BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Perkawinan Menurut Hukum Adat Pengertian Hukum Adat Sebagai orang pertama yang menimbulkan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan dan menempatkan hukum adat berkedudukan sejajar dengan hukum lainnya, Van Vollenhoven dalam Hilman Hadikusuma (1980 : 26) memberikan pengertian tentang hukum adat sebagai aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Selanjutnya maka dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksudkan adalah adat yang mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan apabila dilanggar maka sipelanggar akan mendapat ancaman dari masyarakat adat. Kemudian maka dikatakan adat dikarenakan tidak dikodifikasikan artinya tidak dihimpun dalam suatu kitab perundangundangan yang teratur menurut hukum barat. Hukum adat menurut Soerjono Soekanto (2006 : 18) adalah keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Dan menurut Ter Haar (dalam Sri Harini D, 2006 : 18) hukum adat merupakan 10

2 keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para perangkat hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaanya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Sedangkan menurut Yulies Tiena Masriani (2004 : 134) hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan. Dengan kata lain, Hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai aturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukun diantara manusia atau orang dalam pergaulan didalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu bersifat batiniah dan jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercaya sejak turun-temurun atau bahkan sejak kecil sampai meninggalnya seseorang. Dimana ada masyarakat, disitu ada Hukum adat dan Hukum Adat itu senantiasa timbul dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara dan pandangan hidup yang keseluruhanya merupakan kebudayaan masyarakat dimana tempat hukum adat itu berlaku. F.D Holleman dalam Iman Sudiyat (1978 : 30), pidato pelantikan/pengukuhan menjadi Guru Besar yang berjudul De Commune Trek in het Indonesische Rechtleven (Corak Kegotong- royong didalam kehidupan hukum Indonesia), menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia yang hendaknya dipandang sebagai kesatuan : 11

3 1) Sifat Komun (commuun) Sifat komun adalah sifat yang mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan diri sendiri. Hal kedua dari dasar alam pikiran dalam hukun adat adalah suatu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan, lebih diutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individual. Masyarakat, desa/dusun yang senantiasa memegang peranan yang menentukan, yang pertimbangan dan keputusannya tidak boleh dapat di sia-siakan, keputusan desa adalah berat, berlaku terus dan dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi dengan hormat dan khidmat. 2) Sifat konkrit (Visual) Hukum adat bercorak serba konkrit, serba jelas, artinya hubungan-hubungan hukum yang dilakukan tidak serba tersembunyi atau samar-samar, antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata. Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian itu baru terjadi jika jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual telah menyerakan barang yang dijualnya. Hukum adat tidak membenarkan berlakunya hubungan-hubungan hukum yang samar-samar, yang tidak nyata (abstrak) seperti hukum barat, misalnya suatu jual beli sudah terjadi walaupun barang belum 12

4 diserahkan dan harganya belum dibayar, begitu pula dalam hukum adat hubungan pria dan wanita sebelum terjadi perkawinan pria dan wanita tidak boleh campur sebagai suami isteri sebagaimana dikalangan orangorang barat. 3). Sifat Contant (tunai) Biasanya dalam masyarakat Indonesia transaksi itu bersifat tunai (contant), yaitu prestasi dan kontra prestasi dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga. Sifat tunai mengandung pengertian bahwa dalam suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Dengan demikian dalam hukum adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang-terima secara contant itu adalah diluar akibat-akibat hukum dan memang tidak bersangkut-paut atau bersebab-akibat menurut hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud yang telah selesai seketika itu juga adalah suatu perbuatan hukum yang dalam arti yuridis berdiri sendiri. Dalam arti urutan kenyataan-kenyataan, tindakan-tindakan sebelum dan sesudah perbuatan yang bersifat contant itu mempunyai arti logis terhadap satu sama lain. Contohnya dalam hukum adat adalah jual beli lepas, perkawinan jujur. 13

5 4) Sifat Religio- Magis (magis-religius) Sifat Religio- Magis (magis-religius) adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berfikir seperti pralogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain. Kuntjaraningrat dalam Soleman Biasane T (1981 : 44), alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Kepercayaan kepada makluk makluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati seluruh alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda. b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapar dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa dan suara yang luar biasa. c. Anggapan kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracth dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib. d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan Pengertian Perkawinan Adat Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia maka setiap daerah mempunyai hukum adat yang pengertiannya tentu mempunyai kesamaan 14

