Isa Ansori. DLB STAIN Jurai Siwo Metro Abstract

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Isa Ansori. DLB STAIN Jurai Siwo Metro Abstract"

Transkripsi

1 SEWA GUNA USAHA (LEASING) SYARI AH MENURUT PERATURAN KETUA BAPEPAM-LK NOMOR: PER- 04/BL/2007 DAN PER- 03/BL/2007 DAN PROBLEM YURIDIS YANG MELINGKUPINYA Isa Ansori DLB STAIN Jurai Siwo Metro Abstract Dalam bisnis di mana sebuah perusahaan dengan keuangan terbatas tetap membutuhkan barang modal seperti mesin, bangunan, kendaraan transportasi dan sebagainya yang membutuhkan banyak uang untuk membelinya, dalam hal ini sewa sangat berguna. Perusahaan yang disebut Penyewa guna usaha bisa menyewa barang ke penyedia barang modal yang disebut lessor dengan perjanjian untuk membayar sewa secara angsuran. Setelah sewa berakhir, Penyewa guna usaha memiliki alternatif memilih untuk membeli barang atau tidak. Peraturan model pembiayaan sewa guna usaha syariah telah dibuat oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan (Bapepam - LK). Aturan ini sangat baik untuk pembiayaan sewa guna usaha syariah dengan menggunakan ijarah dan ijarah kontrak Muntahiah Bit Tamlik, meskipun ada masalah hukum di dalamnya, seperti kejanggalan dalam peraturan yang berlaku. Kata Kunci: Sewa Guna Usaha, Leasing, Ijarah, Ijarah Muntahiah Bit Tamlik

2 Abstract In a business where a company with limited financial needs capital goods such as machinery, buildings, transportation vehicles and so on, which needs a lot of money to buy them. For this case, leasing is very useful. The company called the leasee can hire the goods to the provider of capital goods which is called as the lessor with an agreement to pay the rent for installments. After the lease expires, leasee has an option to choose to buy better goods or not. Regulation of Islamic lease financing model has been made by the Chairman of the Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) (Capital Market Supervisory Agency and Financial Institution). This rule is very good for Islamic lease financing by using Ijârah and Ijârah Muntahiah Bit Tamlikcontract, although there are legal problems in it, such as disharmony with regulation upper. Key Words: Leasing, Leasing, Ijara, Ijara Muntahiah Bit Tamlik Pendahuluan Dalam bisnis modern yang memerlukan barang-barang modal dalam jumlah besar, tantangan utama yang dihadapi suatu perusahaan adalah keterbatasan biaya untuk mengadakan atau membeli barang-barang modal untuk keperluan usaha. Untuk mengatasi kesulitan ini, pembiayaan dengan model Sewa Guna Usaha (leasing) adalah pilihan tepat. Sewa Guna Usaha atau leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan leasing (lessor) dengan menyediakan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan lain yang membutuhkan barang-barang modal tersebut dalam menjalankan usahanya (leasee) untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaranpembayaran secara berkala disertai dengan alternatif hak pilih pasca berakhirnya perjanjian bagi perusahaan penyewa untuk membeli barang-barang modal yang disewa atau tidak, atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa

3 uang yang telah disepakati bersama. Dengan melakukan leasing perusahaan penyewa dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli, dapat langsung digunakan berproduksi, dan dapat diangsur pembayaran sewanya berdasar kesepakatan, setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor. Melalui pembiayaan leasing perusahaan leasee dapat memperoleh barang-barang modal untuk operasional perusahaan dengan mudah dan cepat. Hal ini sungguh berbeda jika perusahaan itu mengajukan kredit kepada bank yang memerlukan persyaratan serta jaminan besar. Bagi perusahaan yang modalnya terbatas, dengan melakukan perjanjian leasing dapat membantu perusahaan menjalankan kegiatan usahanya. Setelah jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian leasing selesai, perusahaan dapat memutuskan sesuai kesepkatan untuk membeli atau tidak membeli barang modal yang disewa. Bagi perusahaan yang secara mendadak memerlukan barang modal tertentu dalam proses produksi misalnya, tetapi tidak mempunyai dana tunai cukup, mengadakan perjanjian leasing adalah solusi tepat, dengan melakukan perjanjian leasing akan lebih menghemat biaya dibanding dengan membeli secara tunai. Sewa Guna Usaha (leasing) ini dapat dilakukan berdasarkan ketentuan syariah. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah mengeluarkan dua peraturan penting untuk hal ini, yaitu Keputusan Ketua Bapepam- LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Namun sayangnya, dari segi positivisasi hukum, kekuatan Keputusan dan Peraturan Ketua Bapepam-LK ini kurang mendapatkan pijakan yang kuat sebagai dasar hukum tertulis. Bagaimanakah kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) syariah menurut kedua peraturan itu dilaksanakan, adakah kelemahannya, serta apakah kedua peraturan itu menjadi dasar hukum kuat untuk operasional leasing syariah adalah pertanyaanpertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini, dengan harapan dapat memberikan masukan bagi pelaku bisnis bagaimana

4 mengoperasionalkan leasing secara syariah dan memberikan masukan bagi pejabat berwenang pembuat regulasi seperti ketua Bapepam-LK yang saat ini kewenangannya berdasar UU No. 21 tahun 2011 telah beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang bagaimana menyempurnakan regulasi leasing syariah yang ada. Pembahasan A. Pengertian Sewa Guna Usaha (Leasing) Sewa Guna Usaha adalah istilah yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris leasing, berasal dari kata dasar lease, artinya sewa menyewa. Dalam dunia bisnis leasing berkembang sebagai bentuk khusus sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk pembiayaan perusahaan berupa penyediaan barang modal yang digunakan untuk menjalankan usaha dengan membayar sewa selama jangka waktu tertentu. 1 Pasal 1 angka (5) Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan menyebutkan bahwa Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi 2 (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lease) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 3 Dalam pembiayaan Sewa Guna Usaha (leasing) ada tiga pihak yang terlibat, yaitu: 4 1. Pihak Lessor. Yaitu Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) yang memiliki hak kepemilikan atas barang modal. Perusahaan ini menyediakan pembiayaan dengan cara Sewa Guna Usaha kepada pihak yang membutuhkan dan bersifat multifinance ialah khusus bergerak dalam 1 Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h Hak perusahaan penyewa memilih untuk memiliki barang modal dengan cara membeli dari perusahaan yang menyewakan barang modal itu. 3 Pasal 1 angka (5) Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan 4 Abdul Ghofur Anshori, h

5 bidang Sewa Guna Usaha. Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya perusahaan ini berhubungan langsung dengan pihak penjual (supplier) dan telah melunasi harga atas beban biaya perusahaannya. Tujuan perusahaan ini adalah mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dan memperoleh keuntungan (financial lease), atau memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian jasa pemeliharaan serta pengoperasian modal (operating lease). 2. Pihak Lessee. Yaitu perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada akhir kontrak Sewa Guna Usaha. Lessee mengembalikan barang modal kepada Lessor (operating lease), kecuali jika ada hak opsi untuk membeli dengan berdasarkan nilai sisa (financial lease). 3. Pihak Supplier. Yaitu penjual barang modal yang menjadi obyek Sewa Guna Usaha. Harga barang modal itu dibayar tunai oleh Lessor kepada Supplier untuk kepentingan Lessee. Supplier dapat berstatus Perusahaan Produsen Barang Modal atau pihak penjual biasa. Ada juga Sewa Guna Usaha yang tidak melibatkan Supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak Lessor dan Lesse, misalnya dalam bentuk sale and lease back. Pada financial lease, pihak Supplier langsung menyerahkan barang modal kepada Lessee tanpa melalui Lessor sebagai pihak yang menyediakan pembiayaan. Sebaliknya pada Operating lease, Pihak Supplier menjual barang modal langsung kepada Lessor dengan pembayaran yang telah disepakati, secara tunai atau berkala. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga jenis leasing, yaitu, pertama, Operating Leasing; merupakan leasing dimana di akhir masa leasing tidak diberikan hak pilih (opsi) bagi Lessee untuk membeli barang leasing tersebut. Kedua, Financial Leasing; merupakan leasing dimana di akhir masa leasing diberikan hak pilih (opsi) bagi Lessee untuk memiliki barang modal tersebut dengan jalan membelinya dengan harga yang ditetapkan bersama. Dan ketiga, Sale and Lease Back; merupakan jenis leasing

6 dimana barang modal berasal dari Lessee sendiri. Kemudian barang tersebut dijual kepada Lessor (pemberi dana) dan selanjutnya Lessor menyewakan barang tersebut kepada Lessee kembali, yang biasanya digunakan jenis financial leasing. 5 Sementara itu, situs smecda.com milik Kementerian Koperasi dan UKM dalam salah satu artikel singkatnya membagi leasing ke dalam dua kategori, yaitu: 6 1. Finance Lease (Full-pay Out Leasing), yaitu suatu bentuk pembiayaan dengan cara kontrak antara Lessor dengan Lessee dengan memberikan hak opsi kepada Lessee pada akhir periode lease. Selanjutnya, Finance Lease ini terbagi dalam berbagai bentuk transaksi, sebagai berikut: a. Direct Financial Lease/True Lease, yaitu transaksi dimana Lessor membeli suatu barang atas permintaan pihak Lessee dan sekaligus menyewa guna-usahakan barang tersebut kepada Lessee yang bersangkutan. b. Sale and Lease Back, yaitu transaksi dimana pihak Lessee sengaja menjual barang modalnya kepada Lessor untuk kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut dengan tujuan untuk memperoleh tambahan dana untuk modal kerja. Jadi transaksi ini bersifat refinancing. c. Leveraged Lease, adalah transaksi dimana pihak yang memberikan pembiayaan disamping Lessor juga pihak ketiga. Biasanya dilakukan terhadap barang modal yang bernilai sangat tinggi, dimana pihak Lessor hanya mampu membiayai antara 20% sampai 40% harga barang modal. Selebihnya dibiayai pihak ketiga dengan memakai kontrak leasing bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini disebut juga credit provider atau debt participant. d. Syndicated, adalah transaksi leasing yang dilakukan lebih 5 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h Sewa Guna Usaha (Leasing) Dep_Pembiayaan/Informasi/07_10_Sewa_Guna_Usaha.pdf (1 Maret 2014)

7 dari satu Lessor atas suatu objek leasing. e. Cross Border Lease, adalah transaksi leasing yang dilakukan di luar batas negara, yaitu negara Lessor berbeda dengan negara Lessee. f. Vendor Program, adalah suatu metode penjualan yang dilakukan oleh produsen atau dealer, dimana perusahaan leasing memberikan atau menyediakan fasilitas leasing kepada pembeli barang. 2. Operating Lease, adalah suatu bentuk pembiayaan dengan cara kontrak antara Lessor dengan Lessee tanpa pemberian hak opsi kepada Lesse pada akhir periode lease, jumlah seluruh pembayaran berkala tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh tersebut berikut dengan bunga/bagi hasilnya. Perbedaan dasar antara Finance Lease (Full-pay Out Leasing) dengan Operating Lease, dapat dilihat pada tabel berikut: 7 No Finance Lease Operating Lease 1. Perjanjian tidak dapat Dapat dibatalkan setiap saat dibatalkan, jika dibatalkan dikenakan denda 2. Masa sewa selama umur ekonomis diberikan hak opsi beli Masa sewa relatif singkat 3. Menggunakan transaksi Tidak ada transaksi keuangan (renral) keuangan 4. Tidak kena pajak Angsuran leasing kena PPN dan PPh Ps Bersifat full pay out Tidak bersifat full pay out 6. Tiak dikenakan biaya lease Transaksi biaya sewa menyewa 7. Lessor dapat menyusutkan Lessor tidak dapat barang modal menyusutkan barang modal. Tabel 9: Perbedaan Antara Finance Lease dengan Operating Lease Dalam menjalankan kegiatan usahanya Perusahaan 7 Ibid.

8 Leasing dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, ialah: 1. Independent Leasing Company, yaitu jenis pembiayaan leasing dimana Lessor bebas menentukan pembelian barang dari berbagai Supplier yang kemudian dilease kepada pemakai. 2. Captive Lessor, yaitu jenis pembiayaan dimana Lessor memiliki Supplier tersendiri yang berperan sebagai perusahaan induk. Pihak pertama terdiri dari perusahaan induk dan anak perusahaan dan pihak keduanya Lessee sebagai pemakai barang. 3. Lessee Broker atau Packager, yaitu jenis pembiayaan leasing dimana Broker yang biasanya tidak memiliki barang/ peralatan hanya berfungsi mempertemukan calon Lessee dengan Lessor. Dan dalam operasional kegiatannya, leasing mempunyai 4 tahap, yaitu: 1. Perjanjian antara pihak Lessor dan pihak Lessee. 2. Berdasarkan perjanjian Sewa Guna Usaha, Lessor mengalihkan hak penggunaan barang kepada pihak Lessee. 3. Lessee membayar kepada Lessor uang sewa atas penggunaan barang (aset). 4. Lessee mengembalikan barang tersebut pada Lessor pada akhir periode yang ditetapkan lebih dahulu dan jangka waktunya kurang dari umur ekonomi barang tersebut. B. Dasar Hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) Secara umum dasar hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Regulasi pada level bawah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Perpres No. 9 tahun 2009 ini masih mengacu kepada regulasiregulasi tentang lembaga pembiayaan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Dasar hukum dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Menkeu No. 84/PMK. 012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan

9 2. Peraturan Menkeu No. 166/PMK.010/2008 tentang Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan 3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), menggantikan KMK No. 48/KMK/013/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha 4. Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing) 5. Peraturan Menteri Keuangan No. 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank (dalam PMK ini termasuk juga Lembaga Pembiayaan). 6. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2008 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan 7. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah 8. Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah 9. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. 1500/LK/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyampaian Pelaporan Perusahaan Pembiyaan 10. Lampiran I-B1 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-2833/LK/2003 untuk Perusahaan Pembiayaan. Secara khusus regulasi terkait Sewa Guna Usaha Syariah cukup baik dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Bapepam- LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Namun, jika dilihat dari aspek hukum positif nampak terdapat problem yuridis di dalamnya. Produk regulasi

10 ini hanya dikeluarkan oleh pejabat selevel ketua Bapapam-LK dan pengaturan prinsip syariah di dalamnya dan tidak hierarkis/ harmonis 8 dengan peraturan perundangan di atasnya yang dijelaskan, sebab dalam peraturan yang dibuat oleh pejabat di atasnya tidak disebutkan pengaturan terkait prinsip syariah. Regulasi ini sebenarnya hasil inisiatif dari ketua Bapepam sendiri, karena peraturan yang lebih tinggi yang dijelaskan dalam regulasi ini, sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 106 Tahun 2007); 2. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara R.I Tahun 1988 No. 53, diganti dan disempurnakan oleh Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan) 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Peraturan-peraturan itu tidak menyebut secara eksplisit 8 Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundangundangan adalah sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan halhal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Lihat: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, (8 Maret 2014)

11 dibolehkannya model pembiayaan dengan konsep syariah beroperasi. Terobosan Ketua Bapepam dalam hal ini patut diapresiasi, meski jika dilihat dari sudut pandang Hukum Tata Negara, konten regulasi yang dikeluarkan oleh pejabat yang diberi kewenangan mengatur oleh undang-undang, tidak boleh menyimpang dari peraturan hukum di atasnya yang di jelaskan. C. Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) Syariah Menurut Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: Per- 04/Bl/2007 Dan Per- 03/Bl/2007 Kegiatan leasing dapat dilakukan dengan berbasis syariah, meskipun Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang menjadi dasar hukum utama leasing tidak mengatur leasing berdasar prinsip syariah. Namun demikian, ketua Bapepam- LK dengan kewenangan yang dimilikinya telah mengeluarkan regulasi yang mengatur leasing dengan dasar syariah, yaitu Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua peraturan ini bersumber dari fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) khususnya fatwa terkait ijarah, seperti Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik. Langkah yang diambil ketua Bapepam merupakan model penyerapan hukum ekonomi syariah yang tepat di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia melalui DSN-MUI telah meletakkan dasar-dasar akad ijarah (sewa menyewa) yang merupakan akad dasar Sewa Guna Usaha. DSN-MUI juga merespon adanya klausul Financial Leasing; dimana di akhir masa leasing diberikan hak pilih (opsi) bagi Lessee untuk memiliki barang modal tersebut dengan jalan membelinya dengan harga yang ditetapkan bersama, dengan mengeluarkan fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik.

12 Menurut Pasal 1 angka 9 Keputusan Ketua Bapepam- LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah. Disebutkan bahwa sumber pendanaan bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib diperoleh berdasarkan prinsip syariah, 9 seperti melalui: 10 (a) Pendanaan Mudhârabah Mutlaqah (unrestricted investmen); 11 (b) Pendanaan Mudhârabah Muqayyadah (restricted investment); 12 (c) Pendanaan Mudhârabah Musytarakah; 13 (d) Pendanaan Musyârakah (Equity participation); 14 dan (e) Pendanaan lainnya yang sesui dengan prinsip syariah. Sewa Guna Usaha dalam kegiatan pembiayaannya 9 Pasal 2 ayat (1) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/ BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah 10 Ibid. Pasal 2 ayat (2) 11 Pendanaan Mudhârabah Mutlaqah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (şâhibul mâl), dimana şâhibul mâl tersebut membiayai 100% (seratus perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad 12 Pendanaan Mudhârabah Muqayyadah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (şâhibul mâl), di mana şâhibul mâl tersebut membiayai 100% (seratus perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang telah ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad 13 Pendanaan Mudhârabah Musytarakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (şâhibul mâl), dimana şâhibul mâl dan Perusahaan Pembiayaan selaku pengelola (Mudhârib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad 14 Pendanaan Musyârakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain untuk usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad

13 menggunakan akad berdasar Ijârah, atau Ijârah Muntahiyah Bitamlik. 15 Disebutkan bahwa akad Ijârah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu ajjir) dengan penyewa (musta jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. 16 Sedangkan Ijârah Muntahiyah Bitamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu ajjir) dengan penyewa (musta jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa. 17 Berikut adalah proses kegiatan Sewa Guna Usaha dengan Akad Ijârah dan kegiatan Sewa Guna Usaha dengan Akad Ijârah Muntahiyah Bitamlik. 1. Sewa Guna Usaha (Leasing) dengan Akad Ijârah Dalam akad Ijârah, Perusahaan Pembiayaan leasing berlaku sebagai pemberi sewa dan mempunyai hak antara lain meliputi: (a) memperoleh pembayaran sewa dan atau biaya lainnya dari penyewa (musta jir); dan (b) mengakhiri akad Ijârah dan menarik obyek Ijârah apabila penyewa (musta jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan. 18 Adapun kewajiban Perusahaan Pembiayaan leasing sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain meliputi: (a) menyediakan obyek 15 Pasal 6a Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. 16 Pasal 8 ayat (1) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/ BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah 17 Pasal 8 ayat (2) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/ BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah 18 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

14 Ijârah yang disewakan; (b) menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijârah; dan (c) menjamin obyek Ijârah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. 19 Sedangkan penyewa (musta jir) mempunyai hak antara lain meliputi: (a) menerima obyek Ijârah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan (b) menggunakan obyek Ijârah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan. 20 Dan kewajiban penyewa (musta jir) antara lain meliputi: (a) membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; (b) mengembalikan obyek Ijârah apabila tidak mampu membayar sewa; (c) menjaga menggunakan obyek Ijârah sesuai yang diperjanjikan; dan (d) tidak menyewakan kembali dan atau memindahtangankan obyek Ijârah kepada pihak lain. 21 Obyek Ijârah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan antara lain: 22 a. obyek Ijârah merupakan milik dan atau dalam penguasaan Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); b. manfaat obyek Ijârah harus dapat dinilai; c. manfaat obyek Ijârah harus dapat diserahkan Penyewa (musta jir); d. pemanfaatan obyek Ijârah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan); e. manfaat obyek Ijârah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan f. spesifikasi obyek Ijârah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. Obyek Ijârah dimaksud antara lain berupa: (a). alat-alat berat (Heavy Equipment); (b). alat-alat kantor (Office Equipment); (c). alat-alat foto (Photo Equipment); (d). alat-alat medis (Medical Equipment); (e). alat-alat printer (Printing Equipment); (f.) mesin-mesin (Machineries); (g). alat-alat pengangkutan 19 Ibid. Pasal 2 ayat (2) 20 Ibid. Pasal 3 ayat (1) 21 Ibid. Pasal 3 ayat (2) 22 Ibid. Pasal 4

15 (Vehicle); (h). gedung (Building); (i). komputer; dan (j). peralatan telekomunikasi atau satelit. 23 Persyaratan penetapan harga sewa (ujrah) atas obyek Ijârah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 24 a. besarnya harga sewa (ujrah) atas obyek Ijârah dan cara pembayaran ditetapkan menurut kesepakatan yang dibuat dalam akad secara tertulis; dan b. alat pembayaran harga sewa (ujrah) obyek Ijârah adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam surat perjanjian Ijârah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 25 a. identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta jir); b. spesifikasi obyek Ijârah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan/penempatan obyek Ijârah; c. spesifikasi manfaat obyek Ijârah; d. harga perolehan, nilai pembiayaan, dan pembayaran sewa Ijârah; e. jangka waktu sewa; f. saat penyerahan obyek Ijârah; g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijârah; j. ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijârah oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan k. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 2. Ijârah Muntahiah Bit Tamlik 23 Ibid. Pasal 5 24 Ibid. 25 Ibid. Pasal 7

16 t Isa Ansori Dalam pelaksanaan Ijârah Muntahiah Bit Tamlik, Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat wa ad, yaitu janji pemindahan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik pada akhir masa sewa. 26 Wa ad sebagaimana dimaksud bersifat tidak mengikat bagi penyewa (musta jir) dan apabila wa ad dilaksanakan, maka pada akhir masa sewa wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan. 27 Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain adalah: (a). memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta jir); (b). Menarik obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik apabila penyewa (musta jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan; dan (c). Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa (musta jir) sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari calon penggantinya. 28 Adapun Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (Muajjir) antara lain adalah: (a). Menyediakan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan; (b). Menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik kecuali diperjanjikan lain; dan (c). Menjamin obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. 29 Hak penyewa (musta jir) antara lain adalah: (a). menggunakan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan; (b). menerima obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; (c). pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa; dan (d). membayar sewa sesuai 26 Ibid. Pasal 9 ayat 1 27 Ibid. Pasal 9 ayat 2 28 Ibid. Pasal 10 ayat 1 29 Ibid. Pasal 10 ayat 2 ADZKIYA MEI 2014

17 Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari ah... u dengan yang diperjanjikan. 30 Adapun kewajiban penyewa (musta jir) antara lain adalah: (a). membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; (b). menjaga dan menggunakan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik sesuai yang diperjanjikan; (c). tidak menyewakan kembali obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik kepada pihak lain; dan (d). melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik. 31 Obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: 32 a. obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); b. manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang; c. manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta jir); d. manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam; e. manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan f. spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya. Obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik sebagaimana dimaksud antara lain: (a). alat-alat berat (Heavy Equipment); (b). alat-alat kantor (Office Equipment); (c). alat-alat foto (Photo Equipment); (d). alat-alat medis (Medical Equipment); (e). alatalat printer (Printing Equipment); (f). mesin-mesin (Machineries); (g). alat-alat pengangkutan (Vehicle); (h). gedung (Building); (i). komputer; dan (j). peralatan telekomunikasi atau satelit. 33 Harga sewa (ujrah) dan cara pembayaran atas obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan berdasarkan kesepakatan di awal akad. 34 Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan setelah berakhirnya masa sewa, 35 dan dibuat secara tertulis 30 Ibid. Pasal 11 ayat 1 31 Ibid. Pasal 11 ayat 2 32 Ibid. Pasal Ibid. Pasal Ibid. Pasal 14 ayat 1 35 Ibid. Pasal 14 ayat 2 Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari ah, Vol. 02 Nomor 1

18 22 Isa Ansori dalam perjanjian pemindahan kepemilikan. 36 Alat pembayaran atas harga sebagaimana dimaksud adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama dan tidak dilarang secara syariah. 37 Perjanjian dalam Ijârah Muntahiah Bit Tamlik paling kurang memuat hal- hal sebagai berikut: 38 a. identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta jir); b. spesifikasi obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan obyek sewa; c. spesifikasi manfaat obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik; d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran harga sewa (ujrah), ketentuan jaminan dan asuransi atas obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik; e. jangka waktu sewa; f. saat penyerahan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik; g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik; j. ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijârah Muntahiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan k. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Demikian mekanisme kegiatan Sewa Guna Usaha Syariah menurut Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam- 36 Ibid. Pasal 14 ayat 3 37 Ibid. Pasal 14 ayat 4 38 Ibid. Pasal 14 ayat 5 ADZKIYA MEI 2014

19 Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari ah LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini cukup baik bagi landasan leasing syariah di Indonesia. Namun demikian, masih juga terdapat kekurangan dari kedua peraturan ini, yaitu tidak adanya penjelasan rinci terkait mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Telah menjadi kelaziman bahwa seluruh operasional kegiatan usaha lembaga keuangan/pembiayaan ekonomi syariah termasuk Sewa Guna Usaha Syariah, perlu pengawasan untuk menjamin agar pelaksanaannya benar-benar sesuai dengan prinsip syariah, ini dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Pasal 10 Peraturan Ketua Bapepam-LK No. PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah hanya menyebut kewajiban perusahaan pembiayaan untuk memiliki DPS minimal 2 orang, yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, dengan tugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan dengan DSN-MUI. Namun, mekanisme lebih lanjut terkait teknik pengawasanya tidak dijelaskan, baik oleh peraturan itu sendiri atau oleh peraturan penjelas lainnya. Mestinya, Ketua Bapepam-LK memberikan penjelasan secara rinci tentang mekanisme pengawasan ini, bisa tercantum langsung dalam peraturan itu atau dengan cara membuatkan peraturan khusus yang menjelaskan mekanisme pengawasan DPS untuk semua kegiatan ekonomi syariah di Indonesia. D. Problem Yuridis Peraturan Ketua Bapepam dalam Sistem Hukum di Indonesia Pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari ah, Vol. 02 Nomor 1

20 24 Isa Ansori Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 tersebut, setiap peraturan perundang-undangan dan regulasi yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat di atasnya, ini yang disebut dengan istilah peraturan perundangundangan yang hirarkis dan harmonis. Pada kenyataannya, Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah ini, tidak hirarkis dan harmonis dengan peraturan di atasnya. Sebab, peraturan perundangan yang saat ini berlaku dan menjadi dasar utama operasional sewa guna usaha syariah adalah Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, namun sayangnya, Perpres ini tidak mengatur usaha leasing berdasar prinsip syariah. Idealnya, Perpres No. 9 tahun 2009 ini menjelaskan pula operasional Sewa Guna Usaha Syariah, lalu ditindaklanjuti dan diperjelas dengan peraturan atau keputusan kementerian terkait seperti Menteri Keuangan yang berada di bawahnya. Kenyataannya, regulasi level menteri sebagai penjelas dari Perpres ini juga belum ada. Peraturan level Menteri yang mengatur leasing dan yang masih berlaku hingga saat ini adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) (menggantikan KMK No. 48/KMK/013/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha). Sayangnya, keputusan Menteri ini bukan penjelas dari Perpres No. 9 Tahun 2009, karena dilihat dari tahun terbit, ia telah lebih dahulu muncul ketimbang Perpres No. 9 tahun Keputusan Menteri itu adalah penjelas dari Kepres No. 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, peraturan yang ADZKIYA MEI 2014

21 Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari ah telah keluar sebelumnya, yang juga tidak mengakomodir prinsip syariah di dalamnya. Akibat dari ketiadaan peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Sewa Guna Usaha dengan Prinsip Syariah, akhirnya ketua Bapepam sebagai lembaga yang berada di bawah Kementerian Keuangan yang seharusnya dalam membuat peraturan mengacu kepada peraturan yang dibuat oleh kementerian yang menaunginya, telah membuat peraturan sendiri yang tidak harmonis dengan peraturan di atasnya yaitu yaitu Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Meski demikian, terobosan Ketua Bapepam dalam hal ini patut diapresiasi, dibuat dalam rangka memberikan payung hukum dan kepastian hukum tertulis yang memang diperlukan terutama terakait urusan bisnis yang melibatkan banyak pihak dan modal besar. Perlu diketahui, saat ini fungsi dan wewenang Bapepam-LK telah diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Bab XIII Ketentuan Peralihan Pasal 55 ayat 1 menyebutkan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Meskipun, patut juga disayangkan bahwa undang-undang ini masih juga tidak dengan secara tegas memberi kewenangan kepada OJK untuk mengatur Jasa Keuangan berprinsip syariah. Meski demikian, OJK dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki dan merupakan mandat langsung dari Undangundang, dapat juga mengatur jasa keuangan syariah, yang syah secara hukum. Diharapkan OJK segera menetapkan bahwa Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari ah, Vol. 02 Nomor 1

22 26 Isa Ansori tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang menjadi dasar operasional Sewa Guna Usaha adalah sah dan tetap beralaku. Simpulan Bisnis Sewa Guna Usaha (Leasing) dapat dijalankan secara syariah, dan untuk keperluan ini Ketua Bapepam-LK telah mengeluarkan peraturan yang cukup baik untuk dijadikan acuan bagi pengelola perusahaan leasing dan perusahaan leasee untuk mengadakan akad perjanjian leasing berdasarkan syariat Islam, meskipun bila dilihat dari sudut pandang hukum positif, peraturan Ketua Bapepam-LK yang mengatur pembiayaan leasing syariah ini yaitu Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/ BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah tidak harmonis dengan peraturan diatasnya, dan kurang memberikan kejelasan teknis operasional pengawasan Dewan Pengawas Syariah tentang bagaimana seharusnya mereka melakukan tugas operasional pengawasan yang menjadi tanggungjawabnya. Regulasi Sewa Guna Usaha (leasing) Syariah yang dikeluarkan oleh ketua Bapepam-LK itu jauh lebih kuat kedudukannya dalam hukum positif bila dipayungi oleh Undang- Undang atau Keputusan/Peraturan Presiden dan dijelaskan lebih lanjut oleh keputusan atau peraturan Menteri terkait yang secara khusus mengatur hal ini, dalam upaya mewujudkan kepastian hukum bagi pelaku bisnis syariah di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah ADZKIYA MEI 2014

23 Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari ah Fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, g o.i d/ ke gi atan - umum/49-ke gi atan-di re k t orat - harmonisasi.html (8 Maret 2014) Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) Kepres No. 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor: PER- 04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Perpres No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Sewa Guna Usaha (Leasing) Dep_Pembiayaan/Informasi/07_10_Sewa_Guna_Usaha. pdf (1 Maret 2014) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007) Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari ah, Vol. 02 Nomor 1

24 28 Isa Ansori ADZKIYA MEI 2014

25 Sewa Guna Usaha (Leasing) Syari ah Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari ah, Vol. 02 Nomor 1

Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007 dan Per- 03/Bl/2007 Tentang Sewa Guna Usaha Syari ah

Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007 dan Per- 03/Bl/2007 Tentang Sewa Guna Usaha Syari ah Tafsir Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Peraturan Pemerintanh Nomor: Per- 04/Bl/2007 dan Per- 03/Bl/2007 Tentang Sewa Guna Usaha Syari ah M. Arif Kurniawan Dosen Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Bisnis

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 03 /BL/2007 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 04 /BL/2007 TENTANG AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN

Lebih terperinci

MAKALAH HUKUM PERIKATAN

MAKALAH HUKUM PERIKATAN MAKALAH HUKUM PERIKATAN LEASING DAN BEBERAPA HAL MENGENAINYA Disusun Oleh: Hafizh Furqonul Amrullah 8111412280 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013-2014 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Untuk

Lebih terperinci

Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, dengan jangka

Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, dengan jangka LEASING Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, dengan jangka waktu berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER PEMBELANJAAN

SUMBER-SUMBER PEMBELANJAAN SUMBER-SUMBER PEMBELANJAAN PERTEMUAN 11 MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN ANDRI HELMI M, S.E., M.M. JENIS-JENIS 1. Sumber dana jangka pendek 2. Sumber dana jangka menengah 3. Sumber dana jangka panjang Sumber

Lebih terperinci

137/PMK.03/2011 PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

137/PMK.03/2011 PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH 137/PMK.03/2011 PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH Contributed by Administrator Friday, 19 August 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tentang Lembaga Pembiayaan Pada tanggal 20 Desember 1988 (PakDes 20, 1988) memperkenalkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tentang Lembaga Pembiayaan Pada tanggal 20 Desember 1988 (PakDes 20, 1988) memperkenalkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tentang Lembaga Pembiayaan Pada tanggal 20 Desember 1988 (PakDes 20, 1988) memperkenalkan istilah lembaga pembiayaan yakni badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam

Lebih terperinci

http://www.hadiborneo.wordpress.com/ PENGERTIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN (CONSUMERS FINANCE) Lembaga pembiayaan konsumen (consumers finance) adalah suatu lembaga atau badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PEMBAHASAN PEMBIAYAAN. A. Analisis Akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Pada Produk. Pembiayaan Angsuran di BMT SM NU Cabang Kajen.

BAB IV ANALISIS HASIL PEMBAHASAN PEMBIAYAAN. A. Analisis Akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Pada Produk. Pembiayaan Angsuran di BMT SM NU Cabang Kajen. 1 BAB IV ANALISIS HASIL PEMBAHASAN PEMBIAYAAN A. Analisis Akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik Pada Produk Pembiayaan Angsuran di BMT SM NU Cabang Kajen. Pembiayaan Akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik mulai

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekunder, maupun tersier dalam kehidupan sehari-hari. Adakalanya masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. sekunder, maupun tersier dalam kehidupan sehari-hari. Adakalanya masyarakat tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier dalam kehidupan sehari-hari. Adakalanya masyarakat tidak memiliki

Lebih terperinci

BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN 75

BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN 75 A. PENGERTIAN Pengertian sewa guna usaha menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tanggal 21 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha: Sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN /PMK.010/201... TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN /PMK.010/201... TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR /PMK.010/201... TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.404, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Pasar Modal. Penerbitan Efek Syariah. Akad. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5822) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

PINJAMAN BERJANGKA DAN SEWA GUNA USAHA

PINJAMAN BERJANGKA DAN SEWA GUNA USAHA Modul ke: PINJAMAN BERJANGKA DAN SEWA GUNA USAHA Fakultas FEB Agus Herta Sumarto, S.P., M.Si Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN LEASING : FASB-13: (Financial Accounting Standard Board)

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENSIUN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENSIUN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENSIUN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEASING (SEWA-GUNA-USAHA) Pengertian

LEASING (SEWA-GUNA-USAHA) Pengertian LEASING (SEWA-GUNA-USAHA) Pengertian Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka

Lebih terperinci

BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1

BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1 BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1 5.1. Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha lembaga

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM PENSIUN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dewasa ini, perusahaan dituntut untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dewasa ini, perusahaan dituntut untuk selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia usaha dewasa ini, perusahaan dituntut untuk selalu bisa mengantisipasi situasi dan kemauan pasar. Menghadapi tuntutan pasar yang semakin kompleks

Lebih terperinci

Oleh : ALI SYUKRON. Abstrak

Oleh : ALI SYUKRON. Abstrak IMPLEMENTASI AL-IJĀRAH AL-MUNTAHIYA BI AL-TAMLIK (IMBT) DI PERBANKAN SYARIAH Oleh : ALI SYUKRON Abstrak Al-Ijārah al-muntahiya bit al-tamlik (IMBT) merupakan salah satu alternatif skim pembiayaan syariah

Lebih terperinci

REGULASI ENTITAS SYARIAH

REGULASI ENTITAS SYARIAH REGULASI ENTITAS SYARIAH KURNIAWAN STRUKTUR REGULASI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH HUKUM SYARIAH HUKUM POSITIF FATWA DSN UU ATAU ATURAN DARI LEMBAGA TERKAIT 2 1 LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PULPULAN DI DESA PALOH KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN. Paloh Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PULPULAN DI DESA PALOH KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN. Paloh Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PULPULAN DI DESA PALOH KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN A. Praktik Transaksi Pulpulan Antara Pemilik Kapal dan Nelayan di Desa Paloh Kecamatan Paciran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam kedaan siap dipakai atau dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN

PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM DAN NAMA PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH (PD. BPR SYARIAH) KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya mengakui bahwa kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang menjamin hak-hak pribadi dan komunal.

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya 1. Pembiayaan Konsumen Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional agar

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional agar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan adalah organisasi yang umumnya mempunyai kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan yang dibebankan kepadanya. Biasanya di samping mencari laba, tujuan

Lebih terperinci

MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 04 TAHUN 2012

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.363, 2014 OJK. Perusahaan Pembiyaan. Kelembagaan. Perizinan Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5637) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA

No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Deposito 1. Pengertian Deposito Secara umum, deposito diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut

Lebih terperinci

LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-./BL/. Tanggal : PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-./BL/. Tanggal : PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-./BL/. Tanggal : DRAFT PERATURAN NOMOR IX.A.14 : AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL 1. Definisi a. Ijarah adalah

Lebih terperinci

2017, No memberikan kepastian hukum, perlu dilakukan pencabutan Peraturan Menteri Keuangan/ Keputusan Menteri Keuangan yang pengaturan kewenang

2017, No memberikan kepastian hukum, perlu dilakukan pencabutan Peraturan Menteri Keuangan/ Keputusan Menteri Keuangan yang pengaturan kewenang No.332, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pencabutan Permen. Pengaturan Peralihan. Kewenangan Kemenkeu kepada OJK. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PMK.010/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Arthaloka Gf, 2006 ), hlm M. Nadratuzzaman Hosen, Ekonomi Syariah Lembaga Bisnis Syariah,(Jakarta: Gd

BAB I PENDAHULUAN. Arthaloka Gf, 2006 ), hlm M. Nadratuzzaman Hosen, Ekonomi Syariah Lembaga Bisnis Syariah,(Jakarta: Gd BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, telah muncul kebutuhan akan adanya bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. Disamping bank

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tahun (1982:331) laba perusahaan adalah merupakan selisih antara

BAB II LANDASAN TEORI. tahun (1982:331) laba perusahaan adalah merupakan selisih antara BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Laba Menurut Drs. R.A, Supriyono,S.U.,Akt pada buku akuntansi Biaya Edisi 2 tahun (1982:331) laba perusahaan adalah merupakan selisih antara penghasilan penjualan diatas semua

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/9/PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pengertian Pembiayaan Pengertian sewa guna secara umum menurut Kasmir, 2002 adalah perjanjian pihak lessor (perusahaan leassing) dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian a) Implementasi Akad Murabahah Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada perbankan syariah di dasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Salah. satunya pegadaian syariah yang saat ini semakin berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Salah. satunya pegadaian syariah yang saat ini semakin berkembang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pegadaian sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat guna menetapakan pilihan dalam pembiayaan disektor riil. Biasanya kalangan yang berhubungan dengan pegadaian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH CILEGON MANDIRI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 131/BL/2006 TENTANG AKAD-AKAD

Lebih terperinci

SEWA GUNA USAHA (LEASING) DALAM PERSPEKTIF SYARIAH. Oleh: NINING WAHYUNINGSIH ABSTRAK

SEWA GUNA USAHA (LEASING) DALAM PERSPEKTIF SYARIAH. Oleh: NINING WAHYUNINGSIH ABSTRAK SEWA GUNA USAHA (LEASING) DALAM PERSPEKTIF SYARIAH Oleh: NINING WAHYUNINGSIH ABSTRAK Sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 430/BL/2012 TENTANG AKAD-AKAD

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 448/KMK.017/2000 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemulihan perekonomian nasional,

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK. 012/2006 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK. 012/2006 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK. 012/2006 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENTERI KEUANGAN, bahwa dalam rangka meningkatkan peran Perusahaan Pembiayaan dalam pembangunan nasional,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Modal ventura sebagai lembaga pembiayaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Modal ventura sebagai lembaga pembiayaan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Modal ventura sebagai lembaga pembiayaan 1. Lembaga pembiayaan Pembiayaan sendiri berasal dari bahasa inggris financing, yang berasal dari kata finance yang artinya dalam kata benda

Lebih terperinci

MAKALAH LEASING. Diajukan dan dipersentasikan. pada mata kuliah Seminar Manajemen Keuangan. Di bawah bimbingan : Wahyu Indah Mursalini, SE, MM

MAKALAH LEASING. Diajukan dan dipersentasikan. pada mata kuliah Seminar Manajemen Keuangan. Di bawah bimbingan : Wahyu Indah Mursalini, SE, MM MAKALAH LEASING Diajukan dan dipersentasikan pada mata kuliah Seminar Manajemen Keuangan Di bawah bimbingan : Wahyu Indah Mursalini, SE, MM Di Susun Oleh : Turmudi UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Adanya potensi jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai ±

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Adanya potensi jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai ± BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya potensi jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai ± 85% dari 220 juta penduduk Indonesia, memberikan kesempatan bagi berkembang pesatnya sektor Perbankan

Lebih terperinci

PERBEDAAN LEASING DENGAN SEWA BELI DALAM KONSEP HUKUM KEPERDATAAN DI INDONESIA

PERBEDAAN LEASING DENGAN SEWA BELI DALAM KONSEP HUKUM KEPERDATAAN DI INDONESIA PERBEDAAN LEASING DENGAN SEWA BELI DALAM KONSEP HUKUM KEPERDATAAN DI INDONESIA (THE DIFFERENCE BETWEEN LEASING AND RENT-PURCHASE IN THE CONCEPT OF INDONESIAN CIVIL LAW ) I Wayan Wahyu Wira Udytama Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan budaya maupun pertahanan dan keamanan. Salah satu indikasi

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan budaya maupun pertahanan dan keamanan. Salah satu indikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan suatu negara dapat dilihat dari pesatnya pembangunan yang mencakup berbagai macam sektor seperti bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun pertahanan

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Manajemen Leasing, Dana Pensiun & Modal Ventura

STIE DEWANTARA Manajemen Leasing, Dana Pensiun & Modal Ventura Manajemen Leasing, Dana Pensiun & Modal Ventura Manajemen Lembaga Keuangan, Sesi 6 Pengertian Leasing Kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1169/KMK.01/1991 TENTANG KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1169/KMK.01/1991 TENTANG KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1169/KMK.01/1991 TENTANG KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan

Lebih terperinci

BAB II BANK DAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan

BAB II BANK DAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan BAB II BANK DAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN 2.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan Di Indonesia, walaupun telah ada pranata penyaluran dana yang dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank, secara institusional

Lebih terperinci

Penguatan Kerangka Hukum Efek Syariah Melalui Revisi Undang-Undang Pasar Modal Oleh: Muhammad Faiz Aziz *

Penguatan Kerangka Hukum Efek Syariah Melalui Revisi Undang-Undang Pasar Modal Oleh: Muhammad Faiz Aziz * Penguatan Kerangka Hukum Efek Syariah Melalui Revisi Undang-Undang Pasar Modal Oleh: Muhammad Faiz Aziz * Naskah diterima: 15 Desember 2015; disetujui: 30 Desember 2015 Keuangan atau pasar modal syariah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN. menerus atau teratur (regelmatig) terang-terangan (openlijk), dan dengan tujuan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN. menerus atau teratur (regelmatig) terang-terangan (openlijk), dan dengan tujuan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBIAYAAN A. Pengertian Lembaga Pembiayaan Perusahaan merupakan Badan Usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian (keuangan, industri, dan perdagangan), yang dilakukan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

Pegadaian dan Sewa Guna Usaha

Pegadaian dan Sewa Guna Usaha Pegadaian dan Sewa Guna Usaha A. Pegertian Usaha Gadai Secara umum pegertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelian aset tetap, perusahaan harus mempertimbangkan alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelian aset tetap, perusahaan harus mempertimbangkan alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pembelian aset tetap, perusahaan harus mempertimbangkan alternatif pembiayaan mana yang paling menguntungkan agar dapat meminimalkan pengeluaran perusahaan dan

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2014 TENTANG PENERBITAN SUKUK

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2014 TENTANG PENERBITAN SUKUK OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2014 TENTANG PENERBITAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. syariah yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor

BAB V PENUTUP. syariah yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Keberadaaan prinsip indemnitas pada asuransi syariah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Hal ini berdasarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan asuransi syariah yaitu Fatwa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 6 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Pengertian Aktiva Tetap Menurut Kusnadi et al. (1998:342) dalam bukunya mengatakan bahwa, Aktiva tetap adalah semua benda yang dimiliki oleh perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kendala yang sering dipermasalahkan dan merupakan kendala utama adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kendala yang sering dipermasalahkan dan merupakan kendala utama adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan rumah. Memiliki sebuah rumah impian adalah keinginan semua manusia. Namun terkadang keinginan tersebut tidak dapat

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 04/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPARASI SAK 30 SEWA DENGAN SAK SYARIAH 107 IJARAH

ANALISIS KOMPARASI SAK 30 SEWA DENGAN SAK SYARIAH 107 IJARAH ANALISIS KOMPARASI SAK 30 SEWA DENGAN SAK SYARIAH 107 IJARAH Nama : Iren Karina NPM : 24213465 Jurusan : Akuntansi Dosen Pembimbing : Dr. B. Sundari LATAR BELAKANG Berdirinya Bank Syariah Pertama (Muamalat)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan kurang fleksibel dalam melakukan fungsinya. Sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan kurang fleksibel dalam melakukan fungsinya. Sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan dana atau modal bagi seseorang saat ini sangatlah penting, untuk memenuhi kebutuhan dana atau modal maka diperlukan suatu lembaga pembiayaan. Bank

Lebih terperinci

Sharia Issues In Refinancing & Restructuring

Sharia Issues In Refinancing & Restructuring Sharia Issues In Refinancing & Restructuring Prof. Dr. Fathurrahman DJamil, MA Disampaikan pada Seminar Internasional dan Muzakarah Cendikiawan Syariah Nusantara Hotel Milenium, 10 Juni 2015 RESTRUKTURISASI

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.343, 2014 KEUANGAN. OJK. Lembaga Keuangan. Mikro. Penyelenggaraan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5622) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang sebagai perwujudan pengabdian dan peran serta rakyat untuk membiayai negara dan

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

Pembelanjaan Jangka Panjang 1 BAB 14 PEMBELANJAAN JANGKA PANJANG

Pembelanjaan Jangka Panjang 1 BAB 14 PEMBELANJAAN JANGKA PANJANG Pembelanjaan Jangka Panjang 1 BAB 14 PEMBELANJAAN JANGKA PANJANG Pembelanjaan Jangka Panjang 2 PEMBELANJAAN JANGKA PANJANG Terdapat beberapa alternatif sumber dana jangka panjang yang tersedia bagi suatu

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 4/POJK.05/2013 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA PADA PERUSAHAAN PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,

Lebih terperinci

Modul ke: Manajemen Perpajakan 06FEB. Samsuri, SH, MM. Fakultas. Program Studi Akuntansi

Modul ke: Manajemen Perpajakan 06FEB. Samsuri, SH, MM. Fakultas. Program Studi Akuntansi Modul ke: Manajemen Perpajakan Fakultas 06FEB Samsuri, SH, MM Program Studi Akuntansi Sewa Guna Usaha dan Penerapan Perencanaan Pajak terhadap Sewa Guna Usaha Pengertian Sewa Guna Usaha Sewa guna usaha

Lebih terperinci

NAMA : SEPTIYANA NPM : JURUSAN : MANAJEMEN (KEUANGAN) PENGERTIAN LEASING

NAMA : SEPTIYANA NPM : JURUSAN : MANAJEMEN (KEUANGAN) PENGERTIAN LEASING NAMA : SEPTIYANA NPM : 1411011123 JURUSAN : MANAJEMEN (KEUANGAN) PENGERTIAN LEASING Leasing atau sewa guna usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang barang modal

Lebih terperinci

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN No.293, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Pasar Modal. Manajer Investasi. Prinsip Syariah. Penerapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5983) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB VI AKUNTANSI IJARAH

BAB VI AKUNTANSI IJARAH BAB VI AKUNTANSI IJARAH A. Ijarah Atas Aset Berwujud 1. Pengertian Ijarah atas Aset Berwujud Ijarah adalah akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah)

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2014 TENTANG PENERBITAN SAHAM SYARIAH

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2014 TENTANG PENERBITAN SAHAM SYARIAH OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2014 TENTANG PENERBITAN SAHAM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1169/KMK.01/1991 T E N T A N G KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA(LEASING)

MENTERI KEUANGAN S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1169/KMK.01/1991 T E N T A N G KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA(LEASING) MENTERI KEUANGAN S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1169/KMK.01/1991 T E N T A N G KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA(LEASING) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang

BAB I PENDAHULUAN. Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang modal) dengan lessee (pemakai barang modal). Lessor memberikan hak kepada lessee

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perdagangan merupakan sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Bagi Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada khususnya, maka kebutuhan akan pendanaan menjadi hal yang utama bagi

BAB I PENDAHULUAN. pada khususnya, maka kebutuhan akan pendanaan menjadi hal yang utama bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya dunia bisnis pada umummya dan dunia industri pada khususnya, maka kebutuhan akan pendanaan menjadi hal yang utama bagi kalangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Pengertian Perseroan Terbatas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Pengertian Perseroan Terbatas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1618 menyebutkan bahwa, perseroan adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pa

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pa No.137, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Efek. Syariah. Kriteria. Penerbitan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6083) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PEMBIAYAAN AKTIVA TETAP MELALUI LEASING DAN BANK KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK

KEPUTUSAN PEMBIAYAAN AKTIVA TETAP MELALUI LEASING DAN BANK KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK Jurnal Akuntansi FE Unsil, Vol. 3, No. 2, 2008 ISSN : 1907-9958 KEPUTUSAN PEMBIAYAAN AKTIVA TETAP MELALUI LEASING DAN BANK KAITANNYA DENGAN PENGHEMATAN PAJAK Hiras Pasaribu (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi

Lebih terperinci

SESI : 07 ACHMAD ZAKY

SESI : 07 ACHMAD ZAKY SESI : 07 ACHMAD ZAKY akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri (MUI,2000)

Lebih terperinci

PERATURAN NOMOR IX.A.14 : AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

PERATURAN NOMOR IX.A.14 : AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL Nomor : Kep-131/BL/2006 PERATURAN NOMOR IX.A.14 : AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Ijarah adalah perjanjian (akad) dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 2.1.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan Istilah lembaga pembiayaan

Lebih terperinci

Dealin Mahaputri Leonika

Dealin Mahaputri Leonika Analisis Pembiayaan Akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik Berdasarkan PSAK 107 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 27 Pada Bank Muamalat dan Bank DKI Syariah Dealin Mahaputri Leonika-21210718 Analisis Pembiayaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA I. UMUM Kinerja ekspor yang baik dapat memperbaiki neraca perdagangan

Lebih terperinci

AKUNTANSI UNTUK LEASING

AKUNTANSI UNTUK LEASING AKUNTANSI UNTUK LEASING Lease Lessor Lessee : Suatu perjanjian kontraktual antara Lessor dengan Lessee, yang memberikan hak kepada Lessee untuk menggunakan harta tertentu yang dimiliki oleh Lessor selama

Lebih terperinci