang Studi Perbandingan Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Polres Dan Kejaksaan Negeri Gorontalo METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian secara normatif. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis pendekatan secara kualitatif. Sumber bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum dn tersier. Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data yang tepat, maka metode

5 pengumpulan data yang digunakan adalah metode stratified random sampling. analisis data yang digunakan bersifat analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kepolisian Informasi tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi, dapat bersumber dari berbagai macam sumber informasi antara lain yakni berupa berita-berita yang ada di media cetak dan media elektronik, laporan oleh masyarakat secara langsung maupun laporan dari Lembaga Suwadaya Masyarakat (LSM). Setelah memperoleh keterangan dan beberapa bukti yang cukup, maka pihak kepolisian akan melakukan tindakan selanjutnya yakni dengan membentuk tim prnyelidik dan disertai dengan surat perintah penyelidikan untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana korupsi tersebut. Dalam surat perintah tersebut secara singkat dijelaskan tentang dugaan korupsi yang terjadi, susunan tim penyelidik dan asal informasi yang telah diperoleh. Dengan diserahkanya berkas hasil penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi ke pihak penyidik, maka akan dibentuk pula tim penyidik yang disertai dengan surat perintah penyidikan atau yang disingkat dengan P-8. Dalam surat tersebut dicantumkan berupa keterangan identiras lengkap dari tesangka, serta penjelasan secara singkat tentang dugaan tindak pidana korupsi dan susunan tim penyidik sebagaimana pada surat perintah penyelidikan. Dalam tahap penyidikan, penyidik akan melakukan rencana pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk dimintai keterangan dan dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sebelumnya penyidik akan mengeluarkan surat panggilan kepada tersangka, saksi dan bahkan saksi ahli tiga hari sebelum menghadap penyidik. Namaun bila dalam panggilan yang diajukan sebanyak tiga kali panggilan terdakwa belum juga dating menghadap, maka kepolisian akan melakukan jemput paksa. Setelah menerima keterangan dari saksi-saksi yang bersangkutan, tahap selanjutnya yakni pihak penyidik akan melakukan pemanggilan kepada trdakwa terkait pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi

6 yang dilakukannya. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan terdakwa akan dilanjutkan dengan penyitaan terhadap barang bukti berupa suratsurat dan dokumen-dokumen penting serta barang bukti lainya berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dianggap penting dalam penyidikan perkara pidana korupsi yang akan didahului dengan penerbitan surat izin penggeledahan dan penyitaan. Dari hasil pemeriksaan penyidikan, apabila keterangan-keterangan dari saksi-saksi dan terdakwa dianggap sudah benar dan alat bukti dinyatakan sudah lengkap, hasil penyidikan dicantumkan dalam bentuk laporan Berita Acara Pemeriksaan dan dikoordinasikan dengan apakah berkas perkara tersebut sudah benar-benar lengkap yang kemudian akan dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum (P21). Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan pihak pnyidik kejaksaan dapat memperoleh pengaduan laporan/informasi dari masyarakat yang mengetahui tentang duagaan adanya tindak pidana korupsi, dari media cetak surat kabar, dari media elektronik maupun dengan mencari sendiri kasus-kasus dugaan korupsi dengan mengutus intelijen. Dalam mencari informasi intelijen dari kejaksaan beroperasi cenderung melakukan secara tertutup maupun terbuka. Operasi tertutup artinya intelijen dalam mencari data dan keterangan dilakukan tanpa adanya publikasi dan tanpa member tahu kepada setiap orang atau pihak tertentu yang dimintai informasi tentang adanya tindak pidana korupsi. Sedangkan tertutup yakni intelijen mengambil data dan keterangan dengan cara memanggil pihak-pihak tertentu untuk dimintai informasi, namun hasil dari penyelidikan tetap dirahasiakan. Hasil penyelidikan kemudian akan dilampirkan dalam bentuk laporan, dimana laporan tersebut berisikan waktu dan tanggal dari penerimaan informasi, penjelasan tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi dan disertai dengan identitas dari si pengadu/pelapor dan penerima laporan. Dalam laporan tentang dugaan tndak pidana korupsi yang memiliki indikasi kuat bahwa informasi tersebut benar-benar telah terjadi perbuatan korupsi kemudian akan di tindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Namun apabila informasi tersebut dianggap belum melengkapi unsur-unsur

7 tentang adanya kerugian Negara, maka kejaksaan wajib mengembalikan laporan tersebut kepada intelijen untuk dilengkapi. Setelah laporan dianggap sudah lengkap, maka akan dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. tersebut dengan membentuk tim penyelidik yang kemudian disertai dengan dikeluarkannya surat perintah penyelidikan. Surat perintah penyelidikan bila telah diterbitkan, aka akan dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. Pada tahap ini tim penyelidik akan melakukan penelusuran perkara lebih lanjut apakah perkara tersebut benar-benar sudah mengandung unsure tindak pidana korupsi atau belum. Hal ini dapat diketahui dengan mencari dokumen-dokumen atau data-data yang dianggap penting dan alat-alat bukti lainya menurut ketentuan dalam undang-undang. Hasil penyelidikan yang sudah dianggap lengkap kemudian akan disusun dalam bentuk laporan oleh tim penyelidik kejaksaan dan kemudian hasil penyelidikan akan dipaparkan untuk dikoordinasikan dalam memberikan kesimpulan apakah hasil penyelidikan tersebut sudah dapat dilakukan penyidikan. Apabila dianggap sudah benar-benar lengkap, tim penyelidik kemudian menyerahkan langsung hasil penyelidikan tersebut kepada pihak penyidik kejaksaan untuk dilakukan tahap selanjutnya yakni tahap penyidikan perkara. Tahap penyidikan tidak berbeda jauh dengan tahap penyelidikan. Sebelum melakukan penyeidikan maka akan dibentuk tim penyidik yang kemudian akan disertai dengan penerbitan surat perintah penyidikan. Pada tahap ini tim penyidik akan melakukan panggilan terhadap saksi dan terdakwa untuk dimintai keterangan-keterangan perkara korupsi yang sedang dalam pemeriksaan. Dalam pemanggilan saksi dan tersangka tim penyidik kejaksaan akan memberikan surat panggilan kepada saksi dan terdakwa selambat-lambatnya tiga hari sebelum menghadap. Pemanggilan ini juga dapat dilakukan kepada saksi-saksi ahli untuk dimintai keterangan selanjutnya, dimana penaganan penyidikan ini tidak jauh berbeda dengan penanganan tindak pidana umum. Namun dalam panggilan pertama terdakwa tidak datang menghadap, maka akan dilakukan surat perintah panggilan ke dua. Pemanggilan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Apabila dalam panggilan yang ketiga terdakwa belum mengahadap juga. Kejaksaan akan melakukan jemput paksa terhadap terdakwa. Proses selanjutnya yakni tim

8 penyidik kejaksaan akan melakukan penyitaan dan penggledahan terhadap suratsurat penting dan harta benda yang ada sangkut pautnya dengan perkara kerugian Negara yang sedang ditangani. Sebelum melakukan penggledahan dan penyitaan, tim penyidik harus memiliki surat izin untuk melakukan penggledahan dan penyitaan sebagai bukti bahwa penggledahan dan penyitaan ini benar-benar dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana korupsi yang sedang berjalan. Setelah proses penyidikan sudah dianggap lengkap, maka data-data hasil pemeriksaan akan dicantumkan dalam bentuk Berita Acara Perkara (BAP) yang ditanda tangani oleh penyidik, saksi, dan terdakwa. Tahap selanjutnya yakni pemberkasan perkara yang kemudian dilaporkan kepada kepala kejaksaan negeri untuk di analisis dan diteliti lebih lanjut apakah kasus ini benar-benar merupakan kasus tindak pidana korupsi dan untuk membuat rencana dakwaannya. Dalam analisis tersebut akan ditentukan apakah kasus ini merupakan kasus tindak pidana korupsi, maka akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Namun apabila ditemukan tidak memiliki cukup bukti bahwa kasus ini bukan merupakan kasus tindak pidana korupsi, dengan sendirinya kasus ini batal demi hokum. Proses tuntutan perkara akan dihentikan sebagaimana dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a HUHAP dan akan dikeluarkan surat penetapan pemberhentian penyidikan (SP3). Apabila kasus tersebut ternyata merupakan kasus tindak pidana korupsi maka hasil penyidikan akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan dan akan dilimpahkan ke tahap persidangan. Perbandingan Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan Adapun proses penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan memiliki perbandingan baik dari persamaan dan perbedaan dalam melakukan pemeriksaan perkara korupsi. Dalam tahap proses penyidikan yang ada di kepolisian dan proses penyidikan yang ada di kejaksaan tidak jauh berbeda. Pemeriksaan penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan menggunakan langkah yang sama yakni dengan berdasarkan proses penyidikan yang sudah ditetapkan dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

9 dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Dengan demikian dasar hukum yang digunakan dalam penyidikan oleh kedua instansi tersebut yakni sama-sama mengacu pada Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun adapun perbedaan yang ditemui oleh penulis dari penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam hal ini mengenai struktur organisasi jumlah personil yang terlibat dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada instansi kepolisian Kota Gorontalo penyidik tindak pidana khusus bagian korupsi beranggotakan 4 (empat) personil dan pada umumnya struktur organisasi yang ada di kepolisia sipilih langsung oleh kapolres Gorontalodan bersifat tetap. Sedangkan struktur organisasi yang ada di Kejaksaan Negeri Gorontalo hanya beranggotakan 3 (tiga) personil dan tidak bersifat tetap sebab pada suatu waktu dapat berubah-ubah. Karena dalam instansi kejaksaan tidak ada perbedaan antara satu dan lainya semua berhak melakukan penyidikan selama orang tersebut telah di tunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri baik saat itu juga dan dipercayayi mampu dalam melakukan penyidikan perkara tindak pidana khusus terutama korupsi. Maka sejak itulah orang tersebut berkewenangan penuh dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana khusus. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kasus Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Polres Gorontalo sejak tahun 2010 sampai Tahun 2013 sebanyak 1 (satu) kasus, sedangkan jumlah kasus Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak Tahun 2010 sampai Tahun 2013 sebanyak 10 (sepuluh) kasus. Proses penyidikan perkara yang ada di kepolisian juga lebih membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan proses penyidikan yang ada di kejaksaan. Dalam penanganan penyidikan perkara di kepolisian membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan dan di kejaksaan membuthkan kurang lwbih minimal 6 bulan. Walaupun proses penyidikan tindak pidana tidak memiliki batas waktu yang tidak tetap seperti halnya pidana umum, namun dapat terlihat jelas bahwa penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo lebih banyak berperan dalam menangani kasus Tindak Pidana Korupsi di bandingkan penyidik Polres Gorontalo. Menurunnya peranan penyidik kepolisian dalam menangani perkara

10 Tindak Pidana Korupsi, tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang diantaranya adalah kesulitan dalam memperoleh data atau dokumen-dokumen asli pada saat penyidikan berlangsung. Sebab dalam Tindak Pidana Korupsi dokumen-dokumen asli tersebut merupakan salah satu alat bukti utama selain tersangka dan saksi. Selain itu faktor moral juga sangat mempengaruhi penegakan hukum, karena tindakan penegak hukum yang tegas terhadap hukum sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan suatu tindak pidana. Selain itu yang membedakan penyidikan yang ada di kepolisian dan kejaksaan yakni mengenai prosedur pelaksanaan gelar perkara. Dalam melakukan gelar perkara penyidik kepolisian mengundang kejaksaan dan pengacara dan instansi yang terkait khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan sbagai tolak ukur untuk menentukan kesimpulan apakah perkara tersebut layak dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau akan di berhentikan dalam hal ini perkara bisa saja ditutup jika ditemui perkara tersebut ternyata tidak mengakibatkan adanya kerugian Negara. Sedangkan dalam lingkungan kejaksaan, gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak mengundang kepolisian, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hanya dilakukan di kalangan jaksa saja. Sebab dalam perhitungan kerugian Negara, penyidik kejaksaan menyerahkan langsung kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan akan mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila dalam penyidikan kasus tindak pidana mengalami kendala dalam menentukan jumlah kerugian uang Negara, sehingga kejaksaan membutuhkan bantuan audit dari BPK. Dalam melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik, kepolisian dan kejaksaan tentunya memiliki caracara tersendiri untuk mempercepat penyidikan agar perkara korupsi tersebut cepat terselesaikan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pastinya dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, kedua instansi tersebut sering mengalami kendalakendala atau hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses penyidikan perkara. Hal ini juga dapat memberikan perbedaan proses penyidikan perkara korupsi yang ada di kepolisian dan di kejaksaan.

11 Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik kepolisian Kota Gorontalo yang berhasil di wawancarai oleh penulis yakni : 1. Menemukan data-data atau dokumen-dokumen asli 2. Membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu 3. Untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di luar wilayah Gorontalo. Hambatan-hambatan inilah yang sering ditemui oleh penyidik kepolisian dalam mengusut perkara tindaak pidana korupsi, sebab pada masaalah pertama, untuk menemukan data-data dan dokumen-dokumen asli biasanya pelaku-pelaku yang terkait dengan sengaja menghilangkannya sebelum proses penyelidikan dan penyitaan dilakukan. Contoh kecilnya yakni data-data yang terrdapa di dalam computer. Bisa saja langsung dihapus sehingga data-data tersebut hilang. Kendala yang kedua yang dapat menyebabkan proses penydikan menjadi lambat yakni membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu. sebab dalam melakukan pemeriksaan, yang menjadi alasan utama agar pejabat tersebut tidak diperiksa yakni karena tugas keluar daerah dengan waktu yang tidak jelas. Sehingga penyidik harus menunggu waktu yang lama untuk melakukan pemeriksaan. Ketiga yang menjadi kendala kepolisian dalam melakukan penyidikan yakni keterangan ahli yang berada diluar daerah. Kesulitannya yaitu untuk mendatangkan saksi ahli untuk dimintai keterangan-keterangan tentang kasuskasus korupsi yang sedang ditangani. Demikian juga pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak jauh berbeda dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kepolisian yang ada di kepolisian. Adapun kendala-kelndala yang sering dihadapi oleh penyidik kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu : 1. Alat bukti 2. Saksi 3. Terdakwa

12 4. Kurangnya personil kejaksaan 5. Lamanya perhitungan kerugian Negara Dalam hal alat bukti yang menjadi kendala adalah bahwa alat bukti tersebut sering ditemukan hilang oleh jaksa untuk membantu proses penyidikan baik itu alat bukti yang sengaja dihilangkan oleh terdakwa maupun alat bukti yang sudah habis atau tidak sepenuhnya habis dipakai oleh terdakwa, sehingga untuk mendapatkan keterangan alat bukti tersebut jaksa melakukan upaya paksa terhadap saksi yang berkaitan terhadap alat bukti tersebut untuk menggantikan keterangan-keterangan yang membantu proses penyidikan. Mengenai saksi yang menjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi adalah bahwa saksi yang berada di luar daerah. Dalam memperoleh keterangan saksi, penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo harus melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan kejaksaan luar di mana saksi berada. Koordinasi ini juga memakan waktu cukup lama melihat kesibukan jaksa luar. sering saksi juga tidak ditemukan berada di tempat pada saat akan di temui, sehingga penyidik kejaksaan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh keterangan saksi tersebut. Kendala lain yaitu mengenai terdakwa yang sering juga memberika data dan keterangan yang berbelit-belit, terdakwa sering dalam keadaan sakit apabila dilakukan penyidikan terhadap dia sehingga memperlambat proses penyidikannya dan terdakwa sering melarikan diri apabila dilakukan penyidikan terhadap dia. Sehingga jaksa melakukan upaya yaitu jaksa melakukan pembantaran terhadap terdakwa yang sakit untuk di rawat dirumah sakit tetapi tidak mengurangi masa tahanannya dan melakukan pengejaran untuk menangkap terdakwa yang melarikan diri dengan melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian. Kurangnya personil penyidik kejaksaan juga sangat mempengaruhi proses penyidikan. personil Kejaksaan Negeri Gorontalo yang bergerak dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi hanya berjumlahkan tiga personil. Ketiga personil ini selain sebagai penyidik mereka juga berperan sebagai penyelidik. Sehingga penyidik kejaksaan merasa kesulitan karena selain untuk melakukan penyelidikan mereka juga harus ekstar bekerja keras melakukan penyidikan dengan berbagai kendala-kendala selalu di temukan dilapangan. Perhitungan

13 kerugian Negara yang membutuhkan waktu yang cukup lama juga sering menjadi hambatan proses penyidikan tindak pidana korupsi. Sebab perhitungan kerugian negar merupakan inti dari pemeriksaan perkara korupsi. Karena suatu perkara dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi apabila tindakan tersebut dapat merugikan keuangan Negara ataupun daerah. Sehingga dalam melakukan perhitungan kerugian Negara harus benar-benar dialkukan dengan teliti walaupun harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Adapun upaya yang dilakukan untuk mempercepat penyidikan oleh penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi yakni dengan melakukan kerjasama dan saling koordinasi satu sama lain. Baik dari kepolisian kekejaksaan ataupun dari kejaksaan ke kepolisian. Selain itu, sangat di perlukan juga partisipasi dari seluruh kalangan baik dari instansi-instansi yang terkait dan bahkan masyarat. Dilihat dari sudut pandang pendekatan hukum, dasar hukum yang digunakan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup memadai. Karena sudah diberlakukannya sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti korupsi. Antara lain Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan saat ini sudah diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain dari undang-undang tersebut masih juga diberlakukan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negri Sipil. Dengan mengaacu pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1989, maka subjek hokum yang diatur menyangkut seruh penyelenggara negarayang berasal dari lembaga tertinggi Negara, lembaga tinggi Negara sampai gubernur, walikota, bupati, Pemimpin Proyek (PIMPRO), direksi badan usaha milik Negara/Daerah (BUMN/D), jaksa dan hakim. Seluruh

14 perangkat hukum yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut sudah sangat kuat untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi. Namun dalam praktiknya, permasalahan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan hokum semata-mata. Karena penyakit ini sudsash menyebar luas keseluruh tatanan social dan pemerintahan hampir di banyak Negara. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan tidak hanya semata-mata bersifat represif, tetapi juga harus bersifat preventif dan rehabilitative. Pendekatan preventif yang ampuh adalah antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan baik ditingkat pusant dan ditingkat daerah. Tanpa langkah preventif yang dimaksud maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi gejala saja dan bukan menghancurkan akar penyebabnya yang tumbuh subur di kalangan masyarakat. KESIMPULAN 1. Proses penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang ada di Polres Gorontalo dan penyidikan yang ada di Kejaksaan Negeri Gorontalo sudah berjalan berdasarkan ketentuan hukum yang ada yakni KUHAP. Penanganan tindak pidana korupsi diawali dengan penyelidikan terhadap informasi kasus korupsi yang diterima, hasil penyelidikan kemudian akan di publikasiakan dan akan dilanjutkan dengan proses penyidikan. Sebelum pelimpahan berkas perkara penyidikan ke jaksa penuntut umum, hasil penyidikan kemudian di publikasikan, yakni tim penyidik akan melakukan gelar perkara terhadap datadata yang diperoleh dalam penyidikan sebelum dilimpahkan kejaksa penuntut umum. Namun apabila dilihat dari kenyataan yang ada, proses penyidikan masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Perkara korupsi yang sementara ditangani cenderung memakan waktu lama. Baik faktor penegak hukum yang kurang maksimal maupun faktor dari penegak hukum itu sendiri yang dengan sengaja memperlambat kasus tersebut. 2. Perbandingan proses penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Polres Gorontalo dan di Kejaksaan Negeri Gorontalo yakni dari segi persamaannya, proses

15 penyidikannya sama-sama berlandaskan pada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan perbedaan proses penyidikannya adalah :. Jumlah personil penyidik a. Jumlah kasus yang ditangani b. Proses gelar perkara sebelum pelimpahan berkas ke penuntut umum c. Faktor penghambat dalam melakukan penyidikan Daftar Pustaka Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Percetakan Negara RI. Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: kencana media group Kitab Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. tua. Bahkan korupsi dianggap hampir sama kemunculanya dengan masalah

BAB I PENDAHULUAN. tua. Bahkan korupsi dianggap hampir sama kemunculanya dengan masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi adalah masalah yang sudah cukup lama lahir dimuka bumi ini. Pada umumnya diakui bahwa korupsi adalah problem yang berusia tua. Bahkan korupsi dianggap hampir

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan 4.2 Sejarah Kejaksaan Negeri Gorontalo Kejaksaan di Gorontalo telah ada sejak zaman Belanda, bersamasama dengan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5 Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5.1 Kewenangan Penyidikan oleh BNN Dalam melaksanakan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Umum Tindak pidana korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan No.655, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koordinasi. Aparat Penegak Hukum. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016 TENTANG

NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016 TENTANG PERATURAN BERSAMA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki peranan yang sangat vital, terutama dalam hal penuntutan perkara pidana. Selain berperan sebagai

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : KEP Nomor : KEP- IAIJ.

KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : KEP Nomor : KEP- IAIJ. KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : KEP- 1 11212005 Nomor : KEP- IAIJ.A11212005 TENTANG KERJASAMA ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N 4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset 3.10 Penelusuran Aset Harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan merupakan motivasi nafsu bagi tindak kejahatan itu sendi. Ibarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* *

TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Sulistyo Utomo, SH* * TUMPANG TINDIH KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Sulistyo Utomo, SH* * Abstraksi Korupsi adalah sesuatu yang sangat sulit dihilangkan di Indonesia. Tetapi, bukan berarti pemerintah tidak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA http://welcome.to/rgs_mitra ; rgs@cbn. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG S A L I N A N BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENINDAKAN TERHADAP PELANGGARAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN BUPATI OLEH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 7 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah merasuk kedalam lingkungan instansi pemerintahan, hampir disemua instansi pemerintahan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti pemalsuan Kartu Keluarga, KTP ganda, Akta Kelahiran ganda, dan

BAB I PENDAHULUAN. seperti pemalsuan Kartu Keluarga, KTP ganda, Akta Kelahiran ganda, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang tidak merata.

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL. Sistem Penanganan Pengaduan. Tindak Pidana Korupsi.

BERITA NEGARA. BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL. Sistem Penanganan Pengaduan. Tindak Pidana Korupsi. No.95, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL. Sistem Penanganan Pengaduan. Tindak Pidana Korupsi. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

2 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembar

2 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1846, 2014 BSN. Pelanggaran. Sistem Pelaporan. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM PELAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. tindakan cyber bullying dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. tindakan cyber bullying dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peranan Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menanggulangi tindakan cyber bullying dapat dikemukakan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

2 Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggar

2 Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1269,2014 KEMENHUT. Pengaduan. Penyalahgunaan Wewenang. Korupsi. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.63/MENHUT-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik 1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci