HAMBATAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA JINAYAH PADA MAHKAMAH SYAR IYAH BIREUEN
|
|
- Budi Sanjaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp HAMBATAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA JINAYAH PADA MAHKAMAH SYAR IYAH BIREUEN THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF SYARIAH LAW CASE HELD BY SYAR IYAH COURT BIREUEN Oleh: Muazzin *) ABSTRACT The existence and authority Syar'iyah Courts regulated in Qanun Number 10 of 2002 on the Islamic Syari'ah Courts. Since the Year 2007 to Year 2010, the Syar iyah Court Bireun has examined on jinayah case as many as 27 cases. Although the Court's decision in the case already have permanent legal force, yet one of the case is conducted or executed by the State Attorney Bireun. The results showed that there are some things that cause no or not execution judgement of judge Syar'iyah Court Bireun, Syar'iyah Court Bireun and the State Attorney Bireun have no special budget to carry out additional tasks as implementing agencies in the implementation of Islamic Law in Aceh, Qanun Aceh does not give authority to the institutions of law enforcement to make arrests of suspects, accused and convicted in the case jinayah. Keywords: Execution, Judgement of Judge, Case Jinayah. A. PENDAHULUAN Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah dalam memeriksa dan mengadili perkara Jinayah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab XVIII Pasal 11 Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari at Islam (ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan UUPA tersebut merupakan pengaturan dan penegasan kembali tentang keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah yang sudah diatur dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara- ISSN:
2 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat, hudud dan ta zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar iyah. Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal 53 dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari at Islam tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian Syari at Islam yang akan dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar iyah Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar iyah Provinsi melalui putusan dan penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Hampir satu dasawarsa pemberlakuan Syari at Islam dan berfungsinya Mahkamah Syar iyah sebagai institusi peradilan dalam rangka pelaksanaan Syari at Islam tersebut di Provinsi NAD, ternyata telah memunculkan beberapa permasalahan yang secara langsung atau tidak langsung turut mempengaruhi kapasitas Mahkamah Syar iyah dalam menjalankan fungsinya dalam memeriksa dan mengadili, khususnya dalam perkara jinayah yang merupakan lingkup kewenangan baru bagi lembaga ini, seiring dengan pemberlakuan Syari at Islam. Salah satu permasalahan penting adalah belum atau tidak dilaksanakannya (eksekusi) putusan Mahkamah Syar iyah dalam perkara Jinayah, padahal putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu mengapa terjadi penangguhan pelaksanaan (eksekusi) putusan Hakim Mahkamah Syar iyah Bireun dan apa saja upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun agar putusan Hakim dalam perkara Jinayah dapat dilaksanakan (dieksekusi). *) Kontrak Penelitian dengan Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Nomor: 032/H11.2/SP3/2010. Muazzin, S.H.,M.H., Adalah Staf Pengajar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. 96
3 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). B. TINJAUAN PUSTAKA Penegakan hukum demi suatu keadilan harus dilakukan melalui suatu proses yang berkesinambungan dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu cara penanggulangan tersebut dilakukan melalui suatu sistem yaitu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) sebagai sistem yang berfungsi menanggulangi tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Penanggulangan tersebut dilakukan dengan menekan tingkat kejahatan hingga pada tingkat yang terendah. Di Indonesia proses penegakan hukum mempunyai suatu sistem yaitu Sistem Peradilan Pidana yang dimulai dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan 1. Menurut Kunarto 2 sistem peradilan pidana dapat digambarkan sebagai berikut:... adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem dianggap berhasil apabila sebagian dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. Romli Atmasasmita 3 mengartikan Sistem Peradilan Pidana sebagai interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal istilah Sistem Peradilan Pidana terpadu (Integrated Criminal Justice Sistem). Sasaran yang ingin dicapai antara lain kelancaran dalam proses peradilan pidana sejak tahap penyidikan, penuntutan, putusan atau vonis hakim sampai dengan 1 Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1999, hlm Kunarto, Batu Sandungan, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999, hlm Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm
4 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin eksekusi 4. Seluruh komponen dari sistem peradilan pidana, ikut bertanggung jawab untuk menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan dalam masyarakat. Tanggung jawab tersebut merupakan keharusan bagi setiap komponen. Keterpaduan kerja dari sistem peradilan pidana dapat diamati dari komponen-komponen sistem peradilan pidana sebagai berikut: 1. Kepolisian Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh subsistem kepolisian sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana adalah melakukan penyelidikan yang dapat memberikan tanda adanya dugaan keras tentang adanya kejahatan yang kemudian diteruskan dengan tindakan penyidikan. Dalam melaksanakan penyidikan dinyatakan antara lain dengan menjamin hak-hak tersangka dan perlakuan terhadap tersangka secara layak dan sebagai subyek. Kedudukan polisi sebagai penyidik yang mandiri tidak terlepas dari fungsi penuntutan dan pengadilan dimana terjalin hubungan koordinasi fungsional dan institusional serta adanya sinkronisasi pelaksanaan. Hubungan koordinasi dan kansultasi penyidik dan penuntut umum merupakan hubungan kerjasama positif yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam rangka penanganan perkara pidana pada tingkat penyidikan. Hubungan kerjasama positif tersebut diarahkan kepada usaha untuk mempersiapkan pelaksanaan tugas penuntutan dengan cara meletakkan dasar-dasar penuntutan sejak dilaksanakan penyidikan 5. Ketentuan yang menghubungkan polisi dengan jaksa dalam KUHAP merupakan suatu ketentuan yang 4 Anthon F. Susanto, Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Ligitasi, Fakultas Hukum Unpas, Bandung, Vol.3 No.1 Januari-Juni Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm
5 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). penting yang dapat menjembatani dua hal yaitu koordinasi fungsional antara polisi dan jaksa yang harus bekerjasama secara terpadu dalam suatu Sistem Peradilan Pidana dan kesadaran akan tanggung jawab dalam peranan masing-masing komponen. 2. Kejaksaan Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam BAB I Bagian Pertama Pasal 1 Butir 1 menyebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana merupakan kegiatan penanganan suatu perkara secara bersama yakni antara penyidik, penuntut umum, pengadilan dan lembaga penmasyarakatan. Keempat unsur atau komponen tersebut saling terkait, saling pengaruh mempengaruhi dan saling ketergantungan Pengadilan Pengadilan merupakan komponen ketiga dalam subsistem peradilan pidana. Lembaga peradilan merupakan pelaksana atau pemeriksa suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang bersifat mengikat, putusan mana dapat berupa pemidanaan terhadap orang yang bersalah. Bekerjanya subsistem pengadilan diawali dengan pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum yang dilanjutkan dengan memeriksa dan diakhiri dengan memutuskan perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Pada hakekatnya pengadilan merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara hukum, merupakan barometer dari kemampuan bangsa melaksanakan 6 Leden Marpaung, Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm.98 99
6 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin norma-norma hukum dalam negara, sehingga yang bersalah menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Hakim sebagai komponen dari subsistem peradilan pidana bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasrkan Pancasila melalui perkaraperkara yang dihadapkan kepadanya. 4. Lembaga Pemasyarakatan Komponen terakhir dari subsistem peradilan pidana adalah Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri menurut bahasa Indonesia berasal dari dua kata yaitu Lembaga dan Pemasyarakatan. Lembaga berarti organisasi yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan atau usaha ilmiah. Pemasyarakatan berarti kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana, anak didik pemasyarakatan dan yang lainnya), berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang berlaku sejak diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 menyebutkan bahwa: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Pembinaan Pemasyarakatan berdsarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam hukum pidana terdapat tiga hal pokok yang menjadi dasar pijakan dan harus dikembangkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ketiga hal tersebut adalah mengenai: a) subyek hukum pidana, yaitu berkaitan dengan siapa yang dapat dihukum, b) perbuatan 100
7 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). apa saja yang dapat dihukum, dan c) hukuman apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan yang dapat dihukum. Kebijakan kriminal (criminal policy) dalam bidang hukuman (jenis hukuman) terus menerus mencari solusi yang tepat untuk menentukan jenis hukuman yang efektif, sehingga di dalam konsep rancangan KUHP yang baru terdapat beberapa jenis hukuman baru yang tidak terdapat dalam KUHP sekarang, seperti: pengawasan, kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat. Selain itu ada juga dalam bentuk tindakan, seperti perawatan di rumah sakit jiwa, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat-akibat tindak pidana dan latihan kerja 7. Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian hukuman untuk menanggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya disamping upaya-upaya lain. Penganganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan kejahatan secara keseluruhan. Penanganan melalui sistem peradilan pidana ini dikenal dengan istilah upaya penal, yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan pidana. Disamping itu ada upaya lain yaitu upaya non penal yang penekanannya ditujukan kepada faktor penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhan penanganan atau penanggulangan kejahatan ini merupakan politik kriminal (kebijakan hukum pidana). Dari sudut pengertiannya, kebijakan hukum pidana (criminal policy) atau politik kriminal adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Kesemuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya 8. Dengan demikian, kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Usaha untuk mencapai kesejahteraan 7 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, Hlm Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm
8 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin masyarakat dalam kebijakan kriminal itu dapat dilakukan melalui jalur penal dan non penal. Jalur penal lebih diarahkan kepada penggunaan hukum pidana setelah terjadinya kejahatan. Sedangkan jalur non penal lebih diarahkan kepada usaha mencari faktor kondusif terjadinya kejahatan. Dalam hal ini yang diupayakan adalah menghilangkan sebab-sebab timbulnya kejahatan, yang antara lain adalah karena tidak efektifnya hukuman yang diterapkan. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor pendorong penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi sematamata dengan upaya penal. Disinilah keterbatasan upaya penal dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial tersebut adalah lewat jalur kebijakan sosial (social policy) 9. Perlunya sarana non penal diintensifkan dan diefektifkan adalah karena diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal 10. Jadi yang perlu diperhatikan dengan penggunaan jalur non penal itu adalah bagaimana upaya menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Dalam hal ini tentunya perlu dicari sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pembuatan ketentuan perundang-undangan merupakan salah satu cara untuk pencegahan kejahatan. Tujuan pemidanaan yang tercantum dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Baru Pasal 47 yang menyebutkan bahwa: (1) Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya oranh yang baik dan berguna; 9 Barda Nawawi Arief, Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, disampaikan pada Seminar Kriminologi VI di Semarang, 1991, hlm
9 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam penjelasan Pasal 47 Rancanan KUHP Baru tersebut ditegaskan bahwa dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan tentang urgensi perlindungan masyarakat. Tujuan kedua, bermaksud bukan saja untuk merehabilitasi tetapi meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikannya ke dalam masyarakat. Sedangkan tujuan ketiga, adalah dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kehidupan sosial yang telah terguncang oleh karena kejahatan terpidana, yaitu dengan cara membalas kejahatan terpidana dengan pemidanaan sehingga diharapkan dapat memuaskan perasaan dendam si korban. Adapun tujuan keempat hakekatnya merupakan tujuan yang lebih bersifat spiritual dimana terbalasnya rasa bersalah pada diri terpidana baru dapat dicapai apabila ia telah sampai pada sikap tobat yang sesungguhnya. Terkait dengan pembentukan dan kewenangan Mahkamah Syar,iyah dalam memeriksa dan mengadili perkara Jinayah, memiliki sejarah yang panjang. Baerawal dari ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyatakan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari at Islam bagi pemeluknya dalam masyarakat (Ayat 1). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama (Ayat 2). Aturan mengenai pelaksanaan Syari at Islam dalam undang-undang tersebut kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tantang Otonomi Khusus 10 Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm
10 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada konsideran menimbang huruf (e) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Provinsi NAD). Dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa Peradilan Syari at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun (Ayat 1). Kewenangan Mahkamah Syar iyah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas Syari at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi NAD. Kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Apa saja yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar iyah pada tingkat pertama dan banding seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang di atas diserahkan kepada Qanun Provinsi NAD. Untuk itu telah disahkan sebuah Qanun yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara-perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat, hudud dan ta zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar iyah. Keberadaan Mahkamah Syar iyah kembali mendapatkan pengaturan dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Bab XVIII Pasal 11 Undang- Undang tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari at Islam (Ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa 104
11 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh. Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal 53 dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari at Islam tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian Syari at Islam yang akan dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar iyah Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar iyah Provinsi melalui putusan dan penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Dalam hubungannya dengan hukum materilnya, hingga sekarang telah disusun beberapa buah Qanun yaitu: 1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi ar Islam. 2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar (Minuman Keras). 3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maysir (Perjudian). 4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Perbuatan Mesum atau Pergaulan Bebas). 5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Sementara itu mengenai kelembagaannya, telah disahkan Qanun Nomor 10 tentang Peradilan Syari at Islam dan Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Kepolisian Daerah, yang antara lain mengatur tambahan tugas kewenangan polisi dalam penegakan Syari at Islam di Aceh. Sedangkan Qanun tentang Kejaksaan Provinsi NAD, yang mengatur tambahan kewenangan dan tugas lembaga ini dalam menegakkan Qanun, atau untuk menggunakan Qanun dalam penyidikan dan penuntutan serta kewajiban membawa perkara tersebut ke Mahkamah Syar iyah, masih dalam pembahasan. Sementara itu Qanun tentang hukum formil akan disusun, dan akan dikerjakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Baik 105
12 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin kemampuan untuk mempersiapkan rancangannya, melaksanakannya dan juga kemampuan keuangan Daerah. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar iyah Bireun yang meliputi wilayah administratif Kabupaten Bireun. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan bahwa berdasarkan data rekapitulasi perkara jinayah yang ditangani sampai tahun 2008, untuk perkara Jinayah (maisir atau perjudian) sebanyak 70 perkara telah diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syar iyah Bireun. Namun dari keseluruhan perkara tersebut belum dilakukan eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun. Padahal putusan Mahkamah Syar iyah tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, tetapi tidak dilaksanakan atau dieksekusi oleh kejaksaan. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan tahapan penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan data sekunder yang berupa teori-teori dan konsep tentang Syari at Islam, Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil. Data ini diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan berupa buku teks, hasil penelitian, makalah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Sementara itu melalui penelitian lapangan akan diperoleh data primer yang diperlukan untuk mempertajam analisis dan pembahasan. Data ini diperoleh dengan melakukan wawancara dengan mempergunakan alat pengumpulan data Questioner dan Interview. Wawancara dilakukan dengan para responden dan informan. Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah : (a) Hakim Mahkamah Syar iyah 5 orang; (b) Kepolisian 2 orang; (c) Kejaksaan Negeri 2 orang; (d) Dinas Syari at Islam 2 orang; (d) Terdakwa 10 orang. Penentuan responden dilakukan berdasarkan tingkat akurasi (validitas) sumber informasi, yaitu mereka yang mempunyai keterkaitan secara langsung dengan permasalahan 106
13 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). kapasitas Mahkamah Syar iyah sebagai institusi peradilan dalam pelaksanaan Syari at Islam di Provinsi NAD. Sedangkan yang dijadikan sebagai informan adalah : (a) Akademisi 4 orang; (b) Tokoh Agama 4 orang; (c) Advokad/Pengacara 4 orang Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, langkah berikutnya yang dilakukan adalah memindahkan berbagai catatan dan data yang didapatkan dalam penelitian lapangan melalui cara tabulasi data sesuai dengan topiknya masing-masing. Proses selanjutnya adalah, data tersebut diedit kembali untuk diperiksa reabilitas dan vilidtasnya, agar data yang dihasilkan benar-benar valid. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis data. Dalam menganalisis data dan mengambil kesimpulan, data sekunder dan data primer dianalisis dengan metode kualitatif, selanjutnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif analisis. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penangguhan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah pada Mahkamah Syar iyah Bireun. Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari at Islam menetapkan bahwa perkara-perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat, hudud dan ta zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar iyah. Atas dasar kewenangan tersebut, dalam rentang waktu 2007 sampai dengan 2010, Mahkamah Syar iyah Bireun telah memeriksa dan mengadili perkara jinayah sebanyak 27 perkara. Keseluruhan perkara tersebut merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir. Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tidak satupun diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syar iyah Bireun. 107
14 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin Meskipun keputusan Mahkamah Syar iyah dalam perkara tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, belum satu dari perkara tersebut dilaksanakan atau dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun. Padahal dalam Pasal 29 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir dinyatakan bahwa pelaksanaan uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan penundaan pelaksanaan uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat halhal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang (Ayat 2). Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 32 Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya dan Pasal 27 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Pihak kejaksaan tidak pernah menyampaikan laporan secara resmi tentang alasan yang menyebabkan tidak atau belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Syar iyah Bireun tersebut. 11 Hasil penelitian memperlihatkan ada beberapa hal yang menyebabkan Kejaksaan Negeri Bireun tidak atau belum melaksanakan (eksekusi) terhadap Putusan Mahkamah Syar iyah tersebut, yaitu: a. Pemerintah Daerah tidak menyediakan anggaran yang cukup Mahkamah Syar iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun tidak memiliki anggaran yang khusus untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai institusi pelaksana dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sebagai instansi vertikal kedua lembaga ini mengelola anggaran yang bersumber dari APBN, sama seperti Pengadilan Agama dan Kejaksaan Negeri di daerah lain di Indonesia. 12 Dalam melaksanakan tugas tambahan yang dibebankan kepada kedua lembaga ini tidak diikuti pengalokasian anggaran dari APBD. Pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syar iyah oleh Kejaksaan Negeri Bireun, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Qanun tentang Maisir, dilakukan di 11 A. Karim, Ketua Mahkamah Syar iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus
15 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). suatu tempat yang dapat disaksikan oleh orang banyak dan dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dan tenaga kesehatan yang ditunjuk. Konsekuensi dari ketentuan pasal ini adalah diperlukan anggaran yang besar untuk setiap kali melaksanakan eksekusi. Paling tidak diperlukan dana sebesar Rp ,- setiap kali eksekusi. Dana tersebut diperlukan untuk kebutuhan peralatan, honor petugas (kejaksaan, pengamanan, dan petugas kesehatan) dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menyiasati keterbatasan anggaran ini, pelaksanaan eksekusi dilakukan terhadap beberapa orang terpidana. 13 Kewenangan pengelolaan anggaran untuk pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syar iyah Bireun seluruhnya dibebankan kepada APBD Kabupaten Bireun melalui DIPA Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun. Ironisnya, Dinas Syariat Islam tidak memiliki anggaran untuk eksekusi putusan. Sejak tahun 2007 hingga 2009, Dinas Syariat Islam mengusulkan anggaran untuk kegiatan tersebut, akan tetapi dihilangkan oleh panitia anggaran eksekutif dengan alasan keterbatasan anggaran. Bahkan untuk tahun 2010 lalu, Dinas Syariat Islam tidak mengusulkan lagi anggaran untuk pelaksanaan putusan mahkamah. 14 Tahun Anggaran 2010, jumlah anggaran yang dikelola oleh Dinas Syariat Islam untuk Bidang Pengawasan Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah hanya sebesar Rp ,-. Anggaran sebesar ini kemudian dibagi lagi untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh dua seksi, yaitu Seksi Penyidikan dan Pencegahan serta Seksi Pelaksanaan Syariat Islam. Mengacu kepada jumlah anggaran yang tersedia tersebut, terlihat bahwa persoalan ketersediaan anggaran ini merupakan penyebab utama yang mengakibatkan tidak atau belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Syar iyah Bireun. 12 A. Karim, Ketua Mahkamah Syar iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus Ricky Febriandi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus Ahmad Ajady, Sekretaris Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun, Wawancara, Tanggal 31 Agustus