6 dan perbedaan dengan daerah lainnya. Hal itu di sebabkan karena tiap-tiap daerah mempunyai aturan-aturan di bidang hukum adat yang mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Dalam kaitannya dengan pengertian perkawinan menurut hukum adat (Drajen Saragih, 1984:123) mengemukakan bahwa: Didalam kehidupan manusia kita akan melihat kenyataan-kenyataan di mana seorang pria dan seorang wanita untuk mejalankan kehidupan bersama yang mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan sebagai suami isteri. Kehidupan bersama yang demikian itu dalam kehidupan sehari-hari mempunyai akibat-akibat hukum di mana hubungan yang demikian itu di namakan hubungan perkawinan jikalau hubungan itu sah menurut hukum. Sedangkan menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero (1989 : 122) perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masingmasing. Malahan dalam hukum adat, perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapatkan perhatian dan di ikuti oleh arwah-arwah leluhur dari kedua bela pihak. 15

7 Sesuai dengan penjelasan di atas maka persekutuan hidup bersama antara seorang pria dan dengan seorang wanita yang di lakukan secara sah di namakan perkawinan dimana perkawinan dalam masyarakat merupakan peristiwa yang sangat penting dan sakral sehingga pelaksanaannya menyangkut kedua calon mempelai, keluarga atau kerabat dan masyarakat luas. Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 8 dan 9) hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi penjelasan di atas diperhatikan maka memang perkawinan dalam hukum adat mempunyai arti yang luas sekali. Hal ini disebabkan karena perkawinan tidak menyangkut suami dan istri tetapi juga hubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan orangorang yang telah meninggal. Perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang bersangkutan. Akibat hukum itu telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya pelamaran sebelum perkawinan. Setelah terjadi perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. 16

8 Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perkawinan adat adalah suatu peristiwa yang penting di mana seorang pria dan seorang wanita untuk mejalankan kehidupan bersama yang mewujudkan kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan sebagai suami isteri. Dengan demikian, maka suatu perkawinan tanggung jawabnya berat sebab suami dan isteri selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan keluarganya, juga terhadap orang banyak (masyarakat) dan Tuhan Tujuan Perkawinan Adat Hilman Hadikusuma (1990 : 23) mengemukakan tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat salah satunya adalah melanjutkan keturunaan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Disamping itu juga untuk mempersatukan dua keluarga besar dari pihak pria dan wanita. Dengan adanya perkawinan tersebut maka diharapkan kelanjutan hidup umat manusia dimuka bumi akan berkembang terus dan juga melalui perkawinan dua kelompok yang tadinya tidak merupakan satu keluarga menjadi akrab, karena sudah satu melalui perkawinan diantara salah satu dari keluarganya.tujuan perkawinan menurut adat adalah untuk dapat melanjutkan keturunan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal serta berguna bagi kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai. Dengan demikian maka perkawinan bukan semata-mata urusan dan kepentingan orang tua dan kekerabatan. 17

9 Sahnya Perkawinan Adat Sahnya perkawinan yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma (1990: 27) menurut hukum adat Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Dan suatu perkawinan baru diakui sah oleh anggota masyarakat entah itu masyarakat tradisonal maupun masyarakat modern apabila pelaksanaan perkawinan tersebut sah menurut pandangan mereka. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan perkawinan yang tidak sah oleh masyarakat dianggap sebagai suatu aib dalam keluarga. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib adat atau agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat setempat Syarat Perkawinan Adat Menurut hukum adat yang walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya. Maka persetujuan para pihaklah yang sangat berperan. Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas usia untuk melangsungkan perkawinan (Hilman Hadikusuma, 1990 : 46). Sedangkan Iman Sudiyat, (1981 : 1) mengemukakan syarat perkawinan apabila wanita sudah menstruasi dan pria sudah kuat gawe, pemberian mas kawin dari pihak pria serta bersedia membantu orang tua. 18

10 Syarat-syarat tersebut diatas pada umumnya berlaku di berbagai daerah Indonesia namun tetap pada syarat-syarat yang unik setiap daerah yang masih kuat hukum adatnya. Hal ini disebabkan karena hukum adat setempat sudah menyatu dengan pribadi-pribadi tradisi dari masing-masing daerah dalam anggota masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian maka syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh sebagian besar anggota masyarakat kita di berbagai pelosok daerah sesuai dengan adat-istiadat dan kepentingannya. Dalam kaitannya dengan penjelasan diatas bangsa Indonesia dalam berbagai daerah dan adat suku bangsa terdapat syarat-syarat yang berbeda-beda yang harus dipenuhi karena banyak tergantung pada agama dan hukum adat setempat Larangan Perkawinan Adat Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 63) dimana Segala sesuatu yang dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika dilakukan maka keseimbangan masyarakat akan terganggu. Maka dari situlah ada larangan perkawinan bagi hukum adat Karena hubungan kekerabatan dimana melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita yang mana satu keturunan marga, dan seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan anak saudara lelaki ibunya, atau larangan antara pria dan wanita yang besaudara kandung ayahnya, begitu pula dilarang jika bersaudara misan. 19

11 Sistem Perkawinan Adat Dalam sistem perkawinan adat yang dikemukakan Yulies Tiena Masriani (2004: 137) dikenal ada tiga sistem, yaitu sebagai berikut : 1. Sistem Endogami Dalam sistem ini seorang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. 2. Sistem Exogami Dalam sistem ini seseorang diharuskan kawin dengan orang luar suku keluarganya. Sistem ini demikian terdapat misalnya di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan, Buru, dan Seram. 3. Sistem Eleutherogami Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dengan sistem endogami dan exogami. Larangan yang terdapat dalam sistem ini menurut Soerojo Wignjodipuro (1983 : 132) adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena : a) Nasab(turunan yang berdekatan), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. b) Musyaharah(per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak tiri. 20

12 Sistem eleutherogami paling banyak terjadi di Indonesia misalnya di Aceh, Sumatra Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Selawesi selatan, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa Madura. Sistem perkawinan tidak dapat dipisahkan dengn sifat kekeluargaan yang ada. Di Indonesia terdapat tiga sistem kekeluargaan, dalam garis besarnya sistem kekeluargaan dibedakan menjadi tiga sistem yaitu. 1. Sistem Patrilineal(kebapaan) Sistem Patrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana keturunan diperhitungkan menurut garis bapak yang berarti melalui Ayah menghubungkan diri kepada keturunan-keturunan leluhurnya sehingga menimbulkan clan(marga), maka sistem ini disebut kebapaan. Dalam sistem kekeluargaan kebapaan bentuk perkawinan yang dijunjung tinggi adalah perkawinan jujur. 2. Sistem Matrilineal(keibuan) Sistem Matrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan dimana keturunan di tarik dari garis ketunggalan leluhur ibu, sehingga disebut sistem keibuan. Dalam kekeluargaan yang bersistem keibuan ada perkawinan yng disebut kawin Bertandang dan kawin Berkunjung atau kawin Bertamu. 3. Sistem Parental/Bilateral(keibuan kebapaan) Sistem Parental/Bilateral adalah suatu sistem kekeluargaan dimana garis keturunan ditarik menurut garis ibu dan bapak sehingga disebut sistem keibuaan-kebapaan. 21

13 Cara Terjadinya Perkawinan Menurut Hukum Adat Menurut Ter Haar (1953 : ) hukum adat cara terjadinya perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut : 1) Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar) Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki laki) mengajak pihak lain (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya di ungkapkan dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat dan orang tua. 2) Perkawinan Lari bersama dan Bawa Lari Perkawinan lari bersama adalah perkawinan yang lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan secara formal, Atau kedua mempelai (laki laki dan perempuan) lari bersamaan tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan lari bersama atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, dari pihak orang tua dan saudarasaudara atau keluarga. Perkawinan bawa lari adalah kadang-kadang lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain, terkadang membawa lari perempuan dengan paksaan. 3) Perkawinan Mengabdi 22

14 Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang pembayarannya di tunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah mulai hidup berkumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuanya sampai mas kawinnya terbayar lunas 4) Perkawinan Bertukar Perkawinan bertukar adalah perkawinan yang dilakukan pada akhirnya, bila seorang lelaki dari sesama clan meneruskan perkawinan saudara laki-laki yang telah mati. Dan seorang perempuan mengganti perkawinan saudara perempuannya yang telah mati, semuanya tanpa pembayaran jujur. Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat cara terjadi perkawinan yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma (2003 : ) yaitu sebagai berikut : 1) Perkawinan Jujur Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang atau barang jujur, dilakukan oleh pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada mempelai calon isteri. Sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. 2) Perkawinan Semanda 23

15 Perkawinan semanda ini dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu (wanita), merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam peerkawinan semanda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan sebagaimana berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria. 3) Perkawinan Bebas (Mandiri) Perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya, dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah tangga. Kedudukan dan hak suami isteri seimbang sama, suami sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan isteri sebagai ibu keluarga atau rumah tangga. 4) Perkawinan Campuran Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi di antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan atau berbeda agama yang dianut. 5) Perkawinan Lari Sistem perkawinan lari dapat di bedakan antara perkawinan lari bersamaan dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersamaan adalah perbuatan belarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita), cara melakukan belarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah di tentukan melakukan lari bersama. 24

16 Perkawinan lari paksaan adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut tata-tertib adat belarian. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cara terjadinya perkawinan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia ada berbagai macam atau cara untuk melakukan suatu perkawinan atau dalam mencapai suatu perkawinan adalah melalui perkawinan pinang, perkawinan jujur, perkawinan lari, perkawinan bebas dan lain-lain sebagainya Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun Perngertian Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikenal dengan Undang-Undang perkawinan, dimana telah memberikan defenisi atau pengertian tentang apa itu perkawinan yang di bahas dalam Bab. I pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah jelas mendefenisikan perkawinan yang berbunyi sebagai berikut : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam penjelasan di atas disebutkan bahwa negara yang berdasarkan pada Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan 25

17 agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani dimana mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan. Berdasarkan definisi perkawinan di atas, Endang Sumiarti (2004 : 1 dan 2) mengadopsi pendapat R. Soetojo Prawirohamidjojo bahwa pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengandung 5 unsur yaitu : 1. Ikatan lahir batin. Merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, hal ini disebutkan sebagai hubungan formal. Ikatan perkawinan adalah suci seperti yang diajarkan oleh agama masing-masing. 2. Antara seorang pria dan seorang wanita. Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Perkawinan antara seorang pria dan seorang pria atau seorang wanita dengan seorang wanita tidak mungkin terjadi. Unsur kedua mengandung asas monogami. 3. Sebagai suami isteri. Ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat-syarat intern maupun syarat eksternnya. 4. Tujuan perkawinan. 26

18 Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Keluarga adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang merupakan sendi dan dasar susunan masyarakat Indonesia. Membentuk keluarga yang bahgia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir batin atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting. Dari rumusan di atas, maka jelas sekali bahwa perkawinan tidak hanya merupakan ikatan lahir saja, atau batin saja, tetapi merupakan ikatan keduaduanya dalam hubungan perkawinan Tujuan Perkawinan Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu berarti bahwa perkawinan tidak hanya dilangsungkan untuk sementara waktu atau 27

19 jangka waktu tertentu saja yang telah direncanakan, dan tidak boleh diputuskan begitu saja sebab perkawinan tidak diperkenankan dilangsungkan untuk sementara waktu saja. Yang dimaksud keluarga ialah satu keastuan yang terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia (Hilman Hadikusuma, 1990 : 22) Sahnya Perkawinan Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 2 ayat 1, yang menyatakan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan tidak hanya suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu agar lebih menjamin tercapainya tujuan perkawinan dan harus dipenuhi sahnya suatu perkawinan tersebut, maka setiap orang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun Syarat Perkawinan Sebagaimana yang dikemukakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah 28

20 membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu agar lebih menjamin tercapainya tujuan perkawinan tersebut, maka setiap orang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 sampai pasal 11 adalah sebagai berikut : 1. Adanya persetujuaan kedua mempelai (pasal 6 ayat 1). 2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2). 3. Adanya calon mempelai pria sudah mencapai usia 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1). 4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang akan kawin tidak boleh ada hubungan darah (pasal 8 huruf a-f). 5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal 9). 6. Bagi suami isteri yang sudah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (pasal 10). 7. Seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (pasal 11 ayat 1). 29

21 Larangan Perkawinan Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilarang ialah antara dua orang yang : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4) Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan. 5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Mempunyai hubungan yang erat oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin. Dan selanjutnya ditambah larangan dalam pasal 9 yang berbunyi yaitu seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2yaituPengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seoarng apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pasal 30

22 4Ayat (2) Pengadilan dimaksudkan data ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, isrti mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan larangan dalam pasal 10 menyatakan apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari bersangkutan tidak menentukan lain. Larangan dalam pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin cerai berulang kali, agar suami dan isteri saling menghargai dan mengurus rumah tangga yang tertib dan teratur. Dengan demikian larangan perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 menyangkut beberapa larangan, yaitu larangan terhadap yang ada hubungan darah, hubungan semenda, yang ada hubungan susuan, hubungan periparan, dan yang ada hubungan dengan larangan agama, dan tidak disebutkan adanya larangan menurut hukum adat kekerabatan. Hal ini nampaknya terserah kepada masyarakat adat tersebut untuk mempertahankan adat-istiadatnya. Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 6), Undang-Undang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. 31

23 c. Perkawinan harus dicacat menurut peraturan perundang-undangan. d. Perkawinan berasas monogami terbuka. e. Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan. f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 dan bagi wanita 16 tahun. g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka sidang pengadilan. h. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai asas-asas atau prinsip -prinsip perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan mempunyai tujuan dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal, tetapi perkawinan haruslah sah menurut hukum agama, kepercayaannya dan harus dicacat menurut peraturan perundang-undangan. Perkawinan juga harus sesuai dengan batas usia yang telah ditetapkan dan perceraian suatu perkawinan dilakukan dimuka sidang pengadilan. 32

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau

II TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau 1 II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Konsep Pelaksanaan Adat Perkawinan Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki dan senantiasa menggunakan adat-istiadat

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN ADAT DAN PERCERAIANNYA PADA MASYARAKAT ADAT TOBATI DI KOTA JAYAPURA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN ADAT DAN PERCERAIANNYA PADA MASYARAKAT ADAT TOBATI DI KOTA JAYAPURA 52 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN ADAT DAN PERCERAIANNYA PADA MASYARAKAT ADAT TOBATI DI KOTA JAYAPURA Oleh : Rio Aji Kusuma Mahasiswa Program Strata Satu Fakultas Hukum Universitas YAPIS Papua ABSTRAK

Lebih terperinci

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H.

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H. ÉÄx{M Joeni Arianto Kurniawan, S. H. Perkawinan dlm Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan dunia gaib HAZAIRIN: Perkawinan mrp rentetan perbuatanperbuatan magis, yg bertujuan utk menjamin ketenangan,

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga dan Fungsi Keluarga Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling A. Latar Belakang Masalah Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling membutuhkan dan cenderung ingin hidup bersama. Berdasarkan sifatnya manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2

SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2 CORAK & SISTEM HUKUM ADAT OLEH: 1 SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2 Soepomo (1996): Sistem hukum adalah kebulatan aturan-aturan yang berdasarkan suatu kesatuan alam pikiran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas membentang dari kota Sabang Provinsi Nanggro Aceh Darussalam hingga kota Merauke Provinsi Papua. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Dengan demikian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI MODUL 8 UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN Hukum Perdata Dan Hukum Bisnis OLEH : M. BATTLESON SH DESKRIPSI : Hukum Perdata mengatur hubungan antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti membutuhkan manusia lain dalam segala aspek kehidupannya. Manusia adalah makhluk sosial dalam arti bahwa manusia tidak bisa hidup seorang diri dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di

BAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di BAB I PENDAHULAUAN 1.1 Latar Belakang Kemajemukan suku dan budaya yang berada di Indonesia menunjukkan kepada kita selaku warga negara dan masyarakat dunia bahwa indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Persepsi Persepsi pada dasrnya adalah proses kognitif yang dialami seseorang dalam memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Begawai Pernikahan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh : PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK A. Alasan-alasan Pengajuan Izin Perceraian Pegawai Negeri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 974 TENTANG P E R K A W I N A N Menimbang : Mengingat: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam perkawinan, sudah selayaknya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

Rena Megawati Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan ABSTRAK

Rena Megawati Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan   ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEABSAHAN PERKAWINAN PARIBAN DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Rena Megawati Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Presiden Republik

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda hanyalah sifat atau tingkat perubahannya. Perubahan pada masyarakat ada yang terlihat dan ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya. Dengan penduduk lebih dari 210 (dua ratus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawin adalah perilaku mahluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar manusia berkembang biak. Oleh karena itu perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki beranekaragam suku bangsa, tentu memiliki puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Manusia dilahirkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain,

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D 101 09 047 ABSTRAK Tulisan ini mengangkat 3 masalah utama, yaitu (a) Bagaimanakah Status Hukum dan Hak Mewaris

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci