LAPORAN PENELITIAN EKSEKUSI JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN PENELITIAN EKSEKUSI JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET"

Transkripsi

1 LAPORAN PENELITIAN EKSEKUSI JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET PENELITI Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn ( ) PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2015

2 EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH KREDITUR PREFEREN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996 DAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1998 Abstrak Pelaksanaan eksekusi jaminan hutang oleh kreditur preferen terhadap debitur pailit terkait dengan ketentuan pasal 21 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 (UUHT) dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (UUK). Menurut UUHT, kreditur preferen berhak melakukan eksekusi jaminan hutang atas kekuasaan sendiri, tanpa masa penangguhan dalam penguasaan UUK menetapkan masa penangguhan manakah benda yang digunakan dalam penguasaan debitur pailit atau kurator. Sehingga antara kedua ketentuan tersebut nampak adanya kontradiktif dalam pelaksanaan eksekusi. Pendahuluan Sejak pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami kritis moneter yang mengakibatkan kesulitan besar terhadap perekonomian nasional terutama dunia usaha. Menghadapi hal tersebut, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan, di antaranya dalam bidang perbankan telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK 1998). Ketentuan Undasng-Undang Kepailitan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil terbuka dan efektif. Oleh karenanya harus ada keseimbangan dalam perlindungan hukum baik bagi kreditur maupun debitur. Menurut pasal 8 dal Pasal 9 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta hak tanggungan maupun pemegang hak tanggungan adalah orang perorangan atau Badan Hukum yang mempunyai

3 kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum. Kreditur pemegang hak tanggungan atau jaminan yang pemenuhan piutang harus didahulukan dari piutang-piutang yang lain disebut kreditur preferen. Sebagai kebalikannya adalah kreditur konkuren yaitu kreditur yang kedudukannya sama berhak dan tak ada yang harus didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Kepailitan menurut Retnowulan Sutanto adalah: Eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu penyertaan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib (Retnowulan Sutanto, 1996, hal 85). Sedangkan menurut Black's Law Dictionary, Bankcrupt is the state or condition of one who is unable pay his debt as they are, or become due. (Muhammad Amin, 1984, hal 16) Jadi pada dasarnya kepailitan itu suatu keadaan dimana seorang debitur tidak dapat lagi membayar hutang-hutangnya kepada para kreditur. Undang-undang kepailitan (UUK 1998) memberikan perlindungan bagi kreditur preferen sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi "Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56A, setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan". Sedangkan Pasal 56 ayat (1) UUK menyebutkan:

4 Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berbeda dalam pengawasan debitur yang pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan Jadi kreditur preferen dapat segera meneksekusi haknya atas kebendaan yang tidak dalam kuasa debitur pailit atau kurator. Pasal 21 UUHT menetapkan bahwa "Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut Ketentuan Undang0Undang ini". Adapun pasal 6 UUHT menegaskan bahwa jika debitur cidera janji (wanprestasi) maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri memalalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutannya dari hasil penjualan. Hal ini berarti pemenuhan atas hak tanggungan terhadap kreditur tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu kita kaji perihal perlindungan hukum kreditur preferen menurut UUHT dan UUK. Di samping itu Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan oleh kreditur preferen. Apakah antara kedua ketentuan itu terjadi kontradiktif?. Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan Dibawah Tangan 1. Pelelangan Umum

5 Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Dan apabila debitur cidera janji, maka hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. Agar dalam pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), maka dalam UUHT mengharuskan agar dalam penjualan itu dilaksanakan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentuakn dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal demikian ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT. Selain itu Passa 6 UUHT memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan pertam untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji, dan pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu menimta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan serta tidak perlu pula meminta penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. Sehingga cukuplah apabila pemegang Hak Tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut. Sebab kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertam itu merupakan kewenagan yang diberikan oleh undangundang artinya kewenangan tersebut dipunyai demi hukum. (Sutan Remy Sjahdeini, 1999:165). Karena itu Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.

6 2. Penjualan di Bawah Tangan Adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan maka penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, apabila dengan cara ini akan mendapatkan harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT. Sebab penjualan dibawah tangan dari objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu, jika debitur tidak menyetujinya, selanjutnya apabila kredit sudah menjadi macet, maka bank sering menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Sihingga dalam keadaan-keadaan tertetu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan di jual di bawah tangan dari pada dijual di pelelangan umum. (Sutan Ramy Sjahdeini, 199:166) Kedudukan Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Harta Kepailitan. Menurut Pasal 22 UUHT itu memberikan jaminan terhadap pemegang Hak Tanggungan, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit. Dalam Pasal 21 UUHT menyatakan "apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini", sehingga obyek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta Kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 21 UUHT ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferen dari pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditur-kreditur lain.

7 Selanjutnya dalam hal terjadi kepailitan, maka berdasarkan pasal 56A UUK hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaanya untu jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Dengan ditangguhkannya eksekusi hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindahtangankan oleh kurator. Sehingga harta pailit yang dapat diguanakan atau dijual oleh kurator terbataas hanya pada barang persedian (inventory) dan atas barang bergerak (current asset) walaupun harta pailit tersebut telah dibebani dengan hak agunan atas kebendaan. Dalam hubungannya dengan aset-aset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 K.U.H. Perdata). Bahwa kedudukan kreditur preferen adalah yang tertinggi dibandingakan dengan kreditur yang lainnya, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1134 ayat (2) K.U.H. Perdata yang berbunyi: "Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya" Kewenangan Kreditur Preferen dalam Mengeksekusi Jaminan Hutang Sebagai pengakuan dari sifat mendahulukan yang dimiliki pemegang hak preferen, Pasal 56 ayat (2) UUK secvara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap kreditur yang memegang Hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

8 Hal ini yang berarti Undang-undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa pernyataan kepailitan tidak menghilangi pelaksanaan hak preferen yang diberikan oleh Undang-undang Dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa jika hak atas penagihan yang mereka miliki adalah suatu piutang-piutang yang wajib dicocokkan menurut ketentuan Pasal-pasal 126 dan 127 UUK, maka eksekusi lainnya dapat dijalankan apabila tagihan atau piutang telah dicocokkan, dan eksekusi tersebut hanya dapat dipergunakan untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui (dari pencocokan) atas penagihan atau piutang tersebut. Selanjutnya dengasn tetap memperehatikan ketentuan pasal 56 ayat (1) UUK, setiap kreditur yang memegang Hak Tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dan pemegang Hak tanggungan seperti tersebut diatas dikenal sebagai "separatisen". Hal ini sesua dengan pasal 1178 Kitab Undang-undang Hukum perdata, bahwa kreditur yang mempunyai hak hipotik dengan disertai klausula eigenmachtige verkoop diberi kuasa uintuk secara sendiri-sendiri melakukan eksekusi atas benda yang jadi jaminan. Demikian pula bagi pemegang gadai, Hak Tanggungan dan fidusia Dalam perjanjian hipotik, kreditur juga bisa memiliki wewenang untuk menjual sendiri benda jaminan, namun ini harus diperjanjikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1178 ayat 2 BW. Berarti kewenangan ini bukan lahir dari undang-undang, tetapi harus dimunculkan dalam perjanjian oleh para pihak dalam wujud pemberian kuasa oleh debitur kepada kreditur untuk menjual sendiri benda agunan bila terjadi wanprestasi. Jelas cara ini seperti halnya dalam parate eksekusi

9 gadai, sangat menguntungkan kreditur dalam upayanya untuk memperoleh pelunasan dengan mudah dan sederhana. Sebenarnya dengan grosse akta hipotik sedasar dengan ketentuan Pasal 224 HIR, kreditur juga memiliki wewenang untuk menjual benda jaminan dikarenakan akta tersebut memiliki ketentuan eksekutorial. Dengan fiat pegadaian, maka kreditur dapat mengambil pelunasan dari pelelangan yang dilakukan oleh juru lelang. Berdasarkan aturan yang berlaku itu, maka sebenarnya kemudahan dan penyederhanaan pengambilan pelunasan bagi kreditur manakala debitur wanprestasi, sangat mendukung perputaran roda ekonmi yang menghendaki efisiensi. Namun sayangnya, dalam pelaksanaanya, baik grosse hipotik ataupun kuasa menjual ex Pasal 1178 ayat 2 BW kadang terganjal oleh faktor-faktor yang masih menjadi bahan perbedaan. Jelas gambaran yang demikian ini membikin wajah hukum menjadi sedikit kusam untuk dihadiri dalam perjamuan era pertumbuhan ekonomi yang menghendaki efisiensi tinggi (Moch. Isnaeni, 1996:55) Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Hutang oleh Kreditur Preferen Sebagaimana dalam pasal 57 ayat (1) UUK, menyatakan bahwa eksekusi hak preferen oleh kreditur terhadap jaminan yang ada, wajib dilaksanakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan terhitung sejak keadaan insolvensi berlangsung. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut, kurator harus menuntut diserahkannya kebendaan yang yang

10 dijaminkan untuk dijual, tanpa mengurangi hak pemegang hak-hak tersebut untuk memperolah penjualan agunan tersebut. Dikecualikan untuk pemegang hak agunan atas panenan, kreditur yang melaksanakan eksekusi kebendaan jamianan wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan seluruh hasil penjualan jaminan tersebut kepada kurator, dan menyerahkan kepada kurator sisa hasil penjualan setelah dikurangi dewngan jumlah hutang yang harus dibayar, bunga dan biaya-biaya, dan dengan tidak mengurangi hak previllige dari kreditur yang diistimewakan sebagaimana diatur dalam BAB XIX Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang beradi di atas hak-hak kreditur preferen, baik secara umum maupun khusus atas kebendaan yang dijaminkan secara preferen tersebut. Sehingga atas tuntutan kurator atau kreditur yang diistimewakan tersebut, kreditur preferen yang telah mengeksekusi kebendaan yang dijaminkan wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan kebendaan tersebut, sampai dengan terpenuhnya jumlah tagihan yang diistimewakan tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) UUK mengatakan apabila hasil penjualan jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi piutang yang ada, maka kreditur pemegang hak jaminan (kreditur preferen) tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan utang. Telah disebutkan bahwa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi jaminan hutang bisa kreditur separatis, dan bisa juga pihak kurator. Hal ini bergantung pada hubungan aset dengan kreditur (dijaminkan atau tidak) dan bergantung pada waktu kapan eksekusi itu dilaksanakan (Munir Fuady, 1999, hal. 111)

11 Berkaitan dengan cara penjualan aset, maka pada prinsipnya dilakukan dengan mengajukan permohonan lelang di kantor lelang sebagaimana diatur dalam pasal 171 UUK. Adapun tata cara pelelangan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk lelang tersebut yaitu, bisa dijual dimuka umum atas dengan penjualan yang dilakukan di bawah tangan. Dalam penjualan harta pailit yang dilakukan secara dibawah tangan, tetapi perbuatan tersebut telah mendapat ijin dari hakim pengawas. Hasil ini tentunya dilakukan oleh kurator, apabila kurator yakin banhwa penjualan dengan cara dibawah tangan atau penjualan langsung (tanpa campur tangan kantor lelang) akan menghasilkan yang lebih baik, antara lain karena dapat menghemat biaya lelang. Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) kaitannya dengan pasal 56 A ayat (1) Undang-undang Kepailitan (UUK) Berkenaan dengan Eksekusi Hak Tanggungan Lembaga jaminan kebendaan memiliki ciri-ciri yang antara lain adalah bersifat asesoir (pelengkap), memberikan hak didahulukan (privilege) dan droit de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimana saat itu berada. Jaminan tersebut diantaranya adalah hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Para pemegang hak tanggungan, ataupun pemegang hak gadai ataupun pemegang hak agunan amempunyai hak retensi (hak menahan sebagaimana dimaksud Pasl 1812 KUHPerdata), serta dapar mengeksekusi hak-hak mereka seolah-olah tidak ada kepailitan. Jadi kepailitan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap ketiga hak tersebut.

12 Oleh karenanya dalam melaksanakan eksekusi atas harta pailit, diantaranya perlu memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang hak jaminan preferen atas kebendaan milik debitur pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak mendahului atas kreditur lain untuk memperoleh pelunasan atas utang-utang debitur, dengan cara menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan ke[pada kreditur tersebut secara preferen. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dalam Pasal 21 telah memeberikan jaminan terhadap pemegang hak tanggungan. Pasal 21 UUHT menetapkan bahwa "Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini". Dengan demikian berarti objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta akepailitan untuk dibagi kepada kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Jadi ketentuan tersebut memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferen dari pemegang Hak Tanggungan atas objek Hak Tanggungan terhadap kreditur lain. Dalam memori penjelasan Pasal 56 ayat (1) Peraturan pemerintah Pengganti Undang0Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan pemegang hak tanggungan adalah pemegang hipotik yang berhak untuk segera mengeksekusi haknya sebagaimana diperjanjikan berdasarkan Pasal 1178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pemegang hak tanggungan yang berhak mengeksekusi haknya berdasarkan Pasal 20 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta

13 benda-benda yang berkaitan dengan tanah (lembaga Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3632). Penjelasan tersebut telah memberikan penegasan tentang pemegang Hak tanggungan. Menurut Pasal 56 ayat (1) UUK bahwa "Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56A, setiap kreditur yang memegang Hak Tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan", adapun pasal 56 A ayat (1) UUK menetapkan bahwa hak kreditur untuk mengeksekusi barang agunan dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur yang pailit ataur kurator ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut antara lain bertujuan : Untuk memperbesar kemungkinan tercapai perdamaian ;atau Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harata pailit ; atau Untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Penangguhann tersebut tidak berlaku terhadap tagihan kreditur yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditur untuk memperjuangkan utang. Dikecualikan pula dari penangguhan yaitu hak kreditur yang timbul dari perjumpan utang (set off) yang merupakan bagian atas akibat dari mekanisme yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan berjangka.

14 Salama jangka waktu penangguhan berlangsung, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan. Baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Dalam masa penangguhan tersebut kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, untuk itu biberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga, sedang harta pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas pada barang-barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak(current asset), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atau kebendaan. Menanggapi keberadaan ketentuan pasal 21 UUHT dan pasal 56 ayat (1) UUK, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya kedua pasal tersebut sama-sama memberikan jaminan bagi kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi haknya. Namun pada pasal 56 A ayat (1) UUK tidak konsistendengan ketentuan pasal 21 UUHT, yaitu nampak adanya perbedaan dalam pelaksanaan eksekusi. Pasal 21 UUHT tidak menetapkan masa penangguhan, sedangkan pasal 56 A ayat (1) UUK menetapkan masa penangguhan dengan maksud sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian jaminan bagi kreditur pemegang hak tanggungan yang ditetapkan dalam pasal 21 UUHT menjadi sia-sia manakala benda yang digunakan berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator. Dalam hal ini kreditur tidak dapat segera mengeksekusinya, sehingga secara tidak langsung akan merugikan pihak kreditur preferen. Para kreditur yang memegang hak jaminan atas kebendaan, mempunyai hak separatis. Menurut Setiawan, Hak Separatis adalah: "Hak yang diberikan oleh

15 hukum kepada kreditur pemegang Hak jaminan, bahwa barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak jaminan (hak agunan) tidak termasuk harta pailit". Kreditur berhak untuk melakukan eksekusi kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai perwujudan dari hak kreditur pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur yang lainnya. Menurut Elijana: "Kreditur Separatis adalah kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan artinya para kreditur separatis tatap dapat melaksanakan hak-hak eksejkusinya meskipun debiturnya telah dinyatakan pailit". Pemegang hak jaminan atau hak agunan adalah kreditur yang mempunyai jaminan khusus atas kekayaan debitur berdasarkan perjanjian, misalnya hak tanggungan, hipotik, gadai dan fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 1133 BW. Pengakuan terhadap keberadaan kreditur separatis dalam UUK dinyatakan dalam pasal 56 ayat (1) yang menentukan bahwa setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olahnya tidak terjadi kepailitan. Pemegang hak jaminan baik hipotik, hak tanggungan, gadai, fidusia serta hak kebendaan lainnya tidak terpengaruh oleh putusan pailit, kareana barang jaminan itu tidak termasuk dalam harta pailit. Ketentuan pasal 56A ayat (1) dan pihak ketiga menuntut hartanya yang berbeda dalam penguasaan debitur yang pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan.

16 Berdasarkan ketentuan pasal 56A ayat (1) dan penjelasannya, menunjukkan bahwa UUK mengakui hak separatis. Pengakuan terhadap keberadaan hak separatis dari pemegang jaminan juga diatur dalam Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pasal 21 Undang-Undang No. 4 tahun 1996 menentukan bahwa apabila pemberi hak tanggunagan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggunagn tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketantuan Undang-Undang No./ 4 Tahun Obyek hak tanggungan tidak akan disatukan dengan kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lainnya dari pemberi hak tanggungan. Ketentuan pasal itu memberikan penegasan mengenai kedudukan hak separatis dari pemagang hak tanggungan terhadap obyek hak tanggungan kepada kreditur lainnya. Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia, dalam Pasal 27 ayat(1), yang menentukan bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak untuk didahulukan tersebut sebagaimana dalam penjelasannya diperoleh oleh penerima fidusia, terhitung sejak pendaftaran benda yang menjadi jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Hak untuk didahulukan atau hak preferen dari pemerima jaminan fidusia sebagaimana ditentukan dapam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Sedang ayat (3)nya memberikan jaminan kepada penerima fidusia bahwa hak yang didahulukan tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Pada prinsipnya undang-undang

17 memberi hak untuk didalukuan terhadap pemegang jaminan atas hutang-hutang debitur. Kepailitan 1. Krditur preferen selaku pemegang jaminan hutang telah mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tepatnya pada pasal 21 yaitu apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit maka kreditur preferen tersebut tetap berwenang mengeksekusi jaminan hutang. Kreditur preferen dapat menjual dan mengambil hasil jualan jaminan hutang tersebut seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 56 Undang- Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 2. Pada prinsipnya ketentuan Pasal 21 UUHT dan Pasal 56 A ayat (1) UUK dapat dikatakan sama-sama memberikan jaminan bagi kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi haknya. Namun pada Pasal 56 A ayat (1) UUK tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 21 UUHT, yaitu nampak adanya kontradiktif dalam peleksanaan eksekusi. Pasal 21 UUHT tidak menetapkan masa penangguhan, sedangkan Pasal 56 A ayat (1) UUK me4netapkan masa penangguhan. Dengan demikian jaminan bagi kreditur pemegang hak tanggungan yang ditetapkan dalam pasal 21 UUHT menjadi sia-sia manakala benda yang digunakan berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator.

18 DAFTAR PUSTAKA Amin, Mochammad, 1984 Hukum Kepailitan dan Surseance, Garuda, Malang Fuady, Munir, 1999, Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Gutama, Sudargo, 1998, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Isnaeni, Moch., 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya Hartono, Siti Soemarti, 1981, Pengantar hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, FH-UGM Yogyakarta. H. Budi, Untung, 2000, Kredit Perbankan di indonesia, Andi Yogyakarta J. Fred, Weston dan Eugene, F. Bregham dalam terjemahan Alfansus Sunita, 1994, Dasar-Dasar Keuangan Manajemen, Erlangga, Jakarta Mertokusumo, Sudikno, 1998, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta Nasution, Garuda Abdul Hakim dan K. Herman Benny, Workshop Evaluasi Peradilan Niaga Critical Views, Putusan-putusan pengadilan Niaga, CINLENSS (Pusati informasi dan kajian Hukum ekonomi Jakarta). Prodjohamidjojo, Martiman, 1999, Preses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, Mandar Maju Bandung. Setiaprojo, Bandung, 1994, Segi-segi Hukum Kepailitan dan Liquidasi, ditinjau dari Prespektif Bank, Mahkamah Agung RI. Sutantio, Retnowulan, 1996, Kapita Selekta hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia FH-UGM, Yogyakarta. Syahdeini, Sutan Remy, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas Ketentuan- Ketentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung., 1993, Kebebesan Berkontrak dan perlindungan yang seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, IBI Jakarta., 2002, Hukum Kepailitan (Memahami Faillisementsverardening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta, pustaka Utama Grafiti

19 Sofwan, Masjchoen, Sri Sudewi, 1975, Hukum Perutangan, bagian A Yogyakarta, seksi Hukum Perdata UGM Untung H. Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta. Waluyo Bernadette, 1999, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung. Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan tanah] Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT 34 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Hak Tanggungan Menurut UUHT No. 4 Tahun

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HAK KREDITUR PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP KREDIT MACET AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN.

KEDUDUKAN HAK KREDITUR PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP KREDIT MACET AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN. KEDUDUKAN HAK KREDITUR PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP KREDIT MACET AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Oleh : Butje Tampi,

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 KEDUDUKAN BANK SEBAGAI PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN 1 Oleh : Yosua Sengkey 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menmgetahui bagaimana

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia Fidusia menurut Undang-Undang no 42 tahun 1999 merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Mengenai Hak Tanggungan Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah Tentang Hak Tanggungan PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah dibebankan pada hak atas tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan 1 BAB V PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat BMT Istiqomah Unit II Plosokandang selaku kreditur dalam mencatatkan objek jaminan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung.

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah yaitu parate executie,

BAB III PENUTUP. ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah yaitu parate executie, BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian pada bab sebelumnya, maka dalam bab penutup dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Pasal 20 UUHT telah ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 13 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI KEWENANGAN PELAKSANAAN EKSEKUSI OLEH KREDITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI Oleh : I Gede Widnyana I Made Walesa Putra Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA http://www.thepresidentpostindonesia.com I. PENDAHULUAN Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA A. Pengertian Keadaan Diam (Standstill) Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Kepaillitan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan pesatnya pembangunan berkelanjutan dewasa ini, meningkat pula kebutuhan akan pendanaan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mendapatkan dana

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN LELANG ATAS JAMINAN KEBENDAAN YANG DIIKAT DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 Oleh : Susan Pricilia Suwikromo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan BAB I A. Alasan Pemilihan Judul Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditor, dan pernyataan pailit atas

Lebih terperinci

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR Yusuf Arif Utomo: Parate Executie Pada Hak Tanggungan 177 PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR Oleh Yusuf Arif Utomo* Abstrak Bank dalam memberikan pinjaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Oleh : Wulan Wiryanthari Dewi I Made Tjatrayasa Bagian Hukum

Lebih terperinci

HAK KREDITOR SEPARATIS DALAM MENGEKSEKUSI BENDA JAMINAN DEBITOR PAILIT. Oleh : Royke A. Taroreh 1

HAK KREDITOR SEPARATIS DALAM MENGEKSEKUSI BENDA JAMINAN DEBITOR PAILIT. Oleh : Royke A. Taroreh 1 Vol.II/No.2/Januari-Maret /2014 Edisi Khusus Taroreh R.A: Hak Kreditor Separatis... HAK KREDITOR SEPARATIS DALAM MENGEKSEKUSI BENDA JAMINAN DEBITOR PAILIT Oleh : Royke A. Taroreh 1 Komisi Pembimbing :

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

separatis dapat memintakan agar kekurangan tersebut diperhitungkan sebagai kreditor konkuren (kreditor pesaing). Kata kunci: Hak Eksekutorial, Pailit

separatis dapat memintakan agar kekurangan tersebut diperhitungkan sebagai kreditor konkuren (kreditor pesaing). Kata kunci: Hak Eksekutorial, Pailit PRAKTEK HAK EKSEKUTORIAL SEPARATIS KREDITOR TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT PADA PERBANKAN DI INDONESIA 1 Oleh : Putri Ayu Lestari Kosasih 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penyusunan skripsi ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

Lebih terperinci

BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN

BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN 26 BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA ATAS BARANG JAMINAN DALAM UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN A. Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 ayat (1)

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN. Oleh Herlindah, SH, M.Kn

HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN. Oleh Herlindah, SH, M.Kn HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN Oleh Herlindah, SH, M.Kn 1 JAMINAN JAMINAN UMUM JAMINAN KHUSUS 1131 BW JAMINAN PERORANGAN JAMINAN KEBENDAAN 1132 BW BORGTOCH PENANGGUNGAN BENDA TETAP BENDA BERGERAK TANAH BUKAN

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian merupakan landasan utama yang menopang kehidupan dari suatu negara. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan A. Latar Belakang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyebutkan bahwa titik berat pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

JAMINAN KEBENDAAN DAN JAMINAN PERORANGAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK PIUTANG

JAMINAN KEBENDAAN DAN JAMINAN PERORANGAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK PIUTANG JAMINAN KEBENDAAN DAN JAMINAN PERORANGAN SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK PIUTANG Niken Prasetyawati, Tony Hanoraga Abstrak Dalam mewujudkan tujuan nasional kegiatan dalam bidang ekonomi merupakan

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM kreditur SEPARATIS DALAM KEPAILITAN

PERLINDUNGAN HUKUM kreditur SEPARATIS DALAM KEPAILITAN PERLINDUNGAN HUKUM kreditur SEPARATIS DALAM KEPAILITAN Sularto * Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Jalan Sosio Justicia Nomor 1 Bulaksumur, Sleman, D.I. Yogyakarta,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN BUDEL KEPAILITAN FENNI CIPTANI SARAGIH ABSTRACT

TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN BUDEL KEPAILITAN FENNI CIPTANI SARAGIH ABSTRACT Fenni Ciptani Saragih 1 TINJAUAN YURIDIS HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN PERTAMA DALAM PELELANGAN BUDEL KEPAILITAN FENNI CIPTANI SARAGIH ABSTRACT Bankruptcy was a form of general confiscation covering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan pembangunan merupakan dua variabel yang selalu sering mempengaruhi antara satu sama lain. Hukum berfungsi sebagai stabilisator yang mempunyai peranan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan dan perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali pelaku usaha baik dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum PD BPR Bank Purworejo 1. Profil PD BPR Bank Purworejo PD BPR Bank Purworejo adalah Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat yang seluruh modalnya

Lebih terperinci

WEWENANG KREDITOR SEPARATIS DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERKENAAN DENGAN KEPAILITAN. Abstrak

WEWENANG KREDITOR SEPARATIS DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERKENAAN DENGAN KEPAILITAN. Abstrak WEWENANG KREDITOR SEPARATIS DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERKENAAN DENGAN KEPAILITAN Titie Syahnas Natalia,S.H.,M.H Dosen Tetap Universitas Baturaja Tian Terina,S.H.,M.H. Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Beberapa Kendala yang dihadapi Bank BRI yaitu: a. Kendala Terkait dengan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Hak Tanggungan.

BAB V PENUTUP. 1. Beberapa Kendala yang dihadapi Bank BRI yaitu: a. Kendala Terkait dengan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Hak Tanggungan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Beberapa Kendala yang dihadapi Bank BRI yaitu: a. Kendala Terkait dengan Peraturan Perundang-Undangan 1) Terjadi disharmoni antara Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Lebih terperinci

HUTANG DEBITUR DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

HUTANG DEBITUR DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Netty Endrawati, Hutang Debitur dan Eksekusi Hak Tanggungan 35 HUTANG DEBITUR DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Oleh : Netty Endrawati Abstrak Pada umumnya pemberian hutang atau dalam perjanjian kredit yang

Lebih terperinci

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA Oleh : Dr. Urip Santoso, S.H, MH. 1 Abstrak Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan BAB I PENDAHULUAN Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka masyarakat dan pemerintah sangat penting perannya. Perkembangan perekonomian nasional

Lebih terperinci

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA DEFINISI Hak Tanggungan adalah: Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut/tidak

Lebih terperinci