16 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin b. Tidak ada kewenangan untuk melakukan penahan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat tidak memberikan kewenangan untuk melakukan penahanan kepada institusi penegak hukum dalam perkara pelanggaran terhadap ketiga qanun tersebut. Sehingga tidak ada kekuatan yang dapat memaksa terdakwa atau terpidana untuk mengikuti proses penegakan hukum yang berjalan. Tidak adanya kewenangan untuk melakukan penahanan ini merupakan masalah tersendiri dalam penegakan ketentuan qanun di atas. Pada tingkat pemeriksaan di mahkamah misalnya, ketika terdakwa dipanggil untuk menghadiri sidang, tidak bersedia hadir. Mahkamah tidak diperkenankan untuk menjemput paksa supaya terdakwa dihadirkan ke persidangan. Akibatnya membuat pemeriksaan menjadi lama dan berjalan sangat lambat. Hal ini juga dapat terjadi pada saat eksekusi, pernah terjadi kasus di Kabupaten Bireun, pada saat eksekusi akan dilaksanakan terpidana melarikan diri. Karena tidak ada kewenangan untuk memaksa kepada penegak hukum, terpidana tidak dikejar dan ditangkap kembali. Sekarang ini terpidana bebas berkeliaran tanpa ada upaya dari penegak hukum untuk menangkap kembali Upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun agar Putusan Hakim dalam perkara Jinayah dapat dilaksanakan (dieksekusi). Uraian terdahulu memperlihatkan bahwa jumlah Putusan Mahkamah Syar iyah Bireun yang tidak atau belum dilaksanakan (tidak dieksekusi) oleh Kejaksaan Negeri Bireun sangat besar, dan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Apabila keadaan ini 110
17 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). berlangsung terus untuk waktu yang lama akan mengakibatkan kewibawaan Mahkamah Syar iyah sebagai institusi Peradilan Syari at Islam (khusus dalam perkara jinayah) di Provinsi Aceh akan melemah, dan kepastian hukum tidak dirasakan lagi oleh masyarakat. Mahkamah Syar iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun telah malakukan upayaupaya sehingga eksekusi putusan mahkamah dapat berjalan dengan lancar, sehingga kepastian hukum dapat tercipta. Upaya tersebut adalah: a. Penunjukan Hakim Pengawas dan Pengamat Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini sudah dikenal dalam lingkungan Pengadilan Negeri. Hakim ini akan bertugas untuk memastikan bahwa keputusan yang sudah ditetapkan oleh pengadilan sudah dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Apabila terpidana sudah ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan, Hakim Pengawas dan Pengamat dapat melakukan pemeriksaan ke ruang tahanan terpidana untuk memastikan apakah keputusan pengadilan sudah dilaksanakan atau belum. Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini diharapkan akan berperan sekaligus untuk mengetahui apa saja kendala-kendala dalam pelaksanaan putusan mahkamah. Sehingga dapat dicarikan upaya pemecahannya. Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini belum diatur dalam qanun, padahal peranannya sangat menentukan. 16 b. Koordinasi dengan lembaga terkait Kejaksaan Negeri Bireun melakukan koordinasi dengan lembaga terkait, khususnya Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun. Koordinasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa tersedia dana dan mencukupi untuk pelaksanaan (eksekusi) 15 Bakhtiar, Panitera Sekretaris Mahkamah Syar iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus A. Karim, Ketua Mahkamah Syar iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus
18 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin Putusan Mahkamah Syar iyah Bireun. Pihak kejaksaan hanyalah sebagai pelaksana saja, sedangkan pengelolaan anggaran adalah kewenangan dari Dinas Syariat Islam. 17 E. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan dan dikemukakan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan 1. Kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010, Mahkamah Syar iyah Bireun telah memeriksa dan mengadili perkara jinayah sebanyak 27 perkara. Keseluruhan perkara tersebut merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir. Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tidak satupun diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syar iyah Bireun. Meskipun keputusan Mahkamah Syar iyah dalam perkara tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, belum satu dari perkara tersebut dilaksanakan atau dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun. 2. Mahkamah Syar iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun tidak memiliki anggaran yang khusus untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai institusi pelaksana dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sebagai instansi vertikal kedua lembaga ini mengelola anggaran yang bersumber dari APBN, sama seperti Pengadilan Agama dan Kejaksaan Negeri di daerah lain di Indonesia. 3. Qanun Aceh tidak memberikan kewenangan kepada institusi penegakan hukum untuk melakukan penahanan terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana dalam perkara 17 Ricky Febriandi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus
19 Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011). jinayah. Sehingga tidak ada kekuatan yang dapat memaksa terdakwa atau terpidana untuk mengikuti proses penegakan hukum yang berjalan. 4. Mahkamah Syar iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun malakukan upaya-upaya seperti membentuk Hakim Pengawas dan Pengamat, melakukan koordinasi dengan lembaga terkait sehingga eksekusi putusan mahkamah dapat berjalan dengan lancar, sehingga kepastian hukum dapat tercipta. B. Saran 1. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bireun harus memiliki komitmen anggaran yang tinggi untuk mendukung pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, dengan memberikan dukungan anggaran yang tersedia dan mencukupi untuk pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syariah Bireun. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yang secara ekplisit mengatur tentang dukungan anggaran dalam APBA bagi Mahkamah Syar iyah dan Kejaksaan selaku instansi vertikal. 2. Mengingat peranannya yang sangat penting, perlu diatur tentang masa penahanan terhadap pelaku pelanggaran Qanun Jinayat. Tentang masa penahanan ini sebenarnya sudah diatur dalam Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat sekarang ini sedang dalam tahapan proses legislasi, sehingga belum ada hukum acara yang bersifat khusus. Oleh karena itu upaya penyidikan dan penuntutan tetap menggunakan KUHAP. 113
20 Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Muazzin DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta. Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian II, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta. Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian III, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta. Al Yasa Abubakar (2004), Syari at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Anthon F. Susanto, Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Ligitasi, Fakultas Hukum Unpas, Bandung, Vol.3 No.1 Januari-Juni Barda Nawawi Arief (1991), Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI di Semarang. Chainur Arrasjid (1999), Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas hukum USU, Medan. Dinas Syari at Islam Provinsi NAD (2004), Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari at Islam, Edisi Ketiga, Banda Aceh. Harun M. Husein (1991), Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Kunarto (1999), Batu Sandungan, Cipta Manunggal, Jakarta. Leden Marpaung (1994), Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta. Mardjono Reksodiputro (1995), Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Muladi, Barda Nawawi Arief (1992), Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung Yahya Harahap (2001), Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika. Romli Atmasasmita (1996), Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), Bina Cipta, Bandung. Rusydi Ali Muhammad (2003), Revitalisasi Syari at Islam di Aceh, Problema, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos, Jakarta. 114
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang
Lebih terperinciQANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang :
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan
Lebih terperinciKEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 65-76. KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aceh adalah sebuah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan merupakan tempat bagi seseorang atau badan hukum untuk mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul selain alternatif penyelesaian
Lebih terperinciCAPAIAN MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH TAHUN 2011 HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM PELAKSANAAN TUGAS SERTA PROYEKSI TAHUN 2012
CAPAIAN MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH TAHUN 2011 HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM PELAKSANAAN TUGAS SERTA PROYEKSI TAHUN 2012 Disampaikan Oleh : ( DRS.H.SYAMSIR SULEMAN ) Hakim Tinggi Mahkamah Syar iyah Aceh Pada
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciQANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciQANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Lebih terperinci-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH
-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini
Lebih terperinciPROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG KHAMAR DAN SEJENISNYA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
1 PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG KHAMAR DAN SEJENISNYA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang :
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi
Lebih terperinci-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG
-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang
Lebih terperinciMANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu
MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang
Lebih terperinciPOLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas
Lebih terperinciPelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik
1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan sebutan Seramoe Mekkah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan sebutan Seramoe Mekkah (Serambi Mekkah) memiliki prinsip bahwa Syariat Islam merupakan satu kesatuan adat, budaya dan
Lebih terperinciRANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,
RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Lebih terperinciOleh: Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri *) Keywords: Authority Aceh Government, National Judicial System.
Kewenangan Pemerintah Aceh terhadap Pelaksanaan Fungsi Mahkamah Syar iyah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 49-64. KEWENANGAN PEMERINTAH ACEH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,
Lebih terperinciKEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN DARI PERADILAN UMUM KEPADA MAHKAMAH SY AR'IY AH 01 PROVINSI NANGGROE ACEH
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh
16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Umum Tindak pidana korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan
Lebih terperinciOLEH : Ni Ketut Arie Setiawati. A.A Gde Oka Parwata. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT
PENERAPAN VONIS REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA (Study Kasus Pengadilan Negeri Denpasar Nomor. 304/Pid.Sus/2016/PN.Dps, Tentang Tindak Pidana Narkotika) OLEH : Ni Ketut Arie Setiawati A.A Gde Oka Parwata
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciQANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,
Lebih terperinciRANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,
RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciQANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN, KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KABUPATEN ATAU KOTA DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan
Lebih terperinciOANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG TUGAS FUNGSIONAL KEPOLISIAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
OANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG TUGAS FUNGSIONAL KEPOLISIAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 59, 1991 (ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran
Lebih terperinciOTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN
OTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN Oleh Muhammad Siddiq Armia, MH, PhD (msiddiq@ar-raniry.ac.id, muhammad.siddiq.armia@gmail.com) 1 Di presentasikan pada Fakultas
Lebih terperinciNOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
Lebih terperinciFungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak
Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjaga kelestarian hutan merupakan hal yang sangat penting dengan dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara
Lebih terperinciKebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36
Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
Lebih terperinci*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinci- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM
- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai pelaku tindak pidana, proses hukum pertama yang akan dijalani adalah proses penyelidikan. Seseorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan
Lebih terperinciEfektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath
Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath Danial * Abstrak: Salah satu bentuk hukuman yang terkandung dalam Qanun nomor 14/ 2003 tentang khalwat dan DQHR tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan
Lebih terperinciPENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang
Lebih terperinciPENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciFIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia)
FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia) Oleh: Miftahul Ulum 1 Email: miftahul_ulum2001@yahoo.com Abstract: Syar iyah
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG
PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG QANUN KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN JARIMAH PEMERKOSAAN DALAM QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN TENTANG HUKUM JINAYAT
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA Vol. 1(1) Agustus 2017, pp. 63-72 ISSN : 2597-6893 (online) TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN JARIMAH PEMERKOSAAN DALAM QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 20014 TENTANG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.790, 2014 BNPT. Perkaran Tindak Pidana Terorisme. Perlindungan. Saksi. Penyidik. Penuntut Umum. Hakim dan Keluarganya. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni,
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni, Amiruddin & Zainal Asikim, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Lebih terperinciPenerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan
1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana
Lebih terperinciBAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang
BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciWALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM
WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum dalam kekuasaan pemerintahan berdasarkan kedaulatan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciKEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh: Made Adi Kusuma Ni Ketut Supasti Darmawan Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Adapun sistem
Lebih terperinci