STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA"

Transkripsi

1 STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA ( Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827 ) YANG DIKEMBANGKAN DI STASIUN KARANTINA MEDAN DAN DI STASIUN REINRODUKSI JAMBI Yosia WSB Ginting DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 Matius 10 : Bukankah burung pipit dijual dua ekor seharga satu receh kecil? Namun, seekor pun tidak akan jatuh ke bumi diluar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu, janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.

3 RINGKASAN Yosia WSB Ginting (E ). Studi Reintroduksi Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827) Yang Dikembangkan Di Stasiun Karantina Medan Dan Di Stasiun Reintroduksi Jambi. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, MS dan Drh. Erna Suzanna, MSc.F Orangutan merupakan salah satu primata yang kini paling terancam keberadaannya di dunia. Permasalahan yang dihadapi orangutan adalah perusakan terhadap habitatnya yang terbatas dan tingginya perburuan orangutan di habitat alaminya. Untuk mengatasi kepunahan orangutan maka saat ini dikembangkan suatu bentuk konsep penyelamatan yang disebut reintroduksi. Konsep reintroduksi ini merupakan suatu rancangan yang baru dikembangkan dalam rangka upaya penyelamatan orangutan dari kepunahan. Sehingga perlu diketahui bagaimana tingkat keberhasilan dari reintroduksi ini yaitu dengan melakukan proses pemantauan terhadap orangutan yang sudah diliarkan. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui tahapan kegiatan reintroduksi orangutan sumatera dan untuk mengetahui kegiatan pemantauan dan penilaian pasca reintroduksi dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera dan sekaligus mempelajari kriteria dalam penentuan tingkat keberhasilan reintroduksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tahapan pelaksanaan reintroduksi satwa khususnya orangutan sumatera ke habitat alaminya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2004 sampai Maret 2005 di dua lokasi yaitu di Stasiun Karantina Orangutan Sumatera yang terletak di Medan dan di Stasiun Reintroduksi yang terletak di Jambi. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dan sekunder yaitu dengan observasi lapang, studi literatur dan wawancara langsung dengan pihak pengelola. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, reintroduksi orangutan sumatera dibagi ke dalam empat tahapan yaitu 1) Masa karantina; 2) Pengangkutan; 3) Masa adaptasi dan 4) Pelepasan ke alam. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan secara rutin terhadap 8 individu orangutan. Dari tahun 2003 sampai saat ini jumlah orangutan yang sudah dilepaskan ke habitat alami sebanyak 40 individu. Pada penelitian ini pemantauan secara rutin hanya dilakukan terhadap 8 individu orangutan. Dari ke- 8 individu orangutan yang diamati, hanya 5 individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya sedangkan 1 individu hilang dari pemantauan, 1 individu dibawa kembali ke kandang adaptasi dikarenakan tidak mampu untuk mencari makanannya sendiri dan 1 individu yang diamati mengalami kematian setelah enam bulan dilepaskan ke habitat alaminya. Pada penelitian ini, ada lima parameter yang dianggap dapat digunakan dalam penilaian tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera yaitu 1) memiliki aktifitas makan tinggi (> 47%); 2) memiliki pengetahuan pakan alami yang baik (minimal 25 jenis) (Orangutan Conservation and Reintroduction Workshop, Juni 2002); 3) memiliki kemampuan membuat sarang tidur; 4) memiliki kemampuan memanjat pohon yang baik dan 5) mampu berkembangbiak. Berdasarkan ke 5 parameter tersebut maka dari ke 40 individu orangutan yang

4 sudah dilepaskan alam hanya 26 individu (65 %) yang sudah dapat dipastikan mampu bertahan di lingkungan barunya. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan reintroduksi orangutan sumatera ini adalah tingginya biaya operasional untuk membiayai kebutuhan pakan orangutan selama masa adaptasi dan adanya konflik yang terjadi dengan penduduk lokal dikarenakan areal reintroduksi ini berdekatan langsung dengan pemukiman masyarakat lokal.

5 STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA (Pongo pygmaeus abelii Lesson,1827) YANG DIKEMBANGKAN DI STASIUN KARANTINA MEDAN DAN DI STASIUN REINTRODUKSI JAMBI YOSIA WSB GINTING Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYAHUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

6

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 18 Oktober Penulis merupakan anak Pertama dari dua bersaudara dari keluaraga Bapak Ir. Rura Silindung Ginting Munthe dan Ibu dr. Juwita Br Sembiring Meliala. Pendidikan SD, SMP dan SMA ditempuh di Yayasan Perguruan Swasta Kristen Immanuel Medan. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Swasta Kristen Immanuel Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Jawa Tengah (KPH Banyumas Barat KPH Banyumas Timur Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan KPH Ngawi Perum Perhutani Unit II Jawa Timur) pada Juli Agustus 2003 dan melakukan Praktek Kerja Lapang di HPHTI Topa Pulp Lestari Tbk, Toba Samosir Sumatera Utara pada Januari Februari 2004.

8 PRAKATA Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih dan karunianya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2004 ialah STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA (Pongo pygmaeus abelii Lesson,1827) YANG DIKEMBANGKAN DI STASIUN KARANTINA MEDAN DAN DI STASIUN REINTRODUKSI JAMBI. Terima kasih pula saya ucapkan kepada pihak pihak yang telah banyak membantu proses penyelesaian skripsi ini antara lain adalah : 1. Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, MS, selaku pembimbing pertama yang telah membimbing saya dalam penulisan dan penyempurnaan skripsi ini. 2. Drh. Erna Suzanna, MSc.F, selaku pembimbing kedua yang telah membimbing saya dalam penulisan dan penyempurnaan skripsi ini. 3. Ir. I Ketut N. Pandit, MS, selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dra. Nining Puspaningsih, M.Si, selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan yang telah memberi masukan dan kritikan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Orang Tuaku. Bapak Ir. RS. Ginting Munthe dan Ibunda dr. J. Sembiring Meliala yang dengan kesabarannya dan kesetiannya terus memberiku dorongan dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Adikku, Yehezkiel Wirawahyunta dan sepupuku Carola Sembiring, Chevinta Sembiring dan Chandra Sembiring. 6. Ir. Awen Supratna, selaku Kepala Balai KSDA Sumatera Utara I yang telah membantu saya dalam mengeluarkan surat izin penelitian di stasiun karantina. 7. Ir Suherry dan Ian Singleton, Ph.D, selaku Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dan staf karantina yaitu bang Asril dan bang Wardi yang telah membimbing saya selama berada di stasiun karantina.

9 8. Ir. Maraden Purba, MM.,selaku Kepala Balai KSDA Jambi yang telah membantu saya dalam melakukan surat ijin penelitan di stasiun reintroduksi orangutan Muara Tebo, Jambi. 9. Dr. Peter Pratje, selaku Manajer Proyek Frakfurt Zoological Society (FZS), Juana Betti Rican T, Spd dan Krismanko Padang, SH yang telah memberikan ijin dan membantu saya dalam melaksanakan penelitian. 10. Bang Isa, SSi yang telah membantu dan mengajariku mengambil data selama berada di lapangan dan teman temanku di Sungai Pengian yang telah menemaniku selama berada di lapangan. 11. Teman teman KSH angkatan 37. Terima kasih untuk kebersamaannya selama di bangku kuliah. 12. Teman teman di Sinabung Villa : Bang Edo, Bang Joy, Bang Dennis, Budi Sitepu, Edu Ginting, Andi, Andri, Pirdolin, Budi Surbakti, Disa, Budi Ginting dan Agung). 13. Pengurus Permata GBKP Bogor periode dan periode Teman temanku di Bidang Pembinaan : Bremin Sembiring, Mila, Laura, Erika Surbakti, Tetty, Putri, Elpita, Jani, Leli. 15. Morintara Putri Surbakti yang menjadi teman di waktu suka dan duka. Terima kasih untuk canda tawa, doa dan dukungannya. 16. Teman teman Guru Sekolah Minggu dan seluruh Permata GBKP Bogor yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 17. Keluarga Besar GBKP Runggun Bogor, yang menjadi orangtua selama aku di Bogor. Bogor, Desember 2005 Yosia WSB Ginting

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 3 C. Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Bioekologi Orangutan Klasifikasi Morfologi... 5 B. Penyebaran Orangutan Sumatera... 7 C. Habitat Orangutan... 7 D. Perilaku Orangutan Aktifitas Harian Perilaku Makan Perilaku Bersarang E. Sistim Pemeliharaan Sistim pengandangan dalam bangunan yang tertutup ( indoor enclosures ) Sistim pengandangan dalam alam terbuka ( outdoor enclosure ) 16 F. Konservasi Orangutan G. Translokasi : Introduksi dan Reintroduksi H. Karantina Primata I. Pengangkutan Primata... 22

11 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Stasiun Karantina Orangutan Sumatera Kondisi Fisik Letak dan Luas Aksesibilitas dan Fasilitas Karantina Kondisi Iklim Topografi Lapangan Kondisi Biotik Flora Fauna B. Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera Kondisi Fisik Letak dan Luas Aksesibilitas dan Fasilitas Kondisi iklim Topografi lapangan Kondisi Biotik Flora Fauna darat Biota perairan (Nekton/ikan) Sosial, Ekonomi dan Masyarakat IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat B. Alat dan Bahan Alat Bahan C. Jenis Data yang Dikumpulkan Data Primer Data Sekunder D. Metoda Pengambilan Data E. Pengolahan dan Analisis Data... 36

12 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahapan Proses Reintroduksi A.1 Manajemen Orangutan Selama Masa Karantina Fasilitas dan Jumlah Tenaga Kerja di Karantina Sistem Pemeliharaan Orangutan di Stasiun Karantina Kandang Pemeliharaan Pembersihan Kandang Pemeliharaan Jumlah dan Asal Orangutan yang di Rehabilitasi Lama Pemeliharaan di Karantina Jenis dan Jumlah Pakan Perlakuan Khusus Pembentukan Kelompok dan Proses Sosialisasi Orangutan Sistim Perawatan Orangutan di Stasiun Karantina Pengambilan Sampel Kotoran/Faeces Pengambilan Sampel Darah Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan Kulit Pemberian Microchip Otopsi Pembiusan Syarat Kesehatan Sebelum di Reintroduksi Aktifitas Orangutan Selama di Rehabilitasi Aktifitas makan Aktifitas minum Aktifitas bergelayut dan memanjat Aktifitas bermain Aktifitas istirahat dan tidur Aktifitas membuat sarang Aktifitas berjalan A.2 Manajemen Pengangkutan Orangutan Dari Karantina Ke Lokasi Reintroduksi Tahapan Persiapan Pengangkutan... 53

13 1.1 Kandang Angkut Jenis Alat Angkut Prosedur Pemindahan dari Kandang Sosialisasi ke Kandang Transport Prosedur Pengangkutan Biaya Pengangkutan Tahapan Pengangkutan Jumlah Orangutan Yang Diangkut Tindakan Selama Pengangkutan Permasalahan Dalam Pengangkutan A.3 Manajemen Orangutan di Stasiun Reintroduksi (Adaptasi) Sebelum Dilepaskan ke Alam Latar Belakang dan Syarat Pemilihan Areal Reintroduksi Kondisi dan Potensi Habitat Sistim Pemeliharaan Orangutan di Stasiun Adaptasi Kandang adaptasi Pemberian pakan Pembersihan kandang pemeliharaan A.4 Manajemen Pelepasan Orangutan ke Alam Waktu pelepasan Proses pelepasan Pemantauan (Monitoring) Identifikasi jenis jenis tumbuhan yang dimakan orangutan Upaya perlindungan terhadap orangutan yang sudah diliarkan 66 B. Kriteria Penilaian dalam Penentuan Tingkat Keberhasilan Reintroduksi Orangutan Sumatera B.1 Kriteria penilaian tingkat keberhasilan reintroduksi B.2 Evaluasi tingkat survival orangutan sumatera B.2.1 Evaluasi terhadap 8 individu yang diikuti secara rutin B.2.2 Evaluasi terhadap tingkat survival keseluruhan orangutan sumatera yang sudah diliarkan... 74

14 C. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Reintroduksi Orangutan Sumatera VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 81

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta penyebaran orangutan sumatera Peta habitat orangutan sumatera Peta lokasi reintroduksi orangutan sumatera Kerangka Tahapan Proses Reintroduksi Orangutan Sumatera Grafik persentase aktifitas makan orangutan di alam Grafik komposisi jenis tumbuhan yang dimakan orangutan di alam Grafik persentase aktifitas bergerak orangutan di alam Grafik persentase aktifitas istirahat orangutan di alam Grafik perbandingan aktifitas makan, aktifitas bergerak dan aktifitas istirahat orangutan di alam... 73

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data iklim di areal studi Data individu orangutan yang diamati Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan pra - reintroduksi Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan reintroduksi Ruang lingkup pengamatan paramerter tahapan pasca reintroduiksi Daftar jenis dan jumlah obat sesuai dengan berat badan orangutan Surat dan dokumentasi pengangkutan Jumlah orangutan yang diangkut dalam setiap proses pengangkutan... 57

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Struktur vegetasi hutan di sekitar Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera Jenis jenis satwa yang ditemukan di Lokasi Reintroduksi Orangutan Sumatera Tally sheet pengamatan aktifitas harian orangutan Daftar pertanyaan kepada pengelola Daftar Orangutan yang masuk ke Stasiun Karantina Orangutan Batumbelin Sibolangit Komposisi jenis pohon di kelompok hutan sungai Mangatal Bukit Tigapuluh Komposisi jenis pohon di kelompok hutan sungai Pekundangan Bukit Tigapuluh Daftar individu orangutan yang masuk ke Stasiun Reintroduksi Muara Tebo Jambi Jenis jenis tanaman hutan yang dimakan orangutan di lokasi reintroduksi Evaluasi terhadap tingkat survival orangutan di Jambi

18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman jenis primata yang tinggi, salah satunya adalah orangutan (Pongo pygmaeus). Orangutan merupakan salah satu primata yang kini paling terancam di dunia. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan status orangutan sebagai endangered species atau jenis dalam keadaan genting. Pada tahun 1993, diperkirakan jumlah orangutan Indonesia dan Malaysia telah menurun % dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sementara habitatnya telah menyusut sebanyak 80 % dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Primack et al., 1998). Indonesia memiliki dua subspesies orangutan yaitu orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Berdasarkan data yang ada beserta konsensus yang dikembangkan oleh para ahli diduga bahwa di pulau Kalimantan terdapat orangutan (P.p pygmaeus ), sementara konspesifik orangutan di Sumatera ( P.p abelii ) berjumlah antara sampai individu (Tilson et al., 1993 dalam Primack et al., 1998 ). Namun berdasarkan data terakhir, populasi orangutan sumatera berkisar 7334 individu (Pre PHVA Meeting, Jakarta Agustus 2003). Bila dibandingkan antara kedua subspesies ini, maka subspesies orangutan sumatera lebih terancam kepunahannya dibandingkan subspesies orangutan kalimantan. Di Sumatera, permasalahan yang dihadapi orangutan adalah penyebarannya yang sangat terbatas dan populasinya yang menurun dengan cepat karena habitatnya banyak dirusak. Habitat yang hilang bagi orangutan sumatera lebih dari 64 % atau dari km 2 menjadi km 2 (Supriatna, 2000). Selain rusaknya habitat, laju kepunahan orangutan yang tinggi juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan di habitat alaminya. Perburuan yang tinggi ini disebabkan banyaknya permintaan orangutan karena semakin banyaknya orang yang memiliki hobi memelihara satwa langka khususnya orangutan. Apabila tidak ada usaha mencegah maka dalam waktu yang tidak lama

19 orangutan akan punah. Untuk mengatasi hal tersebut sudah banyak usaha yang dilakukan dalam rangka menyelamatkan orangutan dari kepunahan. Usaha penyelamatan orangutan yang dilakukan selama ini adalah rehabilitasi. Tujuan awal dari rehabilitasi adalah untuk menyiapkan seekor orangutan yang pernah ditangkap memiliki mental dan fisik untuk hidup dalam kondisi liar dan tidak tergantung pada pemeliharaan manusia namun yang terjadi adalah kontak dengan pengunjung secara teratur dan pemberian makanan secara manual membuat tujuan ini tidak mungkin dicapai (Meijaard et al., 2001). Sebagai gantinya dikembangkan suatu rancangan baru dalam rangka penyelamatan orangutan yaitu reintroduksi. Konsep dari reintroduksi ini adalah orangutan yang disita dikumpulkan dalam fasilitas karantina terpisah selama tidak lebih dari enam bulan untuk direhabilitasi, termasuk sosialisasi setelah karantina selesai. Orangutan rehabilitan dilepas dalam kelompok yang dipilih secara hati hati, dalam habitat yang cocok dimana tidak terdapat orangutan liar ; setelah dilepaskan kelompok ini diberi makan setiap hari selama diperlukan (Meijaard et al., 2001). Selama di karantina pola perilaku dan tingkat kesehatan orangutan harus benar benar diperhatikan. Tujuannya ialah ketika orangutan dilepaskan ke habitat alaminya, orangutan dapat bertahan hidup sehingga populasinya dapat bertahan bahkan bertambah. Upaya reintroduksi ini sudah dilakukan mulai tahun 2002 sampai sekarang yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Sumatran Orang Utan Conservation Programm ( SOCP ) dan Frankfurt Zoological Society ( FZS ). Bila usaha reintroduksi ini berhasil maka kepunahan orangutan dapat kita cegah. Tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah belum diketahuinya tingkat keberhasilan pelaksanaan reintroduksi ini, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai reintroduksi orangutan sumatera.

20 B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah : 1. Untuk mengetahui tahapan kegiatan reintroduksi orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii). 2. Untuk mengetahui kegiatan pemantauan dan penilaian pasca reintroduksi dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) 3. Mempelajari kriteria dalam penentuan tingkat keberhasilan reintroduksi C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini ialah dapat memberikan informasi mengenai tahapan pelaksanaan reintroduksi satwa khususnya orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) ke habitat alami dalam rangka mendukung usaha konservasi.

21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Orangutan 1. Klasifikasi Primata pada awalnya dibagi secara sederhana ke dalam tiga kelompok besar yaitu Lemur, Kera dan Monyet. Dalam perkembangannya kebutuhan untuk mendiskripsikan secara tepat bangsa primata ini membutuhkan semacam metode pengklasifikasian yang lebih rumit (Sanderson, 1957 dalam Sujarno, 2000). Orangutan termasuk ke dalam anggota primata dan merupakan salah satu jenis kera besar yang masih hidup sampai saat ini. Kegiatan pengklasifikasian yang didasarkan pada perbandingan anatomi dan imunologi memberikan petunjuk bahwa orangutan bersama-sama dengan dua kera besar lainnya yaitu simpanse dan gorila merupakan kerabat bangsa manusia yang paling dekat dalam dunia hewan (Napier dan Napier, 1985 dalam Sujarno, 2000). Perkataan orangutan berasal dari bahasa melayu yang berarti manusia yang hidup di dalam hutan (Galdikas, 1984 dalam Sujarno 2000). Penggunaan istilah orangutan dalam bahasa ilmiah pertama kali dilakukan oleh Tulp pada tahun 1941 dan disusul Poirier pada tahun Linnaeus pada tahun 1760 memberi nama orangutan dengan nama Pongo pygmaeus. Selanjutnya orangutan (Pongo pygmaeus) dibagi ke dalam dua subspesies yaitu orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dalam perkembangan terakhir, kedua orangutan dinyatakan berbeda subspesies (Chemnick dan Ryder, 1994 dalam Sujarno 2000). Klasifikasi orangutan menurut E. Poirier (1964) dalam Groves (1972) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Pylum Subpylum Klas : Chordata : Vertebrata : Mamalia

22 Ordo Subordo Famili Genus Spesies : Primata : Primata : Pongidae : Pongo : Pongo pygmaeus Linnaeus Subspesies : Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827 Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, Morfologi Secara morfologi, orangutan sumatera dan kalimantan sangat serupa sekalipun individu kedua subspecies ini kerapkali dapat dibedakan dengan dasar warna bulunya (Napier dan Napier, 1967). Orangutan sumatera (Pongo pigmaeus abelii) biasanya berwarna lebih pucat khasnya ginger (jahe). Perbedaan ini bukannya sifat yang mantap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar. Orangutan sumatera kadang-kadang mempunyai bulu putih pada mukanya. Bulu orangutan sumatera biasanya lebih lembut dan lemas, sedang bulu orangutan kalimantan kasar dan jarang-jarang. Selain itu ukuran tubuh orangutan sumatera lebih besar dari orangutan kalimantan. Menurut Supriatna (2000), rambut orangutan sumatera lebih terang bila dibandingkan orangutan kalimantan. Warna rambut coklat kekuningan, dan umumnya rambut agak tebal atau panjang. Seperti halnya orangutan kalimantan, anak yang baru lahir mempunyai kulit muka dan tubuh berwarna pucat, dan rambutnya coklat sangat muda. Menginjak dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umur. Jantan dewasa ukuran tubuhnya dua kali lebih besar daripada betina yaitu sekitar cm. Berat tubuh jantan di alam berkisar antara kg, sedangkan orangutan peliharaan dapat mencapai 150- an kg. Berat tubuh betina pada orang utan liar berkisar antara kg, dan dapat mencapai 70-an kg. Pada jantan mempunyai kantong suara, yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang.

23 Perbedaan bentuk morfologi dan perilaku orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin menurut Rijksen (1978) sebagai berikut : a. Bayi (infant). Umur 0 2,5 tahun dengan berat antara 2 6 kg. Bayi orangutan memiliki warna bulu yang terang pada sekitar matanya sedangkan bagian mulut dan muka memiliki warna yang gelap. Memiliki bulu yang panjang di sekitar muka. Bayi orangutan selalu digendong oleh induknya dan bergantung sepenuhnya kepada induknya untuk makan. Bayi orangutan tidur di sarang bersama dengan induknya. b. Anak (juvenile). Umur 2,5 5 tahun dengan berat antara 6 15 kg. Warna bulu anak orangutan tidak jauh berbeda dengan bayi orangutan. Anak orangutan masih bergantung kepada induknya tetapi sudah mampu mencari makanan sendiri. Anak orangutan suka bermain sendiri atau bersama dengan anak orangutan lainnya. Awalnya anak orangutan masih tidur bersama dengan induknya tetapi setelah itu anak orangutan sudah bisa membuat sarangnya sendiri, dimana sarangnya dibangun dekat dengan sarang induknya. c. Remaja (adolescent). Umur 5 8 tahun dengan berat antara kg. Orangutan remaja masih memiliki bulu yang panjang di sekitar mukanya. Awalnya wajah orangutan remaja memiliki warna yang terang tetapi kemudian akan berubah menjadi lebih gelap, pada masa remaja ini sangat sulit untuk membedakan orangutan jantan dan betina. Perilaku seksual orangutan sudah mulai kelihatan, senang bermain dengan orangutan remaja lainnya dan sudah melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya secara berkelompok. d. Jantan setengah dewasa (subadult male). Umur 8 13/15 tahun dengan berat antara kg. Warna wajah orangutan sudah gelap. Janggut sudah mulai tumbuh dan bulu di sekitar muka tidak panjang lagi. Pada kelas umur ini, alat kelamin sudah lengkap, sudah dewasa secara seksual, dan selalu menghindari perjumpaan dengan orangutan jantan dewasa.

24 e. Betina dewasa (adult female). Umur 8+ tahun dengan berat antara kg. Orangutan betina dewasa sudah memiliki janggut dan sangat sulit membedakannya dengan orangutan betina setengah dewasa. Orangutan betina dewasa biasanya selalu diikuti oleh anak anaknya. f. Jantan dewasa (adult male). Umur 13/15+ tahun dengan berat antara kg. Orangutan jantan dewasa memiliki ukuran tubuh sangat besar, memiliki bantalan pipi, kantung leher, berjanggut dan memiliki bulu yang panjang dan lebat, hidup soliter dan sering mengeluarkan seruan panjang (long call) (Mackkinnon, 1971 ). B. Penyebaran Orangutan Sumatera Menurut publikasi pada tahun 1930-an, ada pendapat umum bahwa kisaran distribusi orangutan tipe Sumatera di pulau ini terbatas di utara khatulistiwa, atau di utara Danau Toba, dan terutama di Suaka Margasatwa G. Leuser. Saat ini populasi telah terpecah menjadi empat subpopulasi utama : (1) subpopulasi di dekat Aceh, di sebelah barat S. Alas dan S.Wampu; (2) subpopulasi di hutan lindung Dolok Sembelin dan Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah timur S. Alas, membentang disepanjang kaki-kaki bukit pesisir barat dan menurus sampai ke pantai Sibolga; (3) subpopulasi Tapanuli bagian tenggara diantara S.Asahan dan S. Barumun, dan (4) subpopulasi di Anggolia, Angkola, dan Pasaman, semuanya di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan, dari hilir S. Batang Toru membentang ke arah selatan diantara Padang Sindempuan dan daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara Padang ( Meijaard et al., 2001). Menurut Supriatna (2000), orangutan Sumatera terbatas sebarannya, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh. Dari hasil survei terbaru, orangutan sumatera diperkirakan ada di Sumatera Barat dan Riau bagian utara dan sampai ke daerah hutan di Aceh Utara (Gambar 1)

25 C. Habitat Orangutan Berdasarkan luas distribusi disimpulkan orangutan dapat beradaptasi pada berbagai tipe primer dari hutan rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai ke hutan pegunungan dengan batas ketinggian 1800 m dpl (Rijksen, 1978). Orangutan terutama hidup di dataran rendah, dan kepadatan tertinggi terdapat diantara ketinggian permukaan laut sampai sekitar m (Payne 1988 ; van Schailk dan Azwar 1991). Namun di Sumatera, orangutan kadang ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1500 m (Gambar 2).

26 Gambar 1. Peta penyebaran orangutan sumatera.

27 Berdasarkan tinjauan pustaka yang tersedia, dan dari data survei orangutan dari berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan, orangutan diketahui lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa: kepadatan tertinggi terdapat di petak-petak hutan (alluvial) kecil di lembahlembah sungai, dan di hutan-hutan gambut (pasang surut) di dekat rawa-rawa, atau di antara sungai-sungai. Kecil sekali kemungkinan seseorang dapat menjumpai orangutan pada jarak yang lebih jauh dari km dari anak sungai atau rawa yang perairannya terbuka. Alasan utama orangutan lebih menyukai lingkungan ini hampir pasti karena di dekat sungai lebih banyak pohon buah yang disukai, tetapi mungkin juga karena sungai-sungai besar dan kecil merupakan tanda-tanda geografis yang terbaik untuk mengetahui arah keberadaannya. Berdasarkan hasil penelitian Rijksen (1978) di Ketambe bahwa karakteristik habitat orangutan di daerah tersebut adalah tidak adanya dominasi dari satu jenis pohon atau vegetasi. Stratifikasi hutan terutama terdiri dari strata B atau C, dan pada lantai hutan terutama ditumbuhi herba. Menurut Meijaard et al (2001), habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Tepi sungai mungkin berupa dataran banjir, rawa atau lemah alluvial, dataran tinggi biasanya adalah kaki bukit. Kedua tipe habitat ini tentunya harus cukup luas, dan dalam jarak yang dapat dijangkau, yaitu kurang dari 5 km. Habitat orangutan yang baik biasanya berupa mosaik petak-petak hutan kecil dengan tingkat tumbuhan berkayu yang berbeda, beberapa diantaranya mempunyai kerapatan jenis pohon buah yang sangat tinggi ( > 20 % dari semua pohon).

28 Gambar 2. Peta habitat orangutan sumatera.

29 D. Perilaku Orangutan 1. Aktifitas Harian Orangutan merupakan satwa arboreal. Di pohon pergerakkannya dilakukan dengan bergantungan dari satu dahan ke dahan yang lain. Pada saat di dahan mereka bergerak dengan menggunakan ke empat anggota tubuhnya. Jarang sekali turun ke tanah, hanya pada saat memakan rayap, mereka sering turun ke lantai hutan. Daerah jelajah orangutan sumatera antara ha, dan jelajah harian berkisar antara m. Di sore hari menjelang tidur, selalu membuat sarang untuk tidur. Bagi induk yang diikuti anaknya, anaknya biasanya belajar membuat sarang sendiri dalam satu pohon dengan induknya. Namun bila malam tiba, ikut bergabung dengan induknya (Supriatna, 2000). Aktifitas harian orangutan dipengaruh oleh musim buah. Pada saat tidak musim buah, orangutan menghabiskan waktunya untuk berjalan dan waktu untuk makan hanya sedikit (Mackkinnon, 1974 dalam Rijksen 1978). MacKinnon juga menemukan perbedaan pola aktifitas harian orangutan sumatera pada saat hari kering dan hari basah. Pada saat hari kering waktunya lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat daripada aktifitas makan dan berjalan. Pada saat hari kering orangutan menghabiskan waktunya untuk istirahat sampai tengah hari. Lebih dari 47 % aktivitas harian orangutan adalah makan, 40 % untuk istirahat, 12 % untuk aktivitas menjelajah dan sisanya untuk aktivitas sosial dan kegiatan lainnya. Segera setelah mereka meninggalkan sarang tidur, dini hari, orangutan bergerak menuju pohon pakan terdekat. Dalam sehari orangutan menjelajah 0,5 2 km. Dalam melakukan pergerakan orangutan menggunakan keempat anggota badannya. Kakinya mampu berfungsi sebagai tangan, terutama ketika melakukan gerakan quadrumanous scrambling, branchiate. Bentuk pergerakan orangutan dibedakan atas quadrumanous scrambling, branchiate, quadrupedal/walking tree sway dan climbing (Rijksen, 1978) Bentuk quadrumanous scrambling menempati 50 % dari waktu jelajahnya. Orangutan hampir tidak pernah turun ke tanah. Mereka menggunakan lapisan antara m di atas tanah (hampir 70 % dari waktunya), 20 % dari waktunya menggunakan lapisan 25 m keatas dan kurang 10 % dibawah ketinggian 15 m. Sistim komunikasi orangutan berlangsung dengan menggunakan suara (vocal

30 communication) dan pergerakan atau perbuatan (attractive communication). Dengan kehadiran manusia, orangutan banyak membuat bunyi dan reaksi lain, seperti bunyi kecupan kiss hot dan kiss squeak, merengut dengan wajah menyelidik, menjerit, menggoncang-goncangkan serta banyak mematahkan dahan dahan dan melemparkannya ke arah manusia. Reaksi ini terjadi juga bila ada gangguan dari makhluk lain selain manusia. (Djojosudharmo, 1978 dan Sinaga, 1992 dalam Pardede 2000) Orangutan liar minimal sekali dalam sehari membuat sarang untuk tidur. Orangutan selalu menempatkan sarang di pinggir sungai pada ketinggian m di atas tanah. Beberapa jenis pohon tempat tidur orangutan antara lain damar laut (Shorea materialis), kayu kuning (Eugenia sp), kayu merah (Eugenia sp), keranji (Dialium platysepalum), semantok (Shorea multiflora), baja barus (Rhodamnia sp ), kecing batu (Quercus spicata) dan ponggas (Mangifera sp ). Pada umumnya pola aktifitas harian orangutan sumatera dibedakan menjadi dua. Aktifitas di pagi hari, dua jam sampai tiga jam setelah orangutan meninggalkan sarang tempat tidurnya dan aktifitas sore hari sekitar pukul tiga sore. Aktifitas makan lebih banyak dilakukan di pagi hari, aktifitas berjalan lebih banyak dilakukan pada sore hari dan aktifitas beristirahat lebih banyak dihabiskan pada tengah hari (Rijksen 1978). Dari ketiga aktifitas harian ini, aktifitas yang paling mendominasi adalah aktifitas makan 45,9 %, sedangkan aktifitas istirahat sebesar 39,2 % (Rodman,1977 dalam Maple, 1980 dalam Sujarno, 2000). 2. Perilaku Makan Aktifitas makan ialah waktu yang dipakai seekor orangutan untuk menggapai, mengolah, mengekstraksi, memegang-megang, mengunyah dan menelan makanan pada satu sumber makanan. Dalam hal memakan rayap, waktu ini meliputi saat-saat seekor orangutan menggali tanah dengan merobek-robek bagian luarnya. Pergerakan di dalam sumber makanan juga dihitung. Pakan orangutan sumatera sangat bervariasi. Mereka memakan berbagai bagian dari tumbuhan, seperti daun muda, bunga, buah dan biji, kambium dan beberapa tumbuhan dihisap getahnya. Selain itu orangutan sumatera juga mengkonsumsi beberapa jenis serangga atau telur burung. Orangutan sumatera memakan lebih dari 200 jenis tumbuhan yang berbeda (Supriatna, 2000).

31 Makanan pokok orangutan adalah buah. Berdasarkan data yang ada, komposisi persentase waktu makan dan jenis makanan orangutan adalah buah (60 %), daun (25 %), kulit batang (15 %), serangga (10 %) dan lain-lain (2 %). Orangutan sangat menyukai madu. Untuk melindungi mukanya dari serangan lebah orangutan mengambil ranting berdaun untuk menutup mukanya. Kesimpulannya, orangutan adalah satwa tipe pengumpul atau pencari makanan yang oportunis yaitu memakan apa saja yang dapat diperolehnya. Dari hasil penelitian di wilayah Ketambe, orangutan sumatera memakan 92 macam buah, 13 macam daun, 22 macam tanaman contohnya anggrek, 2 jenis akar tanaman dan 2 jenis jamur epifit serta 17 jenis serangga dan telur burung. Di dalam melakukan aktivitas makannya, orangutan umumnya memilih jenis pakan yang paling disukainya. Pada saat musim buah, orangutan dapat dengan leluasa memilih pakan yang disukainya. Tetapi pada saat tidak musim buah orangutan memakan apa saja yang dijumpainya (Meijaard et al., 2001). 3. Perilaku Bersarang Orangutan membangun paling tidak satu sarang perhari untuk beristirahat dan tidur di malam hari (Maple, 1980 dalam Sujarno 2000), atau 1,8 sarang per hari berdasarkan perhitungan Rijksen (1978) dengan sebaran 0-6. Umur satwa juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku bersarang. Rijksen (1978) mengemukakan bahwa orangutan muda cenderung membangun sarang dalam jumlah banyak atau bermain sarang setiap hari. Di samping itu sarang juga berfungsi sebagai tempat untuk kawin, melahirkan anak, mengasuh anak sampai siap disapih (Galdikas, 1984 dalam Sujarno, 2000). Dalam membangun sarangnya, orangutan memilih tempat yang menguntungkan dengan mempertimbangkan letak pohon berbuah terdekat dan topografi daerah sehingga tempat bersarang terdistribusi secara acak. Orangutan mencari lokasi bersarang pada tempat-tempat yang dikenalinya, baik untuk digunakan sendiri maupun untuk bersama-sama, dengan mempertimbangkan hubungan antara posisi sarang dan keuntungan yang diperoleh (Mackkinnon, 1974). Umumnya orangutan membangun sarang pada tempat-tempat yang dapat memberikan pandangan lebih luas ke sebagian besar areal hutan (Rijksen, 1978).

32 Menurut Mackkinnon (1974), konsentrasi sarang terutama berada pada punggung bukit sebelah barat. Posisi ini dipilih untuk menghindari panas matahari, sebagai pelindung dari angin malam, dan memperluas jangkauan pandangan. Faktor penentu lainnya adalah keberadaan sarang-sarang orangutan lainnya (Rijksen, 1978). Tinggi sarang bergantung pada struktur hutan pada tempat tertentu, dan umumnya berkisar antara meter (Rijksen, 1978) Kegiatan pembuatan sarang membutuhkan waktu sekitar 2 3 menit. Tahapan dalam pembuatan sarang diterangkan oleh Rijksen (1978) dalam sebagai berikut : a. Rimming (Melingkarkan). Dahan dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan dahan lain. b. Hanging (Menggantung). Dahan dilekukkan masuk ke dalam sarang untuk membentuk mangkuk sarang c. Pillaring (Menopang). Dahan dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan kekuatan ekstra. d. Loose (Melepaskan). Beberapa dahan diputuskan dari pohon dan diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap. Patahan dahan diperoleh dari vegetasi yang ada disekitarnya, bahkan sampai 15 meter jaraknya dari tempat bersarang. Lama bertahan (relative permanent) sarang bervariasi, paling tidak berdasarkan variabel variabel yang dikemukakan oleh Rijksen (1978) yaitu teknik konstruksi, berat dan ukuran orangutan, suasana hati (mood) saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca, kemungkinan dihancurkan oleh orangutan atau kera lain saat mencari serangga. Sarang orangutan tetap terlihat 2,5 bulan dengan variasi antara dua minggu sampai satu tahun (Rijksen, 1978). Orangutan berada di sarang untuk tidur di malam hari antara jam dan meninggalkan sarang pada pukul (Michael dan Crook, 1973 dalam Sujarno 2000). Orangutan cenderung akan tidur lebih awal pada cuaca yang buruk (Mackkinnon, 1974).

33 E. Sistim Pemeliharaan Untuk memelihara satwa primata tidak semudah memelihara satwa lainnya. Satwa ini memerlukan penanganan yang khusus karena satwa ini mudah menularkan penyakitnya kepada manusia dan timbal balik, manusia menularkan penyakitnya kepada orangutan. Pada dasarnya sistim pengandangan primata dibagi atas dua bagian (Bismark,1984) yakni : 1. Sistem pengandangan dalam bangunan yang tertutup (indoor enclosures). Pada sistem ini, satwa ditempatkan dalam bangunan yang tertutup, sehingga sama sekali tidak terpengaruh cuaca dan lingkungan luar. Udara yang disedot masuk dan keluar ruangan harus menggunakan sistem tertentu, dengan demikian dapat membatasi bibit penyakit yang akan membahayakan hewan dan manusia. Sistim tertutup ini diperlengkapi dengan air-conditioning dan heater untuk menjaga agar temperatur tidak berfluktuasi terlalu banyak. Selain itu ruangan dilengkapi dengan alat pengatur kelembaban udara. Kelembaban udara yang dianjurkan adalah % dengan fluktuasi seminim mungkin. Temperatur dan kelembaban udara yang tidak terlalu besar fluktuasinya sangat diperlukan untuk memperkecil terjadinya penyakit pernafasan dan pencernaan yang disebabkan stres. Sistim tertutup ini biasanya digunakan untuk mengkarantinakan satwa primata dan juga dalam berbagai macam riset yang mensyaratkan satwa tersebut dikandangkan secara individual atau berkelompok, dimana tidak terdapat kemungkinan kontaminasi dari luar atau sebaliknya satwa menularkan penyakit ke luar. Sistim tertutup ini dibagi atas dua bagian : a. Sistim kandang satu persatu (individual cage) Pada sisitim ini satwa dikandangkan satu persatu. Ukuran kandang yang dipergunakan disesuaikan dengan berat badan satwa. b. Sistim kelompok (gang cage) Dalam sistim ini, satwa ditempatkan dalam satu kandang yang cukup besar dan dapat menampung cukup satwa. Sistim ini sudah tidak dipakai lagi untuk satwa yang belum lepas karantina. Pada umumnya sistim ini sekarang dipakai untuk percobaan reproduksi, uji obat atau tingkah laku.

34 2. Sistim pengandangan dalam alam terbuka (outdoor enclosures) Tujuan sistim pengandangan ini ialah agar satwa ditempatkan pada satu bangunan/kandang di udara terbuka. Sistim ini biasanya dipakai untuk mengembangbiakkan satwa tersebut. Secara lebih terperinci sistim ini dibagi atas lima bagian, yaitu a. Sistim setengah tertutup (semi closed) Satwa ditempatkan dalam satu kandang yang setengah terbuka. Udara dapat keluar masuk dengan bebas. Sinar mataharipun dapat masuk ke dalam ruangan ini. Apabila cuaca buruk maka satwa dapat berlindung pada bagian yang tertutup. b. Sistim terbuka dengan disediakan tempat berteduh (Open corral with rainshed) Pada sistem ini, satwa ditempatkan dalam suatu daerah yang luas (minimum 2,5 acre) tanpa adanya penghalang yang permanen. Di dalam kandang hanya dibuatkan beberapa panggung dan tonggak kayu untuk satwa berlindung dari hujan, terik matahari dan untuk bermain-main. c. Sistim terbuka setengah bebas (semi free ranging) Pada prinsipnya sama dengan sistim terbuka tetapi arealnya lebih luas. Makanan sepenuhnya tergantung pada manusia. d. Sistim terbuka setengah alam (semi natural free ranging) Pada sistim ini satwa ditempatkan pada daerah yang luas dimana makanan dari satwa sebagian didapat dari alam. e. Sistim pemeliharaan di alam bebas ( natural free ranging ) Pada sistim ini satwa dilepaskan di alam bebas dimana ketergantungan satwa pada manusia sama sekali tidak ada. Seluruh makanan berasal dari alam bebas. Manusia hanya memonitor pertumbuhan populasi tersebut dan akan mengurangi jumlahnya apabila populasinya dianggap sudah terlalu padat. F. Konservasi Orangutan Perusakan habitat dan perburuan liar merupakan ancaman serius bagi kelestarian orangutan di habitat aslinya. Gatra (Mei 2004) menyebutkan seorang pedagang satwa illegal di Semarang mampu mendatangkan setiap bulannya 20 ekor orangutan. Ini menunjukkan bagaimana terancamnya kehidupan orangutan.

35 Ancaman terhadap kelangsungan hidup spesies ini diakui ditingkat nasional dan internasional. Di Sumatera, masalah konservasi orangutan adalah penyebarannya yang sangat terbatas dan populasinya yang menurun dengan cepat dikarenakan habitatnya banyak yang dirusak. Habitat yang hilang bagi orangutan lebih dari 64 % atau dari km 2 menjadi km 2. Jumlah populasi saat ini diperkirakan anatara ekor saja (Supriatna, 2000). Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan lindung yang menjadi habitat utama orangutan sumatera. Semenjak tahun 1931, orangutan sudah dilindungi undangundang, berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 233 dan kemudian terbit SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts II/1991 dan Undang undang No. 5 tahun IUCN memasukkan status orangutan sebagai Endangered Species atau jenis dalam keadaan genting dan Konvensi Perdagangan Internasional bagi Spesies Langka (CITES) telah melarang perdagangan orangutan dan memasukkan spesies ini de dalam daftar Appendix I pada tahun Dalam upaya penyelamatan orangutan semenjak tahun 1960 an telah dilakukan rehabilitasi program orangutan dengan tujuan utama untuk penambahan (restocking) populasi serta meningkatkan kualitas hidup orangutan. Rehabilitasi dilakukan di daerah sebaran orangutan kalimantan, yaitu Bako (Sarawak Selatan), Sepilok (Sabah) dan Tanjung Puting (Kalteng, Indonesia). Pada tahun 1970 an di Sumatera ditetapkan Stasiun Ketambe dan Bahorok. Semenjak tahun 1980 an di Sumatera telah diupayakan pengembalian ke alam sebanyak 180 individu, sementara upaya serupa di Tanjung Puting melibatkan 70 ekor (Primack et al., 1998)). Saat ini, di Sumatera Utara sedang dilaksanakan kampanye penyelamatan orangutan Sumatra yang dilakukan oleh LSM yang peduli dengan kelangsungan hidup orangutan Sumatera bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Upaya yang dilakukan ialah penyitaan orangutan yang dipelihara oleh masyarakat. Orangutan yang disita tersebut ditempatkan dan dirawat di dalam karantina yang berlokasi di desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Propinsi Sumatera Utara. Di karantina ini orangutan dirawat sekitar 3 4 bulan sebelum dilepas ke habitat alaminya yang terletak di daerah Jambi Dalam pelaksanaannya, orangutan di rehabilitasi dengan prosedur

36 berikut. Ketika tiba di lokasi pelepasan, satwa dimasukkan ke dalam kandang karantina dan dilakukan perawatan kesehatan. Kemudian orangutan dilepas agar memperoleh kesempatan belajar mencari pakan secara mandiri, dan belajar bersosialisasi secara alami. Walaupun pada awalnya disediakan pakan di lokasi rehabilitasi namun bagi individu individu yang telah menunjukkan kemajuan, penyediaan pakan oleh manusia akan dikurangi secara bertahap (Primack et al., 1998) Pada saat ini program rehabilitasi menghadapi berbagai kendala. Termasuk di dalamnya resiko penularan penyakit (dari satwa yang dilepas ke populasi alami) dan karena manusia telah sering berinteraksi dengan satwa peliharaan, maka terdapat pula resiko penularan penyakit manusia melalui satwa peliharaan ke populasi alami. Selain itu, biaya rehabilitasi orangutan sangat tinggi dan bila prosedur yang disarankan para ahli akan diterapkan secara memadai pada tahun 1991, maka diperkirakan biaya rehabilitasi orangutan mencapai $ AS per satwa untuk upaya 6 bulan. Kendala yang paling berat adalah tingkat keberhasilan pelepasan tidak diketahui (Sugardjito dan Edi Hendras dalam Primack et al., 1998). Data yang ada dari Kalimantan menunjukkan bahwa satwa lepasan mengalami tingkat mortalitas yang tinggi setelah pelepasan, baik orangutan tersebut dari generasi pertama (satwa yang lahir di alam namun sempat dipelihara oleh manusia), maupun generasi kedua (satwa yang lahir di pusat pusat rehabilitasi). Tingkat mortalitas yang tinggi ini disebabkan oleh penularan penyakit (dari satwa yang dilepas ke populasi alami) dan karena manusia telah sering berinteraksi dengan satwa peliharaan, maka terdapat pula resiko penularan penyakit manusia melalui satwa peliharaan ke populasi alami (Carrey Yeager dalam Primack et al., 1998 ). Selain upaya rehabilitasi, upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten juga perlu dilaksanakan dalam rangka penyelamatan orangutan. G. Translokasi : Introduksi dan Reintroduksi Translokasi adalah pemindahan sekelompok atau seluruh populasi dari satu tempat ke tempat lain yang lebih pantas dan cocok. Translokasi merupakan teknik manajemen kehidupan l iar dan m enjadi sesuatu yang mungkin dan penting untuk melaksanakan konservasi populasi primata yang habitatnya sudah

37 rusak dan terbatas sebagai akibat dari aktivitas manusia (cf. Strum and Southwick, 1986 dalam Bennett et al., 1995 ).Translokasi dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu : (1) introduksi ke dalam areal areal di luar penyebaran historis dari spesiesnya, dan (2) introduksi kembali (reintroduksi) di dalam selang waktu penyebaran spesiesnya, baik sebagai introduksi introduksi kembali ke areal areal dimana spesies itu telah mati, atau translokasi translokasi untuk meningkatkan populasi yang jumlahnya menurun. Kegiatan translokasi harus mempertimbangkan tiga keadaan pokok : pertama, jika perkembangan penggunaan lahan akan menghancurkan habitat satwaliar dan translokasi dilihat sebagai suatu cara yang paling layak untuk mencegah penurunan populasi ataupun kehilangan spesies satwaliar yang berharga ; kedua, jika suatu populasi liar tidak mampu untuk hidup dengan baik dan pengelola ingin meningkatkan jumlahnya, dan ketiga, jika pengelola memutuskan untuk memecah suatu populasi dengan tujuan untuk mengurangi resiko kehilangan seluruh populasinya. Strum dan Southwick (1986) dalam Bennett et al., 1995 mengindentifikasi faktor faktor penting untuk menentukan keberhasilan translokasi yaitu : (1) komposisi dan struktur alami kawasan, (2) karakteristik tempat/lokasi pelepasan, dan (3) prosedur khusus meliputi dalam proses penangkapan, transportasi, pelepasan dan pemantauan/pengawasan. Dengan rekomendasi : (1) translokasi harus mencakup keseluruhan unit sosial yang lengkap, (2) translokasi dilakukan pada satwa yang populasinya semakin dan terus berkurang, dan (3) keberhasilan translokasi sebaiknya dievaluasi dengan menggunakan spesies primata yang populasinya masih banyak. Permasalahan yang sering dialami dalam pelaksanaan proses translokasi adalah mengindentifikasi tempat yang sesuai bagi satwa yang akan diintroduksi. Reintroduksi adalah merupakan rehabilitasi modern, karena metoda awal rehabilitasi yang dipakai selama ini lebih menambah resiko laten kepunahan daripada mendukung konservasi jenis. Tindakan reintroduksi ini tidak sekedar melepaskan kembali beberapa individu orangutan ke kondisi liar, tetapi juga menyiapkan orangutan yang disita agar menjadi jenis feral (liar), orangutan akan menghuni kawasan hutan habitat yang sesuai dimana orangutan liar tidak ada. Artinya, reintroduksi ini akan memanfaatkan jenis utama yang menarik untuk

38 meningkatkan konservasi kawasan hutan basah terpilih secara efektif ( Meijaard et al., 2001 ). Meijaard et al., 2001 mengungkapkan mengenai prinsip prinsip pelaksanaan reintroduksi, yaitu : 1. Orangutan harus diperiksa secara profesional dalam hal penyakit penyakit menular, diobati dan dikarantina sepenuhnya sebelum dipertimbangkan untuk direintroduksi. Orangutan berada dikarantina tidak lebih dari enam bulan untuk direhabilitasi, termasuk sosialisasi setelah karantina selesai. 2. Karantina dipisahkan dari reintroduksi (dan sosialisasi). 3. Reintroduksi orangutan bekas tangkapan dilakukan di kawasan dimana jenis orangutan liar lainnya tidak ada lagi ; yang meliputi periode sosialisasi dalam kondisi feral ; 4. Reintroduksi dilakukan di kawasan hutan yang telah diteliti dengan cermat kelestarian habitatnya. 5. Beberapa spesimen dipelihara bersama sebagai sebuah kelompok hingga 20 individu dan kemudian dilepaskan ke dalam kondisi liar ; 6. Seluruh kelompok dibiarkan di lokasi dimana kelompok ini direintroduksi, yaitu, lokasi reintroduksi itu sendiri dibiarkan dan karena banyak orangutan baru maka lokasi baru akan didirikan di lokasi lain ; 7. Kehadiran pengunjung tidak diijinkan pada tahap apa pun sebelum orangutan mampu mandiri sepenuhnya dan berhasil hidup di kawasan liar. 8. Staf penjaga untuk menyediakan dan memantau harus terbukti bebas dari penyakit menular dan melakukan tugasnya berdasarkan kerangka acuan tugas yang ketat dalam hal kontak dekat dengan orangutan dan perilakunya terhadap kelompok umur orangutan yang berbeda. 9. Proses reintroduksi dievaluasi secara teratur oleh suatu badan yang mandiri. G. Karantina Primata Setiap satwa primata yang hendak dipakai sebagai model satwa untuk tujuan penelitian harus melalui karantina terlebih dahulu. Setiap satwa yang akan dimasukkan ke dalam karantina dapat dibagi dalam dua tahap kegiatan, yaitu : persiapan ruangan, dan penerimaan satwa (Whitney et al., 1973 dan Sajuthi 1984 dalam Mangapul 1988).

39 1. Persiapan ruangan Semua kandang dan peralatan yang dapat dilepas dikeluarkan dari ruangan. Seluruh bagian ruangan (dinding dinding, langit langit, lantai), dan rak rak kandang dibersihkan dengan alat semprot bertekanan tinggi. Cairan yang digunakan merupakan kombinasi antara detergen dengan sanitizer Misalnya Synthetic phenolic desinfectans. Setelah itu ruangan tersebut disiram dengan air hangat. Kadang kadang dapat dibersihkan dengan pembersih yang bertekanan tinggi atau dengan pembersih uap. Setelah itu ruangan disemprot dengan memakai detergen phenolic desinfectans selama 10 menit atau lebih, yang tergantung pada ukuran ruangan. Setelah penyemprotan maka seluruh permukaan ruangan akan dilapisi oleh residu cairan tersebut. 2. Penerimaan primata Setelah primata tiba di lokasi karantina, dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan. Pertama tama dilakukan pembiusan terhadap primata dengan cara penyuntikan, kemudian dilakukan pemeriksaan, meliputi : jenis kelamin, umur satwa, berat badan, kondisi fisik untuk mengetahui apakah ada tulang yang patah, nutrisi dari primata, kebuntingan, luka luka, abnormalitas anggota tubuh dan ektoparasit, secara fisiologis dilakukan pemeriksaan terhadap bakteri dan parasit, dengan pengujian tinja dan darah. Untuk membunuh ektoparasit, satwa dapat dimandikan dengan larutan iodium atau dibedaki zat yang dapat membunuh parasit. Karantina bagi orangutan memiliki tujuan untuk melindungi orangutan dari masuknya berbagai jenis penyakit, untuk melindungi pengelola dari masuknya berbagi jenis penyakit (agents zoonotic), meminimalisasi penyebaran penyakit diantara satwa di dalam karantina, dan mengoptimalisasi kesehatan dan kondisi orangutan. Orangutan yang baru datang masuk ke karantina akan diberi perlakuan aklimatisasi yaitu perlakuan agar orangutan bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Selanjutnya dilakukan general check up atau pemeriksaan secara menyeluruh terhadap kondisi orangutan tersebut, yaitu dengan cara dibius, dan disaat orangutan tidak sadar dilakukan : a. dimandikan sampai bersih atau hanya di lap saja. b. penimbangan.

40 c. pengidentifikasian umur. d. pemeriksaan apakah terdapat cacat atau luka. e. pengambilan sample darah dan tinja. f. pemeriksaan kulit untuk melihat ektoparasit, apakah ada kutu atau tidak g. untuk individu betina diperiksa apakah sedang bunting, baru melahirkan atau sedang laktasi. Langkah selanjutnya dilakukan beberapa pemberian obat dan test terhadap penyakit, yaitu a. pemberian obat untuk membunuh cacing b. diberikan obat untuk menambah zat besi c. diberi antibiotik dalam takaran propilaksis d. dilakukan test tuberculosa Langkah berikutnya adalah pemberian identitas dengan membuat tato dibagian paha. Kemudian orangutan dimasukkan ke dalam kandang individu untuk dilakukan pemeriksaan harian yang rutin dengan tanpa ada kontak dengan individu lain untuk memastikan bahwa individu tersebut memang sudah bersih dari segala macam penyakit. Bagi individu yang belum terlampau lama dipelihara di rumah atau masih setengah liar, maka tindakan rehabilitasi untuk reintroduksi sebaiknya segera dilakukan, karena jika sudah terlalu tergantung dengan campur tangan manusia maka akan sangat sulit mengembalikannya ke hutan. Pada level ini terjadi kontrol biologi yang menyeluruh, dan lamanya pemeliharaan dalam karantina biasanya 90 hari. H. Pengangkutan Primata Salah satu sektor yang cukup penting dalam pengangkutan satwa primata adalah sistim pengangkutan dari karantina ke lokasi reintroduksi. Komponen komponen dalam pengangkutan primata yaitu : 1. Primata Primata sebagai makhluk hidup, dalam pengangkutannya membutuhkan perlakuan perlakuan khusus misalnya keadaan kandang, makanan dan minuman serta perawatan kesehatan selama perjalanan.

41 2. Sarana Pertimbangan dalam penggunaan suatu jenis sarana adalah ketersediaan sarana dan biaya. Sarana disini meliputi alat angkut, kandang untuk mengangkut dan peraturan peraturan yang menyangkut sistem pengangkutan satwa. Kandang untuk mengangkut satwa dapat dibuat dari kayu, besi/baja. Dalam membuat kandang, ada beberapa ketentuan yang harus dilengkapi dalam pembuatannya, yaitu kandang harus mempunyai ventilasi udara, yang dapat dibuat dari bahan kawat mesh dengan ukuran 1,25 cm. Ventilasi udara dimaksud agar udara yang masuk de dalam kandang dapat menjaga keseimbangan suhu dan kelembaban di dalam kandang, disamping dapat membantu satwa untuk melihat satu dengan yang lainnya, juga ventilasi ini dapat dipakai sebagai lubang untuk memasukkan minuman tambahan selama diperjalanan, selain ventilasi udara, juga dilengkapi dengan tempat makan dan minum (Farris, 1950 dalam Mangapul 1988). Kandang yang hendak dipakai untuk mengangkut primata, mempunyai beberapa kriteria (Anonimus, 1987 dalam Mangapul 1988) yaitu : a. Kandang bagian depan harus mempunyai ventilasi udara. Pintu masuk ke kandang dapat ditarik ke atas sehingga dapat melebihi tinggi kandang. Pintu harus cukup aman sehingga tidak mudah untuk dibongkar oleh satwa. Perlengkapan untuk makan dan minum harus selalu ditempatkan pada tempat yang cukup tinggi untuk mencegah primata bergantung pada perlengkapan tersebut. b. Tempat menampung kotoran primata harus tersedia. Alas kandang harus terbuat dari kawat mesh, sehingga kotoran atau urine yang jatuh dapat langsung ditampung pada tempat yang telah disediakan dibagian paling bawah kandang. Tempat penampungan kotoran sebaiknya mudah diambil dan dimasukkan kembali pada tempatnya semula. Pada tempat penampungan kotoran dan urine ini diberi bahan penyerap misalnya serbuk kayu gergajian yang disebarkan di atas tempat tersebut. c. Untuk memasukkan makanan dan minuman harus dibuat lubang yang khusus, misalnya pada bagian alas atas atau juga dapat melalui lubang yang khusus, sehingga satwa tidak akan terganggu atau lolos.

42 d. Bagian yang berventilasi ditutup dengan karung goni yang mudah dibuka bila akan memasukkan makanan, dan garung goni ini dapat ditembus oleh udara. 3. Perawatan selama pengangkutan Perawatan selama pengangkutan meliputi makanan, minuman, kebersihan kandang, perlindungan dari terik matahari, angin dan hujan. Perawatan ini dimulai dari awal pengangkutan sampai tujuan akhir pengangkutan. Setiap satwa yang akan diangkut dari suatu daerah ke daerah lain harus dilengkapi dengan surat surat dokumentasi tentang kesehatan satwa, disamping surat ijin pengangkut. Yang sangat perlu diperhatikan dalam proses pengangkutan primata adalah keselamatan pengangkutan, karena sering terjadi kematian pada satwa ketika sampai di tujuan akhir pengangkutan (Hutagalung, 1981 dalam Mangapul 1988).

43 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Stasiun Karantina Orangutan Sumatera 1. Kondisi Fisik 1.1 Letak dan Luas Stasiun Karantina Orangutan Sumatera terletak di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Alasan pemilihan lokasi ini dikarenakan daerah ini merupakan hutan alam asli yang dianggap paling baik bagi orangutan dan mudah dicapai dari arah kota Medan. Secara administratif pemerintahan Stasiun Karantina Orangutan Sumatera terletak di Desa Batumbelin Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Stasiun karantina ini berada dibawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA) I Sumatera Utara. Stasiun Karantina Orangutan Sumatera ini memiliki luas 2 ha. 1.2 Aksesibilitas dan Fasilitas Karantina Stasiun Karantina Orangutan Sumatera terletak ± 35 km dari kota Medan ke arah Brastagi dan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat dalam waktu ± 1 jam. Stasiun ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk mendukung proses karantina orangutan sebelum dilepaskan ke habitat aslinya. Fasilitas fasilitas tersebut antara lain : klinik orangutan, kandang isolasi, kandang sosialisasi, gudang penyimpanan buah, ruang generator, tempat pengolahan limbah, septic tank dan kantin. 1.3 Kondisi Iklim Berdasarkan penggolongan iklim Schmidt dan Ferguson, curah hujan di lokasi kawasan TWA Sibolangit termasuk ke dalam tipe iklim A. Curah hujan rata rata pertahun adalah mm/tahun dengan hari hujan rata rata 170 hari. Suhu udara maksimum pada siang hari berkisar 22 o C 25 o C dan suhu minimum pada malam hari berkisar antara berkisar 13 o C 14 o C (Anonymous, 2001).

44 1.4 Topografi Lapangan Stasiun Karantina Orangutan Sumatera yang berada di kawasan TWA Sibolangit terletak pada ketinggian 500 m dpl. Tanah di kawasan ini termasuk jenis andosol dan asosiasi andosol dengan podsolik merah kuning yang tertutup oleh humus tebal sehingga memudahkan air untuk meresap kedalamnya dan menyimpannya sampai titik jenuh daya serap yang kemudian dialirkan ke daerah yang lebih rendah secara gaya tarik bumi. Bahan induk ini berasal dari letusan gunung berapi berupa tuff intermedier. Ketebalan podsoil rata rata kawasan ini adalah 30 cm dengan kondisi topografi kawasan bervariasi dengan kemiringan lahan antara 5 % - 10 % dengan bentuk topografi datar, bergelombang sampai curam dan berbukit bukit. Kondisi topografi ini menyebabkan kawasan ini memiliki tingkat kestabilan tanah yang sangat rentan terhadap longsor. 2. Kondisi Biotik 2.1 Flora Tumbuhan yang tumbuh di kawasan ini merupakan flora campuran, sebagian merupakan jenis asli dan sebagian dari daerah lain sebagai hasil penanaman oleh Tn. Lorzing. Diperkirakan terdapat sekitar 400 jenis tumbuhan yang keberadaannya belum terindentifikasi seluruhnya, baik dari jenis asli maupun hasil penanaman Tn. J.A. Lorzing (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 2001) Tanaman yang bukan asli daerah ini misalnya Sonokembang (Dalbergia latifolia ), Angsana (Pterocarpus indicus) dan Kelenjar (Samanea saman Merr). Jenis tanaman asli dari catatan Tn. Lorzing (antara tahun ) meliputi Meranti (Shorea sp.), 30 spesies ficus, 20 jenis Kecing (Quercus sp.), Kenanga (Cananga odorata), Kulit manis (Cinnamomum burmanii), Manggis (Garcinia mangostana) dan Nangka (Arthocarpus sp.)(departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 2001). Disamping itu terdapat pula tumbuhan yang merambat seperti Philodendron sp. Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi. Di kawasan ini juga ditemui adanya berbagai jenis tanaman obat obatan dan

45 tanaman hias yang potensial. Data terahir tahun 2000 menunjukkan ada terdapat ± 89 jenis famili dari 44 famili tanaman obat obatan dan 55 jenis dari 22 famili tanaman hias. Daya tarik flora yang menonjol di kawasan ini adalah bunga bangkai (Amorphophallus titanium Becc) yang merupakan famili Araceae. Bunga bangkai ini memiliki keindahan pertumbuhan dan memiliki ukuran yang tinggi dan besar. Bunga bangkai ini sering juga disebut dengan suweg raksasa. Bunga ini diamati tumbuh pertama kali pada tahun 1989 dengan ketinggian 150 cm, yang selanjutnya pada tahun 1995 dengan ketinggian 210 cm, dan pada akhir bulan Maret tahun 2003 tumbuh dengan ketinggian 176 cm. 2.2 Fauna Jenis Fauna yang sering terlihat di kawasan ini ialah Monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), Lutung (Trachypithecus cristata), Babi hutan (Sus sucrofa) dan Kalong (Pteropus vampyrus), sedangkan jenis burung diantaranya adalah Rangkong ( famili Bucerotidae ). Jenis jenis reptile yang hidup di kawasan ini diantaranya Ular piton (Phyton reticulatus), Kadal (Mabuya multifasciatus), Biawak (Varanus salvator) dan Trenggiling (Manis javanica) B. Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera 1. Kondisi Fisik 1.1 Letak dan Luas Lokasi Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera (Gambar 3), terletak di zona penyangga (buffer zone) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) yang merupakan bekas bagian areal konsesi PT. Dalek Hutani Esa (Eks HPH) Propinsi Jambi. Saat ini, ada rencana perluasan kawasan Taman Nasional sehingga nantinya kawasan ini akan tercakup di dalam kawasan Taman Nasional. Secara administratif, Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera ini terletak di dusun Semerantihan, desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Muara Tebo Propinsi Jambi. Luas areal Stasiun Reintroduksi orangutan ini adalah 2 ha dan berada di bawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.

46 Gambar 3. Peta lokasi reintroduksi orangutan sumatera di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Frankfurt Zoological Society, 2002).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Orangutan Orangutan termasuk ke dalam Ordo Primata dan merupakan salah satu jenis dari anggota keluarga kera besar (Pongidae) yang berada di benua Asia yang masih hidup

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orangutan dan Klasifikasi Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Dalam pemberian nama ini para ahli anthropologi fisik mengalami kesulitan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di benua Asia dan satu-satunya kera besar yang rambutnya berwarna coklat kemerahan.

Lebih terperinci

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA Jito Sugardjito Fauna & Flora International-IP Empat species Great Apes di dunia 1. Gorilla 2. Chimpanzee 3. Bonobo 4. Orangutan Species no.1 sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Keluarga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Orangutan Sumatera Indonesia memiliki dua jenis orangutan, salah satunya adalah orangutan sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi Nama orangutan merujuk pada kata orang (manusia) dan hutan yang berarti manusia hutan (Galdikas 1978). Sebelum genus Pongo digunakan,

Lebih terperinci

Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Desember 2012 ISSN 0853 4217 Vol. 17 (3): 186 191 Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Area Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC CURRICULUM VITAE WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC 1 Jabatan Peneliti Peneliti Madya 2 Kepakaran Konservasi Sumberdaya Hutan 3 E-mail wkuswan@yahoo.com 4 Riwayat Pendidikan S1 : Jurusan Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Kampus USU Medan 20155

Kampus USU Medan 20155 Analisis Karakteristik Pohon dan Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Analysis of the Trees and Nest Characteristics of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Bukit

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup

BAB I PENDAHULUAN. daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa juta tahun yang lalu, jauh sebelum keberadaan manusia di daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup nenek moyang kera besar

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Orangutan Sumatera Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu orang hutan. Orangutan Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan satu-satunya kera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman

TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman TINJAUAN PUSTAKA A. Cagar Alam Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Satwa Liar Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Bio-ekologi Orangutan. Klasifikasi dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Bio-ekologi Orangutan. Klasifikasi dan Morfologi II. TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Orangutan Klasifikasi dan Morfologi Orangutan adalah kera besar yang merupakan salah satu anggota suku Pongidae yang hanya terdapat di Asia, tepatnya di Sumatera dan Kalimantan.

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris;

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA)

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA) SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA

Lebih terperinci

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera Orangutan Tapanuli Pongo tapanuliensis Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Baru-baru ini Orangutan Tapanuli dinyatakan sebagai spesies

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi 2.1.1 Taksonomi Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus : Animalia :

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Feeding Behavior And The Food Types Of Orangutans

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menyumbangkan ekosistem alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan konservasi yang dilaksanakan

Lebih terperinci

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG UPAYA PELESTARIAN MENTILIN (TARSIUS BANCANUS) SEBAGAI SALAH SATU SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh HENDRI UTAMA.SH NIP. 19800330 199903 1 003 POLISI

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan kaya akan Sumber Daya Alam. dilansir dari situs WWF Indonesia, Wilayah

Lebih terperinci