BAB II PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) BERBENTUK PERSERO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) BERBENTUK PERSERO"

Transkripsi

1 BAB II PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) BERBENTUK PERSERO A. Dasar Hukum Pengadaan Barang dan/jasa di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero Pembahasan mengenai dasar hukum pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero akan terkait langsung dengan analisis terhadap kedudukan BUMN Persero itu sendiri dan status hukum sumber dana yang dipergunakan BUMN Persero untuk membiayai pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, sebelum menganalisis dasar hukum pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero, maka akan terlebih dahulu dianalisis status badan hukum BUMN Persero dan kekayaan yang dimilikinya. Setelah permasalahan tersebut terjawab, barulah dapat dianalisis apakah pengadaan barang dan jasa pada BUMN Persero tunduk pada aturan-aturan hukum terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah, atau peraturan tersendiri yang berbeda dengan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. 1. BUMN Persero sebagai badan hukum mandiri BUMN yang berbentuk Persero pada dasarnya adalah perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah digantikan oleh UU No. 40 Tahun Hal ini dapat dilihat dari pencantuman kata Perseroan Terbatas pada

2 BUMN berbentuk persero dan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang menyebutkan : Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007 secara tegas menyebutkan bahwa perseroan terbatas ada badan hukum. Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 2007 mendefenisikan perseroan terbatas sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 35 Status badan hukum tersebut diperoleh oleh perseroan terbatas bersamaan dengan tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. 36 Sejak diperolehnya status badan hukum tersebut, maka tanggungjawab para pemegang saham berubah menjadi tanggungjawab terbatas pada modal yang disetorkannya pada perseroan. Tanggungjawab terhadap perikatanperikatan yang dilakukan perseroan menjadi tanggungjawab perseroan itu sendiri sebagai badan hukum. Perseroan terbatas sebagai badan hukum menduduki kedudukan penting bagi hukum, karena badan hukum adalah subjek hukum seperti halnya manusia yang memiliki hak dan tanggungjawab sendiri terpisah dari para pendirinya. Terkait hal ini Robert W. Hamilton menyatakan : Oleh karena badan hukum adalah subjek, maka ia merupakan badan yang independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri 35 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka (1) 36 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 7 ayat (4).

3 seperti halnya manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua atas nama badan itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri. 37 M. Yahya Harahap menegaskan bahwa kedudukan perseroan terbatas sebagai badan hukum menjadikan perseroan terbatas sebagai entitas hukum yang terpisah dari pendirinya (separate entity). 38 Lebih jauh dikatakan : Hukum perseroan terbatas seperti yang dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT 2007, secara imajiner membentangkan tembok pemisah antara perseroan dengan pemegang saham untuk melindungi pemegang saham dari segala tindakan, perbuatan dan kegiatan perseroan terbatas. Tindakan, perbuatan dan kegiatan perseroan bukanlah tindakan pemegang saham. Kewajiban dan tanggungjawab Perseroan bukan kewajiban dan tanggungjawab pemegang saham. 39 Tujuan utama yang ingin dicapai prinsip separate entity dan limited liability pada perseroan terbatas adalah untuk menjadikan perseroan terbatas sebagai kenderaan yang menarik untuk menanamkan modal (attractive investment vehicle), sebab melalui prinsip separate entity hukum memberikan tembok dan tabir perlindungan kepada pemegang saham yang tidak berdosa (innocence shareholder) terlepas dan terbebas dari tuntutan pihak ketiga yang timbul dari kontrak atau transaksi yang dilakukan perseroan. Dengan demikian melalui perisai atau tabir limited liability, bertujuan untuk membudayakan investor pasif, yakni para pemegang saham menaruh sejumlah uang dalam bisnis yang dikelola perseroan tanpa memikul resiko yang dapat menjangkau harta pribadinya Robert W. Hamilton, The Law of Corporation, (St. Paul Minnesota : West Publishing Co, 1996), hal M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal Ibid, hal Ibid., hal. 75

4 Tanggungjawab terbatas (limited liability) memberikan fleksibilitas dalam mengalokasikan risiko dan keuntungan antara equity holders dan debt holders, mengurangi biaya pengumpulan transaksi-transaksi dalam perkara insolvensi dan secara substansial menstabilkan harga saham. Tanggungjawab terbatas dari pemegang saham juga berperan penting dengan memberikan kemudahan dalam pendelegasian menejemen. 41 Jimly Asshiddiqie mengemukan ada dua syarat untuk adanya sebuah badan hukum, yakni : (1) syarat materiil dan (2). Syarat formil. Syarat materiil berkaitan dengan substansi dari badan hukum itu, yang meliputi : adanya kekayaan yang terpisah, tujuan yang ideal, kepentingan dan organisasi pengurus. Syarat formal berkaitan dengan pendaftaran badan hukum untuk memperoleh status badan hukum. Untuk memperoleh status badan hukum, perseroan terbatas harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI. 42 Berdasarkan uraian-uraian teoritis diatas, BUMN berbentuk persero memenuhi seluruh persyaratan sebagai badan hukum yang mandiri. Dengan demikian BUMN Persero adalah entitas hukum yang terpisah dari pendirinya yang dalam hal ini adalah Negara cq. Pemerintah. Sebagai badan hukum yang mandiri dan terpisah, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh BUMN Persero, demikian pula tanggungjawab atas tindakan tersebut merupakan tindakan dan tanggungjawab BUMN Persero itu sendiri, bukan merupakan tindakan Negara atau pemerintah. 41 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas ; Doktrin, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, (Yogyakarta : Total Kreasi Media, 2009), hal Jimly Asshiddiqie, dalam H. Salim H.S, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 186.

5 2. Status kekayaan dipisahkan pada BUMN Persero Salah satu karakteristik yang penting dari badan hukum adalah adanya kekayaan yang terpisah. Theory of the Zweckvermogen menyatakan bahwa badan hukum harus terdiri atas sejumlah kekayaan yang digunakan untuk tujuan tertentu. Kekayaan tersebut ditentukan oleh objek dan tujuan yang ditentukan dalam status badan hukum, dan tidak ditentukan oleh individual anggotanya. 43 Oleh karena itulah kekayaan badan hukum itu harus terpisah dari kekayaan pendirinya. Kekayaan yang terpisah tersebut digunakan untuk mencapai tujuan badan hukum dan juga berfungsi sebagai jaminan secara umum terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan hukum. HMN. Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Salah satu syarat terpenting tersebut adalah adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan hukum itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi sekutu atau pendiri. 44 Syarat ini merupakan syarat materiil yang harus ada dalam badan hukum. Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan hukum itu sendiri. Kekayaan tidak dimiliki oleh pemilik atau oleh anggota atau pemegang saham. Fakta ini adalah suatu kelebihan utama dari badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham Ridwan Khairandy, op.cit, hal HMN. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2 (Jakarta : Djambatan, 1982), hal David Kelly, Business Law, (London : Cavendish Publishing Limited, 2002), hal. 345.

6 Kekayaan yang terpisah (separate patrimony) adalah elemen utama dari personalitas hukum sebuah badan hukum. Dengan kata lain, kedudukan badan hukum sebagai entitas hukum hanya bisa bermakna jika terdapat elemen kekayaan terpisah. Hal ini merupakan kemampuan perusahaan untuk memiliki asset-aset yang terpisah dengan kekayaan orang lain, seperti perusahaan investor, dan juga memiliki kebebasan tidak hanya menggunakan dan menjual kekayaannya, tetapi juga dapat menggadaikan kekayaan tersebut kepada kreditur. Pandangan yang hampir sama dengan pandangan-pandang tersebut diatas, dikemukan oleh Erik Vermuelen, sebagai berikut : Konsep perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari para pemegang sahamnya merupakan sikap yang dianggap penting bagi status korporasi sebagai suatu badan hukum yang membedakannya dengan bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Sifat terbatasnya tanggungjawab secara singkat merupakan pernyataan dari prinsip bahwa pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi atas kewajiban perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari pemegang sahamnya. Prinsip continuity of existence menegaskan tentang pemisahaan kekayaan korporasi dengan pemiliknya. Badan hukum itu sendiri tidak dipengaruhi oleh kematian ataupun pailitnya pemegang saham. Badan hukum juga tidak dipengaruhi oleh perubahan struktur kepemilikan saham perusahaan. Sebagai akibatnya, saham-saham perusahaan dapat diperdagangkan secara bebas. 46 Pandangan tersebut di atas menegaskan adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara legal entity badan hukum dengan kekayaannya yang terpisah dari pemegang sahamnya. Badan hukum sebagai legal entity memiliki tanggungjawab mandiri yang terpisah dari para pemegang sahamnya. Kekayaan terpisah adalah milik badan hukum, karena itulah para pendiri/pemegang saham tidak bertanggungjawab sampai kekayaan pribadi pendiri/pemegang saham, karena 46 Erik. PM. Vermuelen, The Evolution of Legal Business Forms in Europe and the United States : Venture Capital, Joint Venture, and Partnership Structures, (Deventer : Kluwer Law International, 2002), hal. 189.

7 badan hukum yang melakukan tindakan mandiri tersebut memiliki kekayaan sendiri. Cara pandang sebagaimana diuraikan di atas akan dipergunakan untuk menganalisis status kekayaan yang terpisah pada BUMN Persero. Analisis ini sangat penting, karena hal ini sangat menentukan status kepemilikan kekayaan BUMN Persero yang kemudian dipergunakan sebagai sumber dana dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero tersebut. Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) jelas menyebutkan makna dan tujuan pemisahan kekayaan Negara tersebut dengan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahaan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistim APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN tersebut sangat menyadari adanya kesulitan dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai penyertaan modal jika pengelolaannya tunduk pada sistim APBN. Menundukkan pembinaan dan pengolaan kekayaan Negara pada prinsip koorporasi yang sehat hanya dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan pada teori-teori atau doktrin-doktrin badan hukum, terkait dengan kekayaan terpisah. Oleh karena BUMN berbentuk PT Persero adalah badan hukum, sebagaimana diuraikan terdahulu, maka entitas ini tidak bisa diperoleh jika

8 PT. Persero tersebut tidak memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara sebagai pemegang sahamnya. Oleh karena itulah pemisahaan kekayaan Negara sebagai penyertaan modal di BUMN berbentuk PT. Persero harus dilakukan. Dengan demikian, maka kekayaan yang dimiliki oleh BUMN Persero adalah milik BUMN Persero tersebut dan bukan merupakan milik Negara. Kepemilikan Negara terhadap BUMN Persero adalah sepanjang mengenai modal yang disetorkan oleh Negara atau dalam bentuk saham yang dimiliki oleh Negara. Hasil dari pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan tersebut adalah milik BUMN PT. Persero tersebut. Apabila kekayaan yang dimiliki BUMN Persero hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan tersebut dipandang sebagai milik Negara, maka pemaknaan yang demikian tidak konsisten dengan tujuan pemisahaan kekayaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU BUMN dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsip badan hukum yang diakui secara umum, yakni adanya kekayaan yang terpisah. Pemaknaan yang demikian membawa konsekwensi yang membingungkan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan hukum. Jika tidak terpisah antara kekayaan Negara dengan kekayaan BUMN Persero, maka tindakan yang dilakukan oleh BUMN Persero akan identik dengan tindakan Negara dan tanggungjawabnya pun menjadi tanggungjawab Negara. Sementara secara filosofi salah satu tujan utama pemisahaan kekayaan Negara tersebut adalah untuk membatasi tanggungjawab Negara sebatas modal yang disetorkan oleh Negara. Dengan penafsiran yang demikian, maka pada prinsipnya akan gugur status badan hukum dari BUMN Persero tersebut, karena menyatunya kekayaan Negara sebagai pemegang saham dengan kekayaan BUMN Persero itu sendiri Dasar hukum pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero Peraturan perundang-undangan yang mana yang akan dirujuk sebagai dasar hukum proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero? Apakah pengadaan barang dan jasa BUMN Persero tunduk pada peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Perpres No. 8 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES) No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan 47 ibid

9 Barang /Jasa Pemerintah atau tunduk pada peraturan tersendiri yang ditetapkan khusus untuk BUMN? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada pemahaman tentang status hukum kekayaan yang dipergunakan sebagai sumber dana yang membiayai pengadaan barang dan jasa tersebut. Ketentuan Pasal 2 dari PERPRES No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa ruang lingkup keberlakuan dari Perpres tersebut adalah terhadap : a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD. b. Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Ruang lingkup keberlakuan tersebut tidak berpedoman pada lembaga yang melaksanakan tetapi adalah sumber dana yang dipergunakan. Meskipun pasal 2 ayat (1) huruf b tersebut menyebut pengadaan barang dan jasa di BUMN sebagai bagian dari lingkup keberlakuan peraturan, namun tidak berarti bahwa demi hukum pengadaan barang dan jasa BUMN harus menggunakan Perpres tersebut, karena yang terpenting adalah sumber dana dari pengadaan barang/jasa tersebut. Apabila sumber dana pengadaan barang dan jasa berasal dari APBN baik sebahagian atau seluruhnya, maka pengadaan barang dan jasa tersebut tunduk pada Perpres No. 54 Tahun 2010, namun apabila sumber biaya pengadaan barang dan jasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya bukan berasal dari APBN, maka

10 pengadaannya barang dan jasa di BUMN tidak termasuk dalam lingkup keberlakuan Perpres tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka sangat penting untuk mengetahui sumber pembiayaan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan BUMN. Apabila dana BUMN yang dipergunakan tersebut dimaknai sama dengan APBN maka pengadaan barang dan jasa tersebut tunduk pada Perpres No. 54 Tahun Sebaliknya apabila dana BUMN yang dipergunakan tersebut dimaknai bukan merupakan dana APBN maka pengadaan barang dan jasa tersebut tidak tunduk pada Perpres No. 54 Tahun Konsisten dengan maksud penjelasan pasal 4 ayat (1) UU BUMN yang menyebutkan tujuan pemisahan kekayaan Negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN yang untuk selanjutnya pengelolaannya tidak tunduk lagi sistem APBN, dan konsisten dengan doktrin-doktrin ilmu hukum tentang kekayaan yang terpisah pada badan hukum, maka jelaslah bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN tersebut penggunaannya tidak lagi tunduk pada system APBN. Dengan demikian apabila dana yang digunakan BUMN Persero dalam pengadaan barang dan jasa dana BUMN itu sendiri yang merupakan hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka jelas bahwa dana tersebut bukan termasuk lagi dana APBN yang penggunaannya tunduk pada system APBN sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Oleh karena itu penggunaannya dalam pengadaan barang dan jasa tidak tunduk pada tata cara penggunaan APBN sebagaimana diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.

11 Konsisten dengan pendapat bahwa dana BUMN Persero yang digunakan untuk membiayai pengadaan barang dan jasa BUMN bukanlah dana APBN, maka masalah pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero (sepanjang tidak langsung menggunakan APBN), adalah dalam lingkup pengaturan BUMN sebagai badan hukum, bukan pada lingkup pengaturan penggunaan APBN. Dengan kata lain, lingkup pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN haruslah dilihat dalam konteks pengaturan BUMN. Berdasarkan hal tersebut, dasar hukum pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN merujuk pada ketentuan Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN, yang berbunyi sebagai berikut : (1). Pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari APBN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2). Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri. (3). Pedoman umum dan tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan transparansi. 48 Dengan demikian pengadaan barang dan jasa BUMN Persero yang dibiayai bukan dari dana APBN, maka pengaturan pengadaan barang dan jasanya tunduk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Direksi dengan mempedomani pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri BUMN dan tetap berpedoman pada prinsip efisiensi 48 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN, Pasal 99.

12 dan transparansi sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tersebut. Berdasarkan Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tersebutlah Menteri BUMN kemudian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri BUMN No. S.298/S.MBU/2007 tanggal 25 Juni 2007 yang dikeluarkan oleh kementerian BUMN yang ditujukan kepada seluruh jajaran Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN yang pada dasarnya menyatakan bahwa tata cara pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN tidak tunduk pada ketentuan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN. 49 Selanjutnya ditindaklanjuti Menteri BUMN dengan mengeluarkan pedoman umum yang diperintah Pasal 99 ayat (2) PP No. 45 Tahun 2005 dengan Peraturan Menteri BUMN No. PER 05/MBU/2008 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMN. Pada dasarnya Permeneg BUMN ini juga menegaskan bahwa proses pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan BUMN ditetapkan sendiri oleh Direksi BUMN dengan berpedoman pada pedoman umum pengadaan barang dan jasa yang ditetapkan Menteri BUMN. Dengan demikian tata cara pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN tidak tunduk sepenuhnya kepada Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah diakses pada tanggal 30 Oktober Ibid.,

13 Peraturan Meneg BUMN No.PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang & Jasa BUMN, memberikan keleluasaan bagi BUMN dalam melakukan pengadaan barang & jasa sesuai kebutuhan bisnis. Kebijakan ini memperkuat posisi BUMN sebagai entitas bisnis, bukan entitas pemerintah yang harus berpedoman Keppres No.80/tahun 2003 yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES) No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah.yang telah berlaku sejak ditetapkan yaitu tanggal 6 Agustus BUMN yang menggunakan dana diluar APBN/APBD diberikan kewenangan penuh mengatur tata cara belanja secara cepat, fleksibel, efisien, efektif sehingga tidak kehilangan peluang bisnis dan menimbulkan kerugian. Menteri BUMN melalui surat edaran tertanggal 8 Mei 2009 No.SE- 07/MBU/2009 meminta seluruh Direksi BUMN menyusun dan menyesuaikan peraturan/keputusan pengadaan barang & jasa dengan tetap memperhatikan prinsip efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil, wajar dan dapat dipertanggung jawabkan. 51 Bahwa kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditetapkan pada 6 Agustus 2010 yang mana Peraturan Presiden ini memiliki ruang lingkup yang mencakup Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian dan seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. 51 Ibid.,

14 Sehingga Peraturan Presiden ini menambah daftar peraturan tentang Pengadaan Barang/Jasa dilingkungan BUMN. 52 Peraturan Menteri BUMN No. PER 05/MBU/2008 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMN tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, karena merupakan perintah langsung dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 yang hirarkinya lebih tinggi dari Peraturan Presiden No. 54 Tahun Permen BUMN No. PER 05/MBU/2008 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan hukum berdasarkan ketentuan UU No.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembuatan Peraturan perundang-undangan. B. Kewenangan Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Direksi dalam Menetapkan Pedoman Pengadaan Barang dan/atau Jasa di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara Persero Pasal 99 ayat (2) dari PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN memberikan kewenangan kepada Menteri BUMN untuk membuat pedoman umum pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN. Pedoman umum ini berfungsi sebagai rujukan bagi direksi BUMN untuk menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN yang dipimpinnya. Pengaturan secara khusus pengadaan barang dan jasa di BUMN yang berbeda dengan pengaturan pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan dana APBN, bukanlah sesuatu yang baru dikenal dalam PP No. 45 Tahun Pasal 2 ayat (1) b Peraturan Presiden RI No.54 Tahun 2010

15 Sebelumnya telah ditetapkan dalam PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM). Pasal 37 PP No. 12 Tahun 1998 menyebutkan : Bagi PERSERO tidak berlaku: 1. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1995; 2. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan atau Pemindahtanganan Barang-barang yang Dimiliki/Dikuasai Negara; 3. segala ketentuan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi pegawai negeri. Dalam penjelasan Pasal 37 tersebut dinyatakan : Untuk memberi keleluasaan kepada PERSERO dan PERSERO Terbuka dalam melaksanakan usahanya, maka ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa, penjualan dan pengalihan barang-barang yang dimiliki/dikuasai Negara, dinyatakan tidak berlaku bagi PERSERO dan PERSERO Terbuka. Dengan ketentuan ini maka peraturan perundang-undangan lain yang akan ditetapkan kemudian yang mengatur dengan ketentuan yang sama seperti huruf a dan huruf b ini, juga tidak diberlakukan bagi PERSERO. Jelas bahwa PP No. 12 Tahun 1998 tidak menyamakan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan yang menggunakan dana langsung dari APBN. Hanya saja PP No. 12 Tahun 1998 tersebut tidak mengatur secara tegas bagaimana ketentuan pengadaan barang dan jasa pada BUMN Persero. Sebagai tindak lanjut dari PP No 12 Tahun 1998 Tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan PP No 13 Tahun 1998 Tentang Perusahaan Umum (PERUM) Menteri Negara Pendayagunaan BUMN (sekarang Menteri Negara BUMN) telah mengeluarkan Surat Edaran No SE-01/MP-BUMN/1998 yang meminta kepada Direksi BUMN

16 untuk menyusun ketentuan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN yang dipimpinnya. Ketegasan pemberian perintah kepada Menteri BUMN untuk menetapkan pedoman umum pengadaan barang dan jasa BUMN ditegaskan pada Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 sebagai pengganti dari PP No. 12 Tahun Dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan PP Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, maka ditegaskan kembali bahwa pedoman pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh BUMN ditetapkan oleh Direksi BUMN. 53 Dengan demikian kewenangan Menteri BUMN menetapkan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi merupakan kewenangan yang sah menurut hukum. Hal lain yang perlu ditegaskan adalah kedudukan Menteri BUMN dalam hal ini bukanlah sebagai pemegang saham BUMN, tetapi sebagai pejabat Negara yang memiliki kewenangan untuk itu. Namun demikian, kewenangan Menteri untuk menetapkan pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN tersebut harus tetap memperhatikan prinsip efisiensi dan transparansi. 54 Direksi BUMN Persero memiliki kewenangan untuk mengatur pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN Persero yang dipimpinnya. Kewenangan ini erat kaitannya dengan kewenangan direksi dalam melakukan tindakan pengurusan perseroan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 53 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005, Pasal 99 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005, Pasal 99 ayat 3

17 Apabila dana yang dipergunakan BUMN Persero untuk membiayai kebutuhannya melalui pengadaan barang dan jasa bukan dana langsung APBN tetapi dengan dana sendiri, maka sebenarnya tindakan tersebut adalah tindakan pengurusan perseroan yang menjadi wewenang dan tanggungjawab direksi. Direksi adalah organ perseroan yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengurus perseroan. Tindakan pengurusan perseroan oleh direksi hanya dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan seperti yang diamanahkan dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT sebagai berikut : (1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Oleh karena tindakan pengurusan meliputi ruang lingkup yang sangat luas, maka Pasal 97 ayat (2) UUPT membebankan kewajiban bagi direksi untuk melakukan tindakan pengurusan tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab. Itikad baik dalam hal ini memiliki makna secara objektif yang berarti bahwa prestasi yang dilakukan direksi dan cara direksi melaksanakan tugas dan kewenangannya mengurus perseroan harus senantiasa mengindahkan normanorma hukum, kepatutan dan kesusilaan. Dengan demikian itikad baik pada direksi mengandung suatu kewajiban bagi direksi untuk senantiasa mengutamakan kepentingan perseroan semata-mata, serta tidak memanfaatkan kedudukannya yang strategis tersebut untuk memperoleh manfaat, baik secara langsung maupun

18 tidak langsung, dari perseroan secara tidak adil, serta menghindari benturan kepentingan antara kepentingan pribadi direksi dengan kepentingan perseroan. 55 Direksi dengan demikian mengemban kewajiban fiduciary (fiduciary duty) dalam menjalankan wewenangnya yang sangat luas dan mandiri tersebut. Prinsip fiduciary duty merupakan prinsip tanggungjawab direksi yang meletakkan direksi sebagai trustee atau pemegang amanah, sehingga seorang direktur haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care dan duty of loyality), beritikad baik, memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perseroan dan kejujuran terhadap perseroan yang dipimpinnya dengan derajat yang tinggi. 56 Sedikit saja direksi menyimpang dari kewajiban fiduciarinya maka kepada direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi. Pasal 97 ayat (3) menyatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajiban fiduciarinya. Dengan demikian sedikit saja direksi menyimpang dari kewajiban fiduciarinya dan hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi perseroan atau pihak lain, maka kepada direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas tindakannya tersebut. Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi sesuai ketentuan ayat (4) Pasal 97 dari UUPT. 55 Gunawan Widjaya, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Yakarta : Forum Sahabat, 2008), hal Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis ; Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule, disampaikan pada Seminar Bisnis 46 Tahun FE USU, Medan Sumatera Utara, 24 Nopember 2007, hal. 6

19 UUPT terkait dengan tanggungjawab Direksi, menganut prinsip presumsi bersalah (presumption of guilt) bagi semua anggota direksi. 57 Hal ini berarti bahwa apabila terjadi kerugian terhadap perseroan yang lahir dari tindakan pengurusan oleh direksi, maka diasumsikan bahwa seluruh anggota direksi bersalah dan secara tanggung renteng bertanggungjawab penuh terhadap kerugian perseroan tersebut. Namun meskipun demikian, patut diketahui bahwa tidak seluruhnya kerugian perseroan dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada direksi, terlebih lagi mengingat kerugian merupakan risiko melekat (inherent risk) dari suatu keputusan bisnis. Oleh karena itu, dalam hukum perseroan dikenal doktrin business judgment rule. Doktrin bussiness judgment rule adalah suatu pembelaan kepada direksi untuk melepaskan diri dari tanggungjawab pribadi atas kerugian perseroan, apabila anggota direksi yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa tindakan pengurusan yang dilakukannya diyakini sebagai tindakan yang terbaik bagi perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan anggaran dasar perseroan. Sungguhpun kemudian ternyata tindakan tersebut keliru dan tidak menguntungkan atau bahkan merugikan Perseroan, maka RUPS dan bahkan pengadilan pun tidak dapat melakukan second guess terhadap keputusan bisnis direksi tersebut. 58 Doktrin ini sejalan dengan ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT yang berbunyi sebagai berikut : 57 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal Bismar Nasution, Pertanggungjawaban Direksi dalam Pengelolaan Perusahaan makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam Rangka Menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan BUMN Persero, di selenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Yogjakarta, 8 Maret 2007, hal. 4.

20 (5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Sebagai perbandingan beberapa pengadilan di Amerika Serikat berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) Direksi tidak dapat dilindungi oleh doktrin business judgment rule apabila pertimbangan direksi tersebut didasarkan pada suatu kecurangan (fraud), mengandung benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan yang melanggar hukum (illegality) dan menimbulkan kerugian bagi perseroan sebagai akibat kelalaian berat (gross negligency) dari Direksi. 59 Setidaknya terdapat tiga ukuran untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis yang tepat, sehingga dapat terhindar dari pelanggaran duty of care direksi, yaitu : a. Direksi memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar. b. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskannya dengan itikad baik c. Memiliki dasar yang rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan Ibid., hal Ibid., hal. 5

21 Oleh karena itu sangat penting bagi Direksi untuk memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mengurus kepentingan perseroan. Sebagai contoh dari standar kehati-hatian itu, antara lain, misalnya : (1) Anggota Direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota direksi yang bersangkutan. Meskipun demikian, hal itu dapat dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. (2) Anggota Direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogianya disalurkan kepada perseroan. (3) anggota direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sehingga perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya izin usahanya dicabut atau dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lain. (4) anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. (5) anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan daya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. 61 Seluruh ketentuan mengenai tugas, wewenang dan tanggungjawab Direksi berdasarkan UUPT tersebut secara mutatis mutandis berlaku terhadap Direksi BUMN (Persero). Oleh karena itu, sangat tepat kebijakan yang diambil oleh Menteri BUMN yang mewajibkan Direksi PT. Persero untuk terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap elemen-elemen Fakta Integritas sebelum melakukan suatu tindakan atau keputusan bisnis. Jika diperhatikan Fakta Integritas tersebut berisi unsur-unsur dari prinsip fiduciary duty, no conflict of interest, prudent principle, dan duty abiding the Law. Apabila seluruh elemen- 61 Sutan Remy Sjahdeni, Tanggungjawab Direksi dan Komisaris, Jornal Hukum Bisnis, Vol. 14 (Yakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2001), hal. 100.

22 elemen dalam Fakta Integritas tersebut telah terpenuhi, maka pada prinsipnya Direksi telah memenuhi fiduciary duty dan statutory duty sebelum melakukan tindakan atau keputusan bisnis, sehingga direksi yang bersangkutan berpeluang besar untuk menggunakan pembelaan berdasarkan doktrin business judgment rule. Semua penjelasan di atas, terkait tugas dan tanggungjawab direksi diberlakukan dalam satu perseroan sebagai entitas bisnis. Dalam kedudukannya sebagai entitas bisnis, Perseroan harus dikelola sebagai entitas bisnis yang berorientasi laba dan mengandung risiko. Dalam kaitannya dengan pengadaan barang dan jasa, maka karakteristik proses pengadaan barang dan jasa bagi Persero haruslah lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan entitas bisnis. Menerapkan tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berorientasi pada proses, birokratis dan pelayanan masyarakat akan sulit bagi BUMN Persero dalam menghadapi kebutuhan bisnis yang umumnya dipenuhi dalam waktu yang relative cepat. Jika tidak demikian, maka banyak peluang bisnis akan terlewatkan, operasional menjadi lambat dan pengurusan akan berkarakter birokratis. Sementara kerugian yang terjadi bisa menjadi beban direksi. Oleh karena itu, cukup beralasan peraturan perundang-undangan memberikan pengaturan yang khusus kepada BUMN dalam proses pengadaan barang dan jasa. Fleksibilitas bagi direksi dalam pemenuhan kebutuhan BUMN Persero sebagai entitas bisnis adalah alasan rasional. Sebenarnya hal tersebut diakui dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pasal 2 ayat (1) Perpres tersebut menegaskan bahwa ruang lingkup pengadaan barang dan jasa pemerintah meliputi pengadaan Barang/Jasa di

23 lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD dan pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. C. Bentuk dan Proses Pengadaan Barang dan/atau Jasa di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara Persero. Proses pengadaan barang dan jasa di Lingkungan BUMN disesuaikan dengan kebutuhan pengadaan barang dan jasa dan wajib menerapkan prinsipprinsip : a. Efisien, berarti Pengadaan Barang dan Jasa harus diusahakan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan terbaik dalam waktu yang cepat dengan menggunakan dana dan kemampuan seminimal mungkin secara wajar dan bukan hanya didasarkan pada harga terendah; b. Efektif, berarti Pengadaan Barang dan Jasa harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan; c. Kompetitif, berarti Pengadaan Barang dan Jasa harus terbuka bagi Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara Penyedia Barang dan Jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan; d. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang dan jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon Penyedia Barang dan Jasa, sifatnya terbuka bagi peserta Penyedia Barang dan Jasa yang berminat; e. Adil dan wajar, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi syarat; f. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menjauhkan dari potensi penyalahgunaan dan penyimpangan. Pengadaan Barang dan Jasa dalam lingkungan BUMN juga memiliki keistimewaan karena mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional, serta perluasan kesempatan bagi pengusaha kecil, sepanjang kualitas, harga, dan tujuannya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rangka mendorong pertumbuhan industri dalam negeri BUMN dapat memberikan preferensi (keutamaan) penggunaan produksi dalam negeri dengan

24 tetap mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut adalah dilakukan sejalan dengan tujuan dari lahirnya peraturan Menteri BUMN tersebut yang antara lain adalah : a. Meningkatkan efisiensi b. Mendukung penciptaan nilai tambah di BUMN c. Menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan d. Meningkatkan kemandirian, tanggung jawab dan profesionalisme e. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri f. Meningkatkan sinergi atar BUMN dan/atau Anak Perusahaan. 62 Cara Pengadaan Barang dan Jasa dalam BUMN menurut Peraturan Menteri Negara BUMN No.PER-05/MBU/2008., dapat dibagi atas : a. Pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan yaitu diumumkan secara luas melalui media massa guna memberikan kesempatan kepada Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan; b. Pemilihan langsung, atau seleksi langsung untuk pengadaan jasa konsultan, yaitu pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas sekurang-kurangnya 2 (dua) penawaran; c. Penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest; d. Pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar, dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar. 62 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Negara BUMN RI No. KEP -117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

25 Khusus untuk penunjukan langsung bagi BUMN dapat dilakukan apabila memenuhi minimal salah satu persyaratan sebagai berikut : a. Barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak dapat ditunda keberadaannya (business critical asset); b. Penyedia Barang dan Jasa dimaksud hanya satu-satunya (barang spesifik); c. Barang dan jasa yang bersifat knowledge intensive dimana untuk menggunakan dan memelihara produk tersebut membutuhkan kelangsungan pengetahuan dari penyedia barang dan jasa; d. Bila pelaksanaan Pengadaan Barang dan jasa dengan mengunakan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b telah dua kali dilakukan namun peserta pelelangan atau pemilihan langsung tidak memenuhi kriteria atau ada pihak yang mengikuti pelelangan atau pemilihan langsung, sekalipun ketentuan dan syarat-syarat telah memenuhi kewajaran; e. Barang dan jasa yang dimiliki oleh pemegang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau yang memiliki jaminan (warranty) dari Original Equipment Manufacture; f. Penanganan darurat untuk keamanan, keselamatan masyarakat, dan aset strategis perusahaan; g. Barang dan jasa yang merupakan pembelian berulang (repeat order) sepanjang harga yang ditawarkan menguntungkan dengan tidak mengorbankan kualitas barang dan jasa;

26 h. Penanganan darurat akibat bencana alam, baik yang bersifat lokal maupun nasional; i. Barang dan jasa lanjutan yang secara teknis merupakan satu kesatuan yang sifatnya tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya; j. Penyedia Barang dan jasa adalah BUMN dan/atau Anak Perusahaan sepanjang barang dan/atau jasa yang dibutuhkan merupakan produk atau layanan dari BUMN atau Anak Perusahaan dimaksud dengan ketentuan apabila BUMN dan/atau Anak Perusahaan yang memproduksi atau memberi pelayanan yang dibutuhkan lebih dari satu, maka harus dilakukan pemilihan langsung terhadap BUMN dan/atau Anak Perusahaan tersebut. Apabila diperhatikan substansi dari Permeneg BUMN No. Per 05/MBU/2008 tersebut, maka umumnya pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Cara ini akan lebih fleksibel bagi BUMN sebagai entitas bisnis, sepanjang dana yang digunakan oleh BUMN tersebut bukanlah dana yang secara langsung berasal dari APBN. Namun, demikian tidaklah berarti bahwa direksi dapat melakukan tindakan sewenangwenang dalam proses pengadaan barang/jasa tersebut. Pelaksanaannya harus tetap mengacu pada prinsip efisiensi dan transparansi.

SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR PER- 05 /MBU/2008 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR PER- 05 /MBU/2008 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA NOMOR PER- 05 /MBU/2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA MENTERI NEGARA, Menimbang : a. bahwa pengadaan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 14 SERI E

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 14 SERI E BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2013 NOMOR 14 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGAP.\ RFPI PI.TI< INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA

MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGAP.\ RFPI PI.TI< INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGAP.\ RFPI PI.TI< INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR : PER- 15 /MBU/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor privat merupakan entitas mandiri yang berhak melakukan pengelolaan aset kekayaannya sendiri sebagai entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan Pasal 1 angka 1 UUPT, elemen pokok yang melahirkan suatu Perseroan sebagai badan hukum,

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H.

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H. EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh : Raffles, S.H., M.H. 1 Abstrak Direksi adalah organ perseroaan yang bertanggung jawab penuh

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili RH DIREKSI Direksi diatur secara khusus dalam Bagian Pertama Bab VII Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yaitu mulai pasal 92 sampai dengan pasal 107 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUPT Direksi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia 120 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari seluruh penjelasan dan uraian yang diberikan pada bab-bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha

Lebih terperinci

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat terpisahkan dari dunia bisnis di Indonesia. Terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat terpisahkan dari dunia bisnis di Indonesia. Terkait dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini sudah harus dapat diterima bahwa globalisasi telah masuk dalam dunia bisnis di Indonesia. Globalisasi sudah tidak dapat ditolak lagi namun saat ini harus dapat

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Sebagai Badan Usaha Milik Negara, pembiayaan untuk Pengadaan Barang dan/atau Jasa di PT Indofarma (Persero) Tbk bersumber dari anggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan Direksi sebagai organ yang bertugas melakukan pengurusan terhadap jalannya kegiatan usaha perseroan

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA No.305, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6173) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016 TUGAS DAN KEWENANGAN DEWAN KOMISARIS TERHADAP PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 1 Oleh : Roberto Rinaldo Sondak 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS

TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS Abstrak : Oleh: Putu Ratih Purwantari Made Mahartayasa Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana Direksi adalah

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KERUGIAN PT BERDASARKAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE

TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KERUGIAN PT BERDASARKAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KERUGIAN PT BERDASARKAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE Oleh : I Made Sanditya Edi Kurniawan Made Gde Subha Karma Resen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR: KEP-09A/MBU/2005 TENTANG

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR: KEP-09A/MBU/2005 TENTANG SALINAN KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR: KEP-09A/MBU/2005 TENTANG PENILAIAN KELAYAKAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) CALON ANGGOTA DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA MENTERI BADAN USAHA

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA 23 BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Ketentuan-Ketentuan Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dibanding Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA A.Pengertian dan Bentuk-bentuk Badan Usaha Milik Negara Keberadaan BUMN di Indonesia, berkaitan erat dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. separate entity dan limited liability yang dikenal di dalam Perseroan Terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. separate entity dan limited liability yang dikenal di dalam Perseroan Terbatas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perseroan Terbatas sebagai badan usaha berbentuk badan hukum, merupakan badan usaha yang banyak dipilih oleh masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha. Salah satu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO . PETIKAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMD) KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.../20...

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.../20... -1- OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK..../20... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN NOMOR IX.I.6 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN

Lebih terperinci

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pengadaan barang/ jasa BUMN bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan pertumbuhan bisnis nasional. Dalam melakukan pengadaan barang dan

Lebih terperinci

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Dewan Komisaris

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Dewan Komisaris PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Dewan Komisaris 1 BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Definisi 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti Organ Perusahaan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perseroan Terbatas (PT) sebelumnya diatur

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA A. Penerapan asas Piercing The Corporate Veil dalam Perseroan Terbatas

Lebih terperinci

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Direksi

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Direksi PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Direksi BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Definisi 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti Organ Perusahaan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara pada mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

Lebih terperinci

perubahan Anggaran Dasar.

perubahan Anggaran Dasar. 2. Selain itu Peningkatan Modal Perseroan tanpa melalui mekanisme RUPS melanggar kewajiban peningkatan modal yang diatur pada Pasal 42 UU PT No.40 Tahun 2007 yang menyatakan keputusan RUPS untuk penambahan

Lebih terperinci

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Direksi

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Direksi PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Direksi BAB I: PENDAHULUAN Pasal 1 D e f i n i s i 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti Organ Perusahaan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 23 BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 A. Organ Organ Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan )

Piagam Direksi. PT Link Net Tbk ( Perseroan ) Piagam Direksi PT Link Net Tbk ( Perseroan ) BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Definisi 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti organ Perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Silang pendapat mengenai proses pengadaan barang dan jasa di. lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya BUMN berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. Silang pendapat mengenai proses pengadaan barang dan jasa di. lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya BUMN berbentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Silang pendapat mengenai proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya BUMN berbentuk PT. Persero belakangan ini menguat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1) Latar Belakang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat PT) merupakan subyek hukum yang berhak menjadi pemegang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP KEADILAN DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK PEMEGANG SAHAM MINORITAS DIAN APRILLIANI / D

PENERAPAN PRINSIP KEADILAN DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK PEMEGANG SAHAM MINORITAS DIAN APRILLIANI / D PENERAPAN PRINSIP KEADILAN DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK PEMEGANG SAHAM MINORITAS DIAN APRILLIANI / D 101 10 058 ABSTRAK Corporate Governance merupakan suatu sistem tata kelola

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA STATUS KEKAYAAN NEGARA DALAM PERMODALAN BUMN PERSERO Oleh: Amanda Savira Karin

PROBLEMATIKA STATUS KEKAYAAN NEGARA DALAM PERMODALAN BUMN PERSERO Oleh: Amanda Savira Karin PROBLEMATIKA STATUS KEKAYAAN NEGARA DALAM PERMODALAN BUMN PERSERO Oleh: Amanda Savira Karin Abstract When Government encloses its wealth to the-state owned enterprises, The wealth which they have been

Lebih terperinci

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Dewan Komisaris

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Dewan Komisaris PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Dewan Komisaris BAB I: PENDAHULUAN Pasal 1 D e f i n i s i 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti Organ Perusahaan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE. Hj. MUSKIBAH, SH. M.Hum.

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE. Hj. MUSKIBAH, SH. M.Hum. TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE Hj. MUSKIBAH, SH. M.Hum. ABSTRAK Direksi merupakan organ yang memegang peranan penting dalam menentukan maju mundurnya suatu perusahaan.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan dan menumbuh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR : PER-01/MBU/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR : PER-01/MBU/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NOMOR : PER-01/MBU/2006 TENTANG PEDOMAN PENGANGKATAN ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA KOMISARIS ANAK PERUSAHAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA MENTERI BADAN USAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi syarat syarat

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R No.374, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. RUPS. Perusahaan Terbuka. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5644) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

Definisi Perseroan Terbatas menurut Pasal 1 angka 1 UUPT adalah sebagai

Definisi Perseroan Terbatas menurut Pasal 1 angka 1 UUPT adalah sebagai 14 BAB II TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS DALAM KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS A. Pengertian Umum Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas merupakan suatu badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya disebut Perseroan ) adalah badan hukum yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya disebut Perseroan ) adalah badan hukum yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan UUPT, Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Perseroan

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI DAFTAR ISI PASAL 1 Tujuan... 2 PASAL 2 Definisi... 2 PASAL 3 Keanggotaan Direksi... 2 PASAL 4 Persyaratan... 3 PASAL 5 Masa Jabatan... 4 PASAL 6 Pemberhentian Sementara...

Lebih terperinci

MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA SALINAN

MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-03/MBU/08/2017 TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN

Lebih terperinci

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk

Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Kebijakan Pengadaan Barang dan/atau Jasa PT Indofarma (Persero) Tbk Sebagai Badan Usaha Milik Negara, pembiayaan untuk Pengadaan Barang dan/atau Jasa di PT Indofarma (Persero) Tbk bersumber dari anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, hal mana sejalan dengan pengertian perusahaan menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1982

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat a. bahwa Badan Usaha Milik Negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM PERUSAHAAN DAERAH (PD) FLOBAMOR MENJADI PERSEROAN TERBATAS (PT) FLOBAMOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO)

PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) Jl. Sei Batanghari No. 2 Medan 20122 Sumatera Utara, Indonesia Telp. : (-62-61) 8452244, 8453100 Fax. : (-62-61) 8455177, 8454728 Website : www.ptpn3.co.id Email :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat a. bahwa Badan Usaha Milik Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DAERAH LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SALATIGA, Menimbang

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DIREKSI 1. LATAR BELAKANG Direksi PT. Sat Nusapersada Tbk ( Perseroan ) diangkat oleh Pemegang Saham untuk menjalankan segala tindakan yang berkaitan dengan pengurusan Perseroan

Lebih terperinci

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Seri B, Vol. 6 No. 1, September 2001, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang,

Lebih terperinci

PT LIPPO CIKARANG Tbk. Piagam Dewan Komisaris

PT LIPPO CIKARANG Tbk. Piagam Dewan Komisaris PT LIPPO CIKARANG Tbk Piagam Dewan Komisaris BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Definisi 1. Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) berarti organ dari Perseroan yang memiliki wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP- 59 /MBU/2004

KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP- 59 /MBU/2004 KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP- 59 /MBU/2004 TENTANG KONTRAK MANAJEMEN CALON ANGGOTA DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN KODE ETIK DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PT NUSANTARA PELABUHAN HANDAL Tbk.

PEDOMAN DAN KODE ETIK DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PT NUSANTARA PELABUHAN HANDAL Tbk. PEDOMAN DAN KODE ETIK DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PT NUSANTARA PELABUHAN HANDAL Tbk. Untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku, Direksi dan Dewan Komisaris PT Nusantara Pelabuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini challenge globalisasi meruntuhkan filosofi bangsa Indonesia terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini telah diramalkan oleh P. Berger bahwa badai globalisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

Perpustakaan LAFAI

Perpustakaan LAFAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (PERUM PERURI)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (PERUM PERURI) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN UMUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA (PERUM PERURI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

PEDOMAN KERJA DIREKSI PT METROPOLITAN LAND TBK

PEDOMAN KERJA DIREKSI PT METROPOLITAN LAND TBK PEDOMAN KERJA DIREKSI PT METROPOLITAN LAND TBK PENDAHULUAN: Direksi merupakan Organ Perseroan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial dalam melakukan pengurusan dan mengelolan Perseroan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH PUSAKA DARANANTE

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH PUSAKA DARANANTE PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH PUSAKA DARANANTE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Limited Liability, Piercing the Corporate Veil, Pemegang saham, Perseroan Terbatas. ABSTRACT

ABSTRAK. Kata Kunci: Limited Liability, Piercing the Corporate Veil, Pemegang saham, Perseroan Terbatas. ABSTRACT HAPUSNYA TANGGUNG JAWAB TERBATAS PEMEGANG SAHAM PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL Oleh: Arod Fandy Nyoman Satyayudha Dananjaya Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 91 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PENGANGKUTAN PENUMPANG DJAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Peraturan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya

Lebih terperinci

Kebijakan Corporate Governance. PT. Persero Batam. Tim GCG PT. Persero Batam Hal : 1 of 9

Kebijakan Corporate Governance. PT. Persero Batam. Tim GCG PT. Persero Batam Hal : 1 of 9 Tim GCG Hal : 1 of 9 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 3 1.1 Definisi Good Corporate Governance 3 1.2 Prinsip Good Corporate Governance 3 1.3 Pengertian dan Definisi 4 1.4 Sasaran dan Tujuan Penerapan GCG 5

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 2/POJK.05/2014 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

BUPATI PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT BUPATI PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS PESONA PESISIR SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perusahaan adalah suatu pengertian ekonomi yang banyak dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah memberikan penafsiran maupun

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 9 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 9 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 9 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

B E N T U R A N K E P E N T I N G A N CONFLICT OF INTEREST. PT Jasa Marga (Persero) Tbk

B E N T U R A N K E P E N T I N G A N CONFLICT OF INTEREST. PT Jasa Marga (Persero) Tbk PEDOMAN BENTURAN KEPENTINGAN CONFLICT OF INTEREST 2011 0 B a b 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG yang selanjutnya disebut Perusahaan atau Perseroan terus melaksanakan penerapan prinsip-prinsip GCG secara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.559, 2015 KEMENKEU. Direksi Persero. Pembinaan. Pengawasan. Menteri Keuangan. Pemberhentian. Pengangkatan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Budirto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Mataram : Ghalia Indonesia, 2009

DAFTAR PUSTAKA. Budirto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Mataram : Ghalia Indonesia, 2009 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1991 Amanat, Anisitus Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Penerapannya dalam Akta Notaris. Jakarta : Raja Grafindo Persada,

Lebih terperinci

MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-59/MBU/2004 TENTANG KONTRAK MANAJEMEN CALON ANGGOTA DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci