BAB I PENDAHULUAN. (a)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. (a)"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penambahan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya aktivitas di permukaan bumi. Seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat menimbulkan dampak pada perubahan lingkungan. Salah satunya yakni munculnya peningkatan gas rumah kaca yang disebabkan oleh semakin tingginya pembangunan dan industrialisasi. Peningkatan ini mengakibatkan naiknya temperatur bumi dari tahun ke tahun dan menyebabkan perubahan iklim (Bayu, 2010). Peningkatan baik emisi gas rumah kaca dan tempertaur setidaknya dapat terlihat jelas pada 200 tahun terakhir seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1.1. Perubahan iklim dapat berdampak pada besarnya curah hujan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2007 mencatat adanya peningkatan curah hujan di sejumlah wilayah di permukaan bumi dan sejak tahun 1970 ditemukan pula adanya peningkatan kekeringan secara global. (a) 1

2 (b) Gambar 1.1 (a) Perkembangan konsentrasi gas-gas rumah kaca di dalam atmosfer selama 2000 tahun; (b) Estimasi kenaikan temperatur rata-rata global dari data pengukuran dengan analisis tren untuk periode 150, 100, 50, dan 25 tahun terakhir (Sumber: IPCC,2007) Di tingkat regional, khususnya di kawasan Indonesia dari data hasil penelitian, suhu udara di Indonesia telah meningkat sebesar 0,3 0 C sejak tahun 1900 yang terjadi sepanjang musim. Sementara itu terjadi perubahan cuaca dan musim hal ini ditandai oleh peningkatan curah hujan di satu wilayah, sedangkan di wilayah lain terjadi pengurangan curah hujan sebesar 2-3% (Hulme dan Sheard, 1999 dalam Susandi, 2006). Selain siklus harian dan musiman keragaman iklim di Indonesia juga ditandai dengan siklus beberapa tahun antara lain siklus fenomena global ENSO (El Nino Southern Oscillation). ENSO mempunyai siklus 3-7 tahun, tapi setelah dipengaruhi perubahan iklim diduga siklus ENSO menjadi lebih pendek antara 2-5 tahun (Ratag, 2001). Berdasarkan pencatatan yang telah dilakukan oleh NOA-CIRES (2005) yang ditampilkan dalam Gambar 1.2 baik curah hujan ratarata tahunan maupun rata-rata temperatur mengalami peningkatan secara perlahan. 2

3 (a) Gambar 1.2 Rata-rata Curah Hujan Tahunan dan Rata-rata Temperatur Tahunan di Indonesia (Sumber: NOA-CIRES, 2005 dalam Susandi, 2006) (b) Sementara itu, di tingkat lokal yakni di Sub DAS Wuryantoro, melalui pencatatan pada Stasiun Hujan Wuryantoro terjadi fluktuasi yang tidak teratur tiap tahunnya pada curah hujan tahunan (lihat gambar 1.3). Namun demikian, terindikasi terjadi kecenderungan peningkatan jika dilihat dalam moving average 3 tahunan terutama pada 10 tahun terakhir (tahun ). Terjadi tren linier yang menunjukkan peningkatan pada data curah hujan tahunan dari tahun 1990 hingga Gambar 1.3 Kecenderungan Curah Hujan Tahunan Stasiun Hujan Wuryantoro (Sumber: Analisis Data Stasiun Hujan Wuryantoro BPDAS Bengawan Solo, 2014) 3

4 Perubahan iklim dewasa ini sudah dapat diidentifikasi menggunakan bantuan teknologi sehingga memicu berkembangnya beragam penelitian terkait dengan perubahan komponen-komponen iklim yang terjadi pada periode waktu yang panjang. Hal ini pula yang memunculkan prediksi perubahan iklim yang akan terjadi di masa yang akan datang berdasarkan pola-pola yang dibentuk oleh observasi beberapa dekade yang lalu hingga saat ini. Sejak terbitnya IPCC Third Assessment Report dan Special Report on Emissions Scenarios (SRES) oleh Intergovermental Panel of Climate Change (IPCC) pada tahun 2001 muncul beragam kajian tentang perubahan iklim dalam beberapa skenario yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Skenario tersebut lalu disusun ke dalam General Circulation Model (GCM) yang dibuat oleh beberapa peneliti untuk dapat dikembangkan dalam kajian-kajian ilmu lain seperti kajian di bidang hidrologi. Pengelolaan sumberdaya air menjadi salah satu bagian dalam Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, dirasakan perlu untuk memperhatikan lebih dekat masalah-masalah yang terkait dengan sumberdaya air. Masalah sumberdaya air serta pengelolaannya tak lain berkaitan dengan ilmu hidrologi. Seperti yang didefinisikan oleh para pakar, hidrologi adalah ilmu yang pengetahuan alam yang mempelajari keberadaan, penyebaran, gerak, dan sifat air di Bumi serta hubungan dengan lingkungannya (Viessman et al, 1989, dalam Wijaya, 2004). Salah satu permasalahan yang terkait dengan ilmu hidrologi yakni meningkatnya kejadian banjir yang disebabkan baik oleh faktor penggunaan lahan maupun meningkatnya intensitas curah hujan yang diduga sebagai salah satu pengaruh perubahan iklim. Sub DAS Wuryantoro sebagai wilayah kajian dalam penelitian ini merupakan salah satu aliran inlet Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Sub DAS Wuryantoro merupakan bagian dari Sub DAS Hulu Bengawan Solo. Waduk Gajah Mungkur sendiri memiliki peran penting dalam mengendalikan banjir yang sering terjadi di wilayah-wilayah yang dilewati oleh Sungai Bengawan Solo. Selain itu waduk berfungsi sebagai sumber pasokan air untuk irigasi di daerah-daerah sekitarnya. Fungsinya yang cukup vital membuat upaya untuk mengkaji karakteristik limpasan permukaan di masa yang akan datang sebagai upaya praduga terhadap potensi terjadinya banjir dan/ atau memprediksi daya tampung waduk. 4

5 Penggunaan lahan di Sub DAS Wuryantoro didominasi tegal dengan karakter kurang menyerap air hujan. Penggunaan lahan seperti ini merupakan pewakil penggunaan lahan DAS-DAS di Pulau Jawa yang didominasi oleh tegal lahan kering. Rendahnya penyerapan curah hujan memicu terjadinya banjir dengan cepat karena kemampuan tanah meresapkan air di lahan tegal lebih sedikit dari pada penutupan lahan hutan (Pramono dan Tjakrawarsa, 2013). Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya mitigasi bencana dianggap perlu dilakukan prediksi terhadap limpasan permukaan sebagai salah satu representasi dari potensi terjadinya banjir Perumusan Masalah Model hidrologi bilangan kurva merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemodelan terhadap besarnya volume limpasan permukaan. Model ini mempertimbangkan besarnya curah hujan, kondisi kelengasan tanah, dan kondisi penutup lahan. Ketiga parameter tersebut secara langsung berpengaruh terhadap besarnya limpasan permukaan yang terjadi. Peningkatan gas rumah kaca yang berimbas pada perubahan iklim mengakibatkan terjadinya perubahan pada besarnya curah hujan di suatu wilayah. Curah hujan adalah parameter paling berpengaruh terhadap terjadinya limpasan permukaan. Munculnya model sistem iklim yang mampu memprediksi kondisi iklim di masa yang akan datang dapat menghadirkan kemampuan pendugaan terhadap besarnya curah hujan. Hal ini sekaligus dapat digunakan untuk memprediksi besarnya limpasan permukaan di masa cakupan prediksi. Hasil perhitungan limpasan permukaan baik saat ini maupun pada tahun-tahun pemodelan iklim di Sub DAS Wuryantoro dapat dianalisis untuk keperluan evaluasi khususnya dalam upaya mitigasi terhadap terjadinya bencana banjir atau kekeringan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka dapat disusun pertanyaan masalah sebagai berikut : 5

6 1. Bagaimana perubahan curah hujan berdasarkan skenario SRES IPCC A2 dan B2? 2. Bagaimana perubahan limpasan permukaan maksimum berdasarkan curah hujan harian pada skenario SRES IPCC A2 dan B2? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian, maka dapat disusun tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Mengetahui perubahan curah hujan berdasarkan skenario SRES IPCC A2 dan B2 tahun 2011 sampai 2040 di Sub DAS Wuryantoro. 2. Mengetahui perubahan limpasan permukaan maksimum berdasarkan skenario SRES IPCC A2 dan B2 tahun 2011 sampai 2040 di Sub DAS Wuryantoro Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna secara ilmiah sebagai referensi dalam melakukan pemodelan terhadap curah hujan implikasinya terhadap limpasan permukaan yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. Munculnya pengembangan-pengembangan baik pada metode pemodelan untuk menghasilkan pendekatan yang lebih baik maupun pengembangan untuk menganalisis implikasiimplikasi lain terkait dengan perubahan iklim. Hasil dari penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi masyarakat luas, khususnya institusi-institusi pemerintah yang berwenang, dalam hal ini memberikan informasi mengenai kemungkinan dampak perubahan khususnya dampaknya terhadap penambahan jumlah aliran yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur. Dengan adanya informasi tersebut, diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya air Sub DAS Wuryantoro, terutama dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman perubahan iklim. 6

7 1.6. Tinjauan Pustaka Skenario Iklim Berdasarkan Skenario Emisi Gas Rumah Kaca SRES IPCC 1.) Perubahan Iklim Akibat Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca Iklim menurut Ratag (2006) didefinisikan sebagai keadaan rata-rata atmosfer yang diamati melalui cuaca dalam periode waktu yang terbatas, seperti musim, pada sejumlah periode tahun tertentu. Merns, dkk; 1990 (Ratag, 2006) selanjutnya memberikan batasan lebih spesifik mengenai iklim sebagai keadaan rerata atmosfer dengan ukuran variabilitas atau fluktuasi tertentu seperti deviasi standar ataupun statistik autokorelasi untuk periode tertentu. Kirono, 2002 (Bayu, 2010) mengartikan variabilitas iklim meliputi nilai-nilai ekstrim dan perbedaan nilai-nilai dari nilai yang secara klimatologis diharapkankan. Biasanya perbedaan ini disebut dengan penyimpangan (anomaly). Perubahan iklim menurut UNFCCC (dalam IPCC 2007) didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh manusia yang kemudian mengubah komposisi atmosfer yang diamati melalui variabilitas iklim dalam periode waktu tertentu. IPCC (2007) juga memberikan definisi operasional tentang perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang terjadi di sejumlah wilayah yang dapat dilakukan identifikasi dengan perubahan rata-rata dan atau variabilitas komponen iklim yang berlangsung pada periode yang panjang (satu dekade atau lebih). Aktivitas manusia seperti urbanisasi, deforestrasi, dan industrialisasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada iklim. Aktivitas manusia terutama di kota menginjeksikan sejumlah polutan berbentuk gas dan aerosol ke dalam atmosfer yang dapat mengganggu keseimbangan radiasi yang kemudian memicu terjadinya perubahan iklim (Tjasyono, 2004). Polutan berbentuk gas yang dapat memicu terjadinya perubahan iklim ini disebut sebagai Gas Rumah Kaca (GRK). IPCC (2007) menyebutkan beberapa GRK yang dihasilkan oleh aktivitas manusia antara lain : CO2, methane (CH4), nitrous oxide (N2O) dan halocarbons (kelompok gas yang mengandung fluorine, chlorine, atau bromine). 7

8 Observasi yang telah dilakukan oleh IPCC menghasilkan pencatatan berupa tren linear pemanasan secara global pada rentang 50 tahun, yakni antara tahun 1956 sampai 2005 (peningkatan temperatur berada pada kisaran 0,10 0,16 C per dekade). Pemanasan secara global ini ternyata sejalan dengan peningkatan jumlah gas GRK yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sejak masa pra-industri dengan peningkatan sebesar 70% antara tahun 1970 dan Dampak yang dihasilkan seperti dilaporkan IPCC (2007) antara lain: terjadinya kenaikan muka air laut, penurunan salju dan pencairan es, serta peningkatan presipitasi di sejumlah wilayah di dunia. GRK mempengaruhi kesetimbangan radiasi energi matahari di Bumi. Aktivitas manusia secara signifikan mempengaruhi karakteristik penyerapan maupun pemantulan energi matahari (Ratag, 2006). Sekitar 30% energi matahari dipantulkan kembali ke angkasa baik oleh awan, permukaan bumi, dan molekul maupun partikel yang ada di bumi. Sisanya akan terserap oleh permukaan bumi (IPCC, 2007; Ratag, 2006; Ratag, 2008). Sebagian energi matahari dibutuhkan untuk menguapkan air dari lautan ataupun permukaan daratan, dan energi ini yang disebut panas laten dilepaskan ketika uap air berkondensasi dalam awan. Sedangkan lapisan permukaan bumi yang hangat akibat penyerapan energi matahari akan memancarkan radiasi infra merah. GRK yang bersifat optis akan menghalangi radiasi ini untuk naik dan mengembalikannya ke permukaan bumi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.4. Hal ini yang kemudian menyebabkan meningkatnya suhu di permukaan bumi dan dikenal sebagai efek rumah kaca. 8

9 Gambar 1.4. Keseimbangan Radiasi di Bumi yang Dihasilkan oleh Energi Matahari (Sumber: IPCC,2007) 2.) Skenario Emisi Gas Rumah Kaca SRES IPCC Skema skenario emisi gas yang dibuat oleh IPCC (2002) dalam Special Report on Emission Scenario (SRES) dibuat menjadi empat skenario, yakni skenario A1, A2, B1, dan B2. Keempat skenario tersebut diasumsikan berdasarkan kondisi sosio-ekonomi di masa yang akan datang (Johns, et al; 2003) dan masingmasing memiliki respons yang berbeda terhadap peningkatan jumlah gas CO2 sebagai GRK seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.5. Penjelasan masingmasing skenario seperti yang telah dirangkum oleh Santoso (2004) adalah sebagai berikut: 1. Skenario A1 Skenario A1 menerangkan dunia masa depan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, populasi dunia mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-21 dan berkurang setelah itu. 2. Skenario A2 Skenario A2 menerangkan keadaan dunia yang heterogen. Populasi dunia terus menerus bertambah dan perkembangan ekonomi pada umumnya 9

10 berorientasi regional dan pertumbuhan ekonomi per kapita terpecah-pecah dan lebih lambat dari pada keluarga skenario lainnya. 3. Skenario B1 Skenario B2 menerangkan penyatuan dunia dengan populasi dunia yang mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-21 dan berkurang setelah itu sama seperti skenario A1, namun dengan perubahan struktur ekonomi yang cepat menuju pada ekonomi jasa dan informasi, dengan pengurangan dalam intensitas material, dan diperkenalkannya teknologi bersih dan efisien dalam hal sumberdaya. 4. Skenario B2 Skenario B2 mendeskripsikan dunia yang menekankan pada solusi lokal pada permasalahan ekonomi, sosial dan kesinambungan lingkungan. Pertumbuhan penduduk dunia meningkat dengan laju lebih lambat daripada skenario A2, pembangunan ekonomi berada di tingkat menengah, dan perubahan teknologi yang lebih lambat dan lebih beragam daripada A2 dan A1. Skenario ini berorientasi pada perlindungan lingkungan namun fokus pada tingkat lokal dan regional. Gambar 1.5 Grafik Skenario Emisi Gas CO2 SRES (Sumber: IPCC, 2002) 10

11 3.) Skenario Iklim: Atmosphere-Ocean General Circulation Model (AOGCM) HadCM3 IPCC (2000) mendefinisikan skenario iklim sebagai representasi logis dan merupakan penyederhanaan dari iklim masa mendatang, yang didasarkan pada sekumpulan hubungan klimatologis yang konsisten secara internal. Skenario iklim disusun karena belum tersedianya metode yang cukup baik untuk memprediksi perubahan iklim, sehingga digunakan skenario iklim sebagai alternatif. Mahmud (2007) menambahkan bahwa skenario iklim bukanlah prediksi, namun skenario iklim menghasilkan indikasi logis dari apa yang akan terjadi pada satu dekade ataupun satu abad berdasarkan asumsi yang spesifik (Bayu, 2010). Sejak SRES disusun oleh IPCC pada tahun 2000, pengembangan terhadap skenario yang telah disusun banyak dilakukan oleh peneliti untuk keperluan pembuatan Third Analysis Report (TAR). Pengembangan tersebut berupa disusunnya General Circulation Model (GCM) yang mempertimbangkan respons iklim berdasarkan skenario yang disusun oleh IPCC (skenario A1, A2, B1, dan B2) sehingga nantinya diharapkan muncul proyeksi iklim di masa yang akan datang pada masing-masing skenario. GCM seperti dikutip dalam Ratag (2006) merupakan model yang berusaha membuktikan jabaran matematis yang paling menyeluruh dari sistem iklim berdasarkan data historis secara numerik yang memerlukan alat bantu simulasi ilmiah secara komputasi. Penjelasan mengenai perkembangan metode numerik yang digunakan dalam pemodelan sistem iklim GCM dapat dilihat dalam Ratag (2006). GCM diterapkan secara luas untuk melakukan prediksi terhadap cuaca sebagai bagian dalam memahami iklim dan memproyeksikan perubahan iklim. GCM dapat menunjukkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akan memiliki implikasi yang signifikan bagi iklim pada skala global dan regional (Samadi et al, 2010). GCM lebih lanjut dikembangkan untuk dapat mencakup kondisi kompleks atmosfer maupun laut yang kemudian disebut sebagai Atmospheric-Ocean General Circulation Model (AOGCM). AOGCM memasukkan representasi dari proses fisik, kimia, dan dinamik yang relevan sebagai alat penting bukan hanya untuk 11

12 keperluan prediksi, tetapi untuk meningkatkan kemampuan dalam mengetahui umpan balik (feedbacks) dan sensitivitas pada masing-masing parameter iklim (Johns, et al; 2003). Beberapa AOGCM yang telah dikembangkan pada TAR antara lain: HadCM3, CGCM2, dan CSIRO. Ketiganya mampu menghasilkan model iklim tahun 1961 sampai 2099 dengan skala yang luas berdasarkan skenario SRES IPCC (Wilby dan Dawson, 2007). HadCM3 adalah AOGCM yang memasukkan gabungan unsur atmosfer dan laut yang dibuat oleh Hadley Center (UK) (Samadi, et al, 2010). Komponen atmosfer dibuat dalam luasan grid dengan resolusi horizontal sebesar of 2,5 garis lintang dengan 3,75 bujur. Luasan grid ini kurang lebih sebesar 300 km 2. Terdapat 19 level secara vertikal dalam pembuatannya Sedangkan komponen laut dibuat dalam 20 level secara vertikal dengan luasan grid dengan resolusi horizontal sebesar 1,5 garis lintang dengan 1,5 bujur (setiap grid komponen atmosfer memiliki 6 grid komponen laut). Komponen-komponen dalam HadCM3 tersebut dihasilan ke dalam data harian (Johns, et al, 2003; Pascale, et al, 2009; Samadi, et al, 2010). Model HadCM3 paling banyak digunakan dalam pendekatan-pendekatan perubahan iklim karena dapat digunakan dengan baik hampir di semua region di Bumi (Samadi, et al, 2010). 4.) Statistical Downscalling : Automated Statistical Downscalling (ASD) Wilby, et al., (2007) menyatakan bahwa GCM dihasilkan dalam resolusi spasial dengan skala yang kasar dan tidak mampu mencakup komponen-komponen dalam sub-grid seperti topografi dan proses konveksi awan. Hal ini juga menyebabkan detail dari iklim regional maupun lokal yang mempengaruhi heterogenitas dari fisiografi di satu region tidak dapat tercakup (Dibike and Coulibaly, 2006 dalam Samadi, et al, 2010). Kondisi ini sangat berpengaruh terutama ketika area kajian memiliki topografi yang kompleks (Wilby et al., 2002). Dalam banyak studi terkait dengan implikasi yang terjadi akibat perubahan iklim seperti hidrologi, penggunaan model untuk melakukan simulasi membutuhkan input data seperti curah hujan dan temperatur dalam skala sub-grid (regional ataupun lokal). Metode downscalling kemudian muncul untuk 12

13 menghasilkan output GCM dalam variabel-variabel meteorologi yang dapat digunakan dalam model-model sumberdaya air tersebut dengan melakukan penurunan skala (downscale) (Samadi et al, 2010; Hessami, 2008). Ratag (2006) menyebutkan teknik downscalling dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni: (1) GCM resolusi tinggi dan/ atau dengan resolusi yang dapat divariasikan; (2) Nested Limited area climate model; dan (3) Metode statistik (statistical downscalling) dan metode dinamik (dynamical downscalling). Metode statistical downscaling didasarkan bahwa kondisi iklim regional dipengaruhi oleh dua faktor: yaitu kondisi iklim untuk cakupan yang luas, dan kondisi fisik regional/lokal (misal topografi, distribusi daratan dan lautan, serta penggunaan lahan). Berdasarkan perspektif ini, informasi iklim lokal atau regional merupakan dapat diturunkan dari model statistik yang menghubungkan variabel iklim untuk cakupan skala yang lebih luas sebagai variabel bebas (predictors) dengan variabel lokal atau regional sebagai variabel bergantung (predictand) (Bayu, 2010). Terdapat dua metode statistical downscalling yang dikenal saat ini, yakni : Stochastic Weather Generator menggunakan LARS-WG dan Regression Downscalling Model menggunakan Statistical Downscalling Model (SDSM) atau Automated Statistical Downscalling (ASD). Perbandingan kedua metode statistical downscalling tersebut disebutkan secara lengkap dalam Gachon et al. (2005). SDSM dan ASD dalam Regression Downscalling Model sama-sama menggunakan statistik regresi dalam pemodelannya, namun untuk keperluan pemilihan predictors, ASD mampu melakukannya secara otomatis, sedangkan pada SDSM dilakukan secara manual. ASD sejatinya merupakan pengembangan dari SDSM. ASD dioperasikan menggunakan perangkat lunak Matlab. Seperti halnya SDSM, ASD dapat menghasilkan pemodelan terhadap curah hujan dan temperatur berdasarkan data GCM (Hessami et al, 2008) Model ini dapat melakukan proses downscaling berdasar hubungan antara predictor dan predictand dalam waktu harian menggunakan regresi linear berganda (multiple linear regression). Model ini menggunakan data dari NCEP/NCAR reanalysis sebagai predictor dan data dari stasiun pengukuran hujan sebagai predictand untuk melakukan kalibrasi model 13

14 (Nguyen, 2005; Wilby dan Dawson, 2008 dalam Bayu, 2010). Pemilihan predictor dalam ASD menggunakan metode regresi bertahap (stepwise regression). Regresi bertahap memungkinkan proses pemilihan variabel secara bertahap, karena dalam regresi ini pengujian dilakukan pada tiap tahap untuk menentukan kontribusi tiap variabel yang telah ada dalam model jika seandainya variabel tersebut masuk dalam langkah terakhir (Sudjana, 2001). Predictor terpilih yang sama digunakan pada GCM untuk menghasilkan model akhir berdasarkan skenario yang telah ditentukan (Hessami et al, 2008). Gambar 1.3 menunjukkan proses dalam ASD untuk menghasilkan model. Ratag (2006) menyebutkan bahwa teknik-teknik dalam statistical downscalling memiliki keunggulan, antara lain komputasinya yang jauh lebih murah sehingga dapat mudah diaplikasikan pada luaran berbagai simulasi berbasis GCM. Keuntungan lainnya berupa teknik ini dapat digunakan untuk memberikan informasi lokal yang dibutuhkan dalam banyak penelitian iklim. Kelemahan teoritis utama dari metode ini berupa asumsi dasarnya yang sering kali tidak dapat diverifikasi, dimana relasi-relasi statistik yang diperoleh untuk iklim masa lalu dan saat ini juga berlaku untuk iklim masa mendatang yang bisa saja dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang memaksa (forcing) terjadinya timbal balik antar parameter iklim yang berbeda Limpasan Permukaan 1.) Limpasan Permukaan Secara Umum Menurut Asdak (2002) limpasan permukaan (surface runoff) didefinisikan sebagai bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Dalam konteks ini pula runoff juga dapat diartikan sebagai aliran di atas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai, dan aliran air di dalam sungai (Arsyad, 2010). Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut air infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang hampir atau telah jenuh, air tersebut keluar ke permukaan tanah lagi lalu 14

15 mengalir ke bagian yang lebih rendah. Fenomena-fenoma tersebut disebut sebagai runoff (Asdak, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi air larian dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor yang berhubungan dengan iklim (terutama curah hujan) dan yang berhubungan dengan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS). Faktor-faktor iklim antara lain : lama waktu hujan, intensitas, dan penyebaran hujan, distribusi curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah. Sedangkan faktor yang termasuk dalam elemen DAS adalah kondisi penggunaan lahan, kondisi topografi, dan jenis tanah di dalam DAS (Asdak, 2002; Sosrodarsono, 1997 dalam Zakki, 2002). 2.) Proses Hujan Menjadi Limpasan Permukaan Hujan atau presipitasi didefinisikan oleh Seyhan (1990) sebagai tebal air yang berakumulasi di atas permukaan Bumi bila tidak terdapat kehilangan. Semua air yang bergerak di dalam bagian lahan dari daur hidrologi secara langsung maupun tidak langsung berasal dari presipitasi. Hujan merupakan komponen masukan paling penting dalam dalam proses hidrologi, karena jumlah ketebalan hujan ini yang dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan, aliran antara (interflow, sub surface flow), maupun sebagian aliran airtanah (groundwater flow) (Sri Harto, 1993). Limpasan permukaan terjadi apabila intensitas hujan yang jatuh di satu DAS melebihi melebihi kapasitas infiltrasi, setelah laju infiltrasi terpenuhi air akan mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah cekungan-cekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan mengalir (melimpas) di atas permukaan tanah. Limpasan permukaan yang merupakan air hujan yang mengalir dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan lahan akan masuk ke parit-parit dan selokan-selokan yang kemudian bergabung menjadi anak sungai dan menjadi aliran sungai. Hujan efektif merupakan representasi tebal hujan dari volume limpasan permukaan. Hujan efektif ini sama dengan hujan total yang jatuh di permukaan tanah dikurangi dengan kehilangan air (Trihatmojo, 2010). Kehilangan air dari hujan adalah perbedaan antara hujan yang jatuh pada suatu DAS dengan aliran langsung yang dihasilkan dari hujan tersebut (Baron et al., 1980 dalam Nahdifah 2001). Kehilangan tersebut 15

16 diakibatkan oleh adanya proses-proses hidrologi, yaitu: intersepsi, tampungan pada ledokan, infiltrasi, dan evapotranspirasi, serta kondisi kelembaban tanah awal sebelumnya (Griend, 1979 dalam Nahdifah, 2001). Proses terbentuknya hujan yang menjadi limpasan permukaan hingga menjadi debit sungai oleh Seyhan (1990) digambarkan dalam Gambar 1.6. Gambar 1.6 Proses Hujan Menjadi Limpasan (Sumber: Seyhan, 1990) 3.) Model Hidrologi : Metode Bilangan Kurva (SCS-CN) untuk Pendugaan Limpasan Permukaan Model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks (Sri Harto, 1993). Dooge (1968) dalam Sri Harto (1993) mendifinisikan model hidrologi sebagai sebuah struktur, alat, skema atau prosedur, baik riil maupun abstrak, yang dikaitkan dalam satu referensi waktu tertentu sebuah masukan atau sebab, tenaga atau informasi dengan keluaran, pengaruh atau tanggapan secara menyeluruh. Sri Harto juga melakukan pengkategorian terhadap model hidrologi sebagai berikut : 1. Model Fisik, dibuat sebagai cara untuk meniru purwa rupa (prototype) dengan model, misalnya model bendung, model karib, model bangunan pelimpah dan lain sebagainya. Model fisik biasanya lebih mahal dan pemakaiannya yang sangat terbatas karena kesulitan yang dijumpai dalam mencari faktor fisik saat pembuatan model purwa rupa. 16

17 2. Model analog, disusun dengan menggunakan resistor-kapasitor untuk memecahkan persamaan-persamaan diferensiasi yang mewakili proses hidrologi. 3. Model matematis, menyajikan sistem dalam rangkaian persamaan dan sering kali menyajikan hubungan antar variabel dan antar parameter. Metode SCS-CN (Soil Conservation Service Curve Number) merupakan model yang dikembangkan oleh SCS-USDA untuk mensimulasikan nilai volume runoff dengan memasukkan parameter penggunaan lahan, tekstur tanah, dan tingkat kelembaban tanah saat terjadi hujan (USACE, 2000 dalam Tivianton, 2008). Penggunaan berbagai parameter yang disimulasikan untuk menghasilkan volume limpasan mendeskripsikan bahwa model ini masuk dalam kategori matematis, dimana mempertimbangkan hubungan antara parameter dan mengaitkannya dengan pendekatan numerik Penelitian Sebelumnya Penelitian terkait dengan perubahan iklim terhadap limpasan permukaan di Indonesia terbilang masih sedikit dijumpai. Namun ada beberapa peneliti yang mampu memanfaatkan GCM untuk keperluan pemodelan curah hujan dan temperatur. Salah satunya ialah Santosa (2004). Penelitian dilakukan dengan menerapkan model INDOCLIM, yakni sebuah model yang memadukan tiga komponen, yaitu tata guna lahan, iklim, dan sistem hidrologi. Masing-masing komponen dibuat berdasarkan time-series untuk memperoleh pola perubahan. Perubahan tata guna lahan disimulasikan secara spasial menggunakan metode celullar automata yang memungkinkan sebuah pola spasial berevolusi sendiri dari penggunaan lahan satu ke penggunaan lahan lain dengan aturan perubahan tertentu. Perubahan iklim disimulasikan berdasarkan skenario SRES (Special Report on Emission Scenarios) oleh IPCC (Intergovernmental Panel for Climate Change). Komponen sistem hidrologi yang berfungsi untuk menghitung perubahan debit air sungai bulanan dilakukan dengan menggunakan metode neraca air oleh Sir MacDonald Ana Partners (1984). 17

18 Simulasi tata guna lahan yang telah diterapkan di Cekungan Bandung menghasilkan pola secara garis besar yakni area urban yang mencapai luasan tertinggi pada tahun 2100 apabila skenario dengan kebijakan pro industri dipilih, dan terendah apabila skenario pro pertanian dipilih. Hasil pemodelan INDOCLIM menghasilkan kesimpulan bahwa masing-masing perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim mempengaruhi debit bulanan maupun debit tahunan, dan variabilitas air sungai dengan perubahan iklim yang lebih tinggi tingkat kesensitifannya. Berikutnya Susandi memanfaatkan metode MAGIC/SCENGEN. Ada dua tahap utama dalam melakukan penelitian ini, yaitu menjalankan model perubahan iklim berdasarkan skenario B2AIM yang diterapkan menggunakan MAGICC/SCENGEN berdasarkan skenario B2 IPCC dan kemudian mengolah data SRTM menjadi DEM menggunakan teknik penginderaan jauh. Hasil yang diperoleh dari skenario yang dibuat sampai tahun 2100 yakni beberapa kecamatan di Banjarmasin mengalami dampak dari kenaikan muka laut tersebut, diantaranya adalah kecamatan Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Utara, Banjarmasin Barat, dan Banjarmasin Selatan. Daratan yang hilang di wilayah Banjarmasin ini diakibatkan karena sungai Barito yang mengalir di antara Kota Kalimantan dan Kabupaten Barito Kuala mendapatkan massa air kiriman dari laut Jawa. Permukaan sungai Barito menjadi naik sebagai akibat kenaikan muka laut di laut Jawa karena perubahan iklim. Banjir yang terjadi disebabkan karena daratan Banjarmasin yang rendah, sehingga permukaan air sungai Barito yang lebih tinggi menyebabkan meluapnya air ke daratan. Edison Kurniawan, Herizal, dan Budi Setiawan (2009) memanfaatkan model AOGCM CCSR/NIES. Dalam penelitian ini hanya dipilih dua skenario yaitu A2 dan B2, dikarenakan kedua skenario merupakan skenario referensi yang lebih mengedepankan pendekatan regional. Proyeksi dari perubahan iklim masa depan terhadap temperatur udara permukaan dan curah hujan khususnya di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Kototabang Sumatera Barat dengan menggunakan model AOGCM CCSR/NIES telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa hingga tahun 2080, intensitas curah hujan akan mengalami 18

19 peningkatan hingga 20% dibandingkan nilai rata-ratanya. Namun yang menarik disini, pada periode SON dua skenario yakni SRES A2 dan B2 sepakat bahwa adanya penurunan intensitas curah hujan hingga mencapai 15%. Penurunan ini belum diketahui penyebabnya, namun kondisi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam melihat proyeksi perubahan iklim di masa depan. Bayu (2010) juga pernah melakukan penggunaan model HadCM3 untuk melakukan pendugaan terhadap limpasan. Limpasan yang dimaksud merupakan hujan yang menjadi total aliran sungai, termasuk di dalamnya aliran permukaan dan aliran dasar menggunakan metode Thornthwaite Mather Modifikasi. Proses downscalling menggunakan Statistical Downscalling Model (SDSM). Seperti halnya ASD, downscalling dilakukan dengan menggunakan metode statistik, namun dalam melakukan pemilihan predictor masih dilakukan secara manual Kerangka Pemikiran Peningkatan aktivitas di permukaan Bumi terutama sejak era industrialisasi dimulai mengakibatkan terjadinya kenaikan gas rumah kaca (GRK). Peningkatan ini terindikasi menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur di permukaan Bumi. Dampak yang terjadi akibat pemanasan secara global ini ialah terjadinya kenaikan muka air laut, penurunan salju dan pencairan es, serta peningkatan presipitasi di sejumlah wilayah di dunia. Guna melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim, IPCC melakukan observasi untuk menghadirkan skenario iklim yang didasarkan pada kondisi sosioekonomi di masa yang akan datang. Skenario dibuat dalam berbagai macam kondisi dan asumsi. Untuk menghadirkan kajian empirik mengenai teori perubahan iklim ini, maka disusun model-model iklim yang didasarkan pada kondisi atmosfer dan lautan. Model-model iklim ini lalu disebut sebagai General Circulation Model (GCM). Varian GCM dari beberapa peneliti sangat disesuaikan pada fokus kajian dari pembuatan GCM tersebut. GCM yang umum digunakan dan dapat menjangkau di seluruh region di Bumi ialah HadCM3 yang disusun oleh Hadley Center (UK). GCM hadir dengan skala yang kasar. Hal ini kemudian memicu munculnya teknik untuk melakukan downscalling agar mampu diterapkan di skala lokal. Salah 19

20 satu teknik downscalling adalah Automated Statistical Downscalling (ASD) yang menerapkan fungsi statistik regresi. Teknik downscalling dapat digunakan untuk mensimulasikan curah hujan di masa yang akan datang berdasarkan skenarioskenario emisi GRK SRES IPCC. Dampak perubahan iklim terhadap curah hujan dapat menambah atau mengurangi besarnya curah hujan. Faktor utama dalam menentukan limpasan permukaan ialah curah hujan. Jika terjadi perubahan pada curah hujan baik intensitas maupun tebal dapat mempengaruhi besarnya volume limpasan. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) pada penelitian ini diasumsikan tidak mengalami perubahan. 20

21 Peningkatan aktivitas manusia Peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) Perubahan iklim Skenario GRK berdasarkan kondisi sosio-ekonomi oleh IPCC General Circulation Model Downscalling Perubahan Curah Hujan Perubahan Limpasan Permukaan Gambar 1.7. Kerangka Pemikiran Penelitian 21

ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE BILANGAN KURVA BERDASARKAN SKENARIO IKLIM SRES IPCC DI SUB DAS WURYANTORO

ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE BILANGAN KURVA BERDASARKAN SKENARIO IKLIM SRES IPCC DI SUB DAS WURYANTORO ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE BILANGAN KURVA BERDASARKAN SKENARIO IKLIM SRES IPCC DI SUB DAS WURYANTORO Sugeng Riyadi Wijanarko sugengriyadiw@gmail.com Sudibyakto sudib@ugm.ac.id ABSTRACT

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment, basin, watershed) merupakan daerah dimana seluruh airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Pengertian 2 Global warming atau pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global permukaan bumi telah 0,74 ± 0,18 C (1,33 ±

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah permukaan bumi sebagai tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang mempunyai

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

ESTIMASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP HUJAN WILAYAH DI DAS PROGO HULU MENGGUNAKAN SKENARIO IKLIM HadCM3 DENGAN SKENARIO EMISI A2 DAN B2

ESTIMASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP HUJAN WILAYAH DI DAS PROGO HULU MENGGUNAKAN SKENARIO IKLIM HadCM3 DENGAN SKENARIO EMISI A2 DAN B2 ESTIMASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP HUJAN WILAYAH DI DAS PROGO HULU MENGGUNAKAN SKENARIO IKLIM HadCM3 DENGAN SKENARIO EMISI A2 DAN B2 Slamet Suprayogi 1, Ahmad Cahyadi 2, Tommy Andryan Tivianton 3,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1  ( ) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Informasi ramalan curah hujan sangat berguna bagi petani dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian-kejadian ekstrim (kekeringan akibat El- Nino dan kebanjiran akibat

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS MONEV TATA AIR DAS ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN Oleh: Agung B. Supangat Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. A.Yani-Pabelan PO Box 295 Surakarta Telp./fax. (0271)716709, email: maz_goenk@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bumi merupakan satu-satunya tempat tinggal bagi makhluk hidup. Pelestarian lingkungan dilapisan bumi sangat mempengaruhi kelangsungan hidup semua makhluk hidup. Suhu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin Dr. Armi Susandi, MT., Indriani Herlianti, S.Si., Mamad Tamamadin, S.Si. Program Studi Meteorologi - Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah sebuah proses pergerakan air dari bumi ke armosfer dan kembali lagi ke bumi yang berlangsung secara kontinyu (Triadmodjo, 2008). Selain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekeringan merupakan fenomena alam yang kompleks dengan prosesnya berjalan lambat, tidak diketahui pasti awal dan kapan bencana ini akan berakhir, namun semua baru

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Hujan / Presipitasi Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sampai saat ini, GCM (general circulation models) diakui banyak pihak sebagai alat penting dalam upaya memahami sistem iklim. GCM dipandang sebagai metode yang paling

Lebih terperinci

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,

Lebih terperinci

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU SELASA 11.20 13.00 SABTU 12.00 13.30 MATERI 2 PENGENALAN HIDROLOGI DATA METEOROLOGI PRESIPITASI (HUJAN) EVAPORASI DAN TRANSPIRASI INFILTRASI DAN PERKOLASI AIR TANAH (GROUND WATER) HIDROMETRI ALIRAN PERMUKAAN

Lebih terperinci

Kementerian PPN/Bappenas

Kementerian PPN/Bappenas + Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) Kementerian PPN/Bappenas Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia 2013 + OUTLINE 2 I. LATAR BELAKANG II. III. IV. HISTORI KONDISI IKLIM INDONESIA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi iklim di bumi tidak pernah statis, tapi berbeda-beda dan berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Curah hujan tidak bekerja sendiri dalam membentuk limpasan (runoff). Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai (DAS) sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Penelitian sejenis mengenai Kajian Kebutuhan Air Irigasi Pada Jaringan Irigasi sebelumnya pernah ditulis oleh (Oktawirawan, 2015) dengan judul Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air adalah kekuatan pendorong dari semua alam.air adalah salah satu dari empat unsur penting di dunia ini. Air memiliki begitu banyak manfaat dan tak ada kegiatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya suhu rata-rata pada lapisan

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya suhu rata-rata pada lapisan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanasan global (global warming) merupakan isu lingkungan yang hangat diperbincangkan saat ini. Secara umum pemanasan global didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya

Lebih terperinci

Prediksi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Kabupaten Tuban Akibat Perubahan Iklim

Prediksi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Kabupaten Tuban Akibat Perubahan Iklim JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, (Sept, 2012) ISSN: 2301-9271 G-161 Prediksi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Kabupaten Tuban Akibat Perubahan Iklim Ayu Haristyana, Suntoyo dan Kriyo Sambodho Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Morfometri Sungai Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Sekayu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen 7 radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan

Lebih terperinci

VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA PERMUKAAN WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT AIRS

VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA PERMUKAAN WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT AIRS VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA PERMUKAAN WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT AIRS Lely Qodrita Avia, Indah Susanti, Agung Haryanto Pusfatsatklim LAPAN, lely@bdg.lapan.go.id Abstract Air temperature

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permukaan Bumi (Shauji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar

BAB I PENDAHULUAN. permukaan Bumi (Shauji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shauji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi. Sekitar 396.000 kilometer kubik air masuk ke udara setiap tahun. Bagian yang terbesar sekitar 333.000 kilometer kubik naik dari samudera. Tetapi sebanyak 62.000 kilometer kubik ditarik dari darat, menguap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Umum merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kegiatan penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), konsekuensi keruangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Hidrologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam, yang meliputi bentuk berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara kepulauan yang secara astronomis terletak di sekitar garis katulistiwa dan secara geografis terletak di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terjadi secara terus menerus, air

Lebih terperinci

2. PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING

2. PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING 2. PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING 2.1 Model Sirkulasi Umum (General Circulation Models:GCM) GCM merupakan penggambaran matematis dari sejumlah besar interaksi fisika, kimia, dan dinamika atmosfer bumi.

Lebih terperinci

TIK. Pengenalan dan pemahaman model dasar hidrologi terkait dengan analisis hidrologi

TIK. Pengenalan dan pemahaman model dasar hidrologi terkait dengan analisis hidrologi HIDROLOGI TERAPAN MODEL HIDROLOGI TIK Pengenalan dan pemahaman model dasar hidrologi terkait dengan analisis hidrologi 1 Model dalam SDA Dalam kegiatan analisis hidrologi untuk berbagai kepentingan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di bumi, air yang berada di wilayah jenuh di bawah air permukaan tanah secara global, kira-kira sejumlah 1,3 1,4 milyard km3 air: 97,5 % adalah airlaut 1,75 % berbentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrologi (hydrological cycle) merupakan rangkaian proses perubahan fase dan pergerakan air dalam suatu sistem hidrologi (Hendrayanto 2009). Menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere

Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosphere Biosphere Hydrosphere Lithosphere Atmosfer Troposfer Lapisan ini berada pada level yang paling rendah, campuran gasgasnya adalah yang paling ideal untuk menopang kehidupan di bumi. Di lapisan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PERNYATAAN... iii LEMBAR PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xi DAFTAR LAMPIRAN.... xii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggungpunggung gunung atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup yang tidak akan pernah lepas dari kebutuhan hidup. Salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan. Variasi

Lebih terperinci

Penggunaan Model Simulasi Atmosfer Sebagai Alat Pembelajaran Dalam Pendidikan

Penggunaan Model Simulasi Atmosfer Sebagai Alat Pembelajaran Dalam Pendidikan Penggunaan Model Simulasi Atmosfer Sebagai Alat Pembelajaran Dalam Pendidikan Didi Satiadi & Dadang Subarna Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173 e-mail satiadi@bdg.lapan.go.id

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

4. Apakah pemanasan Global akan menyebabkan peningkatan terjadinya banjir, kekeringan, pertumbuhan hama secara cepat dan peristiwa alam atau cuaca yan

4. Apakah pemanasan Global akan menyebabkan peningkatan terjadinya banjir, kekeringan, pertumbuhan hama secara cepat dan peristiwa alam atau cuaca yan Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Semenjak manusia pada jaman purbakala sampai dengan jaman sekarang, manusia telah mengalami perkembangan dalam setiap periode waktu yang dilewatinya yang telah kita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang di batasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. BAB I SIKLUS HIDROLOGI A. Pendahuluan Ceritakan proses terjadinya hujan! Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. Tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Secara alami CO 2 mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan makhluk hidup. Tumbuhan sebagai salah satu makhluk hidup di bumi memerlukan makanannya untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC,2001), konsentrasi gas-gas rumah kaca, khususnya CO2, CH4, dan N2O dalam dua abad terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisa Hidrologi Analisis hidrologi merupakan salah satu bagian dari keseluruhan rangkaian dalam perencanaan bangunan air seperti sistem drainase, tanggul penahan banjir dan

Lebih terperinci

Perubahan iklim dan dampaknya terhadap Indonesia

Perubahan iklim dan dampaknya terhadap Indonesia Perubahan iklim dan dampaknya terhadap Indonesia Haneda Sri Mulyanto Bidang Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bogor, 16 Januari 2010 Keterkaitan antara Pembangunan dan Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim menjadi kajian penting dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan iklim dipicu oleh pemanasan global yang menyebabkan suhu udara naik. Intergovernmental

Lebih terperinci

APA & BAGAIMANA PEMANASAN GLOBAL?

APA & BAGAIMANA PEMANASAN GLOBAL? APA & BAGAIMANA PEMANASAN GLOBAL? Temperatur rata-rata global 1856 sampai 2005 Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada temperatur rata-rata dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit pada jangka

TINJAUAN PUSTAKA. udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit pada jangka II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cuaca dan Iklim Menurut Sarjani (2009), cuaca dan iklim merupakan akibat dari prosesproses yang terjadi di atmosfer yang menyelubungi bumi. Cuaca adalah keadaan udara pada saat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Sistem terbuka dalam sebuah DAS

BAB I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Sistem terbuka dalam sebuah DAS BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) yang dalam Bahasa inggris sering disebut "Watershed", "Catchment Area", atau "Drainage Basin" merupakan satu contoh dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia Paul Rizky Mayori Tangke* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci